Arnold Mononutu

menteri Penerangan Indonesia
Revisi sejak 11 November 2023 03.45 oleh Pitchrigi (bicara | kontrib)

Prof. Mr. Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu (4 Desember 1896 – 5 September 1983) adalah pahlawan nasional yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan, anggota Majelis Konstituante, dan rektor Universitas Hasanuddin. Selain itu ia adalah Duta Besar Indonesia pertama untuk Tiongkok.[1]

Arnold Mononutu
Menteri Penerangan Indonesia ke-6
Masa jabatan
20 Desember 1949 – 6 September 1950
PresidenSoekarno
Perdana MenteriMohammad Hatta
Sebelum
Pendahulu
R. Syamsudin
Pengganti
R. Syamsudin
Sebelum
Masa jabatan
27 April 1951 – 3 April 1952
PresidenSoekarno
Perdana MenteriSoekiman Wirjosandjojo
Sebelum
Pendahulu
M.A. Pellaupessy
Pengganti
Petahana
Sebelum
Masa jabatan
3 April 1952 – 30 Juli 1953
PresidenSoekarno
Perdana MenteriWilopo
Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok ke-1
Masa jabatan
28 Agustus 1953 – 1955
Sebelum
Pendahulu
Tidak ada
Sebelum
Rektor Universitas Hasanuddin ke-3
Masa jabatan
1960–1965
Sebelum
Pendahulu
K.R.M.T. Djokomarsaid
Pengganti
M. Natsir Said
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1896-12-04)4 Desember 1896
Manado, Celebes, Hindia Belanda
Meninggal5 September 1983(1983-09-05) (umur 86)
Jakarta, Indonesia
Partai politikPNI
Tanda tangan
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan awal

 
Mononutu muda bersama orangtuanya

Mononutu lahir di Manado pada tanggal 4 Desember 1896. Ayahnya bernama Karel Charles Wilson Mononutu dan ibunya bernama Agustina van der Slot.[2] Baik ayah dan kakeknya adalah tokoh terkemuka dalam masa-masa mereka. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri (ambtenaar) Hindia Belanda. Kakeknya yang juga bernama Arnold Mononutu adalah orang Minahasa pertama yang menyelesaikan studi di sekolah untuk pelatihan dokter pribumi (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, STOVIA) di Batavia.[3]

Ketika Mononutu berusia dua tahun, ayahnya ditugaskan ke Gorontalo. Empat adiknya lahir di Gorontalo, tetapi sayangnya keempatnya meninggal antara lima dan enam bulan. Pada tahun 1903, Mononutu mengikuti sekolah dasar bahasa Belanda (Europeesche Lagere School, ELS) di Gorontalo.[4] Ia melanjutkan studinya di tingkat sekolah yang sama di Manado setelah ayahnya dipindahtugaskan ke Manado. Pada tahun 1913, Mononutu belajar di sekolah menengah Belanda (Hogere burgerschool, HBS) di Batavia di mana ia bertemu dan berteman dengan AA Maramis yang juga dari Minahasa dan Achmad Subardjo.[5]

Sewaktu di Belanda

 
Mononutu bersama pengurus Perhimpunan Indonesia lainnya (1925)

Pada tahun 1920, Mononutu berangkat ke Eropa untuk memulai studinya di Belanda. Setelah beberapa tahun mengambil kursus persiapan untuk mendaftar di universitas, ia memutuskan untuk mendaftar di Akademi Hukum Internasional Den Haag (Académie de droit internasional de La Haye di Den Haag).[6] Pada awalnya, Mononutu tidak memiliki jiwa nasionalisme. Namun, setelah menghadiri rapat-rapat Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging) di Belanda, rasa nasionalisme untuk Indonesia mulai bertumbuh dalam dirinya. Dia menjadi lebih terlibat dalam organisasi tersebut dan terpilih sebagai wakil ketua pada periode yang sama di mana Mohammad Hatta terpilih sebagai bendahara.[7]

