Wanita dan perubahan iklim
Perubahan iklim tidak hanya berdampak pada kondisi alam, tetapi berpengaruh pula pada kondisi sosial antara masyarakat, termasuk masalah gender.[1] Dampak yang sering timbul di antaranya, berupa angka kematian yang meningkat akibat penyakit yang menular. Menurut UN-Habitat, perubahan iklim menyebabkan dampak yang berbeda antar kelompok. Sebagai contoh kelompok minoritas dan mayoritas, kelompok perempuan dan laki-laki yang erat kaitannya dalam mengurus keluarga.[2] Bencana alam yang kian terjadi, membuat pola hidup manusia serba kesulitan untuk mempertahankan hidup. Dari masalah bencana, kian muncul masalah sosial yang tak kalah berbahaya dampaknya.[1] Contoh nyata bahwa perubahan iklim berdampak terhadap perubahan sosial terutama bagi perempuan yaitu, gagal panen, langkanya air, dan bahan bakar menyebabkan persediaan pangan, air, dan energi untuk rumah tangga berkurang, sehingga dibutuhkan usaha yang lebih bagi perempuan selaku penanggung jawab urusan domestik.[2] Meskipun perempuan dianggap tidak mengikuti perkembangan perubahan iklim, ada beberapa perempuan yang memilih terjun langsung dan berkontribusi mengatasi perubahan iklim, tidak hanya untuk memperjuangkan golongannya saja, tapi untuk keselamatan Bumi dan manusia.[2]
Meskipun perempuan lebih banyak menanggung risiko terhadap perubahan iklim, sebenarnya perempuan memiliki peran penting dalam pelaksanaan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.[1] Namun, pihak pemerintah jarang melibatkan perempuan dalam penanganan perubahan iklim, meskipun secara teoritis masih perlu dibimbing, namun secara praktis para perempuan mampu melakukannya. Seharusnya perempuan diberikan kebebasan untuk hak tanah dan akses terhadap sumber daya keuangan, serta diberikan pelatihan di bidang teknologi.[1] Keputusan dan pembuatan kebijakan politik mengenai perubahan iklim seharusnya melibatkan perempuan. Melalui cara-cara yang telah dijabarkan diharapkan mampu menciptakan solusi mengenai perubahan iklim yang seimbang di tiap golongan.[1]
Peran Wanita dan Perubahan Iklim
suntingPeran perempuan dalam kebijakan internasional untuk perubahan iklim dibahas pada tahun 2008 oleh dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa.[3] Hasilnya ditemukan korelasi antara perubahan iklim dan kesetaraan gender. Di Konferensi Rio, pemberdayaan perempuan diharapkan mampu memberikan hasil yang positif terhadap perubahan iklim di berbagai sektor. Kontribusi perempuan bisa dibuktikan secara nyata, baik di bidang penelitian atau menjadi aktivis penggerak manusia lainnya.[3]
Merritt Polk adalah seorang peneliti dari Swedia yang memberikan survei terhadap penggunaan mobil pada tahun 2014 antara perempuan dan laki-laki.[4] Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah kilometer pada mobil laki-laki lebih besar penggunaannya, dibandingkan perempuan. Berdasarkan kenyataan tersebut bisa disimpulkan bahwa, perempuan di Swedia lebih mengetahui dampak penggunaan mobil bagi lingkungannya dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, perempuan bisa dijadikan tumpuan untuk mengurangi penggunaan karbon dioksida secara menyeluruh. Apabila seluruh perempuan di dunia dilibatkan untuk berkontribusi langsung dalam mengurangi dampak perubahan iklim, mungkin di hari ini Bumi akan lebih baik keadaannya.[4] Salah satu contoh perempuan yang mampu memberikan kontribusi melalui pembuatan kebijakan adalah Christiana Figueres yang ditunjuk sebagai Ketua Badan Iklim PBB.[5] Ia memiliki program untuk untuk mengurangi kenaikan suhu sebesar 2,7oC pada tahun 2100. Program ini terangkum dalam agenda nasional Intended Nationally Determined Contributions (INDCs).[5]
