Suku Banjar

kelompok etnik yang berasal dari wilayah tenggara Kalimantan
Revisi sejak 4 Januari 2022 14.22 oleh Fdlystry (bicara | kontrib)

Suku Banjar atau Melayu Banjar (Banjar: Urang Banjar / اورڠ بنجر) adalah salah satu Suku Melayu yang menempati wilayah Kalimantan Selatan, serta sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur. Populasi Suku Banjar dengan jumlah besar juga dapat ditemui di wilayah Riau, Jambi, Sumatra Utara dan Semenanjung Malaysia karena migrasi Orang Banjar pada abad ke-19 ke Kepulauan Melayu.[3]

Al Arsyadiyah
Al Banjari اورڠ بنجر
Berkas:Syamsudin Noor.jpg
Berkas:Djohan effendi.jpg
Daerah dengan populasi signifikan
Indonesia Indonesia (Sensus 2010)4.127.124[1]
Kalimantan Selatan2.686.627
Kalimantan Tengah464.260
Kalimantan Timur440.453
Riau227.239
Sumatra Utara125.707
Jambi102.237
Kalimantan Barat14.430
Jawa Timur12.405
Kepulauan Riau11.811
Malaysia Malaysia1.256.000[2]
Singapura Singapura8.210
Bahasa
Banjar, Indonesia, dan Melayu
Agama
Islam Sunni
Kelompok etnik terkait
Dayak (Meratus, Maanyan, Bakumpai, Ngaju), Kutai, Melayu
Sketsa seorang pembesar Kerajaan Banjar sekitar tahun 1850 (koleksi Museum Lambung Mangkurat).

Berdasarkan sensus penduduk 2010 orang Banjar berjumlah 4,1 juta jiwa. Sekitar 2,7 juta orang Banjar tinggal di Kalimantan Selatan dan 1 juta orang Banjar tinggal di wilayah Kalimantan lainnya serta 500 ribu orang Banjar lainnya tinggal di luar Kalimantan.

Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yang merupakan pembauran masyarakat beberapa daerah aliran sungai yaitu DAS Bahan, DAS Barito, DAS Martapura dan DAS Tabanio. Dari daerah pusat budayanya ini suku Banjar sejak berabad-abad yang lalu bergerak secara meluas melakukan migrasi secara sentrifugal atau secara lompat katak ke berbagai daerah di Nusantara hingga ke Madagaskar.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman meneliti DNA orang Dayak pada tahun 2012 yang bertujuan memastikan kaitan antara Dayak Maanyan dan Madagaskar.[4]

Upaya-upaya sebelumnya untuk menemukan asal Asia Malagasi menyoroti Kalimantan secara luas sebagai sumber potensial, tetapi sejauh ini tidak ada populasi sumber tegas yang diidentifikasi. Telah dihasilkan data luas genom dari dua populasi Kalimantan Tenggara, Banjar dan Ngaju, bersama-sama dengan data yang dipublikasikan dari populasi di seluruh wilayah Samudra Hindia. Para peneliti menemukan dukungan kuat untuk asal mula leluhur Asia Malagasi di antara orang Banjar. Kelompok ini muncul dari keberadaan lama sebuah pos perdagangan Kekaisaran Melayu di Kalimantan Tenggara, yang mendukung pencampuran antara Melayu dan kelompok Borneo asli, Ma'anyan. Menggabungkan data genetik, sejarah, dan linguistik, para peneliti menunjukkan bahwa Banjar, dalam pelayaran yang dipimpin orang Melayu, adalah sumber Asia yang paling memungkinkan di antara kelompok-kelompok yang dianalisis dalam pendirian kumpulan gen Malagasi.[5]

Hipotesis nenek moyang orang Madagaskar sempat diduga berasal dari Suku Bajo, Bugis dan Dayak Maanyan, namun ternyata konfirmasi riset genetik menunjukkan itu identik dengan Suku Banjar.[6]

Mengapa Bahasa Madagaskar atau Malagasy 90 persen sama dengan Bahasa Dayak Maanyan di Kalimantan Selatan walaupun orang Dayak Maanyan genetiknya tidak sama dengan Madagaskar? Secara genetik, orang Madagaskar jauh lebih dekat dengan orang Banjar. Dari riset genetik dan antropologi dapat disimpulkan bahwa bahasa Dayak Maanyan dipakai orang Banjar dan dibawa pergi ke Madagaskar 1200 tahun lalu.[7]

Nicolas Brucato, peneliti dari Laboratorium Antropologi Molekuler dan Sintesis Citra (AMIS), Universitas Toulouse, Prancis mengungkapkan bahwa bedasarkan penelitian antropologi menunjukkan bahasa orang Malagasi berakar dari bahasa orang Dayak Ma’anyan yang ada di Kalimantan bagian tenggara. Namun genetik orang Malagasi justru lebih dekat kepada orang Banjar, yang juga berasal dari kawasan yang sama dengan Dayak Ma’anyan. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara warisan genetik dan bahasa orang Dayak Ma’anyan di masyarakat Malagasi.[8]

Gen orang Madagaskar terdiri atas 37% gen orang Banjar (Kalimantan) dan 63% gen orang Bantu (Afrika Selatan). Percampuran ini sudah lebih dari tujuh abad, sejak 1275 M.[9]

Kelompok Ricaut telah menunjukkan bahwa keragaman genetik Malagasi adalah 68 persen orang Afrika dan 32 persen orang Asia. Berdasarkan bukti mereka, Banjar adalah populasi Asia yang paling mungkin melakukan perjalanan ke Madagaskar. Penanggalan genetik mendukung hipotesis bahwa migrasi Austronesia ini terjadi sekitar 1.000 tahun yang lalu, sedangkan migrasi Bantu terakhir yang signifikan ke Madagaskar dimulai 300 tahun kemudian, mungkin setelah perubahan iklim di Afrika. Pergeseran bahasa diduga telah terjadi di Kalimantan Tenggara setelah migrasi Banjar ke Madagaskar. Diperkirakan bahwa orang Banjar, yang saat ini berbicara bahasa Melayu, mungkin berbicara bahasa yang lebih dekat dengan bahasa yang direkonstruksi untuk Proto-Malagasi. Perubahan linguistik ini akan mengikuti campuran budaya dan genetik utama dengan Melayu, didorong oleh pos perdagangan Kekaisaran Melayu di Kalimantan Tenggara. Runtuhnya Kekaisaran Melayu selama abad ke-15 dan ke-16 bisa bersamaan dengan berakhirnya campuran gen Melayu ke dalam populasi Banjar.[10]

Terdapat empat fase migrasi yang terjadi di Afrika Timur. Migrasi Banjar 'melahirkan' budaya baru karena berpadu dengan Afrika Timur di Madagaskar dan Komoro terjadi pada fase kedua. Budaya tersebut berada dan hidup berdampingan selama berabad-abad dan memunculkan budaya baru.[11]

Secara genetika suku Banjar purba sudah terbentuk ribuan tahun yang lalu yang merupakan pembauran orang Melayu purba sebagai unsur dominan dan Dayak Maanyan. Suku Banjar yang memiliki genetik Melayu dominan ini telah melakukan migrasi keluar pulau Kalimantan sekitar tahun 830 Masehi atau 1.200 tahun yang lalu menuju Madagasikara alias Madagaskar yang menurunkan bangsa Malagasi.[12][13][14][14][15][16]

Bahasa Malagasi menunjukkan unsur-unsur bahasa Banjar dan bahasa Maanyan, misalnya varika dari warik (bahasa Banjar) dan rano dari kata ranu (bahasa Maanyan).[17] [18] Adat pemakaman sekunder Dayak beragama Kaharingan yang disebut aruh Buntang disebut Famadihana di Madagaskar. Tetapi di Madagaskar tidak terdapat upacara Ijambe (kremasi/ngaben) maupun Aruh Baharin/Aruh Ganal (upacara panen) yang masih dilakukan masyarakat Dayak Kaharingan di Kalsel. Adat mengayau juga tidak dilakukan oleh penduduk Madagaskar. Selain itu masih terdapat adat memberi makan buaya di Madagaskar dan yang juga masih dilakukan orang Banjar di Kalimantan Selatan.

Suku bangsa Banjar adalah pembauran orang Melayu purba yang membawa bahasa Melayik dengan Dayak Barito-Meratus dari suku Dayak Maanyan, Dayak Meratus, dan sebagian rumpun Dayak Ngaju terutama yang tinggal di hilir (disebut Dayak Ngawa: Berangas, Mendawai dan Bakumpai). Dan terakhir juga dilakukan Dayak Abal (rumpun Lawangan), yang hampir seluruh anggota sukunya bergabung dan berasimilasi dengan suku Banjar dan konversi ke agama Islam serta meninggalkan bahasa ibunya. Namun saat mereka masih belum diidentifikasikan sebagai Dayak. Dan sebelum Dayak dipakai sebagai penyebutan pribumi asli Borneo.

Sekitar tahun 1526, ketika raja Banjar menerima dan memeluk Islam maka diikuti seluruh kalangan penduduk Kerajaan Banjar untuk melakukan konversi massal ke agama Islam, sehingga kemunculan suku Banjar dengan ciri keislamannya ini bukan hanya sebagai konsep etnis tetapi juga konsep politis, sosiologis, dan agamais. Kelompok masyarakat yang telah menganut Islam ini disebut Oloh Masih dalam bahasa Dayak Ngaju atau Ulun Hakey dalam bahasa Dayak Maanyan. Menurut Tjilik Riwut dalam "Kalimantan membangun, alam, dan kebudayaan: 407" Bila tamu yang datang mengatakan oloh masih berarti tamu yang datang beragama Islam. Untuk tamu yang beragama Islam, akan diserahkan ayam hidup, telur dan sayur-sayuran untuk dimasak sendiri.......[19] Namun sebagian penduduk yang masih ingin mempertahankan agama suku Kaharingan lebih memilih untuk bermigrasi ke daerah perhuluan dan dataran tinggi yang sekarang menjadi Dayak Maanyan dan Dayak Meratus. Suku Dayak Banjar di Desa Hampang dan Bangkalaan Dayak Kotabaru menurut ceritanya merupakan salah satu kelompok suku Dayak keturunan Kerajaan Banjar yang nampak dari bahasa dan pakaian adat mereka yang persis seperti Urang Banjar, oleh karena itu mereka memiliki ritual aruh khusus dengan menggunakan Balian Dewa yang tidak mengenal tuak dan babi dengan iringan gamelan lengkap yang terdiri dari babon, gendang, agung, gambang dan saron yang dipimpin minimal oleh tiga orang Balian.

Pada zaman dahulu, suku Banjar termasuk masyarakat bahari atau berjiwa kemaritiman. Perjanjian tanggal 18 Mei 1747 dan Perjanjian 20 Oktober 1756 antara Sultan Banjar Tamjidillah I dengan VOC-Belanda tentang monopoli perdagangan oleh VOC-Belanda di Kesultanan Banjar di antaranya mengatur bahwa orang Banjar tidak boleh lebih berlayar ke sebelah timur sampai ke Bali, Bawean, Sumbawa, Lombok, batas ke sebelah barat tidak boleh melewati Palembang, Johor, Malaka dan Belitung.[20][21] [22]

Etimologis

Menurut Hikayat Banjar, dahulu kala penduduk pribumi Kalimantan Selatan belum terikat dengan satu kekuatan politik dan masing-masing puak masih menyebut dirinya berdasarkan asal Daerah Aliran Sungai misalnya orang batang Alai, orang batang Amandit, orang batang Tabalong, orang batang Balangan, orang batang Labuan Amas, dan sebagainya. Sekitar abad ke-13 sebuah entitas politik yang bernama Negara Dipa terbentuk yang mempersatukan puak-puak yang mendiami semua daerah aliran sungai tersebut. Negara Dipa kemudian digantikan oleh Negara Daha. Semua penduduk Kalimantan Selatan saat itu merupakan warga Kerajaan Negara Daha, sampai ketika seorang Pangeran dari Negara Daha mendirikan sebuah kerajaan di muara Sungai Barito yaitu Kesultanan Banjar. Dari sanalah nama Banjar berasal, yaitu dari nama Kampung Banjar yang terletak di muara Sungai Kuin, di tepi kanan sungai Barito. Kampung ini dipimpin oleh seorang Patih (Kepala Kampung) yang bernama Patih Masih. Gabungan nama kampung Banjar dan nama Patihnya tersebut sehingga kampung ini lebih dikenal dengan nama panjangnya Kampung Banjar Masih. Kelak kampung ini berkembang menjadi Kerajaan Banjar Masih dengan raja pertama Sultan Suriansyah, yang merupakan keponakan dari penguasa Kerajaan Hindu Negara Daha yang terletak di pedalaman.[23]

Kerajaan Banjar Masih merupakan kerajaan baru yang muncul untuk memisahkan diri dari Negara Daha. Kerajaan Banjar Masih dengan rakyatnya yang dikenal sebagai orang Banjar Masih, merupakan entitas politik yang dibenturkan dengan orang Negara Daha (atau disebut juga orang Banjar Lama/proto Banjar) yang merupakan warga negara Kerajaan Negara Daha yang menjadi rivalnya. Kerajaan Negara Daha (atau disebut juga wilayah Batang Banyu) akhirnya berhasil ditaklukan dan wilayahnya dimasukan ke dalam Kerajaan Banjar Masih. Kekuatan kerajaan Banjar Masih didukung penuh oleh Kesultanan Demak yang memberi persyaratan bahwa raja dan rakyat Banjar Masih (beserta bekas Negara Daha) harus melakukan reformasi dengan menerima agama baru yaitu agama Islam, yang kini menjadi identitas orang Banjar sebagai etnoreligius/kultur grup Muslim yang membedakannya dari masyarakat sekitarnya pada masa itu.[23]

