Bahasa Sunda pada masa Kolonial Belanda

perkembangan bahasa Sunda pada abad ke-19

Bahasa Sunda pada masa Kolonial Belanda (basa Soenda atau basa Goenoeng, juga disebut sebagai basa Sunda Mangsa III atau bahasa Sunda Masa III)[3][4] adalah serangkaian tahapan bahasa Sunda di sekitar abad ke-19 (1800-1900), sebagai implikasi dari adanya pemerintahan Hindia-Belanda. Pada masa ini, bahasa Sunda mengalami perkembangan besar-besaran dari yang tadinya sebagai bahasa yang dianggap hanya digunakan secara lisan, menjadi bahasa yang mulai digunakan dalam media cetak dan menjadi bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah formal yang didirikan oleh pemerintah. Masa ini pula lah yang menjadi cikal bakal munculnya bentuk bahasa Sunda Modern yang ada pada saat ini.[5]

Bahasa Sunda Modern Awal
Basa Soenda, Basa Goenoeng
Bahasa Sunda Masa III
Early Modern Sundanese
Sasaoeran oleh Grashuis dalam De Soendanesche Tolk (1874)
Pengucapan
  • /ba.sa.sʊn.da/
  • /ba.sa.gu.nʊŋ/
Dituturkan diHindia Belanda
WilayahKeresidenan Priangan, Keresidenan Banten
Eraberkembang menjadi bahasa Sunda Modern pasca abad ke-20
Lihat sumber templat}}
Bentuk awal
Aksara Walanda (Latin)
Kode bahasa
ISO 639-3
Linguasfer31-MFN-ab
Status pemertahanan
Terancam

CRSingkatan dari Critically endangered (Terancam Kritis)
SESingkatan dari Severely endangered (Terancam berat)
DESingkatan dari Devinitely endangered (Terancam)
VUSingkatan dari Vulnerable (Rentan)
Aman

NESingkatan dari Not Endangered (Tidak terancam)
ICHEL Red Book: Extinct

Sunda Modern Awal diklasifikasikan sebagai bahasa yang telah punah (EX) pada Atlas Bahasa-Bahasa di Dunia yang Terancam Kepunahan

Referensi: [1][2]
Artikel ini mengandung simbol fonetik IPA. Tanpa bantuan render yang baik, Anda akan melihat tanda tanya, kotak, atau simbol lain, bukan karakter Unicode. Untuk pengenalan mengenai simbol IPA, lihat Bantuan:IPA.
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Peneliti mula-mula yang menaruh perhatian besar terhadap bahasa Sunda didominasi oleh orang-orang berkebangsaan Belanda, hal ini tidak terlepas dari kebijakan politik pada waktu itu yang menuntut serta mewajibkan tenaga kerja Eropa yang dibutuhkan sebagai pengelola perkebunan dan administrator—biasanya bertugas di wilayah Preanger (Parahyangan)—untuk menguasai bahasa Sunda. Diharapkan dengan kemampuan bahasa Sunda yang baik, para tenaga kerja Eropa ini dapat menjalin komunikasi yang lancar dengan masyarakat lokal yang utamanya bekerja sebagai buruh.[6]

Sejarah

sunting

Pra-Kolonial

sunting
 
Carita Waruga Guru (1700-an) yang diusahakan ke dalam edisi faksimili oleh C.M. Pleyte (1913)[7]:363

Bahasa Sunda oleh banyak orang Eropa pada awalnya diasumsikan sebagai bahasa yang tidak memiliki tradisi tulis dan tidak mampu mengembangkan kesusastraannya sendiri, tetapi seiring berjalannya waktu, kenyataannya tidak menunjukkan demikian. Pendapat mengenai bahasa Sunda yang tidak memiliki budaya tulis menulis diungkapkan oleh banyak akademisi Eropa yang terpengaruh ide-ide romantisisme, dalam pandangan mereka, suatu kesusastraan haruslah berbentuk sebagai kumpulan karya yang kanon dan direpresentasikan melalui tradisi tulisan, pemikiran seperti ini berangkat dari anggapan bahwa keberadaan kesusastraan dalam budaya sebuah bangsa akan menjadi tolok ukur seberapa majunya peradaban bangsa tersebut, pandangan seperti inilah yang diharapkan oleh akademisi Eropa untuk dipaksakan terdapat dalam masyarakat Sunda yang berujung pada kegagalan. Banyak dari mereka yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa bahasa Sunda hanya bahasa yang semata-mata merupakan bahasa lisan dan nihil nilai sastra.[8]

 
Transkripsi Carita Waruga Guru[7]:362

Titik balik dari ketiadaannya tradisi tulis dalam kesusastraan Sunda muncul ketika mulai ditemukannya manuskrip-manuskrip berbahan lontar Sunda pra-kolonial yang berasal dari abad ke-17 sampai 18 di desa terisolasi Ciburuy pada tahun 1865, penemuan ini mematahkan asumsi para akademisi Eropa yang juga menyebut bahwa tradisi penulisan dan aksara Sunda telah hilang sama sekali.[9] Selain oleh akademisi Eropa, pada tahun yang sama (1865), pencarian peninggalan naskah Sunda Kuno juga dilakukan oleh Raden Saleh yang mendapatkannya dari Gunung Cikuray, tidak jauh dari Desa Ciburuy. Naskah-naskah tersebut diserahkan oleh sosok yang ia klaim sebagai Kai Raga, yang diketahui sebagai pemimpin keagamaan di pertapaan di gunung yang sama. C.M. Pleyte yang melakukan penelusuran mengenai sosok Kai Raga ke Ciburuy pada tahun 1904 menemukan fakta bahwa Kai Raga tidak merujuk pada nama perseorangan, melainkan merupakan sebuah gelar yang dipakai oleh para pelanjut tradisi penulisan lontar yang masih terpengaruh budaya sastra masa Hindu-Budhha. Pada tahun yang sama juga, Pleyte mendapatkan informasi dari kepala desa setempat bahwa dahulu Gunung Cikuray dikenal sebagai Sri Manganti, berasal dari nama kampung yang ada di lereng gunung tersebut, walaupun kampung tersebut sudah ditinggalkan dan keberadaan pertapa yang tinggal di sana sudah tidak dapat diingat lagi oleh masyarakat sekitar. Sosok yang ditemui oleh Raden Saleh adalah keturunan atau lebih tepatnya cucu Kai Raga yang keberadaannya selepas tahun 1856 sudah tak dapat dilacak dan diyakini Pleyte bahwa orang tersebut telah meninggal tanpa memiliki keturunan.[10]:84-85 Manuskrip-manuskrip yang dinisbatkan kepada Kai Raga dan Gunung Sri Manganti di antaranya adalah Carita Ratu Pakuan (Koropak 410 & 411), Carita Purnawijaya (Koropak 416 & 423) dan Kawih Paningkes (Koropak 420).[10]:79 Ada pula naskah berjudul Carita Waruga Guru yang diperkirakan juga ditulis atau disalin oleh Kai Raga dan menjadi naskah termuda yang menurut Pleyte ditulis antara tahun 1705-1709.[11]:10

Koloni Persatuan Perusahaan Hindia Timur

sunting
 
Surat Sunda–Belanda (1780)

Sebelum pemerintahan Hindia Belanda dikuasai dan dikontrol secara langsung dan secara penuh oleh Pemerintah Belanda pada 31 Desember 1799[a] (kontrol masih dipegang oleh Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda/VOC) dan jauh sebelum para akademisi Eropa memfokuskan diri dalam penelitian bahasa Sunda, kemunculan nama bagi bahasa Sunda sendiri sudah terdokumentasikan dalam karya Herbert de Jager, seorang sarjana Belanda yang hidup pada tahun 1636-1694, ia menyebut bahasa Sunda sebagai Zondase taal.[12][13] Kemudian, melangkah lebih jauh lagi, masih pada masa VOC, usaha pencatatan dan pendokumentasian bahasa Sunda yang lebih komprehensif telah dilakukan oleh seorang linguis bernama Josua Van Iperen dalam artikelnya yang dipublikasikan pada tahun 1780. Ia memuat perbandingan sebuah sampel teks multibahasa antara bahasa Sunda yang ia tuliskan sebagai Sundase of Berg-taal (bahasa Sunda atau bahasa Gunung)[b] dengan terjemahan bahasa Belanda.[14] Pada halaman selanjutnya ia juga menyertakan tabel inventarisasi kosakata dasar bahasa Sunda, mulai dari kata benda seperti:

