Penyiksaan
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Mauliddin mutz (Kontrib • Log) 972 hari 1054 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Penyiksaan (bahasa Inggris: torture) adalah tindakan yang secara sengaja dilakukan untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang parah kepada seseorang.
Penyiksaan telah dilakukan oleh banyak negara sepanjang sejarah, dari zaman kuno hingga zaman modern. Pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, negara-negara Barat menghapus penggunaan penyiksaan secara formal dalam sistem peradilan, tetapi penyiksaan terus digunakan. Berbagai metode penyiksaan yang digunakan, seringkali dilakukan dalam kombinasi; bentuk penyiksaan fisik yang paling umum adalah pemukulan. Sejak abad kedua puluh, banyak penyiksa yang lebih memilih metode penyiksaan tanpa bekas luka atau psikologis untuk memberikan penyangkalan atas penyiksaan yang dilakukan. Banyak penyiksa yang beroperasi dalam lingkungan organisasi yang permisif yang memfasilitasi dan mendorong perilaku mereka. Alasan penyiksaan antara lain karena hukuman, penggalian pengakuan, interogasi untuk informasi, atau mengintimidasi pihak ketiga. Hukuman badan dan hukuman mati terkadang dianggap sebagai bentuk penyiksaan, meskipun hal ini adalah kontroversial secara internasional.
Tujuan akhir dari penyiksaan adalah untuk menghancurkan badan dan kepribadian korban; semua bentuk penyiksaan dapat menimbulkan efek fisik atau psikologis yang parah pada korban. Penyiksaan juga dapat berdampak negatif bagi pelaku dan institusinya. Penyiksaan adalah dilarang menurut hukum internasional untuk semua negara dalam semua keadaan, baik menurut hukum kebiasaan internasional maupun dalam berbagai perjanjian internasional. Pelarangan ini sering didasarkan pada argumen bahwa penyiksaan melanggar harkat dan martabat manusia. Penentangan terhadap penyiksaan membantu pembentukan gerakan hak asasi manusia setelah Perang Dunia II. Penyiksaan terus menjadi masalah hak asasi manusia yang penting. Meskipun insidennya telah menurun, penyiksaan masih dilakukan oleh sebagian besar negara dan tersebar luas di seluruh dunia. Korban utama penyiksaan adalah orang-orang yang miskin dan terpinggirkan yang diduga melakukan kejahatan biasa.
Definisi
Penyiksaan (dari bahasa Latin torcere: untuk memelintir)[1] didefinisikan sebagai tindakan yang secara disengaja dilakukan untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang parah pada korban, yang biasanya ditafsirkan sebagai seseorang yang berada di bawah kendali pelaku.[2] Perlakuan tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, seperti memaksa korban untuk mengaku, memberikan informasi, atau untuk menghukum mereka.[3] Definisi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan hanya menganggap penyiksaan yang dilakukan oleh negara.[4] Sebagian besar sistem hukum mengakui agen yang bertindak atas nama negara, dan beberapa definisi menambahkan kelompok bersenjata non-negara, kejahatan terorganisir, atau individu pribadi yang bekerja di fasilitas yang dipantau negara (seperti rumah sakit). Definisi yang paling luas tentang penyiksaan mendeskripsikan bahwa siapa saja dapat menjadi pelaku penyiksaan.[5] Tingkat keparahan dari perbuatan agar dapat diklasifikasikan sebagai penyiksaan adalah aspek yang paling kontroversial dari definisi penyiksaan; seiring berjalannya waktu, lebih banyak tindakan yang kini dianggap sebagai penyiksaan.[6] Pendekatan purposif, yang diikuti oleh para sarjana seperti Manfred Nowak dan Malcolm Evans, membedakan penyiksaan dari bentuk-bentuk lain dari perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat dengan mempertimbangkan pada tujuan yang hendak dicapai dan bukan pada tingkat keparahannya.[7] Definisi lain, seperti yang digunakan dalam Konvensi Antar-Amerika untuk Mencegah dan Menghukum Penyiksaan, berfokus pada tujuan penyiksa "untuk melenyapkan kepribadian korban".[8][9]
Sejarah
Sebelum penghapusan
