Kamp konsentrasi Jepang adalah nama yang digunakan Belanda untuk menyebut kamp interniran yang didirikan untuk menahan penduduk sipil atau tawanan militer selama pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) yang berada di bawah pengawasan Jepang. Oleh pemerintah kolonial Jepang, sebagai warga dari tempat yang diperintah Jepang selama Perang Pasifik, orang Belanda disebut sebagai warga asing yang merupakan musuh. Kamp interniran Jepang tidak dapat dibandingkan dengan kamp kematian Jerman di Eropa. Sehingga, kamp sipil Jepang tidak semata-mata didirikan untuk pembunuhan sistematis atas tahanannya. Ada desas-desus bahwa perlakuan yang keras dan bengis terhadap tahanan perangnya menimbulkan kematian bagi mereka. Di dalamnya, para tawanan kekurangan makanan, air, dan obat-obatan. Penyakit menular, antara lain disebabkan oleh layanan kesehatan yang buruk, menyebar luas dan telah merenggut ribuan jiwa tahanannya.

Penyebaran kamp konsentrasi Jepang di seluruh negeri jajahannya.

Latar belakang

Selama berkecamuknya Perang Dunia II, Hindia Belanda (kini Indonesia) diduduki oleh Kekaisaran Jepang. Kamp interniran digunakan oleh tentara pendudukan Jepang untuk menahan bangsa Belanda dan lain-lain yang tinggal di bekas jajahan Belanda tersebut. Terdapat kamp tahanan perang untuk militer[1][2] dan kamp sipil.[3][4] Register lengkap kamp tersebut disebutkan di dalam Atlas van Nederlandse kampen.[5][6] Lebih lanjut, kamp tawanan sipil dibagi atas kamp untuk pria, wanita, anak-anak, dan remaja. Beberapa perempuan dipaksa tentara Jepang untuk melayani nafsu bejat mereka; mereka dikenal sebagai troostmeisje.

Para tawanan umumnya diperlakukan dengan buruk. Makanan hanya sedikit tersedia, padahal para prianya harus bekerja keras. Pelanggaran aturan dapat dikenakan hukuman atau siksaan berat. Di samping itu, terdapat kamp buruh untuk pribumi Indonesia (romusha) dan kamp untuk anak-anak Indo-Eropa.[7]

Banyak pria (militer, wajib militer, dan romusa, ditambah dengan orang sipil yang berfisik 'kuat') dijadikan pekerja paksa untuk membangun jalur kereta api kematian antara Nong Pladuk, Thailand dan Thanbyuzayat, Myanmar (Birma), maupun jalur kereta api Muaro-Pekanbaru di Sumatra bagian tengah dan jalur KA Saketi-Bayah di Banten. Ada pula para buruh yang dipaksa bekerja membangun lapangan terbang di Pulau Flores, Kepulauan Maluku[8] dan bekerja di sejumlah pertambangan maupun industri lainnya di Jepang.

Perbedaan dengan kamp konsentrasi Jerman

Kamp konsentrasi Jepang di satu sisi dan kamp konsentrasi Nazi di sisi lain antara lain berbeda dalam hal-hal berikut:

