Agama di Indonesia
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini adalah kompromi antara gagasan negara Islam dan negara sekuler. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya.[2][3][4][5] Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia 2019, 70% dari 250.000.000 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam (Nusantara merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia[6]), 6,96% Kristen, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Konghucu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.[1]
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya".[7] Dalam Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.[8] Baru-baru ini, aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui pula sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal 7 November 2017.[9][10]
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.[11]
Sejarah
Berdasar sejarah, kelompok pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan budaya di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda.[12] Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan budaya di Indonesia.
Agama Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad ke-2 dan abad ke-4 Masehi ketika pedagang dari India datang ke Sumatra, Jawa dan Sulawesi dengan membawa agama mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad kelima Masehi dengan kasta Brahmana yang memuja Siva. Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad berikut lebih lanjut dan sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah memengaruhi kerajaan-kerajaan kaya, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan Sailendra. Sebuah candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur, telah dibangun oleh Kerajaan Sailendra pada waktu yang sama, begitu pula dengan candi Hindu, Prambanan juga dibangun. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad ke-14 M, yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah Indonesia.[13]
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 melalui pedagang di Gujarat, India,[12] sementara ilmuwan juga mempertahankan teori dari Arab dan Persia.[14] Islam menyebar sampai pantai barat Sumatra dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia.[15]
Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor.[16][17]
Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionaris pun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatra juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.[18][17]
Periode Orde Lama Sukarno (dari tahun 1945 hingga 1965) adalah gangguan antara agama dan negara.[19] Perubahan penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era Orde Baru. Antara tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara PKI dan pemerintah Indonesia, bersama dengan beberapa organisasi, mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk pada abad ke-20. Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba untuk menindak para pendukung PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang mengharuskan semua untuk memilih suatu agama, karena kebanyakan pendukung PKI adalah ateis.[20][21] Sebagai hasilnya, tiap-tiap warganegara Indonesia diharuskan untuk membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka. Kebijakan ini mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal, dengan sebagian besar berpindah agama ke Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Karena Konghucu bukanlah salah satu dari status pengenal agama, banyak orang Tionghoa juga berpindah ke Kristen atau Buddha.[21]
Enam agama utama
Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)".[8]
Islam
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia,[22][6] dengan 87,18% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam.[1] Mayoritas muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia (seperti di Jawa dan Sumatra) hingga wilayah pesisir Pulau Kalimantan. Sedangkan di wilayah timur Indonesia, persentase penganutnya tidak sebesar di kawasan barat.[23][24]
Sejarah Islam di Indonesia sangatlah kompleks dan mencerminkan keanekaragaman dan kesempurnaan tersebut kedalam kultur. Pada abad ke-13, sebagian besar pedagang orang Islam dari Gujarat, India tiba di pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan (misalnya, sekitar tahun 1297 telah ada jemaah di Peureulak, Aceh Timur). Hindu yang dominan beserta kerajaan Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana banyak pengikutnya berpindah agama ke Islam.[15] Dalam jumlah yang lebih kecil, banyak penganut Hindu yang berpindah ke Bali, sebagian Jawa dan Sumatra. Dalam beberapa kasus, ajaran Islam di Indonesia dipraktikkan dalam bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan Islam daerah Timur Tengah.[25][26]
- Sunni
Kebanyakan mutlak, sekitar 98% umat Muslim di Indonesia adalah penganut aliran Sunni dari mazhab Syafi'i dan sebagian mazhab-mazhab Sunni lainnya[27][24] serta gerakan Salafiyah[28]. Dua jurusan Sunni utrama ialah Islam Tradisionalis (semisal, ormas Nahdlatul 'Ulama) dan Modernisme Islam (Muhammadiyah, dan lain-lain).[27] Berada sejumlah tarekat dari Sufisme (Tasawuf).[29] Di beberapa daerah, orang melanjutkan kepercayaan lama mereka dan mengadopsi versi sinkretik Islam, umpamanya kaum Abangan di Jawa.[30]
- Syiah
Aliran Syiah memainkan peran penting dalam periode awal penyebaran Islam di Sumatra Utara (Aceh).[31] Kini, sisanya, di atas 1% pengikut, yakni 1—3 juta orang, adalah Syiah mazhab Dua Belas Imam, Islam Syiah di Indonesia berada di Sumatra, Jawa, Madura, dan Sulawesi, dan juga mazhab Ismailiyah di Bali.[32] Semisal di antara subsuku Hadhrami Arab-Indonesia[33]. Perkumpulannya utama yalah “Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia” (IJABI).[34]
- Ahmadiyyah
Ada pula sekitar 400 ribu (0,2%) pemeluk aliran Ahmadiyyah (“Jamaah Muslim Ahmadiyah Indonesia”, JMAI) yang kehadirannya belakangan ini sering dipertanyakan. Ahmadiyyah di Indonesia telah hadir sejak tahun 1925.[35] Pada tanggal 9 Juni 2008, pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah surat keputusan yang praktis melarang Ahmadiyah melakukan aktivitasnya ke luar. Dalam surat keputusan itu dinyatakan bahwa Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya.[36] Dari Ahmadiyyah utama memisahkan diri “Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia” (GAI) lebih kecil yang di Jawa sejak tahun 1924.[35]
Kekristenan
Kekristenan, yakni Gereja Asiria Timur beraliran Nestorianisme telah hadir di Nusantara di Sumatra Utara pada abad ke-7.[37] Fakta ini ditegaskan kembali oleh (Alm) Prof. Dr. Sucipto Wirjosuprapto. Fakta ini dapat dimengerti dengan penelitian dan rentetan berita dan kesaksian yang tersebar dalam jangka waktu dan tempat yang lebih luas. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku "Daftar berita-berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya". yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia. Dengan terus dilakukan penyelidikan berita dari Abu Salih al-Armini kita dapat mengambil kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatra Utara adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria (Gereja Katolik di Indonesia, seri 1, diterbitkan oleh KWI).
