Perantau Minang adalah sebutan bagi orang-orang Minangkabau yang hidup di perantauan atau di luar tanah asalnya, sekitaran dataran tinggi Minangkabau.[1] Mereka tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dan juga di mancanegara, seperti Malaysia,[2] Singapura,[3] Brunei, Australia,[4] Eropah,[5] Amerika,[6] Timur Tengah, dan lainnya.

Keturunan perantau Minangkabau

Entitas perantau Minang merupakan masyarakat yang jumlahnya diperkirakan setara kalau pun tidak lebih banyak daripada orang Minang yang ada di tanah asalnya, ranah Minangkabau.[7] Mereka menjalani kehidupan di tanah rantau disebabkan beberapa faktor, seperti eksistensi diri, adat matrilineal, perang, dan faktor ekonomi,[7] serta beragam motivasi, yaitu mencari kekayaan, ilmu pengetahuan, dan kemasyhuran.[8]

Perjalanan sejarah

Para perantau Minang terdahulu telah meninggalkan tanah pusakanya sejak berabad-abad yang lalu, dan keturunannya telah menjadi warga masyarakat yang berbeda dengan masyarakat Minangkabau saat ini. Sementara para 'perantau Minang baru' masih punya kedekatan dan keterkaitan emosional dengan budaya dan tanah kelahirannya.[7] Peribahasa Minang yang berbunyi Karatau madang di hulu, berbuah berbunga belum. Ke rantau bujang dahulu, di rumah berguna belum atau Daripada malu pulang ke kampung, lebih baik rantau diperjauh, membuat banyak perantau Minang yang tidak pernah pulang lagi ke kampung halamannya, walaupun rindu dendam pada ranah bundo dan segala isinya berkecamuk seakan tak terperi.[7]

Masa lalu

Saat ini diperkirakan lebih dari setengah populasi orang Minangkabau hidup dan berkembang di wilayah perantauan baik di Indonesia maupun mancanegara, perkiraan itu pun tidak memasukkan keturunan perantau Minang yang telah merantau dan berkembang sejak sekurangnya 1000 tahun yang lalu di berbagai wilayah di nusantara atau bahkan dunia pada masa modern ini.

Banyak di antara keturunan perantau Minang telah bertransformasi menjadi orang "Minang Baru" atau bahkan suku-suku baru seperti Aneuk Jamee di pantai barat Aceh, Suku Pesisir di pantai barat Sumatera Utara, masyarakat Negeri Sembilan, di Semenanjung Malaya, dan entah apa lagi namanya di wilayah-wilayah lain yang sudah lama terputus tali sejarah dan persaudaraannya dengan Minangkabau.

Legenda dan mitos serta ingatan kolektif dan tradisi lisan yang ada di berbagai kelompok masyarakat tertentu di Nusantara menceritakan tentang nenek moyang mereka yang berasal dari Minangkabau sejak berabad-abad yang lalu. Beberapa kelompok masyarakat yang telah tercatat dalam sejarah, di antaranya komunitas tertentu di Meulaboh dan Tapak Tuan (Aceh bagian barat), komunitas tertentu di Tanah Karo (Sumatera Utara), Siak Sri Indrapura dan Muara Takus (Riau), Pangkalan Jambu dan Tungkal Ulu (Jambi), komunitas tertentu di Rejang (Bengkulu), Sekala Brak dan Paminggir (Lampung),[8] serta Negeri Sembilan Malaysia yang populasinya cukup besar sehingga kemudian menjelma menjadi sebuah kerajaan, komunitas di Sulu (Filipina Selatan), komunitas di Sulawesi Selatan, Kutai, dan Palu, serta di Nusa Tenggara, yaitu komunitas tertentu di Bima dan Manggarai (Flores).[9]

Komunitas Melayu-Bugis di Sulawesi Selatan yang terbentuk dari beberapa unsur etnis, salah satunya Minangkabau, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Sulawesi Selatan. Juga terbetik berita tentang keturunan Pagaruyung Minangkabau yang "terdampar" di pedalaman Kalimantan Tengah (Kerajaan Kotawaringin) di sebuah negeri bernama Kudangan, yang oleh masyarakat setempat diakui sebagai leluhur mereka. Sementara di pedalaman pegunungan Flores ditemukan kampung adat misterius bernama Wae Rebo yang konon nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau sejak berabad yang lalu.[10]

Thomas Stamford Raffles, seorang Gubernur Jenderal Inggris, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau menyimpulkan bahwa Minangkabau adalah inti dan sumber kekuatan bangsa Melayu yang menyebar di kepulauan timur (nusantara). Perantau Minang yang fenomenal telah melahirkan suku-suku baru di nusantara, dan ini adalah sesuatu yang alami dalam dinamika kehidupan alam.