Ketika Soekiman Wirjosandjojo menjadi ketua Perhimpunan Indonesia, Mononutu diminta untuk mewakili organisasi ini di antara organisasi-organisasi mahasiswa di Paris.[8] Selama berada di Paris, unsur-unsur dari Dinas Intelijen Politik Belanda (Politieke Inlichtingen Dienst) menjadi curiga terhadap kegiatan-kegiatan Mononutu. Pemerintah kolonial di Indonesia menyebarkan desas-desus palsu kepada ayahnya bahwa dia bersimpati kepada gerakan komunis. Ayahnya diancam akan dipindahkan dari posisinya jika ia terus mengirimkan uang kepada anaknya.[9] Ketika ayahnya berhenti membiayainya, Mononutu menjadi tergantung pada teman-temannya. Dia kembali ke Belanda dari Prancis dan tinggal bersama Ali Sastroamidjojo dan keluarganya.[10] Setelah diam-diam menerima uang dari ayahnya melalui pamannya yang datang ke Belanda, Mononutu dapat membayar semua hutangnya dan ia kembali ke Indonesia pada bulan September 1927.[11]

Kembali ke Indonesia

Setelah kembali ke Indonesia, Mononutu segera terlibat dalam upaya nasionalisme. Ia menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang baru dibentuk.[12] Ia juga bertemu dengan pendirinya, Soekarno, untuk pertama kalinya.[13] Mononutu menyewa sebuah kamar di rumah yang sama dengan Suwirjo dan Sugondo Djojopuspito yang keduanya adalah pemimpin Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia.[14] Organisasi ini adalah bagian dari Kongres Pemuda Indonesia Kedua pada tahun 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda.

Pada mulanya, Mononutu bekerja untuk sebuah perusahaan eksplorasi minyak Jepang bernama Mitsui Buissan Kaisha, tetapi kemudian memutuskan untuk bekerja di Perguruan Rakyat yang baru didirikan walaupun dengan gaji yang lebih rendah.[15] Ia mengelola dan mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Perguruan Rakyat. Guru-guru lain termasuk Mohammad Yamin dan Gunawan Mangunkusumo (saudara Tjipto Mangoenkoesoemo).[16] Sekolah-sekolah tersebut memiliki total sekitar 300 siswa yang terdaftar. Pada tahun 1930, Mononutu harus meninggalkan posisinya di Perguruan Rakyat dan kembali ke Manado, karena dia menerima kabar bahwa ibunya sakit.

Waktu di Manado dan Ternate

Mononutu tinggal di Manado selama 12 tahun dari 1930 hingga 1942. Selama waktu ini, ia menjadi direktur koperasi kopra. Koperasi ini memiliki sekitar 500 anggota yang tersebar di seluruh wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow. Mononutu berhasil mendapatkan kredit dari Bank Kredit Umum Rakyat (Algemene Volkscredietbank) yang sekarang Bank Rakyat Indonesia untuk membayar hutang-hutang para petani kopra. Ini memungkinkan para petani untuk menjual kopra mereka ke koperasi, yang menawarkan harga lebih stabil dan sesuai dengan standar. Kopra itu kemudian diekspor melalui Nationale Handelsbank yakni sebuah bank yang didirikan Belanda untuk membiayai perdagangan antara Belanda dan Hindia Belanda.[17]

Pada awal pendudukan Jepang pada tahun 1942, Mononutu dicari oleh Jepang karena sikap nasionalisnya dan hubungannya dengan organisasi-organisasi nasionalis. Dengan bantuan seorang Jepang yang bersimpatik bernama Yamanishi, Mononutu melarikan diri ke pulau Ternate di Kepulauan Maluku dan menetap di sana sampai akhir pendudukan Jepang.[18]

Keterlibatan dalam Negara Indonesia Timur

 
Mononutu (ketiga dari kanan) bersama Hatta dan Hamengkubuwono IX

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Mononutu memfokuskan usahanya untuk membantu rakyat Maluku Utara untuk menentukan respon mereka yang terbaik. Dia adalah salah seorang yang mendirikan organisasi politik bernama Persatuan Indonesia. Sebuah koran bernama Menara Merdeka diterbitkan untuk mempromosikan cita-cita Persatuan Indonesia.[19] Koran ini memberikan pesan-pesan pro-republik dan mengkritik upaya-upaya Belanda untuk membentuk sebuah negara yang terpisah dari Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan.