  • nama anggota tubuh,
  • kata sifat,
  • kata kerja,
  • objek alam,
  • hewan,
  • angka,
  • hingga arah mata angin.[15]

Interregnum Inggris

sunting
 
Perbandingan kosakata (Raffles 1817:lxxi), bahasa Sunda berada pada posisi paling tengah

Pada masa jeda kekuasaan di bawah kontrol Inggris/Britania tahun 1811-1816, tentu saja orang berkebangsaan Inggris ikut andil dalam studi lanjut mengenai kebudayaan lokal. Thomas Stamford Raffles, lieutenant-governor (Gubernur Jenderal) kala itu, dalam lampiran pada bukunya yang terbit tahun 1817, ia membuat perbandingan berbagai kosakata bahasa pribumi, termasuk bahasa Sunda, ia melampirkan kosakata yang berkaitan dengan alam, manusia, hewan, mineral, pakaian, makanan, rumah, kebun, pertanian, pertahanan, pemerintahan, agama, pengukuran, musik, ilmu pengetahuan, waktu dan siklus, angka, adjektiva, verba, pronomina, hingga partikel dan idiom serta kata majemuk.[16] Tak kalah dengan usaha Raffles tersebut, tiga tahun kemudian John Crawfurd, dokter berkebangsaan Skotlandia berhasil menuntaskan karyanya berupa buku yang berjudul History of the Indian Archipelago (1820). Di dalam buku tersebut, ia sedikit menyinggung dan membahas mengenai keberadaan bahasa Sunda.[17] Sama seperti yang telah dilakukan oleh Raffles, Crawfurd juga membuat perbandingan antar bahasa termasuk bahasa Sunda,[18] bahkan perbandingan yang ia buat dapat dikatakan lebih luas cakupannya karena ia juga menyertakan bahasa-bahasa seperti bahasa Rote hingga bahasa Madagaskar yang ia sebut sebagai anggota dari rumpun bahasa Polynesian dan Great Polynesian.[19][20]

Dua hasil pekerjaan Raffles dan Crawfurd di atas sangat berguna bagi para sarjana-sarjana Belanda pada masa sesudahnya.[21]

Koloni Kerajaan Belanda

sunting
 
Kamus Belanda-Melayu-Sunda (Wilde 1841)

Sejak tahun 1818, pemerintah kolonial Belanda mulai menggalakkan penyebaran pengetahuan mengenai bahasa-bahasa pribumi yang ada di Hindia Belanda kepada para pemukim asal Eropa agar mereka bisa menguasai dan menuturkannya secara lancar dengan dasar hukum Regeringsreglement van 1818 pasal 100, aturan tersebut kemudian diperbarui agar hanya berlaku untuk para pegawai bangsa Eropa saja dengan Regeringsreglement van 1827.[c][22] Bahasa Sunda sendiri mulai disadari keberadaan pentingnya oleh Andries De Wilde, seorang tuan tanah di Sukabumi. Ia mulai mempelajari dan kerap mempraktekkan kemampuan berbahasa Sundanya itu sejak tahun 1813-1821. Dalam bukunya, ia menuliskan pengalamannya berbicara bahasa Sunda kepada para pekerja lokal yang hendak meminum kopi. Ia menulis:"Pada awalnya saya tak melihat apa yang mereka konsumsi. Lalu saya tanyalah kepada mereka dalam bahasa Sunda, apa yang sedang dilakukan oleh mereka?" Mereka menimpalinya kembali dengan bahasa Sunda:"Ukur ngopi kaula nun" (Hanya sedang meminum kopi, Tuan!).[d][24] Keseriusan Wilde dalam memperhatikan kondisi bahasa Sunda terus berlanjut hingga ia berhasil menyusun kamus Sunda-Belanda, kamus ini ia susun berdasarkan kosakata yang ia senaraikan selama ia diangkat menjadi pengawas budidaya kopi sejak 1808 di Parahyangan, ia rajin mempelajari adat istiadat dari masyarakat setempat. Senarai kosakata yang telah ia kumpulkan ini kemudian ia bawa ke Belanda, atas dorongan J.F.C. Gericke dan dengan bantuan serta pengawasan Taco Roorda, seorang ahli bahasa-bahasa Ketimuran paling masyhur di Belanda, ia menerbitkan senarai kosakata tersebut ke dalam bentuk kamus yang berjudul Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek: benevens Twee Stukken tot Oefening in Het Soendasch pada tahun 1841 yang juga di dalamnya terdapat pengantar oleh Roorda.[25]

 
Kamus Sunda-Inggris (Rigg 1862), memuat 9.308 lema

Selain Wilde, masih banyak lagi para pengelola perkebunan yang mempunyai minat tinggi terhadap bahasa Sunda, beberapa di antaranya adalah Jonathan Rigg dan Karel Frederik Holle. Rigg bertugas di daerah Jasinga, Bogor. Sementara itu, Holle bertugas di Cikajang, Garut. Rigg yang berkebangsaan Inggris menjadi pelopor dalam penyusunan kamus Sunda-Inggris setelah kamus yang ia beri judul A Dictionary of the Sunda Language of Java pertama kali terbit pada tahun 1862. Kamus tersebut menjadi salah satu kamus dengan entri yang cukup kaya, yaitu berisi sebanyak 9.308 lema. Alasan Rigg menyusun kamus tersebut karena adanya dorongan dari sayembara yang diadakan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (disingkat BGKW), sebuah lembaga kebudayaan yang berpusat di Batavia. Lewat sekretarisnya, Pieter Mijer, pada 9 Oktober 1843 BGKW mengadakan sayembara penyusunan kamus baru mengenai bahasa Sunda yang diharapkan dapat lebih baik dari karya Wilde sebelumnya. Sayembara tersebut berhadiah sebesar 1.000 gulden dengan tambahan medali emas senilai 300 gulden. Naskah awal susunan Rigg pertama kali diterima BGKW pada tahun 1854 yang selanjutnya dibukukan oleh Lange & Co di Batavia. Usaha yang ditempuh Rigg selama penyusunan kamusnya tersebut melewati berbagai metode, salah satunya adalah dengan mengambil sumber dari Bupati Cianjur ke-10, R.A.A Kusumahningrat alias Dalem Pancaniti yang membuat senarai kosakata Sunda—utamanya dari Parahyangan Barat—berdasarkan tingkatannya (lemes sampai cohag) yang disebut sebagai Paririmbuan-ketjap. Sebagai tokoh terkemuka di Jasinga, Rigg juga mempunyai relasi yang baik dengan Raden Nata Wireja, seorang Demang Jasinga. Relasi ini ia manfaatkan untuk menambah wawasannya mengenai perbendaharaan kata bahasa Sunda, terutama di daerah Jasinga. Rigg juga sempat mengundang salah seorang juru pantun berjuluk Ki Gembang dari Bogor, untuk melantunkan carita pantun antara tahun 1847, 1848, dan 1850.[26]

 
Percakapan dwibahasa Sunda-Belanda (Kartawinata 1883)

