Daerah istimewa
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Pembagian administratif Indonesia |
---|
Penataan daerah |
[1] Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat perkembangan definisi mengenai daerah istimewa mulai dari BPUPKI (1945) sampai dengan pengaturan dan pengakuan keistimewaan Aceh (2006) dan Yogyakarta (2012). Perkembangan definisi inilah yang menyebabkan perbedaan penafsiran mengenai pengertian dan isi keistimewaan suatu daerah, yang pada akhirnya menyebabkan pembentukan, penghapusan, dan pengakuan kembali suatu daerah istimewa.
Konsep dasar
Konsep dasar daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul dalam persidangan pendiri bangsa dalam BPUPKI dan PPKI, UUD 1945 asli, Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan UUD 1945 setelah amendemen.
BPUPKI dan PPKI
Perdebatan mengenai apa itu daerah istimewa sebenarnya diawali dari voting bentuk negara Indonesia dalam sidang BPUPKI [2]. Keadaan tersebut berlanjut dalam diskusi para bapak pendiri bangsa mengenai bentuk negara [3]. Akhirnya dicari jalan tengah untuk kedudukan daerah yang berstatus zelfbesturende landschappen dalam lingkungan negara Indonesia dengan memunculkan ide daerah istimewa.
Namun dalam sidang BPUPKI ada penyamaan antara zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen. Dengan demikian tidak hanya kesultanan maupun kerajaan, namun juga daerah mempunyai susunan asli, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya yang dapat ditetapkan sebagai daerah yang bersifat istimewa [4]. Negara menghormati dan memperhatikan susunan asli daerah tersebut. Namun belum ada bentuk jelas bagaimana daerah istimewa tersebut.
Dalam sidang PPKI konsepnya tidak jauh berbeda. Zelfbesturende landchappen ditegaskan hanya sebagai daerah bukan sebagai negara. Kesitimewaannyapun dikaitkan dengan susunan asli dari daerah tersebut. Demikian pula susunan asli zelfstandige gemeenschappen/Inheemsche Rechtsgemeenschappen seperti negeri di Minangkabau dihormati susunan aslinya. Panitia kecil yang dibentuk PPKI tidak memajukan usul apapun mengenai daerah istimewa [5]. PPKI memutuskan kedudukan daerah istimewa (Kooti – bahasa waktu itu) untuk sementara ditetapkan tidak ada perubahan dan penyelesaian selanjutnya diserahkan pada presiden [6]. Di luar sidang PPKI, Presiden Indonesia menetapkan empat piagam kedudukan untuk empat penguasa Jawa[7].
UUD 1945 asli
Daerah istimewa dalam UUD 1945 asli diatur dalam bab VII pasal 18 mengenai pemerintahan daerah [8]. Tidak banyak yang diberikan keterangan dalam pasal tersebut selain persyaratan “hak asal usul” dan istilah “daerah yang bersifat istimewa” [9]. Jika ditilik dari peristilahan maka daerah istimewa pada waktu itu dekat dengan istilah daerah otonomi khusus saat ini. Hanya saja pemberian otonomi khusus tersebut diberikan untuk daerah-daerah yang berstatus “zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen” pada zaman Hindia Belanda [10]. Sayang tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai daerah-daerah mana saja yang berstatus khusus tersebut.
Konstitusi RIS 1949
Istilah daerah istimewa hanya muncul sekali dalam konstitusi RIS. Itupun hanya menyangkut satu daerah yang berstatus sebagai “Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri” [11]. Dalam konstitusi ini muncul istilah Daerah Swapraja sebagai ganti istilah Zelfbesturende landchappen. Ada empat pasal yang mengatur daerah swapraja pada konstitusi tersebut, mulai dari pasal 64-67 [12]. Dalam konstitusi tersebut ditegaskan Negara mengakui semua swapraja yang ada. Kedudukan swapraja sangat kuat. Pengaturan daerah swapraja diserahkan pada daerah bagian yang memiliki daerah swapraja tersebut dengan perjanjian politik, bukan dengan Undang-undang daerah bagian. Pengurangan maupun penghapusan wilayah atau kekuasaan daerah swapraja memerlukan kuasa Undang-undang Federal RIS. Semua pejabat Indonesia yang bertugas di daerah swapraja diganti oleh pejabat daerah swapraja yang bersangkutan. Segala perselisihan yang terjadi antara daerah bagian dan daerah swapraja diputus oleh Mahkamah Agung Federal.
UUD Sementara 1950
Sama seperti Konstitusi RIS, dalam UUD Sementara hanya muncul istilah daerah swapraja. Namun pengaturannya yang berbeda dengan Konstitusi RIS. Dalam UUD ini daerah swapraja diatur dalam pasal 132-133 [13]. Kedudukan daerah swapraja diatur dengan Undang-undang, dengan pengertian keinginan daerah swapraja akan dipertimbangkan oleh pemerintah [14]. Pemerintahan di daerah swapraja harus berdasarkan otonomi, permusyawaratan, dan perwakilan rakyat dalam kerangka negara kesatuan. Daerah swapraja dapat dihapus atas perintah Undang-undang. Perselisihan yang terjadi antara pemerintah mengenai undang-undang yang mengatur daerah swapraja dan peraturan pelaksanaannya diadili oleh pengadilan perdata. Semua pejabat daerah bagian RIS diganti dengan pejabat Indonesia.