Di sebagian besar masyarakat pada zaman kuno, periode abad pertengahan, dan awal modern, penyiksaan dianggap sebagai praktik yang diterima secara hukum dan moral.[10] Terdapat bukti arkeologi terkait penyiksaan di Eropa Neolitik Awal, sekitar 7.000 tahun yang lalu.[11] Banyak masyarakat yang dulu menggunakan penyiksaan baik sebagai bagian dari proses peradilan maupun sebagai sebuah hukuman, meskipun beberapa otoritas memisahkan sejarah penyiksaan dari sejarah hukuman yang menyakitkan.[12][13] Secara historis, penyiksaan dipandang sebagai cara yang dapat diandalkan untuk memperoleh kebenaran, sebagai hukuman yang sesuai, dan untuk mencegah pelanggaran hukum di masa depan.[14] Penyiksaan diatur secara hukum dengan pembatasan ketat terhadap metode yang diizinkan.[14] Di sebagian besar masyarakat, warga negara dapat disiksa secara hukum hanya dalam keadaan luar biasa untuk kejahatan serius seperti pengkhianatan, seringkali hanya jika telah ada beberapa bukti pendukung. Sebaliknya, orang-orang yang bukan warga negara seperti orang asing dan budak umumnya menjadi korban penyiksaan.[15]
Penyiksaan jarang terjadi di Eropa abad pertengahan awal, tetapi menjadi lebih umum dipraktekkan antara tahun 1200 dan 1400.[16] Karena para hakim abad pertengahan menggunakan standar pembuktian yang sangat tinggi, mereka kadang-kadang baru mengizinkan penyiksaan ketika terdapat bukti tidak langsung yang menunjukkan seseorang melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman mati. Hal ini dilakukan jika tidak ada dua saksi mata yang diperlukan sebagai pembuktian untuk menghukum seseorang tanpa adanya pengakuan terdakwa.[17][18] Penyiksaan merupakan proses yang mahal yang hanya digunakan dalam memeriksa kejahatan yang paling serius.[19] Sebagian besar korban penyiksaan adalah pria yang dituduh melakukan pembunuhan, pengkhianatan, atau pencurian.[20] Pengadilan gereja abad pertengahan dan Inkuisisi menggunakan penyiksaan sebagai bagian aturan prosedural yang sama seperti pengadilan sekuler.[21] Kekaisaran Ottoman dan Qajar Iran menggunakan penyiksaan dalam kasus-kasus ketika bukti tidak langsung menunjukkan seseorang telah melakukan kejahatan, meskipun hukum Islam secara tradisional menganggap bukti yang diperoleh di bawah penyiksaan tidak dapat diterima.[22]
Penghapusan dan penggunaannya yang berlanjut
Selama abad ketujuh belas, penyiksaan tetap legal, tetapi intensitas praktiknya menurun.[23] Ketika dihapuskan di abad ke-18 dan awal abad ke-19, penyiksaan tidak lagi menjadi sangat penting bagi sistem peradilan pidana di negara-negara Eropa.[24] Teori-teori yang membuat penyiksaan dihapuskan antara lain karena munculnya ide-ide Pencerahan tentang nilai kehidupan manusia,[25] pengurangan standar pembuktian dalam kasus pidana, pandangan populer yang tidak lagi melihat rasa sakit sebagai penebusan moral,[23] dan perluasan penjara sebagai pengganti atas eksekusi atau hukuman yang menyakitkan.[25] Tingkat penggunaan penyiksaan menurun setelah praktik penyiksaan dihapus dan semakin dianggap tidak dapat diterima.[26] Tidak diketahui apakah penyiksaan juga menurun di negara-negara non-Barat atau koloni Eropa selama abad kesembilan belas.[27] Di Tiongkok, penyiksaan yudisial—dipraktikkan selama lebih dari dua milenium, yakni sejak dinasti Han[14] — pencambukan, dan lingchi (pemotongan) sebagai alat eksekusi dilarang pada tahun 1905.[28] Penyiksaan di Tiongkok terus berlanjut sepanjang abad kedua puluh dan dua puluh satu.[29]
Penyiksaan digunakan secara luas oleh kekuatan kolonial untuk menundukkan perlawanan; penyiksaan kolonial mencapai puncaknya ketika terjadi perang anti-kolonial di abad kedua puluh.[30] Diperkirakan 300.000 orang disiksa selama Perang Kemerdekaan Aljazair (1954–1962),[31] dan Inggris serta Portugal juga menggunakan penyiksaan dalam upaya mempertahankan teritori kerajaan mereka.[32] Negara-negara merdeka di Afrika, Timur Tengah, dan Asia sering menggunakan penyiksaan pada abad kedua puluh, tetapi tidak diketahui apakah itu terdapat peningkatan dibandingkan pada periode abad kesembilan belas.[30] Penggunaan penyiksaan di Eropa meningkat karena penemuan polisi rahasia,[33] Perang Dunia I dan Perang Dunia II, dan munculnya negara komunis dan fasis.[10]