Selain membuat kebijakan, peran perempuan dalam perubahan iklim juga menjadi sorotan ketika mereka berani menyuarakan aspirasinya di hadapan publik. Tokoh pertama di Swedia, seorang remaja perempuan berusia 15 tahun yang bernama Greta Thunberg berhasil mencuri perhatian dunia dengan aksi terhadap kecaman dampak perubahan iklim.[6] Greta Thunberg biasa menyuarakan aspirasinya di depan gedung parlemen Stockholm, hingga akhirnya pada tahun 2018, ia diundang di Konferensi Perubahan Iklim yang diadakan oleh PBB.[6] Gelora semangat yang diberikan oeh Greta Thunberg berhasil menggerakkan 1,6 juta siswa dari 125 negara.[6] Berbeda dengan Greta Thunberg yang melakukan aksi mogok sekolah demi menyuarakan aspirasi perubahan iklim, Franny Amstrong memperlihatkan kepeduliannya terhadap perubahan iklim dengan membuat film yang berjudul The Age of Stupid pada tahun 2009.[7] Franny memegang peranan yang sangat penting dalam pembuatan film tersebut, ia menjadi sutradara dan penulis naskah dari film tersebut. Film yang berdurasi 80 menit ini, menceritakan kehidupan manusia pada tahun 2055 di mana banyak kepunahan di mana-mana yang diakibatkan oleh tindakan manusia sendiri. Franny Amstrong berhasil memberikan banyak informasi mengenai dampak perubahan iklim kepada penonton.[7] Selain dua tokoh tersebut, di Indonesia ada aktivis sekaligus akademisi perempuan yang giat melestarikan hutan bakau yang bertujuan untuk melindungi persediaan karbon bagi manusia. Dia bernama Melinda Harefa, yang aktif dalam organisasi Green Teacher Indonesia dan dosen di Universitas Negeri Medan.[8] Hasil dari kontribusinya tersebut, Melinda diundang ke Australia dalam kegiatan Dewan Nasional Perubahan Iklim pada tahun 2013.[8]
Dampak Bencana Alam
suntingCuaca yang berubah dengan cepat, menimbulkan berbagai fenomena alam salah satunya perubahan iklim. Fenomena ini semakin menjadi karena pertumbuhan manusia dan berbanding lurus dengan aktivitas manusia yang begitu banyak. Sebagai contoh, dampak dari revolusi industri di Eropa mengakibatkan percepatan peggunaan batu bara, gas, minyak, dan pembakaran kayu.[3] Dari kegiatan dan aktivitas tersebut mengakibatkan suhu bumi dan temperatur meningkat. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan sosial, antara relasi perempuan dan laki-laki. Dampak bencana alam terhadap perempuan bisa mempengaruhi kondisi mental dan sosial. Sebagai contoh, perempuan yang mempunyai peran ganda akan sulit memberi keputusan dan mencari mata pencaharian. Dari kondisi mental, berdampak kepada kondisi ekonomi yang tidak produktif. Di Bangladesh, akibat banjir banyak perempuan yang harus memenuhi kebutuhannya sendiri, dikarenakan para suami lebih memilih untuk migrasi ke negara lain untuk mencari pekerjaan.[3]
Berdasarkan data, angka kematian akibat bencana alam yang menduduki posisi tertinggi adalah perempuan.[1] Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa perempuan mejadi korban akibat bencana perubahan iklim. Pernyataan tersebut berlandaskan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang menyatakan bahwa perempuan memiliki risiko 14 kali lebih tinggi menjadi korban bencana dibandingkan laki-laki.[9] Hal ini dikarenakan naluri perempuan yang selalu ingin mengutamakan keselamatan keluarga dibandingkan dirinya sendiri. Selain naluri perempuan, kesan terhadap perempuan yang hanya fokus untuk mengurus rumah dan tidak pernah bermain ke dunia luar menjadi faktor selanjutnya dari pertanyaan mengapa perempuan begitu rentan menjadi korban bencana alam. Akibat ketidaktahuan perempuan tentang pendidikan penanggulangan bencana alam, yang seharusnya menjadi pengetahuan umum di kehidupan sehari-hari. Hambatan-hambatan mengenai akses penyebarluasan informasi merupakan gejala yang bersifat dikotomis antara laki-laki yang harus muncul ke publik dan perempuan yang harus mengurusi domestik. Oleh karena itu, pendidikan menjadi cara paling mudah untuk membebaskan akses perempuan untuk memperoleh informasi tentang waspada bencana alam.[9]
