Soetran
Brigadir Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Soetran (EBI: Sutran, 5 April 1921 – 1 Juli 1987) adalah seorang tokoh militer dan politisi Indonesia yang menjabat sebagai Bupati Trenggalek dari tahun 1968 hingga 1975 dan Gubernur Irian Jaya dari tahun 1975 hingga 1981.
Soetran | |
---|---|
Gubernur Irian Jaya ke-6 | |
Masa jabatan 31 Maret 1975 – 20 Januari 1981 | |
Presiden | Soeharto |
Wakil | Jan Mamoribo Elias Paprindey Izaac Hindom |
Bupati Trenggalek | |
Masa jabatan 3 Oktober 1968 – 25 Maret 1975 | |
Gubernur | Mohammad Noer |
Pendahulu Moeladi | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Cangkring, Krembung, Sidoarjo, Keresidenan Surabaya, Hindia Belanda | 5 April 1921
Meninggal | 1 Juli 1987 Rumah Sakit Darmo, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia | (umur 66)
Partai politik | Golkar |
Tanda tangan | |
Karier militer | |
Pihak |
|
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat |
Masa dinas | 1942—1975 |
Pangkat | Brigadir Jenderal TNI |
Sunting kotak info • L • B |
Lahir di Sidoarjo, Soetran harus berhenti dari pendidikan dasar pada kelas 4 dan melakoni berbagai pekerjaan. Pada tahun 1942, Soetran masuk ke dalam organisasi Pembela Tanah Air (PETA) dengan pangkat budancho (setingkat sersan). Setelah kemerdekaan Indonesia, Soetran masuk Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan menjabat sebagai Komandan Distrik Militer (Dandim) di Merauke dan Trenggalek. Soetran memperoleh jabatan politik pertamanya ketika ia terpilih sebagai Bupati Trenggalek pada tahun 1968. Salah satu karakteristik kepemimpinannya adalah sistem komando yang dianut oleh pemerintah daerah. Pencapaian terbesar Soetran sebagai bupati adalah menjadikan Trenggalek sebagai pusat cengkih se-Jawa Timur. Soetran juga mencanangkan kebijakan tembokisasi (pembangunan tembok) dan reboisasi di wilayah Trenggalek sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Trenggalek. Soetran ditunjuk kembali untuk masa jabatan keduanya pada tahun 1973, dan Trenggalek menerima penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha sebagai kabupaten terbaik di tahun 1974.
Sebagai penghargaan atas pencapaiannya di Trenggalek, Soetran ditunjuk untuk menjabat sebagai Gubernur Irian Jaya pada tahun 1975. Pada masa kepemimpinannya, Soetran menerapkan program Wajib Tanam Cengkih yang mewajibkan hampir seluruh penduduk dan instansi di Irian Jaya untuk menanam cengkih. Karena programnya tersebut, Soetran dijuluki sebagai "Gubernur Cengkih". Meskipun begitu, program tersebut gagal karena pelaksanaannya yang tergesa-gesa, ketidakpahaman mengenai penanaman cengkih, keputusan untuk mengimpor cengkih dari Trenggalek meskipun belum diuji kelayakannya, dan kurangnya sosialisasi program. Provinsi tersebut juga mengalami dua kali gempa berturut-turut pada tahun 1976. Soetran mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur pada tahun 1981, sekitar empat bulan lebih lama dari yang direncanakan. Setelah mundur dari jabatan gubernur, Soetran tinggal di Surabaya. Ia meninggal pada tahun 1987.
