Buddhisme di Indonesia

artikel daftar Wikimedia
Revisi sejak 11 Februari 2023 12.35 oleh Arya-Bot (bicara | kontrib) (Referensi: pembersihan kosmetika dasar, removed stub tag)

Buddhisme di Indonesia memiliki sejarah panjang. Selama era Orde Baru, terdapat lima agama resmi di Indonesia, menurut ideologi Pancasila, salah satunya adalah Buddhisme. Presiden Soeharto telah menganggap Buddhisme dan Hinduisme sebagai agama klasik bangsa Indonesia.

Biksu berdoa di Candi Borobudur, struktur Buddhis terbesar di dunia yang dibangun oleh wangsa Syailendra.

Buddhisme merupakan salah satu agama tertua yang ada di dunia. Buddhisme berasal dari anak benua India sejak abad ke-6 SM dan tetap bertahan hingga sekarang. Buddhisme berkembang cukup baik di Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara, seperti di Taiwan, Thailand, dan Myanmar. Buddhisme kemudian masuk ke Nusantara dan menjadi salah satu agama tua di Indonesia.

Buddhisme yang menyebar di Nusantara pada awalnya adalah sebuah paham intelektual, dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam prosesnya, kebutuhan politik, dan keinginan emosi pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam Buddhisme. Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualis, yaitu semua individu, baik laki-laki maupun perempuan bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka sendiri. Siapa pun bisa bermeditasi sendiri; candi tidak diperlukan, dan tidak ada pendeta yang diperlukan untuk bertindak sebagai perantara. Masyarakat menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk mengasah kerangka pikiran yang tepat untuk membantu umat dalam pengabdian dan kesadaran diri mereka.

Meskipun di Indonesia berbagai aliran melakukan pendekatan pada ajaran Buddhisme dengan cara-cara yang berbeda, fitur utama dari Buddhisme di Indonesia adalah pengakuan dari "Empat Kebenaran Mulia" dan "Jalan Utama Berunsur Delapan". Empat Kebenaran Mulia melibatkan pengakuan bahwa semua eksistensi dipenuhi penderitaan; asal mula penderitaan adalah keinginan untuk objek duniawi; penderitaan dihentikan pada saat keinginan berhenti; dan Jalan Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Jalan Utama Berunsur Delapan mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.

Masa Kerajaan Hindu-Buddha

Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar pada abad ke-5 Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien.[1] Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kedatuan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7 sampai ke tahun 1377. Kedatuan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.

Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha yaitu Kerajaan Syailendra, tepatnya di Jawa Tengah sekarang, meskipun tidak sebesar Kedatuan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada tahun 775-850, dan meninggalkan peninggalan berupa beberapa candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang antara lain Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi Pawon. Setelah itu pada tahun 1292 hingga 1478, berdiri Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang ada di Indonesia. Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada. Namun karena terjadi perpecahan internal dan juga tidak adanya penguasa pengganti yang menyamai kejayaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, maka Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, maka kerajaan Hindu-Buddha mulai tergeser oleh kerajaan-kerajaan Islam.

Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kedatuan Sriwijaya, mayoritas penduduk pada daerah tersebut merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada daerah Nusantara bagian Jawa dan Sumatra. Namun, setelah berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk agama Buddha semakin berkurang karena tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-pedagang yang bermukim di daerah pesisir. Jumlah umat Buddha di Indonesia juga tidak berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia semakin berkurang karena bangsa Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.

Kedatuan Sriwijaya

 
Wilayah kekuasaan Kedatuan Sriwijaya sekitar abad ke-8.
 
Stupa Buddha di Candi Borobudur yang dibangun Dinasti Syailendra.

Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim yang berada di Sumatra, namun kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta, sri adalah "bercahaya" dan vijaya adalah "kemenangan". Kedatuan Sriwijaya mula-mula berdiri sekitar tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377. Kedatuan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang sempat terlupakan, yang kemudian dikenalkan kembali oleh sarjana Prancis, bernama George Cœdès pada tahun 1920-an.[2][3] George Cœdès memperkenalkan kembali sriwijaya berdasarkan penemuannya dari prasasti dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Coedes kemudian dimuat dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.[3] Dan sejak saat itu Kedatuan Sriwijaya mulai dikenal kembali oleh masyarakat. Hilangnya kabar mengenai keberadaan Sriwijaya diakibatkan oleh sedikitnya jumlah peninggalan yang ditinggalkan oleh Kedatuan Sriwijaya sebelum runtuh. Beberapa penyebab runtuhnya Kedatuan Sriwijaya, yaitu:

Serangan ini berhasil menawan raja Sriwijaya dan kemudian Dinasti Chola menjadi berkuasa atas Kedatuan Sriwijaya. Akibat dari serangan ini, kedudukan Kedatuan Sriwijaya di nusantara mulai melemah.