Jadi pada pra-Islam, penduduk kampung Banjar Masih dan kampung sekitarnya yang ada di hilir sungai Barito tergolong sebagai warganegara Kerajaan Negara Daha atau Orang Negara Daha. Namun belakangan nama Banjar lebih populer sehingga dipakai untuk menamakan penduduk pada kedua wilayah tersebut, walaupun pada kenyataan kebudayaan di wilayah Batang Banyu merupakan kebudayaan Banjar yang lebih klasik. Penduduk Banjar dan Negara Daha sebenarnya menggunakan bahasa yang sama namun berbeda dialek. Peperangan antara Banjar melawan Negara Daha yang dimenangkan oleh Banjar ini hampir mirip dengan peperangan antara Demak melawan Majapahit yang dimenangkan oleh Demak, namun perbedaannya adalah Banjar kemudian dipakai sebagai nama etnik dan sedangkan Demak bukan merupakan nama etnik. Di daerah asalnya yang merupakan pusat budaya Banjar, suku Banjar terbagi menjadi tiga kelompok menurut lokasi permukimannya, berturut-turut kelompok pertama yaitu kelompok orang Banjar Masih yang kini lebih dikenal sebagai orang Banjar Kuala karena secara geografis mendiami bagian kuala/hilir, sedangkan kelompok kedua yaitu bekas penduduk kerajaan Hindu Negara Daha (Banjar klasik) dikenal sebagai Banjar Batang Banyu, sedangkan kelompok ketiga dikenal sebagai Banjar Pahuluan yang hidup secara harmonis dengan tempat tinggal yang bersisian langsung dengan beberapa sub suku Dayak yang masih menganut agama Kaharingan. Di wilayah Pahuluan bagian utara masih dapat ditemukan kantong-kantong permukiman sub-sub Dayak Maanyan seperti Dayak Warukin dan Dayak Dusun Halong. Sedangkan di wilayah Pahuluan bagian tengah dan selatan, ditemukan sub-sub Dayak Meratus (Banjar arkhais) seperti Dayak Pitap, Dayak Labuhan dan lain-lain.

Kekerabatan genetika dengan Dayak Meratus menurut mitologi

Mitologi suku Dayak Meratus (Suku Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar (terutama Banjar Pahuluan) dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Datung Ayuh (datung= kakek buyut) atau Si Ayuh/Dayuhan/Sandayuhan yang menurunkan suku Bukit dan Bambang Siwara/Bambang Basiwara alias Intingan yang menurunkan suku Banjar.[24] Dalam khasanah cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus ditemukan legenda yang sifatnya mengakui atau bahkan melegalkan keserumpunan genetika (saling berkerabat secara geneologis) antara orang Banjar dengan orang Dayak Meratus. Dalam cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus dimaksud terungkap bahwa nenek moyang orang Banjar yang bernama Bambang Basiwara adalah adik dari nenek moyang orang Dayak Meratus yang bernama Sandayuhan. Bambang Basiwara digambarkan sebagai adik yang berfisik lemah tetapi berotak cerdas. Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak yang berfisik kuat dan jago berkelahi.

Sesuai dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau cikal-bakal orang Dayak Maratus, maka nama Sandayuhan sangat populer di kalangan orang Dayak Meratus. Banyak sekali tempat-tempat di seantero pegunungan Meratus yang sejarah keberadaannya diceritakan berasal usul dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di antaranya adalah tebing batu berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari Samali’ing, setan berkepala tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu kontak fisik yang sangat menentukan.[25]

Kekerabatan genetika dengan Orang Komoro dan Orang Madagaskar menurut riset ilmiah

Riset ilmiah telah dilakukan untuk meneliti kekerabatan genetika orang Banjar dengan Orang Madagaskar seperti komunitas Vezo/Bajo (sub Sakalava?), Mikea (sub Masikoro) adn Antemoro.[26]

Arsitektur rumah etnik Banjar
Arsitektur cungkup makam etnik bangsa Malagasi

Penelitian genetika oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menemukan bahwa etnis Banjar di Kalimantan Selatan sebagai nenek moyang penduduk Madagaskar yang biasa disebut bangsa Malagasi. Diaspora melintasi Samudra Hindia itu terjadi 1.200 tahun lalu dan menjawab teka-teki orang Indonesia yang menjadi leluhur populasi di lepas pantai timur Afrika tersebut. Dugaan bahwa nenek moyang orang Madagaskar berasal dari Indonesia sebenarnya telah lama diketahui.[27][28][29][30][31] Dapat dipastikan bahwa 90 persen bahasa Madagaskar berakar dari bahasa Dayak Ma’anyan yang tinggal di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Kesamaan bahasa itu yang membuat Dayak Ma’anyan awalnya diduga sebagai leluhur Madagaskar.[32] Riset genetika yang dilakukan peneliti Lembaga Eijkman Institute for Molecular Biology yang beralamat di Jl. Dipenogoro 69 Jakarta menemukan bahwa genetika Dayak Ma’anyan berbeda dengan orang Madagaskar. Hasil studi tersebut telah dipublikasikan pada jurnal Nature Scientific Reports edisi 18 Mei 2016.[33][34]

Sejumlah peneliti dari Universitas Toulouse, Prancis dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman telah mencocokkan genetika orang Madagaskar dengan seluruh data genetik orang Indonesia lainnya. Hasil dari penelitian tersebut ditemukan kecocokan genetika orang Madagaskar dengan orang Banjar. Orang Banjar sendiri terbentuk dari percampuran Dayak Ma’anyan dengan Melayu. Percampuran itu diduga terjadi karena kegiatan perdagangan lintas pulau di Nusantara sejak sekitar abad ke-5, dan diduga semakin intensif di era Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7. Orang Melayu yang menjadi nenek moyang orang Banjar ini memiliki kemiripan genetik populasi di Semenanjung Malaysia saat ini. Komposisi orang Banjar adalah 76-77 persen Melayu dan 23-24 persen Dayak Ma’anyan.

Etnis Banjar berlayar ke Madagaskar 1.000-1.200 tahun lalu, kemudian kawin-mawin dengan etnis Bantu dari Afrika Selatan. Percampuran genetik antara Banjar dan Bantu di Madagaskar ini terekam pertama kali sekitar 670 tahun lalu dan kemudian membentuk populasi Madagaskar saat ini, yang memiliki komposisi genetis etnis Banjar 36-37 persen dan sisanya etnis Bantu dari Afrika. (Kompas, Ahmad Arif, 16 Juli 2016).[33][35][36][37][38][39][40][41][42][43][44][45][46][47][48][49]

Haplogroup Y-DNA suku Banjar

Komposisi haplogroup Y-DNA suku Banjar terdiri:
https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Y-DNA_haplogroups_in_populations_of_East_and_Southeast_Asia

  • C - 13.3 % (Paleo Asia, mongolia)
  • F(xK) - 6.7 % (nenek moyang negrito k, dravidia h, kaukasia g, dan Mesopotamia I, j)
  • O1a atau O-M119 - 26.7 % (Austronesia Taiwan)
  • O1b1a1a (M95) atau O-K18 (dahulu disebut Haplogroup O2) - 26.7 % (Austroasiatic Nicobar)
  • O2 atau O-M122 (dahulu disebut Haplogroup O3) - 26.7% - Tibeto-Burma: suku Naga (di timur India); suku Derung (di Yunnan selatan Tiongkok)
  • B4a1a1 - 0 % (motif Polynesia)
  • B4a1a1b - 0 % (motif Madagascar)
  • E1b1b1 - 0 % (motif Yahudi)
O (M175) 
O2 (M122) 
  Sino-Tibetan O2a2b1 (M134) 

 Sinitic O2a2b1a2 (F114) 

 Tibeto-Burman O2a2b1a1 (M117) 

 Hmong–Mien O2a2a1a2 (M7) 

 Hmong (Miao) 

 She (Ratliff 1998

 Mien (Yao) 

O1 (F265) ("Austric") 
 Austroasiatic O1b1a1a (M95) 

 Munda 

 Mon–Khmer 

 Austro-Tai O1a (M119) 
 Austronesian 

 Formosan 

 Malayo-Polynesian 

 Kra–Dai 

 Kadai [Note 1] 

 Kam–Tai 

 Kam–Sui 

 Tai 

M Haplogroup suku Banjar: 0,060 [50][51]

Austronesia-Tai peoples

The following table of Y-chromosome DNA haplogroup frequencies of en:Austro-Tai peoples (i.e., Tai-Kadai peoples and en:Austronesian peoples) is from Li, et al. (2008).[52]

Ethnolinguistic group Language branch n C D
(xD1)
D1 F(xK) M K

(most likely K2a(xN,O)),
K2b (which includes M, P, Q, R & S)
and/or LT
O
(xO1a,
O1b1a1a,O2)
O1a(xO1a2) O1a2 (M110/M50) O1b1a1a
(xO1b1a1a1a1a)
O1b1a1a1a1a (M111/M88) O2
(xO2a1a1a1a1,
O2a2a1a2,
O2a2b1a1)
O2a1a1a1a1 (M121) O2a2a1a2 (M7) O2a2b1
(xO2a2b1a1)
O2a2b1a1 (M117) P (inc. Q & R)
Bunun Austronesian (Formosan) 17 5.9 17.6 58.8 17.6
Saisiyat Austronesian (Formosan) 11 45.5 9.1 9.1 9.1 27.3
Batak Austronesian (Northwest Sumatra–Barrier Islands) 13 11.6 19.3 23.1 15.4 23.1 7.7
Bangka Austronesian (Malayo-Sumbawan) 13 7.7 7.7 30.8 23.1 23.1 7.7
Malay (Riau) Austronesian (Malayo-Sumbawan) 13 7.7 7.7 7.7 38.5 7.7 23.1 7.7
Minangkabau Austronesian (Malayo-Sumbawan) 15 6.7 20.0 20.0 13.3 20.0 20.0
Palembang Austronesian (Malayo-Sumbawan) 11 9.1 63.6 18.2 9.1
Nias Austronesian (Northwest Sumatra–Barrier Islands) 12 8.3 91.7
Dayak (Kalimantan Tengah) Austronesian (Bornean) 15 6.7 26.7 20.0 20.0 6.7 6.7 13.3
Banjar Austronesian (Malayo-Sumbawan) 15 13.3 6.7 26.7 26.7 26.7
Javanese Austronesian (Javanese) 15 26.7 26.7 20.0 13.3 13.3
Tengger Austronesian (Javanese) 12 16.7 8.3 33.3 33.3 8.3
Balinese Austronesian (Malayo-Sumbawan) 14 28.6 14.3 7.1 28.6 14.3 7.1
Bugis Austronesian (South Sulawesi) 15 13.3 20.0 33.3 26.7 6.7
Toraja Austronesian (South Sulawesi) 15 13.3 13.3 13.3 13.3 6.7 33.3 6.7
Minahasa Austronesian (Philippine) 14 7.1 50.0 21.4 7.1 14.3
Makassar Austronesian (South Sulawesi) 13 23.1 30.8 15.4 7.7 23.1
Kaili Austronesian (Celebic) 15 6.7 33.3 20.0 6.7 26.7 6.7
Sasak Austronesian (Malayo-Sumbawan) 15 13.3 13.3 26.7 6.7 20.0 20.0
Sumbawa Austronesian (Malayo-Sumbawan) 18 16.7 83.3
Sumba Austronesian (CEMP) 14 14.3 78.6 7.1
Alor Trans–New Guinea 13 38.5 30.7 23.1 7.7
Cenderawasih
(Geelvink Bay)
Austronesian (CEMP) 11 45.5 36.4 18.2
Cham
(Binh Dinh)
Austronesian (Malayo-Sumbawan) 11 9.1 90.9
Tsat Austronesian (Malayo-Sumbawan) 31 12.9 16.1 58.1 3.2 6.5 3.2

Sejarah

Balai Arkeologi Banjarmasin menemukan bukti bahwa situs Candi Agung di Amuntai, dibangun dan dihuni dua kali oleh leluhur suku Banjar pada abad ke-3 dan abad ke-8.[53]
Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
Balai Arkeologi Banjarmasin menemukan bukti berdasarkan analisis arang karbon atau C14 bahwa situs-situs di Margasari yaitu situs Pematang Bata berusia pada abad ke-13 Masehi dan situs Candi Laras berusia pada abad ke-14 Masehi.[54]

Suku Banjar, merupakan nasion lama, penduduk asli dari bekas Kerajaan Banjar yang dihapuskan Belanda tahun 1860.[55]

Suku bangsa Banjar terbentuk dari suku-suku Bukit, Maanyan, Lawangan dan Ngaju yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu yang berkembang sejak zaman Sriwijaya dan kebudayaan Jawa pada zaman Majapahit, dipersatukan oleh kerajaan yang beragama Buddha, Hindu dan terakhir Islam, dari kerajaan Banjar, sehingga menumbuhkan suku bangsa Banjar yang berbahasa Banjar.[56] Suku bangsa Banjar terbagi menjadi tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala). Banjar Pahuluan pada asasnya adalalah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus. Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar Kuala mendiami sekitar Banjarmasin dan Martapura. Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang terbagi ke dalam dua dialek besar yaitu Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860) adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibu kotanya pada mula berdirinya. Ketika ibu kota dipindahkan ke arah pedalaman (terakhir di Martapura), nama tersebut tampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.[57]

Sejak abad ke-19, suku Banjar migrasi ke pantai timur Sumatra dan Malaysia. Di Malaysia, suku Banjar digolongkan sebagai bagian dari Bangsa Melayu.

Kesultanan Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah seperti saat ini, kemudian pada abad ke-16 terpecah di sebelah barat menjadi kerajaan Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta Kasuma bin Sultan Mustain Billah dan pada abad ke-17 di sebelah timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah yang berkembang menjadi beberapa daerah: Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal.

Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer orang Banjar, selanjutnya dengan budaya maadam, orang Banjar merantau hingga ke luar pulau misalnya ke Kepulauan Sulu bahkan menjadi salah satu dari lima etnis yang pembentuk Bangsa Suluk atau Tausug (yakni percampuran orang Buranun, orang Tagimaha, orang Baklaya, orang Dampuan/Champa dan orang Banjar).[58][59][60][61][62][63][64][65]

Hubungan antara Banjar dengan Kepulauan Sulu atau Banjar Kulan terjalin ketika para pedagang Banjar mengantar seorang Puteri dari Raja Banjar untuk menikah dengan penguasa suku Buranun (suku tertua di Kepulauan Sulu). Salah satu rombongan bangsa Suluk yang menghindari kolonial Spanyol dan mengungsi ke Kesultanan Banjar adalah moyang dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Banjar Pahuluan

 
Orang [Banjar] Pahuluan puak Amandit (Kandangan)

Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibu kota, masing-masing tentu menjumpai penduduk pedalaman, yaitu Orang Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama.

Untuk kepentingan keamanan, atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek permukiman tersendiri. Komplek permukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek permukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai di kalangan masyarakat orang Bukit, yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini tampaknya wilayah permukiman pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur orang Bukit ikut membentuknya. Banjar Pahuluan ini kerap disebut sebagai Urang Pahuluan yang saat ini tersebar di 6 Kabupaten yang disebut Banua Anam. Keenam kabupaten tersebut adalah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong. [57]

Banjar Batang Banyu

 
Perkampungan orang [Banjar] Batang Banyu puak Nagara Daha

Masyarakat (Banjar) Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong. Sebagai warga yang berdiam di ibu kota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari Orang Maanyan (dan Orang Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Banjar Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.[57]

Banjar Kuala

 
Perkampungan orang Banjar [Kuala].

Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan bersama-sama dengan penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar. Di kawasan ini mereka berjumpa dengan orang Ngaju, yang seperti halnya dengan masyarakat Bukit dan masyarakat Maanyan serta Lawangan, banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam. Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibu kota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.[57]

Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. Dalam amalgamasi (campuran) baru ini telah bercampur unsur budaya Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton. Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah grup atau kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan.

Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan-etnik Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya.[66]

Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar, ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti Patih Belandean, Patih Belitung, Patih Kuwi dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Maanyan. Kelompok ini diberi agama baru yaitu agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia.[67]

Sosio-historis

Secara sosio-historis masyarakat Banjar adalah kelompok sosial heterogen yang terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama, sehingga kemudian membentuk identitas etnis (suku) Banjar. Artinya, kelompok sosial heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang tidak sepenuhnya alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang cukup kompleks.[68]

Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok yang ada di sekitarnya yang kini disebut sebagai Dayak, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai "babarasih" (membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar.[57]

Masyarakat Banjar bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tetapi ia merupakan konstruksi historis secara sosial suatu kelompok manusia yang menginginkan suatu komunitas tersendiri dari komunitas yang ada di kepulauan Kalimantan. Etnik Banjar merupakan bentuk pertemuan berbagai kelompok etnik yang memiliki asal usul beragam yang dihasilkan dari sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan titik berangkat pada proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demak sebagai syarat berdirinya Kesultanan Banjar. Banjar sebelum berdirinya Kesultanan Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah ksesatuan identitas suku atau agama, namun lebih tepat merupakan identitas yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal.[69]

Suku Banjar yang semula terbentuk sebagai entitas politik terbagi 3 grup (kelompok besar) berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku berdasarkan persfektif kultural dan genetis:

  1. Grup Banjar Pahuluan adalah campuran orang Melayu-Hindu dan orang Bukit yang berbahasa Melayik (unsur Bukit sebagai ciri kelompok)
  2. Grup Banjar Batang Banyu adalah campuran orang Pahuluan, orang Melayu-Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Maanyan, orang Lawangan, orang Bukit dan orang Jawa-Hindu Majapahit (unsur Maanyan seperti Debagai ciri kelompok). Di Kalsel masih dapat ditemukan komunitas sub-Dayak Maanyan yang masih menganut adat Kaharingan yang bertetangga dengan perkampungan suku Banjar seperti Dayak Warukin, Dayak Balangan, dan Dayak Samihim.
  3. Grup Banjar Kuala[70] adalah campuran orang Kuin, orang Batang Banyu, orang Dayak Ngaju (Berangas, Bakumpai),[71] orang Kampung Melayu,[72] orang Kampung Bugis-Makassar,[73] orang Kampung Jawa,[74] orang Kampung Arab,[73] dan sebagian orang Cina Parit yang masuk Islam (unsur Ngaju sebagai ciri kelompok). Proses amalgamasi masih berjalan hingga sekarang di dalam grup Banjar Kuala yang tinggal di kawasan Banjar Kuala - kawasan yang dalam perkembangannya menuju sebuah kota metropolitan yang menyatu (Banjar Bakula).

Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka percampuran suku Banjar dengan orang Ngaju/serumpunnya (Kelompok Barito Barat) yang berada di sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku Banjar dengan orang Maanyan/serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.

Asal-usul bangsawan Banjar dari Mahasin/Mo-he-xin (pra Tumasik) menurut Naskah Wangsakerta

Inilah Pustaka Kerajaan-kerajaan di Bumi Nusantara (iti Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara) Bab 3 Bagian 2 (tritiya sargah ri dwitiya parwa)

/Halaman 162/ … Kemudian menurut kisah yang lain lagi, yaitu mengenai kerajaan-kerajaan di Sumatra (swarnadwipa), pada patangatus-rwalikur-ikang-çakakāla (422 S ~ 500 M), di bumi Sumatra terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Pali (rājya pali) yang terletak di Sumatra-(swarnabhumi)-bagian-utara dan tengah-bagian-utara. Kedua adalah Kerajaan Melayu, yang disebut juga Sriboja (rājya malayu sinebut juga çriboja), berada di Sumatra-bagian-selatan dan tengah-bagian-selatan.

Di Sumatra-bagian-utara yang termasuk /163/ kekuasaan Kerajaan Pali, di situ terdapat beberapa kerajaan kecil yang tunduk dan mengabdi kepada kekuasaan Maharaja Pali (kawaçaning mahārāja pali). Beberapa kerajaan diantaranya adalah Kerajaan Indrapuri (rājya indrapuri), Kerajaan Indrapurwa (rājya indrapurwa), Kerajaan Indrapatra (rājya indrapatra), Kerajaan Kendari (rājya kandhari) dan banyak lagi yang lain. Begitu pula negeri-negeri (déça mandala) Parlak, Paséh, Samudra, Nago, Barus, Pagay, Lamuri, Haru, Tamyang, dan banyak lagi yang lainnya. Keseluruhan jumlah negeri-negeri tersebut adalah kira-kira seratus empat puluh negeri di bawah Kerajaan Pali di Bumi Sumatra.

/164/ Di wilayah kerajaan [Pali, sebagian besar] rakyatnya memeluk agama Budha (budhayana) tetapi di beberapa wilayah seperti: Pagay, Lamuri, Haru, dan Tamyang, mereka memuja nenek-moyang (pitrepuja), memuja gunung (parwatapuja), memuja api (agnipuja), memuja sungai (lwahpuja), memuja matahari (suryapuja), memuja bulan (candrapuja), memuja batu (watupuja), memuja pepohonan (sdhāwarapuja), memuja langit (akaçapuja), dan banyak lagi yang mereka sembah.

Masyarakat yang menganut ajaran nenek-moyang tersebut [umumnya] tidak berpakaian, dan mereka juga gemar memakan orang sesamanya (mangan mwang samanya), serta meminum darah manusia dan binatang (anginum rāh manusa mwang satwa). Di samping itu ada juga yang /165/ berpakaian daun-daunan, atau bercawat dari kulit binatang. Juga ada yang berpakaian serat kulit kayu. Di antara mereka banyak yang tinggal di hutan, mereka bersembunyi dan berpencar-pencar.

Itulah sebabnya warga masyarakat yang tinggal di wilayah Pagay, Lamuri, Haru, dan Tamyang, tidak mengenal agama Budha, tidak seperti negeri lainnya.

Pada patangatus-patang-puluh ikang çakakāla (440 S ~ 518 M) Kerajaan Pali mengikat persahabatan dengan kerajaan Cina (rājya cina). Selanjutnya pada patangatus-patang-puluh-lima ikang çakakāla (445 S ~ 523 M) Kerajaan Pali mengutus seorang duta ke /166/ Kerajaan Cina. Sebagai sahabat, Raja Pali mendapat bingkisan berbagai barang hasil bumi dan hasil kerajinan tangan.

Adapun di Sumatra-bagian-selatan dan tengah-bagian-selatan, adalah kekuasaan Kerajaan Sriboja atau Negara Melayu (kacakrawartyan ing rājya çriboja athawa malayu nagara), yang terletak di Palembang (hanéng palémbang).

Di wilayah [Melayu] terdapat lebih dari seratus negeri besar dan kecil. Beberapa ada yang cukup besar, namun semuanya tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Melayu (séwaka ring rājya melayu) yaitu Kerajaan Sriwijaya (rājya çriwijaya) di Jambi wilayahnya (i jambi mandalanira), Kerajaan Tulangbawang (rājya tulangbawang), /167/ Kerajaan Siak (rājya syak), kemudian Rekan, Kampay, Pane, Bangka, Balitung, Nias (nayas), Tanjungkidul, dan banyak lagi yang lainnya.

Pada [patangatus]-telung-puluh-sanga ikang çakakāla (439 S – 517 M) Kerajaan Melayu mengikat persahabatan dengan Kerajaan Cina.

Adapun warga masyarakat Kerajaan Melayu memeluk agama Budha.

Pada masa itu kerajaan-kerajaan di Bumi Nusantara saling bersahabat (silih amitra). Demikian pula Kerajaan Melayu bersahabat dengan Kerajaan Tarumanagara (rājya tarumanagara). Kerajaan Pali, Kerajaan Bakulapura (Borneo – Kalimantan?), Kerajaan Cina, Kerajaan Keling (Jawa Tengah?), dan hampir semua kerajaan di Bumi Nusantara (bhumi nusāntara), serta negeri /168/ yang lain di luar Nusantara (sabrang nusāntara).

Pada limangatus-sangang-puluh-rwa ikang çakakāla (592 S – 670 M), Kerajaan Sriwijaya berkembang menjadi [sebuah] kerajaan besar dengan balatentara yang berani dan kuat. Sebagian wilayah Kerajaan Melayu direbut oleh pasukan perang Kerajaan Sriwijaya. Sebelumnya, yaitu pada limangatus-sangang-puluh-wwalu ikang çakakāla (598 S – 676 M) Kerajaan Pali diserbu, oleh angkatan bersenjata Sriwijaya. [Saat itu] terjadi pertempuran desak-mendesak antara angkatan bersenjata Kerajaaan Pali dengan angkatan bersenjata Sriwijaya.

Adalah /169/ Kerajaan Kendari (rājya kandharī) yang telah menjadi negeri merdeka sejak patangatus-wwalung-puluh-lima ikang çakakāla (485 S – 563 M) dan juga mengikat persahabatan dengan Kerajaan Cina, ikut serta berperang melawan Kerajaan Sriwijaya, tetapi Kerajaan Kendari dapat dikalahkan, dan negaranya dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya.

Pada akhirnya kalahlah semua kerajaan yang ada di Sumatra bagian utara.

Oleh karena itu, angkatan bersenjata kerajaan Pali dan kerajaan-kerajaan taklukannya pergi ke pengungsian. Begitu juga warga masyarakat dan para pembesar (mantri-mantri) /170/ ahli nujum (pranaraja), para pendeta (sang dwija), para pemuka (sang pinakadi), mengungsi menuju ke arah selatan dengan menggunakan berbagai perahu besar maupun kecil; banyaknya beberapa ratus buah.

Ada yang menuju Pulau Jawa, yaitu berhenti dan menetap di kerajaan Indraprahasta (rājya indraprahasta; sejaman dengan Tarumanagara, di lereng timur gunung Ciremay), ada yang berhenti kemudian berdiam di wilayah Bakulapura, ada juga yang berhenti kemudian berdiam di Semenanjung (hujung mendini), Mahasin, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan banyak lagi.

[Satu] kesatuan angkatan bersenjata Kerajaan Pali, lengkap dengan berbagai perlengkapan kerajaannya, berlabuh dan bermukim /171/ di Pulau Lembu (nusa ghoh). Selanjutnya [mereka] mendirikan sebuah kerajaan, yang disebut Kerajaan Pali, atau kemudian disebut Kerajaan Bali (athawa neher sinebut rājya bali).

Begitu juga Kerajaan Mahasin (rājya mahasin), di Semenanjung (i nusa hujung mendini), juga diserbu oleh angkatan bersenjata Sriwijaya. Terjadilah pertempuran, saling beradu [nyawa, namun] akhirnya angkatan bersenjata Kerajaan Mahasin pun dikalahkan.

Sisa-sisa pasukan [Mahasin], semuanya mengungsi dengan menaiki beberapa puluh perahu besar maupun kecil menuju arah selatan. Kemudian mereka berhenti dan bermukin di negeri Banjar yang berada di Bumi /172/ Tanjungpura (banjar mandala i bhumi tanjungpura), yaitu Kalimantan-bagian-selatan (bakulapura bangkidul). Di sana mereka mendirikan kerajaan di negeri Banjar (madeg rājya i banjar déça), dan selanjutnya kerajaan itu disebut Kerajaan Banjarmasin (rājya banjarmahasin).