Upaya Belanda untuk menemukan solusi federalis untuk Indonesia termasuk diantaranya pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) pada tahun 1946. Mononutu menjadi anggota parlemen NIT dan memimpin kelompok anggota parlemen yang pro-republik.[19][20] Dia memfokuskan usahanya untuk membujuk anggota parlemen lain untuk mendukung gagasan menyatukan NIT dengan Republik Indonesia. Setelah Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947, Mononutu mendirikan Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.[21] Organisasi ini berusaha menyoroti tindakan Belanda yang berupaya untuk kembali menjajah Indonesia. Pada bulan Februari 1948, ia memimpin sebuah delegasi NIT untuk mengunjungi dan bertemu dengan para pemimpin Republik Indonesia di Yogyakarta.[22] Pada tahun 1949, NIT menjadi konstituen dari Republik Indonesia Serikat (RIS), yang kemudian dibubarkan pada 17 Agustus 1950 dan digantikan oleh Republik Indonesia yang bersatu.

Menteri Penerangan

 
Mononutu berpidato di Garut
 
Mononutu bersama Soekarno di Purwodadi

Mononutu ditunjuk sebagai Menteri Penerangan dalam pemerintahan Indonesia pada tiga kesempatan terpisah:

Selama menjabat sebagai menteri penerangan, beberapa daerah di Indonesia diguncang oleh pemberontakan-pemberontakan termasuk di Jawa Barat (Angkatan Perang Ratu Adil), Sulawesi Selatan (oleh Andi Azis), dan Maluku (oleh Chris Soumokil). Mononutu bersama dengan Soekarno mengunjungi daerah-daerah ini dan dalam rapat-rapat terbuka mempromosikan cita-cita sebuah bangsa yang bersatu.[26]

Pada tahun 1949 sesudah berlangsungnya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, yang menghasilkan kesepakatan pembentukan RIS, dalam suatu tim kerja dengan kolega terdekatnya sesama Diplomat, Mr. Soedibjo Wirjowerdojo (yang kemudian mendampinginya selaku charge d'affaires/Wakil Duta Besar di RRC tahun 1953–1955), ia yang pertama kali mengumumkan nama Batavia menjadi Jakarta. Sedangkan Mr. Soedibjo Wirjowerdojo mengumumkannya di Belanda.[27]

Rektor Universitas Hasanuddin

Pada tahun 1960, Mononutu diminta oleh Soekarno untuk menjadi rektor Universitas Hasanuddin.[28] Dalam lima tahun jabatannya sebagai rektor, jumlah mahasiswa bertumbuh dari 4000 mahasiswa menjadi 8000 mahasiswa. Pada awal jabatannya, universitas ini hanya memiliki tiga fakultas yaitu Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, dan Fakultas Kedokteran. Selama masa jabatannya, enam fakultas baru didirikan yakni Fakultas Ilmu Pasti dan Alam, Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan, Fakultas Sastra, Fakultas Sosial Politik, dan Fakultas Teknik.[29]

Meninggal

 
Foto makam Arnoldus Izaak Zacharias N di TMPNU Kalibata, Jakarta

Pada tanggal 5 September 1983, Mononutu wafat dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Nasional Utama, Jakarta Selatan.

Penghargaan

Pada tanggal 15 Februari 1961, Mononutu dianugerahi Bintang Mahaputra Utama yaitu penghargaan tertinggi yang diberikan kepada seorang warga sipil oleh pemerintah Indonesia.[30] Pada tanggal 10 November 2020, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara.[31]

Referensi

Sumber referensi

  • Atmakusumah (2011). Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Gramedia. 
  • Feith, Herbert (1958). The Wilopo Cabinet, 1952-1953: A Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia. Equinox Publishing. 
  • Feith, Herbert (1962). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Equinox Publishing. 
  • Nalenan, R. (1981). Arnold Mononutu: Potret Seorang Patriot. Jakarta: Gunung Agung. 
  • "Arnold Mononutu". Prisma. 12 (7-12): 110. 1983. 
  • Sudarmanto, J.B. (2006). Jejak-jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: Grasindo: Gramedia Widiasarana Indonesia. 
Jabatan pemerintahan
Didahului oleh:
R. Syamsudin
Menteri Penerangan
1949–1950
Diteruskan oleh:
R. Syamsudin
Didahului oleh:
M.A. Pellaupessy
Menteri Penerangan
1951–1953
Diteruskan oleh:
Ferdinand Lumban Tobing
Jabatan diplomatik
Jabatan baru Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok
1953–1955
Diteruskan oleh:
Sukarjo Wiryopranoto