Wakaf (bahasa Arab: وقف, [ˈwɑqf]; plural bahasa Arab: أوقاف, awqāf; bahasa Turki: vakıf, bahasa Urdu: وقف) adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah.[1]

Unsur-Unsur Wakaf

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, unsur wakaf ada enam, yaitu wakif (pihak yang mewakafkan hartanya), nazhir (pengelola harta wakaf), harta wakaf, peruntukan, akad wakaf, dan jangka waktu wakaf.[2]

Wakif

Wakif (bahasa Arab: واقف [waaqif]) atau pihak yang mewakafkan hartanya bisa perseorangan, badan hukum, maupun organisasi. Jika perseorangan, ia boleh saja bukan muslim karena tujuan disyariatkannya wakaf adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan orang nonmuslim tidak dilarang berbuat kebajikan. Syarat bagi wakif adalah balig dan berakal.[2]

Wakif menurut bahasa adalah “waqafa-yaqifu-waqfan” yang berarti berhenti atau menahan, kemudian isim fai’ilnya menjadi “wakif” yang berarti orang yang menahan atau orang yang memberhentikan. Menurut istilah hukum Islam wakif adalah orang yang mewakafkan hartanya. Wakif merupakan perbuatan hukum dari wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda m iliknya untuk di manfaatkan selamanya ataun untuk janka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

Syarat Wakif

Orang yang mewakafkan (wakif) disyaratkan memeiliki kecakapan hukum atau dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak disini yaitu meliputi:

  • Merdeka
  • Berakal sehat
  • Dewasa (baligh)
  • Tidak dalam tanggungan, karena boros dan bodoh
  • Kemauan sendiri (tidak dipaksa)

Adapun syarat-syarat yang berhubungan dengan pelaksanaan wakaf, yaitu:

  • Tidak terikat dengan hutang, dan
  • Tidak dalam kondisi sakit parah

Wakif merupakan subyek hukum, yaitu orang yang berbuat Pada Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 1 Ayat 2, disebutkan Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf bahwa Waqif, meliputi:

  • Peroranagan

Syarat untuk menjadi wakif perseorangan yaitu:

  1. Dewasa
  2. Berakal sehat
  3. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
  4. Pemilik sah harta benda wakaf.
  • Organisasi

Wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran saran organisasi yang bersangkutan.

  • Badan Hukum

Wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan perorangan, organisasi, dan badan hukum adalah perorangan warga negara Indonesia atau warga negara asing, organusasi Indonesia atau organusasi asing, dan badan hukum Indonesia atau badan hukum asing. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 217 ayat 1 menjelaskan bahwa “Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang telah dewasa dan sehat akalnya setta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatian peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Hak-hak Wakif

Hak-hak wakif antara lain:

  1. Hak menambah orang baru yang berhak mendapatkan manfaat wakaf dan menambah tujuan-tujuan baru, baik ditetapkan untuk sementara maupun selamanya.
  2. Hak mengeluarkan sekelompok orang yang berhak mendapatkan manfaat wakaf dan menambah tujuan-tujuan baru, baik ditetapkan untuk sementara maupun selamanya.
  3. Hak mengubah bagian orang-orang yang mendapatkan manfaat wakaf,baik dengan cara mengurangi atau menambah.
  4. Hak menambah modal wakaf.
  5. Hak menetapkan syarat mendapat manfaat wakaf bagi dirinya, istri dananak-anaknya, baik sebagian dari pendapatan wakaf maupun secarakeseluruhan.
  6. Hak menetapkan sebagian pendapatan wakaf untuk menambah modalwakaf dan secara bersama turut diinvestasikan.
  7. Hak memilih nazhir dan cara memilihnya serta menggantinya.
  8. Hak menukar benda wakaf dengan benda wakaf lainnya.
  9. Menurut Abu Hanifah, waqif berhak untuk menarik kembali wakafnya, karena menurutnya wakaf tidak berupa keharusan

Nadzir

Pengertian Nadzir

Secara etimologi nadzir berasal dari kata kerja Nadzira-yandzaru yang berarti “menjaga” dan “mengurus”.[1] Secara terminologi fiqh, yang dimaksud dengan Nadzir adalah orang yang diserahi kekuasaan dan kewajiban untuk mengurus dan memelihara harta wakaf.[2] Jadi, pengertian Nadzir menurut istilah adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf dengan sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuan harta wakaf.[3] Selain sebutan nadzir banyak juga para ahli yang menyebutnya dengan mutawalli.