Kristen Protestan
Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC) pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat pada abad ke-20 yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eropa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda. Pada 1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-orang yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak mendapatkan hak-haknya yang penuh sebagai warganegara. Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami suatu pertumbuhan anggota.[38][39][40][17][41]
Protestan membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah. Sebagai contoh, di pulau Sulawesi, 17% penduduknya adalah Protestan, terutama di Tana Toraja, Toraja Utara, Mamasa, Poso dan Sulawesi Utara. Sekitar 80% penduduk di Tana Toraja adalah Protestan. Di beberapa wilayah, keseluruhan desa atau kampung memiliki sebutan berbeda terhadap aliran Protestan ini, tergantung pada keberhasilan aktivitas para misionaris.[42]
Di Indonesia, terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan, yaitu Papua, Sulawesi Utara, dan Papua Barat, dengan persentase berurutan 65,48%, 63,60%, dan 53,77% dari jumlah penduduk.[1] Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik oleh penduduk asli. Di Ambon, ajaran Protestan mengalami perkembangan yang sangat besar beriringan dengan agama Islam. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa, berpindah agama ke Protestan pada sekitar abad ke-18. Saat ini, kebanyakan dari penduduk Suku Batak (Toba, Karo, Simalungun, Pakpak dan sebagian Angkola ) di Sumatra Utara menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan.[38][17][43][42] Saat ini, 6,69% dari jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Protestan.[1]
Kristen Katolik
Pada abad ke-14 dan ke-15 entah sebagai kelanjutan umat di Barus atau bukan ternyata ada kesaksian bahwa abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Kristen Katolik Roma di Sumatra Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.[16][17][44]
Banyak orang Portugis yang memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Katolik Roma di Indonesia, dimulai dari kepulauan Maluku pada tahun 1534. Antara tahun 1546 dan 1547, pelopor misionaris Kristen, Fransiskus Xaverius, mengunjungi pulau itu dan membaptiskan beberapa ribu penduduk setempat.[45]
Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado dan kawasan Minahasa, serta mencapai Flores dan Timor. Portugis dan Spanyol berperan menyebarkan agama Kristen Katolik, namun hal tersebut tidak bertahan lama sejak VOC berhasil mengusir Spanyol dan Portugis dari Sulawesi Utara dan Maluku. VOC pun mulai menguasai Sulawesi Utara, untuk melindungi kedudukannya di Maluku. Selama masa VOC, banyak penyebar dan penganut agama Katolik Roma yang ditangkap. Belanda adalah negara basis Protestan, dan penganut Katolik dianggap sebagai kaki-tangan Spanyol dan Portugis, musuh politik dan ekonomi VOC. Karena alasan itulah VOC mulai menerapkan kebijakan yang membatasi dan melarang penyebaran agama Katolik. Yang paling terdampak adalah umat Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan Timor. Di Sulawesi Utara kini mayoritas adalah penganut Protestan. Meskipun demikian umat Katolik masih bertahan menjadi mayoritas di Flores, hingga kini Katolik adalah agama mayoritas di Nusa Tenggara Timur. Diskriminasi terhadap umat Katolik berakhir ketika Belanda dikalahkan oleh Prancis dalam era perang Napoleon. Pada tahun 1806, Louis Bonaparte, adik Napoleon I yang penganut Katolik diangkat menjadi Raja Belanda, atas perintahnya agama Katolik bebas berkembang di Hindia Belanda.[44][41]
Agama Katolik mulai berkembang di Jawa Tengah ketika Frans van Lith menetap di Muntilan pada 1896 dan menyebarkan iman Katolik kepada rakyat setempat. Mulanya usahanya tidak membawa hasil yang memuaskan, hingga tahun 1904 ketika empat kepala desa dari daerah Kalibawang memintanya menjelaskan mengenai Katolik. Pada 15 Desember 1904, sebanyak 178 orang Jawa dibaptis di Semagung, Muntilan, Magelang.[46]
Pada tahun 2006, 3% dari penduduk Indonesia adalah Katolik, lebih kecil dibandingkan para penganut Protestan. Mereka kebanyakan tinggal di Papua dan Flores. Selain di Flores, kantung Katolik yang cukup signifikan adalah di Jawa Tengah, yakni kawasan sekitar Muntilan, Magelang, Klaten, serta Yogyakarta. Selain masyarakat Jawa, iman Katolik juga menyebar di kalangan warga Tionghoa-Indonesia.[47]
Di Indonesia, terdapat satu provinsi yang mayoritas penduduknya adalah penganut Katolik, yaitu Nusa Tenggara Timur dengan persentase 54,14% dari populasi penduduk provinsi tersebut.[1]
Kristen Ortodoks
Pada abad ke-20 Gereja Ortodoks Timur hadir secara resmi dengan nama Gereja Ortodoks Indonesia (GOI), dimana para imam Ortodoks di Indonesia berasal dari dua kewilayahan, yaitu awalnya Gereja Ortodoks Yunani Kepatriarkan Konstantinopel dan kemudian Gereja Ortodoks Rusia di Luar Rusia Kepatriarkan Moskow. Ketua umum Gereja Ortodoks Indonesia adalah Arkimandrit Romo Daniel Bambang Dwi Byantoro, Ph.D. yang adalah imam Indonesia pertama Gereja Ortodoks di Indonesia. Selain itu di Indonesia ada Gereja Ortodoks Oriental, yakni kelompok Gereja Ortodoks Suryani dan Gereja Ortodoks Koptik.[48]
Hindu
Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram, dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode ini, dikenal sebagai zaman Hindu-Buddha Nusantara, bertahan selama 16 abad penuh.[49]
Agama Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia.[50][51] Sebagai contoh, Hindu di Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Keyakinan Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu di sini lebih memusatkan pada seni dan upacara agama dibanding kitab, hukum dan kepercayaan.[50][52]
Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2010 adalah 4 juta orang, 1,7% dari jumlah penduduk Indonesia,[1] merupakan nomor empat terbesar. Namun jumlah ini diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia yang memberi suatu perkiraan bahwa ada 10 juta orang Hindu.[53] Kebanyakan mutlak penganut Hindu berada di Bali dan bersatu dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Selain Bali juga terdapat di Sumatra, Jawa (teristimewa kawasan Jabodetabek), Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. yang juga memiliki populasi pendatang suku Bali cukup besar. Orang Hindu Tamil dari suku India-Indonesia di Medan mewakili konsentrasi Hindu penting lain.[53]
Di Kalimantan Tengah berada umat Hindu Kaharingan, agama asli suku Dayak yang digabungkan ke dalam agama Hindu (tidak semua penganutnya setuju),[54], pula ada Agama Hindu Jawa suku Tengger,[55] Hindu Tolotang suku Bugis,[56], dan Aluk Todolo suku Toraja[57].
Agama Hindu Jawa telah terbentuk dengan cara yang berbeda sehingga lebih dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan atau Islam Kejawen.[30]
Telah pula disajikan beberapa gerakan Neo-Vedanta/Neohindu antarabangsa, seperti misalnya, Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna dan organisasi dari Sathya Sai Baba,[53] Chinmaya Mission, Brahma Kumaris, Ananda Marga, Sahaja Yoga, dan Haidakhandi Samaj.[58]
Buddha
Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba telah pada sekitar abad ke-5 masehi atau sebelumnya dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Nusantara. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama: kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia, mencakup candi Borobudur dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal.[49]
Pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu Tuhan (monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata tertinggi, Sanghyang Adi Buddha dan satu aliran bersatu Buddhayana. Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha Indonesia pada masa lampau menurut naskah Jawa kuno dan bentuk candi Borobudur.[59][60]
Di antara umat Buddhis Indonesia berada semua aliran Buddha utama: Mahayana, Wajrayana, dan Therawada. Kebanyakan orang Tionghoa-Indonesia mengikuti aliran yang sinkretis dengan kepercayaan Tiongkok, yaini Tridharma dan juga Ikuanisme (Maytreya).[61]
Menurut sensus nasional tahun 2000, kurang lebih dari 2% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, sekitar 4 juta orang. Kebanyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatra Utara dan Kalimantan Barat. Namun, jumlah ini mungkin terlalu tinggi, mengingat agama Konghucu (hingga tahun 1998) dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia, sehingga dalam sensus diri mereka dianggap sebagai penganut agama Buddha.[62][63]
Konghucu
Agama Konghucu berasal dari Tiongkok daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran, diperkirakan sedari abad ke-3 Masehi. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial.[64] Pada tahun 1883 di Surabaya didirikan tempat ibadah Khonghucu — Boen Tjhiang Soe, dan kemudian menjadi Boen Bio (Wen Miao). Di tahun 1900 pemeluk Konghucu membentuk lembaga Konghucu Khong Kauw Hwee. Dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) menjadi pada tahun 1955 di Surakarta.[63][65]