UUD 1945 Setelah Amendemen
Pada tahun 2000, melalui Perubahan Kedua UUD, pasal 18 asli diamendemen menjadi pasal 18, 18A, dan 18B. Pengaturan daerah istimewa ditempatkan dalam pasal 18B ayat (1) [15]. Istilah yang digunakan juga berbeda menjadi “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa”. Pengaturannya didasarkan pada undang-undang, tanpa merinci syarat suatu daerah istimewa. Selain itu dalam pasal ini dibedakan antara “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa” dan “satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus” [16].
Konsep pelaksanaan
Konsep pelaksanaan daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul dalam undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah secara umum sebagai pelaksanaan pasal (atau pasal-pasal) mengenai pemerintahan daerah dalam konstitusi. Konsep ini disusun secara kronologis, meliputi UU 22/1948 (UUD 1945 asli), UU 1/1957 (UUD Sementara 1950), UU 18/1965, UU 5/1974, UU 22/1999 (ketiganya UUD 1945 asli), dan UU 32/2004 (UUD 1945 amendemen).
UU 22/1948
Undang-undang yang mengatur daerah istimewa pertama kali adalah UU 22/1948 mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, syarat utama daerah istimewa adalah daerah yang telah memiliki pemerintahan sendiri sebelum adanya Republik Indonesia (zelfbestuur) [17]. Sedangkan bentuk keistimewaannya adalah terletak pada kepala daerahnya [18]. Kepala daerah istimewa merupakan penguasa monarki [19]. Selain itu dalam daerah istimewa yang terdiri atas gabungan dua zelfbestuur diangkat wakil kepala daerah [20]. Selain itu daerah istimewa memiliki tingkatan daerah istimewa setingkat provinsi, setingkat kabupaten, dan setingkat desa [17][21] .
UU 1/1957
Undang-undang 1/1957 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah merupakan undang-undang yang disusun sebagai pelaksanaan pasal 131 dan 132 UUD Sementara 1950 [22]. Dalam undang-undang ini, syarat utama daerah istimewa adalah daerah yang berkedudukan sebagai daerah swapraja dan dengan mengingat pentingnya posisi daerah tersebut dalam kepentingan nasional dan perkembangan masyarakat [23]. Keistimewaannya tetap berada pada kepala daerahnya [24][25]. Selain itu dapat pula diangkat wakil kepala daerah [26]. Penetapan daerah swapraja menjadi daerah istimewa sebenarnya pemberian bentuk baru kepada swapraja tersebut sekaligus merupakan penghapusan pemerintahan swapraja itu [27].
UU 18/1965
Berbeda dengan dua undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya, Undang-undang 18/1965 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah, merupakan titik balik bagi daerah istimewa [28]. Semua daerah swaparaja yang masih ada dihapus [29]. Hanya Aceh dan Yogyakarta yang diakui sebagai daerah istimewa, itupun hanya sampai waktu tertentu [30]. Daerah istimewa tidak diatur dalam bab khusus namun hanya ditempatkan pada aturan peralihan. Pemerintah mendesain untuk menghapuskan daerah istimewa secara pelan namun pasti [31]. Dengan demikian akhirnya semua daerah di Indonesia sama kedudukannya dan hanya ada satu daerah khusus, Jakarta [32].
UU 5/1974
Kebijakan pemerintah Orde Baru meneruskan kebijakan dari Orde lama, bahkan lebih sistematis untuk menghapus daerah istimewa. Hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang disebutkan secara tegas dalam aturan peralihan Undang-undang 5/1974 [33]. Nama Aceh sebagai daerah istimewa tidak satupun disebut dalam undang-undang tersebut. Alih-alih DKI Jakarta diberi jaminan untuk diatur dengan undang-undang tersendiri [34].
UU 22/1999
Walaupun reformasi mulai berjalan namun kedudukan daerah istimewa semakin miris. Penyelenggaraan pemerintahan di semua daerah diberlakukan sama, tidak terkecuali Aceh dan Yogyakarta [35]. Jaminan keistimewaan hanya diletakkan pada penjelasan sehingga kedudukannya tidak sekuat jaminan di dalam pasal-pasal [36]. Hanya DKI Jakarta yang diberi kekhususan sebagai Ibukota Negara [37]. Selain itu Provinsi Timor Timur juga akan diberi otonomi khusus sebagai opsi untuk mencegah separatisme di daerah bekas koloni Portugis itu [38][39]. Di sisi lain muncul konsep baru bahwa yang dimaksud daerah istimewa adalah desa, bukan zelfbestuur [40].