Bilamana usaha Rigg dalam menunjukkan perhatiannya terhadap bahasa Sunda ditujukan dengan menyelesaikan kamus Sunda-Inggris, maka tokoh selanjutnya yang patut diperhitungkan usahanya adalah Holle, usaha serta jasanya dianggap melampaui dari apa yang telah dikerjakan oleh peneliti lain. Tak tanggung-tanggung, Holle selain mempelajari kesundaan melalui bahasa, ia juga paham betul-betul adat serta kebiasaan masyarakat Sunda, sehingga beberapa sumber menyebutkan ia sudah dapat dianggap sebagai penduduk asli bagi orang Eropa. Masyarakat Sunda sendiri pada waktu itu memandang Holle sebagai pemimpin dan memberikannya gelar Sayid Muhammad bin Holle. Bagaimana tidak, dedikasinya terhadap orang Sunda tidak semerta-merta karena kepentingan pribadi, melainkan karena pemikirannya yang hendak memanusiakan orang Sunda dan memberdayakannya menjadi masyarakat yang menerapkan hukum penawaran dan permintaan (homo economicus). Kajian Holle mengenai bahasa Sunda dimulai ketika ia ditugaskan menjadi "pegawai pelaksana penyusunan buku pelajaran bahasa Sunda" atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai ambtenaar belast met de samenstelling van Soendasche leerboeken pada tahun 1859. Dengan dibantu salah seorang penghulu lokal di daerah Limbangan (kini Kabupaten Garut) bernama Muhammad Musa yang telah ia kenal sejak 1857.[27][28]

Dari deskripsi di atas, dapatlah diketahui bahwa usaha Holle membuat bahasa Sunda menjadi maju, karena ia adalah perintis tradisi penulisan bahasa Sunda dalam media cetak. Holle bersama Musa dan beserta rekan-rekannya seperti Patih Limbangan Adi Widjaja dan mantan Patih Galuh Brata Widjaja sekurang-kurangnya telah menghasilkan 13 judul buku, selain itu Holle juga ikut andil dalam pengawasan sebanyak 23 judul buku berbahasa Sunda sepanjang dekade 1860-an. Holle juga mempunyai murid-murid, beberapa di antaranya adalah anak Musa, seperti Lasminingrat, Lenggang Kentjana, Soeria Nata Ningrat, dan Kartawinata.[29] Kartawinata sebagai murid terdekat Holle berhasil menyusun buku yang berisi contoh-contoh percakapan yang ditulis secara dwibahasa, yaitu bahasa Sunda dan bahasa Belanda yang berjudul Soendasch-Hollandsche Samenspraken atau Pagoenĕman Soenda djeung Walanda (1883) dan berisi pengantar dari Holle.[30] Buku tersebut menjadi pegangan bagi orang-orang Belanda yang hendak belajar bahasa Sunda hingga mendekati penutur asli karena penulisan dalam buku tersebut dilengkapi dengan tanda baca yang akan menggambarkan bagaimana nuansa percakapan Sunda yang sesungguhnya hingga orang asing yang membacanya bisa meniru aksen atau logat Sunda yang sesuai, buku ini kelak menjadi inspirasi bagi buku panduan lainnya bagi orang Eropa pasca tahun 1900-an.[31][32]

Pasca abad ke-20

sunting
 
Sampul buku Baroeang ka noe Ngarora (1914)

Pada awal tahun 1900-an, bentuk tradisi tulis Sunda mulai mengalami perubahan, dari yang sebelumnya didominasi oleh Wawacan, selanjutnya banyak digantikan oleh novel (roman).[33] Transisi dari sastra Sunda Modern Awal menuju sastra Sunda Modern dimulai dengan hilangnya porsi Wawacan dan tulisan-tulisan tradisional yang dianggap tidak cocok lagi dengan pemodernan karena bentuknya yang terikat dengan aturan-aturan tertentu yang berfokus pada intonasi, rima, dan penuh dengan majas metafora.[34] Penerbitan wawacan berangsur-angsur menurun, terhitung sejak dekade 1910-an, ada 13 judul wawacan yang dihasilkan, 30 judul pada dekade 1920-an, menurun menjadi hanya 10 judul pada dekade 1930-an, hingga pada dekade 1940-an tidak ada satu pun judul yang dihasilkan.[35]

Ketika Commissie voor de Volkslectuur didirikan pada tahun 1908, perannya dengan cepat memengaruhi gaya kepenulisan dalam bacaan-bacaan yang dihasilkan, ide-ide baru dari Eropa mulai diadaptasi ke dalam bahasa lokal. Daeng Kanduruan Ardiwinata yang kelak akan menjadi pengarang pertama yang menulis novel dalam bahasa Sunda, pada saat itu menduduki posisi sebagai kepala seksi untuk bagian bahasa Sunda. Terjemahan karya-karya Eropa yang berbentuk prosa mulai diproduksi. Melalui terjemahan-terjemahan inilah, roman dan novel akhirnya diperkenalkan dan mendapat perhatian lebih sehingga sedikit demi sedikit mulai menggantikan tulisan-tulisan sebelumnya karena memiliki gaya tulisan yang cenderung realis. Novel/roman dalam bentuk prosa berbahasa Sunda sendiri mulai bermunculan sejak tahun 1910.[36]

Puncaknya, karya prosa pertama dalam bahasa Sunda berbentuk novel yang berjudul Baruang ka noe Ngaroera karangan Daeng Kanduruan Ardiwinata diterbitkan oleh percetakan G. Kolff & Co. di Weltevreden pada tahun 1914, hal ini menandai masuknya perkembangan bahasa dan kesusastraan Sunda ke dalam fase modern.[37]

Dialek

sunting

Pencatatan dan pengkajian mengenai variasi bahasa Sunda berdasarkan wilayah atau dialek sudah disadari oleh para akademisi Eropa sejak masa ini. Dialek yang cukup didokumentasikan dengan baik adalah bahasa Sunda dialek Banten atau lebih tepatnya dialek Banten-Selatan (termasuk bahasa Badui), sesuai dengan nama Belandanya Zuid-Bantĕnsch dialect yang difokuskan penelitiannya oleh J.J. Meijer, seorang mantan kontroleur (kepala Onderafdeling) Goenoeng Kantjana, Afdeeling Lĕbak, Bantam Regentschappen. Ia tergugah semangat untuk mengkaji dialek Banten setelah menerima tantangan dari S. Coolsma.[38] Selain dialek Banten, J.J. Meijer juga sempat menyinggung dialek-dialek bahasa Sunda lainnya yang mungkin bisa dikaji lebih lanjut oleh akademisi lain, seperti Buitenzorg (Bogor), Djampangsch (Jampang), dan Krawangsch (Karawang).[39]

Perbedaan antara dialek bahasa Sunda di Keresidenan Priangan (Preanger Regentschappen) dengan bahasa Sunda di Banten selatan tidak terlalu jauh seperti yang dibayangkan.[40] Beberapa kosakata yang dalam dialek Preangersche menggunakan vokal i dengan vokal selanjutnya u, dalam Zuid-Bantĕnsch menjadi a, seperti contohnya antjoe (ancu), andjoek (anjuk), patjoeng (pacung), taloe (talu), batoeng (batung), ajoeh (ayuh), andoeng (andung), tamoe (tamu), tawoean (tawuan), panoeh (panuh), ranjoeh (ranyuh) untuk intjoe (incu), indjoek (injuk), pitjoeng (picung), tiloe (tilu), bitoeng (bitung), ijoeh (iuh), indoeng (indung), timoe (timu), tiwoean (tiwuan), pinoeh (pinuh), rinjoeh (rinyuh).[41]

Ada juga perbedaan pada peletakan konsonan, misalnya:[41]

Prengersch Zuid-Bantĕnsch
boeroej boejoer
bajar baraj

Perbedaan konsonan dan vokal.[41]

Prengersch Zuid-Bantĕnsch
rendeng renteng
ganas kanas
djiga, siga diga
gomber gombel
gidĕg gideug
ilok elok
lĕmboet lĕmbet
kĕlĕng gĕlĕng

Keberadaan dan ketiadaan konsonan sengau.[42]

