Anussati
Bagian dari seri tentang |
Buddhisme |
---|
Anussati (Pali; Sanskerta: anusmṛti) berarti "perenungan," "kontemplasi," "pengingatan," "pengenangan," "meditasi", dan "kewawasan".[1][2] Istilah ini merujuk pada praktik meditasi atau bakti Buddhis tertentu, seperti mengingat kembali kualitas-kualitas agung Buddha, yang menuntun pada ketenangan batin dan kegembiraan. Dalam berbagai konteks, kepustakaan Pali Theravāda dan sūtra Mahayana berbahasa Sanskerta menekankan dan mengidentifikasi berbagai jenis perenungan.
Anussati juga dapat merujuk pada pencapaian meditasi, seperti kemampuan untuk mengingat kehidupan lampau (pubbenivāsānussati), yang juga disebut ingatan sebab-akibat.[a]
Pengelompokan
suntingTiga perenungan
suntingTiga jenis perenungan:
Kitab Dhammapada (syair 296, 297 dan 298) menyatakan bahwa para siswa Buddha yang terus-menerus berlatih mengingat Triratna “akan selalu terbangun dengan bahagia”.[5] Menurut kitab Theragāthā, praktik seperti itu akan membawa pada "puncak kegembiraan yang berkelanjutan".[6]
Berbeda dengan subjek-subjek perenungan meditatif lainnya yang disebutkan dalam artikel ini, Triratna dianggap sebagai "perenungan bakti".[7] Triratna tercantum sebagai tiga subjek pertama yang diingat dalam masing-masing daftar berikut.
Lima perenungan
suntingPada hari uposatha, selain mempraktikkan Astasila, Sang Buddha memerintahkan murid-Nya untuk melakukan satu atau lebih dari lima perenungan:
Menurut Sang Buddha, bagi seseorang yang mempraktikkan perenungan seperti ini: "batinnya menjadi tenang, dan kegembiraan muncul; kekotoran dalam pikirannya ditinggalkan".[8]
Enam perenungan
suntingEnam perenungan tersebut adalah:
- Perenungan terhadap Buddha
- Perenungan terhadap Dhamma
- Perenungan terhadap Sangha
- Perenungan terhadap kemurahan hati (Pali: cāgānussati)
- Perenungan terhadap sila
- Perenungan terhadap para dewa[9][10]
Sang Buddha memberitahukan kepada salah seorang murid-Nya bahwa batin seseorang yang mempraktikkan perenungan ini "tidak dikuasai oleh hawa nafsu, tidak dikuasai oleh kebencian, tidak dikuasai oleh delusi. [c] Batinnya menjadi lurus, ... memperoleh kegembiraan yang terkait dengan Dhamma..., kegembiraan muncul..., tubuh menjadi tenang ... mengalami kemudahan..., pikiran menjadi terkonsentrasi". [11] [d]
Dalam praktik Buddhisme Mahāyāna, enam perenungan pertama umumnya diajarkan, dan Buddha-anussati terutama ditekankan dalam banyak sūtra populer, seperti sutra Buddha Pengobatan.[12]
Sepuluh perenungan
suntingDalam daftar sepuluh perenungan, daftar berikut ini ditambahkan ke enam perenungan sebelumnya:
- Perenungan terhadap kematian (Pali: maraṇānussati) atau perhatian-penuh terhadap kematian (maraṇasati)
- Perhatian-penuh terhadap napas (ānāpānassati)[e]
- Perhatian-penuh terhadap tubuh (kāyagatāsati)
- Perenungan terhadap Kedamaian [Nirwana] (upasamānussati)[13][10]
Dalam kitab Aṅguttaranikāya di Tripitaka Pali, disebutkan bahwa praktik salah satu dari sepuluh perenungan ini mengarah pada Nirwana.[14] Sepuluh Perenungan tercantum dalam daftar kammaṭṭhāna,[12] empat puluh pokok bahasan meditasi klasik yang ditemukan dalam kitab Visuddhimagga, yang berguna untuk mengembangkan konsentrasi (samādhi) yang diperlukan untuk menekan dan menyingkirkan lima rintangan selama seseorang berusaha mencapai Nirwana.[f] Meskipun Tripitaka Pali mengacu pada istilah perhatian-penuh terhadap kematian (maraṇāsati), kitab Visuddhimagga mengacu pada istilah perenungan tentang kematian (maraṇānussati).