Konsep UU 32/2004
Pasca perubahan UUD 1945, daerah istimewa tidak sendiri lagi dengan adanya daerah khusus [41]. Walaupun demikian, daerah istimewa hanya diterjemahkan sebagai Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta [42]. Sebagaimana undang-undang pemerintahan daerah semenjak 1965, undang-undang ini pun daerah istimewa hanya diatur dalam bab xiv ketentuan lain-lain pasal 225-227. Undang-undang ini mensyaratkan daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus harus diatur dengan undang-undang tersendiri [43]. Semua ketentuan dalam undang-undang ini, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, berlaku juga bagi daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus [44]. Dari semua daerah istimewa dan daerah khusus hanya Aceh, DKI Jakarta, dan Papua yang memiliki UU tersendiri [45]. Sementara itu Yogyakarta yang tidak diatur dengan UU tersendiri, harus tunduk pada semua pengaturan undang-undang ini [46]. Dari kenyataan ini keistimewaan Yogyakarta hanya tinggal nama [47].
Konsep Teknis
Konsep teknis daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul dalam undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah istimewa secara khusus sebagai pelaksanaan pasal (atau pasal-pasal) mengenai pemerintahan daerah dalam konstitusi dan dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Konsep teknis ini meliputi UU 44/1999 dan UU 11/2006 untuk Aceh, serta UU 13/2012 untuk DIY.
UU 44/1999
UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh merupakan undang-undang pertama yang khusus mengatur Aceh. Undang-undang ini termasuk undang-undang pendek, sebab hanya terdiri dari 13 pasal.
Dalam undang-undang ini keistimewaan [Aceh] didefinisikan sebagai kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah [48]. Keistimewaan [Aceh] merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Aceh karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan [49].
Adapun penyelenggaraan keistimewaan meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh [50]. Aceh diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang dimiliki dengan Peraturan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku [51].
UU 11/2006
UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan perpaduan harmonis antara UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh. Undang undang ini termasuk undang-undang yang panjang sebab memiliki 273 pasal. Dalam UU ini, tidak ada definisi baru mengenai keistimewaan Aceh. Namun langsung kepada urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh [52]. Selain itu keistimewaan Aceh juga dinikmati oleh Kabupaten dan Kota di lingkungan Aceh [53].
UU 13/2012
UU 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan undang-undang pengakuan kembali keistimewaan Yogyakarta, setelah 47 tahun keistimewaan Yogyakarta mati segan hidup tak mau. Undang undang ini termasuk undang-undang yang menengah, berisi 51 pasal dan termasuk salah satu undang-undang yang terlama pembahasannya (2007-2012). Versi resmi dari pemerintah meliputi versi 2007 (Depdagri-JIP UGM) dan versi 2010.
Keistimewaan Yogyakarta didefinisikan sebagai keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan Istimewa merupakan wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Sebagaimana DKI Jakarta, kewenangan istimewa DIY terletak pada level provinsi [54]. Kewenangan istimewa DIY meliputi: (a). tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (b). kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (c). kebudayaan; (d). pertanahan; dan (e). tata ruang. DIY diberikan kewenangan untuk mengatur urusan keistimewaan dengan Perdais (Peraturan Daerah Istimewa) [55].
Daerah-daerah Istimewa di Indonesia
Daerah-daerah istimewa di Indonesia adalah daerah maupun entitas hukum yang memiliki status istimewa di wilayah Indonesia, baik karena hak asal-usulnya maupun sejarahnya, baik yang dibentuk maupun hanya sekadar diakui, baik oleh Negara Indonesia maupun oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Aceh (1959-sekarang)
Aceh adalah daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur [56]. Aceh menerima status istimewa pada 1959, tiga tahun setelah pembentukan kembali pada 1956 [57], dan sepuluh tahun sejak pembentukan pertama 1949 [58]. Status istimewa diberikan kepada Aceh dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959, yang isi keistimewaannya meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Namun pelaksanaan keistimewaan tidak berjalan dengan semestinya dan hanya sebagai formalitas belaka [59].
Pasca penerbitan UU 44/1999 keistimewaan Aceh meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama, meliputi: ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam [60]. Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan adat meliputi Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat Aceh (misal Majelis Adat Aceh, Imeum mukim, dan Syahbanda) [61].
Keistimewaan di bidang pendidikan meliputi penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam serta menyelenggarakan pendidikan madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah [62]. Keistimewaan di bidang peran ulama meliputi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Kabupaten/Kota yang memiliki tugas dan wewenang untuk memberi fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan [63].
Berau (1953-1959)
Daerah Istimewa Berau adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Berau dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Berau terdiri atas swapraja Sambaliung dan swapraja Gunung-Tabur. Keistimewaan Daerah Istimewa Berau meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Berau dijabat oleh Sultan Muhammad Amminuddin. Daerah Istimewa Berau dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Berau di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur.
Bulongan (1953-1959)
Daerah Istimewa Bulongan adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Bulongan dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Bulongan terdiri atas swapraja Bulongan. Keistimewaan Daerah Istimewa Bulongan meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Bulongan dijabat oleh Sultan Maulana Muhammad Jalaluddin, sampai mangkat dia pada 1958. Daerah Istimewa Bulongan dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Bulongan di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Bulongan, yang meliputi kabupaten-kabupaten Bulungan, Malinau, Nunukan, Tana Tidung, dan Kota Tarakan, dibentuk satu provinsi, Provinsi Kalimantan Utara pada 17 November 2012, terpisah dari Provinsi Kalimantan Timur.