Prengersch Zuid-Bantĕnsch
handjĕli hadjĕli
handjere hadjere
gangsal gasal
sambara samara
rambĕtoek rĕmbĕtoek

Fonologi

sunting

Berikut adalah fonem-fonem bahasa Sunda: /a/, /ɛ/ é, /i/, /ɨ/ eu, /ə/ e, /u/ dan /ɔ/ o.[43]

Vokal
Depan Madya Belakang
Tertutup i ɨ u
Tengah ɛ ə ɔ
Terbuka a
Konsonan
Dwi-bibir Gigi Langit2
keras
Langit2
lunak
Celah
suara
Sengau m n ɲ ŋ
Letup/Gesek p b t d k ɡ ʔ
Desis/Geser s h
Kepak/Hampiran   r l      
Semivokal w j

Penutur

sunting
 
Peta bahasa pada tahun 1881, legenda:
  penutur bahasa Sunda

Raffles memperkirakan jumlah penutur bahasa Sunda pada tahun 1815 sebanyak satu per sepuluh (1/10) dari jumlah penduduk Pulau Jawa,[44] sensus terhadap pulau Jawa yang ia hasilkan menunjukkan angka 4.322.031 jiwa.[45] Moriyama skeptis dengan kesimpulan Raffles ini karena Raffles melakukan simplifikasi pada saat penghitungan dan kebingungan ketika membaca peta bahasa, ia menganggap Raffles hanya menghitung penutur bahasa Sunda yang berada di wilayah dataran tinggi (wilayah Priangan) dan mengabaikan wilayah lainnya. Berbekal data yang penelitian terbaru,[46]:105 Moriyama melakukan estimasi ulang dengan turut serta menghitung setengah populasi penduduk di Keresidenan Cirebon. Menurut kalkulasi terbaru yang telah didapatkan, pada tahun 1815 populasi di wilayah penutur bahasa Sunda (Banten, Bogor, Karawang, Priangan, dan sebagian Cirebon) mencapai 681.782 jiwa.[47]

Estimasi Raffles diulangi oleh Crawfurd dalam laporannya, ia menuliskan:

The Sunda is the language of the mountaineers of the western part of Java, of perhaps one-third of the area of the island, but, in round numbers, probably of not more than of one-tenth of its inhabitants. (Bahasa Sunda adalah bahasa para pemukim pegunungan di bagian barat Pulau Jawa, yang luasnya mungkin sepertiga dari luas pulau ini, tetapi, jika dikumpulkan, mungkin tidak lebih dari sepersepuluh penduduknya.)

— Crawfurd (1820: Vol 2, 66), History of The Indian Archipelago[48]

Ortografi

sunting
 
Sampul buku pedoman Ejaan bahasa Sunda (Holle 1876)

Penulisan bahasa Sunda di masa ini menggunakan alfabet latin (Aksara Walanda) dengan banyaknya ketidakkonsistenan pada masa awal pengenalan. Masalah seringkali muncul ketika huruf vokal "eu" (Vokal tengah madya panjang/schwa) hendak direpresentasikan. Perbedaan latar belakang tiap penulis di media cetak membuat banyaknya transliterasi yang hanya mengandalkan persepsi lisan saja tanpa adanya pertimbangan yang lebih lanjut. Holle pertama kali merumuskan sistem ejaan (bahasa Sunda Modern Awal: cacarakan, bahasa Sunda Modern: éjahan) bahasa Sunda pada bukunya yang berjudul Kitab tjatjarakan Soenda, terbit tahun 1862. Buku ini kemudian menuai kritik, salah satunya datang dari Koorders. Ia menyarankan agar schwa panjang dilambangkan menggunakan "eu", sedangkan schwa pendek menggunakan "e". Peneliti lain juga menawarkan opsi alternatif, seperti yang diberikan oleh Grashuis, seorang misionaris dari Nederlandsch Zendeling Genootschap, ia membuat terobosan ortografi baru, yang menggunakan "u" untuk merepresentasikan schwa panjang.[49]

Setelah melewati berbagai proses perancangan dan pemutusan. Akhirnya sistem transliterasi sekaligus ortografi karya Holle diratifikasi oleh pemerintah kolonial pada tahun 1871. Kebijakan ini berimplikasi pada percetakan buku berbahasa Sunda yang pada akhirnya dapat mempertahankan keteraturan, karena lembaga pemerintah untuk urusan percetakan seperti Landsdrukkerij selalu mengikuti arahan dan rekomendasi dari Holle. Hingga pada akhirnya, para intelektual Sunda melalui penerbit Balai Pustaka pada tahun 1912 menerbitkan Palanggĕran Noeliskeun basa Soenda koe Aksara Walanda sebagai buku pegangan para pelajar di sekolah-sekolah.[50]

Perbandingan

sunting

Berikut adalah perbandingan beberapa ortografi yang pernah digunakan untuk menulis bahasa Sunda dari berbagai literatur mengenai leksikografi.

Iperen (1780)[15] Raffles (1817)[51] Crawfurd (1820)[18] Wilde (1841) Rigg (1862) Grashuis (1874) Geerdink (1875) Coolsma (1884) Modern Glosarium
hegie[52] hiji[53] hidji[54] hiji[55] hidji[56] hidji[57] hidji[58] hiji satu
doua dua doewa[59] dua[60] doewa doewa[61] doewa[62] dua dua
tolla tilu tiloe[63] tilu[64] tiloe tiloe[65] tiloe[66] tilu tiga
geenap genap gennep[67] gĕnap[68] genep gĕnĕp[69] gěněp[70] genep enam
tojon tújuh toedjoeh[71] tujuh[72] toedjoeh toedjoeh[73] toedjoeh[74] tujuh tujuh
sapoelo sapuluh sapoeloeh[75] sapuluh[76] sapoeloeh sapoeloeh[77] sapoeloeh[78] sapuluh sepuluh
inge enia[79] nja[80] nya[81] enja[82] ĕnja[83] ěnja[84] enya iya
lahoet[14] laut[85] laut[86] la-oet[87] laut[88] laoet[89] laoet[90] laoet[91] laut laut
loechoer lúhur[92] luhur[93] loehoer[94] luhur[95] loehoer[96] loehoer[97] loehoer[98] luhur atas
djalma jalma[99] jălăma[100] djalma[101] jalma[102] djalma[103] djalma[104] djalma[105] jalma orang
coelon kulon kulon[106] koelon[107] kulon[108] koelon[109] koelon[110] koelon[111] kulon barat
kidol[112] kidul[113] kidul kidoel[114] kidul[115] kidoel kidoel[116] kidoel[117] kidul selatan
his he-es[118] hee-ees[119] hé-és[120] hèès[121] heës[122] heës[123] héés tidur
hijuch[14] iyéuk[124] iyak[125] ijĕh[126] iyo[127] iju[128] ijeu[129] ijeu[130] ieu ini
unto hentéuk[79] hantĕ[131] hanto[132] hentu[133] hanteu[134] hanteu[135] henteu tidak
holo[136] húlu[137] hwulu[138] hoeloe[94] hulu[139] hoeloe[140] hoeloe[141] hoeloe[142] hulu kepala
hiroeng irung[143] irung[144] hiroeng[145] irung[146] iroeng iroeng[147] iroeng[148] irung hidung
haentoe untu untu hoentoe[149] huntu[139] hoentoe[150] hoentoe[141] hoentoe[151] huntu gigi
awewe[152] áwe-wek[99] awewek[100] aweewee[153] awéwé[154] awèwè[155] awewe[156] awewe[157] awéwé perempuan
tapoe matápoék[158] mata-poe[159][138] mata powee[160] mata-poi[161] matapoè[162] matapowe[163] mata-poë[164] matapoé matahari

Ortografi resmi

sunting

Karena sistem yang paling banyak disetujui untuk ortografi bahasa Sunda (tjatjarakan Soenda) pada masa ini adalah hasil usaha Holle, maka keterangan di bawah ini merujuk pada deskripsi Holle (1876).[165]