Dalam hal pengembangan penyerapan meditatif, perhatian pada napas dapat mengarah pada keempat jhāna (penyerapan meditatif), perhatian-penuh pada tubuh hanya dapat mengarah pada jhāna pertama, sedangkan delapan perenungan lainnya berpuncak pada “konsentrasi akses” pra-jhānik (upacāra-samādhi).[7]
Perenungan terhadap kematian terhubung dengan konsep Buddhis tentang tiadanya diri/roh: para penganut Buddhisme merenungkan dan mengingat kembali tentang keniscayaan kematian mereka sendiri, dan dengan cara itu belajar memahami bahwa tubuh fisik mereka bukanlah diri/roh yang kekal.[15] Dengan sering melakukan perenungan seperti itu, diyakini bahwa motivasi dan prioritas hidup seseorang dapat terpengaruh. Praktik tersebut juga diyakini dapat membantu agar seseorang menjadi lebih realistis.[16]
Perenungan terhadap Buddha (Buddhānussati)
suntingKitab Aṅguttara Nikāya menyampaikan syair (gāthā) berikut untuk merenungi Sang Buddha:
‘itipi so bhagavā arahaṁ sammāsambuddho vijjācaraṇasampanno sugato lokavidū anuttaro purisadammasārathi satthā devamanussānaṁ buddho bhagavā’ti.
"Sang Bhagavā adalah seorang Arahat, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang sempurna menempuh Sang Jalan, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci."
Telah dikemukakan bahwa perenungan terhadap Sang Buddha yang diidentifikasi dalam Tripitaka Pali milik Theravāda mungkin menjadi dasar bagi perenungan visual yang lebih rumit, yang merupakan ciri khas dalam Buddhisme Tibet.[17][g]
Perenungan terhadap Dhamma (Dhammānussati)
suntingKitab Aṅguttara Nikāya menjelaskan syair berikut untuk merenungi Dhamma (ajaran Buddha):
‘svākkhāto bhagavatā dhammo sandiṭṭhiko akāliko ehipassiko opaneyyiko paccattaṁ veditabbo viññūhī’ti.
"Dhamma telah dibabarkan dengan baik oleh Sang Bhagavā, terlihat langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi [dalam batin masing-masing] oleh para bijaksana."
Ajaran Sang Buddha (Dhamma) memiliki enam kualitas utama:
- Svākkhāto ("telah sempurna dibabarkan"). Ajaran Buddha tidak dipandang sebagai filsafat spekulatif, melainkan pemaparan Hukum Alam yang berdasarkan analisis sebab-akibat fenomena alam. Oleh karena itu, ajaran Buddha dipandang oleh umat Buddha sebagai suatu ilmu pengetahuan, bukan sebatas sistem kepercayaan sektarian. Pemahaman penuh (kecerahan) terhadap ajaran tersebut mungkin memerlukan waktu yang bervariasi, tetapi umat Buddha secara tradisional mengatakan bahwa jalan pembelajarannya "indah di awal (sīla; 'prinsip moral'), indah di pertengahan (samādhi; 'konsentrasi'), dan indah di akhir (paññā; 'kebijaksanaan')".[18]
- Sandiṭṭhiko ("berada sangat dekat; dapat diperiksa"). Dhamma terbuka terhadap penyelidikan ilmiah dan jenis penyelidikan lainnya, dan tidak didasarkan semata-mata pada keyakinan, meskipun keyakinan awal diperlukan.[h] Hal ini dapat diuji melalui praktik pribadi dan orang yang mempraktikkannya akan melihat sendiri hasilnya melalui pengalamannya sendiri. Sandiṭṭhiko berasal dari kata sandiṭṭhika yang berarti "terlihat di dunia ini" dan berasal dari kata sandiṭṭhi. Oleh karena Dhamma bersifat kasat mata, maka Dhamma dapat "dilihat": diketahui dan dialami dalam kehidupan seseorang.