Setelah melemahnya kekuasaan Dinasti Chola, kemudian muncul kerajaan Dharmasraya yang mengambil alih Semenanjung Malaya dan juga menekan keberadaan Kedatuan Sriwijaya.

  • Kekalahan perang dari kerajaan lain[2]

Alasan lain yang menyebabkan runtuhnya Sriwijaya yaitu perang dengan kerajaan lain seperti Singosari, Majapahit serta Dharmasraya. Selain sebagai penyebab runtuhnya Sriwijaya, perang ini juga menyebabkan banyak peninggalan sriwijya yang rusak atau hilang, sehingga keberadaan Kedatuan Sriwijaya terlupakan selama beberapa abad.

Perkembangan agama Buddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui berdasarkan laporan I-Tsing. Sebelum melakukan studi ke Universitas Nalanda di India, I-Tsing melakukan kunjungan ke Kedatuan Sriwijaya. Berdasarkan catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah bagi sarjana Buddha, dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Hal ini membuktikan bahwa selama masa Kedatuan Sriwijaya, agama Buddhis berkembang sangat pesat. Selain itu I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha Theravada (kadang disebut Hinayana) dan Mahayana. Dan kemudian semakin lama buddhisme di Sriwijaya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.[4] Pesatnya perkembangan agama Buddhis di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, yaitu Sakyakirti, nama Sakyakirti ini berasal dari I-tsing yang berkenalan saat singgah di sriwijaya.[5] Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan ada perguruan buddhis yang memiliki hubungan baik dengan Universitas Nalanda, India, sehingga ada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini.[5] Dalam catatannya, I-tsing juga menulis ada lebih dari 1000 pendeta yang belajar buddhis di Sriwijaya.

Kerajaan Majapahit

 
Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Kakawin Nagarakretagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.[6]

Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.

Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan bersifat agama Siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual, misalnya Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya(Kertarajasa) ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Pada zaman majapahit ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana yaitu Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada biksu yang sedang ditahbiskan, dan Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Tampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa dengan Buddha dan menyebutnya sebagai "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu kesadaran tertinggi.

Pada zaman Majapahit (1292-1478), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Siwa, Hindu-Wisnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai "Harihara" yaitu rupang (arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki posisi timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki posisi selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki posisi barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu, para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara Agama Buddha dengan Siwa . Dalam kitab Kunjarakarna disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, antara lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.

Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, tampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.

Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Raja Brawijaya V (1468-1478) dan runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.

Masa Indonesia modern

Masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul orang-orang yang peduli dan melestarikan agama Buddha di Indonesia, dimulai dengan seorang bhikkhu dari Ceylon (sekarang Sri Lanka) bernama Narada Maha Thera. Pada tahun 1934 ia mengunjungi Hindia Belanda (sekarang Indonesia) sebagai bhikkhu Theravada pertama yang datang untuk menyebarkan ajaran Buddha setelah lebih dari 450 tahun jatuhnya kerajaan Hindu-Buddha terakhir di kepulauan nusantara.[7] Kedatangannya mulai menumbuhkan kembali minat untuk mempelajari Buddhisme di Hindia Belanda. Animo ini kemudian diperkuat oleh seorang bhikku dari Indonesia yang ditahbiskan di Birma (sekarang Myanmar) yang bernama bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dan dimulailah kembali perkembangan agama Buddha di Indonesia, di mana perlahan-lahan agama Buddha mulai dikenal kembali.