Penyiksaan juga digunakan oleh pemerintah komunis dan anti-komunis selama Perang Dingin di Amerika Latin, dengan perkiraan 100.000 hingga 150.000 korban penyiksaan oleh rezim yang didukung Amerika Serikat.[34] Satu-satunya negara dengan praktik penyiksaan jarang terjadi selama abad kedua puluh adalah negara-negara demokrasi liberal Barat, tetapi bahkan di sana penyiksaan digunakan terhadap etnis minoritas atau tersangka kriminal dari kelas yang terpinggirkan, dan selama perang di luar negeri melawan penduduk asing.[30] Setelah serangan 9/11, pemerintah Amerika Serikat memulai program penyiksaan di luar negeri sebagai bagian dari "perang melawan teror".[35] Penggunaan penyiksaan oleh Amerika Serikat di Abu Ghraib diungkapkan kepada publik dan menarik perhatian internasional.[36] Meskipun pemerintahan George W. Bush mencemooh larangan internasional atas penyiksaan, pemerintah Amerika Serikat menyebut metodenya "teknik interogasi yang ditingkatkan" dan menyangkal bahwa praktik itu adalah penyiksaan.[37] Sebuah studi tahun 2016 menyimpulkan bahwa penyiksaan telah menurun di 16 negara sejak 1985, meskipun praktik penyiksaan juga memburuk di beberapa negara lain.[38]
Kelaziman
Meskipun hanya sedikit negara yang mengakui telah melakukan penyiksaan, hal itu dipraktikkan oleh sebagian besar negara.[40] Larangan penyiksaan tidak sepenuhnya menghentikan negara untuk melakukan penyiksaan; sebaliknya, mereka mengubah teknik yang digunakan, menyangkal, menutupi, atau mengalihdayakan program penyiksaan.[41] Mengukur tingkat terjadinya penyiksaan itu sulit dilakukan karena biasanya dilakukan secara rahasia, dan melaporkan kasus-kasus seperti itu dipengaruhi oleh paradoks informasi hak asasi manusia; pelanggaran lebih mungkin terungkap dalam masyarakat terbuka yang mempunyai komitmen untuk melindungi hak asasi manusia.[42] Meskipun fokus baru-baru ini bergeser untuk memasukkan tempat penahanan lain, seperti pusat penahanan imigrasi atau penahanan pemuda,[43][44] perkiraan yang tersedia kurang merepresentasikan penyiksaan karena tidak termasuk orang-orang yang tidak mau melapor. Penyiksaan yang terjadi di luar tahanan—termasuk hukuman di luar proses hukum, intimidasi, dan pengendalian massa—secara historis tidak ikut dihitung.[45] Bahkan terdapat lebih sedikit informasi tentang prevalensi penyiksaan sebelum abad kedua puluh.[10]
Dibandingkan negara-negara lainnya, negara-negara Demokrasi liberal cenderung tidak melakukan kesewenang-wenangan kepada warga negaranya. Akan tetapi mereka tetap melakukan pelanggaran, termasuk melakukan penyiksaan terhadap warga yang terpinggirkan atau orang-orang non-warga negara. [46] Para pemilih mungkin mendukung kekerasan terhadap kelompok luar yang dianggap mengancam; institusi mayoritas tidak efektif dalam mencegah penyiksaan terhadap kelompok minoritas atau orang asing.[47] Perubahan politik yang signifikan, seperti transisi ke demokrasi, sering disebut-sebut sebagai alasan perubahan dalam praktik penyiksaan.[48] Penyiksaan lebih mungkin terjadi ketika suatu masyarakat merasa terancam karena perang atau krisis,[46] tetapi penelitian belum dapat menarik hubungan yang konsisten antara penggunaan penyiksaan dan serangan teroris.[49]
Penyiksaan ditujukan terhadap segmen tertentu dari populasi, yang tidak mendapatkan perlindungan terhadap penyiksaan seperti orang-orang lainnya.[50] Penyiksaan terhadap tahanan politik atau selama konflik bersenjata telah mendapat perhatian yang kurang proporsional.[51] Sebagian besar korban penyiksaan diduga melakukan kejahatan; jumlah korban yang tidak proporsional berasal dari komunitas miskin atau terpinggirkan, terutama pemuda pengangguran, kaum miskin kota, dan kelompok LGBT.[52] Kemiskinan dan ketidaksetaraan yang dihasilkan membuat orang miskin rentan terhadap penyiksaan.[53] Kelompok lain yang sangat rentan terhadap penyiksaan termasuk pengungsi dan migran, etnis atau ras minoritas, penduduk asli, dan penyandang disabilitas.[54] Kekerasan rutin terhadap orang-orang miskin dan yang terpinggirkan sering kali tidak dilihat sebagai penyiksaan, dan para pelakunya membenarkan kekerasan tersebut sebagai taktik pemolisian yang sah,[55] sementara para korban kekurangan sumber daya atau berjuang untuk mencari ganti rugi.[53] Kriminalisasi tunawisma, pekerja seks, atau bekerja di ekonomi informal dapat menjadi alasan bagi kekerasan polisi terhadap orang miskin.[56] Penyiksaan dianggap sebagai peristiwa luar biasa, mengabaikan kekerasan rutin yang dilakukan oleh negara.[57]