- Akāliko ("tak lapuk oleh waktu"). Dhamma mampu memberikan hasil yang langsung di sini dan saat ini. Tidak selalu perlu menunggu masa depan atau kehidupan berikutnya. Dhamma tidak berubah seiring waktu dan tidak relatif terhadap waktu.
- Ehipassiko ("mengundang untuk dibuktikan"). Dhamma mengundang semua makhluk untuk mengujinya dan datang melihatnya sendiri.
- Opanayiko ("menuntun ke dalam batin"). Jika dipraktikkan sebagai bagian dari kehidupan seseorang, Dhamma akan menuntun seseorang menuju pembebasan. Dalam kitab Visuddhimagga pascakanonis, hal ini juga disebut sebagai "Upanayanaṁ." Opanayiko berarti "dibawa ke dalam batin sendiri". Hal ini dapat dipahami dengan analogi sebagai berikut. Jika seseorang mengatakan bahwa mangga yang sudah matang rasanya lezat, dan jika beberapa orang mendengar dan mempercayainya, mereka akan membayangkan rasa mangga tersebut berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya dengan mengacu pada mangga lezat lainnya. Namun, mereka tetap tidak akan benar-benar tahu persis seperti apa rasa mangga tersebut. Selain itu, jika ada orang yang belum pernah mencicipi mangga matang sebelumnya, orang tersebut tidak akan dapat mengetahui sendiri secara pasti seperti apa rasanya. Jadi, satu-satunya cara untuk mengetahui rasa yang tepat adalah dengan mengalaminya sendiri. Dengan cara yang sama, Dhamma dikatakan sebagai opanayiko, yang berarti bahwa seseorang perlu mengalaminya sendiri untuk dapat memahaminya dengan tepat.
- Paccattaṃ veditabbo viññūhi ("dapat diselami secara langsung"). Dhamma itu "dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing". Hal ini hanya dapat diwujudkan dengan sempurna oleh para murid mulia (ariya-puggala) yang telah matang dalam kebijaksanaan tertinggi. Tidak seorang pun dapat "mencerahkan" orang lain. Setiap orang yang bijaksana harus mencapai dan mengalaminya sendiri. Sebagai analogi, tidak seorang pun dapat begitu saja membuat orang lain tahu cara berenang. Setiap orang, secara individu, harus belajar cara berenang untuk benar-benar dapat berenang. Dengan cara yang sama, Dhamma tidak dapat ditransfer atau diberikan kepada seseorang. Setiap orang harus mengetahuinya sendiri.
Mengetahui kualitas-kualitas ini, umat Buddha yakin bahwa mereka akan mencapai kedamaian dan kebahagiaan tertinggi (Nirwana) melalui praktik Dhamma. Oleh karena itu, setiap orang bertanggung jawab penuh atas dirinya sendiri untuk mengamalkannya secara nyata. Di sini, Sang Buddha diumpamakan sebagai seorang dokter yang berpengalaman dan terampil, dan Dhamma diumpamakan sebagai pengobatan yang tepat. Betapapun efisiennya dokter atau betapapun hebatnya obat, pasien tidak dapat disembuhkan kecuali mereka minum obat dengan benar. Jadi, praktik Dhamma adalah satu-satunya jalan untuk mencapai pembebasan akhir, yaitu Nirwana.
Kualitas-kualitas ini juga terkait dengan pemahaman tentang kamma (terj. har. 'perbuatan') dan pengembangan kesan baik dalam batin seseorang, untuk mencapai kecerahan penuh dengan mengenali kualitas-kualitas batiniah.