Huruf (Aksara)
Kapital[166]

Aksara gĕde[167]

Kecil[168]

Aksara leutik[169]

Alfabet Fonetik

Internasional dan Audio

A a /a/ (simak)
B b /b/ (simak)
D d /d/ (simak)
Dj dj /d͡ʒ/ (simak)
E e /e/ (simak)

/ɛ/ (simak)

Ĕ ĕ /ə/ (simak)
Eu eu /ɤ/ (simak)

/ɯ/ (simak)

/ɨ/ (simak)

G g /g/ (simak)
H h /h/ (simak)
I i /i/ (simak)

/ɪ/ (simak)

J j /g/ (simak)
K k /k/ (simak)
L l /l/ (simak)
M m /m/ (simak)
N n /n/ (simak)
Nj nj /ɲ/ (simak)
O o /o/ (simak)

/ɔ/ (simak)

Oe oe /u/ (simak)

/ʊ/ (simak)

P p /p/ (simak)
R r /r/ (simak)
S s /s/ (simak)
T t /t/ (simak)
W w /w/ (simak)

Untuk vokal pada posisi tengah maupun akhir yang didahului oleh glottal stop/hamzah (/ʔ/ (simak)) atau juga dapat dipahami sebagai dua vokal yang bertemu, maka pada huruf vokal kedua dapat dituliskan dengan menambahkan diaresis (titik dua di atas huruf), semisal pada kata heës /heʔɛs/ ataupun hoë /hɔwe/.[170]

Pungtuasi / Tanda baca[171]
Grafis . , ; ? ! „” ()
Nama pada panjamboeng pada panrangkĕp tjĕtjĕk koma koma tjĕtjĕk pada pananja pada panjĕloek atau omongan panĕgĕs koeroeng

Contoh

sunting
 
Buku tata bahasa Sunda oleh H.J. Oosting (1884).

Di bawah ini adalah ekspresi-ekspresi bahasa Sunda yang mengacu pada Grashuis (1874).

Kata ganti orang

sunting
Sunda[172] Belanda Indonesia
aing Ik aku (superior)
dewek, kami aku (akrab)
koering, djisim koering, sim koering aku (merendahkan terhadap lawan bicara superior)
abdi, djisim abdi saya (penghambaan)
kaoela, djasad kaoela, sad kaoela saya (sopan terhadap orang asing)
koela aku (agak akrab)
sija jij kau (superior)
silahing, ilahing kau (akrab)
maneh kau (lawan bicara sedikit di atas)
adjĕngan engkau (sopan)
andjeun
andika kamu (ramah, terhadap anak-anak)
hidĕp
mantĕn engkau (sopan, tidak digunakan lagi)
manehna, manehannana hij, zij dia
maranehannana, maranehna Zij (meerv.), zijlieden mereka
sampeannana, andjeunna, adjĕngannana Hij, zij (beleefd en eerbiedig) beliau (sopan, penuh hormat)
inja Hem, baar, hen dia (setelah kata depan ka)
oerang Wij, soms: ik. kami (terkadang saya)

Kata keterangan

sunting
Sunda[173] Belanda Indonesia
di dijeu hier di sini
di ditoe daar di sana
di dinja ginds di situ
ka dijeu hier heen, kom hier ke sini
ka ditoe / ka itoe daar heen ke sana
ka dinja naar ginds ke situ
ti dijeu van hier dari sini
ti ditoe van daar dari sana
ti dinja van daar ginds dari situ

Kata tanya

sunting
Sunda[174] Belanda Indonesia
naon, nahaon wat apa
saha wie siapa
naha wel, hoe is het mengapa
koemaha hoe bagaimana
iraha wanneer kapan
sabaraha, sakoemaha hoeveel berapa

Kata kerja

sunting
Sunda[175] Belanda Indonesia
ngoeroegan aanarden, ophoogen membenamkan
datang, soemping aankomen datang
njabak aanvatten, ter band nemen menyentuh
boetjat barsten meletus
baramaen bedelen mengemis

Bilangan

sunting
Angka

Arab

Angka Romawi Kardinal[56] Ordinal[176] Bahasa Indonesia
Kardinal Ordinal
1 I hidji, sahidji kahidji, kasahidji satu kesatu
2 II doewa kadoewa dua kedua
3 III tiloe katiloe tiga ketiga
4 IV opat kaopat empat keempat
5 V lima kalima lima kelima
6 VI gĕnĕp kagĕnĕp enam keenam
7 VII toedjoeh katoedjoeh tujuh ketujuh
8 VIII dalapan kadalapan delapan kedelapan
9 IX salapan kasalapan sembilan kesembilan
10 X sapoeloeh kasapoeloeh sepuluh kesepuluh

Kalimat

sunting

Contoh-contoh kalimat:[177]:242-244

  • Manehna koe koela bakal dikiriman doewit. = Ik zal hem geld zenden. = Saya akan mengiriminya uang.
  • Lamoen Toewan Rĕsiden soemping, tangtoe koe koela geus dikirimkeun = Wanneer de resident thuis komt, zal ik het reeds gezonden hebben. = Jika Tuan Residen datang, tentu sudah kukirimkan.
  • Panon powe njaängan boemi. = De zon verlicht de arde. = Matahari menyinari bumi.
  • Andjing paraban. = Geef de honden te eten. = Beri makan anjing.
  • Kalamna koe maneh geus diomean deui? = Hebt gij de pennen al vermaakt? = Apakah engkau sudah mengisi pena?
  • Eta gĕlas-gĕlas tjitjian deui. = Schenk die glazen nog eens vol. = Tuangkan gelas-gelas itu lagi.
  • Menak-menak geus disoeratan, koedoe noeroetkeun pisan sakoemaha dawoehan Toewan Kontroleur. = De hoofden zijn aangeschreven, de bevelen van den kontroleur stipt op te volgen = Para petinggi telah diberitahu untuk mengikuti perintah pengawas sesuai dengan surat tersebut.

Literatur

sunting

Sebagai akibat dari modernisasi bahasa Sunda dalam media cetak, bermunculanlah karya-karya sastra yang pada abad ke-19 jenis yang paling banyak digemari adalah Wawacan. Walaupun demikian, pada masa-masa selanjutnya, juga bermunculan jenis karya sastra lain yang mulai diproduksi menggunakan bahasa Sunda. Dalam rentang periode sekitar tahun 1849-1908, setidaknya ada 222 judul buku-buku berbahasa Sunda yang dicetak oleh Landsdrukkerij di Batavia atau dikenal dengan nama lokalnya dalam bahasa Sunda sebagai Kantor Tjitak Kangdjĕng Goepĕrnĕmen di Batawi, setelah tahun 1908, penerbitan buku berbahasa Sunda diambil alih oleh Commissie voor de Inlandsche School- en Volkslectuur atau yang kini dikenal sebagai Balai Pustaka.[178]

Beberapa buku, baik itu buku baru, saduran, maupun terjemahan yang sebagian besar dipublikasikan oleh Landsdrukkerij judul-judulnya yaitu:[179][180][181][182]:10-11

Bahasa

sunting
  • Kitab Pangadjaran Basa Soenda (1849/1850) oleh K.F. Holle[183]
  • Soendasche modellen van verschillende brieven / Kitab Tjonto-tjonto Soerat Pikeun Moerangkalih Anoe Iskola (1861) oleh K.F. Holle[184]
  • Boekoe batjaän: Pikeun Moerid-moerid dina Pangkat Panghandapna di Iskola Soenda (1883) oleh H.A. de Nooij[185]
  • Boekoe Batjaän Salawe Toeladan Pikeun Moerid-moerid Pangkat Panghandapna di Sĕkola Soenda (1898) oleh Willem van Gelder[186]