Tindakan
Banyak penyiksa melihat tindakan mereka untuk mencapai tujuan politik atau ideologis yang lebih tinggi yang membenarkan penyiksaan sebagai cara yang sah untuk melindungi negara.[58] Budaya penyiksaan menghargai pengendalian diri, disiplin, dan profesionalisme sebagai nilai positif, membantu penyiksa untuk mempunyai citra yang positif.[59] Tindakan penyiksa yang menimbulkan lebih banyak penderitaan untuk menghancurkan korban atau bertindak berdasarkan motif yang tidak diperbolehkan (balas dendam, kepuasan seksual) ditolak oleh rekan kerjanya atau dibebaskan dari tugasnya.[60] Korban penyiksaan seringkali dipandang oleh para pelaku sebagai ancaman serius dan musuh negara.[61] Filsuf Jessica Wolfendale berpendapat bahwa karena "keputusan untuk menyiksa seseorang melibatkan penolakan untuk melihat status korban sebagai seorang manusia, yang menetapkan batasan pada apa yang dapat dilakukan terhadapnya", korbannya sering dianggap bukan sebagai manusia sepenuhnya sebelum mereka disiksa.[50] Psikiater Pau Pérez-Sales menemukan bahwa seorang penyiksa dapat bertindak dari berbagai motif seperti komitmen ideologis, keuntungan pribadi, keterikatan kelompok, untuk menghindari hukuman, atau untuk menghindari rasa bersalah dari tindakan penyiksaan yang dilakukan sebelumnya.[62]
Kombinasi upaya disposisional dan situasional membuat seseorang menjadi penyiksa.[62] Dalam kebanyakan kasus penyiksaan yang dilakukan secara sistematis, para penyiksa tidak peka terhadap kekerasan karena telah terpapar oleh kekerasan fisik atau penyalahgunaan psikologis selama pelatihan.[63] Wolfendale berpendapat bahwa pelatihan militer bertujuan untuk menanamkan kepatuhan yang tidak boleh dipertanyakan, dan oleh karenanya membuat personel militer lebih cenderung menjadi penyiksa.[64] Bahkan ketika penyiksaan tidak diperintahkan secara eksplisit oleh pemerintah,[65] pelaku mungkin merasakan tekanan rekan sebaya untuk menyiksa karena menolak dianggap lemah atau tidak jantan.[66] Unit polisi elit dan khusus juga sangat rentan untuk melakukan penyiksaan, karena sifatnya yang erat satu sama lain dan terpisah dari pengawasan.[65]
Penyiksaan dapat menjadi efek samping dari sistem peradilan pidana yang rusak karena kekurangan dana, kurangnya independensi peradilan, atau korupsi yang merusak investigasi yang efektif dan pengadilan yang adil.[67] Dalam konteks ini, orang miskin atau orang yang terpinggirkan dan tidak mampu membayar suap cenderung menjadi korban penyiksaan.[68] Polisi yang kekurangan staf atau kurang terlatih lebih cenderung menggunakan penyiksaan saat menginterogasi tersangka.[69] Di beberapa negara, seperti Kirgistan, tersangka lebih mungkin disiksa pada akhir bulan karena adanya kuota kinerja.[69]
Pelaku penyiksaan tidak akan bisa terus aktif tanpa dukungan dari pihak lain yang mendukung terjadinya penyiksaan dan banyak pengamat yang mengabaikan penyiksaan.[70] Profesional militer, intelijen, psikologi, medis, dan hukum dapat membantu membangun budaya penyiksaan.[59] Insentif dapat mendukung penggunaan penyiksaan pada tingkat institusional atau individu; beberapa pelaku dimotivasi oleh prospek kemajuan karir.[71] Birokrasi menyebarkan tanggung jawab atas penyiksaan, membantu pelaku memaafkan tindakan penyiksaan yang mereka lakukan.[63] Menjaga kerahasiaan dan menyembunyikan pelanggaran dari publik seringkali penting untuk mempertahankan program penyiksaan, yang dapat dilakukan dengan beragam cara yang berbeda, mulai dari penyensoran langsung, penolakan atau pemberian label yang salah sebagai tindakan yang lain, hingga pelanggaran lepas pantai di luar wilayah negara.[72] Seiring dengan bantahan secara resmi, penyiksaan didorong oleh pelepasan moral dari korban dan impunitas (non-penuntutan) bagi pelaku[47] — yang menyebabkan penuntutan pidana untuk penyiksaan jarang terjadi.[73]
