Pythagoras
Pythagoras dari Samos[a] (lahir sekitar tahun 570 SM - meninggal sekitar tahun 495 SM) adalah seorang filsuf Yunani Ionia kuno dan perintis aliran pythagoreanisme. Ajaran politik dan keagamaannya dikenal di kawasan Magna Graecia pada masanya dan telah memengaruhi pemikiran Plato dan Aristoteles, sehingga secara tidak langsung ia juga telah berdampak terhadap perkembangan filsafat Barat. Rincian mengenai kehidupannya diselubungi legenda, tetapi tampaknya ia adalah anak Mnesarkos, seorang pengukir permata atau saudagar kaya di Pulau Samos, lepas pantai Anatolia. Para ahli modern masih memperdebatkan siapa guru Pythagoras dan pemikir-pemikir mana saja yang pernah memengaruhinya. Walaupun begitu, mereka sepakat bahwa pada kisaran tahun 530 SM, Pythagoras pindah ke Kroton di pesisir Italia dan mendirikan sebuah perkumpulan dengan keanggotaan khusus. Mereka yang ingin bergabung harus diinisiasi terlebih dahulu, dan komunitasnya menjalani gaya hidup bersama dan bertarak. Komunitas ini juga memiliki aturan mengenai makanan. Konon pengikutnya harus vegetarian, tetapi ahli-ahli modern meragukan apakah Pythagoras benar-benar pernah mengharuskan para pengikutnya untuk tidak makan daging sama sekali.
Pythagoras | |
---|---|
Lahir | Sekitar 570 SM Samos |
Meninggal | Sekitar 495 SM (umur sekitar 75 tahun) Kroton atau Metapontum |
Era | Filsafat Yunani Kuno |
Kawasan | Filsafat Barat |
Aliran | Pythagoreanisme |
Minat utama | |
Gagasan penting | Gagasan yang dikaitkan dengannya: |
Dipengaruhi | |
Memengaruhi
|
Ajaran yang paling jelas dikemukakan oleh Pythagoras adalah metempsikosis, yaitu keyakinan bahwa setiap jiwa itu abadi, dan setelah kematian, jiwa tersebut akan masuk ke tubuh yang baru. Ia mungkin juga merupakan penggagas doktrin musica universalis, yang menyatakan bahwa planet-planet bergerak sesuai dengan persamaan matematika, sehingga menghasilkan simfoni musik yang tak terdengar. Para ahli masih memperdebatkan apakah beberapa ajaran numerologi dan musik yang dikaitkan dengan nama Pythagoras itu benar-benar dikembangkan olehnya atau merupakan ciptaan pengikutnya setelah ia meninggal, khususnya Filolaos dari Kroton. Setelah Kroton berhasil mengalahkan tetangganya Sibaris sekitar tahun 510 SM, para pengikut Pythagoras berkonflik dengan para pendukung demokrasi, alhasil gedung pertemuan kaum pythagoreanis dibakar. Pythagoras mungkin gugur selama peristiwa ini atau lolos ke Metapontum dan menjemput ajalnya di tempat tersebut.
Pada zaman kuno, nama Pythagoras dikaitkan dengan berbagai penemuan matematika dan ilmiah, seperti teorema Pythagoras, lima bangun ruang, teori kesebandingan, teori bumi bulat, dan gagasan bahwa bintang timur dan barat adalah planet yang sama, yaitu Venus. Konon ia juga adalah orang pertama yang menyebut dirinya sebagai filsuf ("pecinta kebijaksanaan") dan membagi dunia menjadi lima zona iklim. Namun, para ahli sejarah klasik masih memperdebatkan apakah Pythagoras benar-benar telah membuat temuan-temuan ini, dan banyak pencapaian yang dikaitkan dengan namanya mungkin sudah ada sebelumnya atau dicetuskan oleh rekan atau penerusnya. Selain itu, masih diperdebatkan apakah ia benar-benar telah bersumbangsih terhadap bidang matematika atau filsafat alam.
Pemikiran Pythagoras memengaruhi Plato, dan dialog-dialog karya Plato (khususnya Timaios) menunjukkan pengaruh dari ajaran pythagoreanisme. Gagasan pythagoreanisme mengenai kesempurnaan matematis juga berdampak terhadap seni Yunani Kuno. Ajaran pythagoreanisme kembali bangkit pada abad pertama SM di kalangan penganut platonisme pertengahan, yang beriringan dengan kemunculan neopythagoreanisme. Pythagoras terus dianggap sebagai seorang filsuf ulung pada Abad Pertengahan, dan filsafatnya sangat berpengaruh terhadap ilmuwan seperti Nicolaus Copernicus, Johannes Kepler, dan Isaac Newton. Simbolisme pythagoreanisme juga digunakan oleh para pengamal esoterisme Barat modern, dan ajarannya seperti yang dirincikan dalam Metamorphoses karya penyair zaman Romawi Ovidius telah memengaruhi gerakan vegetarian modern.
Sumber biografi
Tidak ada tulisan asli Pythagoras yang masih ada hingga zaman modern.[2][3][4] Selain itu, hampir tidak ada keterangan mengenai kehidupannya yang dapat dipastikan kebenarannya.[5][6][7] Sumber-sumber pertama mengenai kehidupan Pythagoras biasanya singkat, rancu, dan acap kali berupa satir.[8][4][9] Sumber pertama yang membahas ajaran Pythagoras adalah sebuah puisi satir yang mungkin ditulis setelah kematiannya oleh Xenofanes dari Kolofon, salah satu orang yang hidup sezaman dengannya.[10][11] Dalam puisi ini, Xenofanes menulis bahwa Pythagoras menjadi perantara seekor anjing yang sedang dipukuli, dan Pythagoras mengaku bahwa ia dapat mengenali suara temannya yang sudah tiada dari teriakan anjing tersebut.[10][9][12] Alkmeon dari Kroton, seorang dokter yang tinggal di Kroton semasa Pythagoras tinggal di kota tersebut,[10] memasukkan banyak ajaran Pythagoras ke dalam tulisan-tulisannya,[13] dan tulisan-tulisannya menyiratkan bahwa ia kenal dengan Pythagoras secara langsung.[13] Penyair Herakleitos dari Efesos, yang lahir di Pulau Samos dan mungkin hidup pada masa Pythagoras,[14] mengolok Pythagoras sebagai seorang penipu ulung.[8][14] Herakleitos bahkan pernah berujar, "Pythagoras, anak Mnesarkos, melakukan pembelajaran melalui penyelidikan melebihi siapapun, dan dari tulisan-tulisan tersebut ia menciptakan kebijaksanaan untuk dirinya sendiri—banyak pelajaran, tipuan yang berseni."[14][8]
Penyair Yunani Ion dari Khios (sekitar tahun 480 hingga 421 SM) dan Empedokles dari Acragas (sekitar tahun 493 hingga 432 SM) sama-sama mengagumi Pythagoras dalam puisi-puisi mereka.[15] Sumber pertama yang membahas Pythagoras secara ringkas adalah sejarawan Herodotos dari Halikarnasos (sekitar tahun 484 hingga 420 SM),[16] yang menyebutnya "bukan yang paling remeh" dari orang-orang bijak Yunani, dan berkata bahwa Pythagoras mengajarkan pengikutnya cara agar bisa hidup selamanya.[16] Tulisan-tulisan yang kemungkinan ditulis oleh filsuf beraliran pythagoreanisme, Filolaos dari Kroton (yang hidup pada akhir abad kelima SM), merupakan naskah pertama yang mendeskripsikan teori numerologi dan musik yang belakangan disebut sebagai hasil pemikiran Pythagoras.[17] Ahli retorika asal Athena yang bernama Isokrates (436–338 SM) adalah orang pertama yang menyebut bahwa Pythagoras pernah mengunjungi Mesir.[16] Aristoteles juga pernah menulis sebuah risalah yang berjudul Tentang Para Pythagorean, tetapi risalah ini sudah hilang ditelan zaman. Sebagian dari isinya mungkin masih terkandung dalam karyanya yang lain, Protreptikos. Murid-murid Aristoteles, yaitu Dikaiarkos, Aristoksenos, dan Herakleides Pontikos, juga membahas subjek yang sama.[18]
Sebagian besar dari sumber-sumber penting mengenai kehidupan Pythagoras berasal dari zaman Romawi.[19] Menurut ahli sejarah klasik asal Jerman Walter Burkert, pada masa tersebut "sejarah Pythagoreanisme sudah menjadi... rekonstruksi melelahkan dari sesuatu yang sudah hilang dan tiada."[18] Terdapat tiga biografi mengenai Pythagoras dari zaman kuno akhir yang masih bertahan,[19][7] dan semua karya ini penuh dengan mitos dan legenda.[19][20][7] Dari ketiga karya ini, yang paling pertama dan juga paling dihormati adalah Kehidupan dan Pendapat Filsuf-filsuf Tersohor karya Diogenes Laërtius.[19][20] Biografi yang berikutnya disusun oleh filsuf beraliran neoplatonisme, Porfirios, dan yang ketiga juga dibuat oleh seorang neoplatonis bernama Iamblikos.[19][20] Salah satu tujuan penulisan kedua biografi ini adalah untuk dijadikan polemik dalam upaya membendung kebangkitan agama Kristen.[20] Kedua sumber menggambarkan pencapaian Pythagoras dengan lebih panjang lebar dan fantastis daripada Diogenes.[19][20] Porfirios dan Iamblikos menggunakan bahan dari tulisan-tulisan murid-murid Aristoteles yang sudah hilang,[18] dan bahan-bahan yang diambil dari sumber-sumber tersebut umumnya dianggap sebagai bahan yang paling dapat diandalkan.[18]
Riwayat
Kehidupan awal
Tidak ada satu pun rincian tentang kehidupan Pitagoras yang sama sekali tidak pernah dipertentangkan. Tetapi ada kemungkinan, dengan pemilihan data yang kurang lebih kritis, untuk menyusun kisah yang masuk akal.