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, umat Konghucu di Indonesia terikut oleh beberapa huru-hara politis dan telah digunakan untuk beberapa kepentingan politis. Pada 1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah Konghucu. Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKTHI), suatu organisasi Konghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu agama dan Confucius adalah nabi mereka.[62][66][65]
Tahun 1967, Soekarno digantikan oleh Soeharto, menandai era Orde Baru. Di bawah pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah diberlakukan demi keuntungan dukungan politik dari orang-orang, terutama setelah kejatuhan PKI, yang diklaim telah didukung oleh Tiongkok. Soeharto mengeluarkan instruksi presiden No. 14/1967, mengenai kultur Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta mengimbau orang Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka. Bagaimanapun, Soeharto mengetahui bagaimana cara mengendalikan Tionghoa-Indonesia, masyarakat yang hanya 3% dari populasi penduduk Indonesia, tetapi memiliki pengaruh dominan di sektor perekonomian Indonesia. Pada tahun yang sama, Soeharto menyatakan bahwa “Konghucu berhak mendapatkan suatu tempat pantas di dalam negeri” di depan konferensi PKTHI.[66][65]
Pada tahun 1969, UU No. 5/1969 dikeluarkan—menggantikan keputusan presiden tahun 1967—mengenai enam agama resmi. Namun, hal ini berbeda dalam praktiknya. Pada 1978, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan bahwa hanya ada lima agama resmi, tidak termasuk Konghucu.[66][65] Pada tanggal 27 Januari 1979, dalam suatu pertemuan kabinet, dengan kuat memutuskan bahwa Konghucu bukanlah suatu agama. Keputusan Menteri Dalam Negeri telah dikeluarkan pada tahun 1990 yang menegaskan bahwa hanya ada lima agama resmi di Indonesia.[62]
Karenanya, status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure, berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan Konghucu, tetapi hukum yang lebih rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu tidak diakui oleh pemerintah dan pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha) untuk menjaga kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah diterapkan di banyak sektor, termasuk dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran perkawinan, dan bahkan dalam pendidikan kewarga negaraan di Indonesia yang hanya mengenalkan lima agama resmi.[66][65]
Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman Wahid dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktikkan. Warga Tionghoa Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka. Seperti agama lainnya di Indonesia yang secara resmi diakui oleh negara, maka Tahun Baru Imlek telah menjadi hari libur keagamaan resmi.[63][62]
Agama-agama asli
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Agama asli Nusantara |
---|
Sumatra |
Ugamo Malim • Pemena • Arat Sabulungan • Fanömba adu • Melayu |
Jawa |
Sunda Wiwitan (Madraisme & Buhun) • Kapitayan • Kejawen • Hindu Jawa • Saminisme |
Nusa Tenggara |
Hindu Bali • Halaika • Wetu Telu • Marapu • Jingi Tiu • Koda Kirin • Makamba Makimbi |
Kalimantan |
Kaharingan • Momolianisme • Bungan |
Sulawesi |
Aluk Todolo • Tolotang • Tonaas Walian • Adat Musi • Masade • Hindu Sulawesi |
Maluku dan Papua |
Naurus • Wor • Asmat |
Organisasi |
Portal «Agama» |
Sejumlah agama nenek moyang (aliran kepercayaan bangsa Austronesia) yang berdominasi di seluruh Nusantara sebelum masuk agama-agama asing. Beberapa dari mereka masih hidup sebagai yang murni atau telah sinkretis, yaitu agama:
- Parmalim;
- Pemena;
- Sunda Wiwitan (Djawa Sunda, Buhun);
- Kejawen;
- Saminisme;
- Kaharingan;
- Aluk Todolo;
- Tolotang;
- Marapu;
- Naurus, dan lainnya.[67][68]
Jumlah tak resmi penghayat kepercayaan di Indonesia adalah hingga 20 juta orang.[10]
Agama nenek moyang berisi animisme, kepercayaan terhadap benda mati yang mana, suatu kepercayaan terhadap objek tertentu, seperti pohon, padi, batu atau orang-orang. Kepercayaan ini telah ada dalam sejarah Indonesia yang paling awal, kecuali Parmalim yang memiliki keyakinan entitas tinggi dengan sebutan Omputa Debata Mulajadi Nabolon yang berarti Ompu adalah gelar tertinggi dalam kebudayaan, Debata adalah Tuhan, Mulajadi Nabolon adalah Pencipta awal mula yang Esa atau sama dengan Tuhan YME, agama asli Indonesia ini ada sejak pada abad pertama, tepat sebelum Hindu tiba Indonesia. Lagipula, dua ribu tahun kemudian, dengan keberadaan Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan agama lainnya, penyembah benda mati masih tersisa di beberapa wilayah di Indonesia. Penyembah benda mati, pada sisi lain tidak percaya akan dewa tertentu.[12]
Aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI tertanggal 7 November 2017 dengan No. 97/PUU-XIV/2016, ditegaskan bahwa putusan perintah tentang Administrasi Kependudukan untuk mengosongkan kolom KTP dan dokumen kependudukan lain bagi penduduk yang “agamanya belum diakui sebagai agama” maupun kelompok "Kepercayaan", bertentangan dengan Konstitusi, yakni kelompok-kelompok penghayat kepercayaan kini dapat mencantumkan nama “penghayat kepercayaan” dalam dokumen kependudukan mereka.[9][10]
Saminisme
Gerakan Samin, para pengikut Samin Surosentiko yang menolak pandangan kapitalis dari penjajah Belanda untuk gaya hidup sederhana, didirikan di Jawa Utara-Tengah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[69]
Agama dan kepercayaan lainnya
Beberapa agama dan kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia, yaitu: Sikhisme; Jainisme; Yahudi; Baha'i; Taoisme serta kepercayaan tradisional Tionghoa; dan yang gerakan agama baru, seumpama Teosofi.[70]
Yahudi
Pendirian Yahudi awal di Nusantara berasal dari Portugal dan Spanyol (subsuku Sefardim) pada abad ke-17. Di abad ke-19 orang Yahudi dari Belanda, German dan India datang untuk berdagang rempah dan tinggal di Jakarta, Semarang (subsuku Yahudi Ashkenazi), dan Surabaya (Sefardim dan Mizrakhi Baghdadi). Pada tahun 1945, terdapat sekitar 2 ribu Yahudi Belanda di Indonesia. Pada tahun 1957, dilaporkan masih ada sekitar 450 orang Yahudi, terutama Ashkenazi di Jakarta dan Sefardim di Surabaya. Komunitas ini berkurang menjadi 50 pada tahun 1963. Pada tahun 1997, hanya terdapat 20 orang Yahudi, beberapa berada di Jakarta dan sedikit keluarga Baghdadi di Surabaya.[71][72]
Yahudi di Surabaya pernah memiliki sinagoge (tempat ibadat). Mereka hanya melakukan sedikit hubungan dengan Yahudi di luar Indonesia. Tidak ada pelayanan yang diberikan pada sinagoge. Sinagoge ini telah ditutup oleh umat Muslim yang menentang Perang Gaza 2008–2009.[73] Satu-satunya sinagoge yang masih tersisa terletak di kota Tondano, Sulawesi Utara, yang dihadiri oleh sekitar 10 orang beraliran Yahudi Ortodoks (kelompok Yudaisme Hasidut dari Chabad-Labavitch).[73][72]
Di Indonesia saat ini telah dibentuk "The United Indonesian Jewish Community–Gabungan Masyarakat Yahudi dan Turunan Ibrani Indonesia" (UIJC) oleh komunitas keturunan Yahudi Indonesia semua aliran. Organisasi ini sudah dibentuk sejak tahun 2009, tetapi baru diresmikan pada Oktober 2010. UIJC ini dipimpin oleh keluarga Verbrugge. Menurut sumber dari UIJC saat ini keturunan Yahudi di Indonesia yang sudah diketahui hampir mendekati 2 ribuan orang. Yang sudah terdeteksi 500-an, tersebar hampir merata di seluruh Indonesia.[72]. Dan pada 2015, pusat resmi Yahudi pertama oleh rabi Tovia Singer, "Beit Torat Chaim" di Jakarta, diresmikan oleh Kementerian Agama.[74]
Baha'i
Di Indonesia hadir 22 ribu 115 orang pemeluk agama baru Baha'i pada tahun 2005.[75] Berapa jumlah mereka sebenarnya tidak diketahui dengan pasti karena seringkali mereka mengalami tekanan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya.[76]
Sejak 2014, keadaannya telah membaik dalam rencana Pemerintah untuk kemungkinan pengakuan agama ini (ada pendapat yang salah tentang sudah diadakan pengakuan resmi Baha'i pada tahun 2014).[77][78]
Sikhisme
Migrasi kaum Sikh ke Indonesia mulai sejak th 1870-an (kaum menjaga serta pedagang). Ada beberapa gurdwara (tempat ibadah) dan sekolahnya di Sumatra dan Jawa, semisal gurdwara di Medan yang dibangun pada tahun 1911. Pada tahun 2005 didirikan “Majelis Tinggi Agama Sikh Indonesia” (Matasi). Berjumlah sekira 7 ribu orang (atau 10—15 ribu[53]), Sikh tidak termasuk dalam enam agama yang diakui di Indonesia, para penganut Sikh mengisi kolom agama pada KTP mereka dengan kata “Hindu”.[79]
Terlepas dari Sikhisme ortodoks di Indonesia mewakili juga gerakan reformis Sikh Radha Soami Satsang Beas (RSSB).[80]
Jainisme
Di Jakarta ada kelompok kecil agama kuno Jain — “Jain Social Group Indonesia (JSG Indonesia)” di antara kaum India-Indonesia.[81]
Gerakan agama baru
Gerakan-gerakan agama baru yang paling terkenal di Indonesia adalah: Perhimpunan Teosofi,[82] Meditasi Transcendental,[83] Falun Gong,[53] dan berasal dari Indonesia Komunitas Eden[53][84].