Pasca Gerakan 30 September

Setelah terjadinya usaha kudeta Gerakan 30 September yang gagal pada tahun 1965, setiap adanya petunjuk penyimpangan dari ajaran monoteistik Pancasila dianggap sebagai pengkhianatan. Untuk mempertahankan agama Buddha di Indonesia, pendiri Perbuddhi, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, mengusulkan adanya penyesuaian dalam dogma Buddhisme di Indonesia, mengenai ketuhanan dalam agama Buddha, maka digagaslah ketuhanan dalam agama Buddha di Indonesia dengan sebutan "Sang Hyang Adi Buddha". Ia mencari bukti dan konfirmasi untuk versi khas Buddhisme Indonesia ini dalam teks-teks Jawa kuno, dan bahkan dari bentuk kompleks candi Buddha di Borobudur di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun-tahun yang mengikuti setelah percobaan kudeta 1965 yang gagal tersebut, ketika semua warga negara Indonesia diharuskan untuk mendaftar dengan denominasi agama tertentu atau dicurigai sebagai simpatisan komunis, jumlah umat yang terdaftar sebagai penggikut Buddhisme naik tajam, beberapa puluh Vihara Buddha baru dibangun. Pada tahun 1987 ada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi dengan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), yaitu: Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan Nichiren.

Menurut perkiraan tahun 1987, ada sekitar 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta dari jumlah tersebut berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan sekitar 0,5 juta dengan aliran Buddhayana yang didirikan oleh Jinarakkhita. Perkiraan lainnya menempatkan umat Buddha hanya sekitar 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang dari 2 juta. Buddhisme saat itu mendapatkan jumlah tersebut karena status yang tidak pasti dari agama Konfusianisme atau Konghucu. Konfusianisme resmi ditoleransi oleh pemerintah sejak jatuhnya administrasi Orde Baru, namun karena agama Konghucu dianggap hanya sebagai suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak diwakili dalam Departemen Agama.

Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian yang kompleks antara ideologi-ideologi agama Timur, budaya adat etnis Tionghoa, dan kebijakan politik. Secara tradisional, Taoisme Cina, Konfusianisme ("Konghucu" dalam Bahasa Indonesia) dan Buddhisme, serta agama Buddha yang lebih kepribumian Perbuddhi, semua memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.

Masa dimulainya Sensus Penduduk

Sensus penduduk yang dimulai pada tahun 1961 menunjukkan pertumbuhan penduduk Indonesia berdasarkan data kuantitatif 1961-1971= 2.1%, 1971-1980=2.32%, 1980-1990=1.97%, 1990-2000=1,48%, 2000-2010=1.3%.[8] Berdasarkan data tersebut, kita dapat mengetahui rata-rata laju pertumbuhan penduduk tiap 10 tahun yaitu, 1.834%. Jadi, kita dapat memprediksi jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1100 yang merupakan mayoritas penganut agama Buddha, yaitu sekitar 24.1 juta penduduk.

Menurut sensus nasional tahun 1990, lebih dari 1% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, sekitar 1,8 juta orang. Kebanyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatra Utara dan Kalimantan Barat. Namun, jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sebenarnya karena pada saat itu Agama Khonghucu dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia sehingga mereka disensuskan sebagai penganut agama Buddha. Pada tahun 2008, jumlah penganut agama Buddha sekitar 1.3 juta penduduk dari 217,346,140 penduduk Indonesia atau sekitar 0.6%. Pada tahun 2010, jumlah penganut agama Buddha sekitar 1,7 juta penduduk dari 237,641,326 penduduk Indonesia atau sekitar 0.72%.[9] Pada sensus terakhir tahun 2018 , tercatat dari [[Badan Pusat Statistik]] bahwa ada 2 juta Umat Buddha dari total 266,534,836 penduduk Indonesia .[10]

Berdasarkan data tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang menganut agama Buddha bertolak belakang dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia.

Agama Buddha di Indonesia paling banyak dianut oleh masyarakat Tionghoa dan beberapa kelompok asli Indonesia, dengan persentase jumlah 1% (Buddhisme saja) sampai 2,3% (termasuk Taoisme dan Konfusianisme) penduduk Indonesia yang termasuk umat Buddha.[11][12]

Perkembangan aliran Buddha di Indonesia

Berkembangnya lagi agama Buddha setelah kerajaan Majapahit dimulai pada tahun 1954 oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Dia adalah Bhikkhu pertama dari Indonesia yang ditahbiskan semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit.

Bhante Ashin Jinarakkhita banyak memberikan sumbangsih kepada perkembangan agama Buddha di Indonesia. Pada tahun 1954, untuk membantu perkembangan agama Buddha secara nasional, maka didirikanlah Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI), dirayakannya hari suci Waisak di Candi Borobudur pada tahun 1956, lalu pembentukan Perbuddhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia) pada tahun 1958.