— Walter Burkert, 1972[21]
Herodotos, Isokrates, dan penulis-penulis awal lainnya sepakat bahwa Pythagoras adalah anak Mnesarkos,[22][16] dan menurut mereka Pythagoras dilahirkan di Pulau Samos di Kepulauan Aegea timur.[22][2][23][24] Ayahnya konon adalah seorang pengukir permata atau saudagar kaya,[25] tetapi nenek moyang Pythagoras tidak diketahui dan masih dipertentangkan oleh para ahli.[26] Nama Pythagoras membuatnya dikait-kaitkan dengan pythia (imam agung wanita) dewa Apollo; Aristippos dari Kirene menjelaskan namanya dengan berkata, "Ia menuturkan (ἀγορεύω, agoreúō) kebenaran seperti Pythia [sic] (Πῡθῐ́ᾱ, Pūthíā)".[27] Sementara itu, sumber yang disusun belakangan menyatakan bahwa nama ibu Pythagoras adalah Pythaïs. Iamblikos menceritakan kisah pythia yang meramalkan kepada ibu Pythagoras yang sedang mengandung bahwa ia akan melahirkan anak lelaki yang sangat molek, bijaksana, dan berguna bagi umat manusia.[27] Sehubungan dengan tanggal lahirnya, Aristoksenos menyatakan bahwa Pythagoras yang berumur 40 tahun meninggalkan Samos pada masa kekuasaan Polikrates, sehingga kemungkinan ia lahir pada tahun 570 SM.[28]
Pada masa ketika Pythagoras tumbuh besar, Samos merupakan pusat kebudayaan yang dikenal akan teknik arsitekturnya yang maju (seperti yang dapat dilihat dari pembangunan Terowongan Eupalinos) dan akan budaya berpestanya yang liar.[29] Pulau ini merupakan pusat perdagangan di Kepulauan Aegea, dan para pedagang membawa barang-barang dari kawasan Timur Dekat ke pulau tersebut.[2] Menurut Christiane L. Joost-Gaugier, para pedagang ini hampir pasti juga ikut membawa gagasan-gagasan dan tradisi-tradisi dari Timur Dekat.[2] Masa-masa awal Pythagoras juga beriringan dengan perkembangan filsafat alam di daerah Ionia.[30][22] Ia hidup sezaman dengan filsuf Anaksimander, Anaksimenes, dan sejarawan Hekataios; ketiga orang ini tinggal di kota Miletos yang terletak di daratan Anatolia tidak jauh dari Samos.[30]
Tempat yang konon pernah disinggahi
Menurut tradisi lisan, Pythagoras mengenyam pendidikannya di kawasan Timur Dekat.[31] Sejarawan pada zaman modern sendiri telah menunjukkan bahwa budaya Yunani Arkais sangat dipengaruhi oleh budaya-budaya di Timur Dekat.[31] Seperti pemikir-pemikir penting lainnya di Yunani Kuno, Pythagoros konon pernah berguru di Mesir.[32][16][33] Pada masa Isokrates pada abad keempat SM, keterangan ini sudah diterima sebagai sebuah fakta.[27][16] Seorang penulis yang bernama Antifon, yang mungkin hidup pada Zaman Helenistik, mengklaim dalam karyanya yang kini sudah hilang ditelan zaman, Tentang Orang-orang dengan Kemampuan Luar Biasa (digunakan sebagai sumber oleh Porfirios), bahwa Pythagoras belajar bahasa Mesir dari Firaun Amasis II. Sumber ini juga mengklaim bahwa ia pernah berguru dengan imam-imam Mesir di Diospolis (Thebes), dan ia adalah satu-satunya orang asing yang diperbolehkan ikut serta dalam ibadah mereka.[31] Sementara itu, menurut teolog Kristen Klemens dari Aleksandria (sekitar tahun 150 hingga 215 M), "Pythagoras adalah murid Soches, seorang nabi agung Mesir, sementara Plato [adalah murid] Sechnuphis dari Heliopolis."[34]
Beberapa penulis kuno mengklaim bahwa Pythagoras belajar ilmu geometri dan doktrin metempsikosis dari Mesir.[32] Namun, penulis-penulis kuno lainnya mengklaim bahwa Pythagoras mempelajari ilmu-ilmu ini dari para majus di Persia atau bahkan dari Zarathustra sendiri.[35] Diogenes Laërtius menegaskan bahwa Pythagoras belakangan mengunjungi Pulau Kreta dan di sana ia mendatangi Gua Ida bersama Epimenides. Pythagoras juga konon belajar aritmetika dari orang-orang Fenisia serta astronomi dari orang-orang Kaldea[35] Pada abad ketiga SM, Pythagoras dilaporkan juga menimba ilmu dari orang Yahudi.[35] Di sisi lain, seorang penulis yang bernama Antonios Diogenes pada abad kedua SM melaporkan bahwa Pythagoras menemukan ilmu-ilmu ini sendirian dengan menggunakan metode penafsiran mimpi.[35] Tokoh sofisme dari abad ketiga Masehi yang bernama Filostratos bahkan mengklaim bahwa Pythagoras tidak hanya pernah berguru di Mesir, tetapi juga di India.[35] Iamblikos semakin menambah jumlah tempat yang mungkin pernah disinggahi Pythagoras dengan mengklaim bahwa ia pernah belajar dari bangsa Kelt dan Iberia.[35]
Orang yang konon pernah menjadi gurunya
Sumber-sumber kuno juga telah mencatat nama berbagai pemikir Yunani sebagai guru Pythagoras.[35] Beberapa sumber menyebutkan nama Hermodamas dari Samos.[35] Hermodamas mungkin mengikuti tradisi rhapsode asli Samos, dan ayahnya, Kreofilos, konon adalah saingan penyair Homeros.[35] Sumber lain menyebut nama Bias dari Priene, Thales, atau Anaksimander (murid Thales).[35] Ada pula tradisi lisan yang mengklaim bahwa guru Pythagoras adalah Orfeus, tokoh penyanyi dan penyair dalam mitologi Yunani.[35] Porfirios dan Iamblikos menyebutkan "diskursus suci" yang ditulis oleh Pythagoras mengenai para dewa dengan menggunakan dialek Yunani Doria, dan mereka meyakini bahwa isinya dibacakan kepada Pythagoras oleh seorang imam Orfisme yang bernama Aglaofamus ketika Pythagoras sedang diinisiasi ke dalam kepercayaan orfisme di Leibethra.[35] Iamblikos menyatakan bahwa Orfeus adalah sosok yang menjadi teladan bagi Pythagoras dalam cara berbicara dan beribadah.[37] Iamblikos bahkan menganggap pythagoreanisme sebagai penggabungan semua hal yang dipelajari oleh Pythagoras dari Orfeus, para imam Mesir, misteri-misteri Eleusinia, dan tradisi-tradisi keagamaan dan filosofis lainnya.[37] Riedweg sendiri berpendapat bahwa walaupun pernyataan ini hanya khayalan, ajaran-ajaran Pythagoras memang dipengaruhi oleh orfisme.[38]
Nama berbagai orang bijak di Yunani telah disebutkan sebagai guru Pythagoras, tetapi Ferekides dari Siros adalah nama yang paling sering disebut.[38] Kisah-kisah mukjizat yang melibatkan Pythagoras maupun Ferekides sering memiliki kesamaan cerita, contohnya kisah yang tokoh utamanya memprediksi kapal karam, cerita ketika sang tokoh memprediksi penaklukan kota Messina, atau kisah lainnya ketika ia minum dari sumur dan memprediksi gempa bumi.[38] Apolonios Paradoksografos yang mungkin hidup pada abad kedua SM menyatakan bahwa gagasan taumaturgi yang dicetuskan oleh Pythagoras itu dipengaruhi oleh Ferekides.[38] Menurut kisah lain (yang dapat ditilik kembali ke filsuf neopitagoreanis yang bernama Nikomakos), ketika Ferekides sudah tua dan sekarat di Pulau Delos, Pythagoras pergi ke pulau tersebut, merawatnya, dan memberinya penghormatan terakhir.[38] Duris, sejarawan dan penguasa Samos, dilaporkan pernah merasa sangat bangga dengan daerahnya karena tulisan di batu nisan Ferekides menyatakan bahwa kebijaksanaan Pythagoras melampaui Ferekides.[38] Dengan adanya banyak sumber yang menyebutkan Ferekides sebagai guru Pythagoras, Riedweg menyimpulkan bahwa mungkin Ferekides memang pernah menjadi guru Pythagoras dalam sejarah.[38] Pythagoras dan Ferekides tampaknya juga memiliki pandangan yang serupa mengenai jiwa dan metempsikosis.[38]
Diogenes Laërtius mengutip pernyataan dari Aristoksenos (abad keempat SM) yang menyatakan bahwa Pythagoras mempelajari sebagian besar dari doktrin moralnya dari seorang imam wanita Delphi yang bernama Themistokleia.[39][40] Porfirios sepakat dengan pernyataan ini, tetapi menurutnya nama imam wanita tersebut adalah Aristokleia.[41]
Kembali ke Samos dan lalu pindah ke Kroton
Porfirios mengulang catatan sejarah dari Antifon, yang melaporkan bahwa ketika Pythagoras masih berada di Samos, ia mendirikan sebuah sekolah yang disebut "setengah lingkaran".[42][43] Di tempat tersebut, orang-orang Samos membahas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum.[42][43] Konon sekolah ini sangat terkenal sampai-sampai orang-orang terpintar dari seluruh Yunani datang ke Samos untuk mendengarkan ajaran Pythagoras.[42] Pythagoras sendiri tinggal di sebuah gua rahasia, dan di situ ia belajar sendiri dan kadang-kadang mengadakan diskursus dengan segelintir teman dekatnya.[42][43] Christoph Riedweg, seorang pakar Jerman yang mempelajari pythagoreanisme, menyatakan bahwa mungkin benar Pythagoras pernah mengajar di Samos,[42] tetapi ia memperingatkan bahwa tulisan Antifon tampaknya dibayang-bayangi oleh kepentingan patriotisme Samos.[42]
Sekitar tahun 530 SM, ketika Pythagoras berumur kurang lebih empat puluh tahun, ia meninggalkan Pulau Samos.[22][44][2][45][46] Sumber-sumber sejarah yang mengagumi Pythagoras mengklaim bahwa ia meninggalkan pulau tersebut karena ia tidak menyukai kekuasaan mutlak Polikrates di Samos yang bertindak sebagai tiran.[44] Riedweg mengamati bahwa penjelasan ini sangat sejalan dengan penekanan dari Nikomakos bahwa Pythagoras mencintai kebebasan sementara musuh-musuhnya menggambarkan Pythagoras sebagai sosok yang memiliki kecenderungan untuk berkuasa dengan sewenang-wenang.[44] Ia tiba di koloni Yunani di Kroton (kini Crotone di Calabria, Italia), yang saat itu merupakan bagian dari Magna Graecia, daerah pesisir Italia yang ditempati bangsa Yunani.[22][47][46] Semua sumber sejarah sepakat bahwa Pythagoras adalah pribadi yang karismatik dan ia menjadi sosok yang berpengaruh secara politik di tempat tinggal barunya.[22][48] Ia mengemban tugas sebagai penasihat para petinggi di Kroton.[49] Biografi-biografi yang ditulis sesudah masanya menceritakan kisah-kisah fantasi mengenai pidato Pythagoras yang begitu meyakinkan sampai-sampai rakyat Kroton bersedia meninggalkan gaya hidup mereka yang mewah dan korup dan beralih ke sistem yang lebih "murni" yang diperkenalkan oleh Pythagoras.[50]