Masa kecil dan karier militer
Soetran dilahirkan pada tanggal 5 April 1921 di Desa Cangkring, Sidoarjo,[1] dari sebuah keluarga petani. Karena keadaan ayahnya yang buta, ia pun meninggalkan bangku kelas 4 sekolah dasar (SD) dan mulai mencari pekerjaan. Soetran mulai melakoni berbagai jenis pekerjaan, seperti sebagai buruh tani, penampil di hajatan, dan pemain ludruk keliling.[2]
Pada tahun 1942, menyusul pendudukan Jepang di Indonesia, Soetran menjalani pendidikan militer di Renseitai, sebuah akademi militer yang didirikan oleh tentara Jepang. Soetran kemudian menjadi anggota satuan Pembela Tanah Air setelah lulus dan memperoleh pangkat budancho (setara dengan sersan). Setelah Indonesia merdeka, Soetran bergabung ke dalam Badan Keamanan Rakyat (cikal bakal TNI) dan ditempatkan sebagai komandan seksi pada Batalion Tjipto sejak tanggal 17 September 1945.[3]
Setelah Revolusi Nasional Indonesia berakhir pada tahun 1949, Soetran mengikuti Latihan Persamaan Perwira dan lulus sebagai letnan satu pada tahun 1950. Soetran kemudian mengikuti beberapa pendidikan militer lain, di antaranya Pendidikan Persiapan Untuk Perwira di Jember (lulus 1956) dan Kursus Perwira Lanjutan Satu di Bandung (lulus 1957).[1]
Pada tahun 1958, Soetran menjabat sebagai wakil komandan Batalyon Infanteri 511 dengan pangkat letnan satu. Empat tahun kemudian, pangkatnya dinaikkan ke kapten dan ia menjabat sebagai komandan Batalyon Infanteri 511. Kurang dari setahun kemudian, pada tahun 1963, Soetran dipindahtugaskan ke Irian Jaya dan menjadi komandan distrik militer (Dandim) di Tanah Merah, Boven Digoel. Pada tahun 1967, ia kembali dipindahtugaskan ke Jawa Timur, sebagai Dandim Trenggalek. Soetran juga menerima kenaikan pangkat menjadi mayor.[1][3]
Pada akhir masa jabatannya sebagai Gubernur Irian Jaya di tahun 1980, Soetran menerima kenaikan pangkat kehormatan dari kolonel menjadi brigadir jenderal.[4]
Bupati Trenggalek
Penanaman cengkih
Soetran dilantik sebagai Bupati Trenggalek pada tanggal 3 Oktober 1968, menggantikan Moeladi.[5] Sebelum ia menduduki kursi bupati, Trenggalek dikenal sebagai daerah yang miskin dan sering kali mengalami musim kemarau berkepanjangan yang mengakibatkan kekeringan di daerah tersebut. Gaplek, makanan pokok penduduk Trenggalek, tidak dapat ditanam dan dipanen selama musim kemarau.[6]
Soetran mulai mencari solusi untuk permasalahan kekeringan setelah ia memegang jabatan sebagai Bupati Trenggalek. Di bawah Soetran, pemerintah daerah Trenggalek berupaya untuk mencari komoditas bernilai tinggi yang sesuai dengan lahan rakyat. Setelah menemukan bahwa cengkih merupakan tanaman yang paling cocok untuk daerah tersebut, Soetran mulai sedikit memaksa penduduk Trenggalek untuk menanam cengkih.[6]
Penanaman cengkih tersebut membuahkan hasil beberapa saat setelah dimulai. Tanah Trenggalek yang tandus diubah menjadi tanah yang hijau dengan cengkih[7] dan kabupaten tersebut menjadi pusat produksi cengkih di Jawa Timur. Meskipun perkebunan cengkih hanya 16,21% dari seluruh luas tanah yang ada, produksi cengkih menambah pendapatan masyarakat Trenggalek sebesar 21 miliar rupiah per tahun.[6] Wilayah Trenggalek kemudian menjadi identik dengan cengkih, dan penduduk di sana kemudian hanya mengandalkan cengkih sebagai satu-satunya sumber penghasilan.[8]
Donald K. Emmerson, seorang peneliti politik, berpendapat bahwa keberhasilan pembangunan Trenggalek di bawah pemerintahan Soetran dikarenakan sistem kepemimpinan komando yang dianutnya. Emmerson berpendapat bahwa Soetran memegang tanggung jawab penuh akan proses pembangunan di wilayah tersebut dan menjalankan pemerintahan daerah sebagai perpanjangan tangannya sendiri.[9]
Tembokisasi dan reboisasi