Susastra

sunting
  • Tjarita Koera-Koera djeung Monjet (1851) oleh K.F. Holle[187]
  • Tjaritana Ibrahim (1853) oleh Anonymous[188]
  • Ijĕ Wawatjan Tjarita Ibrahim (1858) oleh Anonymous[189]
  • Ijĕ Wawatjan Tjarita Noeroel-Kamar (1859) oleh Anonymous[190]
  • Wawatjan Radja Darma (1862) oleh Danoe Koesoemah[191]
  • Wawatjan Djaka Miskin (1862) oleh Wira Tanoe Baija[192]
  • Wawatjan Tjarijos si Miskin (1862) oleh Danoe Koesoemah[193]
  • Wawatjan Dongeng-dongeng Toeladan (1863) oleh Prawira Koesoemah[194]
  • Wawatjan Setja Nala (1863) oleh Moehamad Moesa[195]
  • Kitab Dongeng-Dongeng Noe Araneh (1866) oleh Moehamad Moesa[196]
  • Dongeng-Dongeng Pieunteungeun (1867) oleh Moehamad Moesa[197]
  • Katrangan Lampah Sĕbar (1874) oleh Moehamad Moesa[198]
  • Tjarita Toewan Kapitan Wilĕm Esbranson Bontekoe (1874) oleh Kartawinata[199]
  • Tjarita Erman (1875) oleh Lasminingrat[200]
  • Wawatjan Pandji Woeloeng (1876) oleh Moehamad Moesa[201]

Keagamaan

sunting
  • Indjil anoe kasoeratkeun koe Mattheus (1854) oleh G.J. Grashuis[202]
  • Kitab toepah: Soendaneesch Mohammedaansch wetboek (1858) oleh Soerja Di Laga[203]
  • Pĕrdjangdjian Anjar Hartosna Sadajana Kitab noe Kasĕbat Indjil Goesti oerang Jesoes Kristoes (1877) oleh Sierk Coolsma[204]
  • Tjarijos Joesoep: Beunang Nĕmbangkeun (1894) oleh Titus[205]
  • Njanjian Baris Moedji di Iskola reudjeung di Imah (1897) oleh D. van Sijn & Zoon[206]

Peternakan

sunting
  • Katrangan Tina Prakawis Mijara Laoek Tjai (1861) oleh K.F. Holle[207]
  • Wawatjan Katrangan Miara Laoek Tjai (1866) oleh Moehamad Omar[208]
  • Wawatjan Woelang Poetra (1862) oleh Adiwidjaja[209]
  • Wawatjan Woelang Krama (1862) oleh Moehamad Moesa[210]
  • Wawatjan Woelang Moerid (1865) oleh Moehamad Moesa[211]

Pertanian

sunting
  • Woelang Tani (1862) oleh Moehamad Moesa[212]
  • Mitra noe Tani (1874) oleh K.F. Holle & Kartawinata[213]

Aritmetika

sunting
  • Kitab Elmoe Itoengan (1866) oleh De Koning[214]
  • Kitab Noedoehkeun Ngelmoe Itoengan (1867) oleh Kartawinata[215]
  • Boekoe Pĕtjahan Itoengan Bener (1894) oleh van Haastert[216]

Kearsipan

sunting
  • Kitab Tjonto-tjonto Soerat Anjar (Nieuw brievenboek voor de Soendasche scholen) (1876) oleh Kartawinata & K.F. Holle[217]

Historiografi

sunting
  • Geschiedenis van de Soenda-landen (1880) oleh J.A. van der Chijs & Karta Winata[218]
  • Wawatjan Piwoelang Panoelak Panjakit Kolera (1897) oleh Djajadiningrat[219]

Pengaruh asing

sunting
 
Contoh bagaimana kosakata asing masuk ke dalam bahasa Sunda.

Bahasa Sunda pada masa ini tentunya menyerap banyak kosakata dari bahasa-bahasa Eropa, dalam hal ini didominasi oleh bahasa Belanda yang biasanya mencakup kosakata yang berkaitan dengan konsep-konsep yang baru dikenalkan pada masa kolonial dan sebelumnya tidak ada padanannya dalam bahasa Sunda. Contoh-contoh kosakata serapan dari bahasa Belanda tersebut bisa ditemukan dalam berbagai naskah, beberapa contoh di antaranya yaitu.[220]

Bahasa Sunda Bahasa Belanda Bahasa Indonesia
distrik (kawedanan) kewedanaan
ĕlat laat telat
koemĕtir gecommitteerde pemungut pajak
goepĕrnĕmen gouvernement pemerintah
iskola (bahasa Portugis: escuela) sekolah
kasapeu cassave ubi kayu
rěgen regent bupati
aki accu(mulator) baterai mobil
balok balk balok
garasi garage garasi
halteu halte pemberhentian trem/bis
kaos kous(en) kaus
lampoe lamp lampu

Sampel teks

sunting

Sampel teks diambil dari buku Dongeng-dongeng Pieunteungeun (1867).[197]:5

Aja garoeda tarik pisan panjambĕrna anak ĕmbe, diranggeum toeloej bae dibawa ngapoeng. Dina mangsa harita aja manoek gagak njahoeun, kabitaeun pisan njeueung tingkahna garoeda teja, pikirna gagak teh: Naha kami lamoen noeroetan tjara kitoe, mowal katoeroetan? Ari geus ngomong kitoe, gagak teh nendjo ĕmbe badot, gagak hibĕr moeloek pisan, ari ti loehoer monteng ka handap tjara garoeda, gĕproek gagak teh njambĕr kana ĕmbe badot sarta diranggeum. Barĕng rek dibawa hibĕr, soekoena kapoekĕt koe boeloe soesoeri ĕmbe; geus teu bisa hibĕr, kaboro koe noe ngangon, gantjang gagak teh ditjĕkĕl diteukteukan djangdjangna, toeloej dibikeun ka anakna, dipake karĕsĕpan boedak. Tjarek anakna noe hidji: Bapa eta manoek naon? Tjarek bapana: ljeu manoek teh hajangeun bisa noeroetan garoeda, tapi saäjeuna tetela jen manoek gagak. Hartina: oelah wani-wani njorang sagala kalakoean, noe teu pikadjoengdjoengeun koe awak maneh atawa koe tanaga maneh, sabab taja noe pinoeloengeun katiwasan djeung wiwirang maneh kadjaba boedi maneh, noe koedoe ngira-ngira ngoekoer ka koedjoer nimbang ka awak.