Adapun [lokasi] Kerajaan Mahasin [sebelumnya], wilayahnya di kemudian hari disebut Tumasik yang terletak di Semenanjung (tumasik i nusa hujung mendini).

Pada nemang-atus-punjul-pat ikang çakakāla (604 S – 682 M), angkatan bersenjata Sriwijaya di bawah pimpinan sang raja yaitu Dapunta Hyang Sri Jayanasa (dapunta hyang çri jayanasa), kembali ke selatan [dari Semenanjung], [yaitu] Manangkabwa. Dari Manangkabwa kemudian pada nemang-atus-punjul-lima ikang çakakāla /173/ (605 – 683 M), angkatan bersenjata Sriwijaya di bawah pimpinan rajanya, yaitu Dapunta Hyang, menyerbu separuh [sisa] Kerajaan Melayu, yang belum dapat dikalahkan. Angkatan bersenjata Sriwijaya yang berjumlah dua-puluh ribu (rwang laksa) orang mengalahkan Kerajaan Melayu secara keseluruhan (siddha paripurnā ngalahaken rājya melayu).

Sisa-sisa angkatan bersenjata Melayu [ada yang] mengungsi ke Kerajaan Sunda di bumi Jawa Barat (rājya sunda i bhumi jawa kulwan).

Kerajaan Melayu yang berada di Palembang sudah ditundukkan oleh Kerajaan Sriwijaya pada nem-angatus-punjul-nem ikang çakakāla (606 S – 684 M) [dimana] Sri Jayanasa mendirikan tanda peringatan (çri jayanasa magaway cétya) /174/ berupa prasasti di Sri Ksetra (praçasti hanéng çri kçétra) bersama para pengikutnya, dengan harapan tidak ada lagi perlawanan dan sejahteralah semua masyarakat: [baik] rendah, menengah, atau utama (wasthā kabéh janapada: kanista madhya mottama), di bawah kekuasaan negara (ng siniwi nagara).

[Untuk memperingati kemenangan di Palembang] Maharaja Sriwijaya mengadakan upacara (magaway sangskārāgama) dan memberikan anugrah (malakwaken dana) kepada kepala agama Budha (dharmadhyaksa ring kasogatan) yaitu Guru Besar Sakyakirti (dang acāryya çakyakirti). Tujuan sang raja adalah agar harta itu digunakan untuk membuat wihara dan keperluan lainnya.

Pada waktu itu, hadir sekalian raja taklukan [dari seluruh] Sumatra, serta semua pemimpin wilayah /175/ dari negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaan Maharaja Sriwijaya (séwaka mahāraja çriwijaya), yaitu: pemuka kaum (sang pinakadi), ahli nujum (sang pranaraja), pembesar kerajaan (mantri raja), perwira angkatan bersenjata (sang tanda), panglima angkatan bersenjata (sang baladika wadyabala), panglima angkatan laut (sénapati sarwajala), duta-duta dari negara sahabat, kepala agama Buddha (dang acāryyāgama budhayāna), kepala agama Nirwana (dang acāryyāgama nirwānayāna), pendeta (dwija), para sanggha: biksu, biksuni, upasaka, dan upasika. Begitu juga beberapa ribu angkatan bersenjata Sriwijaya dan sejumlah warga masyarakat.

Kerajaan Sriwijaya menguasai seluruh Pulau Sumatra (wus nyakrawarti rat swarnabhumi) pada nem-angatus-telu-welas ikang çakakāla /176/ (613 S – 691 M), sebagai maharaja dimana semua raja-raja di Pulau Sumatra telah takluk dan berada di bawah kuasa Sriwijaya (ri séwaka ring çriwijaya).

Dengan Kerajaan Sunda, Kerajaan Sriwijaya telah membuat perjanjian, keduanya tidak akan saling menyerang negara masing-masing, dan bekerja sama dalam persahabatan. Oleh karena itu duta Sriwijaya berada di Kerajaan Sunda dan duta Kerajaan Sunda berada di Kerajaan Sriwijaya. [Lalu dibuat] Piagam perjanjian yang ditulis bersama pada tanggal 14, paro-terang, bulan Magha (ing catur daça çuklapaksa, māghamasa) /177/ nem-angatus-punjul-pitu ikang çakakāla (607 S – 685 M) oleh keduanya, antara Sri Maharaja Jayanasa, Raja Kerajaan Sriwijaya dari Pulau Sumatra, dan Sri Maharaja Tarusbawa, Raja Kerajaan Sunda dari Jawa Barat di Pulau Jawa.[75]

Suku Banjar Perantauan

 
Suasana pasar rakyat di Pasar Terapung Lok Baintan. Pada zaman dahulu saudagar Banjar melakukan perdagangan interinsuler maupun perdagangan inter-kontinental.
 
Sejak tahun 1882 mulai dibukanya perluasan jalur pelayaran kapal KPM (Koninklijk Paketvaart Maatshappij) melintasi Singapura - Surabaya - Bawean - Banjarmasin - Pulau Laut - Samarinda.
 
Peta penyebaran suku bangsa Banjar di berbagai daerah.

Pulau Kalimantan

Etnik/Bahasa di regional Kalimantan (wilayah Indonesia) Tahun 2010

  Banjar (26.24%)
  Dayak (21.78%)
  Jawa (18.18%)
  Melayu (11.51%)
  Bugis (7.22%)
  Madura (3.04%)
  Tionghoa (2.98%)
  Kutai (2.01%)
  Sunda (1.15%)
  Batak (0.64%)
  Suku-suku lain (5.26%)

Suku Banjar populasi terbesar di regional Kalimantan (wilayah Indonesia) menurut Sensus BPS tahun 2010 merupakan 26,24% penduduk:

Suku Bangsa Kalimantan Barat [76] Kalimantan Tengah [77] Kalimantan Selatan [78] Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara [79] Jumlah Keterangan
Suku Banjar 14.430
(0,33%)
464.260
(21,03%)
2.686.627
(74,34%)
440.453
(12,45%)
3.605.770
(26,24%)
Suku Banjar juga terdapat di Sabah, Sarawak dan Brunei

Kalimantan Timur dan Utara

Sebelum masa Kesultanan Banjar berhubungan dengan VOC Belanda sekitar 1606, pada saat itu Kesultanan Banjar merupakan negara maritim di mana pedagang-pedagang Banjar sudah melakukan hubungan niaga dengan kawasan selatan Filipina (Karasikan/Banjar Kulan), Brunei, Cochin Cina/Campa, sehingga kawasan timur Kalimantan merupakan perlintasan jalur perdagangan orang-orang Banjar sejak berabad-abad yang lalu. Sejak itulah orang Banjar/Kesultanan Banjar melebarkan teritorialnya ke daerah rantau Kalimantan Timur atau disebut juga negeri-negeri di atas angin di dalam Hikayat Banjar.

Selain orang Kutai dan Dayak, pemukim lain yang dikategorikan pendatang dan dominan di beberapa desa di Mahakam Tengah yaitu orang Banjar dan Bugis. Di beberapa desa seperti halnya di Muara Muntai dan Muara Kaman, beberapa keluarga orang Banjar bahkan telah bermukim semenjak ratusan tahun yang lalu. Mereka pun banyak yang sudah beranak pinak dan tidak mengetahui lagi kampung asal leluhur mereka di Kalimantan Selatan. Mereka sering disebut atau menyebutkan diri sebagai Banjar Kutai yang artinya orang Banjar yang telah menjadi Kutai, atau Kutai Banjar yang berarti perkampungan di Kutai yang berdialek Banjar.[80]

Di Kalimantan Timur, eksistensi Orang Banjar sudah terjalin semenjak masa pemerintahan Kesultanan Banjar dipimpin Sultan Suriansyah (1595-1620). Dengan bala bantuan dari Kerajaan Demak, Kesultanan Banjar terus melebarkan pengaruhnya ke Paser, Kutai, dan Berau. Perjanjian yang ditanda tangani antara Pieter Pietarsz (utusan VOC) dengan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura, Raja Kutai Kartanegara dalam tahun 1635 memuat antara lain bahwa perdagangan bebas hanya dibolehkan antara Kerajaan Kutai dengan orang-orang Banjar dan Belanda saja.[81] Semenjak itulah pedagang-pedagang asal Banjar mulai mendominasi sebelum kedatangan migrasi orang Bugis pada tahun 1638-1654 dan jatuhnya Makasar ke tangan Belanda tahun 1667.

Kekalahan pangeran Antasari dan jatuhnya Kesultanan Banjar ke tangan Belanda dalam perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859-1863, menyebabkan para pengikut Pangeran Antasari dan bangsawan Kesultanan Banjar lain yang tidak mau tunduk dengan Belanda memilih pergi dan menetap di daerah lain termasuk Kesultanan Kutai, Paser dan Berau. Selain melaui pesisir pantai, mereka juga menembus jalan darat dan bermukim di sekitar danau-danau besar di bagian tengah Sungai Mahakam. Atas ijin Sultan Aji Muhammad Sulaiman, empat bangsawan dari Banjar yaitu Pangeran Perbatasari, Pangeran Singa Menteri, Pangeran Nata dan Pangeran Surya Nata bersama pengikutnya diperkenankan menetap di Tenggarong. Selanjutnya Pangeran Nata lebih memilih bermukim di Muara Pahu yang saat itu diperintah oleh Raden Mara Jelau turunan dari Raden Baroh yang dahulunya merupakan kerajaan otonom kecil di Hulu Mahakam. Secara spontan orang-orang Banjar berdatangan untuk berdagang, mencari ikan dan mengumpulkan hasil hutan terutama rotan dan karet di daerah Mahakam. Pada saat Kesultanan Kutai di pimpin Aji Amidin gelar Pangeran Mangku Negoro, orang-orang Banjar dari Amuntai dan Nagara sengaja didatangkan dan disediakan tempat di Danau Jempang dan Melintang. Mereka membawa bibit ikan sepat dan biawan untuk ditaburkan di danau-danau tersebut. Hingga kini kedua jenis ikan tersebut merupakan komoditas penting hasil tangkapan nelayan di Mahakam Tengah.

Kepandaian orang Banjar dalam berdagang dan memperkenalkan kebudayaan Islam-Banjar sedikit banyak memberi pengaruh terhadap penyebaran Islam dan perkembangan bahasa Melayu dialek Banjar sebagai bahasa pergaulan dan perdagangan. Melalui kepandaian berdagang inipula penyebaran orang Banjar terus berkembang dan bahkan hingga membentuk perkampungan-perkampungan Banjar baru yang terus berlanjut hingga kini.

Mata pencaharian Orang Banjar di Kalimantan Timur sangat bervariatif. Mereka yang bermukim di desa-desa adalah bertani dan nelayan perairan darat (sungai dan danau). Sebagian lagi hidup sebagai pedagang, pegawai, dan pekerja di perusahaan. Pemanfaatan lahan rawa dan perairan sungai serta danau di Kaltim untuk pertanian sawah dan perikanan banyak dilakukan oleh pemukim Orang Banjar. Mereka ada yang telah menetap permanen selama beberapa generasi dan sebagiannya lagi sebagai pendatang musiman yang datang untuk mencari ikan, berdagang, tambang emas tradisional dan bekerja di sektor lain. Di dalam perdagangan, orang-orang Banjar melakukannnya secara berkelompok sesuai daerah asal. Mereka berdagang hingga daerah pedalaman dengan memperdagangkan berbagai kebutuhan pokok sembako, elektronik, hasil pertanian dan hasil hutan.

Pemukiman Orang Banjar di sekitar Mahakam Tengah banyak dijumpai di sekitar di Kecamatan Muara Muntai, Muara Kaman, dan beberapa desa di Kahala dan Muara Wis. Di daerah ini Orang Banjar telah bermukim lama dan terus bertambah dengan pendatang pemukim musiman dari Banjar lainnya. Di kecamatan lain mungkin juga terdapat orang Banjar, tetapi jumlahnya sedikit dan kebanyakan sebagai pendatang baru.

Di Muara Muntai dan Muara Kaman, pemukim Banjar yang telah lama telah bercampur baur dengan penduduk lokal orang Kutai. Sedangkan pendatang baru atau musiman sering kali mengelompok tersendiri dalam pemukiman yang terkonsentrasi. Di daerah ini dan di sekitar danau Jempang dan Melintang, Orang Banjar bukan saja memperkenalkan budidaya ikan model keramba dan jaring apung, tetapi juga memperkenalkan teknik penangkapan ikan modern lainnya yang destruktif seperti alat setrum, potasium, dan pukat harimau.[82]

Suku Banjar membentuk 15 % dari populasi penduduk Kaltim dan terdapat seluruh kabupaten dan kota di Kaltim. Suku Banjar di Kaltim lebih banyak populasinya dibandingkan suku Dayak maupun suku Kutai. Di Kota Samarinda dan Balikpapan, suku Banjar merupakan kelompok etnik asal Kalimantan terbanyak di kedua wilayah kota tersebut.[83]

Menurut data statistik Kalimantan Timur 2002, Suku Banjar terdapat di Kota Samarinda (140.761 jiwa), Kota Balikpapan (63.010 jiwa), Kutai Kartanegara (57.506 jiwa), Paser (32.323 jiwa), Kutai Timur (11.380 jiwa), Berau (9.659 jiwa), Tarakan (8.766 jiwa), Kutai Barat (6.658 jiwa), Bontang (5.328 jiwa), Bulungan (3.315 jiwa), Nunukan (1.124 jiwa) dan Malinau (490 jiwa).[84]

Migrasi suku Banjar (Batang Banyu) ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565, yaitu orang-orang Amuntai yang dipimpin Aria Manau alias Adji Tenggal (ayah Puteri Petung) dari Kerajaan Kuripan yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sadurangas di daerah Paser, selanjutnya suku Banjar juga tersebar di daerah lainnya di Kalimantan Timur. Organisasi Suku Banjar di Kalimantan Timur adalah Kerukunan Bubuhan Banjar-Kalimantan Timur (KBB-KT).

