Penyimpanan makanan
Penyimpanan makanan atau bahan makanan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mencegah pembusukan makanan sehingga dapat memperpanjang masa penyimpanan, menjaga kualitas dan ketersediaan makanan di sepanjang waktu. Berdasarkan ketahanannya, makanan dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu makanan tahan lama, makanan semi-tahan lama dan makanan tidak tahan lama. Metode penyimpanan makanan telah dilakukan sejak masih berupa bahan makanan segar (hasil panen). Kemudian dilakukan pula saat pengolahan, pemrosesan, pengemasan hingga pendistribusian produk. Ada pun teknologi penyimpanan makanan yang sering dilakukan antara lain dengan menggunakan bahan kimia dan mikroba (fermentasi), pengendalian kandungan air, struktur makanan (pengeringan, dehidrasi osmotik, aktivitas air dan penggunaan membran), penggunaan panas dan energi (pasteurisasi, pengalengan, pemasakan dan penggorengan, pembekuan-pencairan untuk makanan cair, pembekuan, oven gelombang mikro, ultrasonik, energi cahaya matahari, iradiasi, detak gelombang elektromagnetik, pemrosesan dengan tekanan tinggi, medan magnet dan kombinasi di antaranya).[1]
Penyimpanan bahan makanan yang tidak baik, terutama pada jasa boga dan katering, dapat membuat bahan makanan menjadi cepat rusak.[2] Tujuan penyimpanan makanan adalah untuk mencegah agar diri sendiri dan orang lain tidak terjangkit penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme, seperti Salmonella, E.coli dan C. botullinum yang dapat menyebabkan botulisme. Menjaga makanan tetap dingin pada suhu yang tepat dapat membantu mencegah atau memperlambat pertumbuhan bakteri ini.[3]
Kebiasaan manusia purba dalam menyimpan makanan
suntingSebelum ditemukannya kulkas, manusia harus menemukan cara yang tepat untuk mengawetkan makanan. Beberapa praktik pengawetan makanan yang telah dilakukan sejak masa lampau adalah penggaraman, pengeringan, pengasapan dan fermentasi. Manusia purba memiliki beberapa cara yang cukup efektif untuk menyimpan makanan agar lebih awet, seperti menyimpan makanan di kolam atau rawa. Hal ini dibuktikan melalui sejumlah bukti paleontologi dan arkeologi, seperti yang ditemukan di Amerika Utara, di mana ada suatu kolam dengan suhu dan kandungan oksigen rendah yang biasa digunakan untuk menyimpan sisa daging buruan. Daging binatang yang disembelih dipotong-potong dalam ukuran besar kemudian disimpan dalam air di kolam kecil dekat tempat penyembelihan sehingga daging dapat dikonsumsi pada musim panas berikutnya.[4]
Manusia purba juga biasa menyimpan makanannya dengan cara dikubur untuk melindungi makanan dari paparan sinar matahari, panas dan oksigen yang bisa mempercepat proses pembusukan makanan. Biasanya mereka akan menaruh makanan di rawa. Meski rawa merupakan lahan basah, rawa memiliki suhu yang sesuai, rendah oksigen dan tingkat keasaman yang tinggi sehingga cocok untuk mengawetkan makanan agar tidak mudah rusak. Cara ini pernah diterapkan pada peradaban kuno di Eropa Utara untuk mengawetkan makanan, termasuk mentega.[4]
Di wilayah empat musim, proses pengawetan daging dengan pendinginan ditemukan secara tidak sengaja oleh manusia purba ketika menemukan bahwa daging hasil buruan tidak mudah busuk karena ada es di sekelilingnya.[5]
Hal yang sama juga diterapkan oleh orang-orang Romawi dan Yunani kuno yang memiliki kebiasaan mengawetkan daging dengan es alam. Mereka mengangkut salju dari pegunungan dan menyimpannya di ruang bawah tanah. Di ruang bawah tanah itulah es alam diawetkan dengan cara diselimuti jerami. Di negara tropis yang tidak mengenal musim salju, orang-orang India dan Mesir membuat salju dengan cara penguapan cepat. Teori penguapan cepat inilah yang kemudian mendasari penciptaan kulkas yang sekarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.[6]