Sebelum penunjukkannya sebagai bupati, kantor-kantor pemerintahan dan militer masih menggunakan gubuk yang reyot. Soetran berusaha untuk memperbaiki keadaan ini melalui konsep tembokisasi. Konsep yang dicanangkannya tersebut mengajak masyarakat Trenggalek untuk membangun tembok di sekitar rumahnya masing-masing. Sampai tahun 1972, hampir seluruh rumah di Trenggalek sudah memiliki tembok.[10]
Selain program tembokisasi, Soetran juga menggalakkan reboisasi di Trenggalek. Soetran memberikan instruksi kepada masyarakat Trenggalek bahwa "Tidak boleh sejengkal tanah pun yang kosong dari tanaman".[11] Kebijakan reboisasi Soetran menjaga wilayah Trenggalek aman dari bencana kekeringan yang berkepanjangan dan memberikan tambahan pendapatan bagi kabupaten dari ekspor kayu-kayu seperti pinus, jati, dan akasia.[12]
Perubahan nama Trenggalek
Pada tahun 1971, dengan alasan untuk mengubah citra buruk Trenggalek, Soetran mengusulkan perubahan nama Trenggalek menjadi Trenggaleh. Menurut Soetran, kata yang diakhiri oleh suku kata -ek dalam bahasa Jawa memiliki konotasi yang buruk (contoh: jelek/elek, kemenyek, tekek).[13] Soetran mengatakan bahwa nama Trenggalek sering kali dibuat jadi bahan ejekan oleh orang Jawa sebagai singkatan dari terang enggone wong elek (jelas-jelas tempatnya orang jelek) menjadi Trenggalih, dengan singkatannya Terang Ing Galih (terang di hati kita).[14]
Banyak pejabat Trenggalek yang menolak rencana Soetran tersebut. Mereka berpendapat bahwa perubahan nama memerlukan proses administratif dan birokratik yang sangat sulit. Meskipun mendapat tentangan, Soetran tetap menjalankan rencananya, dan pada tahun yang sama ia membentuk suatu tim yang menginvestigasi asal-usul nama Trenggalek, kemunculan tertulis pertama dari nama Trenggalek, dan kemungkinan menamai ulang Trenggalek dengan merujuk pada kemunculan pertama dari namanya. Proyek ini tetap berlangsung beberapa tahun setelah Soetran meninggalkan jabatan bupati Trenggalek.[10] Tim tersebut berhasil menemukan dan mendokumentasikan awal mula berdirinya Trenggalek dan kemunculan pertama nama Trenggalek. Namun, tim tersebut menolak usulan untuk mengubah nama Trenggalek.[15]
Parasamya Purnakarya Nugraha
Karena dianggap berhasil sebagai Bupati Trenggalek melalui program penanaman cengkihnya, Soetran ditunjuk kembali sebagai bupati untuk periode kedua pada tahun 1973. Pada tahun 1974, Kabupaten Trenggalek menerima penghargaan dari Presiden Soeharto berupa Parasamya Purnakarya Nugraha,[5] sebuah penghargaan yang diberikan kepada Kabupaten/Provinsi dengan hasil pembangunan terbaik selama pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun.[16] Penghargaan tersebut diterima oleh Gubernur Jawa Timur Mohammad Noer dari Presiden Soeharto pada suatu upacara yang diadakan pada tanggal 21 Agustus 1974 di Stadion Tambaksari.[17]
Gubernur Irian Jaya
Setelah menjabat sebagai Bupati Trenggalek selama dua periode, Soetran ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri Amirmachmud untuk menjabat sebagai Gubernur Irian Jaya. Soetran dilantik sebagai pejabat gubernur pada tanggal 31 April 1975, menggantikan Acub Zainal.[18] Masa jabatannya sebagai penjabat gubernur berakhir ketika ia dilantik sebagai gubernur definitif pada tanggal 12 Agustus 1975.[19] Masa jabatannya seharusnya berakhir pada tanggal 4 September 1980, tetapi dikarenakan belum ada penggantinya sebagai gubernur,[20] masa jabatannya diperpanjang hingga 20 Januari 1981.[21]
Wajib Tanam Cengkih
Beberapa saat setelah ia ditunjuk sebagai penjabat gubernur Irian Jaya, Soetran mulai menerapkan program yang sudah ia jalankan di Trenggalek tujuh tahun yang lalu. Pada tanggal 20 Mei 1975, Soetran mencanangkan program Wajib Tanam Cengkih (WTC).[22] Soetran berpendapat bahwa cengkih bisa memberikan hasil yang besar kepada pendapatan daerah Irian Jaya. Karena programnya tersebut, Soetran dijuluki sebagai "Gubernur Cengkih".[23]
