Reconquista

periode dalam sejarah Semenanjung Iberia

Reconquista[a] ("penaklukan kembali") merupakan suatu periode dalam sejarah Semenanjung Iberia, yang mana meliputi rentang waktu sekitar 770 tahun antara tahap awal penaklukan oleh kaum Islam pada tahun 710-an dan jatuhnya Granada, negara Islam terakhir di peninsula tersebut, untuk perluasan kerajaan-kerajaan Kristen pada tahun 1492. Reconquista berakhir sesaat menjelang penemuan benua Amerika—yaitu "Dunia Baru"—oleh bangsa Eropa, yang kemudian pada era tersebut menimbulkan imperium kolonial Spanyol dan Portugal.

Ilustrasi suatu pertempuran "Reconquista" dari Cantigas de Santa Maria.

Para sejarawan biasanya menandai permulaan Reconquista dengan Pertempuran Covadonga (tahun 718 atau 722), di mana sejumlah kecil pasukan Kristen yang dipimpin oleh bangsawan bernama Pelayo mengalahkan pasukan Kekhalifahan Umayyah di pegunungan Iberia utara dan mendirikan suatu kepangeranan Kristen di Asturias.

Konsep dan rentang waktu

Sejak abad ke-19, historiografi tradisional sudah mengukuhkan eksistensi Reconquista,[1] yakni fenomena berkesinambungan bangkitnya kerajaan-kerajaan Kristen di Jazirah Iberia untuk menentang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam yang dipandang sebagai musuh bersama karena merupakan pihak yang sudah merampas Jazirah Iberia dengan kekuatan militer dari bangsa pribumi Kristen Iberia.[2]

Konsep penaklukan kembali Jazirah Iberia oleh umat Kristen pertama kali mengemuka pada akhir abad ke-9[3] di dalam Chronica Prophetica (883–884), karya tulis yang mengungkit kesenjangan budaya dan agama di antara umat Kristen dan umat Islam di Hispania serta menandaskan perlunya mengusir umat Islam sebagai wujud upaya memulihkan kedaulatan bangsa Visigoth di wilayah yang direbut kembali.[4]

 
Negara Khilafatul Muwahidin dan negara-negara tetangganya, termasuk kerajaan Kristen Portugal, Leon, Kastila, Navara, dan Aragon, sekitar tahun 1200

Para penguasa Kristen di Jazirah Iberia saling berseteru, demikian pula para penguasa Islam. Tidak jarang terjalin persekutuan di antara penguasa Islam dan penguasa Kristen,[3] malah ada prajurit-prajurit bayaran beragama Kristen maupun Islam yang rela berperang bagi pihak mana pun yang sanggup membayar paling banyak tanpa pandang agama. Masa-masa itu sekarang dipandang sebagai kurun waktu penuh babak-babak panjang toleransi relatif dalam kehidupan beragama.[5] Meskipun demikian, pandangan tersebut sudah disanggah para sarjana.[6][7][8]

Perang-perang Salib, yang bermula jelang akhir abad ke-11, melahirkan ideologi religius Kristen tentang penaklukan kembali, bertentangan dengan ideologi jihad Muslim di Al Andalus yang dicetuskan para penguasa Al Murabatin dan digembar-gemborkan para khalifah Al Muwahidin. Dokumen-dokumen yang lebih awal dari abad ke 10 dan ke-11 nyata-nyata tidak memuat gagasan "penaklukan kembali".[9] Keterangan-keterangan tertulis tentang perseteruan Muslim-Kristen baru belakangan dimunculkan untuk mendukung gagasan tersebut, teristimewa Chanson de Roland, versi fiksi Prancis abad ke-11 dari riwayat pertempuran di Jalur Roncevaux melawan orang Sarasen Iberia (orang Moro) yang diajarkan sebagai fakta sejarah di sekolah-sekolah Prancis sejak tahun 1880.[10][11]

Latar belakang

Pendaratan dan ekspansi perdana pasukan Muslim di Hispania

Pada tahun 711, saat perang saudara dan perpecahan menggerogoti kedaulatan bangsa Visigoth di Hispania, prajurit-prajurit Berber dari Afrika Utara bersama sekelompok orang Arab di bawah pimpinan Tariq bin Ziyad menyeberangi Selat Gibraltar dan bertempur melawan angkatan perang Visigoth di bawah pimpinan Raja Rodrigo di Guadalete.