Kalimantan Tengah

Kalimantan Tengah termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar. Daerah-daerah di Kalimantan Tengah dan seterusnya hingga negeri Sambas di Kalimantan Barat disebut negeri-negeri di bawah angin dalam Hikayat Banjar. Sudah berabad-abad orang Banjar melakukan migrasi dan melebarkan teritorialnya ke daerah rantau Kalimantan Tengah, sehingga menjadikan suku Banjar sebagai kelompok etnik kedua terbanyak setelah suku Dayak (rumpun Dayak) di wilayah tersebut. Kalimantan Tengah juga menjadi hunian orang Banjar terbanyak kedua setelah Kalimantan Selatan.

Menurut sensus tahun 2000, Suku Banjar merupakan 24,20 % dari populasi penduduk dan sebagai suku terbanyak di Kalteng. Tahun 2000 (sebelum pemekran daerah), suku Banjar terdapat di Kabupaten Kapuas (40,5%), Palangkaraya (27,64%), Kotawaringin Timur (20,3%), Kotawaringin Barat (16,02%), Barito Selatan (10,5%) dan Barito Utara (2,56%).

Komposisi etnis di Kalteng berdasarkan sensus tahun 2000 terdiri suku Banjar (24,20%), Jawa (18,06%), Ngaju (18,02%), Dayak Sampit (9,57%), Bakumpai (7,51%), Madura (3,46%), Katingan (3,34%) dan Maanyan (2,80%).[85] Tetapi jika digabungkan suku Dayak (Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai) mencapai 37,90%.

Besarnya proporsi Suku Banjar dan Jawa di Kalimantan Tengah karena perantauan orang Banjar asal Kalimantan Selatan dan transmigrasi asal Jawa yang cukup besar ke Kalimantan Tengah. Orang Banjar secara langsung memanfaatkan berbagai peluang ekonomi yang masih terbuka luas di Kalimantan Tengah. Berbeda dengan orang Jawa yang pindah ke Kalimantan Tengah karena program transmigrasi, orang Banjar pindah atas kemauan sendiri. Daerah pedalaman Kalimantan Selatan (daerah Pahuluan) adalah daerah padat penduduk dan sejak lama merupakan sumber migrasi keluar orang Banjar tidak hanya ke berbagai tempat di Pulau Kalimantan, tetapi juga ke Sumatra dan Jawa.[86]

Perkampungan suku Banjar Kalteng terutama terdapat daerah kuala dari sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur dan sungai Seruyan di Kabupaten Seruyan, misalnya desa Tanjung Rangas dan Pematang Panjang.

Migrasi suku Banjar (Banjar Kuala) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Sultan Musta'inbillah (1650-1672), yang telah mengizinkan berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang pertama Pangeran Dipati Anta-Kasuma.

Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara (wilayah Batang Banyu) terutama orang Negara (urang Nagara) yang datang dari Kota Negara (bekas ibu kota Kerajaan Negara Daha) telah cukup lama mendiami wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang kemudian disusul orang Kelua (Urang Kalua) dari Tabalong dan orang Hulu Sungai lainnya mendiami daerah yang telah dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku Banjar ini akhirnya melakukan perkawinan campur dengan suku Dayak Ngaju setempat dan mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.[87][88]

Sedangkan migrasi suku Banjar ke wilayah Barito, Kalimantan Tengah terutama pada masa perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-suku Dayak di wilayah Barito mengangkat Pangeran Antasari (Gusti Inu Kartapati) sebagai raja dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin berkedudukan di Puruk Cahu (Murung Raya), setelah mangkat dia perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Seman.

Pulau Jawa

Jawa Timur

Suku Banjar di Jawa Timur banyak bermukim di Kota Surabaya, Malang, Pasuruan dan Tulungagung.[89] Di Tulungagung, masyarakat Banjar merupakan pendatang yang cukup mendominasi terutama dalam perdagangan emas. Etnis Banjar di Tulungagung merupakan komunitas etnis pendatang yang cukup besar jumlahnya dibanding etnis Tionghoa dan Arab.[90]

Jawa Tengah

Berkas:Masjid-Kampung-Banjar-Semarang.jpg
Masjid Kampung Banjar Semarang
 
Kampung Banjar, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara

Menurut Serat Maha Parwa, penduduk Jawa berasal dari Hindustan dan Siam yang sebelumnya singgah di Nusa Kencana (Kalimantan).[91] Di daratan kota Rembang telah ditemukan bangkai perahu kuno terbuat dari kayu ulin diduga berasal dari Kalimantan Selatan.[92] Berdasarkan Hikayat Banjar (1663) dapat diketahui bahwa Sultan Demak telah mengirimkan seribu pasukan untuk membantu Pangeran Samudera (raja Banjarmasih) untuk berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir. Kemenangan akhirnya diraih oleh Pangeran Samudera sebagai Sultan Banjarmasin ke-1, sedangkan Pangeran Tumenggung diizinkan menetap di daerah Alay dengan seribu penduduk. Selama peperangan tersebut tertangkap pula 40 orang Negara Daha baik laki-laki maupun perempuan, yang kemudian dibawa ke Demak dan Tadunan sebagai ganti 20 orang prajurit Demak yang gugur. Kejadian berlangsung sekitar tahun 1520-1526[23][93] Dewasa ini Suku Banjar di Jawa Tengah hanya berkisar 10.000 jiwa. Suku Banjar terutama bermukim di Kota Semarang dan Kota Surakarta.[94]

Migrasi suku Banjar ke kota Semarang pada akhir abad ke-19 dan bermukim kampung Banjar (bagian dari eks kelurahan Banjarsari) di sebelah barat Kampung Melayu (eks kelurahan Mlayu Darat yang kini bernama Jalan Layur). Sosial kemasyarakatan di kawasan ini dilatarbelakangi oleh budaya Cina, Arab, dan Banjar. Keunikan suku Banjar di kawasan ini, mereka mendirikan rumah panggung (rumah ba-anjung) yang sudah beradaptasi dengan lingkungan setempat, tetapi sayang kebanyakan rumah tersebut sudah mulai tergusur karena kondisi yang sudah tua maupun faktor alam (air pasang, rob) yang nyaris menenggelamkan kawasan ini akibat banjir pasang air laut. Sayangnya, eks Kelurahan Banjarsari (Semarang) dan eks kelurahan Mlayu Darat telah dilikuidasi kemudian digabung ke dalam wilayah kelurahan Dadapsari.[95].[96][97]

Suku Banjar di Surakarta kebanyakan bermukim di Kelurahan Jayengan khususnya di sekitar Masjid Darussalam di lingkungan Jayengan Kidul. Masyarakat Banjar di Surakarta memiliki yayasan bernama Darussalam, yang diambil dari nama Pesantren terkenal yang ada di kota Martapura, Kalimantan Selatan.[98][99]

Kebanyakan suku Banjar di Jawa Tengah merupakan generasi ke-5 dari keturunan Martapura, Kabupaten Banjar. Tokoh suku Banjar di Jawa Tengah adalah (alm) Drs. Rivai Yusuf asal Martapura, yang pernah menjabat Bupati Pemalang dan Kepala Dinas Perlistrikan Jawa Tengah. Ia juga ketua Ikatan Keluarga Kalimantan ke-1, saat ini dijabat Bp. H Akwan dari Kalimantan Barat. Di samping itu ada pula Ikatan Keluarga Banjar di Semarang, yang diketuai H. Karim Bey Widaserana dari Barabai. [100]

Pulau Sulawesi

Di Makassar, etnis Banjar umumnya sebagai pedagang perhiasan, tukang jahit, tukang emas, pedagang batu permata dan pembuat kopiah.[101] Diketahui, ada sebuah perkampungan suku Banjar di Kota Manado yaitu Kelurahan Banjer, yang mengisyaratkan bahwa ada Suku Banjar yang bermukim di Sulawesi Utara. Selain itu, ada tokoh Banjar yang lahir di Manado seperti Muhammad Thoha Ma'ruf.

Pada tahun 1884, salah seorang tokoh Perang Banjar bernama Pangeran Perbatasari (cucu Pangeran Antasari dibuang ke Kampung Jawa Tondano. Di sana, ia menikah dengan seorang wanita Jaton (Jawa Tondano). Beberapa tahun kemudian, saudaranya Gusti Amir juga menyusul ke sana dan menikah dengan wanita Jaton. Orang Jaton keturunan para pangeran asal Banjar ini menyandang fam Perbatasari dan Sataruno.[102]

Pulau Sumatra

Taburan Suku Banjar di Kawasan Regional Sumatra menurut Sensus 2010:

Suku Bangsa Riau [103] Sumatra Utara [104] Jambi [105] Kepulauan Riau[106]
Suku Banjar 227.239
(4,10%)
125.707
(0,97%)
102.237
(3,31%)
11.811
(0,70%)

Suku Banjar sudah lama terdapat di Sumatra.[107][108] Berdasarkan sensus tahun 1930, suku Banjar di Sumatra berjumlah 77.838 jiwa yang terdistribusi di Plantation belt (Pantai Timur Sumatra Utara) 31.108 jiwa, di Sumatra bagian Tengah 46.063 jiwa dan di Sumatra bagian Selatan 430 jiwa.[109] Belakangan, suku Banjar di Sumatra banyak yang berpindah ke Malaysia sebelum kemerdekaannya.

Suku Banjar di Sumatra Utara terdapat di Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan dan Labuhan Batu. Taburan suku Banjar yang tinggal di Sumatra Utara mendiami 14 desa. Pantai Sisir Gunting merupakan daerah yang pertama kali dibuka untuk lahan persawahan orang Banjar yang datang ke Sumatra Timur. Nama Pantai Sisir Gunting sekarang dikenal sebagai desa Paluh Manan, Paluh Kurau, dan Pematang Serai.[110] Di dalam tahun 1903 Sultan Serdang membuka proyek persawahan dekat Perbaungan yang disebut "Bendang" dan untuk mengelola sawah ini didatangkanlah ribuan orang Banjar dari Kalimantan Selatan yang ahli bersawah lengkap dengan kepala kelompoknya (Haji Mas Demang).[111].

Migrasi suku Banjar ke Sumatra khususnya ke Tembilahan, Indragiri Hilir sekitar tahun 1885 pada masa pemerintahan Sultan Isa (raja Indragiri sebelum raja yang terakhir). Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru Sapat/Datu Sapat) yang berasal dari Martapura dan menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri. Selain di Tembilahan, Indragiri Hilir, suku banjar juga dapat ditemukan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. terdapat 5 Desa yang Kepala Desanya keturunan Banjar, yaitu Desa Dedap di Kecamatan Tasik Putri puyu, Desa Bina Maju, Desa Melai dan Desa Mekar Baru Di Kecamatan Rangsang Barat dan Desa Sendaur di Kecamatan Rangsang Pesisir. Suku Banjar juga banyak menyebar di Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung, seperti di pulau Singkep[114][115]

Pulau Bali, Lombok dan Sumbawa

Taburan Suku Banjar di Kepuluan Sunda Kecil menurut Sensus 2010:

Suku Bangsa Bali [116] Nusa Tenggara Barat [117] Nusa Tenggara Timur [118]
Suku Banjar 349
(0,01%)
1.083
(0,02%)
200
(0,00%)

Suku Banjar juga memiliki hubungan historis suku Sasak di Kerajaan Selaparang, pulau Lombok. Menurut Babad Lombok dan Babad Seleparang, prajurit Kesultanan Banjar yang dipimpin dua orang Patih telah membantu Kerajaan Seleparang melawan musuhnya. Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin, pada masa pemerintahan Sultan Ri'ayatullah (1660-1663) sudah terjalin kekerabatan antara Kesultanan Banjar dan Kerajaan Seleparang dengan adanya pernikahan antara Raden Subangsa dengan dua orang puteri dari Raja Seleparang Adipati Topati. Raden Subangsa kemudian menetap di kampung Banjar di Taliwang, Sumbawa Barat dan dikenal dengan sebutan Pangeran Taliwang oleh orang Seleparang dan orang Sumbawa.[23][119] Raja-raja Sumbawa merupakan keturunan dari Raja Banjar.[120] Sehingga Suku Banjar merupakan salah satu dari gabungan dari lima suku yang menjadi leluhur masyarakat suku Samawa (Sumbawa).[121] Di pulau Lombok masih ditemukan permukiman orang Banjar yaitu di Kampung Banjar. Mereka mendirikan Masjid Nurul Qomar.[122] Dari Ampenan, orang Banjar menyeberang ke pulau Bali dan kebanyakan bermukim di Kampung Islam Kusamba Kabupaten Klungkung, Bali.[123][124]

Sistem kekerabatan

Waring
Sanggah
Datu
Kai (kakek) + Nini (nenek)
Abah (ayah) + Uma (ibu)
Kakak < ULUN (saya/sudut pandang pembaca)> Ading
Anak
Cucu
Buyut
Intah/Muning

Seperti sistem kekerabatan umumnya, masyarakat Banjar mengenal istilah-istilah tertentu sebagai panggilan dalam keluarga. Skema di samping berpusat dari ULUN sebagai penyebutnya.

Bagi ULUN juga terdapat panggilan untuk saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut Julak, saudara kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara tengah dari ayah dan ibu disebut Angah, dan yang lainnya biasa disebut Pakacil (paman muda/kecil) dan Makacil (bibi muda/kecil), sedangkan termuda disebut Busu. Untuk memanggil saudara dari kai dan nini sama saja, begitu pula untuk saudara datu.