Penyimpanan daging
suntingPendinginan pada suhu kulkas merupakan cara paling sederhana dan sering dilakukan untuk mengawetkan dan memperpanjang masa penyimpanan daging. Pendinginan dilakukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri karena suhu dingin akan menurunkan energi kinetik semua molekul dalam sistem sehingga dapat menurunkan kecepatan reaksi kimia, termasuk aktivitas metabolisme sel bakteri. Meskipun pendinginan dapat menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi ada juga bakteri tertentu yang bisa hidup pada suhu dingin kulkas, misalnya kapang, bakteri psikrofilik dan beberapa bakteri penghancur racun. Lamanya penyimpanan daging juga berpengaruh besar terhadap pertumbuhan bakteri. Semakin lama daging disimpan pada suhu ruang, semakin banyak pula basa yang dihasilkan akibat peningkatan aktivitas mikroorganisme. Akibatnya terjadilah proses pembusukan yang diikuti dengan peningkatan pertumbuhan bakteri.[7]
Hal ini disebabkan oleh aktivitas mikroba selama penyimpanan pada suhu ruang sehingga terjadi dekomposisi senyawa kimia dalam daging, terutama protein yang akan dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana. Apabila proses ini berlanjut terus, ia akan menghasilkan senyawa yang berbau busuk, seperti indol, skatol, merkaptan, amina-amina dan hidrogen sulfida. Di antara senyawa-senyawa tersebut, hanya merkaptan dan hidrogen sulfida yang merupakan asam lemah, sedangkan yang lain merupakan basa dan basa kuat.[8]
Setiap budaya dan restoran memiliki cara tersendiri dalam menyimpan daging sehingga menghasilkan kualitas rasa yang diinginkan. Teknik ini disebut dengan beef aging, yaitu penyimpanan di dalam ruangan dengan kondisi iklim mikro (temperatur, kelembapan) yang telah ditentukan dalam waktu beberapa hari sehingga menghasilkan kualitas daging tertentu.[9][10] Termasuk juga untuk daging hewan buruan.[11]
Jika daging tidak ingin langsung diolah, daging segar dan produk olahan daging harus disimpan dalam kulkas agar awet. Lamanya penyimpanan di kulkas maupun freezer tergantung pada jenis dagingnya. Daging merah mentah, seperti daging sapi, kambing, domba dan babi, dapat bertahan selama 3-4 hari jika disimpan dalam kulkas, dan 4-12 bulan di dalam freezer, tergantung jenis dagingnya. Daging merah matang bisa disimpan selama 3-4 hari dan 2-6 bulan jika di freezer. Masa simpan daging unggas mentah adalah 1-2 hari di kulkas dan 9 bulan di dalam freezer. Daging unggas utuh bisa bertahan hingga 1 tahun jika dibekukan. Masa simpan daging unggas matang sama dengan daging merah matang, yaitu 3-4 hari di kulkas dan 2-6 bulan jika di freezer. Daging giling, baik yang berasal dari daging sapi, domba atau ayam, bisa bertahan 1-2 hari di kulkas dan 3-4 bulan di freezer. Produk daging olahan, seperti sosis, kornet, sepek (bacon), ham, daging asap dan salami, bisa bertahan hingga 2 minggu dalam kulkas selama produk tersegel sempurna. Apabila bungkusnya sudah dibuka, daging olahan hanya bisa bertahan sekitar 5-7 hari dalam kulkas dan 1-2 bulan dalam freezer. Sementara untuk makanan laut, seperti ikan makarel, teri, salmon, sarden, yang tergolong ikan berlemak hanya boleh bertahan selama 2-3 bulan demi menjaga kualitasnya.[12]
Penyimpanan sayur dan buah