Hubungan antar agama
Walaupun Pemerintah Indonesia mengenali sejumlah agama berbeda, konflik antar agama kadang-kadang tidak terelakkan. Pada masa Orde Baru, Soeharto mengeluarkan perundang-undangan yang oleh beberapa kalangan dirasa sebagai anti Tionghoa. Presiden Soeharto mencoba membatasi apapun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama dan agama.[62][85] Antara 1966 dan 1998, Soeharto berikhtiar untuk de-Islamisasi pemerintahan, dengan memberikan proporsi lebih besar terhadap orang-orang Kristen di dalam kabinet. Namun pada awal 1990-an, isu Islamisasi yang muncul, dan militer terbelah menjadi dua kelompok, nasionalis dan Islam.[86][87][21]
Semasa era Soeharto, program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan, setelah diaktifkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Maksud program ini adalah untuk memindahkan penduduk dari daerah padat seperti pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua. Kebijakan ini mendapatkan banyak kritik, dianggap sebagai kolonisasi oleh orang-orang Jawa dan Madura, yang membawa agama Islam ke daerah non-Muslim. Penduduk di wilayah barat Indonesia kebanyakan adalah orang Islam dengan Kristen merupakan minoritas kecil, sedangkan daerah timur, populasi Kristen adalah sama atau bahkan lebih besar dibanding populasi orang Islam, terjadinya konflik antar agama dan ras di wilayah timur Indonesia, seperti kasus kerusuhan Kepulauan Maluku dan kerusuhan Poso.[88]
Pada tahun 2007—2012 ada serangan dari kaum Sunni terhadap masjid dan rumah-rumah Syiah dan Ahmadiyyah.[89][90][36] Untuk mencegah hal ini terjadi di masa depan, pada tahun 2011, khususnya, didirikan Mejlis Sunni dan Syiah (MUHSIN).[91]
Pemerintah telah berniat untuk mengurangi konflik atau ketegangan tersebut dengan pengusulan kerjasama antar agama. Kementerian Luar Negeri, bersama dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang dipegang oleh Sarjana Islam Internasional, memperkenalkan ajaran Islam moderat, yang mana dipercaya akan mengurangi ketegangan tersebut.[92] Pada 6 Desember 2004, dibuka konferensi antar agama yang bertema “Dialog Kooperasi Antar Agama: Masyarakat Yang Membangun dan Keselarasan”. Negara-negara yang hadir di dalam konferensi itu ialah negara-negara anggota ASEAN, Australia, Timor Timur, Selandia Baru dan Papua Nugini, yang dimaksudkan untuk mendiskusikan kemungkinan kerjasama antar kelompok agama berbeda di dalam meminimalkan konflik antar agama di Indonesia.[92]
Daftar kepribadian agama
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ a b c d e f g "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut". Jakarta: Badan Pusat Statistik. 15 Mei 2010. Diakses tanggal 20-10-2011.
- ^ Intan 2006, hlm. 40.
- ^ Lindsey; Pausacker 1995.
- ^ Hosen 2005, hlm. 419–440.
- ^ Seo 2013, hlm. 44.
- ^ a b Gross 2016, hlm. 1.
- ^ "Undang-undang Dasar 1945". Diakses tanggal 02-10-2006.
- ^ a b Hosen 2005, hlm. 419–440; Shah 2017; Marshall 2018, hlm. 85–96.
- ^ a b Sutanto, Trisno S. (26 April 2018). "Dekolonisasi Masyarakat Adat: Catatan dari Seminar PGI". Program study agama dan lintas budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Diakses tanggal 28-02-2019.
- ^ a b c Marshall 2018, hlm. 85–96.
- ^ "Transmigration". Prevent Conflict. April 2002. Diakses tanggal 13-10-2006.
- ^ a b c Shaw, Elliott, ed. (28 November 2016). "Indonesian Religions". PHILTAR. Diakses tanggal 02-03-2019.
- ^ Mantra 1958; Kinney; Klokke; Kieven 2003; Levenda 2011; Domenig 2014; Sukamto 2018.
- ^ Azra 2006, hlm. 10–25.
- ^ a b Amrullah 1982; Atjeh 1971; Hasymi 1981; Husain 2017; Laffan 2015; Ricklefs 2006; Ricklefs 2007; Ricklefs 2013; Saifullah 2010.
- ^ a b Boelaars 2005.
- ^ a b c d e Aritonang; Steenbrink 2008.
- ^ Goh 2005.
- ^ Intan 2006, hlm. 44–50.
- ^ Geertz 1972, hlm. 62–84.
- ^ a b c Bertrand 2004, hlm. 34–104.
- ^ Frederick, William H.; Worden, Robert L., eds. (1993). Indonesia: A Country Study. Washington, DC. Chapter Islam.
- ^ Azra 2006, hlm. 31–42.
- ^ a b Husain 2017.
- ^ Geertz 1982.
- ^ Mufid 2006.
- ^ a b Mehden 1995.
- ^ Hasan 2007; Solahudin 2011; Hauser-Schäublin; Harnish 2014, hlm. 144–161; Krismono 2017; Baskara 2017.
- ^ Bruinessen 1992; Kraus 1997, hlm. 169–89; Howell 2001, hlm. 701–29; Mufid 2006; Sidel 2006; Mulyati 2010; Laffan 2015.
- ^ a b Geertz 1982; Headley 2004; Hefner 1989; Mufid 2006; Muhaimin 2006; Picard; Madinier 2011, hlm. 71–93; Rasjidi 1967; Ricklefs 2006.
- ^ Atjeh 1971, hlm. 32.
- ^ Ali 1994–95, hlm. 67–93; Atjeh 1977; Hasymy 1983; Ida 2016, hlm. 194–215; Zulkifli 2011.
- ^ Jacobsen, Frode (2009). Hadrami Arabs in Present-day Indonesia. Taylor & Francis. hlm. 19–. ISBN 978-0-415-48092-5.
- ^ Zulkifli 2011, hlm. 197.
- ^ a b Burhani 2014, hlm. 143–44.
- ^ a b Rahman 2014, hlm. 418–20.
- ^ Aritonang 1995, hlm. 11.
- ^ a b Cooley 1968.
- ^ Goh 2005, hlm. 80.
- ^ Aritonang 1995.
- ^ a b Frederick; Worden. (1993). Chapter Christianity.
- ^ a b "Indonesia — (Asia)". Reformed Online. Diakses tanggal 07-10-2006.
- ^ Rodgers 1981.
- ^ a b Steenbrink 2003.
- ^ Vermander, Benoit. "Francis Xavier and Asia: the road to cultural inventiveness". Academic director of Taipei Ricci Institute. International Study Commission. Diakses tanggal 07-10-2006.
- ^ Steenbrink 2007.
- ^ Steenbrink 2015.
- ^ Popov 2017, hlm. 42–45.
- ^ a b Mantra 1958; Kinney; Klokke; Kieven 2003, hlm. 17–20; Levenda 2011; Domenig 2014; Sukamto 2018.
- ^ a b Frederick; Worden. (1993). Chapter Hinduism.
- ^ Lansing 1987, hlm. 45–49.
- ^ Belo 1960; Geertz 1973; Goris 1974; Hooykaas 1974; Howe 2001; Lansing 1987, hlm. 45–49; Ramstedt 2004; Stuart-Fox 2010; Swellengrebel 1960; Swellengrebel 1969.
- ^ a b c d e f "International Religious Freedom Report 2008. Indonesia". US Department of State. Diakses tanggal 31-03-2014.