— Moesa 1867:5, Manoek Garoeda Djeung Gagak

Galeri

sunting

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting

Keterangan

sunting
  1. ^ Antara tahun 1795-1806, pemerintahan Belanda berbentuk Republik, yaitu Republik Batavia, kemudian bentuk pemerintahannya diteruskan oleh Kerajaan Hollandia pada tahun 1806-1810. Kedua bentuk pemerintahan tersebut berada dalam pengaruh Prancis, lebih tepatnya Republik Prancis Pertama dan kemudian Kekaisaran Prancis Pertama di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte
  2. ^ Anggapan bahasa Sunda sebagai berg taal atau 'bahasa gunung' muncul dari kalangan orang Belanda yang melihat banyak masyarakat Sunda tinggal di dataran tinggi
  3. ^ Regeringsreglement ialah konstitusi yang memuat peraturan pokok mengenai kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang bersumber pada Gubernur Jenderal sebagai penguasa tunggal dan tertinggi di pusat pemerintahan. Ia juga dapat disepadankan dengan UUD pada masa sekarang.
  4. ^ Dalam versi aslinya pada bukunya yang berbahasa Belanda, Wilde menulis dengan ejaan sebagai berikut: "ukker ngoppie kawoela noehn" yang ia terjemahkan menjadi "wij drinken koffij, Mijnheer!"[23]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011. 
  2. ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022. 
  3. ^ Prawirasumantri (1990), hlm. 7.
  4. ^ Prawirasumantri (1990), hlm. 11.
  5. ^ Moriyama (2010), hlm. 2-3.
  6. ^ Kurnia (2021), hlm. 1.
  7. ^ a b Pleyte, C.M. (1913). "De Patapaän Adjar soeka resi, anders gezegd: de kluizenarij op den Goenoeng Padang. Tweede bijdrage tot de kennis van het oude Soenda". Tijdschrift voor Indische Taal- Land- en Volkenkunde. LV: 281–428. 
  8. ^ Moriyama (1996), hlm. 173-175.
  9. ^ Moriyama (1996), hlm. 175-176.
  10. ^ a b Kurnia, A. (2012). "Sinurat Ring Merega; Tinjauan atas Kolofon Naskah Sunda Kuna". Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara. 3 (1): 77–99. doi:10.37014/jumantara.v3i1.451 . 
  11. ^ Suprianto, A.A. (2015). "Transformasi Tradisi Penulisan Naskah Sunda Kuno pada Masa Peralihan Ditinjau Melalui Karya-karya Kai Raga". Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara. 6 (2): 10. doi:10.37014/jumantara.v6i2.297 . 
  12. ^ Moriyama (1996), hlm. 153.
  13. ^ Moriyama (2005), hlm. 10.
  14. ^ a b c Iperen (1780), hlm. 290.
  15. ^ a b Iperen (1780), hlm. 292-297.
  16. ^ Raffles (1817), hlm. lxxi.
  17. ^ Crawfurd (1820), hlm. 66-67.
  18. ^ a b Crawfurd (1820), hlm. 125-191.
  19. ^ Crawfurd (1820), hlm. 99.
  20. ^ Crawfurd (1820), hlm. 123.
  21. ^ Moriyama (1996), hlm. 155.
  22. ^ Kurnia (2021), hlm. 5.
  23. ^ Wilde (1830), hlm. 147.
  24. ^ Kurnia (2021), hlm. 7.
  25. ^ Kurnia (2021), hlm. 7-8.
  26. ^ Kurnia (2021), hlm. 8-9.
  27. ^ Kurnia (2021), hlm. 10.
  28. ^ Zimmer (2002), hlm. 73.
  29. ^ Kurnia (2021), hlm. 10-11.
  30. ^ Kartawinata (1883), hlm. iii.
  31. ^ Kurnia (2021), hlm. 11-12.
  32. ^ Kurnia (2021), hlm. 13.
  33. ^ Marsila (2019), hlm. 37.
  34. ^ Cantini (2018), hlm. 198.
  35. ^ Marsila (2019), hlm. 40-41.
  36. ^ Marsila (2019), hlm. 41.
  37. ^ Ardiwinata, D.K. (1914). Baroeang ka noe Ngarora. Weltevreden, Batavia: Balai Pustaka, G. Kolff & Co. OCLC 65996132. 
  38. ^ Meijer (1890), hlm. 223.
  39. ^ Meijer (1890), hlm. 222.
  40. ^ Meijer (1890), hlm. 224.
  41. ^ a b c Meijer (1890), hlm. 226.
  42. ^ Meijer (1890), hlm. 227.
  43. ^ Müller-Gotama, Franz (2001). Sundanese. Languages of the World. Materials. 369. Munich: LINCOM Europa. 
  44. ^ Raffles (1817), hlm. 358.
  45. ^ Moriyama (2005), hlm. 14.
  46. ^ Boomgaard, P.; Gooszen, A.J. (1991). Changing Economy in Indonesia: A Selection of Statistical Source Material from the Early 19th Century Up to 1940. Population trends 1795-1942. 11. Amsterdam: Royal Tropical Institute. OCLC 1000746260. 
  47. ^ Moriyama (1996), hlm. 156.
  48. ^ Crawfurd (1820), hlm. 66.
  49. ^ Moriyama (1996), hlm. 170.
  50. ^ Moriyama (1996), hlm. 171.
  51. ^ Raffles (1817), hlm. lxxii-clv.
  52. ^ Iperen (1780), hlm. 296.
  53. ^ Raffles (1817), hlm. cxxviii.
  54. ^ Wilde (1841), hlm. 34.
  55. ^ Rigg (1862), hlm. 415.
  56. ^ a b Grashuis (1874), hlm. 82.
  57. ^ Geerdink (1875), hlm. 122.
  58. ^ Coolsma (1884), hlm. 130.
  59. ^ Wilde (1841), hlm. 168.
  60. ^ Rigg (1862), hlm. 110.
  61. ^ Geerdink (1875), hlm. 84.
  62. ^ Coolsma (1884), hlm. 85.
  63. ^ Wilde (1841), hlm. 31.
  64. ^ Rigg (1862), hlm. 497.
  65. ^ Geerdink (1875), hlm. 377.
  66. ^ Coolsma (1884), hlm. 378.
  67. ^ Wilde (1841), hlm. 214.
  68. ^ Rigg (1862), hlm. 127.
  69. ^ Geerdink (1875), hlm. 102.
  70. ^ Coolsma (1884), hlm. 107.
  71. ^ Wilde (1841), hlm. 215.
  72. ^ Rigg (1862), hlm. 506.
  73. ^ Geerdink (1875), hlm. 403.
  74. ^ Coolsma (1884), hlm. 402.
  75. ^ Wilde (1841), hlm. 161.
  76. ^ Rigg (1862), hlm. 428.
  77. ^ Geerdink (1875), hlm. 279.
  78. ^ Coolsma (1884), hlm. 278.
  79. ^ a b Raffles (1817), hlm. clii.
  80. ^ Wilde (1841), hlm. 66.
  81. ^ Rigg (1862), hlm. 317.
  82. ^ Grashuis (1874), hlm. 123.
  83. ^ Geerdink (1875), hlm. 88.
  84. ^ Coolsma (1884), hlm. 90.
  85. ^ Raffles (1817), hlm. lxxv.
  86. ^ Crawfurd (1820), hlm. 131.
  87. ^ Wilde (1841), hlm. 213.
  88. ^ Rigg (1862), hlm. 246.
  89. ^ Grashuis (1874), hlm. 31.
  90. ^ Geerdink (1875), hlm. 179.
  91. ^ Coolsma (1884), hlm. 187.
  92. ^ Raffles (1817), hlm. cl.
  93. ^ Crawfurd (1820), hlm. 190.
  94. ^ a b Wilde (1841), hlm. 61.
  95. ^ Rigg (1862), hlm. 258.
  96. ^ Grashuis (1874), hlm. 74.
  97. ^ Geerdink (1875), hlm. 190.
  98. ^ Coolsma (1884), hlm. 201.
  99. ^ a b Raffles (1817), hlm. lxxvi.
  100. ^ a b Crawfurd (1820), hlm. 135.
  101. ^ Wilde (1841), hlm. 192.
  102. ^ Rigg (1862), hlm. 10.
  103. ^ Grashuis (1874), hlm. 1.
  104. ^ Geerdink (1875), hlm. 71.
  105. ^ Coolsma (1884), hlm. 71.
  106. ^ Crawfurd (1820), hlm. 127.
  107. ^ Wilde (1841), hlm. 207.
  108. ^ Rigg (1862), hlm. 232.
  109. ^ Grashuis (1874), hlm. 30.
  110. ^ Geerdink (1875), hlm. 164.
  111. ^ Coolsma (1884), hlm. 171.
  112. ^ Iperen (1780), hlm. 297.
  113. ^ Raffles (1817), hlm. 97.
  114. ^ Wilde (1841), hlm. 218.
  115. ^ Rigg (1862), hlm. 221.
  116. ^ Geerdink (1875), hlm. 158.