suntingKerusakan hortikultura (pada sayur dan buah) bisa terjadi lebih cepat jika penanganan selama dan setelah panen kurang baik. Sayuran bersifat mudah rusak sehingga lebih diutamakan untuk dikonsumsi dalam keadaan segar. Salah satu proses penting dalam penanganan pascapanen adalah penyimpanan. Penyimpanan produk sayuran segar bertujuan untuk memperpanjang daya gunanya dan dalam keadaan tertentu dapat memperbaiki mutu sayuran tersebut.[13]
Pendinginan sayur dan buah dimulai segera setelah dipanen dan dilanjutkan terus selama perjalanan, penggudangan, perdagangan, penyimpanan hingga konsumsi atau pengolahan lebih lanjut. Cara ini dilakukan untuk menahan atau mengurangi penyebab pembusukan, baik karena mikroba maupun kerusakan fisiologis yang berasal dari bahan dalam sayur dan buah tersebut. Ada pun hal-hal yang harus diperhatikan dalam pendinginan adalah kualitas bahan makanan yang hendak didinginkan, suhu ruang pendingin, kelembapan udara ruang pendingin, sirkulasi udara dan jarak tumpukan dalam ruang pendingin. Karakteristik penyimpanan sayur dan buah berbeda-beda tergantung jenisnya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti varietas, iklim tempat tumbuh, kondisi tanah, cara budidaya tanaman, derajat kematangan dan cara penanganan yang dilakukan sebelum disimpan.[14]
Penyimpanan bahan makanan pokok
suntingBeras merupakan komoditas penting karena menjadi makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Peningkatan produksi beras yang dilakukan dengan memperluas area tanam, intensifikasi pertanian dan penggunaan varietas-varietas unggul nasional dilakukan untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan beras masyarakat. Selain aspek produksi, aspek pascapanen juga perlu diperhatikan dalam rangka memenuhi ketersediaan beras untuk masyarakat karena adanya potensi kehilangan hasil saat pascapanen. Salah satu hal penting dalam rangkaian kegiatan pascapanen beras adalah penyimpanan. Ada pun institusi di Indonesia yang diberi mandat untuk menyimpan beras dalam jumlah besar adalah Badan Urusan Logistik (Bulog).[15][16]
Selama penyimpanan, beras dapat mengalami kerusakan, umumnya karena serangan hama-hama gudang, seperti serangga, tungau, tikus, burung dan kapang. Serangga merupakan penyebab terbesar kerusakan bahan pangan dan menyebabkan penurunan kualitas serta kuantitas beras yang disimpan. Ada tiga faktor yang memicu serangan hama gudang pada komoditas bahan pangan yang disimpan, yaitu keadaan komoditas atau bahan simpan, kondisi gudang dan iklim mikro gudang yang mempengaruhi laju kerusakan komoditas yang disimpan. Oleh karena itu, gudang penyimpanan harus selalu dijaga kebersihannya dan dilakukan perawatan rutin pada komponen gudang untuk mencegah perkembangbiakkan serangga hama. Selain itu, ketersediaan alat pengukur suhu dan kelembapan gudang juga diperlukan.[16]
Pola konsumsi masyarakat berbeda-beda di masing-masing daerah tergantung potensi daerah dan struktur budaya masyarakat. Jagung merupakan salah satu jenis tanaman biji-bijian (serealia) yang juga menjadi sumber bahan pangan bagi sebagian besar penduduk dunia selain padi atau beras. Di Pulau Timor, misalnya, jagung menjadi makanan pokok dan pakan ternak. Masyarakat Timor Tengah Utara (TTU) biasa menyimpan hasil panen jagung dengan cara pengasapan di dapur kemudian disimpan dalam lopo atau lumbung.[17]
Bahan pangan jenis biji-bijian dapat lebih tahan lama dengan menerapkan penyimpanan yang baik, seperti tempat penyimpanan yang bersih (termasuk lantai tempat penyimpanan harus bersih dari telur serangga dan serangga apa pun), biji-bijian harus dikeringkan hingga kadar air yang lebih rendah, mengontrol suhu secara rutin dan meningkatkan sirkulasi udara tempat penyimpanan.[18]