Hal yang perlu dilakukan untuk mengungangi dampak tersebut yaitu, mengajak perempuan untuk terlibat dalam pembangunan negara baik dalam pencegahan bencana dan setelah terjadinya bencana. Jangan selalu menjadikan perempuan sebagai korban, tapi jadikan sebagai obat bagi dampak bencana tersebut yang turut berkontribusi dalam pembangunan dan mengatasi permasalahan perubahan iklim. Namun kenyataannya, baru 11% (15 dari 129 negara) yang memperoleh hasil baik dalam pelaksanaan komitmen pengurangan risiko bencana yang melibatkan perempuan.[10]
Tsunami
suntingMenurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Weiss, menyebutkan bahwa kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap aktivitas bencana tsunami. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan Virginia Tech.[11] Di Indonesia, bencana alam yang masih belum hilang dalam ingatan yaitu bencana Tsunami Aceh yang terjadi 26 Desember 2004.[12] Gempa yang terjadi selama 10 menit, dengan kekuatan 9,0 SR dianggap oleh para ilmuwan menjadi bencana alam terdahsyat di abad ke-21.[12] Selain dirasa oleh masyarakat Aceh, juga terasa hingga Thailand, India, dan Srilanka. Goncangannya menewaskan 230.000 jiwa,[12] dan sebanyak 55-77% korbannya merupakan perempuan.[1]
Badai
suntingMelelehnya kutub es merupakan dampak dari pemanasan global. Para peneliti menyebutkan, bahwa dampak dari fenomena tersebut menyebabkan seringnya terjadi bencana badai yang hebat.[13] Di Amerika hal unik terjadi pada penamaan badai, selalu menggunakan nama perempuan.[14] Hal ini terjadi sejak tahun 1950. Nama-nama badai yang cukup terkenal seperti badai Katrina, badai Katlia, badai Emily, dan lain sebagainya. Hal yang dianggap rasis ini menimbulkan polemik. Salah satunya dari tokoh feminis yaitu Roxcy Bolton.[14] Setelah melakukan diskusi, akhirnya pada tahun 1970 penamaan bencana badai tak lagi menggunakan nama perempuan, tapi seimbang menggunakan nama laki-laki pula.[14] Di Prancis, pada tahun 2003 terjadi bencana gelombang panas.[15] Bencana yang melanda selama 20 hari ini memakan korban sebanyak 15.000 jiwa, 70% dari jumlah tersebut merupakan perempuan.[15] Pada tahun 2019, gelombang panas kembali menghantam Prancis selama 18 hari dan menewaskan 1.500 jiwa terhitung dari bulan Juni dan Juli.[16]
Wanita Karier dan Perubahan Iklim di Indonesia
suntingBencana alam yang diakibatkan oleh perubahan iklim, berdampak pada status ekonomi perempuan di mana kemiskinan tumbuh beriringan dengan terjadinya bencana tersebut.[1] Perempuan lebih banyak memilih bekerja dibidang pertanian, sedangkan jenis pekerjaan tersebut memiliki risiko tinggi terhadap perubahan iklim dan bencana alam. Akibatnya, apabila bencana tersebut terjadi banyak perempuan yang kehilangan pekerjaannya dan hidup menjadi miskin.[1] Kondisi ini semakin parah apabila perempuan tersebut hidup seorang diri, dia akan kehilangan begaining power terutama dalam memilih keputusan dan kebijakan dalam menangani kasus ekonomi dan menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Selain jenis pekerjaan, para perempuan karier jarang yang memiliki aset tunggal (kepemilikan pribadi). Hal ini dibuktikan dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Institute for Social and Environmental Transition menyebutkan bahwa perempuan di dunia hanya 2% yang mempunyai aset lahan kepemilikan pribadi. Aset tersebut berfungsi sebagai tabungan apabila terjadi bencana, apanila perempuan tersebut tidak memiliki tabungan hidupnya tidak akan memiliki kekuatan ekonomi untuk menghidupi keluarganya.[1]