Keluarga dan teman
Diogenes Laërtius menyatakan bahwa Pythagoras "tidak memuaskan diri dengan kenikmatan cinta",[54] dan ia memperingatkan kepada orang lain untuk hanya berhubungan seks "ketika kamu ingin lebih lemah dari dirimu sendiri".[55] Menurut Porfirios, Pythagoras menikahi Teano, seorang wanita dari Kreta dan putri Pitenaks,[55] dan mereka dikaruniai beberapa anak.[55] Porfirios menulis bahwa Pythagoras memiliki dua anak lelaki yang bernama Telauges dan Arignote,[55] dan seorang anak perempuan yang bernama Myia,[55] yang "diutamakan di antara para gadis di Kroton, dan, ketika menjadi istri, di antara para wanita yang sudah menikah."[55] Iamblikos sama sekali tidak menuliskan nama-nama ini,[55] tetapi ia hanya menyebutkan seorang anak lelaki yang bernama Mnesarkos (nama yang sama dengan ayah Pythagoras).[55] Ia dibesarkan oleh Aristaios, seorang yang didaulat sebagai penerus Pythagoras, dan pada akhirnya Mensarkos menjadi pemimpin sekolah Pythagoras ketika Aristaios sudah terlalu uzur.[55]
Pegulat Milo dari Kroton konon merupakan rekan Pythagoras,[56] dan ia dianggap berjasa menyelamatkan nyawa sang filsuf ketika atap di atasnya hampir runtuh.[56] Pengaitan ini mungkin tidak tepat karena ada orang lain yang bernama Pythagoras yang merupakan seorang pelatih atletik.[42] Diogenes Laërtius mencatat bahwa istri Milo bernama Myia.[55] Iamblikos menyebut Teano sebagai istri Brotinos dari Kroton.[55] Diogenes Laërtius mengatakan bahwa Teano istri Brotinos merupakan murid Pythagoras,[55] dan istri Pythagoras, Teano, adalah putrinya.[55] Diogenes Laërtius juga mencatat bahwa karya-karya yang mungkin ditulis oleh Teano masih ada pada kehidupan Diogenes,[55] dan ia juga mengutip beberapa pendapat yang konon dikemukakan oleh Teano.[55] Tulisan-tulisan ini kini dianggap sebagai sebuah pseudopigrafa, atau tulisan yang diklaim sebagai karya penulis tertentu padahal klaim tersebut salah.[55]
Kematian
Ajaran Pythagoras yang menekankan pengabdian dan pertarakan dianggap membantu Kroton mengalahkan dan menghancurkan tetangganya, Sibaris, pada tahun 510 SM.[57] Setelah itu, beberapa warga penting di Kroton mengusulkan penetapan sebuah konstitusi demokratik, tetapi kelompok pythagoreanis menolaknya.[57] Para pendukung demokrasi yang dipimpin oleh Kilon dan Ninon (Kilon konon marah karena ia dikeluarkan dari perkumpulan Pythagoras) menggerakkan rakyat untuk menentang mereka.[58] Amarah rakyat tampaknya tersulut akibat hasutan bahwa kaum pythagoreanis akan mendirikan sebuah tirani.[59] Para pendukung Kilon dan Ninon menyerang anggota-anggota pythagoreanis yang sedang menggelar pertemuan, bisa jadi di rumah Milo atau di tempat pertemuan lainnya.[60][61] Catatan sejarah mengenai peristiwa ini sering kali bertentangan dan mungkin tercampur dengan pemberontakan-pemberontakan antipythagoreanis yang meletus pada kemudian hari.[58] Gedung pertemuannya konon dibakar,[60] dan banyak anggota kelompok pythagoreanis yang tewas.[60]
Beberapa sumber memiliki rincian yang saling bertentangan mengenai kehadiran Pythagoras dalam pertemuan yang berakhir naas tersebut, dan kalau memang ia hadir, sumber-sumber ini juga tidak senada dalam menjelaskan apakah ia berhasil lolos atau tidak.[21][61] Dalam beberapa sumber kuno, Pythagoras tidak hadir dalam pertemuan ini karena ia sedang berada di Delos untuk merawat Ferekides yang sedang sekarat.[61] Menurut catatan sejarah lain yang ditulis oleh Dikaiarkos, Pythagoras ada dalam pertemuan tersebut dan berhasil lolos,[62] dan ia bersama dengan beberapa pengikutnya melarikan diri ke kota Lokris dan memohon suaka, tetapi permintaan mereka ditolak.[62] Mereka lalu mencapai kota Metapontum dan bernaung di kuil Musai hingga akhirnya mereka menjemput ajalnya di tempat tersebut setelah kelaparan selama empat puluh hari.[62][21][60][63] Kisah lain yang dicatat oleh Porfirios mengklaim bahwa saat musuh-musuh Pythagoras sedang membakar rumah tempat pertemuan kelompoknya, para muridnya yang setia berbaring di atas tanah untuk membentuk "jembatan" yang dapat dilalui oleh Pythagoras untuk melarikan diri dari lalapan api.[62] Pythagoras berhasil lolos, tetapi kematian murid-muridnya yang tercinta sangat meremukkan hatinya hingga ia akhirnya bunuh diri.[62] Ada legenda lain yang diceritakan oleh Diogenes Laërtius dan Iamblikos, yang menyatakan bahwa Pythagoras nyaris lolos, tetapi ia sampai di ladang kacang dan menolak lari melewati ladang tersebut karena hal ini bertentangan dengan ajarannya, alhasil ia berhenti dan akhirnya dibunuh.[64][62] Kisah ini tampaknya ditulis oleh Neanthes, tetapi agaknya yang ia ceritakan adalah para anggota pythagoreanis dari masa berikutnya dan bukan Pythagoras sendiri.[62]
Ajaran
Metempsikosis
Walaupun isi ajaran Pythagoras tidak diketahui secara pasti,[66][67] gagasan-gagasan utamanya secara garis besar masih dapat direkonstruksi.[66][68] Aristoteles banyak menulis soal ajaran Pythagorean,[69][12] tetapi tidak menyebut Pythagoras secara langsung.[69][12] Salah satu doktrin utama Pythagoras adalah metempsikosis,[70][71][45][72][73][74] yaitu keyakinan bahwa semua jiwa itu abadi, dan setelah kematian jiwa pindah ke tubuh yang baru.[70][73] Ajaran ini disebutkan oleh Xenofanes, Ion dari Kios, dan Herodotos.[70] Namun, mekanisme atau cara jiwa berpindah ke tubuh lain tidak diketahui secara pasti.[75]
Empedokles menyinggung dalam salah satu puisinya bahwa Pythagoras mungkin pernah mengklaim punya kemampuan untuk mengingat kehidupan-kehidupannya yang sebelumnya.[76] Diogenes Laërtius melaporkan kisah dari Heraklides Pontikos yang menyatakan bahwa Pythagoras memberitahukan kepada orang-orang mengenai empat kehidupan yang pernah ia jalani dan yang ia ingat secara rinci.[77] Yang pertama adalah kehidupan Aitalides, anak Hermes, dan konon Pythagoras mendapatkan kemampuan tersebut dari Hermes.[78] Kemudian ia terlahir sebagai Euforbos, salah satu tokoh dalam kisah Perang Troya yang diceritakan dalam Iliad.[79] Ia lalu menjadi filsuf Hermotimos,[80] yang mengenali perisai Euforbos di kuil Apollo.[80] Setelah itu ia terlahir sebagai Piros, seorang nelayan dari Delos.[80] Dikaiarkos juga melaporkan bahwa Pythagoras pernah terlahir sebagai seorang pelacur cantik.[71]
Mistisisme dan numerologi
Keyakinan lain yang telah dikaitkan dengan konsep "keselarasan benda langit",[85][86] yang menyatakan bahwa planet-planet dan bintang-bintang bergerak sesuai dengan persamaan matematika yang sejalan dengan notasi musik, sehingga menghasilkan simfoni yang tak terdengar.[85][86] Menurut Porfirios, Pythagoras juga mengajarkan bahwa ketujuh Musai sebenarnya adalah tujuh planet yang bernyanyi bersama.[87]
Menurut Aristoteles, kaum pythagoreanis menggunakan matematika untuk tujuan mistis dan bukan untuk keperluan sehari-hari.[88] Mereka meyakini bahwa segala sesuatu terdiri dari angka.[89][90] Angka satu (monad) melambangkan asal mula segala hal,[91] sedangkan nomor dua (dyad) mewakili materi.[91] Angka tiga adalah "bilangan ideal" karena memiliki awal, tengah, dan akhir,[92] dan juga merupakan angka terkecil yang jika dijadikan titik dapat membentuk sebuah segitiga, yang dihormati oleh penganut pythagoreanisme sebagai simbol dewa Apollo.[92] Angka empat adalah lambang empat musim dan empat unsur.[93] Angka tujuh juga dianggap suci karena merupakan jumlah planet (yang telah ditemukan pada saat itu) dan jumlah dawai di alat musik lira,[93] dan juga karena ulang tahun Apollo dirayakan pada hari ketujuh setiap bulannya.[93] Mereka meyakini bahwa bilangan ganjil bersifat maskulin,[94] dan bilangan genap bersifat feminin,[94] dan angka lima adalah lambang pernikahan karena merupakan hasil penjumlahan dua dan tiga.[95][96]
Sepuluh dianggap sebagai "bilangan sempurna"[88] dan kaum pythagoreanis menghormatinya dengan cara tidak berkumpul dengan jumlah hadirin yang melebihi sepuluh.[97] Pythagoras dianggap sebagai perancang tetraktis, yaitu segitiga yang terbuat dari sepuluh titik (1 titik di atas, 2 di bawahnya, 3 lagi di bawahnya, dan di paling dasar ada 4).[81][82] Kaum pythagoreanis menganggap tetraktis sebagai simbol mistik yang terpenting.[81][83][82] Iamblikos dalam Kehidupan Pythagoras menyatakan bahwa tetraktis "sangat mengagumkan, dan sangat didewakan oleh mereka yang memahami[nya]," sampai-sampai murid-murid Pythagoras bersumpah dengan menyebut tetraktis.[83][82]
Para ahli modern memperdebatkan apakah ajaran-ajaran mengenai numerologi ini dikembangkan oleh Pythagoras sendiri atau oleh filsuf-filsuf pythagoreanisme dari masa berikutnya seperti Filolaos dari Kroton.[98] Dalam kajiannya yang terkenal Lore and Science in Ancient Pythagoreanism, Walter Burkert berpendapat bahwa Pythagoras adalah seorang guru politik dan agama yang karismatik,[99] tetapi beberapa pemikiran filsafat yang dikaitkan dengan namanya mungkin merupakan terobosan karya Filolaos.[100] Menurut Burkert, Pythagoras sama sekali tidak pernah bersinggungan dengan angka-angka, apalagi memberikan sumbangsih besar dalam bidang matematika.[99]
Pythagoreanisme
Gaya hidup berkelompok