Perenungan terhadap Sangha (Saṅghānussati)
suntingKitab Aṅguttara Nikāya menyajikan syair-syair berikut untuk merenungi Sangha:
‘suppaṭipanno bhagavato sāvakasaṅgho, ujuppaṭipanno bhagavato sāvakasaṅgho, ñāyappaṭipanno bhagavato sāvakasaṅgho, sāmīcippaṭipanno bhagavato sāvakasaṅgho, yadidaṁ cattāri purisayugāni aṭṭha purisapuggalā, esa bhagavato sāvakasaṅgho āhuneyyo pāhuneyyo dakkhiṇeyyo añjalikaraṇīyo anuttaraṁ puññakkhettaṁ lokassā’ti.
"Saṅgha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan yang benar, mempraktikkan jalan yang selayaknya; yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia."
‘lābhā vata me, suladdhaṁ vata me, yassa me kalyāṇamittā anukampakā atthakāmā ovādakā anusāsakā’ti.
Sungguh suatu keberuntungan dan nasib baik bagiku bahwa aku memiliki teman-teman baik yang berbelas kasihan padaku, yang menginginkan kebaikanku, yang menasihati dan mengajariku.
Berlatih dengan baik, atau berlatih dengan integritas, berarti berbagi apa yang telah dipelajari dengan orang lain.
Perenungan terhadap sila (Sīlānussati)
suntingKitab Aṅguttara Nikāya menyajikan syair berikut untuk mengingat kebajikan:
... attano sīlāni anussareyyāsi akhaṇḍāni acchiddāni asabalāni akammāsāni bhujissāni viññuppasatthāni aparāmaṭṭhāni samādhisaṁvattanikāni.
"... engkau harus mengingat perilaku bermoralmu sendiri sebagai tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Ketika seorang siswa mulia mengingat perilaku bermoralnya, pada saat itu batinnya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau delusi; pada saat itu batinnya lurus, berdasarkan pada perilaku bermoral."
Perenungan terhadap kedermawanan (Cāgānussati)
suntingKitab Aṅguttara Nikāya menyajikan syair berikut untuk merenungi kemurahan hati:
‘lābhā vata me, suladdhaṁ vata me, yohaṁ maccheramalapariyuṭṭhitāya pajāya vigatamalamaccherena cetasā agāraṁ ajjhāvasāmi muttacāgo payatapāṇi vossaggarato yācayogo dānasaṁvibhāgarato’ti.
"Sungguh suatu keberuntungan dan nasib baik bagiku bahwa dalam populasi yang dikuasai oleh noda kekikiran, aku berdiam di rumah dengan batin yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam pelepasan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi."
Perenungan terhadap para dewa (Devatānussati)
suntingKitab Aṅguttara Nikāya menyajikan syair-syair berikut untuk merenungi para dewa:
‘santi devā cātumahārājikā, santi devā tāvatiṁsā, santi devā yāmā, santi devā tusitā, santi devā nimmānaratino, santi devā paranimmitavasavattino, santi devā brahmakāyikā, santi devā tatuttari. Yathārūpāya saddhāya samannāgatā tā devatā ito cutā tatthūpapannā, mayhampi tathārūpā saddhā saṁvijjati. Yathārūpena sīlena samannāgatā tā devatā ito cutā tatthūpapannā, mayhampi tathārūpaṁ sīlaṁ saṁvijjati. Yathārūpena sutena samannāgatā tā devatā ito cutā tatthūpapannā, mayhampi tathārūpaṁ sutaṁ saṁvijjati. Yathārūpena cāgena samannāgatā tā devatā ito cutā tatthūpapannā, mayhampi tathārūpo cāgo saṁvijjati. Yathārūpāya paññāya samannāgatā tā devatā ito cutā tatthūpapannā, mayhampi tathārūpā paññā saṁvijjatī’ti.