Di Indonesia, salah satu yang mewadahi aspirasi terhadap perlindungan perempuan yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak[17]. Salah sau program kerjanya dalam mengatasi perubahan iklim yaitu mengintegrasikan isu gender dan pemenuhan hak anak dalam program aksi di bidang pangan, energi, dan ketersediaan air bersih baik di kota dan pedesaan untuk mewujudkan kesetaraan gender serta kesejahteraan perempuan. Strategi yang dilakukan pemerintah yaitu:
- Memastikan bahwa program adaptasi perubahan iklim di tingkat nasional dan daerah mendukung kesetaraan gender dan pemenuhan hak perempuan.[17]
- Meningkatkan kajian mengenai aspek-aspek gender dalam adaptasi perubahan iklim berdasarkan data jenis kelamin.[17]
- Perancanaan desain karsa perubahan iklim berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan alat periksa gender atau gender analisis pathway (GAP).[17]
- Memastikan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan rentan bencana, mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, baik perempuan dan laki-laki.[17]
Perempuan Nelayan di Indonesia
suntingPerubahan iklim berdampak terhadap hasil tangkapan ikan di laut. Hal ini dirasakan oleh para perempuan nelayan yang mengalami penurunan hasil tangkapan ikan akibat perubahan iklim.[18] Akibatnya, perempuan nelayan harus bekerja lebih ekstra untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga, salah satunya dengan bekerja menjadi buruh serabutan dan berdagang. Selain itu pemenuhan gizi di rumah mulai berganti, sebagai contoh pemenuhan pangan yang berupa nasi berubah menjadi singkong. Kasus seperti ini sering terjadi bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan bekerja sebagai nelayan.[18]
Menurut data pada tahun 2016, sebanyak 25% yang tergolong masyarakat msikin bersumber dari masyarakat yang tinggal di pesisir pantai.[19] Salah satu program yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia untuk melindungi nelayan dengan diluncurkannya Kartu Nelayan.[19] Program ini tertuang dalam Peraturan Menteri No. 16 Tahun 2016. Namun, dalam pelaksanaannya masih terjadi kesenjangan di pihak perizinan di tingkat desa maupun kelurahan terutama bagi perempuan. Menurut survei, sebanyak 3,9 juta perempuan nelayan belum diakui eksistensinya oleh negara.[20] Pihak pemberi izin, sulit mengakui tentang profesi perempuan sebagai nelayan, hal ini diakibatkan oleh budaya yang menyebutkan bahwa perempuan tidak cocok untuk melaut. Oleh karena itu, para perempuan nelayan sulit mendapatkan akses asuransi ketika bekerja atau Kartu Nelayan.[19]
Perempuan Petani di Indonesia
suntingDampak dari perubahan iklim mempengaruhi hasil panen,[18] bahkan mengalami gagal panen. Beberapa faktor penyebabnya bisa dari kekeringan, banjir, dan serangan hama. Para perempuan petani sering mencari cara agar tetap bisa bertani, misalnya dengan mengganti jenis tanaman yang ditanam, namun hasilnya masih saja tidak berdampak. Pada musim biasa, perempuan petani mempunyai tugas untuk menyimpan cadangan makanan dari hasil panen, namun karena jumlah panen semakin berkurang perempuan petani pun sulit menyimpan cadangan makanan, bahkan merasa kekurangan.[18]