Sesudah Raja Rodrigo dikalahkan, wali negeri Bani Umayah untuk Ifriqiyah, Musa bin Nusair, bergabung dengan Tariq bin Ziyad dan melancarkan kampanye militer ke kota-kota maupun benteng-benteng di Hispania. Beberapa di antaranya dapat direbut pada tahun 712, misalnya kota Mérida, Kordoba, Zaragoza, dan mungkin juga kota Toledo, tetapi kebanyakan dikuasai melalui perjanjian dengan iming-iming otonomi, misalnya daerah kekuasaan Teodomiro (daerah Tudmir) dan kota Pamplona,[12] mengingat jumlah prajurit Muslim yang menginvasi Hispania tidak lebih dari 60.000 orang.[13]

Daulat Islam di Hispania

Sesudah pemerintahan Emirat terbentuk di Hispania, kepala negara Khilafah Bani Umayah, Khalifah Al Walid bin Abdul Malik mencopot banyak panglima Muslim yang berprestasi. Tariq bin Ziyad dipanggil pulang ke Damsyik dan diganti dengan Musa bin Nusair. Putra Musa, Abdul Aziz bin Musa, memperistri Egilona, janda Raja Rodrigo, dan membentuk pemerintahan daerah di Sevilla. Ia dicurigai tunduk di bawah kendali istrinya serta didakwa berniat masuk Kristen dan berencana makar. Kecurigaan dan dakwaan tersebut agaknya membuat Khalifah Al Walid I khawatir sehingga memerintahkan agar Abdul Azis dibunuh. Khalifah Al Walid mangkat pada tahun 715 dan digantikan adiknya, Sulaiman bin Abdul Malik. Agaknya Khalifah Sulaiman menghukum Musa bin Nusair, yang wafat saat berhaji pada tahun 716. Pada akhirnya yang menjadi Wali (wali negeri) Al Andalus adalah Ayub bin Habibul Lakhmi, saudara sepupu Abdul Aziz bin Musa.

Perusak persatuan pasukan Muslim di Hispania adalah ketegangan etnis antara bangsa Berber dan bangsa Arab.[14] Bangsa Berber adalah bangsa pribumi Afrika Utara yang belum lama memeluk agama Islam. Bangsa Berber berjasa memasok sebagian besar prajurit Muslim yang menginvasi Hispania, tetapi merasa didiskriminasi bangsa Arab.[15] Konflik internal laten ini mengancam keutuhan negara Khilafah Bani Umayah. Pada tahun 719, angkatan perang Bani Umayah mendarat di Hispania dan bergerak ke utara melintasi Pegunungan Pirenia. Ardo, raja Visigoth terakhir di Jazirah Iberia, melawan dan menghambat pergerakan angkatan perang gabungan Berber-Arab itu di Septimania sampai tahun 720.[16]

Sesudah orang Moro berhasil menaklukkan sebagian besar Jazirah Iberia dan membentuk Emirat Al Andalus, angkatan perang Bani Umayah mengalami kekalahan besar dalam Pertempuran Toulouse sehingga terpaksa menghentikan pergerakan ke utara untuk sementara waktu. Odo Agung, Adipati Aquitania, mengawinkan putrinya dengan Usman bin Naisa, pemberontak asli Berber yang menguasai daerah Cerdanya, demi mengamankan perbatasan selatan negerinya agar dapat leluasa membendung serangan Karel Martel di perbatasan utara. Meskipun demikian, Abdurrahman Al Ghafiqi, Emir Al Andalus yang terakhir, dalam ekspedisi penghukuman besar-besaran yang dipimpinnya, berhasil mengalahkan sekaligus menewaskan Usman. Emir Abdurrahman selanjutnya memimpin ekspedisi militer ke utara lewat bagian barat Pegunungan Pirenia sambil melancarkan aksi penjarahan sampai ke Bordeaux, dan mengalahkan Adipati Odo dalam Pertempuran Sungai Garona pada tahun 732.

Dalam keadaan putus asa, Adipati Odo meminta pertolongan musuh besarnya, Karel Martel. Pada tahun itu juga, angkatan perang gabungan Franka-Aquitania di bawah pimpinan Karel Martel maju melawan dan mengalahkan angkatan perang Bani Umayah dalam Pertempuran Poitiers yang merenggut nyawa Emir Abdurrahman. Sekalipun mulai menyusut, wilayah kekuasaan orang Moro terus eksis di Jazirah Iberia sampai 760 tahun kemudian.

Reconquista

Permulaan Reconquista

 
Patung Don Pelayo di Covadonga.
 