Penyiksaan sulit atau tidak mungkin untuk diatasi dan meluas ke teknik yang lebih parah dengan kelompok korban yang lebih besar di luar apa yang semula dimaksudkan atau diinginkan oleh pembuat keputusan tingkat tinggi.[74] Eskalasi penyiksaan sangat sulit dikendalikan dalam operasi kontra-pemberontakan.[66] Penyiksaan dan teknik penyiksaan khusus tersebar di berbagai negara, terutama oleh tentara yang pulang dari perang di luar negeri, tetapi proses ini kurang dipahami.[75]
Tujuan
Hukuman
Penyiksaan sebagai hukuman sudah ada sejak zaman kuno, dan masih digunakan di abad ke-21.[12] Ketika sistem peradilan tidak berfungsi atau penjara penuh sesak, polisi melakukan penyiksaan sebagai hukuman instan pada pemuda-pemuda dan membebaskan mereka tanpa tuntutan; praktek ini umum di banyak negara di dunia.[76] Penyiksaan semacam itu dapat dilakukan di kantor polisi[77] rumah korban, atau di tempat umum.[78] Di Afrika Selatan, polisi terlihat menyerahkan tersangka kepada warga.[79] Jenis kekerasan di luar proses hukum ini sering dilakukan di depan umum. Hal ini secara diskriminatif menargetkan kelompok minoritas dan kelompok terpinggirkan dan mungkin didukung oleh opini publik, terutama ketika orang tidak mempercayai sistem peradilan resmi.[80]
Klasifikasi hukuman badan sebagai penyiksaan merupakan hal yang kontroversial secara internasional, meskipun secara eksplisit dilarang di bawah Konvensi Jenewa.[81] Beberapa penulis, seperti John D. Bessler, berpendapat bahwa hukuman mati secara inheren merupakan bentuk penyiksaan yang dilakukan sebagai hukuman.[82] Eksekusi dapat dilakukan dengan cara brutal, seperti rajam, kematian dengan cara dibakar, atau pemotongan anggota tubuh.[83] Di Eropa periode modern awal, eksekusi publik adalah cara untuk menunjukkan kekuatan negara, menginspirasi kekaguman dan kepatuhan, dan menghalangi orang lain untuk melakukan hal yang sama.[84] Kerugian psikologis dari hukuman mati, misalnya, fenomena hukuman mati, kadang-kadang dianggap sebagai bentuk penyiksaan psikologis.[85] Penulis lainnya membedakan hukuman fisik dengan hukuman tetap dari penyiksaan, karena hukum ini tidak berusaha untuk melanggar kehendak korban.[86]
Pencegahan
Penyiksaan juga dapat dilakukan tanpa pandang bulu untuk meneror orang selain korban langsung atau menghalangi oposisi terhadap pemerintah.[87] Penyiksaan digunakan untuk mencegah budak melarikan diri atau memberontak.[88] Beberapa pembela penyiksaan dalam proses yudisial sebelum penghapusannya melihat penyiksaan sebagai sarana yang berguna untuk mencegah kejahatan; kelompok reformis berpendapat bahwa karena penyiksaan dilakukan secara rahasia, itu tidak bisa menjadi metode pencegahan yang efektif.[89] Pada abad kedua puluh, contoh terkenal termasuk Khmer Merah[87] dan rezim anti-komunis di Amerika Latin, yang sering menyiksa dan membunuh korbannya sebagai bagian dari penghilangan paksa.[90] Rezim yang lemah lebih cenderung menggunakan penyiksaan untuk mencegah oposisi;[91] banyak rezim otoriter yang melakukan represi tanpa pandang bulu.[92] Meskipun beberapa pemberontakan juga menggunakan penyiksaan, banyak yang tidak memiliki infrastruktur yang diperlukan untuk melakukan penyiksaan dan malah melakukan intimidasi dengan melakukan pembunuhan.[93] Penelitian telah menunjukkan bahwa penyiksaan negara dapat memperpanjang umur organisasi teroris, meningkatkan insentif bagi pemberontak untuk menggunakan kekerasan, dan meradikalisasi oposisi.[94] Peneliti James Worrall dan Victoria Penziner Hightower berpendapat bahwa penyiksaan secara sistematis yang dilakukan pemerintah Suriah selama perang saudara Suriah menunjukkan bahwa penggunaannya yang meluas dapat efektif dalam menanamkan rasa takut ke dalam kelompok atau lingkungan tertentu selama perang saudara.[95] Bentuk lain dari penyiksaan untuk pencegahan adalah kekerasan terhadap migran, seperti yang telah dilaporkan selama penolakan di perbatasan luar Uni Eropa.[96]
Pengakuan
Interogasi
Metode
Dampak
Opini publik
Pelarangan
Pencegahan
Referensi
- ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 326.