Penghinaan dan dehumanisasi
Nazi Jerman bertujuan secara sistematis untuk menghinakan dan mendehumanisasi penghuni kamp tawanannya sedalam mungkin hingga ciri pribadi mereka: pakaian, rambut, nama, dan harta bendanya. Serah-terima pos atau paket nyaris mustahil dan tidak mungkin sesama anggota keluarga dapat berkumpul. Terutama di awal pendirian kamp konsentrasi Jepang, kebijakan Nazi tidak diberlakukan. Para tawanan Jepang dapat tetap menggunakan gaya rambut, pakaian, maupun barang-barang pribadinya; anggota keluarga (nenek/ibu dengan anak-cucunya) tinggal bersama (laki-laki dan perempuan dipisahkan). Para tawanan Jepang dapat tetap mengatur 'rumah tangga'-nya sendiri dan di awal penahanannya diketahui bahwa mereka masih bisa bebas bergerak di dalam kamp tahanan, sesuatu yang mustahil terjadi di kamp konsentrasi Nazi.
Eksploitasi dan tekanan
kamp Nazi sepenuhnya didirikan untuk eksploitasi ekonomi dan menciptakan tekanan lahir-batin.
Pemusnahan
Jepang terlihat kejam kepada para tahanannya, tetapi tidak dketahui apakah ada asas/prinsip seperti yang dielu-elukan Nazi semacam Vernichtung durch Arbeit, di mana tawanan harus dieksploitasi hingga mati (karena itulah, sebagian besar kamp Nazi, begitu juga yang 'normal' (seperti kamp Westerbork) difungsikan sebagai kamp pemusnahan dan juga krematorium).
Hukuman
Penempatan di kamp konsentrasi Nazi hampir selalu karena tindakan hukuman (kecuali kamp pemusnahan yang didirikan untuk kelompok masyarakat tertentu), sementara penginterniran selama pendudukan Jepang di Indonesia dilakukan secara praktis: orang Belanda dan pendukungnya harus dipecat dari perusahaannya agar dapat digantikan oleh orang Jepang sendiri. Karena unsur hukuman itulah, kamp konsentrasi Nazi awalnya diperintah secara ketat. Sebaliknya, di kamp konsentrasi Jepang, hukuman berat dijatuhkan atas tindakan yang tidak disukai Jepang, seperti tidak membungkuk dalam-dalam.

Perbedaan yang nyata adalah sejak awal, orang Jepang tidak menghargai kehidupan manusia, dan di awal pendudukan dan pendirian kamp telah terjadi sejumlah kejahatan perang berat dan ekstrem, seperti memancung tahanan karena kesalahan ringan maupun yang tak dapat dibela di mata hukum. Karena tindakan inilah, di Indonesia relatif banyak tentara pendudukan Jepang yang dijatuhi hukuman dan dihukum mati daripada di Belanda setelah PD II.

Tawanan perang

Jumlah dan kategori

 
Tahanan perang yang kelaparan di kamp konsentrasi Batu Lintang

Pada periode 1941-1942, sebanyak 1.653 perwira dan sisanya dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda serta 896 prajurit KNIL telah terbunuh: keseluruhannya: 2.549 jiwa.[9] Dengan menyerahnya Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger pada tanggal 8 Maret 1942, sekitar 42.240 perwira militer Belanda (termasuk juga perwira militer Indo-Belanda dan mereka yang disetarakan) ditempatkan dalam tahanan perang Jepang.[10][11] Jumlah militer sukarelawan pribumi diperkirakan mencapai 24.000 jiwa. Mereka berasal dari Jawa (15.000), Manado (3000), Ambon (5000) dan Timor (1000). Kemudian diperkirakan pada tahun 1942, sekitar 15.000 militer dibebaskan.[12] Salah satu bagian darinya kemudian bertugas sebagai prajurit pembantu militer Jepang (Heiho).

Namun, sejumlah besar tawanan, khususnya orang Ambon, tetap di dalam penjara. Sebagian besar orang Indo tetap diinternir bersama dengan orang Eropa tanpa keturunan campuran. Sebuah pengecualian adalah kamp bersama di Cimahi.[13] Sebagian besar tahanan perang sendiri berada di Jawa Barat dan Timur. Kamp-kamp tersebut juga dapat ditemukan di Borneo, Sumatra, Sulawesi, dan kepulauan di sebelah timur. Sebagian tahanan perang dalam jumlah berarti dipekerjakan di kamp buruh di bagian Nusantara lainnya atau sekitarnya. Keadaan hidup di sebagian besar kamp cukup buruk. Yang terkenal khususnya adalah tindakan polisi militer Jepang (Kempeitai). Keadaan paling sulit dialami ketika tahanan perang terus-menerus berjalan menuju kamp buruh yang baru (disebut sebagai "perjalanan maut") dan ke tempat di mana kekejaman dan ketidakacuhan Jepang berlaku terhadap para tawanan. Yang terkenal adalah perjalanan maut Sandakan di Borneo bagian utara. Dalam kamp tawanan, para tahanan dipekerjakan dalam keadaan yang sering tidak manusiawi. Jepang tidak ikut meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1929 dan tidak pula melaksanakannya.