Lambang kota Alcanadre, Provinsi La Rioja, bergambar kepala orang Moro yang dipancung

Keputusan Emir Anbasa bin Suhaimul Kalbi untuk menaikkan pajak secara drastis memicu timbulnya beberapa kali pemberontakan di Al Andalus. Emir-emir sesudah Anbasa yang tidak lagi sekuat pendahulu mereka bahkan tidak berdaya memadamkan pemberontakan-pemberontakan tersebut. Sekitar tahun 722, Emirat Al Andalus melancarkan ekspedisi militer ke utara menjelang akhir musim panas dalam rangka memadamkan pemberontakan yang dipimpin Don Pelayo. Historiografi tradisional menjadikan kemenangan Don Pelayo di Covadonga sebagai tonggak permulaan sejarah Reconquista.

Meskipun tergolong negara kecil, dua kerajaan di utara Jazirah Iberia, Navara[17] dan Asturias, ternyata mampu mempertahankan kemerdekaannya. Karena para penguasa Bani Umayah di Kordoba tidak mampu melebarkan kekuasaan melewati Pegunungan Pirenia, kedua kerajaan ini akhirnya sepakat untuk menyatukan kekuatan tempurnya. Angkatan perang gabungan Arab-Berber secara berkala berusaha menerobos wilayah Asturias, tetapi wilayah itu merupakan kawasan cul-de-sac di pinggiran Dunia Islam yang penuh kesukaran pada masa perang dan tidak begitu menarik untuk dikuasai.[18]

Tidak heran jika Raja Alfonso I, di samping giat menyerbu benteng-benteng Berber di Meseta, giat pula memperluas wilayah kekuasaannya dengan mencaplok daerah-daerah orang Galiza maupun orang Basko.[19] Kedaulatan Asturias masih lemah sepanjang dasawarsa pertama dalam perjalanan sejarahnya, sehingga harus terus-menerus diperkuat melalui ikatan perkawinan politik maupun perang dengan kelompok-kelompok masyarakat lain di kawasan utara Jazirah Iberia. Sesudah Don Pelayo mangkat pada tahun 737, putranya, Favila dari Asturias, terpilih menjadi raja. Menurut tawarikh-tawarikh, Favila tewas diterkam beruang dalam lomba uji nyali. Anak cucu Don Pelayo di Asturias mampu melanggengkan kekuasaan mereka dan sedikit demi sedikit memperluas wilayah sampai akhirnya berhasil menguasai seluruh kawasan barat laut Hispania sekitar tahun 775. Meskipun demikian, yang benar-benar dianggap berjasa memperluas wilayah Kerajaan Asturias adalah Don Pelayo dan sejumlah penerusnya yang disebut Bani Alfons di dalam tawarikh-tawarikh Arab. Perluasan wilayah Kerajaan Asturias ke selatan berlangsung pada masa pemerintahan Raja Alfonso II (tahun 791–842), yang melancarkan ekspedisi militer ke Lisboa pada tahun 798, kemungkinan besar dengan bantuan wangsa Karoling.[20]

Kerajaan Asturias kian kukuh setelah Alfonso II mendapatkan pengakuan sebagai Raja Asturias dari Karel Agung dan Sri Paus. Pada masa pemerintahannyalah tersiar kabar penemuan tulang belulang Santo Yakobus Tua di daerah Galiza, tepatnya di Santiago de Compostela. Peziarah yang berdatangan dari seluruh Eropa membuka jalur komunikasi Kerajaan Asturias yang terisolasi dengan negeri-negeri di wilayah kedaulatan wangsa Karoling, bahkan dengan negeri-negeri yang lebih jauh lagi.

Keterlibatan bangsa Franka di Al Andalus

Sesudah jantung wilayah kerajaan bangsa Visigoth di Jazirah Iberia berada di dalam cengkeraman Khilafah Bani Umayah, pasukan Muslim melanjutkan pergerakan ke utara melewati Pegunungan Pirenia dan sedikit demi sedikit menguasai daerah Septimania, dimulai dengan merebut kota Narbonne pada tahun 719 dan akhirnya tuntas sesudah Carcassonne dan Nîmes dapat dikuasai pada tahun 725. Dengan menjadikan Narbonne sebagai pangkalan militer, pasukan Muslim berusaha menaklukkan negeri Aquitania, tetapi mengalami kekalahan telak dalam Pertempuran Toulouse.[21]