Selain bahan pangan yang berasal dari jenis biji-bijian, ada juga bahan pangan yang tergolong ke dalam jenis umbi-umbian. Umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat, terutama dalam bentuk pati, yang menjadi makanan pokok di beberapa negara di Asia dan Afrika. Di Indonesia, selain sebagai bahan pangan, umbi-umbian juga menjadi bahan baku berbagai produk industri, seperti tapioka, pati termodifikasi, gula cair dan sebagainya. Umbi-umbian yang banyak tumbuh di Indonesia antara lain singkong, ubi jalar, kentang, talas-talasan (aroids), gadung-gadungan (yam atau Dioscorea), garut, kimpul, kentang hitam, suweg, porang dan lain-lain.[19]
Hal pertama yang harus diperhatikan dalam penyimpanan umbi-umbian agar lebih tahan lama adalah memilih umbi-umbian yang masih segar. Kemudian tidak mencampurkan umbi yang masih segar dengan yang sudah busuk dalam satu wadah. Penyimpanan umbi-umbian juga tidak boleh dicampur dengan bumbu dapur karena masing-masing memiliki jangka waktu penyimpanan yang berbeda. Umbi-umbian harus disimpan di tempat terbuka, kering, tidak lembap, tidak terkena sinar matahari langsung dan disimpan pada suhu ruang. Khusus untuk singkong, singkong dapat dikupas dan dicuci bersih terlebih dulu sebelum disimpan dalam wadah tertutup berisi air yang menutupi seluruh permukaan singkong. Singkong dapat disimpan dalam chiller hingga satu bulan dengan ketentuan air harus diganti setiap 5-7 hari sekali.[20]
Penyimpanan rempah-rempah dan herba
suntingRempah-rempah didefinisikan sebagai tanaman eksotik, aromatik dengan rasa yang kuat. Dalam bahasa Inggris, rempah-rempah disebut spices, yang berasal dari kata dalam bahasa Latin, species, yang berarti jenis khusus. Nama tersebut mencerminkan fakta bahwa semua bagian tanaman telah dibudidayakan karena aromatisitas, keharuman, kepedasan atau manfaat lain yang yang diinginkan, termasuk yang diperoleh dari biji (adas manis, jinten dan ketumbar), daun (daun ketumbar, daun kari, daun salam, mint), beri-berian (allspice, juniper, lada hitam), kulit kayu (kayu manis), kernel (pala), arilus (fuli), batang (kucai), tangkai (serai), rimpang (jahe, kunyit, lengkuas), akar (lovage, lobak), bunga (safron), umbi (bawang putih, bawang merah), buah (adas bintang, kapulaga, cabai) dan kuncup bunga (cengkih). Bagi banyak orang di seluruh dunia, rempah-rempah mampu menstimulasi nafsu makan, menambahkan rasa dan tekstur pada makanan serta mempercantik tampilan makanan. Rempah-rempah juga sering digunakan dalam pembuatan parfum, kosmetik, obat-obatan dan berbagai ritual keagamaan. Rempah-rempah dibedakan dengan herba yang meskipun fungsinya sama, tetapi herba sering digunakan untuk merujuk pada bagian dari tanaman berdaun hijau, sayuran aromatik dan buah-buahan kering.[21][22]
Rempah-rempah dan herba yang dibeli di toko harus disimpan di wadah aslinya untuk menjaga kualitas. Rempah-rempah curah yang dibeli dalam jumlah khusus dan rempah-rempah yang dikeringkan harus disimpan dalam wadah food grade yang tutupnya kedap udara. Penyimpanan di freezer juga bisa dilakukan untuk memperpanjang masa simpan rempah-rempah dan herba kering. Rempah-rempah dan herba tidak boleh ditempatkan di bawah sinar matahari langsung karena akan mempengaruhi warna, rasa dan teksturnya.[23]
Penyimpanan susu dan produk susu