- ^ Metcalf 1987; Rousseau 1998; Schärer 1963; Winzeler 1993.
- ^ Hefner 1989.
- ^ Matthes 1872; Pelras 1987, hlm. 560–61.
- ^ Budiman 2013; Nooy-Palm 1979; Nooy-Palm 1986; Nooy-Palm 1987, hlm. 565–67.
- ^ Popov 2017, hlm. 78–82.
- ^ Kimura 2003, hlm. 53–72.
- ^ Frederick; Worden. (1993). Chapter Buddhism.
- ^ Brown 1987, hlm. 108–17; Brown 1990; Cheu 1999; Hauser-Schäublin; Harnish 2014, hlm. 84–112; Kimura 2003, hlm. 53–72; Syryadinata 2005, hlm. 77–94; Syukur 2010, hlm. 105–38.
- ^ a b c d e Syukur 2010, hlm. 105–138.
- ^ a b c Syryadinata 2005, hlm. 77–94.
- ^ Cheu 1999.
- ^ a b c d e Chambert-Loir 2015, hlm. 67–107.
- ^ a b c d Yang 2005.
- ^ Budiman 2013; Ensiklopedi kepercayaan 2006; Geertz 1960; Koentjaraningrat 1987, hlm. 559–63; Maria; Limbeng 2007; Matthes 1872; Metcalf 1987, hlm. 290–92; Nooy-Palm 1979; Nooy-Palm 1986; Pelras 1987, hlm. 560–61.
- ^ Popov 2017, hlm. 96–104; Rodgers 1981; Rodgers 1987, hlm. 81–83; Rousseau 1998; Schärer 1963; Winzeler 1993.
- ^ Benda; Castles 1969, hlm. 207-240.
- ^ Popov 2017, hlm. 105–113.
- ^ Klemperer-Markman, Ayala. "The Jewish Community of Indonesia". Museum of the Jewish People at Beit Hatfutsot. Diakses tanggal 15-12-2006.
- ^ a b c Popov 2017, hlm. 109.
- ^ a b Onishi, Norimitsu (22 November 2010). "In Sliver of Indonesia, Public Embrace of Judaism". The New York Times. Diakses tanggal 23-11-2010.
- ^ Serebryanski, Yossi (28 August 2015). "Jews of Indonesia and Papua New Guinea". The Jewish Press. Diakses tanggal 19-06-2016.
- ^ "Most Baha'i Nations (2005)". The ARDA Association of Religion Data Archives. Diakses tanggal 12-02-2019.
- ^ "Agama Baha'i Bukan Sekte Dalam Islam". ANTARA News. 6 November 2007. Diakses tanggal 28-02-2019.
- ^ Nurish, Amanah (8 August 2014). "Welcoming Baha'i: New official religion in Indonesia". The Jakarta Post. Diakses tanggal 21-02-2014.
- ^ Pedersen, Lene (2016). "Religious Pluralism in Indonesia". The Asia Pacific Journal of Anthropology. 17 (5: Special Issue: Communal Peace and Conflict in Indonesia: Navigating Inter-religious Boundaries): 387–398.
- ^ Kahlon 2016.
- ^ Popov 2017, hlm. 110–111.
- ^ Popov 2017, hlm. 108.
- ^ Popov 2017, hlm. 112–113.
- ^ Popov 2017, hlm. 81.
- ^ Popov 2017, hlm. 103–104.
- ^ Effendi, Wahyu (28 Juni 2004). "Pembaruan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia". Diakses tanggal 13-10-2006.
- ^ Lidde 1996, hlm. 613–634.
- ^ Lindsey 1995.
- ^ Lindsey; Pausacker 1995; Bertrand 2004, hlm. 34–104; Pringle 2010, hlm. 143–57; Crouch 2013; Duncan 2013.
- ^ Zulkifli 2011.
- ^ Ida 2016, hlm. 194–215.
- ^ "RI Sunni-Shia Council established". The Jakarta Post. 21 May 2011. Diakses tanggal 31-03-2019.
- ^ a b "Transcript of Joint Press Conference Indonesian Foreign Minister, Hassan Wirajuda, with Australian Foreign Minister, Alexander Downer" (Siaran pers). Embassy of Republic of Indonesia at Canberra, Australia. 6 Desember 2004. Diakses tanggal 14-10-2006.
Kepustakaan
- dalam bahasa Indonesia
- Ali, Wan Zailan Kamaruddin Wan (1994–95). "Aliran Syi'ah di Nusantara: perkembangan. Pengaruh dan Kesan". Sejarah: Jurnal Jabatan Sejarah Universiti Malaya. 3 (3): 67–93. doi:10.22452/sejarah.vol3no3.4. ISSN 1985-0611.
- Amrullah, Abdul Malik Karim (1982) [1963]. Dari Perbendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Panjimas.
- Anwar, Rosihan (1971). Jatuh Bangun Pergerakan Islam di Indonesia. Jakarta: Kartika Tama.
- Aritonang, Jan S. (Pdt. Dr. Jan S. Aritonang) (1995). Berbagai aliran di dalam dan di sekitar gereja. Singapore: BPK Gunung Mulia. ISBN 978-979-415-796-1.
- Atjeh, Aboebakar (Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh) (1971). Sekitar Masuknya Islam di Indonesia. Semarang: Ramadhani.
- Atjeh, Aboebakar (Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh) (1977). Aliran Syiah di Nusantara. Jakarta: Islamic Research Institute.
- Boelaars, Huub J. W. M. (Dr. Huub J. W. M. Boelaars, OFM Cap.) (2005) [1991]. Indonesianisasi, dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia [Indonesianisasi, Het omvormingsproces van de katholieke kerk in Indonesiё tot de Indonesische katholieke kerk]. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-21-0844-0.
- Bruinessen, Martin van (1992). Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: survei historis, geografis, dan sosiologis. Bandung: Mizan.
- Endraswana, Suwardi (2011). Kebatinan Jawa dan jagad mistik Kejawen. Yogyakarta: Lembu Jawa. ISBN 9789791650250.
- Ensiklopedi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (edisi ke-4). Jakarta: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film; Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2010. ISBN 978-979-16071-1-7.
- Geertz, Clifford (1982) [1960]. Abangan, santri, priyayi: dalam masyarakat Jawa [Religion of Java]. Jakarta: Pustaka Jaya. OCLC 23574765.
- Goris, Roelof (1974). Sekte-sekte di Bali. Jakarta: Bhratara.
- Hafidy, H.M. As'ad El (1977). Aliran-aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
- Hasymi, Ali (1981). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Al Ma’arif’.
- Hasymi, Ali (1983). Syi’ah dan Ahlussunnah: Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu.
- Heuken, Adolf (Adolf Heuken, S.J.) (2004–2006). Ensiklopedi gereja. 9 jilid. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. ISBN 9799722950.
- Hurmain (1991). Aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan mistikisme dalam Islam. Bumi Pustaka.
- Husain, Sarkawi B. (Dr. Sarkawi B. Husain, M.Hum) (2017). Sejarah Masyarakat Islam Indonesia. Surabaya: Airlangga University press. ISBN 978-602-6606-47-1.
- Ilyas, Abd. Mutholib (Drs.); Imam, Abd. Ghofur (Drs.) (1988). Aliran kepercayaan & kebatinan di Indonesia. Jakarta: Amin.
- Imam, Suwarno S. (2005). Konsep Tuhan, manusia, mistik dalam berbagai Kebatinan Jawa. Jakarta: RajaGrafindo Persada. ISBN 9789797690106.
- Kartapradja, Kamil (1985). Aliran kebatinan dan kepercayaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Masagung.
- Krismono (2017). "Salafisme di Indonesia: Ideologi, Politik Negara, dan Fragmentasi" (PDF). Millah: Jurnal Studi Agama. Universitas Islam Indonesia. 16 (2): 173–202. doi:10.20885/millah.vol16.iss2.art2.
- Laffan, Michael (Prof.) (2015) [2011]. Sejarah Islam di Indonesia [The Makins of Indonesian Islam: orientalism and the narration of a Sufi past]. Yogyakarta: Bentang. ISBN 978-602-291-058-9.