Ada para dewa [yang dipimpin oleh] empat raja dewa, para dewa Tāvatiṁsa, para dewa Yāma, para dewa Tusita, para dewa yang bersenang dalam penciptaan, para dewa yang mengendalikan ciptaan para dewa lain, para dewa kumpulan Brahmā, dan para deva yang lebih tinggi daripada para deva ini. Dalam diriku juga terdapat keyakinan seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana; dalam diriku juga terdapat perilaku bermoral … pembelajaran … kedermawanan … kebijaksanaan seperti yang dimiliki oleh para dewata itu yang karenanya, ketika mereka meninggal dunia dari sini, mereka terlahir kembali di sana.
‘yā devatā atikkammeva kabaḷīkārāhārabhakkhānaṁ devatānaṁ sahabyataṁ aññataraṁ manomayaṁ kāyaṁ upapannā, tā karaṇīyaṁ attano na samanupassanti katassa vā paticayaṁ’.
"Para dewata itu yang telah terlahir kembali dalam tubuh ciptaan-batin dalam kumpulan para dewa yang melampaui mereka yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan tidak melihat apa pun dalam diri mereka yang masih harus dilakukan atau [apa pun yang perlu] ditingkatkan atas apa yang telah dilakukan, demikianlah para dewata itu yang telah terlahir kembali dalam tubuh ciptaan-batin dalam kumpulan para dewa yang melampaui mereka yang bertahan hidup dari makanan yang dapat dimakan."
Perenungan terhadap kematian (Maraṇānussati)
suntingPerenungan terhadap kematian (maraṇānussati) atau perhatian-penuh terhadap kematian (maraṇasati) dilakukan dengan merenungi kenyataan bahwa: "Kematianku pasti terjadi. Aku bisa mati kapan saja. Ketika mati, aku harus meninggalkan segalanya."[19]
“Katamāni pañca?
[1] ‘Jarādhammomhi, jaraṁ anatīto’ti ...
[2] ‘Byādhidhammomhi, byādhiṁ anatīto’ti ...
[3] ‘Maraṇadhammomhi, maraṇaṁ anatīto’ti ...
[4] ‘Sabbehi me piyehi manāpehi nānābhāvo vinābhāvo’ti ...
[5] ‘Kammassakomhi, kammadāyādo kammayoni kammabandhu kammapaṭisaraṇo.
Yaṁ kammaṁ karissāmi—kalyāṇaṁ vā pāpakaṁ vā—tassa dāyādo bhavissāmī’ti ..."
"Ada lima hal yang hendaknya sering direnungi:
1. Aku wajar lapuk, tak mengatasi pelapukan.
2. Aku wajar sakit, tak mengatasi penyakit.
3. Aku wajar mati, tak mengatasi kematian.
4. Semua yang aku sayangi dan senangi akan terpisah dan berpisah
5. Pemilik perbuatan, waris perbuatan, berasal dari perbuatan, terhubung dengan perbuatan, terlindung oleh perbuatan. Perbuatan yang kulakukan, kebajikan atau kejahatan, aku akan menjadi waris itu."— Abhiṇhapaccavekkhitabbaṭhāna Sutta (AN 5.57)
Perenungan terhadap kedamaian
suntingPerenungan terhadap kedamaian (upasamānussati) merujuk pada perenungan terhadap sifat-sifat Nirwana, seperti berakhirnya penderitaan dan seterusnya.[20]
Perenungan terhadap napas dan tubuh
suntingDua perenungan terakhir, yaitu perhatian-penuh terhadap napas (ānāpānasati) dan perhatian-penuh terhadap tubuh (kāyagatāsati) dijelaskan dalam diskursus-diskursus (sutta) terkait di Tripitaka Pali:
- Ānāpānasati Sutta untuk penjelasan ānāpānasati
- Kāyagatāsati Sutta untuk penjelasan kāyagatāsati
Lihat juga
sunting- Kammaṭṭhāna (Objek Meditasi Theravāda)
- Dhammapada (syair 296 sampai 301)
- Upajjhaṭṭhana Sutta (Lima Perenungan)
- Patikulamanasikara
- Pelatihan bertahap (Paṭipatti)
- Jarāmaraṇa (Penuaan dan Kematian)
- Punarbawa
Catatan
sunting- ^ A stock phrase in the Nikayas says that one accomplished in dhyana recalls one's own past lives, as a prelude to awakening.[3] In this case, anussati is not a meditative subject to achieve jhanic absorption or devotional bliss; it is the actual fruit of practice.