- ^ Nowak 2014, hlm. 396–397.
- ^ Nowak 2014, hlm. 394–395.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 37–38.
- ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 279–280.
- ^ Hajjar 2013, hlm. 40.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 37.
- ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 3, 281.
- ^ Wisnewski 2010, hlm. 73–74.
- ^ a b c Einolf 2007, hlm. 104.
- ^ Meyer et al. 2015, hlm. 11217.
- ^ a b Hajjar 2013, hlm. 14.
- ^ Barnes 2017, hlm. 26–27.
- ^ a b c Evans 2020, History of Torture.
- ^ Einolf 2007, hlm. 107.
- ^ Beam 2020, hlm. 392.
- ^ Einolf 2007, hlm. 107–108.
- ^ Hajjar 2013, hlm. 16.
- ^ Beam 2020, hlm. 398, 405.
- ^ Beam 2020, hlm. 394.
- ^ Wisnewski 2010, hlm. 34.
- ^ Einolf 2007, hlm. 108.
- ^ a b Einolf 2007, hlm. 109.
- ^ Einolf 2007, hlm. 104, 109.
- ^ a b Hajjar 2013, hlm. 19.
- ^ Einolf 2007, hlm. 110.
- ^ Einolf 2007, hlm. 111.
- ^ Bourgon 2003, hlm. 851.
- ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 155.
- ^ a b c Einolf 2007, hlm. 112.
- ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 148–149.
- ^ Barnes 2017, hlm. 94.
- ^ Wisnewski 2010, hlm. 38.
- ^ Einolf 2007, hlm. 111–112.
- ^ Hajjar 2013, hlm. 1–2.
- ^ Hajjar 2013, hlm. 7.
- ^ Wisnewski 2010, hlm. 44–45.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 45–46.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 39.
- ^ Kelly 2019, hlm. 2.
- ^ Barnes 2017, hlm. 182.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 36.
- ^ Rejali 2020, hlm. 84–85.
- ^ Kelly et al. 2020, hlm. 65.
- ^ Kelly 2019, hlm. 3–4.
- ^ a b Einolf 2007, hlm. 106.
- ^ a b Evans 2020, Political and Institutional Influences on the Practice of Torture.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 47.
- ^ Rejali 2020, hlm. 82.
- ^ a b Wolfendale 2019, hlm. 89.
- ^ Oette 2021, hlm. 307.
- ^ Kelly 2019, hlm. 5, 7.
- ^ a b Kelly et al. 2020, hlm. 70.
- ^ Oette 2021, hlm. 321.
- ^ Celermajer 2018, hlm. 164–165.
- ^ Oette 2021, hlm. 329–330.
- ^ Oette 2021, hlm. 308.
- ^ Wisnewski 2010, hlm. 192–193.
- ^ a b Wolfendale 2019, hlm. 92.
- ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 62–63.
- ^ Wisnewski 2010, hlm. 194–195.
- ^ a b Pérez-Sales 2016, hlm. 106.
- ^ a b Collard 2018, hlm. 166.
- ^ Wisnewski 2010, hlm. 193.
- ^ a b Wisnewski 2010, hlm. 193–194.
- ^ a b Rejali 2020, hlm. 90.
- ^ Celermajer 2018, hlm. 178.
- ^ Celermajer 2018, hlm. 161.
- ^ a b Carver & Handley 2016, hlm. 79.
- ^ Huggins 2012, hlm. 47, 54.
- ^ Huggins 2012, hlm. 62.
- ^ Huggins 2012, hlm. 57, 59–60.
- ^ Carver & Handley 2016, hlm. 84–86, 88.
- ^ Hassner 2020, hlm. 18–20.
- ^ Collard 2018, hlm. 158, 165.
- ^ Oette 2021, hlm. 331.
- ^ Celermajer 2018, hlm. 167–168.
- ^ Jensena et al. 2017, hlm. 404, 408.
- ^ Kelly et al. 2020, hlm. 75.
- ^ Kelly et al. 2020, hlm. 74.
- ^ Nowak 2014, hlm. 408–409.
- ^ Nowak 2014, hlm. 393.
- ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 414, 422, 427.
- ^ Beam 2020, hlm. 395.
- ^ Bessler 2018, hlm. 33.
- ^ Evans 2020, The Definition of Torture.
- ^ a b Hajjar 2013, hlm. 23.
- ^ Young & Kearns 2020, hlm. 7.
- ^ Barnes 2017, hlm. 26, 38, 41.
- ^ Hajjar 2013, hlm. 28.
- ^ Worrall & Hightower 2021, hlm. 4.
- ^ Blakeley 2007, hlm. 392.
- ^ Rejali 2009, hlm. 38.