Kalimantan Barat (1946-1950)
Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri dalam lingkungan Republik Indonesia Serikat yang berkedudukan sebagai daerah istimewa. Daerah Istimewa Kalimantan Barat dibentuk oleh Pemerintah Sipil Hindia Belanda pada 28 Oktober 1946 sebagai Dewan Borneo Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada 12 Mei 1947 [64]. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mampawah, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Tayan, Swapraja Sintang, Neo-swapraja Meliau, Neo-swapraja Pinoh, dan Neo-swapraja Kapuas Hulu [65]. Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah Sultan Swapraja Pontianak, Hamid II Algadrie [64]. Sebelum 5 April 1950 Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Bagian Republik Indonesia (RI-Yogyakarta) [66]. Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan [67]. Kini wilayah Daerah Istimewa Kalimantan Barat menjadi Provinsi Kalimantan Barat yang telah dibentuk pada tahun 1956 [68].
Kutai (1953-1959)
Daerah Istimewa Kutai adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Kutai dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Kutai terdiri atas swapraja Kutai. Keistimewaan Daerah Istimewa Kutai meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Kutai dijabat oleh Sultan A.M. Parikesit. Daerah Istimewa Kutai dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Kutai, Kota Balikpapan, dan Kota Samarinda di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Kutai meliputi Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan Kota Bontang di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur [69].
Surakarta (1945-1946)
Daerah Istimewa Surakarta adalah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran yang diakui Negara Indonesia sebagai daerah yang memiliki sifat istimewa berdasarkan kedudukan kedua daerah tersebut sebagai Kooti. Pengakuan ini didasarkan atas Piagam Penetapan Presiden RI tertanggal 19 Agustus 1945. Karena perselisihan kedua kerajaan yang ada, Kepala Daerah Istimewa dipegang oleh Komisaris Tinggi yang dijabat oleh Gubernur RP Suroso [70][71], yang kemudian Gubernur Suryo [72][73]. Karena berbagai alasan, baik persaingan dua kerajaan, politik, keamanan, Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD/1946 pada 15 Juli 1946, yang pada pokoknya berisi mengenai bentuk dan susunan pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta, yang satu di antaranya menjadikan Daerah Istimewa Surakarta sebagai Karesidenan biasa dibawah Pemerintah Pusat [74]. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Surakarta, yang meliputi Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Wonogiri, serta Kota Surakarta, menjadi bagian Provinsi Jawa Tengah, yang dibentuk pada 1950 [75].
Yogyakarta (1945-sekarang)
Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia [76]. Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul [77] menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa [78]. Kewenangan Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah [79].
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah istimewa sejak pembentukannya secara de jure tahun 1950 [80], maupun sejak pengakuannya secara de facto pada 1945 [81]. Dalam undang-undang pembentukan DIY [80], DIY berkedudukan hukum sebagai daerah istimewa setingkat provinsi. Sedang keistimewaannya terletak pada pengangkatan kepala daerah istimewa dan wakil kepala daerah istimewa dari Sultan dan Paku Alam yang bertahta. Namun, bentuk keistimewaan DIY tidak dicantumkan dalam undang-undang pembentukan tetapi hanya dalam undang-undang pemerintahan daerah yang mengatur semua daerah di Indonesia secara umum [82]. Dengan realitas ini, pada tahun 1965 kedudukan hukum DIY diturunkan menjadi daerah provinsi biasa [83], dan akhirnya pada tahun 1999 dan 2004 keistimewaan DIY memasuki wilayah kekosongan hukum [84].
Pasca penerbitan UU 13/2012, keistimewaan DIY meliputi (a). tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (b). kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (c). kebudayaan; (d). pertanahan; dan (e). tata ruang [85]. Keistimewaan dalam bidang tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur antara lain syarat khusus bagi calon gubernur DIY adalah Sultan Hamengkubuwana yang bertahta, dan wakil gubernur adalah Adipati Paku Alam yang bertahta. Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki kedudukan, tugas, dan wewenang sebagaimana Gubernur dan Wakil Gubernur lainnya, ditambah dengan penyelenggaran urusan – urusan keistimewaan [86]. Kelembagaan dalam bidang kelembagaan Pemerintah Daerah DIY yaitu penataan dan penetapan kelembagaan, dengan Perdais, untuk mencapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan asli [87].
Keistimewaan dalam bidang kebudayaan yaitu memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY, yang diatur dengan perdais [88]. Keistimewaan dalam bidang pertanahan yaitu Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat [89]. Keistimewaan dalam bidang tata ruang yaitu kewenangan Kasultanan dan Kadipaten dalam tata ruang pada pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten [90].
Serba serbi daerah istimewa
Aceh
- Satu-satunya daerah isimewa yang diberi otonomi khusus
- Satu-satunya daerah isimewa yang masih ada yang mendapat keistimewaan karena sejarah dan politik.
- Satu-satunya daerah isimewa yang ada di pulau Sumatera.
- Daerah isimewa yang terakhir dibentuk (1959).