An example of one who has achieved such a power is described in the following manner by the Buddha in the "Lohicca Sutta" (DN 12):
- "With his mind thus concentrated, purified, & bright, unblemished, free from defects, pliant, malleable, steady, & attained to imperturbability, he directs & inclines it to knowledge of the recollection of past lives (terj. har. 'previous homes'). He recollects his manifold past lives, i.e., one birth, two births, three births, four, five, ten, twenty, thirty, forty, fifty, one hundred, one thousand, one hundred thousand, many aeons of cosmic contraction, many aeons of cosmic expansion, many aeons of cosmic contraction & expansion, [recollecting], 'There I had such a name, belonged to such a clan, had such an appearance. Such was my food, such my experience of pleasure & pain, such the end of my life. Passing away from that state, I re-arose there. There too I had such a name, belonged to such a clan, had such an appearance. Such was my food, such my experience of pleasure & pain, such the end of my life. Passing away from that state, I re-arose here.' Thus he recollects his manifold past lives in their modes & details...."[4]
- ^ For an example, see reference to this type of recollection in Dhammapada, Ch. 21, vv. 296-8[5]
- ^ For more information about the import of passion, aversion, and delusion in Buddhism, see kilesa.
- ^ As suggested by this quote and discussed further below, Gunaratana 1988 states that meditation on these recollected subjects leads to "access concentration" but not to higher jhanic attainment.
- ^ For canonical material associated with the recollections of death, body, and breath Bullitt 2005 refers readers to the mindfulness (sati) practices identified in the Satipatthana Sutta.
- ^ See, for instance, Buddhaghosa 1999, hlm. 90, ff.
- ^ For an example of the subject of a typically Tibetan Buddhist visualisation, see Tara (Buddhism).
- ^ The Buddha had in fact required that his teaching be scrutinised to see for oneself.
- "Thathagathappavedito bhikkave dhamma vinayo vivato virochathi, no patichchanto."
- "The Dhamma vinaya of the Tathagata shines when opened for scrutiny, not when kept closed."
- Anguttara Nikayo, Thika Nipatho, Harandu vaggo, Sutta 9
Referensi
sunting- ^ Rhys Davids & Stede (1921), hlm. 45, "Anussati".
- ^ Fischer-Schreiber, Ehrhard & Diener (1991), hlm. 10.
- ^ Anālayo (2006), hlm. 47.
- ^ Thanissaro (1998).
- ^ a b Buddharakkhita (1996).
- ^ Thanissaro (2002).
- ^ a b Gunaratana (1988).
- ^ Thanissaro (1997b).
- ^ Anālayo (2006).
- ^ a b Rhys Davids & Stede (1921), hlm. 45.
- ^ a b c d e f g Thanissaro (1997a).
- ^ a b Kumar (2002).
- ^ Buddhaghosa (1999), hlm. 90.
- ^ a b c Sujato (2015).
- ^ Harvey (2013), hlm. 35.
- ^ Goodman (2013).
- ^ Kamalashila (1996), hlm. 227.
- ^ Goenka (2003).
- ^ Vijjānanda, Handaka (2023). Dīpaloka, Andreas, ed. Mā Bhāyi: Jangan Takut (edisi ke-2). Ehipassiko Foundation. hlm. 39. ISBN 978-623-7449-10-2.
- ^ Maha Thera, Narada (1987). A Manual of Abhidhanmna: Orginal Pali Text with English Translation. Kuala Lumpur: Buddhist Missionary Society. ISBN 967-9920-42-9.