Menurut isi komando yang dikeluarkan Soetran, setiap kepala keluarga di Irian Jaya terkena wajib tanam. Keluarga yang hidup di desa harus menanam minimum 20 batang cengkih, keluarga yang hidup di pinggir kota harus menanam 5—10 batang, dan keluarga yang hidup di kota harus menanam minimum 5 batang. Kantor-kantor, sekolah, asrama, tempat ibadah, dan pramuka juga diwajibkan untuk menanam cengkih. Selain dari penanaman skala kecil oleh penduduk, Soetran juga mendirikan perkebunan cengkih yang dikelola oleh pemerintah kabupaten dan provinsi.[22]
Beberapa hari setelah program dimulai, Soetran meminta pendanaan dari Presiden Soeharto. Permintaannya dipenuhi dan Soeharto memberikan bantuan bertahap sebesar 250 juta rupiah pada tanggal 20 November 1975, dengan 50 juta rupiah diberikan pada tahun pertama. Soetran merencanakan pembelian untuk bibit cengkih dari Trenggalek seharga 35 juta rupiah.[22]
Namun, tak sampai berapa lama setelah dimulai, proyek tersebut mengalami kegagalan. Dalam sebuah penanaman cengkih yang dilakukan oleh PNS di Kantor Gubernur Irian Jaya, hanya sekitar 10% dari bibit cengkih yang bertahan hidup pada tahun pertama. Seorang ahli pertanian menyatakan bahwa kegagalan tersebut dikarenakan instruksi Soetran yang terlalu tergesa-gesa dan PNS yang belum paham mengenai penanaman cengkih. Alasan lainnya adalah bahwa Soetran telah melanggar SK Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa bibit cengkih hanya dapat diimpor dari empat lokasi, yakni Selokaton, Branggah Banaran, Bogor, dan Maluku. Keputusan Soetran untuk mendatangkan bibit cengkih dari Trenggalek dianggap sebagai kesalahan besar karena bibit cengkih dari Trenggalek belum pernah diteliti kelaikannya.[22]
Julius Ary Mollet, seorang peneliti dari Universitas Cendrawasih, menyalahkan kegagalan Soetran pada sosialisasi yang kurang. Menurutnya, masyarakat menjadi enggan untuk memanen dan menjual hasil budidaya cengkih dikarenakan kurangnya sosialiasi mengenai keuntungan dari menanam cengkih.[24]
Setelah ia turun dari jabatan sebagai Gubernur Irian Jaya, penerusnya, Busiri Suryowinoto, mempertanyakan kebijakan Wajib Tanam Cengkih-nya. Busiri menggantikan program Soetran dengan penanaman tanaman pangan, karena menurutnya cengkih tidak cocok untuk wilayah Irian Jaya.[25]
Gempa Bumi Irian Jaya
Selama masa pemerintahan Soetran, Provinsi Irian Jaya mengalami dua gempa bumi secara berturut-turut. Gempa bumi pertama, yang terjadi pada tanggal 26 Juni 1976 dan berukuran 7,1 Skala Richter, berlangsung selama seminggu. Akibatnya, 12 kampung besar di Lembah Baliem dinyatakan hilang. Kecamatan Kurima, Okbibab, dan Oksibil, yang kesemuanya terletak di Kabupaten Jayawijaya, sepenuhnya hancur oleh gempa bumi. Sampai dengan tanggal 5 Juli 1976, 369 orang ditemukan tewas dan 5.001 orang dinyatakan hilang.[26]
Seusai gempa bumi tersebut, para penyintas dievakuasi dan ditampung dalam kamp pengungsian.[27] Seorang pejabat pemerintahan menggambarkan kondisi di kamp pengungsian tersebut dengan "mengerikan dan menakutkan". Sekretaris Daerah Irian Jaya, Syarifuddin Harahap, mengirimkan sejumlah radiogram kepada departemen dan perusahaan di Irian Jaya dan meminta mereka untuk mengirimkan bantuan. Presiden Soeharto menanggapinya dengan memerintahkan lembaga pemerintahan untuk membentuk suatu satuan tugas untuk menangani gempa bumi tersebut.[28] Bantuan pertama yang diberikan kepada penyintas yang masih terisolasi dan kelaparan berbentuk karung ubi yang dijatuhkan dari udara. Namun, sejumlah karung ubi hancur karena karungnya rapuh. Pada tanggal 3 Juli, Pemerintah Papua Nugini membantu proses pencarian dan penyelamatan dalam bentuk sebuah pesawat Cessna.[26]
Soetran terbang ke Jakarta pada tanggal 10 Juli untuk membahas masalah tersebut dengan Presiden Soeharto.[29] Soeharto memberikan Soetran bantuan sebesar 100 juta rupiah untuk menangani bencana tersebut dan menyatakan gempa bumi tersebut sebagai bencana nasional.[30]