Pada akhir perang, banyak tahanan perang berada pada 'keadaan lelah lahir-batin di mana yang terkuat pun hampir tidak dapat melakukan perlawanan'[14] Secara keseluruhan, telah meninggal 8.200 tawanan perang (1 berbanding 5, atau 20%) selama ditahan. Lebih dari separuh (sekitar 5.600) dikerahkan untuk kerja paksa membangun jalur KA kematian (3.100 korban jiwa) dan jalur KA Muaro-Pekanbaru di Sumatra (sekitar 2500 korban jiwa dari kalangan tahanan, hampir mungkin lebih dari 9.000 korban jiwa dari romusa yang diinternir).[15]

Latar belakang

Jumlah keseluruhan tahanan perang berkisar sekitar 42.000 jiwa; terdiri atas 37.000 prajurit KNIL, 3.900 dari Koninklijke Marine, dan 1.500 yang disebut petugas keamanan. Mereka dikenal sebagai landstorm. Perwira militer tersebut membentuk sekitar bagian ketiga personel Belanda di Hindia Belanda. Berbeda dengan keadaan di Belanda (setelah menyerah kepada Jerman Nazi pada tanggal 14 Mei 1940), tidak ada likuidasi atau pengalihan seperti di Hindia. Semua perwira militer hanya dikirim ke kamp konsentrasi. Komandan juga tidak diizinkan melaporkan lebih banyak maupun memberikan pengumuman resmi. Sebagai akibatnya, beredar berbagai rumor setelah penyerahan segala jenis KNIL (yang sering berakibat negatif dan membingungkan). Tanda kepangkatan istimewa harus dilucuti dan berbagai fraksi militer dicopot dari fungsinya juga sehingga semua struktur organik pun hilang. Perbekalan diambil alih serta pakaian dan sepatu tidak lagi tersedia. Semua itu berarti militer sama sekali tak memiliki hak apapun sepenuhnya.[16]

Di masing-masing kamp, kebanyakan perwira Belanda berpangkat tinggi bertanggung jawab kepada komandan kamp, yang biasanya berpangkat kapiten maupun letnan. Kontrol berkala harian di dalam kamp dilaksanakan setiap waktu oleh taruna dan kelompoknya, yang hampir seluruhnya ada orang Korea. Untuk memberikan kesan kepempimpinan, sering dilakukan kekerasan-kekerasan kecil yang sadis. Para tawanan disebar ke seluruh Nusantara dan jauh ke luarnya. Tahanan berpangkat kolonel ataupun yang lebih tinggi diangkut ke Formosa dan kemudian ke Manchuria. Dari kamp asal, diberangkatkan berbagai kelompok menuju sejumlah tujuan, tetapi tak seorang pun yang tau "ke mana". Sehingga akhirnya mereka hanya tau tempat kelompok mereka saja; dari kesatuan lain tidak diketahui, sehingga desas-desus seputar hal tersebut sering beredar.

Di samping orang Belanda, banyak pula tahanan perang yang berkebangsaan Amerika Serikat, yang terakhir khususnya banyak yang meninggal di kamp-kamp di Filipina.

Pekerjaan dan hukuman

Lihat juga: Kempeitai dan Enno Erkelens

Tahanan perang dipaksa melaksanakan berbagai pekerjaan, seperti membangun lapangan terbang, jalan, rel kereta api, jembatan, pelabuhan, dan beraneka ragam lainnya. Pekerja yang diperbudak tersebut, yang kebanyakan berada dalam keadaan menyedihkan, banyak yang meninggal di daerah yang keras dan tak bersahabat. Hal itu dapat ditemui dalam pembangunan jalur KA di Sumatra, Burma, dan Thailand, juga pembangunan lapangan terbang di timur Hindia Belanda dan Singapura, serta pekerjaan di pertambangan di Jepang dan sejumlah industri lain di Asia Tenggara.