Disamping istilah di atas masih ada pula sebutan lainnya, yaitu:
 · minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
 · pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
 · mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
 · mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
 · sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
 · mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari ULUN)
 · kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
 · sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
 · maruai (isteri sama isteri bersaudara)
 · ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
 · panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
 · pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
 · badangsanak (saudara kandung)

Untuk memanggil orang yang seumur boleh dipanggil ikam, boleh juga menggunakan kata aku untuk menunjuk diri sendiri. Sedangkan untuk menghormati atau memanggil yang lebih tua digunakan kata pian, dan kata ulun untuk menunjuk diri sendiri.

Islam Banjar

 
Masjid tradisional dengan gaya arsitektur rumah panggung Banjar

.

Istilah Islam Banjar menunjuk kepada sebuah proses historis dari fenomena inkulturisasi Islam di Tanah Banjar, yang secara berkesinambungan tetap hidup di dan bersama masyarakat Banjar itu sendiri.[125] Dalam ungkapan lain, istilah Islam Banjar setara dengan istilah-istilah berikut: Islam di Tanah Banjar, Islam menurut pemahaman dan pengalaman masyarakat Banjar, Islam yang berperan dalam masyarakat dan budaya Banjar, atau istilah-istilah lain yang sejenis, tentunya dengan penekanan-penekanan tertentu yang bervariasi antara istilah yang satu dengan lainnya.

Inti dari Islam Banjar adalah terdapatnya karakteristik khas yang dimiliki agama Islam dalam proses sejarahnya di Tanah Banjar. Ciri khas itu adalah terdapatnya kombinasi pada level kepercayaan antara kepercayaan Islam, kepercayaan bubuhan, dan kepercayaan lingkungan. Kombinasi itulah yang membentuk sistem kepercayaan Islam Banjar.[126] Di antara ketiga sub kepercayaan itu, yang paling tua dan lebih asli dalam konteks Banjar adalah kepercayaan lingkungan, karena unsur-unsurnya lebih merujuk pada pola-pola agama pribumi pra-Hindu. Oleh karena itu, dibandingkan kepercayaan bubuhan, kepercayaan lingkungan ini tampak lebih fleksibel dan terbuka bagi upaya-upaya modifikasi ketika dihubungkan dengan kepercayaan Islam.[125]

Sejarah Islam Banjar dimulai seiring dengan sejarah pembentukan entitas Banjar itu sendiri. Menurut kebanyakan peneliti, Islam telah berkembang jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banjar di Kuin Banjarmasin, meskipun dalam kondisi yang relatif lambat lantaran belum menjadi kekuatan sosial-politik. Kerajaan Banjar, dengan demikian, menjadi tonggak sejarah pertama perkembangangan Islam di wilayah Selatan pulau Kalimantan. Kehadiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjar lebih kurang tiga abad kemudian merupakan babak baru dalam sejarah Islam Banjar yang pengaruhnya masih sangat terasa sampai dewasa ini.

Bahasa

Bahasa Banjar merupakan bahasa ibu Suku Banjar. Bahasa ini berkembang sejak zaman Kerajaan Negara Dipa dan Daha yang bercorak Hindu-Buddha hingga datangnya agama Islam di Tanah Banjar. Banyak kosakata-kosakata bahasa ini sangat mirip dengan Bahasa Dayak, Bahasa Melayu, maupun Bahasa Jawa.

Pada dasarnya Bahasa Banjar termasuk dalam rumpun bahasa Melayik Dayak seperti halnya bahasa Dayak Iban, Dayak Kanayatn, dll. Tetapi bahasa orang Banjar sekarang sudah mengalami perubahan dengan masuknya kosakata Bahasa Melayu, dan Bahasa Jawa. Bahasa Banjar asli hanya dipakai saat diselenggarakannya ritual aruh adat Kaharingan Dayak Meratus (Banjar Arkhais) oleh para Balian Kaharingan.

Sebagian besar orang Banjar dan orang Meratus saat ini sudah tidak bisa lagi membahasakan bahasa asli mereka.

Filsafat hidup dan nilai budaya suku Banjar

Terdapat beberapa unsur filsafat hidup suku Banjar, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, antara lain:[127]

  • Baiman. Yaitu setiap Urang Banjar meyakini adanya Tuhan/Allah. Setiap individu suku Banjar selalu disuruh untuk mempelajari tentang rukun iman dan melaksanakan dengan rajin kelima rukun Islam. Bila belum mempelajari tentang keimanan dan rukun Islam ini dianggap keberagamaan orang Banjar belum sempurna.
  • Bauntung. Urang Banjar harus punya keterampilan hidup. Jadi Urang Banjar dari kecil sudah diajari keterampilan kejuruan, yaitu keterampilan yang dikaitkan dengan pekerjaan tertentu yang terdapat dilingkungannya. Hal ini bisa dilihat dari asal Urang Banjar tersebut misalnya orang Kelua punya keahlian menjahit, orang Amuntai punya keahlian membuat lemari, orang Alabio punya keahlian sebagai pedagang kain, Negara punya keahlian sebagai pedagang emas, membuat gerabah, membuat perahu/kapal, orang Mergasari punya keahlian sebagai pembuat anyaman, orang Martapura punya keahlian berdagang batu-batuan. Urang Banjar selalu di ajari life skill atau keterampilan agar hidup bisa mandiri. Urang Banjar harus bekerja terus menerus, karena setiap kali selesai suatu tugas, tugas lain telah menanti.
  • Batuah. Arti berkah atau bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Urang Banjar sebagai pemeluk agama Islam, tentu akan mengamalkan ajaran secara baik, yaitu agar hidupnya membawa kebaikan bagi orang lain. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Jadi Urang Banjar dalam tatanan masa lalu maupun saat ini selalu diharapkan agar hidupnya berguna bagi dirinya, keluarga dan orang banyak. Agar bisa berguna bagi masyarakat, maka Urang Banjar harus memiliki iman yang kuat, ilmu yang bermanfaat dan beramal kebajikan.
  • Cangkal. Yaitu ulet dan rajin dalam bekerja. Urang Banjar harus bekerja keras untuk menggapai cita-cita, sehingga di masa lalu mereka suka merantau. Sifat cangkal dalam bekerja adalah salah satu identitas orang Banjar. Dalam pandangan Urang Banjar bekerja harus maksimal, berdoa dan bertawakal kepada Allah SWT, sehingga hidupnya akan bahagia di dunia dan akhirat.
  • Baik Tingkah laku. Yaitu Urang Banjar dalam pergaulan sehari-hari harus menunjukkan budi pekerti yang luhur agar dia disenangi orang lain. Dengan kata lain, Urang Banjar harus pandai beradaptasi dengan lingkungan di mana dia bertempat tinggal.
  • Kompetitif individual. Yaitu orang Banjar terkenal sebagai pekerja keras dalam menggapai cita-citanya tetapi bekerja sendiri-sendiri tidak secara kolektif, sehingga Urang Banjar tidak mampu membangun suatu poros kekuatan ekonomi atau politik di Pentas Nasional. Urang Banjar cenderung memiliki sifat individual dan ego yang tinggi sehingga susah diatur.
  • Materialis pragmatis. Gaya hidup Urang Banjar saat ini dikarenakan pengaruh globalisasi dengan trend hidup yang materialis-pragmatis, sehingga pola hidup Urang Banjar sangat konsumtif. Disisi lain, gaya hidup anak muda Banjar dalam memilih kerja, lebih mengutamakan kerja kantoran yang berdasi atau karyawan supermarket daripada pedagang kecil dengan modal sendiri dan mandiri.
  • Sikap qanaah dan pasrah. Urang Banjar selagi muda adalah pekerja keras untuk meraih cita-citanya, tapi kalau sudah berhasil dan sudah tua hidupnya santai untuk menikmati hidup dan beribadah kepada Allah untuk mengisi waktu.
  • Haram manyarah dan waja sampai kaputing. Yaitu pantang menyerah dan tegar pendirian. Kata hikmah di atas diungkapkan oleh Pangeran Antasari dalam rangka memperkuat motivasi pasukannya menghadapi pasukan penjajah Belanda. Urang Banjar mempunyai pendirian yang kuat untuk mempertahankan keyakinan atau yang diperjuangkannya, sehingga tidak mudah goyang atau terombang-ambing oleh situasi dan kondisi yang dihadapi. Prinsip ini dipakai dan dijadikan semboyan Provinsi Kalimantan Selatan.

Nilai budaya Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri dan manusia dengan alam:[128]

  • Wujud konsepsi berelaan merupakan nilai ikhlas dan syukur dan semata-mata untuk ibadah dan mendapat keridhoan Allah SWT.
  • Pada sistem kekerabatan, baik karena keturunan maupun karena status sosial dan profesi, ada konsep bubuhan. Dalam konsepsi bubuhan termuat nilai bedingsanakan (persaudaraan), betutulungan (tolong menolong) dan mau haja bakalah bamanang (mau saja kalah menang) maksudnya mau saja memberi dan menerima. Bubuhan sebagai kesatuan sosial sangat kuat ikatannya dengan ke-gotongroyongan. Orang hidup harus betutulongan (tolong menolong), jangan hidup saurang-saurang (sendiri-sendiri).
  • Nilai untuk pengembangan diri konsepsi gawi manuntung, yaitu seseorang dalam mengerjakan sesuatu harus dapat menyelesaikannya dengan baik. Serta konsepsi dalas balangsar dada artinya biarpun harus berselancar dada yang maknanya seseorang harus berjuang dengan sungguh-sungguh.
  • Nilai konsepsi bisa-bisa maandak awak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. nasihat ini biasanya diberikan agar dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat

Kebudayaan

 
Busana Pengantin Banjar.

Umumnya adat kebudayaan Banjar berakar dari adat kebudayaan Dayak Kaharingan yang setelah pengislaman massal adat kebudayaan Kaharingan ini disunting untuk disesuaikan dengan keyakinan baru mereka yaitu Islam.

Salah satu contohnya adalah adat baayun anak yang pada zaman dahulu adalah ritual pemberkatan anak Kaharingan dengan dibacakan mantra-mantra Balian, sekarang dalam adat Banjar yang Islam baayun anak tidak lagi menggunakan mantra-mantra Balian akan tetapi dengan pembacaan ayat suci Al-Quran dan salawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Keterampilan Mengolah Lahan Pasang Surut

Kehidupan orang Banjar terutama kelompok Banjar Kuala dan Batang Banyu lekat dengan budaya sungai. Sebagai sarana transportasi, orang Banjar mengembangkan beragam jukung (perahu) sesuai dengan fungsinya yakni Jukung Pahumaan, Jukung Paiwakan, Jukung Paramuan, Jukung Palambakan, Jukung Pambarasan, Jukung Gumbili, Jukung Pamasiran, Jukung Beca Banyu, Jukung Getek, Jukung Palanjaan, Jukung Rombong, Jukung/Perahu Tambangan, Jukung Undaan, Jukung Tiung dan lain-lain.[129] Kondisi geografis Kalimantan Selatan yang banyak memiliki sungai dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh orang Banjar, sehingga salah satu keahlian orang Banjar adalah mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan budi daya pertanian dan permukiman.[130] Sistem irigasi khas orang Banjar yang dikembangkan masyarakat Banjar mengenal tiga macam kanal. Pertama, Anjir (ada juga yang menyebutnya Antasan) yakni semacam saluran primer yang menghubungkan antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk kepentingan umum dengan titik berat sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana transportasi. Kedua, Handil (ada juga yang menyebut Tatah) yakni semacam saluran yang muaranya di sungai atau di Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan pertanian daerah daratan. Handil ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan milik kelompok atau bubuhan tertentu. Ketiga, Saka merupakan saluran tersier untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari Handil. Saluran ini berukuran lebih kecil dari Handil dan merupakan milik keluarga atau pribadi.

Rumah Banjar

Arsitektur Rumah Banjar Bubungan Tinggi di perkantoran gubernur Kalsel, gedung DPRD Kalsel dan anjungan Kalsel di TMII.

Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar.

Tradisi lisan

Tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah (ﻤﺪﺡ) yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa Tionghoa.[131] Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.[131]

Teater

Satu-satunya seni teater tradisional yang berkembang di pulau Kalimantan adalah Mamanda. Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup.[132]

Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).[132]

Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.

Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.[132]

Musik

Salah satu kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah Musik Panting. Musik ini disebut Panting karena didominasi oleh alat musik yang dinamakan panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka disebut musik panting. Pada awalnya musik panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada musik panting yang terkenal alat musik nya dan yang sangat berperan adalah panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik panting adalah A. SARBAINI. Dan sampai sekarang ini musik panting terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.[133]

Selain itu, ada sebuah kesenian musik tradisional Suku Banjar, yakni Musik Kentung. Musik ini berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa Sungai Alat, Astambul dan kampung Bincau, Martapura. Pada masa sekarang, musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu alat musik ini dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada bunyinya, tetapi juga hal-hal yang bersifat magis, seperti kalau dalam pertandingan itu alat musik ini bisa pecah atau tidak dapat berbunyi dari kepunyaan lawan bertanding.[134]

Tarian

Seni Tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan.

Makanan

Masakan tradisional Banjar diantaranya: sate Banjar,[135] soto Banjar, ketupat Kandangan, kue bingka dan lain-lain.

Terdapat 41 macam kue (wadai) khas Banjar.[136]

Populasi

Menurut sensus BPS tahun 2010 populasi suku Banjar berjumlah 4.127.124.[137] Suku Banjar terdapat di seluruh provinsi Indonesia dengan 2.686.627 diantaranya tinggal di Kalimantan Selatan. Populasi suku Banjar dalam jumlah besar juga dapat ditemkan di Kalimantan Tengah (464.260) dan Kalimantan Timur (440.453) yang merupakan daerah perantauan primer orang Banjar. Di pulau Sumatra orang Banjar banyak terdapat di Riau (227.239), Sumatra Utara (125.707) dan Jambi (102.237) karena migrasi orang Banjar pada abad ke-19 ke pesisir timur Sumatra.