Pada tahun 1959, untuk pertama kali sejak berakhirnya era Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, diadakan acara penahbisan Bhikkhu di Indonesia, sebanyak 13 orang Bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia untuk menyaksikan penahbisan dua Bhikkhu yang bernama Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu Jinapiya.

Pada tahun 1974, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin Sangha Agung Indonesia yang berasal dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia yang digabungkan. GUBSI (Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia) terbentuk pada tahun 1976 sebagai organisasi tunggal umat Buddha Indonesia yang berasal dari Perbuddhi, Buddha Dharma Indonesia, dan sebagainya.

Perkembangan Mahayana

Aliran Buddha Mahayana diduga datang di antara abad 1 SM hingga 1 M, istilah Mahayana ditemukan di Sutra Saddharma Pundarika. Aliran Mahayana baru dikenal secara jelas pada kira – kira abad ke 2 M, ketika ajaran Mahayana dijelaskan dalam tulisan – tulisan.

Perkembangan ajaran Mahayana di Indonesia pada umumnya terbagi atas dua yaitu Buddha Mahayana dan Buddha Tridharma. Buddha Mahayana merupakan perpaduan sekte Zen dan sekte Sukhavati (unsur ke-Tiongkokannya masih kuat). Buddha Tridharma (Buddha Kelenteng)yang ada di Indonesia adalah perpaduan Buddha Mahayana dengan Taoisme dan Konghucu (Konfusianisme), yaitu budaya Tionghoa tradisi Dao Jiao, Run Jiao, dan budaya lokal. Di mana pengembangnya antara lain Kwee Tek Hoay, Khoe Soe Khiam, Ong Kie Tjay, dan Aggi Tje Tje.

Pada tahun 1978, Bhikkhu-bhikkhu dari aliran Mahayana membentuk Sangha Mahayana Indonesia yang diketuai oleh Bhikkhu Dharmasagaro. Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan ajaran Buddha Mahayana di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia.

Perkembangan Vajrayana

Aliran Buddha Vajrayana atau juga disebut Tantrayana di Indonesia pertama kali dipelopori oleh Romo Giriputre Soemarsono dan Romo Dharmesvara Oke Diputhera pada tahun 19531956 dengan membentuk kelompok Tantrayana yang disebut Kasogatan. Kasogatan dibentuk karena dorongan untuk mengembalikan agama Buddha agar dapat meluas kembali seperti ketika masa zaman kerajaan Majapahit. Kasogatan memiliki arti dan sejarah penting dilihat dari segi kepribadian bangsa. Pada zaman Majapahit, kasogatan merupakan kata yang dipakai untuk menyebut ke-Buddha-an. Kasogatan berasal dari kata "sugata", salah satu gelar maha agung Sang Buddha yang berarti “yang berbahagia”. Ajaran agama Buddha yang berkembang pada masa itu didapat pada kitab suci Sanghyang Kamahayanikan yang dianut oleh umat-umat Buddha pada saat itu.

Kelompok aliran Tantrayana kedua ialah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang didirikan pada tahun 1987. Kelompok ini merupakan kelompok umat Tantrayana yang beraliran Zhanfo Zong, dipimpin oleh seorang umat Buddha bernama Harsono (kini bernama Vajracarya Harsono). Saat itu umat Tantrayana Zhenfo Zong berjumlah lebih kurang 200 umat, mereka melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lainnya karena tidak tersedianya fasilitas yang tetap. Akhirnya dibentuklah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan pembangunan sebuah vihara di daerah Muara Karang dengan nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta sebagai tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia. Pada bulan Oktober 1988, semua pemimpin Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan umat Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia bertemu dan menggabung kedua yayasan ini. Penggabungan ini bermaksud untuk pembauran umat secara wajar melalui agama dan sosial budaya dan terwujudnya agama Buddha yang berorientasi kepada kepribadian dan budaya Indonesia.

Dengan bergabungnya mazhab agama Buddha menjadi sangha-sangha dan majelis-majelis Agama Buddha menjadi anggota Perwakilan Umat Buddha Indonesia, maka Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia berubah nama menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia, diresmikan pada Oktober 1994 lalu berubah menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001.