Hukuman yang diberlakukan antara lain dikurung di dalam kandang, tanpa atap, sehingga terpapar segala pengaruh cuaca sepanjang hari, dijemur di lapangan upacara selama berjam-jam dan terkadang berhari-hari, serta dihujani tinju, kaki bersepatu, sarung pedang samurai, gada, maupun cambuk. Mencoba melarikan diri dapat dihukum secara brutal, yakni dengan hukuman mati; eksekusi dilaksanakan dengan bayonet, hukuman pancung, maupun ditembaki berulang kali dengan regu tembak.

Jelaslah oleh Perdana Menteri Jepang, Hideki Tojo, bahwa peraturan Jenewa tidak akan dilaksanakan dan tahanan perang Barat, khususnya pekerja yang dihinakan, harus dieksekusi dan lebih bagus lagi di mata orang-orang yang "dibebaskan" Jepang. Kenyataannya, perwakilan Palang Merah dan Swedia yang netral tidak mendapat kendali praktis untuk berurusan dengan masalah tahanan perang.

 
Tahanan perang AS yang kelaparan di sebuah kamp di Filipina.

Pengangkutan

Sebagian besar hilangnya nyawa tahanan perang terjadi ketika diangkut melalui laut. Sekitar 90% darinya berhadapan dengan jenis angkutan ini, baik sekali maupun lebih. Pengangkutan dijalankan oleh kapal yang tidak bertanda, sebagaimana yang terbukti secara tidak jelas oleh Palang Merah, yang berjalan beriringan dengan konvoi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Sehingga, banyak kapal yang mengangkut banyak tahanan perang ditorpedo dan dibombardir oleh Sekutu. Para tawanan dikurung dalam ruangan dan binasa seperti tikus selama serangan tersebut. Jumlah korban jiwa tahanan perang terbesar ditimbulkan oleh serangan torpedo terhadap kapal kargo Junyō Maru pada bulan September 1944 di Samudra Hindia, sebelah barat Bengkulu, Sumatra, yang menyebabkan nyawa 5.600 jiwa melayang. Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa korban di kalangan tahanan perang di kamp konsentrasi Jepang 3 kali lebih banyak daripada penjara Jerman Nazi di Eropa.[17]

Jumlah tawanan perang

Antara tanggal 1 Maret 1944-15 Agustus 1945 (penyerahan Jepang), digunakan pula nomor PoW (prisoner of war/tahanan perang). Nomor tersebut diberikan menurut kamp konsentrasi tempat mereka ditempatkan. Di dalam 1 dari setiap 3 bunsho, nomor tersebut diberikan secara berturutan, diawali dengan angka 1 dan diakhiri dengan jumlah maksimal yang diinternir dengan dikeluarkannya nomor terakhir. Jika dalam suatu kamp (misalnya kamp 4) semua nomor telah diberikan, nomor berikutnya diberikan ke kamp selanjutnya (kamp 5) yang ada di bunsho tersebut. Nomor tersebut harus dicantumkan dalam surat menyurat di antara kedua penghuni kamp. Bila dipindahkan ke kamp lain yang berada dalam 1 bunsho, seorang tahanan tetap menggunakan nomor kamp aslinya. Namun, apabila pindah ke bunsho lainnya (misalnya dari Bandung ke Muntilan), seorang tahanan akan menerima nomor yang baru, yang diberikan secara berturutan.