Berau
- Daerah isimewa setingkat kabupaten yang memiliki wilayah terkecil
Bulongan
- Satu-satunya bekas daerah istimewa setingkat kabupaten yang bekas wilayahnya dijadikan satu provinsi tersendiri.
Kalimantan Barat
- Satu-satunya daerah istimewa yang namanya disebut secara jelas dalam konstitusi.
- Daerah istimewa dengan anggota swapraja terbanyak (14 swapraja).
Kutai
- Satu-satunya daerah istimewa setingkat kabupaten yang daerahnya langsung dimekarkan menjadi satu kabupaten dan dua kota begitu dibubarkan.
Surakarta
- Daerah istimewa yang pertama kali dibubarkan (1946).
- Daerah istimewa yang memiliki usia terpendek (10 bulan 3 minggu 5 hari).
- Satu-satunya daerah isimewa yang hanya diakui secara de facto (tidak dibentuk dengan konstitusi atau undang-undang atau peraturan yang setingkat)
Yogyakarta
- Satu-satunya daerah isimewa yang masih ada, yang mendapat sifat istimewa sejak dibentuk dengan undang-undang.
- Satu-satunya daerah isimewa yang memiliki hak asal usul yang masih bertahan (sejak 1945; pada saat UU Keistimewaan DIY disahkan pada 31 Agustus 2012, DIY berusia 67 tahun 1 minggu 5 hari).
- Satu-satunya daerah isimewa yang dibentuk oleh negara bagian Republik Indonesia.
- Daerah istimewa yang undang-undang khususnya diajukan paling awal namun mendapat persetujuan paling akhir (Tahun 1946 dan 2001 diajukan oleh Yogyakarta tetapi tidak dibahas. Tahun 2007 diajukan oleh pemerintah. Tahun 2010 diajukan kembali oleh pemerintah. Disetujui pada 2012)
Catatan
- ^ Penulis Wikipedia tidak menuliskan definisi artikel pada bagian awal artikel ini, menyimpang dari kebiasaan di Wikipedia umumnya. Hal ini dikarenakan adanya definisi yang berbeda antara Undang-undang satu dengan yang lain maupun daerah satu dengan yang lain
- ^ Dalam pemungutan suara 55 memilih republik, 6 kerajaan, 1 abstain, dan 2 lain-lain. (Saafrudin Bahar, 1992:106)
- ^ Dalam panitia kecil perancang UUD yang diketuai Ir Sukarno, 17 suara memilih bentuk kesatuan dan 2 suara memilih bentuk federasi. (Saafrudin Bahar, 1992:174)
- ^ Saafrudin Bahar, 1992:218
- ^ Saafrudin Bahar, 1992:342
- ^ Saafrudin Bahar, 1992:348-350; Berita Republik Indonesia Tahun II No 7 Tahun 1946 hal 48
- ^ Keempat penguasa jawa itu adalah Seri Paduka (SP) Paku Buwono XII dari Surakarta; SP Hamengku Buwono IX dari Yogyakarta; SP Mangku Negara VIII dari Mangkunegaran Surakarta; dan SP Paku Alam VIII dari Paku Alaman Yogyakarta
- ^ “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Pasal 18 UUD 1945 asli
- ^ Pada saat disahkan, UUD hanya terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal. Penjelasan UUD baru dimuat pada tahun berikutnya. Lihat Saafrudin Bahar, 1992 dan Berita Republik Indonesia Tahun II No 7 Tahun 1946.
- ^ “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.” Penjelasan UUD 1945 pasal 18 sub II.
- ^ “Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu daerah bersama:.……...Kalimantan Barat (Daerah istimewa)………..daerah bagian yang dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri…..” Pasal 2 Konstitusi RIS 1949
- ^ “Pasal 64 Daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, diakui. Pasal 65 Mengatur kedudukan daerah-daerah Swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan dengan pengertian, bahwa mengatur itu dilakukan dengan kontrak yang diadakan antara daerah bagian dan daerah-daerah Swapraja bersangkutan dan bahwa dalam kontrak itu kedudukan istimewa Swapraja akan diperhatikan dan bahwa tiada suatupun dari daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang federal yang menyatakan, bahwa, kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada pemerintah daerah bagian bersangkutan. Pasal 66 Sambil menunggu peraturan-peraturan sebagai dimaksud dalam pasal yang lalu dibuat, maka peraturan-peraturan yang sudah ada tetap berlaku, dengan pengertian, bahwa penjabat-pejabat Indonesia dahulu yang tersebut dalamnya diganti dengan penjabat-pejabat yang demikian pada daerah-bagian bersangkutan. Pasal 67 Perselisihan-perselisihan antara Daerah-daerah bagian dan daerah-daerah Swapraja bersangkutan tentang peraturan-peraturan sebagai dimaksud dalam pasal 65 dan tentang menjalankannya, diputuskan oleh Mahkamah Agung Indonesia baik pada tingkat yang pertama dan yang tertinggi juga, ataupun pada tingkat apel.” Pasal 64-67 Konstitusi RIS 1949
- ^ “Pasal 132 (1) Kedudukan daerah-daerah Swapradja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannja harus diingat pula ketentuan dalam pasal 131, dasardaerah permusjawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. (2) Daerah-daerah Swapradja jang ada tidak dapat dihapuskan atau diperketjil bertentangan dengan kehendaknja, ketjuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang jang menjatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengetjilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah. (3) Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan jang dimaksud dalam ajat (1) dan tentang mendjalankannja diadili oleh badan pengadilan jang dimaksud dalam pasal 108. Pasal 133 Sambil menunggu ketentuan-ketentuan sebagai dimaksud dalam pasal 132 maka peraturanperaturan jang sudah ada tetap berlaku, dengan pengertian bahwa pendjabat-pedjabat daerah bagian dahulu jang tersebut dalam peraturan-peraturan itu diganti dengan pendjabat-pedjabat jang demikian pada Republik Indonesia.” Pasal 132-133 UUD Sementara 1950
- ^ “… pada pembentukan Undang-undang itu serta pemerintahannya, yang akan dilakukan dengan mengingati hak asal usul, akan didengar fihak yang bersangkutan...”. Penjelasan UU RIS 7/1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara RIS menjadi UUD Sementara RI.