Plato dan Isokrates mengatakan bahwa Pythagoras paling dikenal sebagai perintis gaya hidup yang baru.[101][102] Kelompok yang didirikan oleh Pythagoras di Kroton disebut "sekolah", tetapi sebenarnya lebih menyerupai biara.[103] Anggota kelompok ini berbagi harta benda mereka[104] dan berbakti satu sama lain tanpa memedulikan orang luar.[105] Sumber-sumber kuno mencatat bahwa kaum pythagoreanis makan bersama seperti orang-orang Sparta.[106] Salah satu pepatah pythagoreanisme adalah "koinà tà phílōn" ("Semua benda bersama-sama di antara teman-teman").[104] Iamblikos dan Porfirios menuliskan kisah yang rinci mengenai organisasi sekolah ini, walaupun kedua penulis ini tidak tertarik dengan sejarah, tetapi lebih ingin menyajikan Pythagoras sebagai sosok dewata yang dikirim oleh para dewa untuk kemaslahatan umat manusia.[107] Iamblikos khususnya ingin menyajikan "gaya hidup Pythagorean" sebagai alternatif dari komunitas-komunitas biarawan Kristen pada masanya.[103]
Terdapat dua kelompok dalam aliran pythagoreanisme awal: mathematikoi ("pelajar") dan akousmatikoi ("pendengar").[108][109] Akousmatikoi disebut oleh para ahli sebagai "penganut lama" mistisisme, numerologi, dan ajaran-ajaran keagamaan,[109] sedangkan mathematikoi merupakan kelompok yang lebih intelektual dengan pendekatan yang juga lebih rasional dan ilmiah.[109] Andrew Gregory memperingatkan bahwa bisa jadi perbedaan antara kedua kelompok ini tidaklah besar, dan banyak anggota pythagoreanis yang mungkin berkeyakinan bahwa kedua pendekatan ini sejalan.[109] Kaum pythagoreanis percaya bahwa musik memurnikan jiwa seperti halnya pengobatan memurnikan tubuh.[87] Salah satu anekdot mengenai Pythagoras menyatakan bahwa ketika ia berhadapan dengan beberapa pemuda mabuk yang mencoba masuk ke rumah seorang perempuan baik-baik, ia menyanyikan lantunan dengan khidmat dan "keinginan yang membara" pada benak pemuda-pemuda tersebut pun sirna.[87] Kaum pythagoreanis juga mementingkan olahraga;[103] tarian, jalan kaki pada pagi hari dengan pemandangan yang indah, dan atletik menjadi unsur utama dalam gaya hidup Pythagorean.[103] Renungan pada awal dan akhir hari juga disarankan.[110]
Aturan dan larangan
Ajaran Pythagoras dikenal dengan sebutan "simbol-simbol" (symbola),[51] dan para anggota bersumpah bahwa mereka tidak akan membongkar simbol-simbol ini kepada mereka yang bukan anggota.[51][101] Mereka yang tidak mematuhi aturan kelompok akan dikeluarkan,[111] dan anggota lain akan mendirikan batu nisan untuk mereka seolah mereka sudah mati.[111] Beberapa "pepatah lisan" (akoúsmata) yang dikaitkan dengan Pythagoras telah tercatat dalam sumber-sumber sejarah[112][12] dan berisi tata cara pengorbanan, penghormatan kepada para dewa, tata cara untuk "pindah dari sini" ke dunia sana,[b] dan tata cara penguburan.[113] Banyak dari pepatah-pepatah ini yang menegaskan pentingnya kesucian dan penghindaran diri dari kenajisan.[114][74] Sebagai contoh, sebuah pepatah (yang menurut Leonid Zhmud merupakan pepatah yang benar-benar dikatakan oleh Pythagoras sendiri) melarang kaum pythagoreanis mengenakan pakaian dari bulu domba.[115] Pepatah lisan lain melarang mereka memanggang roti, menyodok api dengan pedang, atau memungut remah-remah,[106] dan pepatah pythagoreanis juga menyatakan bahwa seseorang yang ingin memakai sandal sebaiknya memasang yang kanan terlebih dahulu.[106]
Pepatah | Maksud pepatah menurut Aristoteles/Iamblikos | Tafsir filosofis Porfirios |
---|---|---|
"Jangan ambil jalan yang dilewati oleh umum."[116][12] | "Takut dicemari oleh kenajisan"[116] | "dengan ini ia melarang orang mengikuti pendapat umum, tetapi yang patut diikuti adalah pendapat sedikit orang yang terdidik."[116] |
"dan jangan pasang gambar dewa-dewa di cincin"[116] | "Takut tercemar dengan mengenakannya."[116] | "Sebaiknya jangan selalu siap ataupun terlihat dengan ajaran dan pengetahuan para dewa, dan jangan sampaikan itu kepada umum."[116] |
"dan tuangkan libasi untuk para dewa dari gagang cangkir untuk minum ['telinga'nya]"[116] | "Upaya untuk memisahkan yang dewata dengan manusia"[116] | "dengan ini ia secara misterius menyiratkan bahwa para dewa sebaiknya dihormati dan dipuji dengan musik; karena akan masuk lewat telinga."[116] |
Orang-orang yang baru bergabung konon tidak diizinkan bertemu Pythagoras hingga mereka menyelesaikan periode inisiasi selama lima tahun,[43] dan pada masa tersebut mereka harus tetap diam.[43] Menurut sumber-sumber sejarah, Pythagoras bisa dibilang progresif dalam memperlakukan wanita,[53] dan wanita-wanita di sekolah Pythagoras tampaknya berperan penting dalam pengelolaannya.[51][53] Iamblikos menuliskan daftar 235 pythagoreanis yang terkenal,[52] dan 17 dari mereka adalah wanita.[52] Pada masa berikutnya, ada banyak juga filsuf wanita yang turut bersumbangsih dalam perkembangan neopythagoreanisme.[117]
Pythagoreanisme juga mengatur soal makanan.[74][106] Diduga Pythagoras melarang pengikutnya makan kacang[118][106] dan daging hewan yang bukan hewan kurban seperti ikan dan unggas.[115][106] Namun, kedua pernyataan ini telah dipertentangkan.[119] Aturan makan dalam pythagoreanisme mungkin didorong oleh keyakinan akan doktrin metempsikosis.[101][120][121] Beberapa penulis kuno menyatakan bahwa Pythagoras memberlakukan pola makan vegetarian yang ketat.[101][120] Eudoksos dari Knidios (murid Arkitas) menulis bahwa Pythagoras tidak hanya menolak makanan dari hewan, tetapi juga menjaga jaraknya dari para juru masak dan pemburu.[122] Namun, ada sumber lain yang membantah hal ini. Menurut Aristoksenos, Pythagoras mengizinkan segala jenis makanan dari hewan kecuali daging lembu yang dipakai untuk membajak dan domba.[122] Menurut Heraklides Pontikos, Pythagoras memakan daging kurban[122] dan juga menetapkan jenis makanan untuk atlet yang memerlukan daging.[122]
Legenda
Pada masa hidupnya, sosok Pythagoras sudah menjadi subjek legenda-legenda yang mengagung-agungkan atau bersifat hagiografik.[19][123] Aristoteles menggambarkan Pythagoras sebagai seorang pembuat mukjizat dan semacam sosok supernatural.[124][125] Dalam sebuah penggalan tulisan, Aristoteles menyatakan bahwa Pythagoras memiliki paha emas,[124][126][127] yang ia tunjukkan ke muka umum saat Olimpiade[124][128] dan juga diperlihatkan kepada Abaris Hiperboreios sebagai bukti identitasnya sebagai "Apollo Hiperboreios".[124] Konon Abaris memberikan sebuah panah emas kepada Pythagoras, yang lalu ia gunakan untuk terbang jarak jauh dan bersuci.[129] Pythagoras konon pernah terlihat di Metapontum dan Kroton pada saat yang sama.[19][128][126][127] Ketika Pythagoras menyeberangi Sungai Kosas (kini Sungai Basento), "beberapa saksi mata" melaporkan bahwa mereka mendengar sungai itu menyapanya dengan menyebut namanya.[130][128][126] Pada zaman Romawi, muncul juga legenda yang mengklaim bahwa Pythagoras adalah anak Apollo.[131][127]
Pythagoras konon selalu berpakaian putih.[124][132] Ia juga konon mengenakan bumban emas di atas kepalanya[124] dan memakai celana seperti orang-orang Trakia.[124] Diogenes Laërtius menulis bahwa Pythagoras sangat mahir dalam mengendalikan dirinya sendiri;[133] ia selalu ceria,[133] tetapi tidak pernah tertawa dan juga menjauhi kelakar dan cerita-cerita lucu.[55] Pythagoras konon juga ahli dalam berurusan dengan hewan.[19][134][128] Penggalan tulisan Aristoteles mencatat bahwa ketika seekor ular yang mematikan menggigit Pythagoras, ia menggigit balik dan membunuhnya.[129][128][126] Porfirios dan Iamblikos sama-sama melaporkan bahwa Pythagoras pernah meyakinkan seekor banteng untuk tidak makan kacang,[19][134] dan ia juga pernah meyakinkan seekor beruang jahat untuk bersumpah ia tidak akan melukai makhluk hidup lagi.[19][134]
Riedweg menduga bahwa Pythagoras sendiri mungkin mendorong penyebaran legenda-legenda ini,[123] tetapi menurut Gregory pernyataan ini sama sekali tidak terbukti.[109] Di sisi lain, legenda-legenda anti-Pythagoras juga menyebar.[135] Diogenes Laërtes menceritakan kisah dari Hermippos dari Samos yang menyatakan bahwa Pythagoras pernah masuk ke ruangan bawah tanah dan memberi tahu kepada semua orang bahwa ia akan masuk ke dunia bawah.[136] Ia berada di ruangan ini selama berbulan-bulan, sementara ibunya secara diam-diam mencatat segala hal yang terjadi saat Pythagoras sedang tiada.[136] Sekembalinya Pythagoras dari ruangan ini, ia menceritakan kembali semua hal yang telah terjadi di dunia atas saat ia sedang tiada,[136] dan ia berhasil meyakinkan semua orang bahwa ia benar-benar berada di dunia bawah[136] sampai orang-orang memercayakan istri-istri mereka kepada Pythagoras.[136]
Penemuan yang dikaitkan dengan Pythagoras
Matematika
Walaupun Pythagoras saat ini paling dikenal akan "temuan matematika"nya,[84][137] pakar sejarah klasik mempertentangkan klaim bahwa ia telah memberikan sumbangsih besar bagi bidang matematika.[138][99] Paling tidak dari abad pertama SM, nama Pythagoras sudah digadang-gadang sebagai penemu "teorema Pythagoras",[139][140] yaitu sebuah teorema dalam bidang geometri yang menyatakan bahwa jumlah luas bujur sangkar pada kaki sebuah segitiga siku-siku sama dengan luas bujur sangkar di hipotenusa;[141] dalam kata lain, . Menurut legenda umum, setelah ia menemukan teorema ini, Pythagoras mengorbankan seekor lembu atau bahkan seluruh hekatomb (100 ekor sapi) kepada para dewa.[141][142] Cendekiawan Romawi Cicero menampik kebenaran kisah ini[141] karena pada masa tersebut diyakini bahwa Pythagoras melarang pengorbanan darah.[141] Porfirios mencoba menjelaskan kisah ini dengan menegaskan bahwa lembu ini sebenarnya terbuat dari adonan.[141]