- ^ Hassner 2020, hlm. 21–22.
- ^ Worrall & Hightower 2021, hlm. 7–8, 10.
- ^ Guarch-Rubio et al. 2020, hlm. 69, 78.
Daftar pustaka
Buku
- Barnes, Jamal (2017). A Genealogy of the Torture Taboo (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-1-351-97773-9.
- Carver, Richard; Handley, Lisa (2016). Does Torture Prevention Work? (dalam bahasa Inggris). Liverpool University Press. ISBN 978-1-78138-868-6.
- Celermajer, Danielle (2018). The Prevention of Torture: An Ecological Approach (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-108-63389-5.
- Collard, Melanie (2018). Torture as State Crime: A Criminological Analysis of the Transnational Institutional Torturer. Routledge. ISBN 978-1-315-45611-9.
- Hajjar, Lisa (2013). Torture: A Sociology of Violence and Human Rights (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-0-415-51806-2.
- Pérez-Sales, Pau (2016). Psychological Torture: Definition, Evaluation and Measurement (dalam bahasa Inggris). Taylor & Francis. ISBN 978-1-317-20647-7.
- Rejali, Darius (2009). Torture and Democracy (dalam bahasa Inggris). Princeton University Press. ISBN 978-1-4008-3087-9.
- Wisnewski, J. Jeremy (2010). Understanding Torture (dalam bahasa Inggris). Edinburgh University Press. ISBN 978-0-7486-8672-8.
- Young, Joseph K.; Kearns, Erin M. (2020). Tortured Logic: Why Some Americans Support the Use of Torture in Counterterrorism (dalam bahasa Inggris). Columbia University Press. ISBN 978-0-231-54809-0.
Bab buku
- Beam, Sara (2020). "Violence and Justice in Europe: Punishment, Torture and Execution". The Cambridge World History of Violence: Volume 3: AD 1500–AD 1800. Cambridge University Press. hlm. 389–407. ISBN 978-1-107-11911-6.
- Evans, Rebecca (2020). "The Ethics of Torture: Definitions, History, and Institutions". Oxford Research Encyclopedia of International Studies (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. doi:10.1093/acrefore/9780190846626.013.326. ISBN 978-0-19-084662-6.
- Kelly, Tobias; Jensen, Steffen; Andersen, Morten Koch (2020). "Fragility, states and torture". Research Handbook on Torture: Legal and Medical Perspectives on Prohibition and Prevention. Edward Elgar Publishing. hlm. 63–79. ISBN 978-1-78811-396-0.
- Nowak, Manfred (2014). "Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment". The Oxford Handbook of International Law in Armed Conflict (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 387–409. ISBN 978-0-19-163269-3.
- Pérez-Sales, Pau (2020). "Psychological torture". Research Handbook on Torture: Legal and Medical Perspectives on Prohibition and Prevention. Edward Elgar Publishing. hlm. 432–454. ISBN 978-1-78811-396-0.
- Quiroga, José; Modvig, Jens (2020). "Torture methods and their health impact". Research Handbook on Torture: Legal and Medical Perspectives on Prohibition and Prevention. Edward Elgar Publishing. hlm. 410–431. ISBN 978-1-78811-396-0.
- Rejali, Darius (2020). "The Field of Torture Today: Ten Years On from Torture and Democracy". Interrogation and Torture: Integrating Efficacy with Law and Morality. Oxford University Press. hlm. 71–106. ISBN 978-0-19-009752-3.
- Saul, Ben; Flanagan, Mary (2020). "Torture and counter-terrorism". Research Handbook on International Law and Terrorism (dalam bahasa Inggris). Edward Elgar Publishing. hlm. 354–370. ISBN 978-1-78897-222-2.
- Shue, Henry (2015). "Torture". The Routledge Handbook of Global Ethics. Routledge. hlm. 113–126. ISBN 978-1-315-74452-0.
- Thomson, Mark; Bernath, Barbara (2020). "Preventing Torture: What Works?". Interrogation and Torture: Integrating Efficacy with Law and Morality. Oxford University Press. hlm. 471–492. ISBN 978-0-19-009752-3.
- Wolfendale, Jessica (2019). "The Making of a Torturer". The Routledge International Handbook of Perpetrator Studies. Routledge. hlm. 84–94. ISBN 978-1-315-10288-7.
Artikel jurnal
- Bessler, John D. (2018). "The Abolitionist Movement Comes of Age: From Capital Punishment as Lawful Sanction to a Peremptory, International Law Norm Barring Executions". Montana Law Review. 79: 7–48. ISSN 0026-9972.
- Bourgon, Jérôme (2003). "Abolishing 'Cruel Punishments': A Reappraisal of the Chinese Roots and Long-term Efficiency of the Xinzheng Legal Reforms". Modern Asian Studies. 37 (4): 851–862. doi:10.1017/S0026749X03004050.