- ^ “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang” Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 setelah amendemen
- ^ Belum ada akses untuk melihat risalah sidang komisi MPR RI yang bertugas melakukan amendemen. Dengan demikian tidak dapat diketahui secara pasti alasan penggunaan kedua istilah yang berbeda
- ^ a b “Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan Undang-Undang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.” Pasal 1 ayat (2) UU 22/1948
- ^ “Daerah-daerah Istimewa yang sebagai termasuk dalam Undang-undang Dasar,Pasal 18, diatur juga tentang pemerintahannya di dalam Undang-undang Pokok ini. Tentang dasar pemerintahan di daerah Istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan pemerintahan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya, lihatlah Pasal 18 ayat (5). Juga terdapat perbedaan sebagai tersebut dalam Pasal 18 ayat (6), yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah…”. Penjelasan umum sub X nomor 29
- ^ “Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat didaerah itu” Pasal 18 ayat (5) UU 22/1948
- ^ “…Adapun yang dimaksudkan menurut ayat (6) ini ialah jikalau ada dua daerah Istimewa dibentuk menjadi satu daerah menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan salah satu daerah yang digabungkan tadi”. Penjelasan umum sub X nomor 29
- ^ “ Tingkatan Daerah Istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Untuk menentukan tingkatan Daerah Istimewa, diselidiki lebih dulu keadaan daerah itu. Hatsil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkatan Provinsi, Kabupaten, ataukah desa. Jikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa itu masuk kedalam lingkungan Provinsi biasa”. Penjelasan umum sub XI nomor 30
- ^ "Pasal 131 (1). Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. (2). Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri. (3). Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya. Pasal 132 (1). Kedudukan daerah-daerah Swapraja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannya harus diingat pula ketentuan dalam pasal 131, dasar-dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara. (2). Daerah-daerah Swapraja yang ada tidak dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan dan pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah. (3). Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat 1 dan tentang menjalankannya diadili oleh bad an pengadilan yang dimaksud dalam pasal 108.” Pasal 131-132 UUD Sementara 1950
- ^ “Daerah Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat dewasa ini, dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I,II atau III atau Daerah Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.” Pasal 2 ayat (2) UU 1/1957
- ^ “Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu ….” Pasal 25 ayat (1) UU 1/1957
- ^ “… Ad. d. Berlainan dengan Kepala Daerah biasa, maka Kepala Daerah Istimewa itu tidak dipilih oleh dan dari anggota-anggota DPRD. melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat dari keturunan keluarga yang berkuasa di Daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai Daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat-istiadat dalam daerah itu. Ketentuan ini pada pokoknya sama bunyinya dengan apa yang ditentukan dalam Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. Berhubung dengan itu, maka mengenai perwakilan Kepala Daerah, serta penghasilan dan segala "emolumenten" yang melakat kepada jabatan Kepala Daerah itu agak berbeda pula daripada apa yang telah diuraikan mengenai hal tersebut bagi Kepala Daerah biasa. Seperti telah tercantum dalam Rancangan Undang-undang tersebut maka dalam suatu Daerah Istimewa dapat pula diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa. Hal ini misalnya dapat terjadi, apabila Daerah Istimewa itu terbentuk sebagai gabungan dari beberapa bekas Swapraja-Swapraja, seperti misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Sesuai dengan sistem yang telah diuraikan di atas, maka Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah Ketua dan Wakil Ketua serta anggota dari DPD. Berhubung dengan itu, maka apabila diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa tersebut, maka dengan sendirinya ialah yang mewakili Kepala Daerah Istimewa. Sedangkan apabila Wakil Kepala Daerah Istimewa ini juga berhalangan, maka Kepala Daerah Istimewa diwakili oleh seorang anggota DPD. yang dipilih oleh dan dari anggota DPD. Apabila dalam Daerah Istimewa itu tidak diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa, maka perwakilan Kepala Daerah Istimewa diatur seperti perwakilan Kepala Daerah biasa. Selain daripada itu, karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib, maka: (1). ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD., sedangkan (2). mengenai gaji dan segala "emolumenten" yang melekat kepada jabatan Kepala Daerah itu, tidak ditetapkan oleh Daerah itu sendiri, melainkan oleh Pemerintah Pusat." Penjelasan Umum UU 1/1957
- ^ “Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1)” Pasal 25 ayat (2) UU 1/1957