- Mantra, Ida Bagus (1958). Pengertian Siva–Buddha Dalam Sejarah Indonesia. Malang: t.p.
- Maria, Siti (Dra.); Limbeng, Julianus, S.Sn., M.Si. (2007). Marapu di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Seri pengungkapan nilai-nilai kepercayaan komunitas adat. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata; Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film; Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Mufid, Ahmad Syafi'i (2006). Tangklukan, abangan, dan tarekat: kebangkitan agama di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-593-5.
- Mulder, Niels (1980) [1978]. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil [Mysticism and Everyday Life in Contemporery Java: cultural persistence and change]. Jakarta: Gramedia.
- Mulyati, Sri (Dr. Hj. Sri Mulyati, MA) (2010). Peran Edukasi Tarekat Qadariyyah Naqsabandiyyah Dengan Referensi Utama Suryalaya. Jakarta: Kencana. ISBN 978-979-1486-73-6.
- Popov, Igor (Dr. Igor Popov, LLM) (2017). Buku rujukan semua aliran dan perkumpulan agama di Indonesia. Singaraja: Toko Buku Indra Jaya.
- Mohammad (Dr.H. Mohammad Rasjidi) (1967). Islam dan Kebatinan. Jakarta: Bulan Bintang.
- Ricklefs, Merle Calvin (2013) [2012]. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan penentangnya dari 1930 sampai sekarang [Islamisation and its opponents in Java: A political, social, cultural and religious history, c. 1930 to the present]. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. ISBN 978-9790244085.
- Romdon (1993). Tashawwuf dan aliran kebatinan: perbandingan antara aspek-aspek mistikisme Islam dengan aspek-aspek mistikisme Jawa. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam. ISBN 9789795670018.
- Saifullah (Dr. H. Saifullah, SA, MA) (2010). Sejarah & Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-8764-68-1.
- Saksono, Ign. Gatut (2007). Paranormal. Peran dan Tanggung Jawab Moralnya. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.
- Sastroatmodjo, Suryanto (1952). Masyarakat Samin Blora. Jakarta: Penerbit Central Jawa.
- Simuh, Dr. (1995). Sufisme Jawa: transformasi tasawuf Islam ke mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
- Solahudin (2011). NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu. ISBN 979-373-195-8.
- Stange, Paul (Dr. Paul Stange) (2009) [1980]. Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumaroh [Modern Javanism: The Evolution of Sumarah] (PDF). Diterjemahkan oleh Chandra Utama. Yogyakarta: LKiS. ISBN 978-979-978-53-8-1.
- Stange, Paul (Dr. Paul Stange) (2007) [1984]. Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa [The Logic of Rasa in Jawa] (PDF) (edisi ke-2). Yogyakarta: LKiS. ISBN 978-979-1283-08-3.
- Stuart-Fox, David J. (2010) [2002]. Pura Besakih: Pura, agama, dan masyarakat Bali [Pura Besakih: Temple, religion and society in Bali]. Denpasar; Jakarta: Pustaka Larasan; Udayana University Press; KITLV-Jakarta. ISBN 978-979-3790-36-7.
- Subagiasta, I Ketut (2009). Reformasi Agama Hindu Dalam Perubahan Sisial Di Bali 1950-1959. Surabaya: Pāramita. ISBN 978-979-722-805-7.
- Subagya, Rakhmat (1969). Agama asli Indonesia: penelahan dan penilaian theologis. Medan: Pro Manuscripto.
- Subagya, Rahmat (1973). Kepercayaan: Kebatinan–Kerohanian–Kejiwaan dan agama. Yogyakarta: Kanisius.
- Sucipto, Toto (Drs.); Limbeng, Julianus, S.Sn., M.Si. (2007). Dra. Siti Maria, ed. Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Provinsi Banten. Seri pengungkapan nilai-nilai kepercayaan komunitas adat. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata; Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film; Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Sukamto (2018). Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara: Masa Hindu-Buddha Sampai Sebelum Masuknya Portugis. Yogyakarta: Deepublish. ISBN 978-602-475-476-1.
- Suparyanto, Petrus (2019). Bhīma's Mistical Quest: As a Model of Javanese Spiritual Growth. Wien: Lit. ISBN 978-3-643-90883-4.
- Syukur, Abdul (2010). "Keterlibatan etnis Tionghoa dan agama Buddha: Sebelub dan Sesudah Reformasi 1998". Dalam Wibowi, I.; Lan, Thung Ju. Setelah air mata kering: masyarakat Tionghoa pasca-peristiwa Mei 1998. Jakarta: Kompas. hlm. 105–38. ISBN 978-979-709-472-0.
- dalam bahasa Inggris
- Abuza, Zachary (2007). Political Islam and Violence in Indonesia. London; New York: Routledge. ISBN 978-0-415-39401-7.
- Aritonang, Jan Sihar; Steenbrink, Karel, ed. (2008). A History of Christianity in Indonesia. Leiden; Boston: BRILL. ISBN 978-90-04-17026-1.
- Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation. Bandung: Mizan Pustaka. ISBN 979-433-430-8.
- Bakker, Frederik Lambertus (1993). The Struggle of the Hindu Balinese Intellectuals: Developments in Modern Hindu Thinking in Independent Indonesia. Amsterdam: VU University Press. ISBN 978-9053832219.
- Beatty, Andrew (1999). Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-62444-4.
- Belo, Jane (1960). Trance in Bali. New York: Columbia University Press.
- Benda, Harry J.; Castles, Lance (1969). "The Samin Movement". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia. 125 (2): 207–40. ISSN 2213-4379.
- Bertrand, Jaques (2004). Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-52441-5. OCLC 237830260.
- Brown, Iem (1987). "Contemporary Indonesian Buddhism and Monotheism". Journal of Southeast Asian Studies. 18 (1): 108–17.
- Brown, Iem (1990). "Agama Buddha Maitreya: A Modern Buddhist Sect in Indonesia". Southeast Asian Anthropology (9).
- Budiman, Michaela (2013). Contemporary Funeral Rituals of Sa'dan Toraja: From Aluk Todolo to "New" Religions. Prague: Charles University in Prague. ISBN 978-80-246-2228-6.
- Buehler, Michael (2016). The Politics of Shari’a Law: Islamist Activist and the State in Democratizing Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-13022-7.
- Burhani, Ahmad Najib (2014). "The Ahmadiyya and the Study of Comparative Religion in Indonesia: Controversies and Influences" (PDF). Islam and Christian–Muslim Relations. 25 (2): 141–58. doi:10.1080/09596410.2013.864191.
- Burhanudin, Jajat; Dijk, Kees van, ed. (2013). Islam in Indonesia. Contrasting Images and Interpretations. Amsterdam: Amsterdam University Press.
- Chambert-Loir, Henri (April 2015). "Confucius Crosses the South Seas". Indonesia. Southeast Asia Program Publications at Cornell University. 99: 67–107. doi:10.5728/indonesia.99.0067. ISSN 2164-8654.
- Cheu, Hock Tong (1999). Chinese Beliefs and Practices in Southeast Asia: Studies on the Chinese Religion in Malaysia, Singapore and Indonesia. Singapore: Pelanduk Publications. ISBN 978-9679784527.
- Cooley, Frank L. (1968). Indonesia: Church and Society. New York: Friendship Press. ISBN 978-0377180215.
- Crouch, Melissa (2013). Law and Religion in Indonesia: Conflict and the Courts in West Java. London: Routledge. ISBN 978-0415835947.
- Domenig, Gaudenz (2014). Religion and Architecture in Premodern Indonesia: Studies in Spatial Anthropology. Leiden; Boston: BRILL. ISBN 978-90-04-27400-6.
- Duncan, Christopher R. (2013). Violence and Vengeance: Religious Conflict and Its Aftermath in Eastern Indonesia. Ithaca; London: Cornell University Press. ISBN 978-0-8014-7913-7.
- Epton, Nina Consuelo (1974). Magic and Mysticism in Java (edisi ke-revised). London: Octagon Press. ISBN 978-0900860393.