Isi dari teorema Pythagoras sendiri sebenarnya sudah dikenal dan diterapkan oleh orang-orang Babilonia dan India berabad-abad sebelum Pythagoras,[143][141][144][145] tetapi ada kemungkinan bahwa Pythagoras adalah orang pertama yang memperkenalkan konsep ini kepada orang-orang Yunani.[146][144] Beberapa sejarawan matematika bahkan menduga bahwa Pythagoras dan murid-muridnya adalah orang-orang pertama yang membuktikan teorema ini.[147] Burkert menentang klaim ini dan menganggapnya tidak mungkin benar,[146] dan ia menegaskan bahwa sumber-sumber kuno tidak pernah menyebut Pythagoras sebagai orang yang membuktikan teorema apapun.[146] Sementara itu, beberapa sumber kuno menyatakan bahwa ia adalah orang pertama yang mengidentifikasi lima bangun ruang[84] dan menemukan teori kesebandingan.[84]
Musik
Menurut legenda, Pythagoras menemukan bahwa notasi musik dapat diubah menjadi persamaan matematika setelah ia melewati tempat kerja seorang pandai besi dan mendengar suara tempaan palu mereka.[149][150] Ia merasa suara palu ini indah dan harmonis (kecuali untuk satu kombinasi),[151] dan ia lalu bergegas ke tempat pandai besi tersebut dan mencoba palunya.[151] Ia akhirnya sadar bahwa melodi dari tempaan palu tersebut sebanding dengan ukuran palunya, sehingga ia menyimpulkan bahwa musik itu bersifat matematis.[151][150] Namun, legenda ini jelas-jelas salah,[152][83][150] karena perbandingan yang tepat adalah panjang dawai dan bukan palu.[152][150]
Astronomis
Pada zaman kuno, Pythagoras dan orang yang sezaman dengannya, Parmenides dari Elea, dianggap sebagai orang pertama yang mengajarkan bahwa Bumi itu bulat.[153] Mereka juga dikatakan sebagai orang pertama yang menemukan bahwa dunia dapat dibagi menjadi lima zona iklim,[153] dan bahwa bintang timur dan barat adalah benda langit yang sama (kini dikenal sebagai Venus).[154] Dari dua filsuf ini, Parmenides lebih mungkin menjadi orang pertama yang menemukan hal-hal ini,[155] dan penghargaan terhadap Pythagoras mungkin muncul dari sebuah puisi pseudopigrafa.[154] Empedokles (yang hidup di Magna Graecia tidak lama setelah Pythagoras dan Parmenides) sendiri sudah tahu bahwa Bumi itu bulat.[156] Selain itu, pada akhir abad kelima SM, fakta ini sudah diterima di kalangan cendekiawan Yunani Kuno.[157]
Pengaruh pada zaman kuno
Pengaruh terhadap filsafat Yunani
Terdapat komunitas-komunitas pythagoreanis yang besar di Magna Graecia, Flious, dan Tiva pada awal abad keempat SM.[159] Pada saat yang sama, filsuf Arkitas yang beraliran pythagoreanisme adalah sosok yang sangat berpengaruh secara politik di kota Tarentum, Magna Graecia.[160] Menurut tradisi lisan, Arkitas terpilih sebagai strategos ("jenderal") sebanyak tujuh kali, padahal orang lain dilarang menjabat selama lebih dari satu tahun.[160] Arkitas juga dikenal akan kiprahnya sebagai matematikawan dan musisi.[161] Ia adalah sahabat karib Plato[162] dan pernyataannya dikutip dalam dialog Republik karya Plato.[163] Aristoteles menyatakan bahwa filsafat Plato sangat bergantung kepada ajaran pythagoreanisme.[164] Menurut Charles H. Kahn, dialog-dialog pertengahan Plato seperti (Menon, Faidon, dan Republik) sangat dibumbui oleh unsur pythagoreanisme,[165] dan dialog-dialognya yang terakhir (khususnya Filebos dan Timaios)[158] sangat bersifat pythagoreanis.[158]
Menurut R. M. Hare, Republik karya Plato mungkin didasarkan pada komunitas kecil yang sangat ketat dan terdiri dari orang-orang dengan pemikiran serupa yang didirikan oleh Pythagoras di Kroton.[166] Selain itu, Plato mungkin meminjam gagasan Pythagoras bahwa matematika dan pemikiran abstrak merupakan landasan yang kuat untuk filsafat, ilmu pengetahuan, dan moralitas.[166] Plato dan Pythagoras sama-sama memiliki "pendekatan mistis terhadap jiwa dan kedudukannya di dunia jasmani",[166] dan terdapat kemungkinan bahwa keduanya dipengaruhi oleh orfisme.[166] Pakar sejarah filsafat Frederick Copleston menyatakan bahwa teori Plato bahwa jiwa terdiri dari tiga unsur mungkin dipinjam dari kaum Pythagorean.[167] Bertrand Russell dalam karyanya A History of Western Philosophy menyatakan bahwa pengaruh Pythagoras terhadap Plato dan yang lainnya amat besar sehingga ia patut dianggap sebagai filsuf paling berpengaruh sepanjang masa.[168] Ia menyimpulkan bahwa, "Aku tidak tahu orang lain yang sangat berpengaruh seperti dia dalam hal mazhab pemikiran."[169]
Kebangkitan ajaran pythagoreanisme berlangsung pada abad pertama SM,[170] ketika para filsuf platonisme pertengahan seperti Eudoros dan Filon menyambut kebangkitan pythagoreanisme "baru" di kota Aleksandria.[171] Sementara itu, neopythagoreanisme menjadi aliran yang penting.[172] Filsuf Apollonios dari Tiana dari abad pertama Masehi mencoba meniru Pythagoras dan hidup dengan mengamalkan ajaran-ajaran pythagoreanisme.[173] Filsuf neopythagoreanisme dari abad pertama Moderatos dari Gades juga mengembangkan filsafat bilangan pythagoreanisme[173] dan mungkin menganggap jiwa sebagai "semacam keselarasan matematis."[173] Seorang matematikawan dan musikolog beraliran neopythagoreanisme yang bernama Nikomakos juga mengembangkan gagasan numerologi dan musik pythagoreanisme.[172] Numenios dari Apamea sendiri menafsirkan ajaran-ajaran Plato berdasarkan doktrin-doktrin pythagoreanisme.[174]
Pengaruh terhadap seni dan arsitektur
Pahatan Yunani mencoba melambangkan kenyataan yang abadi di balik penampilan yang dangkal.[176] Pahatan-pahatan awal dari zaman Arkais merupakan lambang kehidupan dalam bentuk yang sederhana, dan mungkin dipengaruhi oleh filsafat alam pertama Yunani. Orang Yunani Kuno meyakini bahwa alam menunjukkan bentuk idealnya dan diwakilkan oleh suatu "tipe" (εἶδος) yang dihitung secara matematis.[177][178] Ketika dimensinya diubah, para arsitek mencoba mengungkapkan keabadian melalui matematika.[179][180] Maurice Bowra meyakini bahwa gagasan ini memengaruhi pemikiran Pythagoras dan murid-muridnya yang berpandangan bahwa "semua hal adalah angka".[180]
Pada abad keenam SM, filsafat bilangan ala pythagoreanis telah merombak seni pahat Yunani.[181] Para pemahat dan arsitek Yunani mencoba mencari hubungan matematis di balik kesempurnaan estetika. Pemahat Polikleitos (yang mungkin mengambil gagasan Pythagoras) menulis dalam karyanya, Kanon, bahwa keindahan itu berupa proporsi, bukan pada unsurnya (bahannya), tetapi pada kesinambungan satu bagian dengan bagian lainnya dan dengan keseluruhannya. Dalam ordo arsitektur Yunani, setiap unsur juga dihitung dan dibangun berdasarkan hubungan matematisnya.[178]
Bangunan tertua yang diketahui dirancang sesuai dengan ajaran pythagoreanis adalah Basilika Porta Maggiore,[182] sebuah basilika bawah tanah yang dibangun pada masa Kaisar Romawi Nero yang dimaksudkan sebagai tempat ibadah rahasia kaum Pythagorean.[183] Basilika ini dibangun di bawah tanah karena kaum pythagoreanis sangat mengutamakan kerahasiaan,[184] dan juga karena adanya legenda bahwa Pythagoras pernah mengasingkan diri di sebuah gua di Pulau Samos.[185] Apsis basilika ini terletak di timur dan atriumnya di barat untuk menghormati matahari terbit.[186] Terdapat pintu masuk sempit yang mengarah ke sebuah kolam kecil untuk menyucikan diri.[187] Bangunan ini juga dirancang sesuai dengan numerologi Pythagorean,[188] dan setiap meja di basilika ini dilengkapi dengan tujuh kursi.[97] Terdapat tiga lorong yang mengarah ke satu altar, dan ini merupakan simbol tiga bagian jiwa yang menyatu dengan Apollo.[97] Apsisnya menggambarkan adegan penyair wanita Sapfo yang melompat dari tebing Lefkada sembari memegang alat musik lira, sementara Apollo berdiri di bawahnya dan mengulurkan tangan kanannya sebagai tanda perlindungan,[189] dan ini merupakan simbolisasi ajaran pythagoreanisme mengenai keabadian jiwa.[189] Bagian dalam basilika ini juga hampir seluruhnya berwarna putih karena warna ini dianggap suci oleh kaum Pythagorean.[190]
Gedung Pantheon di Roma juga dibangun sesuai dengan numerologi pythagoreanisme.[175] Bentuk bundar kuil ini, poros tengahnya, kubahnya yang berbentuk setengah lingkaran, dan kesesuaiannya dengan empat arah mata angin merupakan simbol keteraturan alam semesta dalam aliran pythagoreanisme.[191] Bukaan yang berbentuk bulat di puncak kubahnya merupakan simbol monad dan dewa matahari Apollo.[192] Dua puluh delapan rusuk yang membentang dari bukaan di atas merupakan simbol bulan, karena dua puluh delapan adalah jumlah bulan dalam kalender bulan Pythagorean.[193] Lima coffer (panel yang menjorok ke dalam) di bawah rusuknya merupakan simbol "pernikahan" atau "keselarasan" matahari dan bulan.[92]
Pengaruh terhadap gereja perdana
Banyak tokoh gereja perdana yang mengagumi Pythagoras.[194] Uskup Kaesarea Eusebius (hidup sekitar tahun 260 – 340 M) dalam karyanya, Contra Hieroclem, memuji Pythagoras berkat aturannya mengenai ketenangan, kesederhanaannya, moralitasnya yang "luar biasa", dan ajarannya yang bijaksana.[195] Dalam karyanya yang lain, Eusebius membandingkan Pythagoras dengan Musa.[195] Sementara itu, Bapa Gereja Hieronimus (hidup sekitar tahun 347 – 420 M) dalam salah satu suratnya memuji kebijaksanaan Pythagoras.[195] Dalam suratnya yang lain, ia menganggap Pythagoras sebagai pencetus gagasan mengenai keabadian jiwa, dan ia mengusulkan bahwa orang Kristen mungkin mewarisi gagasan ini darinya.[196] Agustinus dari Hippo (354 – 430 M) menolak ajaran metempsikosis tanpa menyebut nama Pythagoras, tetapi Agustinus masih menyatakan kekagumannya kepada sosok filsuf kuno tersebut.[197] Dalam tulisannya yang berjudul De Trinitate, Agustinus menyanjung Pythagoras yang menyebut dirinya sebagai philosophos atau "pecinta kebijaksanaan" alih-alih "orang bijak".[198] Di bagian yang lain, Agustinus membela reputasi Pythagoras dan menyatakan bahwa Pythagoras hampir pasti tidak pernah mengajarkan doktrin metempsikosis.[198]
