Ilmu politik

cabang ilmu sosial | Ilmu sosial yang berurusan dengan ilmu politik dan sistem politik
Revisi sejak 23 Februari 2024 23.09 oleh Henri Aja (bicara | kontrib) (Mengembalikan suntingan oleh 182.1.218.95 (bicara) ke revisi terakhir oleh Henri Aja)

Ilmu politik (bahasa Inggris: political science) adalah cabang ilmu sosial yang membahas antara Perbedaan Konflik dan Interaksi, teori dan praktik politik serta deskripsi dan analisis sistem politik dan perilaku politik. Ilmu ini berorientasi akademis, teori, dan riset.

Politik adalah usaha untuk menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia terdapat pepatah gemah ripah loh jinawi, atau menurut orang Yunani kuno, terutama Aristoteles dan plato menyebutnya sebagai eudamonia atau the good life. [1]

Sejarah

Ilmu politik merupakan cabang ilmu yang masih muda usianya, karena baru lahir pada akhir abad ke-19, apabila ilmu tersebut dipandang semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus, dan ruang lingkup yang jelas. Sebaliknya, apabila ilmu politik ditinjau dalam rangka yang lebih luas, yaitu sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik, maka ilmu politik dapat dikatakan jauh lebih tua umurnya. Bahkan ilmu tersebut sering diakui sebagai ilmu sosial tertua di dunia. Pada taraf perkembangan tersebut, ilmu politik banyak bertumpu pada ilmu sejarah dan filsafat.[1]

Pemikiran mengenai negara di Yunani Kuno sudah dimulai sejak tahun 450 S.M. Hal ini tertulis dalam karya-karya ahli sejarah seperti Herodotos, atau filsuf-filsuf seperti Plato, Aristoteles, dan sebagainya. Sedangkan di Asia, terdapat beberapa pusat kebudayaan, antara lain di India dan China, yang telah mewariskan berbagai tulisan politik yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul antara lain dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang berasal dari masa sekitar 500 S.M. Filsuf China yang terkenal ialah Confucius (+ 350 S.M.), Mencius (+ 350 S.M) dan dari mazhab Legalis, antara lain Shang Yang (± 350 S.M.).[1]

Terdapat beberapa karya tulis di Indonesia yang membahas masalah sejarah dan kenegaraan, seperti misalnya Negarakertagama yang ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke-15 M. dan Babad Tanah Jawi. Namun di negara-negara Asia tersebut kesusastraan yang mencakup bahasan politik, sejak akhir abad ke-19 telah mengalami kemunduran, karena terdesak oleh pemikiran barat yang dibawa oleh negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Belanda dalam rangka imperialisme.[1]

Tinjauan

 
Niccolò Machiavelli, seorang ilmuwan politik berpengaruh.

Ilmuwan politik mempelajari alokasi dan transfer kekuasaan dalam pembuatan keputusan, peran dan sistem pemerintahan termasuk pemerintah dan organisasi internasional, perilaku politik dan kebijakan publik. Mereka mengukur keberhasilan pemerintahan dan kebijakan khusus dengan memeriksa berbagai faktor, termasuk stabilitas, keadilan, kesejahteraan material, dan kedamaian. Beberapa ilmuwan politik berupaya mengembangkan ilmu ini secara positif dengan melakukan analisis politik. Sedangkan yang lain melakukan pengembangan secara normatif dengan membuat saran kebijakan khusus.

Studi tentang politik diperumit dengan seringnya keterlibatan ilmuwan politik dalam proses politik, karena pengajaran mereka biasanya memberikan kerangka pikir yang digunakan komentator lain, seperti jurnalis, kelompok minat tertentu, politikus, dan peserta pemilihan umum untuk menganalisis permasalahan dan melakukan pilihan. Ilmuwan politik dapat berperan sebagai penasihat untuk politikus tertentu, atau bahkan berperan sebagai politikus itu sendiri. Ilmuwan politik dapat terlihat bekerja di pemerintahan, di partai politik, atau memberikan pelayanan publik. Mereka dapat bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau pergerakan politik. Dalam berbagai kapasitas, orang yang dididik dan dilatih dalam ilmu politik dapat memberi nilai tambah dan menyumbangkan keahliannya pada perusahaan. Perusahaan seperti wadah pemikir (think-tank), institut riset, lembaga polling dan hubungan masyarakat sering mempekerjakan ilmuwan politik.

Pendekatan dalam ilmu politik

Terdapat banyak sekali pendekatan dalam ilmu politik.[2] Di sini hanya akan dibahas tentang tiga pendekatan saja, yakni pendekatan institusionalisme (the old institutionalism), pendekatan perilaku (behavioralism) dan pilihan rasional (rational choice), serta pendekatan kelembagaan baru atau the new institutionalism. Ketiga pendekatan ini memiliki cara pandangnya tersendiri dalam mengkaji ilmu politik dan memiliki kritik terhadap pendekatan yang lain.[2]

Pendekatan institusionalisme

Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada negara sebagai fokus kajian utama.[2] Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan institusi negara, yakni negara demokratis yang berada pada titik "pemerintahan yang baik" atau good governance dan negara otoriter yang berada pada titik "pemerintahan yang jelek" atau bad governance dan kemudian berkembang lagi dengan banyak varians yang memiliki sebutan nama yang berbeda-beda.[3] Namun, pada dasarnya—jika dikaji secara krusial, struktur pemerintahan dari jenis-jenis institusi negara tersebut tetap akan terbagi lagi menjadi dua yakni masalah antara "baik" dan "buruk" tadi.[3]

Bahasan tradisional dalam pendekatan ini menyangkut antara lain sifat undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen dan lain-lain.[2] Dengan kata lain, pendekatan ini mencakup unsur legal maupun institusional.[2] Pendekatan legal/institusional, yang sering dinamakan pendekatan tradisional, mulai berkembang abad 19 pada masa sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekataan ini negara menjadi fokus pokok, terutama segi konstitusional dan yuridisnya.