Perkembangan Theravada

Perkembangan aliran Buddha Theravada dipelopori oleh Bante Vidhurdhammabhorn (Bhante Vin). Pada saat perkembangan agama Buddha yang sedang pesatnya, Bhikkhu-bhikkhu muda ditahbiskan di Wat Bovoranives, Thailand, atas bantuan Bhante Vin. Penahbisan ini diberi izin oleh Bhante Vin sendiri, tidak melalui Bhante Ashin. Bhikkhubhikkhu yang di tahbiskan di Wat Bovoranives memiliki garis keturunan Dhammayuttika, ini berarti apabila garis keturunan berbeda, maka tidak boleh mengikuti upacara Patimokkha dari garis keturunan yang lain.

Dengan adanya perbedaan pandangan, maka pada Januari 1972, Bhikkhu – Bhikkhu yang merupakan lulusan dari Wat Bovoranives akhirnya memisahkan diri dan membentuk Sangha Indonesia, namun pada tahun 1974, Sangha Indonesia akhirnya bergabung kembali ke Maha Sangha Indonesia di bawah pimpinan Bhante Ashin. Nama Maha Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Agung Indonesia (SAGIN). Pada tahun 1976, Bhikkhubhikkhu lulusan Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan Bhante Vin memutuskan keluar dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha Theravada Indonesia (STI).

Sastra Buddhisme di Nusantara

Dua teks Buddhis Jawa yang penting adalah Sang Hyang Kamahayanikan dan Kamahayanan Mantranaya.

Candi Borobudur

 
Candi Borobudur, monumen Dinasti Syailendra yang dibangun di Magelang, Jawa Tengah.

Sutra Lalitavistara banyak dikenal oleh para tukang batu Mantranaya dari Borobudur, lihat: Kelahiran Buddha (Lalitavistara). Istilah Mantranaya bukan kesalahan ejaan dari Mantrayana meskipun sebagian besar adalah sama. Mantranaya adalah istilah untuk tradisi esoteris mantra, turunan tertentu dari Vajrayana dan Tantra di Indonesia. Istilah dalam bahasa Sanskerta Mantranaya dengan jelas telah terbukti dalam literatur tantra Basa Jawa Kuno, khususnya yang didokumentasikan dalam teks tantra Buddha esoterik tertua di Jawa Kuno, Sang Kyang Kamahayanan Mantranaya, lihat Kazuko Ishii (1992).[13]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia[pranala nonaktif permanen], diakses 18 Maret 2011 - 22.10 WIB
  2. ^ a b c d Kerajaan Sriwijaya[pranala nonaktif permanen], diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  3. ^ a b Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 8–9. ISBN 0-300-10518-5. 
  4. ^ Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia[pranala nonaktif permanen], diakses 8 April 2011 - 21.00 WIB
  5. ^ a b Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa Buddha, diakses 8 April 2011 - 21.25 WIB
  6. ^ D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs. 38 (3/4): 353—359. 
  7. ^ Martin Ramstedt. Hinduism in modern Indonesia: a minority religion between local, national, and global interests. Routledge, 2004. Pages 49ff.
  8. ^ Data Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia 1971-2000, diakses 18 Maret 2011 - 22.23 WIB
  9. ^ "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut" [Population by Region and Religion]. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik. 15 May 2010. Diakses tanggal 20 October 2011. Religion is belief in Almighty God that must be possessed by every human being. Religion can be divided into Muslim, Christian,, Hindu, Buddhist, Hu Khong Chu, and Other Religion.  Muslim 207176162 (87.20%), Christian 16528513 (7), Catholic 6907873 (3), Hindu 4012116 (1.69), Buddhist 1703254 (0.74), Confucianism 71.999 (0.05), Other 112.792 (0.04), Total 237.641.326
  10. ^ "Statistik Umat Menurut Agama di Indonesia". Kementerian Agama Republik Indonesia. 15 May 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 September 2020. Diakses tanggal 15 November 2020. Muslim 231.069.932 (86.7), Christian 20.246.267 (7.6), Catholic 8.325.339 (3.12), Hindu 4.646.357 (1.74), Buddhist 2.062.150 (0.77), Confucianism 117091 (0.03), Other 299617 (0.13), Not Stated 139582 (0.06), Not Asked 757118 (0.32), Total 266.534.836 
  11. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-12-14. Diakses tanggal 2011-05-17. 
  12. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-08-29. Diakses tanggal 2011-05-17. 
  13. ^ Ishii, Kazuko (1992). "The Correlation of Verses of the 'Sang Kyang Kamahayanan Mantranaya' with Vajrabodhi's 'Japa-sutra'". Area and Culture Studies Vol. 44. Source: [1] (accessed: Monday February 1, 2010)