Pengaruh setelah zaman kuno
Pengaruh pada Abad Pertengahan
Pada Abad Pertengahan, Pythagoras dihormati sebagai perintis bidang matematika dan musik, yang merupakan dua dari tujuh pengetahuan budaya. Ia digambarkan dalam manuskrip-manuskrip teriluminasi, dan ia juga menjadi subjek pahatan relief di salah satu pintu masuk Katedral Chartres. Timaeus sendiri adalah satu-satunya dialog Plato yang masih ada di Eropa Barat (dalam bentuk terjemahan bahasa Latin). Setelah membaca dialog ini, Guillaume de Conches (sekitar tahun 1080-1160) mengeluarkan pernyataan bahwa Plato adalah seorang Pythagorean.[199] Pada dasawarsa 1430-an, frater Ambrogio Traversari dari Ordo Camaldolese menerjemahkan Kehidupan dan Pendapat Filsuf-filsuf Tersohor karya Diogenes Laërtius dari bahasa Yunani ke Latin, dan pada dasawarsa 1460-an, filsuf Marsilio Ficino menerjemahkan tulisan Porfirios dan Iamblikos mengenai Pythagoras ke dalam bahasa Latin, yang memungkinkan para cendekiawan di Barat untuk mengkaji kedua karya ini.[199] Pada tahun 1494, pakar neopythagoreanisme Yunani Konstantinos Laskaris menerbitkan Ayat-ayat Emas Pythagoras, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin bersama dengan edisi cetak karyanya yang lain Grammatica Graeca, sehingga semakin banyak pembaca di Barat yang dapat mempelajarinya. Pada tahun 1499, ia menerbitkan biografi Pythagoras pertama yang ditulis pada zaman Renaisans dalam karyanya yang berjudul Vitae illustrium philosophorum siculorum et calabrorum dan diterbitkan di Messina.[200]
Pengaruh terhadap ilmu pengetahuan modern
Dalam kata pengantar yang ia tulis untuk bukunya De revolutionibus orbium coelestium (1543), Nicolaus Copernicus menyebutkan berbagai tokoh pythagoreanis sebagai tokoh-tokoh yang sangat memengaruhinya dalam mengembangkan model heliosentris,[199][201] dan ia dengan sengaja tidak menyebut Aristarkos dari Samos, seorang astronom di luar kelompok pythagoreanis yang telah mengembangkan model heliosentris pada abad keempat SM, karena Copernicus ingin menunjukkan bahwa modelnya itu pada dasarnya Pythagorean.[201] Johannes Kepler juga menganggap dirinya sebagai seorang pythagoreanis.[202][199][203] Ia percaya akan doktrin musica universalis dan upayanya untuk mencari persamaan matematis di balik doktrin ini membuatnya menemukan hukum gerakan planet.[204] Judul buku Kepler mengenai hukum ini adalah Harmonices Mundi, yang mengacu kepada ajaran pythagoreanis yang telah mengilhami dirinya.[199][205]
Isaac Newton sangat percaya dengan ajaran pythagoreanis mengenai harmoni matematis dan keteraturan alam semesta.[206] Walaupun Newton dikenal jarang mencantumkan nama penemu suatu karya, ia memberikan pengakuan kepada Pythagoras sebagai penemu hukum gravitasi universal.[207] Albert Einstein percaya bahwa seorang ilmuwan dapat menjadi "seorang Platonis atau Pythagoreanis selama ia menganggap sudut pandang kesederhanaan logika sebagai suatu hal yang harus ada dan efektif untuk penelitiannya."[208] Filsuf Inggris Alfred North Whitehead berpendapat bahwa "Dalam beberapa hal, Plato dan Pythagoras lebih dekat dengan ilmu fisik modern daripada Aristoteles. Keduanya adalah matematikawan, sementara Aristoteles adalah anak seorang dokter".[209] Dengan ini Whitehead menyatakan bahwa Einstein dan ilmuwan-ilmuwan modern lain seperti dirinya "mengikuti tradisi Pythagoreanis murni."[208][210]
Pengaruh terhadap vegetarianisme
Dalam Buku XV Metamorphoses karya Ovidius, terdapat kisah fiksi mengenai Pythagoras yang menganjurkan pengikutnya untuk menjadi vegetarian. Pythagoras kemudian menjadi dikenal oleh para penutur bahasa Inggris pada zaman modern awal melalui terjemahan karya Ovidius ke dalam bahasa Inggris yang dibuat oleh Arthur Golding pada tahun 1567.[212] Progress of the Soul karya John Donne membahas implikasi doktrin yang disampaikan dalam pidato ini, dan Michel de Montaigne mengutip pidato ini tidak kurang dari tiga kali dalam risalahnya Of Cruelty untuk menyampaikan penolakannya secara moral terhadap penganiayaan hewan.[213] William Shakespeare menyebutkan pidato ini dalam dramanya The Merchant of Venice.[214] John Dryden memasukkan adaptasi kisah mengenai pidato Pythagoras ini dalam karyanya pada tahun 1700, Fables, Ancient and Modern, sementara fabel Pythagoras and the Countryman karya John Gay dari tahun 1726 menyampaikan kembali tema-tema utama pidato Pythagoras dan mengaitkan karnivorisme dengan tirani. Lord Chesterfield menulis bahwa ia terdorong untuk tidak mengonsumsi makanan yang berasal dari hewan setelah membaca pidato Pythagoras dalam Metamorphoses karya Ovidius. Sebelum istilah vegetarianisme diciptakan pada dasawarsa 1840-an, vegetarian dalam bahasa Inggris disebut Pythagoreans.[213] Percy Bysshe Shelley menulis sebuah ode yang berjudul To the Pythagorean Diet, sementara Leo Tolstoy juga mengikuti pola makan Pythagorean.[215]
Pengaruh terhadap esoterisme Barat
Esoterisme Eropa pada zaman modern awal sangat dipengaruhi oleh ajaran Pythagoras.[199] Cendekiawan humanis Jerman Johannes Reuchlin (1455–1522) menggabungkan pythagoreanisme dengan teologi Kristen dan kabbalah Yahudi,[216] dan ia berpendapat bahwa kabbalah dan pythagoreanisme sama-sama terilhami dari tradisi Musa, sehingga menurutnya Pythagoras adalah seorang penganut kabbala.[217] Dalam dialognya De verbo mirifico (1494), Reuchlin membandingkan tetraktis dengan nama Tuhan yang tak terucap, YHWH,[216] dan ia memberikan makna simbolis kepada masing-masing dari keempat huruf tersebut sesuai dengan ajaran mistis Pythagorean.[217]
Risalah tiga jilid karya Heinrich Cornelius Agrippa yang terkenal, De Occulta Philosophia, menyebut Pythagoras sebagai seorang "Majusi yang taat" dan ia menyatakan bahwa numerologi mistis Pythagoras bergerak di ranah surgawi.[218] Kaum Freemason dengan sengaja mendasarkan perkumpulan mereka pada komunitas Pythagoras di Kroton.[219] Gerakan rosikrusianisme menggunakan simbolisme Pythagoras, dan begitu pula dengan Robert Fludd (1574–1637) yang meyakini bahwa tulisan-tulisan musiknya terilhami dari Pythagoras.[199] John Dee sangat dipengaruhi oleh ideologi Pythagoras, khususnya ajaran bahwa segala sesuatunya terbuat dari angka.[220][218] Adam Weishaupt, pendiri Illuminati, sangat mengagumi Pythagoras,[221] dan dalam bukunya Pythagoras (1787), ia menganjurkan agar masyarakat diubah supaya lebih menyerupai perkumpulan Pythagoras di Kroton.[222] Wolfgang Amadeus Mozart memasukkan simbolisme pythagoreanis dan Freemason ke dalam operanya, Die Zauberflöte.[223] Sylvain Maréchal dalam karyanya Les Voyages de Pythagore (1799) menyatakan bahwa semua pejuang revolusi dari segala masa adalah "pewaris Pythagoras".[224]
Pengaruh terhadap sastra
Dante Alighieri dibuat takjub oleh numerologi Pythagorean, dan ia mendasarkan deskripsi neraka, purgatorium, dan surga pada angka-angka Pythagorean.[225] Dante menulis bahwa Pythagoras menganggap kesatuan sebagai sesuatu yang baik dan kemajemukan sebagai yang buruk,[226] dan dalam Paradiso XV, 56–57, ia menyatakan: "Lima dan enam, jika dipahami, bersinar dari kesatuan."[227] Angka sebelas dan kelipatannya juga dapat ditemui dalam Divina Commedia, dan setiap buku memiliki tiga puluh tiga canto kecuali Inferno yang memiliki tiga puluh empat canto (canto pertama merupakan pengantar umum).[228] Dalam deskripsi Dante, terdapat lingkaran neraka kedelapan yang disebut malebolge, dan lingkaran ini sendiri terbagi menjadi sepuluh bolgia ("parit"). Dante menulis bahwa bolgia kesembilan kelilingnya 22 mil dan bolgia kesepuluh kelilingnya 11 mil. Angka 22 disebutkan karena merupakan bagian dari pecahan 227 yang merupakan perkiraan pi menurut Pythagoras. Neraka, purgatorium, dan surga disebut berbentuk bulat, dan Dante menggunakan ketidakmungkinan dalam menyelesaikan teka teki squaring the circle untuk keagungan Tuhan yang tak terlukiskan.[228] Angka tiga juga sering muncul: Divina Commedia terdiri dari tiga bagian,[229] sementara Beatrice dikaitkan dengan angka sembilan, yang sama dengan tiga kali tiga.[230]
Penganut transendentalisme membaca Kehidupan Pythagoras untuk dijadikan teladan kehidupan. Pemikiran transendentalis Henry David Thoreau sangat dipengaruhi oleh Kehidupan Pythagoras karya Iamblikos yang sudah diterjemahkan oleh Thomas Taylor serta Pepatah-pepatah Pythagoras karya Stobaeus. Pandangan Thoreau tentang alam mungkin juga dipengaruhi oleh gagasan pythagoreanis mengenai bayangan (image) yang sesuai dengan pola dasarnya (archetype). Ajaran musica universalis juga menjadi tema yang muncul berulang kali dalam mahakarya Thoreau yang berjudul Walden.[231]
Catatan penjelas
- ^ Bahasa Yunani Kuno: Πυθαγόρας ὁ Σάμιος, abjad Latin: Pythagóras ho Sámios, berarti "Pythagoras orang Samos"; juga disebut Πυθαγόρας saja. Dalam bahasa Yunani Ionia disebut Πυθαγόρης.