Penduduk sipil

Latar belakang

Jepang berusaha mewujudkan "Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya" di bawah kepemimpinan kekaisarannya. Sehingga, bangsa Asia harus dibebaskan dari budaya Barat dan sebagai akibatnya, "bangsa Barat" harus dihapus dari peradaban. Karena hal itulah, Amerika Serikat melakukan tindakan pembalasan; setelah serangan atas Pearl Harbor, banyak penduduk keturunan Jepang (sekitar 120.000 jiwa) yang diinternir di sana. Mula-mula, tokoh-tokoh terkemuka dulu yang dijadikan tawanan, disusul pria, perempuan, dan anak-anak. Hal itu belakangan terjadi di Pulau Jawa, kemungkinan karena jumlah tawanan cukup besar. Palang Merah dan Swedia yang netral pun tidak dapat memasuki kamp tahanan sipil. 2 kali sudah Palang Merah mengirim barang paketan, tetapi dirampas dan sebagian dijarah.

Di samping kamp tahanan perang, ada pula kamp interniran sipil, tempat sekitar 70.000 orang Eropa tanpa keturunan campuran (kulit putih murni) dan sekitar 30.000 orang Eropa berdarah campuran (Serani/Indo) dijebloskan. Kategori pertama juga disebut sebagai totok dan yang kedua Indo. Sebagian besar orang Eropa tanpa keturunan campuran telah diinternir. Kebanyakan orang Indo-Eropa (diperkirakan berjumlah 170.000-280.000 jiwa) dapat tinggal di luar kamp. Di Jawa, diperkirakan sekitar dua pertiga total penduduk Eropa telah ditampung, dan jumlah orang Indo-Eropanya lebih besar dibandingkan dengan Daerah Seberang, kurang lebih sekitar 76.000 orang Eropa telah ditawan, di mana minoritas 10.000 jiwa berasal dari kalangan Indo-Eropa.[18] Perkiraan di pulau-pulau lain adalah: Sumatra: 12.000 jiwa, Borneo: 500 jiwa, Timur Besar: 3.900 jiwa. Jumlah tahanan meninggal di kamp interniran sipil diperkirakan 16.000 jiwa. Berbagai laporan mengatakan bahwa rata-rata jumlah yang meninggal berada dalam keadaan di bawah normal, dengan sejumlah 13.500 penduduk sipil telah meninggal sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penahanan. Dengan jumlah perkiraan dari total 110.000 interniran sipil, hal ini kurang dari 13%; perbandingannya 1 dari 8.[19]

Kamp tawanan sipil

Kekurangan makanan, air, dan obat-obatan secara besar-besaran terjadi di kamp tahanan sipil.[3][20] Beberapa tahanan bertransaksi makanan dengan penduduk desa sekitar melalui gedek (pagar bambu) secara rahasia. Transaksi ini, bila ketahuan, dapat diganjar hukuman berat oleh penjaga kamp. Menu harian terpenting adalah bubuk makanan Asia, yang dikenal sebagai bubur aci (terbuat dari kanji) dalam jargon kamp tawanan. Letak kakus sering tersembunyi, sehingga penyakit menular seperti disenteri merajalela dan di tempat tidur yang disesaki tawanan itu menjadi sarang kepinding, nyamuk, dan tikus. Malagizi, malaria dan beriberi banyak diderita tawanan. Utusan Palang Merah sering kali digunduli terlebih dulu oleh Jepang. Khususnya di akhir peperangan, keadaan kesehatan dengan cepat pulih kembali.

Para interniran sering diangkut dengan kendaraan, kebanyakan KA, yang suhunya dalam gerbong tertutup dapat naik hingga maksimal. Di kamp konsentrasi, rezim yang keras berkuasa. Pelanggaran aturan dapat dihukum dengan pukulan tongkat selama berjam-jam di bawah matahari tanpa diberi minuman. Setiap hari biasa diselenggarakan upacara di mana para tawanan ikut dihitung. Di kamp wanita, pada tahun 1944, dikeluarkan maklumat bahwa semua anak berusia 10 tahun ke atas harus tinggal di kamp khusus anak, sering di kamp pria yang sudah ada. Secara sporadis, dapat ditulis kartu pos berbahasa Melayu dalam bentuk kalimat standar, dilengkapi dengan kata-kata singkat yang dibuat sendiri.

Kamp tawanan sipil di Jawa

 
Perempuan dan anak-anak mencuci di kamp konsentrasi Makasar, Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta Timur) setelah penyerahan Jepang.