- Blakeley, Ruth (2007). "Why torture?" (PDF). Review of International Studies. 33 (3): 373–394. doi:10.1017/S0260210507007565.
- Einolf, Christopher J. (2007). "The Fall and Rise of Torture: A Comparative and Historical Analysis". Sociological Theory. 25 (2): 101–121. doi:10.1111/j.1467-9558.2007.00300.x.
- Einolf, Christopher J (2022). "How Torture Fails: Evidence of Misinformation from Torture-Induced Confessions in Iraq". Journal of Global Security Studies. 7 (1). doi:10.1093/jogss/ogab019.
- Guarch-Rubio, Marta; Byrne, Steven; Manzanero, Antonio L. (2020). "Violence and torture against migrants and refugees attempting to reach the European Union through Western Balkans". Torture Journal (dalam bahasa Inggris). 30 (3): 67–83. doi:10.7146/torture.v30i3.120232. ISSN 1997-3322.
- Hamid, Aseel; Patel, Nimisha; Williams, Amanda C. de C. (2019). "Psychological, social, and welfare interventions for torture survivors: A systematic review and meta-analysis of randomised controlled trials". PLOS Medicine. 16 (9): e1002919. doi:10.1371/journal.pmed.1002919. PMC 6759153 . PMID 31550249.
- Hassner, Ron E. (2020). "What Do We Know about Interrogational Torture?". International Journal of Intelligence and CounterIntelligence. 33 (1): 4–42. doi:10.1080/08850607.2019.1660951.
- Hatz, Sophia (2021). "What Shapes Public Support for Torture, and Among Whom?". Human Rights Quarterly. 43 (4): 683–698. doi:10.1353/hrq.2021.0055.
- Houck, Shannon C.; Repke, Meredith A. (2017). "When and why we torture: A review of psychology research". Translational Issues in Psychological Science. 3 (3): 272–283. doi:10.1037/tps0000120.
- Huggins, Martha K. (2012). "State Torture: Interviewing Perpetrators, Discovering Facilitators, Theorizing Cross-Nationally - Proposing "Torture 101"". State Crime Journal. 1 (1): 45–69. ISSN 2046-6056. JSTOR 41917770.
- Jensena, Steffen; Kelly, Tobias; Andersen, Morten Koch; Christiansen, Catrine; Sharma, Jeevan Raj (2017). "Torture and Ill-Treatment Under Perceived: Human Rights Documentation and the Poor". Human Rights Quarterly. 39 (2): 393–415. doi:10.1353/hrq.2017.0023. ISSN 1085-794X.
- Kelly, Tobias (2019). "The Struggle Against Torture: Challenges, Assumptions and New Directions". Journal of Human Rights Practice. 11 (2): 324–333. doi:10.1093/jhuman/huz019.
- Meyer, Christian; Lohr, Christian; Gronenborn, Detlef; Alt, Kurt W. (2015). "The massacre mass grave of Schöneck-Kilianstädten reveals new insights into collective violence in Early Neolithic Central Europe". Proceedings of the National Academy of Sciences. 112 (36): 11217–11222. Bibcode:2015PNAS..11211217M. doi:10.1073/pnas.1504365112 . PMC 4568710 . PMID 26283359.
- Oette, Lutz (2021). "The Prohibition of Torture and Persons Living in Poverty: From the Margins to the Centre". International & Comparative Law Quarterly (dalam bahasa Inggris). 70 (2): 307–341. doi:10.1017/S0020589321000038. ISSN 0020-5893.
- Williams, Amanda C. de C.; Hughes, John (2020). "Improving the assessment and treatment of pain in torture survivors". BJA Education. 20 (4): 133–138. doi:10.1016/j.bjae.2019.12.003. PMC 7807909 . PMID 33456942 Periksa nilai
|pmid=
(bantuan). - Worrall, James; Hightower, Victoria Penziner (2021). "Methods in the madness? Exploring the logics of torture in Syrian counterinsurgency practices". British Journal of Middle Eastern Studies: 1–15. doi:10.1080/13530194.2021.1916154.
Pranala luar
- Medieval Torture - Development, equipment and techniques in Europe
- Chinese Methods of Torture and Execution Photograph collection at University of Victoria, Special Collections
- CPT Database (by the European Committee for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
- Freedom from Torture Diarsipkan 2012-08-26 di Wayback Machine. (mostly free) publications and research
- Atlas of Torture - Overview of the situation of torture and ill-treatment around the world (by the Ludwig Boltzmann Institute of Human Rights (BIM) in Vienna, Austria)
- [1] - The International Rehabilitation Council for Torture Victims (based in Copenhagen, Denmark)