Soetran mengeluhkan kelambatan dari bantuan pemerintah terhadap bencana alam tersebut. Pada tanggal 19 Juli, Soetran menyampaikan ketidakpuasannya dengan penanganan pemerintah pusat terhadap bencana tersebut. Ketidakpuasannya dikarenakan satgas yang dibentuk oleh pemerintah pusat belum juga datang.[31] Dia juga mengatakan bahwa sampai dengan tanggal 19 Juli, baru 2 dokter dan 10 perawat yang tiba di lokasi bencana.[32] Dalam sebuah pertemuan dengan Soeharto, Soetran juga mengkritisi kurangnya bantuan pesawat dan medis yang diberikan oleh pemerintah pusat.[33]
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Penanggulangan Bencana Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDRO), sampai dengan tanggal 30 September, sekitar satu setengah juta dolar AS telah diberikan oleh organisasi dari berbagai negara untuk penanganan bencana di Irian Jaya. UNDRO memperkirakan bahwa pemerintah menghabiskan setidaknya 10 ribu dolar setiap bulannya untuk penjatuhan ubi dari udara.[34]
Gempa bumi yang kedua terjadi pada bulan November 1976. Gempa bumi tersebut berdampak pada Pegunungan Jayawijaya, dan sekitar 110 orang tewas akibat gempa tersebut. Gempa bumi yang kedua memiliki skala yang lebih kecil dan menerima lebih sedikit peliputan dari media.[34]
Perseteruan dengan Elias Paprindey
Elias Paprindey, seorang birokrat asli Papua, ditunjuk oleh Soetran sebagai wakil gubernur menggantikan Jan Mamoribo yang wafat pada tanggal 19 Oktober 1976.[35] Beberapa saat setelah menjabat sebagai Wakil Gubernur, Paprindey mulai berseteru dengan Soetran mengenai proses pembangunan di Irian Jaya.[36] Paprindey kemudian menuduh jabatan wakil gubernur sebagai "tak lebih dari simbol belaka".[37] Ketika ditanya oleh wartawan Tempo Widi Yarmanto mengenai perseteruan tersebut, Soetran menyangkal hal tersebut dan menyatakan bahwa "Hubungan kerja [kami] tetap baik [dan] pekerjaan [kami tetap] lancar."[38]
Ketika berita mengenai perseteruan tersebut diketahui oleh penduduk, PNS penduduk asli Irian Jaya mulai mengungkapkan keresahan mereka dengan pemerintah daerah. Seorang pegawai negeri menyatakan bahwa "Kalau keadaan di sini begini terus, lebih baik kami ke PNG saja."[36]
Pensiun dan meninggal
Setelah ia pensiun dari jabatan gubernur pada tahun 1981, Soetran tinggal di Surabaya. Soetran mendirikan Arisan Bapak-Bapak di lingkungannya.[39]
Soetran mulai menjalani operasi di Rumah Sakit Darmo pada Juni 1987 karena penyakit kanker hati yang dideritanya. Pada pukul 10.10 tanggal 1 Juli 1987, Soetran meninggal di rumah sakit tersebut.[40] Ia dimakamkan dua hari kemudian di Taman Makam Pahlawan Dukuh Kupang dengan inspektur upacara Gubernur Jawa Timur Wahono.[41]
Peninggalan
Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Trenggalek membuat penghargaan dengan menggunakan namanya. Penghargaan tersebut diberikan sebagai apresiasi kepada desa-desa inovatif. Desa penerima penghargaan akan mendapatkan uang pembinaan sebesar 30 juta rupiah yang sudah dimasukkan dalam APB Desa.[42] Selain itu, sebuah jalan di Trenggalek dibangun dengan menggunakan nama Soetran.[43]
Penghargaan
Soetran menerima penghargaan-penghargaan berikut:[44]
Referensi
- ^ a b c Lembaga Pemilihan Umum (1977). Ringkasan riwayat hidup dan riwayat perjuangan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1977 [Summary of Biography and Career of Members of the People's Consultative Assembly from the 1977 General Elections] (dalam bahasa Indonesian). Jakarta. hlm. 764. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ Ariyanto, Danny Rizky (2015-01-07). "Biografi Soetran (1921-1987)". Skripsi Jurusan Sejarah - Fakultas Ilmu Sosial UM. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ a b Bachtiar, Harsya W. (1988). Siapa dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Jakarta. hlm. 417. ISBN 9789794281000.