- ^ “Mengenai Daerah Istimewa, setiap kali suatu daerah Swapraja itu dibentuk menjadi Daerah Istimewa, maka pada azasnya kita telah memberikan status baru kepada daerah Swapraja tersebut, yang bentuk susunan pemerintahannya menurut pasal 132 ayat 1 Undang-undang Dasar Sementara harus disesuaikan dengan dasar-dasar yang dimaksud dalam pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara. Kepada daerah Swapraja itu mestilah diberikan pemerintahan berotonomi menurut undang-undang, sehingga tidak dibolehkan suatu daerah Swapraja terbebas dari pemerintahan otonomi yang bersifat demokratis menurut undang-undang itu, dimana kepada rakyat diserahkan hampir semua kekuasaan Swapraja itu, sehingga tinggal lagi urusan-urusan adat yang dapat dipertahankan dalam tangan Kepala Swapraja dan orang-orang besarnya selama rakyatnya bertakluk kepada hukum-adatnya. Tiap-tiap kali daerah Swapraja dibentuk menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra biasa, maka hal itu berarti hapusnya daerah Swapraja yang bersangkutan, sehingga akibat-akibat dari penghapusan itu haruslah pula diatur tersendiri, jadi diantaranya mengenai Kepala-kepala/pembesar-pembesar dan pegawai-pegawai lainnya dari Swapraja-Swapraja, yang sedapat-dapatnya dimasukkan pula ke dalam formasi pegawai Daerah Istimewa/Swatantra itu sesuai dengan syarat-syarat kecakapannya dan lain-lain.” Penjelasan UU 1/1957
- ^ “Sifat istimewa sesuatu Daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal usul dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan Daerah Istimewa atas alasan lain, berlaku terus hingga dihapuskan” Pasal 88 ayat (2) sub a UU 18/1965
- ^ “Daerah-daerah Swapraja yang de facto dan/atau de jure sampai pada saat berlakunya Undang-undang ini masih ada dan wilayahnya telah menjadi wilayah atau bagian wilayah administratif dari sesuatu Daerah, dinyatakan hapus. Akibat-akibat dan kesulitan yang timbul diatur oleh Menteri Dalam Negeri atau Penguasa yang ditunjuk olehnya dan apabila dipandang perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah” Pasal 88 ayat (3) UU 18/1965
- ^ “Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka: a."Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta" yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. I/Missi/1959 adalah "Provinsi" termaksud pada pasal 2 ayat (1) sub a Undang-undang ini. …” Pasal 88 ayat (1) UU 18/1965
- ^ “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang, sekarang pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Baginya tidak terikat jangka masa jabatan dimaksud pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5), dengan pengertian bahwa bagi pengangkatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kemudian, berlaku ketentuan proseduril menurut pasal 11 dan 12” Penjelasan UU 18/1965
- ^ “Kecuali keistimewaan yang ada pada ketiga Daerah dimaksud di atas yaitu Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh, status atau sifat istimewa bagi Daerah-daerah lain tidak akan diadakan lagi pada saatnya diharapkan bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus” Penjelasan UU 18/1965
- ^ Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang, undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya” Pasal 91 huruf b UU 5/1974
- ^ “Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, mengingat pertumbuhan dan perkembangannya dapat mempunyai dalam wilayahnya susunan pemerintahan dalam bentuk lain yang sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, yang pengaturannya ditetapkan dengan Undang-undang”. Pasal 6 UU 5/1974
- ^ “Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh dan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang ini.” Pasal 122 UU 22/1999
- ^ “Pengakuan keistimewaan Provinsi Daerah Aceh didasarkan pada sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi keistimewaannya berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat, dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama dalam penetapan kebijlakan Daerah. Pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah Pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini.” Penjelasan Pasal 122 UU 22/1999
- ^ “Ibukota Negara Republik Indonesia, Jakarta karena kedudukannya diatur tersendiri dengan Undang-undang.” Pasal 117 UU 22/1999
- ^ “(1) Provinsi Daerah Tingkat I Timor Timur dapat diberikan otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-undangan. (2) Pengaturan mengenai penyelenggaraan otonomi khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),ditetapkan dengan Undang-undang”. Pasal 118 UU 22/1999
- ^ “Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Daerah I Timor Timur didasarkan pada perjanjian bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Portugal di bawah supervisi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Yang dimaksud dengan ditetapkan lain adalah Ayat (1) Ketetapan MPR RI yang mengatur status Provinsi Daerah Tingkat I Timor Timur” Penjelasan Pasal 118 UU 22/1999
- ^ “Desa berdasarkan Undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang- Undang Dasar 1945 Landasan penlikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.” Penjelasan Umum Sub 9 UU 22/1999