suntingSecara alamiah, susu mengandung bakteri yang berasal dari puting, ambing dan rambut. Jika tidak ditangani secara tepat dapat menyebabkan bakteri dalam susu berkembang dengan cepat. Mikroorganisme lainnya bisa masuk ke dalam susu jika selama proses pemerahan, transportasi dan penyimpanan tidak menggunakan menggunakan peralatan yang bersih, terjaga dan steril. Di sisi lain, kandungan gizi yang lengkap menyebabkan susu sebagai media tumbuh yang paling baik bagi perkembangbiakkan mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit bagi manusia.[24]
Pada susu fermentasi, pertumbuhan bakteri asam laktat sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerja enzim laktase atau asam laktat telah terbentuk secara maksimal sehingga tidak terdapat peningkatan total asam tertitrasi dan penurunan pH yang membuat pertumbuhan bakteri terhambat.[25]
Pada keju, apabila disimpan pada suhu ruang, ia akan berjamur. Sementara jika disimpan di kulkas, tetapi tampak kering dan retak-retak, itu artinya keju sudah tidak layak dikonsumsi.[26]
Ketika membeli susu di toko, hendaknya memilih susu yang kemasannya tersegel rapat untuk mencegah terjadinya perubahan bau dan rasa. Disarankan pula untuk lebih memilih susu pasteurisasi dibandingkan susu mentah karena susu mentah organik pun bisa saja mengandung bakteri berbahaya yang dapat menimbulkan penyakit serius bahkan kematian. Penyimpanan susu dan produk susu lainnya dilakukan pada bagian terdingin dari kulkas, bukan pada pintu kulkas karena lebih rentan terpapar udara yang lebih hangat akibat membuka dan menutup pintu kulkas. Keju keras, seperti cheddar, gouda, edam dan keju swiss, disimpan dengan cara dibungkus secara berlapis dengan kertas lilin atau perkamen sebagai lapisan dalam dan bungkus plastik sebagai lapisan luar. Hal ini bisa membuat keju bertahan selama 3-4 minggu di kulkas setelah dibuka.[27]
Keamanan makanan
suntingPenyimpanan makanan meski bertujuan mencegah masuknya penyakit, tetapi juga dapat menimbulkan penyakit terutama jika tidak dilakukan secara higienis. Bakteri penyebab botulisme dapat berkembang dengan baik pada kondisi tanpa oksigen yang biasanya tercipta pada wadah yang tertutup rapat.[28]
Akses pada keamanan dan gizi makanan merupakan kunci dari hidup sehat dan keberlangsungan hidup. Makanan yang keamanannya tidak terjamin mengandung bakteri, virus, parasit atau zat kimia berbahaya yang dapat menyebabkan lebih dari 200 penyakit berbeda, mulai dari diare hingga kanker. Keamanan, gizi dan ketahanan pangan juga saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, ketidakamanan pangan menciptakan lingkaran setan penyakit dan malnutrisi yang khususnya dialami oleh bayi, anak-anak, lansia dan orang sakit.[29]
Makanan yang disimpan dalam kondisi beku dapat mencegah pertumbuhan bakteri, tetapi tidak membunuhnya. Sehingga makanan yang dikembalikan kondisinya dari pembekuan masih memiliki risiko pertumbuhan bakteri lebih besar dibandingkan sebelum dibekukan.[30] Menurut Marotz (2008), makanan yang akan dikembalikan dari kondisi beku tidak boleh dilakukan pada kondisi temperatur ruang. Makanan tersebut harus dipanaskan dengan oven atau oven gelombang mikro, dimasak langsung, atau secara perlahan dari temperatur dingin.[28]
Lemak dan minyak nabati maupun hewani dapat menjadi rusak dengan cepat jika tidak disimpan dengan benar karena proses oksidasi. Semakin tinggi kadar lemak tak jenuh gandanya, semakin cepat oksidasi terjadi. Penyimpanan minyak dan lemak sebaiknya dilakukan dengan pendinginan segera setelah kemasan dibuka.[31]
Rotasi makanan