Dalam Undang-undang  Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006. Disebutkan bahwa nadzir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntunkannya.

Syarat Nadzir

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 215 ayat 5 yang dimaksud nadzir adalah kelomkpok orang atau badan hukum yang diserahim tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Kemudian nadzir sebagaimana tersebut  terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. warga negara Indonesia;
  2. beragama Islam;
  3. sudah dewasa;
  4. sehat jasmaniah dan rohaniah;
  5. tidak berada di bawah pengampuan;
  6. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan;

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 dijelaskan, bahwa nadzir meliputi perseorangan, organisasi dan badan hukum.

Nadzir Perorangan

Merupakan suatu kelompok yang terdiri dari paling sedikit tiga orang, disyaratkan:

  1. Warga negara Indonesia;
  2. Beragama Islam;
  3. Dewasa, Amanah;
  4. Mampu secara jasmani dan rohani;
  5. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 nadzir perseorangan ditunjuk oleh wakif. Ia wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat. Kemudian salah seorang nadzir perseorangan tersebut harus bertempat tinggal di kecamatan tempat benda wakf berada.

Nadzir Organisasi

Merupakan organisai yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam. Nadzir organisai harus memenuhi persyaratan:

  1. Pengurus organisasi harus memenuhi persyaratan nadzir perseorangan;
  2. Salah seorang pengurus organisasi harus berdomisili di Kabupaten. Kota letak benda wakaf berada;
  3. Memiliki:
  • Salinan Akta Notaris tentang pendirian dan anggaran dasar;
  • Daftar susunnan pengurus;
  • Anggaran rummah tangga;
  • Program kerja dalam pengembangan wakaf;
  • Daftar kekayaan yang berasal dari harta wakaf yang terpisah dari kekayaan lain atau yang merupakan kekayaan organisasi;
  • Surat pernyataan bersedia untuk diaudit.
  • Sama halnya dengan nadzir perseorangan, nadzir organisasi juga wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI melalui Kntor Urusan Agama setempat.
Nadzir Badan Hukum

Adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.

Persyaratan Ndazir Badan Hukum sama halnya dengan persyaratan nadzir organisasi yaitu pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perseorangan. Nadzir Badan Hukum berdasarkan ketentuan perwakafan ini juga wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat.

Tanggung Jawab dan Tugas Nadzir

Nadzir wakaf sebagai orang yang diberi wewengan dalam pengurusan harta wakaf, dapat melakukan penanganan terhadap tanah wakaf yang menjadi tanggung jawabnya, antara lain yaitu:

  1. Mengelola dan memelihara harta wakaf
  2. Menyewakan harta wakaf.
  3. Menanami tanah wakaf untuk pertanian atau perkebunan.
  4. Membangun bangunan di atas tanah wakaf.
  5. Mengubah bentuk dan kondisi harta wakaf.
  6. Melaksanakan syarat dari wakif yang tidak menyalaki hukum syara’.
  7. Menjaga dan mempertahankan harta wakaf.
  8. Membayarkan kewajiban yang timbul dari pengelolaan wakaf dari hasil wakaf itu sendiri.
  9. Mendistribusikan hasil atau manfaat wakaf kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya.
  10. Memperbaiki asset wakaf yang rusak sehingga kembali bermanfaat.

Sedangkan mengenai tugas nadzir telah disebutkan secra rinci pada Undang-Undang nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 11, yaitu:

  1. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
  2. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengantujuan, fungsi, dan peruntukannya;
  3. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
  4. Melaporkan pelaksanaan tugas secara berkala kepada menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
Upah Nadzir

Dalam melaksanakan tugasnya, nadzir berhak mendapatkan imbalan berupa gaji yang diambil dari hasil pengelolaan wakaf tersebut. Dalm Undang-Undang Nomor 41 Tahun  2004 Pasal 12, ditegaskan nadzir dapat menerima imbalan dari hasil bersih ats pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%. Adapun dalam hal peninhkatan kemampuan dirinya nadzir berhak mendapatkan pembinaan dari pemerintah dan Bdan Wakaf Indonesia.