Orang sipil yang diinternir di kamp-kamp yang berada di Pulau Jawa berada di bawah kepemimpinan militer terpusat sejak tanggal 1 Maret 1944. Sebelum tanggal tersebut, kebanyakan berada di bawah pengaturan militer langsung. Kamp-kamp konsentrasi di Jawa berada di bawah 3 markas daerah, yang juga disebut sebagai Bunsho, yang berada di bawah kecamatan Bushenko. Di dalam setiap Bunsho, kamp-kamp tersebut diberi nomor,[21] yaitu:

Kamp tawanan sipil di Sumatra

Di Sumatera Utara, terdapat sejumlah kamp konsentrasi.

Surat-menyurat

Dalam hal korespondensi (kartu pos dari pos kamp) di antara para tawanan, digunakanlah kalender Jepang, yang menggunakan tahun kemunculan Kerajaan Jepang (660 SM) sebagai patokan awal, sehingga, tahun 1945 disebut sebagai tahun 2605. Lebih lanjut, di kantor pos tawanan perang sipil, nomor tawanan pengirim serta nomor tawanan dan kode kamp militer sialamat disebutkan (CR: Bunsho I, CQ: Bunsho II dan CP Bunsho III). Akhirnya, ditambahkan pula kode alamat militer rahasia yang terus berubah di kartu pos tersebut, yang terdiri atas gabungan angka Arab dan Romawi. Teks di kartu pos itu harus menggunakan bahasa Melayu, sesuai dengan teks standar agar selalu berpengaruh baik.

 
Kartu pos dari kamp konsentrasi Muntilan (kode wilayah C.P., no. tahanan kamp 23746) ke Cimahi (kode wilayah C.Q.,no. tahanan 36851). Ditambahkan pula kode VII 6.

Kejahatan perang Jepang

Dengan cara keras, prajurit Jepang menekankan bahwa tahanan perang adalah makhluk penakut dan hina. Seorang prajurit yang sesungguhnya tidak boleh menyerah dalam peperangan; ia harus bertempur hingga mati atau bunuh diri daripada menjadi tawanan. Setiap bulan, setelah perang dimulai di Kepulauan Pasifik, orang Jepang telah menahan banyak sekali orang Barat dalam pasukannya, yang jumlahnya kira-kira 140.000 jiwa. Orang Jepang memandang bahwa semua tahanan perangnya tidak lebih dari makhluk hina yang tidak memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik. Namun, masih ada keadaan lain dalam tindakan itu. Sehingga, Jepang pun mengobarkan perang di Cina pada tahun 1937, di mana tentara Jepang berulang kali melakukan tindakan kejam - antara lain terhadap penduduk sipil sebagai tahanan perang. Dalam skala besar, mereka melakukan penjarahan, pembantaian, pemerkosaan, dan kejahatan perang lainnya. Tak lama setelah pecahnya Perang Pasifik, Jepang menyatakan terhadap Sekutu bahwa negeri itu akan patuh terhadap keputusan Konvensi Jenewa. Namun, di wilayah selatan (termasuk Nusantara), perintah yang sama tidak diberlakukan oleh petinggi militer Jepang. Di sisi lain: di akhir bulan April 1942, PM Jepang dan menteri perang sementara Tojo Hideki memerintahkan bahwa semua tahanan perang harus diperlakukan secara keras dan hina. Tahanan yang mencoba melarikan diri harus dihukum mati.