Sepuluh tahun sesudah membendung gerak maju pasukan Muslim ke utara, Odo Agung, Adipati Aquitania, mengawinkan putrinya dengan Usman bin Naisa, tokoh Berber pemberontak yang menguasai daerah Cerdanya (bahkan mungkin juga seluruh daerah yang sekarang disebut Katalunya), dengan maksud mengamankan perbatasan selatan Aquitania agar ia dapat leluasa membendung serangan Karel Martel di utara. Meskipun demikian, Abdurrahmah Al Ghafiqi, Emir Al Andalus yang terakhir, lewat ekspedisi penghukuman besar-besaran yang dipimpinnya, berhasil mengalahkan sekaligus menewaskan Usman bin Naisa.[21]

Pipin Muda dan Karel Agung

Sesudah mengusir pasukan Muslim dari Narbonne pada tahun 759 dan memaksa mereka mundur kembali ke selatan, Raja Franka dari wangsa Karoling, Pipin Muda, menaklukkan Aquitania lewat peperangan sengit selama delapan tahun. Meneruskan kebijakan ayahnya, Karel Agung menundukkan Aquitania dengan cara membentuk daerah-daerah kabupaten, bersekutu dengan Gereja, dan mengangkat bupati-bupati asli Franka atau Burgundia, misalnya dengan mengangkat Guilelmus dari Gellone menjadi Bupati Toulouse dan menjadikan kota itu sebagai pangkalan bagi pelancaran ekspedisi-ekspedisi militer melawan Al Andalus.[21] Karel Agung memutuskan untuk membentuk sebuah kerajaan bagian bernama Marca Hispanica dengan wilayah yang mencakup sebagian daerah Katalunya sekarang ini. Marca Hispanica didirikan untuk memantau gerak-gerik orang Aquitania sekaligus mencegah pasukan Muslim menerobos perbatasan selatan wilayah kedaulatan wangsa Karoling. Pada tahun 781, Ludovikus, putra Karel Agung yang baru berumur tiga tahun, dinobatkan menjadi Raja Aquitania di bawah bimbingan Guilelmus daro Gellone, orang kepercayaan Karel Agung. Ludovikus secara nominal ditugaskan merintis Marca Hispanica.[21]

Sementara itu, pendaulatan ujung selatan Al Andalus oleh Abdurrahman I pada tahun 756 ditentang Yusuf bin Abdurrahman, wali negeri otonom (wāli) atau raja (malik) Al Andalus. Abdurrahman I mengusir Yusuf dari Kordoba,[22] tetapi perlu waktu berpuluh-puluh tahun baginya untuk melebarkan kekuasaan ke daerah-daerah di bagian barat laut Al Andalus. Abdurrahman juga ditentang Khilafah Bani Abas di Bagdad yang berulang kali gagal menundukkannya. Pada tahun 778, angkatan perang Abdurrahman bergerak memasuki lembah Ebro. Para menak setempat memutuskan untuk meminta pertolongan bangsa Franka. Menurut Ali bin Al Athir, sejarawan Kurdi yang hidup pada abad ke-12, Karel Agung menerima duta-duta yang diutus Sulaiman Al Arabi, Husain, dan Abu Taur dalam sidang raya kekaisaran di Paderborn pada tahun 777. Para penguasa Zaragoza, Girona, Barcelona, dan Huesca tersebut adalah musuh-musuh Abdurrahman. Mereka berjanji akan berprasetia kepada Karel Agung jika diberi bantuan militer.[23]

 
Reconquista kota-kota utama (menurut tahun)

Karel Agung menyambut baik janji-janji itu sebagai peluang melebarkan kekuasaan. Pada tahun 778, ia melancarkan ekspedisi militer ke selatan melintasi Pegunungan Pirenia. Di dekat kota Zaragoza, Karel Agung menerima prasetia Sulaiman Al Arabi. Meskipun demikian, kota Zaragosa di bawah pimpinan Husain menutup pintu gerbangnya dan menolak tunduk.[23] Karena tidak berhasil menundukkan kota itu dengan kekuatan tempurnya, Karel Agung memutuskan untuk mundur. Dalam perjalanan pulang, pasukan garis belakang angkatan perang Franka disergap dan ditumpas pasukan Basko di Jalur Roncevaux. Chanson de Roland, catatan peristiwa Pertempuran Jalur Roncevaux yang sudah sangat diromantisasi, kemudian hari menjadi salah satu chanson de geste (lagu wiracarita) yang paling digemari pada Abad Pertengahan. Abdurrahman I mangkat dan digantikan Hisyam I sekitar tahun 788. Hisyam memaklumkan jihad pada tahun 792, lalu menggempur Kerajaan Asturias dan Septimania pada tahun 793.