Pemberhentian Nadzir

Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, nadzir diberhentikan dan diganti dengan nadzir lain apabila:

  1. Meninggal dunia bagi nadzir perorangan;
  2. Bubar atau dibubarkan untuk nadzir organisasi atau badan hukum;
  3. Atas permintaan sendiri;
  4. Nadzir tidak melaksanakan tugasnya sebagai nadzir dan/atau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  5. Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Adapun pemberhentian nadzir, menurut undang-undang ini dialkukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). Yaitu nadzir dapat diberhentikan atau di bebas tugaskan apabila:

  1. mengundurkan diri dari tugasnya sebagai nadzir,
  2. berkhianat dan tidak memegang amanah wakaf, termasuk dalam hal ini adalah mengelola harta wakaf menjadi sesuatu yang tidak bermanfaat,
  3. melakukan hal-hal yang membuatnya menjadi fasik, seperti berjudi, minum-minuman keras dan lain sebagainya,
  4. kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti gila, meninggal dunia, ataupun dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan.

Objek Wakaf

Objek wakaf yang dapat diwakafkan adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang dimiliki secara tidak bergerak dapat dalam bentuk tanah, hak milik atas rumah dengan bentuk uang.[3]

Terminologi wakaf berasal daripada perkataan Arab “waqafa” yang bermaksud berhenti, menegah dan menahan. Dari segi istilah, wakaf telah diberikan beberapa takrif seperti:

  1. Syed Sabiq (Fiqh al-Sunnah) – Wakaf ialah menahan harta dan memberikan manfaatnya pada jalan Allah.
  2. Sahiban Abu Hanifah; Abu Yusuf dan Muhammad bin Hassan – Wakaf ialah menahan ‘ain mawquf (benda) sebagai milik Allah atau pada hukum milik Allah dan menyedekahkan manfaatnya ke arah kebajikan dari mula hingga akhirnya.
  3. Dr. Muhammad Al-Ahmad Abu Al-Nur, bekas Menteri Wakaf Mesir – Wakaf ialah harta atau hartanah yang ditahan oleh pemiliknya sekira-kira dapat menghalang penggunaannya dengan dijual atau dibeli ataupun diberikan sebagai pemberian dengan syarat dibelanjakan faedahnya atau keuntungannya atau hasil mahsulnya kepada orang yang ditentukan oleh pewakaf.

Takrif-takrif di atas telah menunjukkan kedudukan wakaf sebagai sebagian daripada amalan yang dianjurkan oleh Syariah sebagaimana firman Allah SWT:

Bandingan (pahala) orang yang membelanjakan harta mereka pada jalan Allah seperti sebiji benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, dan pada tiap-tiap tangkai itu pula terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi setiap yang Dia kehendaki dan Allah Mahaluas (Kurniaannya) lagi Maha Mengetahui[4].

Daripada Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

Apabila mati anak Adam, terputus amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakan kepadanya[5].

Istilah wakaf adalah berkait dengan infak, zakat dan sedekah. Ia adalah termasuk dalam mafhum infak yang disebut oleh Allah sebanyak 60 kali dalam Al-Quran. Ketiga-tiga perkara ini bermaksud memindahkan sebagian daripada segolongan umat Islam kepada mereka yang memerlukan. Namun, berbanding zakat yang diwajibkan ke atas umat Islam yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan sedekah yang menjadi sunat yang umum ke atas umat Islam; wakaf lebih bersifat pelengkap (complement) kepada kedua-dua perkara tersebut. Di samping itu, apa yang disumbangkan melalui zakat adalah tidak kekal di mana sumbangannya akan digunakan dalam bentuk hangus, sedangkan harta wakaf adalah berbentuk produktif yaitu kekal dan boleh dilaburkan dalam pelbagai bentuk untuk faedah masa hadapan.

Salah satu jenis wakaf yang biasanya dilakukan diantaranya adalah Wakaf Al-Quran. Wakaf Al-Quran merupakan salah satu amal jariah yang dapat menjadi sumber pahala yang akan terus mengalir bagi orang yang mengamalkannya[6].