Kemudian, muncul lagi peraturan dan ketentuan yang lebih lunak atas kamp tahanan perang, tetapi perintah tersebut tidak (dapat) dilaksanakan sepenuhnya di daerah-daerah seperti Nederlands-Indië. Pada kenyataannya, di wilayah selatan, komandan Jepang telah memutuskan bagaimana mereka memperlakukan tahanan perang. Keadaan yang mengerikan tersebut tidak terjadi di semua kamp tahanan. Ada sejumlah variasi dalam kebijakan dan pelaksanaannya, tetapi secara garis besar, tindakan bengis Jepang terhadap orang Barat yang menjadi tahanan perangnya antara lain sebagai berikut:

  • tidak ada perlindungan atau tindakan berperikemanusiaan di kamp perang manapun; hampir semua tindakannya itu kelewatan dalam skala besar;
  • tempat tinggal hampir selalu di bawah standar;
  • makanannya berkualitas (sangat) buruk;
  • hampir tidak ada pasokan pakaian maupun alas kaki;
  • layanan kesehatan hampir selalu tak mencukupi saking buruknya; meskipun demikian, tetap ada perawatan berkat jasa dokter militer organik sendiri dan perawatnya; pasokan obat amat sedikit hingga tidak ada sama sekali;
  • para tahanan perang dipaksa melakukan pekerjaan fisik secara massal dan besar-besaran, kebanyakan dalam kondisi yang tak sehat di daerah perang; mereka juga diperintahkan harus membangun instalasi militer untuk Jepang;
  • tidak ada kemungkinan untuk mengirim dan menerima surat dari dan ke anggota keluarganya lainnya.[22]

Beberapa kamp tahanan sipil yang besar

Sulawesi Selatan

Sumatra

  • Aek Pamingke
  • Berastagi
  • Siringo-ringo

Jakarta dan Jawa Barat

Jawa Tengah

Ambon

Borneo

Tokoh Belanda yang meninggal di kamp konsentrasi Jepang (pilihan)

Lihat juga

Galeri

Rujukan

  1. ^ Van Witsen E. 1971. Krijgsgevangenen in de Pacific-Oorlog (1941-1945). Franeker
  2. ^ "Japanse burgerkampen". www.japansekrijgsgevangenkampen.nl. 
  3. ^ a b Van Velden D. 1985. De Japanse Interneringskampen voor burgers gedurende de Tweede Wereldoorlog (edisi ke-4). Franeker
  4. ^ "Japanse burgerkampen". www.japanseburgerkampen.nl. 
  5. ^ Geïllustreerde Atlas van de Japanse Kampen in Nederlands-Indie 1942-1945. Hal. 21-23
  6. ^ "Home - East Indies camp archives". www.indischekamparchieven.nl. 
  7. ^ "Web Site Currently Not Available". www.jongenskampen.nl. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-04-26. Diakses tanggal 2015-07-16. 
  8. ^ "1000 van Amahei". 
  9. ^ De Jong L. Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog, bag. 11b, hal. 1123
  10. ^ Zwitzer HL. 1978 Mededelingen van de Sectie Krijgsgeschiedenis 5-23.
  11. ^ http://www.niod.nl/nl/CijfermateriaalJapanseBezetting.htm
  12. ^ Geïllustreerde Atlas van de Japanse Kampen in Nederlands-Indië 1942-1945. Hal. 5
  13. ^ Geïllustreerde Atlas van de Japanse Kampen in Nederlands-Indië 1942-1945. Hal. 6/7
  14. ^ Geïllustreerde Atlas van de Japanse Kampen in Nederlands-Indië 1942-1945. Hal. 12
  15. ^ Hovinga H. 1976. Dodenspoorweg door het oerwoud. Hal. 147
  16. ^ Lapré SA. Nederlands-Indië in kort bestek. Halaman 52-53
  17. ^ Lapré SA. Nederlands-Indië in kort bestek. Halaman 54-55.
  18. ^ Geïllustreerde Atlas van de Japanse Kampen in Nederlands-Indië 1942-1945. Hal. 14
  19. ^ Geïllustreerde Atlas van de Japanse Kampen in Nederlands-Indië 1942-1945. hal. 17.
  20. ^ Ooggetuigen. Stichting Japanse Ereschulden (SJE).
  21. ^ Deel II. Geïllustreerde atlas van de Japanse Kampen
  22. ^ Verzet contra de Japanse bezetting van Nederlands-Indië in de Tweede Wereldoorlog. Comité Ancol. Halaman 79-80

Pranala luar