Setidaknya, ada lima karakteristik atau kajian utama pendekatan ini, yakni:

  • Legalisme, yang mengkaji aspek hukum, yaitu peranan pemerintah pusat dalam mengatur hukum;[4]
  • Strukturalisme, yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan struktur itu pun dapat menentukan perilaku seseorang;[4]
  • Holistik yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik alih-alih dalam memeriksa lembaga yang "bersifat" individu seperti legislatif;[4]
  • Sejarah atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam aspek sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan;[4]
  • Analisis normatif yang menekankan analisisnya dalam aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government.[4]

Pendekatan perilaku dan pilihan rasional

Salah satu pemikiran pokok dalam pendekatan perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberikan informasi mengenai proses politik yang sebenarnya.[2] Sementara itu, inti "pilihan rasional" ialah bahwa individu sebagai aktor terpenting dalam dunia politik dan sebagai makhluk yang rasional selalu mempunyai tujuan-tujuan yang mencerminkan apa yang dianggapnya kepentingan diri sendiri.[2] Kedua pendekatan ini (perilaku dan pilihan rasional), memiliki fokus utama yang sama yakni individu atau manusia. Meskipun begitu, penekanan kedua pendekatan ini tetaplah berbeda satu sama lainnya. Pendekatan perilaku timbul dan mulai berkembang di amerika pada tahun 1950-an seusai Perang Dunia II. Adapun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai berikut. Pertama, sifat deskriptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis dan sangat berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran bahwa, jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan ketinggalan dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan tokohnya Max Weber (1864-1920) dan Talcott Parsons (1902-1979), antropologi, dan psikologi.Ketiga, di kalangan pemerintah Amerika telah muncul keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.[5]

Adapun aspek yang ditekankan dalam pendekatan ini adalah:

  • Menekankan pada teori dan metodologi. Dalam mengembangkan studi ilmu politik, teori berguna untuk menjelaskan berbagai fenomena dari keberagaman di dalam masyarakat.[4]
  • Menolak pendekatan normatif. Kaum behavioralis menolak hal-hal normatif yang dikaji dalam pendekatan institusionalisme karena pendekatan normatif dalam upaya menciptakan "pemerintahan yang baik" itu bersifat bias.[4]
  • Menekankan pada analisis individual. Kaum behavioralis menganalisis letak atau pengaturan aktor politik secara individual karena fokus analisisnya memang tertuju pada analisis perilaku individu.[4]
  • Masukan (inputism) yang memperhatikan masukan dalam sistem politik (teori sistem oleh David Easton, 1953) atau tidak hanya ditekankan pada strukturnya saja seperti dalam pendekatan institusionalisme.[4]

Pendekatan kelembagaan baru

Pendekatan kelembagaan baru lebih merupakan suatu visi yang meliputi beberapa pendekatan lain, bahkan beberapa bidang ilmu pengetahuan lain seperti ekonomi dan sosiologi.[2] Berbeda dengan institusionalisme lama yang memandang institusi negara sebagai suatu hal yang statis dan terstruktur, pendekatan kelembagaan baru memandang negara sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah suatu tujuan tertentu.[2] Kelembagaan baru sebenarnya dipicu oleh pendekatan behavioralis atau perilaku yang melihat politik dan kebijakan publik sebagai hasil dari perilaku kelompok besar atau massa, dan pemerintah sebagai institusi yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu.[2] Bentuk dan sifat dari institusi ditentukan oleh aktor beserta juga dengan segala pilihannya.[2]

Bidang-Bidang Ilmu Politik

Dalam Contemporary Political Science, terbitan UNESCO 1950, Ilmu Politik dibagi dalam empat bidang, yaitu:

  1. Teori politik: (1) teori politik, (2) Sejarah perkembangan ide-ide politik.
  2. Lembaga-lembaga politik: (1) Undang-Undang Dasar, (2) Pemerintah Nasional, (3) Pemerintah Daerah dan Lokal, (4) fungsi ekonomi dan sosial dari pemerintah, (5) perbandingan lembaga-lembaga politik.
  3. Partai-partai, golongan golongan (groups), dan pendapat umum: (1) Partai-partai politik, (2) golongan-golongan dan asosiasi-asosiasi, (3) Partisipasi warga negara dalam pemerintah dan administrasi, (4) Pendapat umum.
  4. Hubungan Internasional: (1) Politik Internasional, (2) Organisasi-organisasi dan Administrasi Internasional. Hukum Internasional. [1]

Referensi

  1. ^ a b c d e Budiardjo, Miriam (Juli 2023). Dasar-dasar Ilmu Politik - Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-3494-7. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k Budiardjo, Miriam (2008) Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  3. ^ a b (Inggris)Goodin, Robert E. et al. (ed.) (1996) A new Handbook of Political Science. Oxford: Oxford University Press.
  4. ^ a b c d e f g h i (Inggris)Peters, B. Guy (1999) Institutional in Political Science: The New Institutionalism. New York: Continuum, Bab 1
  5. ^ Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Pranala luar