Sejarah

Rasulullah SAW merupakan perintis kepada amalan wakaf berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Syaibah daripada ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’az yang bermaksud:

Kami bertanya tentang wakaf yang terawal dalam Islam? Orang-orang Ansar mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.[7]

Orang Jahiliyah tidak mengenali akad wakaf yang merupakan sebagian daripada akad-akad tabarru’,[8] lalu Rasulullah SAW memperkenalkannya karena beberapa ciri istimewa yang tidak wujud pada akad-akad sedekah yang lain. Institusi terawal yang diwakafkan oleh Rasulullah SAW ialah Masjid Quba yang diasaskan sendiri oleh Baginda SAW apabila tiba di Madinah pada 622M atas dasar ketaqwaan kepada Allah SWT. Ini diikuti pula dengan wakaf Masjid Nabawi enam bulan selepas pembinaan Masjid Quba’. Diriwayatkan bahwa Baginda SAW membeli tanah bagi pembinaan masjid tersebut daripada dua saudara yatim piatu yaitu Sahl dan Suhail dengan harga 100 dirham. Pandangan masyhur menyatakan individu pertama yang mengeluarkan harta untuk diwakafkan adalah Saidina ‘Umar RA dengan mewakafkan 100 bahagian daripada tanah Khaibar kepada umat Islam. Anaknya Abdullah bin Umar RA menyatakan bahwa ayahnya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar lalu dia datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta pandangan tentang tanah itu, maka katanya:

Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapat sebidang tanah di Khaibar, di mana aku tidak mendapat harta yang lebih berharga bagiku selain daripadanya, (walhal aku bercita-cita untuk mendampingkan diri kepada Allah) apakah yang engkau perintahkan kepadaku dengannya?.

Maka sabda Rasulullah SAW:

Jika engkau hendak, tahanlah (bekukan) tanah itu, dan sedekahkan manfaatnya.” “Maka ’Umar telah mewakafkan hasil tanahnya itu, sesungguhnya tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibah (diberi) dan diwarisi kepada sesiapa.” Katanya lagi: “’Umar telah menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba yang baru merdeka, pejuang-pejuang di jalan Allah, Ibnus Sabil dan para tetamu. Tidaklah berdosa sesiapa yang menyelia tanah wakaf itu memakan sebahagian hasilnya sekadar yang patut, boleh juga ia memberi makan kawan-kawannya, tetapi tidaklah boleh ia memilikinya.

Sejak itu amalan wakaf berkembang sehingga menjadi tulang belakang kepada menjadi teras kepada pembangunan umat Islam terdahulu dan berkekalan sehingga ke hari ini. Banyak institusi pendidikan seperti Universiti Cordova di Andalus, Universitas Al-Azhar al-Syarif di Mesir, Madrasah Nizhamiyah di Baghdad, Universitas Al-Qarawiyyin di Fez, Maghribi, Al-Jamiah al-Islamiyyah di Madinah, Pondok Pesantren Darunnajah di Indonesia, Madrasah Al-Juneid di Singapura dan banyak institusi pondok dan sekolah agama di Malaysia adalah berkembang berasaskan harta wakaf. Universitas Al-Azhar contohnya telah membangun dan terus maju hasil sumbangan harta wakaf. Sehingga kini pembiayaan Universitas Al-Azhar yang dibina sejak 1000 tahun lalu telah memberikan khidmat percuma pengajian kepada ribuan pelajar Islam dari seluruh dunia. Merekalah yang menjadi duta Al-Azhar untuk membimbing umat Islam ke arah penghayatan Islam di seluruh pelosok dunia

Keistimewaan

Harta wakaf dalam dioperasikan sebagai pemangkin pembangunan ekonomi umat Islam karena ia memiliki beberapa ciri berikut:

  1. Keunikan wakaf pada konsep pemisahan di antara hak pemilikan dan faedah penggunaannya. Pewakafan harta menyebabkan kuasa pemilikan hartanya akan terhapus daripada harta tersebut. Wakaf secara prinsipnya adalah satu kontrak berkekalan dan pewakaf tidak boleh lagi memiliki harta itu dengan apa jua sekalipun, kecuali sebagai pengurus harta wakaf. Secara majazinya harta wakaf adalah menjadi milik Allah Taala.
  2. Wakaf adalah sedekah jariyah/berterusan di mana Wakif mendapat pahala berterusan dan penerima mendapat faedah berterusan pula. Dengan itu, Nazhir diperbolehkan mengatur perancangan keuangan institusinya dengan tujuan untuk pemanfaatan jangka panjang. Di samping itu Wakif tidak perlu bimbang terhadap hal-hal yang mungkin terjadi seperti pengubahan status wakaf tanahnya oleh pemerintah karena kaidah fiqh menyatakan: “Syarat pewakaf adalah seperti nas Syara’.”
  3. Penggunaan harta wakaf adalah untuk kebajikan dan perkara-perkara yang diharuskan oleh Syara’. Oleh karena itu, tidak diwajibkan menentukan golongan yang mendapat manfaat daripada wakaf dan Wakif cukup menyebutkan: “Saya wakafkan harta ini karena Allah.” Dengan begitu, harta wakaf dapat dikembangkan menjadi pelbagai bentuk sebagaimana tujuan wakaf.