- ^ Korpri Irian Jaya and Regional People's Representative Council of Irian Jaya (1980). "Dengan Memanjatkan Doa Syukur..." Mimbar Departemen Dalam Negeri (9). hlm. 45. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ a b Rahayu, Endah (27 Juli 2005). "Trenggalek "Wiwitan lan Wibawa"" . Kompas. hlm. 9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ a b c Sulastri, Dirman; Thoha (6 November 1991). "Trenggalek, antara Cengkih dan Gaplek" . Kompas. hlm. 9.[pranala nonaktif permanen]
- ^ Sadjad, Sjamsoe'oed (12 Maret 1992). "Soal Cengkih" . Kompas. hlm. 4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ Bakir, Mohammad (30 Agustus 1992). "Ketika Harum Cengkih tak Lagi Sedap" . Kompas. hlm. 8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ Emmerson, Donald K. (1978). Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strength. Political Power and Communications in Indonesia. University of California. hlm. 135. ISBN 9780520042056. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ a b Surur, Misbahus (2016-03-15). "Tiga Tokoh Hebat yang Mengubah Kota Trenggalek | Misbahus Surur". Nggalek. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ Rokhim, M. Choirur (2018-01-24). "Serumpun Kisah tentang Hutan | M. Choirur Rokhim". Nggalek. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ Surur, Misbahus (2017-07-09). "Kenapa di Trenggalek Tak Ada Candi? | Misbahus Surur". Nggalek. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 September 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ Surur, Misbahus (2016-08-24). "Trenggalek Kota Pertahanan | Misbahus Surur". Nggalek. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ Rokhim, Muhammad Choirur (9 April 2020). "Trenggalek Tetap Kota Gaplek Meski Gonta-ganti Slogan". Terminal Mojok. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ Abdillah, Hamzah (27 Agustus 2018). "Ringkasan Sejarah Trenggalek (Bagian II)". Duta. Diakses tanggal 17 Desember 2020.
- ^ Emmerson, Donald K. (1978). Bureaucracy in Political Context: Weakness in Strength. Political Power and Communications in Indonesia. University of California. hlm. 134. ISBN 9780520042056. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ Noer, Mohammad; Siahaan, Hotman (1997). Pamong mengabdi desa: biografi Mohammad Noer. Yayasan Keluarga Bhakti dan Surabaya Post. hlm. 256. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ "Bupati Trenggalek gantikan gubernur Acub Zainal" . Kompas. 20 Maret 1975. hlm. 1. Diakses tanggal 6 Maret 2021.
Bupati Soetran dari Treanggalek 31 maret mendatang dilantik sebagai pejabat Gubernur Irian Jaya menggantikan Gubernur Acub zainal.
- ^ "Soetran Gubernur Definitif Irja" . Kompas. 11 Agustus 1975. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 6 Maret 2021.
Senin pagi ini Menteri Dalam Negeri Amirmachmud dan rombongan bertolak menuju Jayapura, untuk pada keesokan harinya melantik Soetran sebagai Gubernur Kepala Daerah definitif Irian Jaya.