- ^ Misalnya larangan memecahkan roti, karena hal ini dianggap akan memberatkan diri saat sedang dihakimi di dunia bawah.[113]
Rujukan
- ^ a b c Joost-Gaugier 2006, hlm. 143.
- ^ a b c d e Joost-Gaugier 2006, hlm. 11.
- ^ Celenza 2010, hlm. 796.
- ^ a b Ferguson 2008, hlm. 4.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 3–5.
- ^ Gregory 2015, hlm. 21–23.
- ^ a b c Copleston 2003, hlm. 29.
- ^ a b c Kahn 2001, hlm. 2.
- ^ a b Burkert 1985, hlm. 299.
- ^ a b c Joost-Gaugier 2006, hlm. 12.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 62.
- ^ a b c d e Copleston 2003, hlm. 31.
- ^ a b Joost-Gaugier 2006, hlm. 12–13.
- ^ a b c Joost-Gaugier 2006, hlm. 13.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 14–15.
- ^ a b c d e f Joost-Gaugier 2006, hlm. 16.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 88.
- ^ a b c d Burkert 1972, hlm. 109.
- ^ a b c d e f g h i j k Kahn 2001, hlm. 5.
- ^ a b c d e Zhmud 2012, hlm. 9.
- ^ a b c Burkert 1972, hlm. 106.
- ^ a b c d e f Kahn 2001, hlm. 6.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 12.
- ^ Kenny 2004, hlm. 9.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 21.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 11–12.
- ^ a b c Riedweg 2005, hlm. 59.
- ^ Guthrie 1978, hlm. 173.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 45–47.
- ^ a b Riedweg 2005, hlm. 44–45.
- ^ a b c Riedweg 2005, hlm. 7.
- ^ a b Riedweg 2005, hlm. 7–8.
- ^ Gregory 2015, hlm. 22–23.
- ^ Press 2003, hlm. 83.
- ^ a b c d e f g h i j k l Riedweg 2005, hlm. 8.
- ^ Dillon 2005, hlm. 163.
- ^ a b Riedweg 2005, hlm. 8–9.
- ^ a b c d e f g h Riedweg 2005, hlm. 9.
- ^ Waithe 1987, hlm. 11.
- ^ Malone 2009, hlm. 22.
- ^ Ménage 1984, hlm. 47: "The person who is referred to as Themistoclea in Laërtius and Theoclea in Suidas, Porphyry calls Aristoclea."
- ^ a b c d e f g Riedweg 2005, hlm. 10.
- ^ a b c d e Cornelli & McKirahan 2013, hlm. 64.
- ^ a b c Riedweg 2005, hlm. 11.
- ^ a b Ferguson 2008, hlm. 5.
- ^ a b Gregory 2015, hlm. 22.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 11–12.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 12–13.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 12–18.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 13–18.
- ^ a b c d Kahn 2001, hlm. 8.
- ^ a b c Pomeroy 2013, hlm. 1.
- ^ a b c Pomeroy 2013, hlm. xvi.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 58.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Ferguson 2008, hlm. 59.
- ^ a b Riedweg 2005, hlm. 5–6, 59, 73.
- ^ a b Kahn 2001, hlm. 6–7.
- ^ a b Riedweg 2005, hlm. 19.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 18.
- ^ a b c d Kahn 2001, hlm. 7.
- ^ a b c Riedweg 2005, hlm. 19–20.
- ^ a b c d e f g Riedweg 2005, hlm. 20.
- ^ Grant 1989, hlm. 278.
- ^ Simoons 1998, hlm. 225–228.
- ^ Bruhn 2005, hlm. 66.
- ^ a b Burkert 1972, hlm. 106–109.
- ^ Kahn 2001, hlm. 5–6.
- ^ Kahn 2001, hlm. 9–11.
- ^ a b Burkert 1972, hlm. 29–30.
- ^ a b c Kahn 2001, hlm. 11.
- ^ a b Zhmud 2012, hlm. 232.
- ^ Burkert 1985, hlm. 300–301.
- ^ a b Gregory 2015, hlm. 24–25.
- ^ a b c Copleston 2003, hlm. 30–31.
- ^ Gregory 2015, hlm. 25.
- ^ Kahn 2001, hlm. 12.
- ^ Cornelli & McKirahan 2013, hlm. 164–167.
- ^ Cornelli & McKirahan 2013, hlm. 164–165.
- ^ Cornelli & McKirahan 2013, hlm. 165–166.
- ^ a b c Cornelli & McKirahan 2013, hlm. 167.
- ^ a b c Bruhn 2005, hlm. 65–66.
- ^ a b c d Gregory 2015, hlm. 28–29.
- ^ a b c d Riedweg 2005, hlm. 29.
- ^ a b c d Kahn 2001, hlm. 1–2.
- ^ a b Riedweg 2005, hlm. 29–30.
- ^ a b Gregory 2015, hlm. 38–39.
- ^ a b c Riedweg 2005, hlm. 30.
- ^ a b Burkert 1972, hlm. 467–468.
- ^ Burkert 1972, hlm. 265.
- ^ Kahn 2001, hlm. 27.
- ^ a b Riedweg 2005, hlm. 23.
- ^ a b c Joost-Gaugier 2006, hlm. 170–172.
- ^ a b c Joost-Gaugier 2006, hlm. 172.
- ^ a b Burkert 1972, hlm. 433.
- ^ Burkert 1972, hlm. 467.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 170.
- ^ a b c Joost-Gaugier 2006, hlm. 161.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 87–88.
- ^ a b c Kahn 2001, hlm. 2–3.
- ^ Kahn 2001, hlm. 3.
- ^ a b c d Cornelli & McKirahan 2013, hlm. 168.
- ^ Grant 1989, hlm. 277.
- ^ a b c d Riedweg 2005, hlm. 31.
- ^ a b Cornelli & McKirahan 2013, hlm. 65.
- ^ Cornelli & McKirahan 2013, hlm. 68–69.
- ^ a b c d e f Kenny 2004, hlm. 10.
- ^ O'Meara 1989, hlm. 35–40.
- ^ Zhmud 2012, hlm. 2, 16.
- ^ a b c d e Gregory 2015, hlm. 31.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 33–34.
- ^ a b Cornelli & McKirahan 2013, hlm. 69.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 64–67.
- ^ a b Riedweg 2005, hlm. 64.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 65.
- ^ a b Zhmud 2012, hlm. 200.
- ^ a b c d e f g h i Riedweg 2005, hlm. 66.
- ^ Pomeroy 2013, hlm. xvi–xvii.
- ^ Zhmud 2012, hlm. 137, 200.
- ^ Copleston 2003, hlm. 30.
- ^ a b Kahn 2001, hlm. 9.
- ^ Kenny 2004, hlm. 10–11.
- ^ a b c d Zhmud 2012, hlm. 235.
- ^ a b Riedweg 2005, hlm. 1.
- ^ a b c d e f g Riedweg 2005, hlm. 2.
- ^ Gregory 2015, hlm. 30–31.
- ^ a b c d Gregory 2015, hlm. 30.
- ^ a b c Kenny 2004, hlm. 11.
- ^ a b c d e Ferguson 2008, hlm. 60.
- ^ a b McKeown 2013, hlm. 155.
- ^ Burkert 1972, hlm. 144.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 10.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 47.
- ^ a b Ferguson 2008, hlm. 58–59.
- ^ a b c Cornelli & McKirahan 2013, hlm. 160.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 60–61.
- ^ a b c d e Ferguson 2008, hlm. 61.
- ^ Gregory 2015, hlm. 21–22.
- ^ Burkert 1972, hlm. 428–433.
- ^ Kahn 2001, hlm. 32–33.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 26–27.
- ^ a b c d e f Riedweg 2005, hlm. 27.
- ^ Burkert 1972, hlm. 428.
- ^ Burkert 1972, hlm. 429, 462.
- ^ a b Kahn 2001, hlm. 32.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 6–7.
- ^ a b c Burkert 1972, hlm. 429.
- ^ Kahn 2001, hlm. 33.
- ^ Gregory 2015, hlm. 28.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 27–28.
- ^ a b c d Gregory 2015, hlm. 27.
- ^ a b c Riedweg 2005, hlm. 28.
- ^ a b Christensen 2002, hlm. 143.
- ^ a b Burkert 1972, hlm. 306.
- ^ a b Burkert 1972, hlm. 307–308.
- ^ Burkert 1972, hlm. 306–308.
- ^ Kahn 2001, hlm. 53.
- ^ Dicks 1970, hlm. 68.
- ^ a b c Kahn 2001, hlm. 55–62.
- ^ Kahn 2001, hlm. 48–49.
- ^ a b Kahn 2001, hlm. 39.
- ^ Kahn 2001, hlm. 39–43.
- ^ Kahn 2001, hlm. 39–40.
- ^ Kahn 2001, hlm. 40, 44–45.
- ^ Kahn 2001, hlm. 1.
- ^ Kahn 2001, hlm. 55.
- ^ a b c d Hare 1999, hlm. 117–119.
- ^ Copleston 2003, hlm. 37.
- ^ Russell 2008, hlm. 33–37.
- ^ Russell 2008, hlm. 37.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 123–124.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 124.
- ^ a b Riedweg 2005, hlm. 125–126.
- ^ a b c Riedweg 2005, hlm. 125.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 126–127.
- ^ a b Joost-Gaugier 2006, hlm. 166–181.
- ^ Homann-Wedeking 1968, hlm. 63.
- ^ Homann-Wedeking 1968, hlm. 62.
- ^ a b Carpenter 1921, hlm. 107, 122, 128.
- ^ Homann-Wedeking 1968, hlm. 62–63.
- ^ a b Bowra 1994, hlm. 166.
- ^ Homann-Wedeking 1968, hlm. 62–65.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 154.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 154–156.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 157–158.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 158.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 158–159.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 159.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 159–161.
- ^ a b Joost-Gaugier 2006, hlm. 162.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 162–164.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 167–168.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 168.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 169–170.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 57–65.
- ^ a b c Joost-Gaugier 2006, hlm. 57.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 57–58.
- ^ Joost-Gaugier 2006, hlm. 58–59.
- ^ a b Joost-Gaugier 2006, hlm. 59.
- ^ a b c d e f g h Celenza 2010, hlm. 798.