- Federspiel, H. (1970). Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth century Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Modern Indonesia Project.
- Fox, James J. (1996). Auger, Timothy, ed. Indonesian Heritage: Religion and ritual. Indonesian Heritage Series. Vol. 9. Singapore: Archipelago Press. ISBN 978-9813018587.
- Fox, Richard (2011). Critical Reflections on Religion and Media in Contemporary Bali. Leiden; Boston: BRILL. ISBN 978-90-04-17649-2.
- Geels, Antoon (1997). Subud and the Javanese mystical tradition. Richmond, Surrey: Curzon Press. ISBN 0-7007-0623-2.
- Geertz, Clifford (1960). Religion of Java. Glencoe, IL: Free Press.
- Geertz, Clifford (1968). Islam Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia. Chicago; London: University of Chicago Press. ISBN 0-226-28511-1.
- Geertz, Clifford (1972). "Religious Change and Social Order in Soeharto's Indonesia". Asia. 27: 62–84.
- Geertz, Clifford (1973). The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books. ISBN 9780465097197.
- Goh, Robbie B. H. (2005). Christianity in Southeast Asia. Singapore: ISEAS: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9812302972.
- Goris, Roelof (1931). The Island of Bali; Its Religion and Ceremonies. Amsterdam: Royal Packet Navigation Company.
- Gross, L. Max (2016). A Muslim archipelago: Islam and Politics in Southeast Asia. Washington, D.C.: National Defense Intelligence College. ISBN 978-1-932946-19-2.
- Hasan, Noorhaidi (2007). "The Salafi Movement in Indonesia: Transnational Dynamics and Local Development". Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East. Duke University Press. 27 (1): 83–94. doi:10.1215/1089201x-2006-045. ISSN 1089-201X.
- Hauser-Schäublin, Brigitta; Harnish, David D., ed. (2014). Between Harmony and Discrimination. Negotiating Religious Identities within Majority-minority Relationships in Bali and Lombok. Leiden; Boston: BRILL. ISBN 978-90-04-27125-8.
- Headley, Stephen C. (2004). Durga's Mosque: Cosmology, Conversion And Community in Central Javanese Islam. Singapure: ISEAS: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 981-230-242-5.
- Hefner, Robert W. (1989). Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton, NJ: Princeton University Press. ISBN 0-691-09413-6.
- Hooykaas, Christiaan (1974). Cosmogony and Creation in Balinese Tradition. The Hague: Martinus Nijhoff. ISSN 0067-8023.
- Hosen, Nadirsyah (2005). "Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate". Journal of Southeast Asian Studies. 36 (3): 419–40.
- Howe, Leo (2001). Hinduism & Hierarchy in Bali. Oxford: James Currey. ISBN 978-0852559147.
- Howell, Julia Day (2001). "Sufism and the Indonesian Islamic Revival". The Journal of Asian Studies. 60 (3): 701–29. doi:10.2307/2700107.
- Ida, Achmah (2016). "Cyberspace and Sectarianism in Indonesia: The Rise of Shia Media and Anti-Shia Online Movements" (PDF). Jurnal Komunikasi Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. 6 (2): 194–215. ISSN 2088-6314.
- Intan, Benyamin Fleming (2006). "Public religion" and the Pancasila-based state of Indonesia: an ethical and sociological analysis. New York: Peter Lang. ISBN 978-0-8204-7603-2.
- Kahlon, Swarn Singh (2016). "Chapter 5. Sikhs in Indonesia". Sikhs in Asia Pacific: Travels among the Sikh Diaspora from Yangon to Kobe. New Delhi: Manohar Publisher. ISBN 978-9350981207.
- Kimura, Bunki (2003). "Present Situation of Indonesian Buddhism: In Memory of Bhikkhu Ashin Jinarakkhita Mahasthavira" (PDF). Nagoya Studies in Indian Culture and Buddhism: Sambhasa (23): 53–72.
- Kinney, Ann R.; Klokke, Marijke J.; Kieven, Lydia (2003). Worshiping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 978-0824827793.
- Kipp, Rita Smith (1993). Dissociated Identities: Ethnicity, Religion, and Class in an Indonesian Society. Ann Arbor, Mich.: University of Michigan Press. ISBN 978-0472104123.
- Koentjaraningrat, R. M. (1987). "Javanese Religion". Dalam Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. 7. New York: MacMillan. hlm. 559–63. ISBN 0029094801.
- Kraus, Werner (1997). "Transformations of a Religious Community: The Shattariyya Sufi Brotherhood in Aceh". Dalam Kuhnt-Saptodewo, Sri; Grabowsky, Volker; Großheim, Martin. Nationalism and Cultural Revival in Southeast Asia: Perspectives from the Centre and Region. Wiesbaden: Harrassowitz Verlag. hlm. 169–89. ISBN 3-447-03958-2.
- Kroef, Justus M. van der (1961). "New Religious Sects in Java". Far Eastern Survey. 30 (2): 18–25. doi:10.2307/3024260.
- Lansing, J. Stephen (1987). "Balinese Religion". Dalam Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. 2. New York: MacMillan. hlm. 45–49. ISBN 0029094801.
- Levenda, Peter (2011). Tantric Temples: Eros and Magic in Java. Newburyport, MA: Ibis Press/Nicolas-Hays, Inc. ISBN 978-089254-169-0.
- Lidde, R. William (1996). "The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation". Journal of Asian Studies. 55 (3): 613–34. doi:10.2307/2646448.
- Lindsey, Tim; Pausacker, Helen, ed. (1995). Religion, Law and Intolerance in Indonesia. London; New York: Routledge. ISBN 978-0-7914-2025-6.
- Marshall, Paul (2018). "The Ambiguities of Religious Freedom in Indonesia". The Review of Faith & International Affairs. 16 (1): 85–96. doi:10.1080/15570274.2018.1433588.
- McDaniel, June (2010). "Agama Hindu Dharma Indonesia as a New Religious Movement: Hinduism Recreated in the Image of Islam". Nova Religio: The Journal of Alternative and Emergent Religions. 14 (1): 93–111.
- Mehden, Fred R. von der (1995). "Indonesia". Dalam Esposito, John L. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World: 4-volume Set. 2. New York; Oxford: Oxford University Press. ISBN 0-19-506613-8.
- Melton, J. Gordon; Baumann, Martin, ed. (2010). "Indonesia". Religions of the world: a comprehensive encyclopedia of beliefs and practices. 4 (edisi ke-2). Santa Barbara; Denver; Oxford: ABC-Clio. ISBN 978-1-59884-203-6.
- Metcalf, Peter (1987). "Bornean Religion". Dalam Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. 2. New York: MacMillan. hlm. 290–92. ISBN 0029094801.
- Muhaimin, Abdul Ghoffir (2006). The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims. Canberra: ANU E Press. ISBN 1-920942-30-0.
- Mulder, Niels (2005) [1998]. Mysticism in Java: Ideology in Indonesia (edisi ke-2). Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-21-1167-0.
- Nooy-Palm, Hetty (1979). The Sa’dan-Toraja: A study of their social life and religion. I: Organization, symbols and beliefs (PDF). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 90-247-2274-8.
- Nooy-Palm, Hetty (1986). The Sa’dan-Toraja: A study of their social life and religion. II: Rituals of the East and West. Leiden; Boston: BRILL. ISBN 978-90-67-65207-0.
- Nooy-Palm, Hetty (1987). "Toraja Religion". Dalam Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. 14. New York: MacMillan. hlm. 565–67. ISBN 0029094801.
- Pedersen, Lene (2006). Ritual and World Change in a Balinese Princedom. Durham: Carolina Academic Press. ISBN 978-1594600227.
- Pelras, Christian (1987). "Bugis Religion". Dalam Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. 2. New York: MacMillan. hlm. 560–61. ISBN 0029094801.
- Picard, Michel; Madinier, Rémy, ed. (2011). The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali. London; New York: Routledge. ISBN 978-979-709-472-0.
- Putten, Jan van der; Cody, Mary Kilcline, ed. (2009). Lost Times and Untold Tales from the Malay World. Singapore: NUS Press. ISBN 978-9971-69-454-8.