suntingRotasi makanan adalah mengutamakan pengolahan, penyajian, dan konsumsi makanan yang telah berada di ruang penyimpanan makanan paling lama sehingga mencegah makanan menjadi tidak layak dan menjadi sampah makanan. Makanan yang terlalu lama berada di dalam penyimpanan berpotensi menjadi rusak kualitasnya dan tidak aman dikonsumsi sehingga kemungkinan besar akan terbuang. Pemberian label pada kemasan merupakan cara yang termudah untuk dilakukan.[32]
Beberapa bisnis, seperti katering, retail atau manufaktur, seringkali harus menangani persediaan makanan dalam jumlah besar. Para staf yang bekerja di industri ini harus melakukan rotasi persediaan yang tepat demi efisiensi dan menjaga keamanan makanan. Salah satu metode rotasi persediaan yang biasa digunakan dalam penyimpanan makanan adalah First-In-First-Out atau FIFO (masuk pertama keluar pertama). Caranya adalah dengan menempatkan produk-produk yang memiliki masa kadaluwarsa paling cepat di bagian depan dan produk-produk yang memiliki masa kadaluwarsa paling lama di bagian belakang. Dengan menerapkan metode FIFO, persediaan yang memiliki masa kadaluwarsa paling cepat bisa terjual lebih dulu. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan kesegaran dan meminimalkan limbah.[33]
Kondisi darurat
suntingSebagai negara dengan kondisi geografis yang berada di dalam Cincin Api Pasifik, Indonesia termasuk negara yang rawan mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi. Selain menimbulkan korban jiwa dan berbagai kerusakan, bencana alam juga mengganggu ketersediaan pangan di daerah rawan bencana dan mengakibatkan kerawanan pangan. Ketersediaan beras dan mi instan sebagai cadangan makanan masih menjadi solusi atas masalah rawan pangan, termasuk kondisi tanggap darurat. Namun, hal ini tidak menyelesaikan masalah karena untuk mengolah beras atau mi instan agar menjadi makanan yang dapat dikonusmsi membutuhkan ketersediaan air bersih yang memadai. Sementara dalam keadaan darurat, ketersediaan, kuantitas dan kualitas air bersih sering menjadi kendala. Oleh karena itu, diperlukan konsep pangan darurat yang dapat dimanfaatkan jika sewaktu-waktu terjadi bencana.[34]
Pembuatan makanan darurat harus dapat memenuhi kebutuhan gizi dan energi harian. Produk makanan darurat hendaknya mengandung energi sebesar 2.150 kkal per hari yang setara dengan kebutuhan kalori orang dewasa. Ada pun syarat lain yang harus dipenuhi dari produk makanan darurat adalah dapat dikonsumsi tanpa perlu memasak, dapat diterima oleh semua etnis dan agama, tidak mengandung bahan yang dapat menimbulkan alergi, dapat dijatuhkan dari udara tanpa merusak produk, memiliki elemen gizi yang memadai (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan antioksidan) dan memiliki kestabilan dalam organoleptik dan mikrobiologis. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah teknik pengawetan yang dapat mencegah tumbuhnya jamur dan bakteri patogen dalam waktu yang relatif lama.[35]
Makanan yang harus disimpan untuk bisa bertahan dalam kondisi darurat akibat bencana alam adalah makanan yang memiliki masa kadaluwarsa lama, seperti makanan kemasan atau makanan kaleng.[36]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ Sari, Dessy Agustina; Hadiyanto, H. (2013). "Teknologi dan Metode Penyimpanan Makanan Sebagai Upaya Memperpanjang Shelf Life". Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 2 (2): 52–59.
- ^ Anonim TEP-45. "Penyimpanan bahan makanan merupakan satu dari 6 prinsip higiene dan sanitasi makanan". HIMATETA IPB. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-15. Diakses tanggal 14 Januari 2021.
- ^ "Are You toring Food Safely?". U.S. Food & Drug Administration. 2 September 2021. Diakses tanggal 21 Januari 2022.