- ^ "Soetran Dilantik Sebagai Pj. Gubernur Irja" . Kompas. 5 September 1980. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020.
- ^ "DRS BUSIRI SURYOWINOTO DILANTIK SEBAGAI GUBERNUR IRIAN JAYA, Mendagri: Karena Keadaan Alam Yang Berat, Pembangunan Irja Belum Tampak". Mimbar Departemen Dalam Negeri. 1981. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 6 Maret 2021.
- ^ a b c d Administrator (11 Desember 1976). "Lain trenggalek, lain di sini". Tempo.co. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ Griapon, Alexander (2010). Lembaga musyawarah adat: 10 tahun terakhir dari 30 tahun awal pemerintahan propinsi di tanah Papua. Jayapura: Arika Publisher. hlm. 28. ISBN 9786029570533. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ Ama, Kornelis Kewa (7 September 2003). "Kesejahteraan WargaPapua Tak Pernah Terbangun" . Kompas. hlm. 26. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ Administrator (24 Januari 1981). "Busiri, setelah soetran busiri, setelah soetran". Tempo.co. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ a b Administrator (17 Juli 1976). "Ujian Berat Buat Soetran". Tempo.co. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ "Sekitar 50.000 Penduduk Jayawijaya Perlu Diungsikan dari Daerah Gempa" . Kompas. 10 Juli 1976. hlm. 1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ "Presiden Instruksikan: Bentuk Satgas untuk Bantu Korban Gempa Irja * Pemberian Kredit "Candak Kulak" Tanpa Jaminan; Jumlah Uang..." . Kompas. 7 Juli 1976. hlm. 1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ "Gubernur Soetran ke Jakarta untuk Laporkan Gempa di Irja" . Kompas. 3 Juli 1976. hlm. 1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ "Gempabumi di Irja Bencana Alam Nasional" . Kompas. 12 Juli 1976. hlm. 1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ "Gubernur Sutran: Lebih Baik Bantuan untuk Korban Gempa di Irja Disampaikan Langsung" . Kompas. 21 Juli 1976. hlm. 12. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ "Tajuk Rencana: Keluhan Gubernur Sutran Mengenai lambatnya bantuan kemanusiaan dari pusat untuk korban gempa di Irja" . Kompas. 22 Juli 1976. hlm. 4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ "Gubernur Sutran risau:Karena lambannya bantuan pesawat dan dokter" . Kompas. 5 Agustus 1976. hlm. 2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ a b Administrator (4 Desember 1976). "Pindah Atau Tidak ?". Tempo.co. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 14 Desember 2020.
- ^ Pemerintah Indonesia (8 Maret 1977), Keputusan Presiden Indonesia Nomor 32/M Tahun 1977 (PDF), Jakarta: Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Archived from the original on 2021-01-11, diakses tanggal 2022-06-11
- ^ a b Administrator (11 Agustus 1979). "Irian Jaya, 10 Tahun Kemudian". Tempo.co. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ Administrator (29 November 1980). "Dari Wagub Sampai Trikora". Tempo.co. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ Administrator (11 Agustus 1979). "Sesungguhnya Tak Ada Apa-apa". Tempo.co. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ Administrator (11 Juli 1987). "Meninggal dunia". Tempo.co. Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ "Bekas Gubernur H.Soetran Meninggal" . Kompas. 2 Juli 1987. hlm. 8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ "Almarhum Soetran Dimakamkan" . Kompas. 3 Juli 1987. hlm. 12. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ Muttaqin, Adhar (31 Agustus 2017). "Soetran Award, Cara Pemkab Trenggalek Apresiasi Desa Inovatif". detikcom. Diakses tanggal 14 April 2021.
- ^ "Data Referensi Pendidikan". Data Referensi Pendidikan Kemdikbud. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
- ^ Lembaga Pemilihan Umum (1977). Ringkasan riwayat hidup dan riwayat perjuangan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1977 [Summary of Biography and Career of Members of the People's Consultative Assembly from the 1977 General Elections] (dalam bahasa Indonesian). Jakarta. hlm. 765. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 Desember 2020. Diakses tanggal 13 Desember 2020.
Pranala luar
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Acub Zainal |
Gubernur Papua 1975–1981 |
Diteruskan oleh: Busiri Suryowinoto |