Syarat Wakaf

Syarat wakaf yang menjadi syarat utama agar dapat sahnya suatu akad wakaf adalah seorang wakif telah dewasa, berakal sehat, tidak berhalangan membuat perbuatan hukum, dan pemilik utuh dan sah dari harta benda yang diwakafkan.

Akad wakaf yang diikrarkan seorang wakif harus disaksikan oleh dua orang saksi dan pejabat pembuat akta wakaf. Ikrar akad wakaf dilaksanakan dengan ikrar dari wakif untuk menyerahkan harta benda yang dimiliki secara sah untuk diurus oleh nadzir (orang yang mengurus harta wakaf) demi kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat.

Macam macam Wakaf

Ulama fikih seperti yang dinyatakan oleh Abdul Aziz Dahlan dalam Ensiklopedi Hukum Islam (2006: 1906) membagi wakaf kepada dua bentuk:

1. Wakaf khairi. Wakaf ini sejak semula diperuntukkan bagi kemaslahatan atau kepentingan umum, sekalipun dalam jangka waktu tertentu, seperti mewakafkan tanah untuk membangun masjid, sekolah, dan Rumah Sakit.

2. Wakaf ahli atau zurri. Wakaf ini sejak semula ditentukan kepada pribadi tertentu atau sejumlah orang tertentu sekalipun pada akhirnya untuk kemaslahatan atau kepentingan umum, karena apabila penerima wakaf telah wafat maka harta wakaf itu tidak boleh diwarisi oleh ahli waris yang menerima wakaf.

Perbedaan antara Wakaf, Zakat, Infaq dan Sedekah

Zakat adalah bagian tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila telah mencapai syarat yang ditetapkan. Sebagai salah satu rukun Islam, Zakat ditunaikan untuk diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (asnaf). Secara umum zakat terbagi menjadi dua jenis, yakni zakat fitrah dan zakat mal. Zakat Fitrah (zakat al-fitr) adalah zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadhan.Zakat mal adalah zakat yang dikenakan atas segala jenis harta, yang secara zat maupun substansi perolehannya, tidak bertentangan dengan ketentuan agama.

Infaq berasal dari kata anfaqa–yunfiqu yang artinya membelanjakan atau membiayai yang berhubungan dengan usaha realisasi perintah-perintah Allah. Sedangkan menurut istilah Infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan dalam ajaran Islam.

Shadaqah atau sedekah adalah mengamalkan harta di jalan Allah dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan, dan semata-mata mengharapkan ridha-Nya sebagai bukti kebenaran iman seseorang.[9]

Catatan kaki

  1. ^ Pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
  2. ^ a b UU 41/2004
  3. ^ "Wakaf - HukumPedia". 
  4. ^ Surah al-Baqarah: Ayat 261
  5. ^ Hadis Riwayat Muslim
  6. ^ "Wakaf Al-Quran : Pahala yang Terus Mengalir Tanpa Henti". Blog Insan Bumi Mandiri (dalam bahasa Inggris). 2021-09-14. Diakses tanggal 2021-11-23. 
  7. ^ Hadis Riwayat Al-Syaukani
  8. ^ Ali, Jawwad (2019) [1956-1960]. Kurnianto, Fajar, ed. كتاب المفصل في تاريخ العرب قبل الإسلام [Sejarah Arab Sebelum Islam–Buku 5: Politik, Hukum, dan Tata Pemerintahan]. Diterjemahkan oleh Ali, Jamaluddin M.; Hendiko, Jemmy. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 168–169. ISBN 978-602-6577-28-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-08. Diakses tanggal 2020-09-27. 
  9. ^ "Apakah Wakaf itu?". Wakaf Muhami Shareiin (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-12-06. Diakses tanggal 2021-03-30. 

Pranala luar