- ^ a b Prihatini, Zintan (26 Oktober 2021). Dewi, Bestari Kumala, ed. "Tak Ada Kulkas, Begini Cara Manusia Purba Menyimpan Makanan". Kompas.com. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ^ Sukardi, Muhammad (7 April 2018). "Belum Ada Kulkas, Begini Cara Mengawetkan Makanan di Zaman Purba". Okezone.com. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ^ Maulana, Yoyok Prima (4 Januari 2018). "Fakta! Kulkas Ternyata Sudah Ada Sejak Sebelum Masehi, Ini Bukti-buktinya". intisari.grid.id. Diakses tanggal 19 Januari 2022.
- ^ Edi, Syahmi; Rahmah, Roro Shofiyah Nur (2018). "Pengaruh Lama Penyimpanan Daging Ayam pada Suhu Ruang dan Refrigerator terhadap Angka Lempeng Total Bakteri dan Adanya Bakter Salmonella sp". JURNAL BIOSAINS. 4 (1): 23. doi:10.24114/jbio.v4i1.9452. ISSN 2460-6804.
- ^ Suradi, Kusmajadi (2012). "Pengaruh Lama Penyimpanan Pada Suhu Ruang Terhadap Perubahan Nilai pH, TVB dan Total Bakteri Daging Kerbau". Jurnal Ilmu Ternak Unpad. 12 (2): 9–12.
- ^ Michael Richardson, Kim Matthews, Chris Lloyd, Katie Brian. Meat quality and shelf life. Better Returns Programme EBLEX Agriculture and Horticulture Development Board. brp_b_betterreturnsfrommeatmanual-meatqualityandshelflife.pdf [1] Diarsipkan 2012-10-15 di Wayback Machine.
- ^ Matthews, K. R. Review of published literature and unpublished research on factors influencing beef quality. EBLEX R&D UK Agriculture and Horticulture Development Board 2011 rd_qs_b_-_meatqualityreview2010-beef.pdf from [2] Diarsipkan 2013-03-24 di Wayback Machine.
- ^ Editors of Creative Publishing. Dressing & Cooking Wild Game. Publisher: Creative Publishing international 1999 ISBN 978-0865731080
- ^ "Berapa Lama Boleh Menyimpan Daging di Kulkas dan Freezer?". Hello Sehat. 18 Januari 2021. Diakses tanggal 17 Januari 2022.
- ^ Arista, Noer Isnaeni Dwi (2021). "View of Penanganan Pasca Panen Sayuran Serta Strategi Sosialisasinya Kepada Masyarakat Ditengah Pandemi Covid-19". proceedings.polije.ac.id. doi:10.25047/agropross.2021.223. ISBN 978-623-94036-6-9. Diakses tanggal 17 Januari 2022.
- ^ Wulantika, Trisia (2021). "Kondisi Penyimpanan Berbagai Produk Hortikultura dengan Pendinginan". HORTUSCOLER. 2 (01): 20–25. doi:10.32530/jh.v2i01.384. ISSN 2775-9962.
- ^ Kamsiati, Elmi; Darmawati, Emmy; Haryadi, Yadi (2013). "Screening Varietas Padi Lokal Kalimantan Tengah Terhadap Serangan Stophilus Oryzae selama Penyimpanan". Jurnal Pangan. 22 (2): 345–356. ISSN 2527-6239.
- ^ a b Pitaloka, Adelia Luhjingga; Santoso, Ludfi; Rahadian, Rully (2012). "Gambaran Beberapa Faktor Fisik Penyimpanan Beras, Identifikasi dan Upaya Pengendalian Serangga Hama Gudang (Studi di Gudang Bulog 103 Demak Sub Bulog Wilayah I Semarang)" (PDF). Jurnal Kesehatan Masyarakat. 1 (2).
- ^ Satmalawati, MM Endah Mulat; Rusae, Aloysius (2017). "Identifikasi Cendawan Patogen pada Penyimpanan Jagung Sesuai Kearifan Lokal Masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Utama dalam Perspektif Ketahanan Pangan". Partner. 22 (1): 406–416. doi:10.35726/jp.v22i1.235. ISSN 2527-3981.
- ^ "Tips Menyimpan Hasil Panen Serealia Agar Lebih Awet". sariagri.id. Diakses tanggal 21 Januari 2022.