Keturunan perantau Minang dari abad-abad lalu sudah tak mengenal lagi kampung halaman nenek moyang mereka yang indah, yang jauh di pedalaman Sumatera bagian tengah, di dataran tinggi bergunung-gunung gagah yang memberi hawa sejuk dan di lembah-lembah berdanau indah yang pinggirannya jadi tepian mandi sejak dulu kala sampai masa kini.

Era globalisasi

Berkas:Perantau Minang.JPG
Perantau Minang pulang kampung dengan KM Lawit di pelabuhan Teluk Bayur

Pada era globalisasi dewasa ini di mana batas negara semakin terbuka dan sarana transportasi semakin baik, wilayah perantauan para perantau Minang juga semakin meluas. Malaysia sebagai negara terdekat juga dijadikan tujuan bagi 'perantau Minang baru'. Mereka menambah populasi etnis Minang di negara jiran tersebut disamping keturunan Minangkabau yang telah ada sejak berabad yang lalu di Negeri Sembilan, Pulau Pinang, Malaka, dan berbagai wilayah lainnya di masa Kesultanan Malaka. Para 'perantau Minang baru' tersebut banyak terdapat di kota-kota besar Malaysia, seperti, Kuala Lumpur, Johor Bahru, Subang, Shah Alam, dan lainnya.

Berbagai wilayah yang belum jadi tujuan perantauan di masa lalu, seperti Australia, Amerika Serikat, Eropah, dan lainnya, juga telah dijadikan tujuan bagi para perantau Minang masa kini. Mereka mencari kehidupan di wilayah perantauan yang relatif baru itu sebagai profesional, wirausaha, dan lainnya.

Peran perantau

Peran di rantau

 
Sampul buku "Adat Minangkabau dan Merantau" karya Tsuyoshi Kato (2005).

Beragam nasib para perantau Minang. Disamping banyak yang sukses di tanah rantau, juga tidak sedikit yang gagal menaklukkan lauik sati rantau batuah ("lautan sakti rantau bertuah"). Mereka yang gagal kemudian banyak yang melakukan Rantau Cino, suatu istilah dalam dunia perantauan Minang yang berarti merantau jauh dan tak akan kembali.

Bagi perantau Minang yang berhasil terhampar dunia yang penuh kehormatan dan nama besar yang akan dikenang. Mereka bisa tercatat sebagai tokoh-tokoh perantauan yang dibanggakan, entah itu sebagai pejuang kemerdekaan bangsa Melayu Nusantara, saudagar/pengusaha besar, intelektual terkemuka, ulama penyebar agama Islam, politisi ternama, bahkan juga sebagai pendiri suatu kerajaan atau negara. Sementara yang gagal namanya hilang ditelan masa.

Sesuai dengan pepatah Minang, Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung, para perantau Minang tidak hanya peduli pada kelompoknya saja. Banyak di antara mereka menjadi tokoh masyarakat tempatan, berikhtiar dan berjuang bersama demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di tempat ia berada. Beberapa tokoh perantau Minang, seperti Mohammad Hatta, Tan Malaka, Agus Salim, dan banyak lagi yang lainnya, hampir tak pernah terdengar memikirkan Minangkabau karena tenaga dan pikirannya telah tersita untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu nasib dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkeraman kolonialis Belanda. Sementara di tanah semenanjung tercatat nama-nama seperti Shamsiah Fakeh, Ahmad Boestamam, Burhanuddin al-Hilmi, Khatijah Sidek, dan pejuang lainnya, menghabiskan sebagian besar dayanya untuk perjuangan bangsa Melayu semenanjung agar terbebas dari kolonialis Inggris.