Di awal kemunculannya, revolusi hijau mempunyai tujuan sebagai solusi dari perubahan iklim melalui pembangunan di sektor pertanian yang berkelanjutan.[21] Di Indonesia, revolusi hijau berlangsung sejak masa Orde Baru.[21] Kebijakan ini dibuat agar kapabilitas ekonomi meningkat melalui sektor pertanian. Dampak terhadap alam akibat revolusi hijau yaitu membuat tanah menjadi kering. Hal ini karena penggunaan pupuk sintesis dan peptisida yang diharuskan pada saat itu.[22] Oleh karena itu, para petani menjadi ketergantungan kepada pupuk kimia.[23] Pada masa kejayaannya, revolusi hijau memang melahirkan inovasi baru bagi dunia pertanian, tetapi di sisi lain ada kesenjangan sosial yang sangat terlihat, yaitu peran perempuan dalam pertanian yang mulai dikesampingkan. Petani perempuan yang biasanya turun langsung bertani, pada saat itu mulai tergantikan oleh alat-alat canggih yang ditawarkan sebagai inovasi pertanian. Para petani perempuan dipaksa untuk menggunakan benih yang sudah disediakan oleh pabrik untuk bertani, termasuk dalam menggunakan alat pertanian.[22]
Pada tahun 2013, jumlah petani perempuan di Indonesia sebanyak 7 juta jiwa, sedangkan upah yang diberikan bagi mereka 50% lebih rendah dibandingkan dari laki-laki.[24] Oleh karena itu, penguatan sumber daya manusia dengan basis ramah lingkungan bagi petani perempuan sangatlah penting, karena bisa berdampak secara langsung di kehidupan rumah tangga, keluarga, dan komunitas perempuan tani lainnya.[24]
Pemenuhan pengetahuan umum mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bagi perempuan sudah mulai disosialisasi dalam beberapa program. Salah satunya di bidang pertanian. Program tersebut di antaranya:
- Program Terpadu Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera, program ini sudah dilaksanakan sejak 22 Desember 1978 - 21 April 1979 yang bekerja sama secara langsung dengan Kementerian dalam Negeri. Tujuannya untuk mengembangkan sumber daya manusia dan sumber daya alam agar menjadi keluarga sehat dan bahagia. Fokus perhimpunannya untuk perempuan yang tergabung ke dalam PKK.[25]
- Model Desa PRIMA (Perempuan Indonesia Maju dan Mandiri), merupakan program untuk membuat perempuan lebih produktif melalui peningkatan hasil ekonomi dengan stimulus modal usaha di bidang pertanian.[25]
- Desa Mandiri yang Responsif Gender, mempunyai tujuan untuk berkolaborasi dalam pemberdayaan masyarakat miskin yang rawan akan pangan menjadi masyarakat mandiri yang siap menghadapi ketahanan pangan dan gizi. Hasil akhirnya terbentuknya suatu organisasi dan lembaga keuangan yang bersumber dari bantuan sosial.
- Kawasan Rumah Pangan Lestari yang Responsif Gender, yaitu suatu program dalam mendukung ketahanan pangan dengan mengoptimalisasikan kemampuan masyarakat yang bisa dimanfaatkan dalam jangka panjang. Salah satunya dengan memanfaatkan pekarangan rumah sebagai sumber nutrisi keluarga. Program ini hasil inisiasi dari Kementerian Pertanian.[25]
Referensi
sunting- ^ a b c d e f g h i j "Perempuan Dan Dampak Perubahan Iklim - Politik Lipi". www.politik.lipi.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-27. Diakses tanggal 2019-10-25.
- ^ a b c Rusmadi (2016). "Pengarusutamaan Gender dalam Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia". Sawwa. 12 (1): 91–110.
- ^ a b c d "Gender and climate change". IUCN (dalam bahasa Inggris). 2015-11-03. Diakses tanggal 2019-11-12.
- ^ a b Polk, Merritt (2003-03-01). "Are women potentially more accommodating than men to a sustainable transportation system in Sweden?". Transportation Research Part D: Transport and Environment. 8 (2): 75–95. doi:10.1016/S1361-9209(02)00034-2. ISSN 1361-9209.