- ^ Russo 2004, hlm. 5–87, especially 51–53.
- ^ a b Kahn 2001, hlm. 160.
- ^ Kahn 2001, hlm. 161–171.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 265.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 264–274.
- ^ Kahn 2001, hlm. 162.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 279.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 279–280.
- ^ a b Kahn 2001, hlm. 172.
- ^ Whitehead 1953, hlm. 36–37.
- ^ Whitehead 1953, hlm. 36.
- ^ Borlik 2011, hlm. 192.
- ^ Borlik 2011, hlm. 189–190.
- ^ a b Borlik 2011, hlm. 190.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 282.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 294.
- ^ a b Riedweg 2005, hlm. 127–128.
- ^ a b Riedweg 2005, hlm. 128.
- ^ a b French 2002, hlm. 30.
- ^ Riedweg 2005, hlm. 133.
- ^ Sherman 1995, hlm. 15.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 284–288.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 287–288.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 286–287.
- ^ Ferguson 2008, hlm. 288.
- ^ a b Haag 2013, hlm. 89.
- ^ Haag 2013, hlm. 90.
- ^ Haag 2013, hlm. 90–91.
- ^ a b Haag 2013, hlm. 91.
- ^ Haag 2013, hlm. 91–92.
- ^ Haag 2013, hlm. 92.
- ^ Bregman 2002, hlm. 186.
Daftar pustaka
- Bowra, C. M. (1994) [1957], The Greek Experience, London, England: Weidenfeld & Nicolson History, ISBN 978-1-85799-122-2
- Bregman, Jay (2002), "Neoplatonism and American Aesthetics", dalam Alexandrakis, Aphrodite; Moulafakis, Nicholas J., Neoplatonism and Western Aesthetics, Studies in Neoplatonism: Ancient and Modern, 12, Albany, New York: State University of New York Press, ISBN 978-0-7914-5280-6
- Bruhn, Siglind (2005), The Musical Order of the Universe: Kepler, Hesse, and Hindemith, Interfaces Series, Hillsdale, New York: Pendragon Press, ISBN 978-1-57647-117-3
- Borlik, Todd A. (2011), Ecocriticism and Early Modern English Literature: Green Pastures, New York City, New York and London, England: Routledge, ISBN 978-0-203-81924-1
- Burkert, Walter (1 June 1972), Lore and Science in Ancient Pythagoreanism, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, ISBN 978-0-674-53918-1
- Burkert, Walter (1985), Greek Religion, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, ISBN 978-0-674-36281-9
- Carpenter, Rhys (1921), The Esthetic Basis Of Greek Art: Of The Fifth And Fourth Centuries B.C, Bryn Mawr, Pennsylvania: Bryn Mawr College, ISBN 978-1-165-68068-9
- Christensen, Thomas (2002), The Cambridge History of Western Music Theory, Cambridge, England: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-62371-1
- Cornelli, Gabriele; McKirahan, Richard (2013), In Search of Pythagoreanism: Pythagoreanism as an Historiographical Category, Berlin, Germany: Walter de Gruyter, ISBN 978-3-11-030650-7
- Copleston, Frederick (2003) [1946], "The Pythagorean Society", A History of Philosophy, 1 Greece and Rome, London, England and New York City, New York: Continuum, ISBN 978-0-8264-6947-2
- Dicks, D. R. (1970), Early Greek Astronomy to Aristotle, Ithaca, New York: Cornell University Press, ISBN 978-0-8014-0561-7
- Dillon, Sheila (24 December 2005), Ancient Greek Portrait Sculpture: Context, Subjects, and Styles, Cambridge, England: Cambridge University Press, ISBN 978-1-107-61078-1
- Ferguson, Kitty (2008), The Music of Pythagoras: How an Ancient Brotherhood Cracked the Code of the Universe and Lit the Path from Antiquity to Outer Space, New York City, New York: Walker & Company, ISBN 978-0-8027-1631-6
- French, Peter J. (2002) [1972], John Dee: The World of the Elizabethan Magus, New York City, New York and London, England: Routledge, ISBN 978-0-7448-0079-1
- Celenza, Christopher (2010), "Pythagoras and Pythagoreanism", dalam Grafton, Anthony; Most, Glenn W.; Settis, Salvatore, The Classical Tradition, Cambridge, Massachusetts and London, England: The Belknap Press of Harvard University Press, hlm. 796–799, ISBN 978-0-674-03572-0
- Grant, Michael (1989), The Classical Greeks, History of Civilization, New York City, New York: Charles Schribner's Sons, ISBN 978-0-684-19126-3
- Gregory, Andrew (2015), "The Pythagoreans: Number and Numerology", dalam Lawrence, Snezana; McCartney, Mark, Mathematicians and their Gods: Interactions between Mathematics and Religious Beliefs, Oxford, England: Oxford University Press, hlm. 21–50, ISBN 978-0-19-870305-1
- Guthrie, W. K. (1978) [1962], A History of Greek Philosophy: Volume 1, The Earlier Presocratics and the Pythagoreans, Cambridge, England: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-29420-1
- Haag, Michael (2013), Inferno Decoded: The Essential Companion to the Myths, Mysteries and Locations of Dan Brown's Inferno, London, England: Profile Books, Ltd., ISBN 978-1-78125-180-5
- Hare, R. M. (1999) [1982], "Plato", dalam Taylor, C. C. W.; Hare, R. M.; Barnes, Jonathan, Greek Philosophers: Socrates, Plato, and Aristotle, Past Masters, Oxford, England: Oxford University Press, hlm. 103–189, ISBN 978-0-19-285422-3
- Hermann, Arnold (2005), To Think Like God: Pythagoras and Parmenides—the Origins of Philosophy, Las Vegas, Nevada: Parmenides Publishing, ISBN 978-1-930972-00-1
- Homann-Wedeking, Ernst (1968), The Art of Archaic Greece, Art of the World, New York City, New York: Crown Publishers
- Horky, Philip Sydney (2013), Plato and Pythagoreanism, Oxford, England: Oxford University Press, ISBN 978-0-19-989822-0
- Joost-Gaugier, Christiane L. (2006), Measuring Heaven: Pythagoras and his Influence on Thought and Art in Antiquity and the Middle Ages, Ithaca, New York: Cornell University Press, ISBN 978-0-8014-7409-5
- Kahn, Charles H. (2001), Pythagoras and the Pythagoreans: A Brief History, Indianapolis, Indiana and Cambridge, England: Hackett Publishing Company, ISBN 978-0-87220-575-8
- Kenny, Anthony (2004), Ancient Philosophy, A New History of Western Philosophy, 1, Oxford, England: Oxford University Press, ISBN 978-0-19-875273-8
- Kingsley, Peter (1995), Ancient Philosophy, Mystery, and Magic: Empedocles and the Pythagorean Tradition, Oxford, England: Oxford University Press
- Malone, John C. (30 Juni 2009), Psychology: Pythagoras to present, MIT Press, hlm. 22, ISBN 978-0-262-01296-6
- McKeown, J. C. (2013), A Cabinet of Greek Curiosities: Strange Tales and Surprising Facts from the Cradle of Western Civilization, Oxford, England: Oxford University Press, ISBN 978-0-19-998210-3
- Ménage, Gilles (1984), The History of Women Philosophers, University Press of America, ISBN 9780819142726
- O'Meara, Dominic J. (1989), Pythagoras Revived, Oxford, England: Oxford University Press, ISBN 978-0-19-823913-0
- Press, Gerald A. (2003) [1982], Development of the Idea of History in Antiquity, Montreal, Canada and Kingston, New York: McGill-Queen's University Press, ISBN 978-0-7735-1002-9
- Pomeroy, Sarah B. (2013), Pythagorean Women: The History and Writings, Baltimore, Maryland: The Johns Hopkins University Press, ISBN 978-1-4214-0956-6
- Riedweg, Christoph (2005) [2002], Pythagoras: His Life, Teachings, and Influence, Ithaca, New York: Cornell University Press, ISBN 978-0-8014-7452-1
- Russell, Bertrand (2008) [1945], A History of Western Philosophy, A Touchstone Book, New York City, New York: Simon & Schuster, ISBN 978-0-671-31400-2
- Russo, Attilio (2004), "Costantino Lascaris tra fama e oblio nel Cinquecento messinese", Archivio Storico Messinese, LXXXIV-LXXXV: 5–87, especially 51–53, ISSN 0392-0240
- Schofield, Malcolm (2013), Aristotle, Plato and Pythagoreanism in the First Century BC: New Directions for Philosophy, Cambridge, England: Cambridge University Press, ISBN 978-1-107-02011-5
- Sherman, William Howard (1995), John Dee: The Politics of Reading and Writing in the English Renaissance, Amherst, Massachusetts: The University of Massachusetts Press, ISBN 978-1-55849-070-3
- Simoons, Frederick J. (1998), Plants of Life, Plants of Death, Madison, Wisconsin: University of Wisconsin Press, ISBN 978-0-299-15904-7
- Vasunia, Phiroze (2007). "The Philosopher's Zarathushtra". Dalam Tuplin, Christopher. Persian Responses: Political and Cultural Interaction with(in) the Achaemenid Empire. Swansea: The Classical Press of Wales. ISBN 978-1-910589-46-5.
- Waithe, Mary Ellen (1987). A History of Women Philosophers: Volume 1, Ancient Women Philosophers, 600 B.C. – 500 A.D. Dordrect: Martinus Nijhoff Publishers. ISBN 9789024733682.
- Whitehead, Afred North (1953) [1926], Science and the Modern World, Cambridge, England: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-23778-9
- Zhmud, Leonid (2012), Pythagoras and the Early Pythagoreans, diterjemahkan oleh Windle, Kevin; Ireland, Rosh, Oxford, England: Oxford University Press, ISBN 978-0-19-928931-8
Pranala luar
Cari tahu mengenai Pythagoras pada proyek-proyek Wikimedia lainnya: | |
Definisi dan terjemahan dari Wiktionary | |
Gambar dan media dari Commons | |
Berita dari Wikinews | |
Kutipan dari Wikiquote | |
Teks sumber dari Wikisource | |
Buku dari Wikibuku |
- Pythagoras di In Our Time di BBC. (listen now)
- (Inggris) Entri Pythagoras di Stanford Encyclopedia of Philosophy
- "Pythagoras of Samos", The MacTutor History of Mathematics archive, Sekolah Matematika dan Statistik, Universitas St Andrews, Skotlandia
- "Pythagoras and the Pythagoreans, Fragments and Commentary", Arthur Fairbanks Hanover Historical Texts Project, Hanover College Departemen Sejarah
- "Pythagoras and the Pythagoreans", Departemen Matematika, Texas A&M University
- "Pythagoras and Pythagoreanism", The Catholic Encyclopedia
- Karya oleh/tentang Pythagoras di Internet Archive (pencarian dioptimalkan untuk situs non-Beta)
- Karya Pythagoras di LibriVox (buku suara domain umum)