Lembaga nonstruktural (disingkat LNS) adalah lembaga negara di Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi sektoral dari lembaga pemerintahan yang sudah ada.[1] LNS bertugas memberi pertimbangan kepada presiden atau menteri, atau dalam rangka koordinasi atau pelaksanaan kegiatan tertentu atau membantu tugas tertentu dari suatu kementerian.

LNS bersifat nonstruktural, dalam arti tidak termasuk dalam struktur organisasi kementerian/departemen ataupun Lembaga Pemerintah Non Departemen. Kepala LNS umumnya ditetapkan oleh presiden, tetapi LNS dapat juga dikepalai oleh menteri, bahkan wakil presiden atau presiden sendiri. Sedangkan nomenklatur yang digunakan antara lain adalah "dewan", "badan", "lembaga", "tim", dan lain-lain.

Daftar lembaga nonstruktural

Berikut adalah daftar LNS di Indonesia. Daftar ini mungkin belum mencakup keseluruhan, karena memang belum terdapat definisi secara formal mengenai LNS yang dapat dijadikan pedoman dalam mendefinisikan suatu lembaga sebagai LNS atau bukan. Pertengahan tahun 2009, LAN mengindentifikasikan jumlah LNS mencapai 92 lembaga.[2]

Lembaga independen

Lembaga independen juga sering diklasifikasikan sebagai LNS. Lembaga-lembaga ini dibentuk oleh pemerintah pusat, namun bekerja secara independen. Berikut adalah daftar beberapa lembaga independen:

Bekas lembaga nonstruktural

Kontroversi

Pembentukan LNS mulai marak pasca reformasi. Ada yang dibentuk melalui UU, PP, perpres, ataupun keppres. Peningkatan jumlah LNS setiap tahunnya dapat menyebabkan tugas dan fungsi tumpang tindih dengan lembaga yang sudah ada dan dapat menambah pengeluaran anggaran belanja negara, walau ada beberapa LNS yang tidak memerlukan anggaran besar.

Selain itu, tidak adanya definisi secara formal mengenai LNS mempersulit para pakar maupun lembaga dalam mengidentifikasikan LNS. Akibatnya, terjadi perbedaan opini tentang jumlah LNS yang ada di Indonesia. Pertengahan tahun 2009, LAN mengindentifikasikan jumlah LNS mencapai 92 lembaga.[2]

Posisi LNS dalam konteks keuangan negara juga menjadi sorotan. Sepertiga dari jumlah LNS dibiayai oleh APBN. Pendanaan kegiatannya bergabung dengan pendanaan kegiatan kementerian/lembaga, bukan sebagai satuan kerja tersendiri. Hal ini dapat berimplikasi pada tumpang tindihnya tugas dan wewenang antara kementerian/lembaga dengan LNS yang nantinya dapat menyebabkan inefisiensi anggaran.

Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, baik untuk laporan keuangan maupun laporan kinerja yang berada di kementerian/lembaga, bukan dilakukan oleh LNS sebagai lembaga. Karena tidak adanya laporan kinerja dan laporan keuangan yang mandiri, audit kinerja dan audit keuangan akan kesulitan untuk menilai akuntabilitas LNS bersangkutan.[2]

Penataan

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Setneg bekerjasama dengan 14 perguruan tinggi dan melibatkan beberapa pakar melalui kegiatan penelitian, diskusi dan seminar, muncul rekomendasi untuk menata ulang keberadaan LNS. Dari 92 lembaga, 13 diusulkan dihapus, sedangkan 39 lainnya akan digabungkan. Lembaga yang akan dihapus dan digabungkan tersebut hanyalah lembaga yang dibentuk dengan keppres dan perpres, sedangkan yang dibentuk dengan UU akan dilakukan penelaahan lebih komprehensif. Penataan ini akan dilakukan dalam waktu 5 tahun.[1][3]

13 LNS yang akan dihapus adalah sebagai berikut:[4]

Referensi

Lihat pula

Pranala luar