- ^ a b McGrath, Matt. "PBB: Rencana iklim harus dilaksanakan untuk mencegah pemanasan berbahaya". BBC News Indonesia. Diakses tanggal 2019-11-13.
- ^ a b c "Greta Thunberg, Remaja Penggertak Pemimpin Dunia". CNN Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-08.
- ^ a b "Premiere The Age of Stupid; Tanda Pengingat Bencana Akibat Perubahan Iklim | WWF Indonesia". www.wwf.or.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-25. Diakses tanggal 2019-11-09.
- ^ a b Daulay, Fahrizal Fahmi. "Meilinda Harefa Raih Beasiswa AusAid". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2019-11-09.
- ^ a b Nurtjahyo, Lidwina Inge. "Perempuan lebih rentan jadi korban bencana alam. Apa yang bisa dilakukan?". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-10-25.
- ^ Holder, Alison (2019-09-25). "A Woman-Focused Climate Agenda | by Alison Holder & Sivananthi Thanenthiran". Project Syndicate (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-12.
- ^ Utomo, Happy Ferdian Syah (2018-10-08). Kristanti, Elin Yunita, ed. "Ilmuwan: Naiknya Permukaan Laut Akibat Perubahan Iklim Memperparah Dampak Tsunami". Liputan6.com. Diakses tanggal 2019-11-07.
- ^ a b c Pratama, Aswab Nanda. Galih, Bayu, ed. "26 Desember 2004, Gempa dan Tsunami Aceh Menimbulkan Duka Indonesia." Kompas.com. Diakses tanggal 2019-10-25.
- ^ Welle (www.dw.com), Deutsche, Pemanasan Global Picu Badai Makin Sering | DW | 09.05.2016, diakses tanggal 2019-11-07
- ^ a b c Setyanti, Christina Andhika. "Alasan Mengapa Badai Selalu 'Bernama' Perempuan". CNN Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-10-26.
- ^ a b Utomo, Ardi Priyatno. Utomo, Ardi Priyatno, ed. "Dampak Gelombang Panas Landa Perancis, Hampir 1.500 Orang Meninggal". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-10-25.
- ^ "1.500 Orang Tewas Akibat Gelombang Panas di Perancis". Tirto.id. Diakses tanggal 2019-10-25.
- ^ a b c d e Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, - (2015). Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim yang Responsif Gender. Jakarta: Deputi Bidang Pengarustamaan Gender Bidang Politik Sosial dan Hukum. hlm. 9–26. ISBN 978-602-74644-7-6.
- ^ a b c d Dewy, Puspa (2012). "Inisiatif Perempuan Menghadapi Skema Kebijakan Iklim" (PDF). solidaritasperempuan.org. Diakses tanggal 27.
- ^ a b c Author, Post. "Perempuan Nelayan, Sebuah Fakta yang Masih Terdiskriminasi – Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan – LIPI". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-26. Diakses tanggal 2019-10-26.
- ^ Sihombing, Martin. Sihombing, Martin, ed. "3,9 Juta Perempuan Nelayan Belum Diakui Negara". Bisnis.com. Diakses tanggal 2019-10-27.
- ^ a b "Sedikit tentang Revolusi Hijau". Bina Desa. 2014-03-17. Diakses tanggal 2019-10-26.
- ^ a b "PBB Pasang Badan untuk Pertanian "Cerdas" Iklim (Climate Smart Agriculture)". Serikat Petani Indonesia. 2014-09-29. Diakses tanggal 2019-10-26.
- ^ arief1975. "Pertanian Indonesia Pasca Revolusi Hijau". Hijauku.com - Situs Hijau Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-10-26.
- ^ a b "Petani Perempuan Diklaim Bisa Jadikan Indonesia Berdaya". www.neraca.co.id. Diakses tanggal 2019-10-27.
- ^ a b c Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, - (2015). Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim yang Responsif Gender. Jakarta: Deputi Bidang Pengarustamaan Gender Bidang Politik Sosial dan Hukum. hlm. 9–26. ISBN 978-602-74644-7-6.