Menengok ke masa yang lebih silam, beberapa nama perantau Minang telah tercatat dalam sejarah sebagai pendiri kerajaan, ulama penyebar Islam, ataupun pedagang yang mendirikan koloni saudagar Minang di berbagai tempat. Awang Alak Betatar atau lebih dikenal dengan nama Sultan Muhammad Shah tercatat dalam sejarah Brunei sebagai pendiri Kesultanan Brunei pada pertengahan abad ke-14. Sementara Raja Bagindo yang di Sulu lebih dikenal sebagai Rajah Baguinda juga tercatat dalam Tarsilah Sulu sebagai pendiri Kesultanan Sulu pada akhir abad ke-14.[11][12][13]

Sejarah perkembangan Islam di Sulawesi,[14] Kalimantan Timur, serta Nusa Tenggara tak terlepas dari peran penting para ulama perantau Minang pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17. Tercatat nama-nama Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, Datuk Patimang yang berasal dari Koto Tangah, Payakumbuh, serta Datuk Karama, dan Datuk Mangaji telah menyebarkan Islam pada masyarakat di beberapa wilayah tersebut.[15] Sedangkan di Kerajaan Kutai Islam juga disebarkan oleh Datuk Ri Bandang bersama-sama Tuan Tunggang Parangan.[16] Beberapa perantau Minang pada abad-abad terdahulu yang aktif sebagai saudagar, seperti Datuk Jannaton, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil telah mendirikan koloni dagang Minangkabau pada pertengahan abad ke-18 di Pulau Pinang, Semenanjung Malaya.[17][18][19][20][21][22] Banyak di antara keturunan mereka yang menjadi tokoh berpengaruh di Malaysia dan Singapura di kemudian hari, seperti Yusof Ishak, Razali Ismail, Aziz Ishak, Abdul Rahim Ishak, Mohammad Bakri Omar, dan lainnya.

Peran untuk ranah

Untuk menjembatani para perantau Minang dengan masyarakat Minang di Sumatera Barat (ranah Minang), beberapa tokoh Minang rantau, seperti Azwar Anas, Emil Salim, Harun Zain, Bustanil Arifin, Hasyim Ning, Hasan Basri Durin, Fahmi Idris, Saafroedin Bahar, Sjafaroeddin Sabar, dan beberapa tokoh lainnya, mendirikan lembaga Gerakan Seribu Minang yang dipendekkan menjadi Gebu Minang pada 20 Januari 1990.[23] Pada awalnya lembaga ini mengumpulkan uang seribu rupiah/bulan dari setiap warga perantau Minang untuk pembangunan berbagai sarana di Sumatera Barat. Keberhasilan lembaga ini sempat dijadikan role model oleh berbagai kelompok masyarakat lainnya di Indonesia, seperti masyarakat Karo, masyarakat Sulawesi Selatan,[24] dan lainnya.

Berkas:Pelayangan Lintas Sumatera pada 1970-an.jpg
Bus, salah satu sarana transportasi para perantau Minang pada tahun 1970-an sedang melintasi sebuah sungai besar dengan naik pelayangan.

Selain Gebu Minang, beberapa organisasi masyarakat perantau Minang yang lebih kecil dan berdasarkan asal-usul kabupaten atau nagari juga banyak yang didirikan. Yang dianggap terbesar dan terluas jangkauannya adalah Sulit Air Sepakat (SAS), sebuah organisasi perantau Minang asal Sulik Aia (Sulit Air), Solok, yang sudah berdiri pada sekitar awal abad ke-20. Dengan memiliki sekitar 80 Dewan Perwakilan Cabang (DPC) di seluruh Indonesia dan 4 DPC di luar negeri, yaitu di Malaysia, Sydney dan Melbourne (Australia) serta Washington DC, Amerika Serikat, organisasi ini merupakan yang terbesar di antara berbagai organisasi perantau Minang berdasarkan wilayah kabupaten/nagari di Sumatera Barat.[25][4]