Populasi suku Banjar diantaranya sebagai berikut:[138]

Provinsi Populasi Suku Banjar Jumlah Penduduk Konsentrasi Distribusi
Kalimantan Selatan 2.686.627 3.626.616 74,08% 65,10%
Kalimantan Tengah 464.260 2.212.089 20,99% 11,25%
Kalimantan Timur 440.453 3.553.143 12,40% 10,67%
Riau 227.239 5.538.367 4,10% 5,51%
Sumatra Utara 125.707 12.982.204 0,97% 3,05%
Jambi 102.237 3.092.265 3,31% 2,48%
Kalimantan Barat 14.430 4.395.983 0,33% 0,35%
Jawa Timur 12.405 37.476.757 0,03% 0,30%
Kepulauan Riau 11.811 1.679.163 0,70% 0,29%
Jawa Barat 9.383 43.053.732 0,02% 0,23%
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 8.572 9.607.787 0,09% 0,21%
Sulawesi Selatan 3.837 8.034.776 0,05% 0,09%
Sulawesi Tengah 3.452 2.635.009 0,13% 0,08%
Aceh 2.734 4.494.410 0,06% 0,07%
Banten 2.572 10.632.166 0,02% 0,06%
Daerah Istimewa Yogyakarta 2.545 3.457.491 0,07% 0,06%
Jawa Tengah 2.336 32.382.657 0,01% 0,06%
Sumatra Selatan 1.442 7.450.394 0,02% 0,03%
Nusa Tenggara Barat 1.083 4.500.212 0,02% 0,03%
Sulawesi Utara 594 2.270.596 0,03% 0,01%
Sulawesi Tenggara 499 2.232.586 0,02% 0,01%
Lampung 411 7.608.405 0,01% 0,01%
Sumatra Barat 355 4.846.909 0,01% 0,01%
Bali 349 3.890.757 0,01% 0,01%
Papua 327 2.833.381 0,01% 0,01%
Bangka Belitung 249 1.223.296 0,02% 0,01%
Sulawesi Barat 221 1.158.651 0,02% 0,01%
Maluku 213 1.533.506 0,01% 0,01%
Nusa Tenggara Timur 200 4.683.827 0,00% 0,00%
Bengkulu 180 1.715.518 0,01% 0,00%
Papua Barat 165 760.422 0,02% 0,00%
Gorontalo 134 1.040.164 0,01% 0,00%
Maluku Utara 102 1.038.087 0,01% 0,00%
Total 4.127.124 237.641.326 1,74% 100,00%

Tokoh-tokoh Banjar

Lihat pula

Literatur

  • Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997).
  • J.J. Rass, Hikajat Bandjar:A Study in Malay Histiography, (The Hague: Martinus Nijhoff), 1968
  • Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil, Djakarta:Penerbit Endang, 1957.
  • Idwar Saleh, Sejarah bandjarmasin:Selajang Pandang Mengenai Bangkitnja Keradjaan Bandjarmasin, Posisi, Funksi dan Artinja Dalam Sedjarah Indonesia Dalam Abad Ketudjuh Belas. Bandung: Balai Pendidikan Guru. 1958
  • Rumah Tradisional Banjar: Rumah Bubungan Tinggi, Departemen Pendididkan dan Kebudayaan, Museum Negeri Lambung Mangkurat, 1984
  • M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar:Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
  • Jurnal Kebudayaan:KANDIL, Melintas Tradisi, Edisi 6, Tahun II, Agustus-Oktober, 2004 ISSN: 1693-3206
  • Arthum Artha, Naskah Kitab Undang Undang Sultan Adam 1825, Banjarmasin: Penerbit Murya Artha, 1988
  • Tim Haeda, Islam Banjar; Tentang Akar Kultural dan Revitalisasi Citra Masyarakat Religius, (Banjarmasin: Lekstur, 2009)
  • Francisco O. Javines, Our march of death and people power from Mactan to EDSA: in articles and poems, Rex Bookstore, Inc., 1992, ISBN 971-23-0834-0, 9789712308345 (orang Banjar di Filipina)
  • M.c. Halili, Philippine history, Rex Bookstore, Inc., 2004, ISBN 971-23-3934-3, 9789712339349