Daftar pustaka
sunting- Anālayo (2006). Satipaṭṭhāna: The Direct Path to Realization. Birmingham, England: Windhorse Publications. ISBN 1-899579-54-0.
- Buddharakkhita, Acharya (trans.) (1996), Pakinnakavagga: Miscellaneous (Dhammapada 21) Available online at www
.accesstoinsight .org /tipitaka /kn /dhp /dhp .21 .budd .html. - Buddhaghosa (1999). The Path of Purification: Visuddhimagga. Diterjemahkan oleh Bhadantacariya; Nanamoli. Seattle: BPS Pariyatti Editions. ISBN 1-928706-00-2.
- Bullitt, John T. (2005), General Index: Ten Recollections Available online at www
.accesstoinsight .org /index-subject .html #recollections. - Fischer-Schreiber, Ingrid; Ehrhard, Franz-Karl; Diener, Michael S. (1991). The Shambhala Dictionary of Buddhism and Zen. Diterjemahkan oleh Kohn, Michael H. Boston: Shambhala. ISBN 0-87773-520-4.
- Goenka, S. N. (2003). Meditation Now: Inner Peace through Inner Wisdom (dalam bahasa Inggris). Pariyatti Publishing. ISBN 978-1-938754-35-7.
- Gunaratana, Henepola (1988). The Jhanas in Theravada Buddhist Meditation. Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. ISBN 955-24-0035-X. Available online at www
.budsas .org /ebud /jhanas /jhanas0a .htm. - Goodman, Charles (2013). "Buddhist Meditation" (PDF). Dalam Emmanuel, Steven M. A Companion to Buddhist Philosophy. Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell. hlm. 569. ISBN 978-0-470-65877-2. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal March 16, 2015.
- Harvey, Peter (2013). "Dukkha, non-self, and the "Four Noble Truths"" (PDF). Dalam Emmanuel, Steven M. A Companion to Buddhist Philosophy. Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell. hlm. 35. ISBN 978-0-470-65877-2. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal March 16, 2015.
- Kamalashila, Dharmachari (1996). Meditation: the Buddhist way of tranquillity and insight (edisi ke-2nd). Birmingham: Windhorse. ISBN 1-899579-05-2. Diarsipkan 5 April 2005 di Wayback Machine..
- Kumar, Bimalendra (2002). "Anusmriti in Theravada and Mahayana Texts". Buddhist Himalaya. 11. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 October 2005.
- Mahathera, Nyanatiloka (1980). "Anussati" (PDF). Buddhist Dictionary: Manual of Buddhist Terms and Doctrines (edisi ke-4th revised). Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. hlm. 20–21. ISBN 955-24-0019-8.
- Rhys Davids, Thomas William; Stede, William Stede, ed. (1921). Pali–English Dictionary. Chipstead: Pali Text Society. A general online search engine for this dictionary is available at dsal
.uchicago .edu /dictionaries /pali /. - Sujato, Bhante (trans.) (2015). Numbered Discourses. SuttaCentral.
- Thanissaro (trans.) (1997a). Mahanama Sutta: To Mahanama (1) (Anguttara Nikaya 11.12). Available online at www
.accesstoinsight .org /tipitaka /an /an11 /an11 .012 .than .html. - Thanissaro (trans.) (1997b). Muluposatha Sutta: The Roots of the Uposatha (Anguttara Nikaya 3.70). Available online at www
.accesstoinsight .org /tipitaka /an /an03 /an03 .070 .than .html. - Thanissaro (trans.) (1998). Lohicca Sutta: To Lohicca (Digha Nikaya 12). Available online at www
.accesstoinsight .org /tipitaka /dn /dn .12 .0 .than .html. - Thanissaro (trans.) (2002). Tekicchakani (Theragatha 6.2). Available online at www
.accesstoinsight .org /tipitaka /kn /thag /thag .06 .02 .than .html.
Pranala luar
sunting- The Ten Recollections: A Study Guide, oleh Thanissaro Bhikkhu (1999).