Selain Sulit Air Sepakat, para tokoh perantau Minang asal kota Pariaman dan kabupaten Padang Pariaman juga membentuk organisasi Persatuan Keluarga Daerah Piaman (PKDP) pada 29 April 1984 di Pariaman. Dewan Pimpinan Pusat PKDP berkedudukan di Jakarta dengan sejumlah cabang di beberapa kota di Indonesia.[26] Semua organisasi itu didirikan atas dasar kepedulian terhadap kampung halaman dan juga tidak jarang melakukan kegiatan sosial untuk masyarakat lainnya di wilayah rantau.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ "Jejak Para Perantau" Kompas.com, 9 September 2013. Diakses 16 Januari 2015.
  2. ^ "Jalin Silaturahmi, Perantau Minang Malaysia Pulang Basamo" Hidayatullah.com, 23 November 2014. Diakses 16 Januari 2015.
  3. ^ "Singapura Tertarik Sistem Pendidikan Yayasan di Tanah Datar" Liputan6.com, 22-09-2014. Diakses 22-01-2015.
  4. ^ a b "Pebisnis Indonesia Sulap Gereja di Melbourne Jadi Masjid" Tribunnews.com, 17 Agustus 2011. Diakses 16 Januari 2015.
  5. ^ "Rancak Voice akan Tampil di Minangkabau Jazz" Singgalang, 22 Oktober 2014. Diakses 16 Januari 2015.
  6. ^ "Perantau Minang Amerika Salurkan Bantuan Seragam Sekolah" Antara, 30 Oktober 2012. Diakses 16 Januari 2015.
  7. ^ a b c d "Perantau Minang" Surya Suryadi - Haluan, Rabu, 28 Maret 2012. Diakses 16 Januari 2015.
  8. ^ a b Kato, Tsuyoshi (2005). "Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah" Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1.
  9. ^ Hadler, Jeffrey (2010). "Sengketa Tiada Putus" Freedom Institute. ISBN 978-979-19466-5-0.
  10. ^ "Wae Rebo, Kampung Adat Misterius di Tengah Pegunungan Flores" Detik.com, 19 November 2013. Diakses 19 Januari 2015.
  11. ^ "Pendiri-pendiri kerajaan Islam di Filipina dari Minangkabau" VIVA.co.id, 07 Maret 2013. Diakses 19 Januari 2015.
  12. ^ "Melongok Islam di Filipina" Republika.co.id, 03 Februari 2014. Diakses 19 Januari 2015.
  13. ^ "Sultan Sulu Suka Satai Kambing" Kompas.com, 21 Maret 2013. Diakses 19 Januari 2015.
  14. ^ "Sejarah Minangkabau Ditemukan di Sulawesi" Haluan, 18 Juni 2012. Diakses 19 Januari 2015.
  15. ^ "Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII" Ahmad M. Sewang, Yayasan Obor Indonesia. Diakses 19 Januari 2015.
  16. ^ Sejarah nasional Indonesia, Volume 3 Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, PT Balai Pustaka. Diakses 19 Januari 2015
  17. ^ "400 attend family reunion" The Star, 31 Desember 2008. Diakses 19 Januari 2015.
  18. ^ "Dato' Jenaton's Grave, Penang" Penang Travel Tips. Diakses 19 Januari 2015.
  19. ^ "Orang-Orang Indonesia di Pulau Pinang (1)" Asian Public Intellectual, Nippon Foundation. Diakses 19 Januari 2015.
  20. ^ "The Indonesians in Penang, 1786-2000" IIAS Newsletter Online. Diakses 19 Januari 2015.
  21. ^ "Sejarah dari sudut Timur" Utusan Malaysia, 12 Oktober 2006. Diakses 19 Januari 2015.
  22. ^ "Imej kampung tertua terjejas" Sinar Harian, 1 September 2012. Diakses 19 Januari 2015.
  23. ^ "Azwar Anas: teladan dari ranah Minang" Abrar Yusra, PT Gramedia Pustaka Utama. Diakses 19 Januari 2015.
  24. ^ "Gebu Minang to hold conference" The Jakarta Post, 3 Januari 2001. Diakses 19 Januari 2015.
  25. ^ "Sekilas tentang SAS (Sulit Air Sepakat)" Cimbuak.net, 12 Desember 2013. Diakses 19 Januari 2015.
  26. ^ "Susunan Pengurus DPP PKDP 2013-2018" Situs Resmi PKDP. Diakses 20 Januari 2015.

Pranala luar