Referensi

  1. ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175. 
  2. ^ http://www.joshuaproject.net/peoples.php?peo3=10658
  3. ^ https://media.neliti.com/media/publications/40337-ID-merajut-dunia-islam-dunia-melayu-sosok-orang-melayu-banjar-di-tanah-leluhur.pdf
  4. ^ (Indonesia) Yunanto Wiji Utomo (21 Juni 2012). "DNA Orang Dayak Akan Diteliti". Indonesia: Kompas.com. 
  5. ^ (Inggris) "Malagasy Genetic Ancestry Comes from an Historical Malay Trading Post in Southeast Borneo". 5 Juli 2016. 
  6. ^ (Indonesia) Nograhany Widhi Koesmawardhani (15 November 2016). "Herawati Sudoyo: Secara Genetik, Asal Usul Orang Indonesia Itu Beragam". Indonesia: detikNews. 
  7. ^ "Sains Sekitar Kita: Dari gen terungkap tak ada manusia pribumi Indonesia". news.bbmessaging.com. 02-04-2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-04. Diakses tanggal 2018-09-23. 
  8. ^ (Indonesia) GABRIEL WAHYU TITIYOGA (30 Januari 2017). "Penelitian Eijkman Ungkap Penghuni Paling Awal Nusantara". Indonesia: Tempo.co. 
  9. ^ (Indonesia) Husein Abdulsalam (15 Februari 2018). "Ada Jejak Nusantara pada Gen Orang Madagaskar". Indonesia: tirto.id. 
  10. ^ (Indonesia) Oxford University Press (5 Juli 2016). "No one is an island: The history of human genetic ancestry in Madagascar". phys.org. 
  11. ^ (Indonesia) kumparan.com (27 April 2018). "Bukan Afrika, Leluhur Penduduk Madagaskar Berasal dari Indonesia". Indonesia: kumparan.com. 
  12. ^ http://print.kompas.com/baca/english/2016/07/16/Ancestors-of-Malagasy-Came-from-Banjar
  13. ^ http://print.kompas.com/baca/english/2016/07/04/The-Journey-across-the-Indian-Ocean?utm_source=bacajuga
  14. ^ a b http://www.terradaily.com/reports/The_history_of_human_genetic_ancestry_in_Madagascar_999.html
  15. ^ https://academic.oup.com/mbe/article/33/9/2478/2579515/No-One-Is-an-Island-The-History-of-Human-Genetic
  16. ^ https://academic.oup.com/mbe/article-lookup/doi/10.1093/molbev/msw117
  17. ^ (Inggris) Stephen A. Wurm (1996). Atlas of Languages of Intercultural Communication in the Pacific, Asia, and the Americas. 1. Berlin; New York: UNESCO. hlm. 688.  ISBN 3-11-013417-9
  18. ^ (Inggris) Truman Simanjuntak (2006). Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago: Proceedings of the International Symposium. Indonesia: LIPI Press. hlm. 209.  ISBN 979-26-2436-8
  19. ^ (Indonesia)Tjilik Riwut, Nila Riwut, Agus Fahri Husein (1993). Kalimantan membangun: alam dan kebudayaan. Indonesia: Tiara Wacana Yogya. hlm. 104. ISBN 9789798120589. ISBN 9798120582
  20. ^ (Indonesia) Hindia-Belanda (1965). Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860 (PDF). Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat. hlm. 36. 
  21. ^ Perjanjian 18 Mei 1747: Fasal jang kesepuluh adalah Kompeni berdjandji barang siapa2nja orang jang suka berlajar maka adalah Kompeni memberi hingga melainkan di Batawiah dan di Djawa sekaliannja sampai Gersik dan Surabaja tiada boleh lebih daripadanja sebelah timur seperti ke Bali dan ke Bawean dan ke Sumbawa dan Lombok lain daripadanja itupun tiada djua boleh dan lagi jang sebelah barat dan utara seperti ke Palembang dan Malaka dan Djohor dan Belitung lain daripadanja itupun tiada boleh maka hendaklah Seri Sultan dan Ratu Anom memberi titah kepada sekalian rakjat jang belajar itu supaja djangan ia mendapat kerugian jang demikian itu dan djikalau tiada ia menurut titah itu adalah ia mendapat seperti kerugian jang demikian itu
  22. ^ Perjanjian 20 Oktober 1756: Fasal jang keempatbelas. Terlebih djauh berdjandji Kompeni dari sekarang hingga selama waad perdjandjian ini dengan tiada pertjideraan menurut dan memeliharakan menridakan jang orang Bandjar boleh berlajar ke Batawi Mangkasar Bima Djawa Sumenep Bali Sumbawa tetapi tiada boleh lebih djauh ke pihak masrik dan lagi tiada boleh lebih djauh ke magrib dan seperti Beliton Palimbang Djohor Malaka dan lain2 negeri jang bersisi atawa berdekat2 maka Paduka Seri Sultan akan menaruh perintah jang chair supaja rakjat jang tiada menurut ia ini djangan beroleh kerugian dan tjilaka.
  23. ^ a b c d (Melayu)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
  24. ^ http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/37-Datung-Ayuh-dan-Bambang-Siwara
  25. ^ Tsing, Anna Lowenhaupt. Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 75–79, 405. ISBN 9789794613061. ISBN 979-461-306-1
  26. ^ http://secher.bernard.free.fr/blog/index.php?post/2016/07/12/Origine-g%C3%A9n%C3%A9tique-des-Malgaches
  27. ^ http://news.detik.com/internasional/1874649/28-wanita-indonesia-tak-sengaja-temukan-madagaskar-1200-tahun-silam
  28. ^ http://news.detik.com/berita/1893986/madagaskar-pertama-kali-dikoloni-28-perempuan-indonesia-1200-tahun-lalu
  29. ^ http://news.detik.com/berita/1894053/ternyata-bahasa-penduduk-madagaskar-meminjam-bahasa-indonesia
  30. ^ http://news.detik.com/berita/1894003/tes-dna-buktikan-orang-indonesia-dan-madagaskar-bersaudara
  31. ^ http://popular-archaeology.com/issue/summer-2016/article/new-picture-emerges-on-human-settlement-of-madagascar
  32. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2016-11-13. 
  33. ^ a b http://www.nature.com/articles/srep26066
  34. ^ http://news.detik.com/berita/2855830/dari-indonesia-bagian-mana-28-perempuan-nenek-moyang-orang-madagaskar
  35. ^ http://print.kompas.com/baca/sains/iptek/2016/07/16/Leluhur-Orang-Madagaskar-dari-Banjar
  36. ^ https://www.researchgate.net/publication/273703326_Mitochondrial_DNA_and_the_Y_chromosome_suggest_the_settlement_of_Madagascar_by_Indonesian_sea_nomad_populations
  37. ^ https://www.sciencedaily.com/releases/2016/07/160705183132.htm
  38. ^ https://www.researchgate.net/profile/Pradiptajati_Kusuma
  39. ^ http://mbe.oxfordjournals.org/content/33/9/2396
  40. ^ http://kaltim.hypotheses.org/1042
  41. ^ http://bmcgenomics.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12864-015-1394-7
  42. ^ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3903192/
  43. ^ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1199379/
  44. ^ http://mbe.oxfordjournals.org/content/26/9/2109.full
  45. ^ https://www.pressreader.com/
  46. ^ http://www.academia.edu/9383544/Austronesians_in_Madagascar_a_critical_assessment_of_the_works_of_Paul_Ottino_and_Philippe_Beaujard
  47. ^ http://mbe.oxfordjournals.org/content/early/2016/06/29/molbev.msw117.full.pdf
  48. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-11-20. Diakses tanggal 2016-11-20. 
  49. ^ http://edisidumai.com/2017/01/herawati-sudoyo-secara-genetik-asal-usul-orang-indonesia-itu-beragam/[pranala nonaktif permanen]
  50. ^ Sangkot Marzuki, Jan Verhoef, Harm Snippe (31 Juli 2003). Tropical Diseases: From Molecule to Bedside ; [proceedings of the Second International Eijkman Symposium on Tropical Diseases: from Molecule to Bedside: in the Footsteps of Christiaan Eijkman, Held September 2 - 6, 2001, in Bogor, Indonesia]. Indonesia: Springer Science & Business Media. hlm. 10. 
  51. ^ https://academic.oup.com/mbe/article/26/9/2109/1197149
  52. ^ Li, Hui, et al. (2008). "Paternal genetic affinity between western Austronesians and Daic populations." BMC Evolutionary Biology 2008, 8:146. DOI:10.1186/1471-2148-8-146
  53. ^ https://www.youtube.com/watch?v=nNVN5hykKqs
  54. ^ https://www.youtube.com/watch?v=iWxUoGYtTq0
  55. ^ "Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah". Sejarah daerah tematis zaman kebangkitan nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat. 1986. hlm. 166. 
  56. ^ Sosial Budaya Provinsi Kalimantan Selatan - indonesia.go.id
  57. ^ a b c d e (Indonesia) Alfani Daud, Islam & masyarakat Banjar: diskripsi dan analisis kebudayaan Banjar, RajaGrafindo Persada, 1997, ISBN 979-421-599-6, 9789794215999
  58. ^ (Inggris) Ongsotto, Ongsotto; et al. (2002). Philippine History Module-based Learning I' 2002 Ed. Rex Bookstore, Inc. ISBN 9789712334498.  ISBN 971-23-3449-X
  59. ^ (Inggris) Balfour, Edward (1885). The cyclopædia of India and of eastern and southern Asia, commercial industrial, and scientific: products of the mineral, vegetable, and animal kingdoms, useful arts and manufactures, Jilid 2. Bernard Quaritch. 
  60. ^ (Jerman)Waitz, Theodor (1865). [Anthropologie der naturvölker: Die Völker der Südsee. Pt.1 Die Malaien. Pt.2. Die Mikron esier und nordwestlichen Polynesier Periksa nilai |url= (bantuan). F. Fleischer. 
  61. ^ (Inggris) Malayan miscellanies, Malayan miscellanies (1820). Malayan miscellanies. Malayan miscellanies. 
  62. ^ (Inggris) J. H., Moor (1837). Notices of the Indian archipelago & adjacent countries: being a collection of papers relating to Borneo, Celebes, Bali, Java, Sumatra, Nias, the Philippine islands ... F.Cass & co. 
  63. ^ (Jerman)Berlin, Gesellschaft für Erdkunde (1867). Zeitschrift der Gesellschaft für Erdkunde zu Berlin: zugl. Organ d. Deutschen Geographischen Gesellschaft. 2. Gesellschaft für Erdkunde. 
  64. ^ (Jerman)Gesellschaft für Erdkunde zu Berlin, Gesellschaft für Erdkunde zu Berlin (1867). Zeitschrift. D. Reimer. 
  65. ^ (Inggris) Norris, Edwin (1853). The native races of the Indian Archipelago: Papuans. Perpustakaan Publik Lyon. hlm. 142. 
  66. ^ (Indonesia) Mohamad Idwar Saleh; Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Dengan Akhir Abad ke-19, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Pengembangan Permuseuman Kalimantan Selatan, Museum Negeri Lambung Mangkurat Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarbaru 1986.
  67. ^ Idwar Saleh, makalah Perang Banjar 1859-1865, 1991.
  68. ^ Tim Haeda dalam Islam Banjar; Tentang Akar Kultural dan Revitalisasi Citra Masyarakat Religius, 2009
  69. ^ Irfan Noor, "Islam dan Universum simbolik Urang Banjar"
  70. ^ Inti Orang Banjar Kuala yang asli adalah penduduk mula-mula yang menempati sungai Kuin sebelum tahun 1612, setelah tahun tahun 1612 mereka dipindahkan ke Martapura yang menjadi cikal bakal penduduk Martapura. Menurut laporan Radermacher dalam tahun 1780 penduduk Kuin (Banjar Lama) hanya berjumlah 100 orang, sedangkan di Tatas 2000 orang. Pada awal abad ke-18 di Banjarmasin mulai didirikan perkampungan suku pendatang seperti kotta-blanda, Kampung Cina, Melayu, Arab, Jawa, Bugis dan lain-lain. Di Martapura juga terbentuk Kampung Melayu, Kampung Jawa, pendatang suku Suluk dan lain-lain
  71. ^ menempati kawasan Alalak
  72. ^ Kelurahan Melayu Banjarmasin, mereka mengklaim sebagai penduduk "asli" Banjarmasin dengan logat bicara yang khas
  73. ^ a b Kelurahan Pasar Lama Banjarmasin
  74. ^ Kelurahan Kertak Baru Ulu Banjarmasin
  75. ^ http://jejakrekam.com/2017/01/09/banjarmasin-sudah-ada-di-abad-7/
  76. ^ Kalimantan Barat - Suku Bangsa
  77. ^ Kalimantan Tengah - Suku Bangsa
  78. ^ Kalimantan Selatan - Suku Bangsa
  79. ^ Kalimantan Timur - Suku Bangsa
  80. ^ Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. hlm. 48. ISBN 6028397210.  ISBN 978-602-8397-21-6
  81. ^ van Dijk, Ludovicus Carolus Desiderius (1862). Ne©erland's vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Camobdja, Siam en Cochin-China (dalam bahasa Belanda). Scheltema. 
  82. ^ http://bioma.or.id/wp-content/uploads/2015/11/Dok_02_Sosekbud_Bioma.pdf Diarsipkan 2017-11-18 di Wayback Machine. Tipologi Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Di Mahakam Tengah
  83. ^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. hlm. 18. ISBN 6028397210. ISBN 978-602-8397-21-6
  84. ^ http://www.adbi.org/files/2005.02.dp24.forestry.sector.indonesia.table.2.pdf
  85. ^ "Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape" (PDF). Institute of Southeast Asian Studies. 2003. 
  86. ^ "Mencari Indonesia :demografi-politik pasca Soeharto" (PDF). Indonesian Institute of Sciences. 2007. 
  87. ^ (Indonesia) Taufik Arbain (1 Jan 2009). Strategi migran Banjar. Lkis Pelangi Aksara. ISBN 9789791283861.  ISBN 9791283869
  88. ^ (Melayu)"A. Halim Ali, Universiti Malaysia Sarawak. Institut Pengajian Asia Timur". Transformasi sosial: merenungkan dan memformulasikan kebijakan/dasar pembangunan di Borneo-Kalimantan : prosiding Konferensi Antaruniversiti se Borneo-Kalimantan ke-3, 15-17 Jun di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia : Borneo-Kalimantan 2007. Malaysia: Institut Pengajian Asia Timur, Universiti Malaysia Sarawak. 2007. hlm. 246. ISBN 9789839257762.  ISBN 9839257765
  89. ^ "Komunikasi Antar Etnis Tionghoa - Banjar - Jawa (Studi Deskriptif pada Masyarakat Kampung Dalem Kota Tulungagung" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-03-23. Diakses tanggal 2014-01-28. 
  90. ^ Tradisi Keagamaan Masyarakat Etnis Banjar di Tulungagung
  91. ^ (Indonesia) Purwadi & Hari Jumanto (2005). Asal mula tanah Jawa. Gelombang Pasang. 
  92. ^ (Indonesia) PENELITIAN AWAL TEMUAN PERAHU KUNA[pranala nonaktif permanen]
  93. ^ Maka Pangeran Samudera itu, sudah tetap kerajaannya di Banjarmasih itu, maka masuk Islam. Diislamkan oleh Penghulu Demak itu. Maka waktu itu ada orang negeri Arab datang, maka dinamainya Pangeran Samudera itu Sultan Suryanullah. Banyak tiada tersebut. Maka Penghulu Demak dengan Menteri Demak itu disuruh Sultan Suryanullah kembali. Maka orang Demak yang mati berperang ada dua puluh itu, disilih laki-laki dan perempuan yang dapat menangkap, tertangkap tatkala berperang itu, orang empat puluh. Maka Penghulu Demak dan Menteri Demak serta segala kaumnya sama dipersalin. Yang terlebih dipersalinnya itu penghulunya, karena itu yang mengislamkan. Serta persembah Sultan Suryanullah emas seribu tahil, intan dua puluh biji, lilin dua puluh pikul, pekat seribu galung, damar seribu kindai, tetudung seribu buah, tikar seribu kodi, kajang seribu bidang. Sudah itu maka orang Demak itu kembali. Itulah maka sampai sekarang ini di Demak dan Tadunan itu ada asalnya anak-beranak cucu-bercucu itu asal orang Nagara itu; tiada lagi tersebut.(J.J. Ras Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography)
  94. ^ Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, PT Bentang Pustaka, Hlm. 140, ISBN 979-3062-59-2
  95. ^ Olivier Johannes, Raap (29 Mei 2017). Kota Di Djawa Tempo Doeloe. Indonesia: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 130. ISBN 6024243618.  ISBN 9786024243616
  96. ^ Wijanarka (2007). Semarang tempo dulu: teori desain kawawan bersejarah. Indonesia: Ombak. hlm. 32. ISBN 9789793472713.  ISBN 9793472715
  97. ^ (Indonesia) PENGARUH KEBUDAYAAN BANJAR TERHADAP BENTUK RUMAH PANGGUNG MASYARAKAT BANJAR DI KAMPUNG MELAYU SEMARANG
  98. ^ (Indonesia)Tundjung W. Sutirto (2000). Perwujudan kesukubangsaan kelompok etnik pendatang. Indonesia: Pustaka Cakra. 
  99. ^ (Indonesia)Hasan Basri (1988). "Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (Indonesia)". Prisma, Masalah 1-9. Indonesia: Lembaga Penelitian, Pendidikan & Penerangan Ekonomi dan Sosial. hlm. 43. 
  100. ^ (Indonesia) Tundjung W. Sutirto, Perwujudan kesukubangsaan kelompok etnik pendatang, Pustaka Cakra, 2000
  101. ^ "KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN KOTA MAKASSAR SEBAGAI TEMA PAMERAn" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-12-08. Diakses tanggal 2012-12-08. 
  102. ^ "Pejuang Islam yang Terasing di Tanah Minahasa". Masjid Raya Vila Inti Persada. 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-07. Diakses tanggal 2011-07-27. 
  103. ^ Riau - Suku Bangsa
  104. ^ Sumatra Utara - Suku Bangsa
  105. ^ Jambi - Suku Bangsa
  106. ^ Kepulauan Riau - Suku Bangsa
  107. ^ "WAGUBSU HADIRI PERINGATAN MAULID MASYARAKAT BANJAR". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-02-02. Diakses tanggal 2013-01-11. 
  108. ^ JELANG RAMADHAN MASYARAKAT BANJAR DI LANGKAT SILATURAHMI DENGAN BUPATI
  109. ^ (Inggris) A. J. Gooszen, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Netherlands), A demographic history of the Indonesian archipelago, 1880-1942, KITLV Press, 1999, ISBN 90-6718-128-5, 9789067181280
  110. ^ (Indonesia) Nasution, Dr. Rosramadhana (2016). Ketertindasan Perempuan Dalam Tradisi Kawin Anom: Subaltern Perempuan pada Suku Banjar Dalam Perspektif Poskolonial. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 97. ISBN 9794619418. ISBN 978-979-461-941-4
  111. ^ (Indonesia) Tengku, Luckman Sinar (1990). Pengantar etnomusikologi dan tarian Melayu. Perwira. hlm. 84. ISBN
  112. ^ https://www.semedan.com/2018/01/kampung-orang-banjar-di-karang-gading.html
  113. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-06-03. Diakses tanggal 2019-05-12. 
  114. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-16. Diakses tanggal 2014-04-16. 
  115. ^ http://repository.unja.ac.id/2778/1/jurnal.pdf
  116. ^ Bali - Suku Bangsa
  117. ^ Nusa Tenggara Barat - Suku Bangsa
  118. ^ Nusa Tenggara Timur - Suku Bangsa
  119. ^ http://kesultananbanjar.com/id/hubungan-kesultanan-sumbawa-dengan-kesultanan-banjar/
  120. ^ http://kesultananbanjar.com/id/kunjungan-sultan-banjar-ke-kesultanan-sumbawa/
  121. ^ "Kabupaten SUMBAWA". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-30. Diakses tanggal 2013-10-29. 
  122. ^ http://www.lombokpost.net/2017/03/23/didirikan-pendatang-banjar-101-tahun-silam/
  123. ^ crcs.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/12/mONOGRAF-bALI-BULAN-SABIT-DI-PULAU-DEWATA-1.pdf
  124. ^ https://vienmuhadi.com/2013/11/14/nafas-islam-di-bali-2/
  125. ^ a b (Indonesia) Haeda, Tim (2009). Islam Banjar; Tentang Akar Kultural dan Revitalisasi Citra Masyarakat Religius. Banjarmasin: Lekstur. 
  126. ^ (Indonesia) Daud, Alfani (1997). Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.  line feed character di |title= pada posisi 52 (bantuan)
  127. ^ (Indonesia) Sahriansyah (2015). Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar. Banjarmasin: IAIN Antasari Press. ISBN 978-6020-82829-9. 
  128. ^ (Indonesia) Istiqomah, Ermina; Setyobudihono, Sudjatmiko (2014). "Nilai Budaya Masyarakat Banjar Kalimantan Selatan: Studi Indigenous". Jurnal Psikologi Teori dan Terapan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. 5 (1): 1-6. ISSN 2597-9035.  line feed character di |title= pada posisi 51 (bantuan)
  129. ^ Jukung, Urat Nadi Orang Banjar
  130. ^ (Indonesia) Levang, Patrice (2003). Ayo ke tanah sabrang: transmigrasi di Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 165. ISBN 979-9100-03-8. ISBN 9789799100030
  131. ^ a b Kompas Online - Gusti Jamhar Akbar, Tokoh Seni Lamut
  132. ^ a b c "Viva Borneo - Mamanda, Seni Pementasan Pulau Kalimantan". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-03-15. Diakses tanggal 2010-06-18. 
  133. ^ "Musik Panting Banjar". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-05-15. Diakses tanggal 2010-07-08. 
  134. ^ "Musik Kentung Banjar". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-05-15. Diakses tanggal 2010-07-08. 
  135. ^ (Indonesia) Tim Dapur Demedia, Kitab masakan sepanjang masa, DeMedia, 2010 ISBN 979-1471-89-4, 9789791471893
  136. ^ Rahmawati, Neni Puji Nur,. Makna simbolik dan nilai budaya kuliner "wadai Banjar 41 macam" pada masyarakat Banjar Kalsel (edisi ke-Cetakan pertama). Yogyakarta. ISBN 978-602-1228-94-4. OCLC 957057293. 
  137. ^ demografi.bps.go.id/phpfiletree/bahan/kumpulan_tugas_mobilitas_pak_chotib/Kelompok_1/Referensi/BPS_kewarganegaraan_sukubangsa_agama_bahasa_2010.pdf
  138. ^ (Indonesia) Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 978-979-064-417-5. ISBN 9789790644175

Pranala luar


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "Note", tapi tidak ditemukan tag <references group="Note"/> yang berkaitan