Merembet ke Perang Salib dan tarekat-tarekat militer

 
Gambar adegan perang Reconquista di dalam naskah Cantigas de Santa Maria

Pada Abad Pertengahan Madya, perjuangan melawan orang Moro di Jazirah Iberia mulai dicampuradukkan dengan perjuangan segenap Dunia Kristen. Baru kemudian hari geliat perlawanan terhadap orang Moro dimaknai sebagai perang kemerdekaan yang dibenarkan agama (baca konsep Agustinus mengenai perang yang sah). Lembaga kepausan dan Biara Cluny di Burgundia membenarkan bahkan mendorong kesatria-kesatria Kristen untuk mengupayakan konfrontasi bersenjata dengan "orang-orang kafir" Moro, ketimbang bersengketa satu sama lain.

Tarekat-tarekat militer seperti Tarekat Santiago, Tarekat Montesa, Tarekat Kalatrava, dan Tarekat Kesatria Haikal dibentuk atau diimbau ikut berperang di Hispania. Para paus mengimbau kesatria-kesatria Eropa untuk turut berjuang menghancurkan negara-negara Islam di Jazirah Iberia. Selepas peristiwa yang disebut Musibah Alarcos, angkatan perang Prancis, Navara, Kastila, Portugal, dan Aragon bersatu melawan pasukan Muslim dalam pertempuran besar di Las Navas de Tolosa (1212). Daerah-daerah luas yang dianugerahkan kepada tarekat-tarekat militer dan para menak merupakan cikal bakal dari sekian banyak latifundium yang ada di Andalusia, Extremadura, dan Alentejo sekarang ini.

Catatan

  1. ^ Kendati dieja dengan cara yang kurang lebih sama, pelafalannya berbeda di antara berbagai bahasa Iberia, kebanyakan sesuai dengan struktur bunyi dari bahasa masing-masing. Pelafalan-pelafannya adalah sebagai berikut:

Referensi

  1. ^ García Fitz, Francisco (2009). "La Reconquista: un estado de la cuestión" (PDF). Clío & Crímen: Revista del Centro de Historia del Crimen de Durango (dalam bahasa Spanyol) (6): 146. ISSN 1698-4374. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 18 April 2016. Diakses tanggal 12 Desember 2019. Queda claro, pues, que el concepto de Reconquista, tal como surgió en el siglo XIX y se consolidó en la historiografía de la primera mitad del XX, se convirtió en uno de los principales mitos originarios alumbrados por el nacionalismo español. [Jadi jelas bahwa konsep Reconquista, sebagaimana yang muncul pada abad ke-19 dan terkonsolidasi di dalam historiografi paruh pertama abad ke-20, menjadi salah satu mitos asal-usul utama yang diwarnai nasionalisme Spanyol.] 
  2. ^ O'Callaghan, Joseph F. (2003). Reconquest and Crusade in Medieval Spain. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. hlm. 19. ISBN 978-0812236965. Diakses tanggal 15 Februari 2012. 
  3. ^ a b McKitterick, Rosamond; Collins, R. (1990). The New Cambridge Medieval. History 1. Cambridge University Press. hlm. 289. ISBN 9780521362924. Diakses tanggal 26 Juli 2012. 
  4. ^ "Spain – The rise of Castile and Aragon". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 16 Agustus 2020. Pada kurun waktu inilah tawarikh-tawarikh Kristen tertua mengenai Reconquista ditulis. Tawarikh-tawarikh tersebut dengan sengaja berusaha menunjukkan keterkaitan sejarah antara monarki Visigoth dan monarki Asturias. Dengan mengaku sebagai ahli waris sah kewenangan dan adat-istiadat bangsa Visigoth, para menak Asturias secara sadar menyatakan diri sebagai pihak yang bertanggung jawab merebut kembali negeri Hispania dari umat Islam 
  5. ^ María Rosa Menocal, The Ornament of the World: How Muslims, Jews and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain, Back Bay Books, 2003, ISBN 0316168718, dan baca juga artikel Abad keemasan kebudayaan Yahudi di Spanyol.
  6. ^ Fernandez-Morera, Dario. The Myth of the Andalusian Paradise: Muslims, Christians, and Jews under Islamic Rule in Medieval Spain. 
  7. ^ Collins, Roger. Caliphs and Kings: Spain, 796-1031. 
  8. ^ O'Callaghan, Joseph F. Reconquest and Crusade in Medieval Spain. 
  9. ^ O'Callaghan, Joseph F. (2013). Reconquest and Crusade in Medieval Spain. University of Pennsylvania Press. hlm. 18. ISBN 978-0-8122-0306-6. Diakses tanggal 23 Oktober 2017. 
  10. ^ Kinoshita, Sharon (Winter 2001). "'Pagans are wrong and Christians are right': Alterity, Gender, and Nation in the Chanson de Roland". Journal of Medieval and Early Modern Studies. 31 (1): 79–111. doi:10.1215/10829636-31-1-79. 
  11. ^ DiVanna, Isabel N. (2010). "Politicizing national literature: the scholarly debate around La Chanson de Roland in the nineteenth century". Historical Research. 84 (223): 109–134. doi:10.1111/j.1468-2281.2009.00540.x. 
  12. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 38–45. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  13. ^ Fletcher, Richard (2006). Moorish Spain. Los Angeles: University of California Press. hlm. 43. ISBN 978-0-520-24840-3. 
  14. ^ Chris Lowney, A Vanished World: Muslims, Christians, and Jews in Medieval Spain, (Oxford University Press, 2005), 40.
  15. ^ Roger Collins, Early Medieval Spain, (St.Martin's Press, 1995), 164.
  16. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 45. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  17. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 181. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  18. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 156. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  19. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 156, 159. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  20. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 212. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  21. ^ a b c d Lewis, Archibald R. (1965). The Development of Southern French and Catalan Society, 718–1050. The University of Texas Press. hlm. 20–33. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Desember 2017. Diakses tanggal 28 Oktober 2017. 
  22. ^ Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 118–126. ISBN 978-0-631-19405-7. 
  23. ^ a b Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain 710–797. Oxford, Inggris / Cambridge, Amerika Serikat: Blackwell. hlm. 177–181. ISBN 978-0-631-19405-7. 