- Pringle, Robert (2010). Understanding Islam in Indonesia: Politics and Diversity. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 978-981-4260-09-1.
- Rahman, Fatima Zainab (2014). "State restrictions on the Ahmadiyya sect in Indonesia and Pakistan: Islam or political survival?". Australian Journal of Political Science. 49 (3): 408–22. doi:10.1080/10361146.2014.934656.
- Ramstedt, Martin, ed. (2004). Hinduism in Modern Indonesia: A minority religion between local, national, and global interest. London; New York: RoutledgeCurzon. ISBN 0-7007-1533-9.
- Ricklefs, Merle Calvin (2006). Mystic synthesis in Java: A history of Islamisation from the fourteenth to the early nineteenth centuries. White Plains, NY: EastBridge. ISBN 978-1891936616.
- Ricklefs, Merle Calvin (2007). Polarising Javanese society: Islamic and other visions c. 1830–1930. Singapore; Leiden; Honolulu: NUS Press; KITLV Press; University of Hawai’i Press. ISBN 978-9971-69-346-6.
- Rodgers, Susan (1981). Adat, Islam, and Christianity in a Batak Homeland. Athens, Ohio: Ohio University. ISBN 978-0896801103.
- Rodgers, Susan (1987). "Batak Religion". Dalam Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. 2. New York: MacMillan. hlm. 81–83. ISBN 0029094801.
- Rofe, H. (1959). The Path of Subud. London: Rider.
- Ropi, Ismatu (2017). Religion and Regulation in Indonesia. Singapore: Palgrave Macmillan. ISBN 978-981-10-2826-7.
- Rousseau, Jérôme (1998). Kayan Religion: Ritual Life and Religious Reform in Central Borneo. Leiden: KITLV Press. ISBN 978-9067181327.
- Sai, Siew-Min; Hoon, Chang-Yau, ed. (2013). Chinese Indonesians Peassessed. History, Religion and Belonging. London; New York: Routledge.
- Sandkühler, Evamaria (2014). "Popularisation of Religious Traditions in Indonesia — Historical Communication of a Chinese Indonesian Place of Worship". Dalam Schlehe, Judith; Sandkühler, Evamaria. Religion, Tradition and the Popular. Transcultural Views from Asia and Europe. Bielefeld: transcript. hlm. 157–84. ISBN 978-3-8376-2613-1.
- Saran, Syam, ed. (2018). Cultural and Civilisational Links between India and Southeast Asia: Historical and Contemporary Dimensions. Singapore: Palgrave McMillan. ISBN 978-981-10-7316-8.
- Schärer, Hans (1963) [1946]. Ngaju Religion: The Conception of God among a South Borneo People. The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-90-04-24799-4.
- Schiller, Anne (1996). Schieman, Scott, ed. "An "Old" Religion in "New Order" Indonesia: Notes on Ethnicity and Religious Affiliation" (PDF). Sociology of Religion. Oxford University Press. 57 (4): 409–17. doi:10.2307/3711895. ISSN 1759-8818. OCLC 728290653.
- Schlehe, Judith (2014). "Translating Traditions and Transcendence: Popularised Religiosity and the Paranormal Practitioners' Position in Indonesia". Dalam Schlehe, Judith; Sandkühler, Evamaria. Religion, Tradition and the Popular. Transcultural Views from Asia and Europe. Bielefeld: transcript. hlm. 185–201. ISBN 978-3-8376-2613-1.
- Schlehe, Judith (2019). "Cosmopolitanism, Pluralism and Self-Orientalisation in the Modern Mystical World of Java". Asian Journal of Social Science. 47 (3): 185–201.
- Schröter, Susanne, ed. (2010). Christianity in Indonesia. Perspectives of power. Southeast Asian Modernities, 12. Berlin: Lit. ISBN 9783643107985.
- Seo, Myengkyo (2013). State Management of Religion in Indonesia. London; New York: Routledge. ISBN 978-0-415-51716-4.
- Shah, Dian A. H. (2017). Constitutions, Religion and Politics in Asia: Indonesia, Malaysia and Sri Lanka. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-18334-6.
- Sidel, John T. (2006). Riots, Pogroms, Jihad: Religious Violence in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press. ISBN 978-0801473272.
- Sievers, A. (1974). The Mystical World of Indonesia. Baltimore; London: Johns Hopkins University Press. ASIN B000Q1LA8E.
- Steenbrink, Karel (2003). Catholics in Indonesia: A documented history 1808–1942. Vol. 1: A modest recovery 1808–1903. Leiden: KITLV Press. ISBN 90-6718-141-2.
- Steenbrink, Karel (2007). Catholics in Indonesia: A documented history 1808–1942. Vol. 2: The Spectacular Growth of a Self Confident Minority, 1903–1942. Leiden: KITLV Press. ISBN 90-6718-260-5.
- Steenbrink, Karel (2015). Catholics in Independent Indonesia: 1945–2010. Leiden; Boston: BRILL. ISBN 978-90-04-28513-2.
- Swellengrebel, J. L., ed. (1960). Bali: Studies in Life, Thought, and Ritual. The Hague: W. van Hoeve. ASIN B00ET0VF56Selected studies on Bali by Dutch scholars
- Swellengrebel, J. L., ed. (1969). Bali: Further Studies in Life, Thought, and Ritual. The Hague: W. van Hoeve. ASIN B0010P1VU2Selected studies on Bali by Dutch scholars
- Syryadinata, Leo (2005). "Buddism and Confucianism in Contemporary Indonesia: Recent Developments". Dalam Lindsey, Tim; Pausacker, Helen. Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting. Singapore: ISEAS: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 77–94. ISBN 981-230-303-0.
- Winzeler, Robert L., ed. (1993). The Seen and the Unseen: Shamanism, Mediumship and Possession in Borneo. Williamsburg, Va.: Borneo Research Council. ISBN 978-0962956812.
- Woodward, Mark (1989). Islam in Java: Normative Piety and Misticism in the Sultanate of Yogyakarta. Tucson: University of Arizona Press.
- Woodward, Mark (2011). Java, Indonesia and Islam. Dordrecht: Springer.
- Yang, Heriyanto (2005). "The History and Legal Position of Confucianism in Post Independence Indonesia" (PDF). Marburg Journal of Religion. 10 (1).
- Zulkifli (2011). The struggle of Shi’is in Indonesia. Canberra: ANU E Press. ISBN 978-1925021295.
- dalam bahasa lain
- Bratakesawa, Raden (1954). Falsafah Sitidjenar: ngrewat pangrembag paham wahdatul-wudjud (pantheisme) ing tanah Djawi, ingkang ménggok dados paham ngaken Allah tuwin ngorakaken wontenipun ingkang nitahaken (atheisme) (dalam bahasa Jawa). Surabaya: Kulawarga Bratakesawa.
- Matthes, Benjamin F. (1872). Over de bissoe’s of heidensche priesters en priesteessen der Boeginezen [Tentang bissu atau pendeta pagan Bugis] (dalam bahasa Belanda). Amsterdam.
- Schlehe, Judith (1998). Die Meereskönigin des Südens, Ratu Kidul. Geisterpolitik im javanischen Alltag [Ratu Laut Selatan, Ratu Kidul. Politik Roh dalam Kehidupan Harian Jawa] (dalam bahasa Jerman). Berlin: Dietrich Reimer. ISBN 3-496-02657-X.
Pranala luar
- "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut". Jakarta: Badan Pusat Statistik. 15 Mei 2010. Diakses tanggal 20-10-2011.
- "International Religious Freedom Report 2008. Indonesia" (dalam bahasa Inggris). US Department of State. Diakses tanggal 31-03-2014.
- Shaw, Elliott, ed. (28 November 2016). "Indonesian Religions" (dalam bahasa Inggris). PHILTAR, Division of Religion and Philosophy, University of Cumbria. Diakses tanggal 02-03-2019.
Agama | Ateisme | Buddha | Hindu | Islam & Al Qur'an | Kristen | Mitologi | Yahudi |