- ^ Estiasih, Teti; Putri, Widya Dwi Rukmi; Waziiroh, Elok (2017). Umbi-umbian dan Pengolahannya. Malang: Universitas Brawijaya Press. hlm. 1. ISBN 978-602-432-107-9.
- ^ Darawerti, Luthfia Kinanthi (26 November 2021). "Inilah Tips Penyimpanan Umbi yang Baik dan Benar Bagi Pejuang Diet". Pikiran-Rakyat.com. Diakses tanggal 21 Januari 2022.
- ^ Nnenna, Omorodion (2020). "Effect of Different Storage Conditions on the Microbial Profile of Some Commmonly Uses Spices in Nigeria". Jurnal of Multidimensional Rsearch & Review. 1 (2): 91–104. ISSN 2708-9452.
- ^ Raghavan, Susheela (2006). Forms, Functions, and Applications of Spices (dalam bahasa Inggris). Routledge Handbooks Online. doi:10.1201/9781420004366-4. ISBN 978-0-8493-2842-8.
- ^ "Safe use and storage of spices and herbs". Hometown News Treasure Coast (dalam bahasa Inggris). 2 Desember 2021. Diakses tanggal 21 Januari 2022.
- ^ Budiyono, Haris (2009). "Analisis Daya Simpan Produk Susu Pasteurisasi Berdasarkan Kualitas Bahan Baku Mutu Susu". Jurnal Paradigma. X (2): 198–211.
- ^ Ayuti, Siti Rani; Nurliana, Nurliana; Yurliasni, Yurliasni; Sugito, Sugito; Darmawi, Darmawi (2016). "Dinamika Pertumbuhan Lactobacillus casei dan Karakteristik Susu Fermentasi Berdasarkan Suhu dan Lama Penyimpanan". Jurnal Agripet. 16 (1): 23–30. doi:10.24815/jn.v%vi%i.3476. ISSN 2460-4534.
- ^ Ibrahim, Nadiya; Hidayat, Bambang; Darana, Sjafril (2017). "Deteksi Kualitas Keju Menggunakan Metode Gabor Wavelet Dengan Klasifikasi K-nearest Neighbor (k-nn) Pada Citra Digital". eProceedings of Engineering. 4 (2): 1710–1717. ISSN 2355-9365.
- ^ Ellis, Esther (30 Juni 2020). "Keep Your Dairy and Egg Products Safe". www.eatright.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 21 Januari 2022.
- ^ a b Marotz, Lynn R. (2008). Health, Safety, and Nutrition for the Young Child. Wadsworth Publishing. ISBN 978-1-4283-2070-3.
- ^ "Food Safety". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 Januari 2022.
- ^ "Fact Sheet: Freezing and Food Safety". United States Department of Agriculture, Food Safety and Inspection Service. June 3, 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-20. Diakses tanggal November 8, 2011.
- ^ Mitchell, Deborah (2004). Safe foods: the A-to-Z guide to the most wholesome foods for you and your family. Penguin. hlm. Ch. 15. ISBN 978-1-101-21015-4.
- ^ Food Storage Guidelines, Family Survival Planning, April 10, 2009.
- ^ Burton, Liz (19 Juli 2017). "Implementing a FIFO Food Storage System". The Hub | High Speed Training (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 Januari 2022.
- ^ Maulana, Nirwan (24 April 2018). "Pangan Darurat Siap Guna untuk Mempertahankan Status Gizi Anak di Daerah Terdampak Bencana - SDGs Center". Pusat SDG Universitas Padjadjaran (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 Januari 2022.
- ^ Adi, Tri (5 Oktober 2018). Adi, Tri, ed. "Merancang makanan darurat saat bencana". Kontan.co.id. Diakses tanggal 17 Januari 2022.
- ^ Paramitha, Tasya; Puspitasari, Rintan (6 Agustus 2018). "Panduan Menyiapkan Persediaan Makanan untuk Kondisi Darurat". VIVA.co.id. Diakses tanggal 17 Januari 2022.