- ^ “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Pasal 2 Ayat (8) UU 32/2004
- ^ “Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta.” Penjelasan Pasal 2 Ayat (8) UU 32/2004
- ^ “Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.” Pasal 225 UU 32/2004
- ^ “Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri” Pasal 226 ayat (1) UU 32/2004
- ^ “Yang dimaksud dengan Undang-Undang tersendiri adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.” Penjelasan Pasal 226 ayat (1) UU 32/2004
- ^ “Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini.” Pasal 226 ayat (2) UU 32/2004
- ^ Lihat peraturan perundang-undangan lainnya, misalnya Pasal 119 UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu (hanya mengatur daerah istimewa yang memiliki UU tersendiri [Aceh]), Pasal 400 UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (juga memiliki aturan pengecualian bagi daerah istimewa yang memiliki UU tersendiri [Aceh]). Peraturan pelaksana UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 19 PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemprov, dan Pemkab/kota (hanya DKI Jakarta, Aceh, dan Papua yang dikecualikan dari aturan). PP 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pasal 136 (Yogyakarta wajib tunduk selama tidak diatur dengan UU tersendiri)
- ^ Pasal 1 angka 8 UU 44/1999
- ^ Pasal 3 ayat (1) UU 44/1999
- ^ Pasal 3 ayat (2) UU 44/1999
- ^ Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 11 UU 44/1999
- ^ “Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi: (a). penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama; (b). penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; (c). penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam; (d). peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan (e). penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundangundangan.” Pasal 16 ayat (2) UU 11/2006
- ^ “Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus pemerintahan kabupaten/kota adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi: (a). penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama; (b). penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; (c). penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam; dan (d). peran ulama dalam penetapan kebijakan kabupaten/kota.” Pasal 17 ayat (2) UU 11/2006
- ^ “Kewenangan Istimewa DIY berada di Provinsi.” Pasal 6 UU 13/2012
- ^ “(1) Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. (2) Kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; b. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; c. kebudayaan; d. pertanahan; dan e. tata ruang. (3) Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Perdais.” Pasal 7 UU 13/2012
- ^ Pasal 1 angka 2 UU 11/2006
- ^ UU 24/1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara
- ^ Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM/49
- ^ Penjelasan UU 44/1999 dan UU 11/2006
- ^ Pasal 125-127, 128-137 UU 11/2006
- ^ Pasal 96-97, 98-99 UU 11/2006
- ^ Pasal 17-18, 215-220 UU 11/2006
- ^ Pasal 138-140 UU 11/2006
- ^ a b Amran Halim (ed). (1998) 30 Tahun Indonesia Medeka. Jilid 1. Cetakan 8. Jakarta: Sekretariat Negara RI dan PT Citra Lamtoro Gung Persada
- ^ Data swapraja ini diambil dari UU 27/1959 tentang tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9), sebagai Undang-Undang
- ^ Amran Halim (ed). (1998) 30 Tahun Indonesia Medeka. Jilid 2. Cetakan 8. Jakarta: Sekretariat Negara RI dan PT Citra Lamtoro Gung Persada
- ^ berdasarkan kesepakatan RIS-RI (lihat PP RIS 21/1950)
- ^ UU 25/1956 dan UU 27/1959
- ^ UU 27/1959 dan UU 47/1999
- ^ Gubernur RP Suroso adalah Gubernur Provinsi Administratif Jawa Tengah
- ^ Nasution, Abdul Haris. (1993) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: diplomasi atau bertempur. Jilid 2 Cet 5. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa
- ^ Gubernur Suryo adalah Gubernur Provinsi Administratif Jawa Timur
- ^ Nasution, Abdul Haris. (1996) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: diplomasi sambil bertempur. Jilid 3 Cet 6. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa
- ^ Nasution, Abdul Haris. (1996) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: periode linggajati. Jilid 4 Cet 8. Bandung: Disjarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa
- ^ UU Negara bagian RI-Yogyakarta 10/1950
- ^ Pasal 1 angka 1 UU 13/2013
- ^ Pengakuan atas hak asal usul merupakan “bentuk penghargaan dan penghormatan negara atas pernyataan berintegrasinya Kasultanan dan Kadipaten ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menjadi bagian wilayah setingkat provinsi dengan status istimewa”. Penjelasan pasal 4 huruf a UU 13/2012
- ^ Pasal 1 angka 2 UU 13/2013
- ^ Pasal 1 angka 3 UU 13/2013
- ^ a b UU Negara bagian RI-Yogyakarta 3/1950
- ^ Piagam Penetapan Kedudukan dari Presiden Indonesia untuk Seri Paduka Sultan dari Yogyakarta dan Seri Paduka Paku Alam dari Pakualaman
- ^ UU 22/1948 dan UU 1/1957
- ^ UU 18/1965
- ^ UU 22/1999 dan UU 32/2004
- ^ Pasal 7 ayat (2) UU 13/2012
- ^ Pasal 9-16, 18-29 UU 13/2012
- ^ Pasal 30 UU 13/2012
- ^ Pasal 31 UU 13/2012
- ^ Pasal 32-33 UU 13/2012
- ^ Pasal 34-35 UU 13/2012