Bibliografi

  • Bishko, Charles Julian, 1975. The Spanish and Portuguese Reconquest, 1095–1492 in A History of the Crusades, vol. 3: The Fourteenth and Fifteenth Centuries, edited by Harry W. Hazard, (University of Wisconsin Press) online edition
  • Fletcher, R. A. "Reconquest and Crusade in Spain c. 1050-1150", Transactions of the Royal Historical Society 37, 1987. pp.
  • García Fitz, Francisco, Guerra y relaciones políticas. Castilla-León y los musulmanes, ss. XI-XIII, Universidad de Sevilla, 2002.
  • García Fitz, Francisco & Feliciano Novoa Portela Cruzados en la Reconquista, Madrid, 2014.
  • Lomax, Derek William: The Reconquest of Spain. Longman, London 1978. ISBN 0-582-50209-8
  • Nicolle, David and Angus McBride. El Cid and the Reconquista 1050-1492 (Men-At-Arms, No 200) (1988), focus on soldiers
  • O´Callaghan, Joseph F.: Reconquest and crusade in Medieval Spain (University of Pennsylvania Press, 2002), ISBN 0-8122-3696-3
  • O'Callaghan, Joseph F. The Last Crusade in the West: Castile and the Conquest of Granada (University of Pennsylvania Press; 2014) 364 pages;
  • Payne, Stanley, "The Emergence of Portugal", in A History of Spain and Portugal: Volume One.
  • Reuter, Timothy; Allmand, Christopher; Luscombe, David; McKitterick, Rosamond (eds.), " The New Cambridge Medieval History", Cambridge University Press, Sep 14, 1995, ISBN 0-521-36291-1.
  • Riley-Smith, Jonathan, The Atlas of the Crusades. Facts On File, Oxford (1991)
  • Watt, W. Montgomery: A History of Islamic Spain. Edinburgh University Press (1992).
  • Watt, W. Montgomery: The Influence of Islam on Medieval Europe. (Edinburgh 1972).
  • Villegas-Aristizabal, Lucas, 2013, "Revisiting the Anglo-Norman Crusaders’ Failed Attempt to Conquer Lisbon c. 1142’, Portuguese Studies 29:1, pp. 7–20. http://www.jstor.org/stable/10.5699/portstudies.29.1.0007
  • Villegas-Aristizabal, Lucas, 2009, "Anglo-Norman Involvement in the Conquest and Settlement of Tortosa, 1148-1180", Crusades 8, pp. 63–129. http://www.academia.edu/1619392/Anglo-Norman_Intervention_in_the_Conquest_and_Settlement_of_Tortosa_Crusades_8_2009_600_dpi_black_and_white_with_OCR

Pranala luar