  117. ^ Coolsma (1884), hlm. 165.
  118. ^ Raffles (1817), hlm. cxxxix.
  119. ^ Wilde (1841), hlm. 143.
  120. ^ Rigg (1862), hlm. 146.
  121. ^ Grashuis (1874), hlm. 111, 62, 127.
  122. ^ Geerdink (1875), hlm. 120.
  123. ^ Coolsma (1884), hlm. 127.
  124. ^ Raffles (1817), hlm. cxlix.
  125. ^ Crawfurd (1820), hlm. 188.
  126. ^ Wilde (1841), hlm. 28.
  127. ^ Rigg (1862), hlm. 160.
  128. ^ Grashuis (1874), hlm. 91.
  129. ^ Geerdink (1875), hlm. 128.
  130. ^ Coolsma (1884), hlm. 135.
  131. ^ Wilde (1841), hlm. 102.
  132. ^ Rigg (1862), hlm. 141.
  133. ^ Grashuis (1874), hlm. 124.
  134. ^ Geerdink (1875), hlm. 117.
  135. ^ Coolsma (1884), hlm. 124.
  136. ^ Iperen (1780), hlm. 292.
  137. ^ Raffles (1817), hlm. lxxix.
  138. ^ a b Crawfurd (1820), hlm. 139.
  139. ^ a b Rigg (1862), hlm. 151.
  140. ^ Grashuis (1874), hlm. 16.
  141. ^ a b Geerdink (1875), hlm. 125.
  142. ^ Coolsma (1884), hlm. 132.
  143. ^ Raffles (1817), hlm. lxxx.
  144. ^ Crawfurd (1820), hlm. 140.
  145. ^ Wilde (1841), hlm. 103.
  146. ^ Rigg (1862), hlm. 158.
  147. ^ Geerdink (1875), hlm. 131.
  148. ^ Coolsma (1884), hlm. 139.
  149. ^ Wilde (1841), hlm. 106.
  150. ^ Grashuis (1874), hlm. 17.
  151. ^ Coolsma (1884), hlm. 133.
  152. ^ Iperen (1780), hlm. 294.
  153. ^ Wilde (1841), hlm. 197.
  154. ^ Rigg (1862), hlm. 26.
  155. ^ Grashuis (1874), hlm. 15.
  156. ^ Geerdink (1875), hlm. 23.
  157. ^ Coolsma (1884), hlm. 20.
  158. ^ Raffles (1817), hlm. lxxii.
  159. ^ Crawfurd (1820), hlm. 126.
  160. ^ Wilde (1841), hlm. 216.
  161. ^ Rigg (1862), hlm. 275.
  162. ^ Grashuis (1874), hlm. 29.
  163. ^ Geerdink (1875), hlm. 286.
  164. ^ Coolsma (1884), hlm. 276.
  165. ^ Holle (1876), hlm. 6, 21.
  166. ^ Holle (1876), hlm. 22.
  167. ^ Holle (1876), hlm. 21.
  168. ^ Holle (1876), hlm. 6.
  169. ^ Holle (1876), hlm. 5.
  170. ^ Holle (1876), hlm. 19.
  171. ^ Holle (1876), hlm. 31.
  172. ^ Grashuis (1874), hlm. 89-91.
  173. ^ Grashuis (1874), hlm. 118.
  174. ^ Grashuis (1874), hlm. 85, 91, 121, 126.
  175. ^ Grashuis (1874), hlm. 92-93.
  176. ^ Grashuis (1874), hlm. 83.
  177. ^ Van Der Ent, M. (1891). "Hollandsch-Soendasche Speekwijzen, Brieven en Korte Opstellen". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië. 40 (2): 236–338. 
  178. ^ Moriyama (2005), hlm. 82-83.
  179. ^ Moriyama (2005), hlm. 206-238.
  180. ^ Moriyama (2010), hlm. 6.
  181. ^ Catalogus van leer-en leesboeken en andere leermiddelen ten behoeve van het Inlandsch onderwijs. Bandar Batawi: Pertjitakan Goewernemen. 1884. hlm. 16–17. OCLC 838515992. 
  182. ^ Daftar kitab-kitab jang didapati di Kantor Tjitak Goubernement pada hari 1 boelan junij tahoen = Opgave der leer- en leesboeken in inlandsche talen ter Lands-drukkerij voorhanden (1 junij 1872). Batavia: Landsdrukkerij. 1872. OCLC 993621991. 
  183. ^ Holle, K.F. (1849/1850). Kitab pangadjaran basa Soenda. Batavia: Lange en Co. OCLC 67990505. 
  184. ^ Holle, K.F. (1861). Soendasche modellen van verschillende brieven. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 499961310. 
  185. ^ De Nooij, H.A. (1883). Boekoe batjaän pikeun moerid-moerid dina pangkat panghandapna di iskola Soenda. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 67991849. 
  186. ^ Van Gelder, W. (1898). Boekoe Batjaän Salawe Toeladan Pikeun Moerid-moerid Pangkat Panghandapna di Sĕkola Soenda. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 902837646. 
  187. ^ Holle, K.F.; Holle, A.W. (1851). Tjarita Koera-koera djeung Monjet. Batavia: Lange en Co. 
  188. ^ Anonymous (1853). Tjaritana Ibrahim. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 221002583. 
  189. ^ Anonymous (1858). Ijĕ Wawatjan Tjarita Ibrahim. Batavia: Lange & Co. OCLC 993665874. 
  190. ^ Anonymous (1859). Ijĕ Wawatjan Tjarita Noeroel-Kamar. Batavia: LD. OCLC 993664757. 
  191. ^ Danoekoesoemah (1862). Wawatjan Radja Darma. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 221005651. 
  192. ^ Wiratanoebaija (1862). Wawatjan Djaka Miskin. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 499961292. 
  193. ^ Danoekoesoemah (1863). Wawatjan Tjarijos si Miskin. Batavia: Lange & Co. OCLC 460857751. 
  194. ^ Prawirakoesoemah (1863). Wawatjan Dongeng-dongeng Toeladan. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 499961224. 
  195. ^ Moesa, M. (1863). Wawatjan Setja Nala. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 499961183. 
  196. ^ Moesa, M. (1866). Kitab Dongeng-dongeng Noe Araneh. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 993632402. 
  197. ^ a b Moesa, M. (1867). Dongeng piĕntĕngĕn. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 499961155. 
  198. ^ Moesa, M. (1874). Katrangan Lampah Sĕbar. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 993632403. 
  199. ^ Kartawinata (1874). Carita tuwan kapitan Wilem Esbranson Bonteku. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 499961130. 
  200. ^ Lasminingrat (1875). Tjarita Erman (Hendrik van Eichenfels). Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 993782319. 
  201. ^ Moesa, M. (1876). Wawatjan Pandji Woeloeng. Lansdrukkerij: Batavia. OCLC 902303388. 
  202. ^ Grashuis, G.J. (1854). Indjil anoe kasoeratkeun koe Mattheus. Batavia: Lange & Co. OCLC 69331153. 
  203. ^ Soerjadilaga (1858). Kitab toepah: Soendaneesch Mohammedaansch wetboek. Batavia: W. Bruining & Co. OCLC 67961337. 
  204. ^ Coolsma, S. (1877). Pĕrdjangdjian Anjar Hartosna Sadajana Kitab noe Kasĕbat Indjil Goesti oerang Jesoes Kristoes. Amsterdam: Nederlandsch Bijbelgenootschap. OCLC 562872327. 
  205. ^ Titus, N. (1894). Tjarijos Joesoep: Beunang Nĕmbangkeun. Rotterdam: Nederlandsche Zendingsvereeniging. OCLC 68734791. 
  206. ^ Sijn, D.; Zoon (1897). Njanjian baris moedji di iskola reudjeung di imah. Rotterdam: Nederlandsche Zendingsvereeniging. OCLC 68868720. 
  207. ^ Holle, K.F. (1861). Katrangan Tina Prakawis Mijara Laoek Tjai. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 499961330. 
  208. ^ Oemar, M (1866). Wawatjan Katrangan Miara Laoek Tjai. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 499961257. 
  209. ^ Adiwidjaja (1862). Wawatjan Woelang Poetra (Soendasch Gedicht Woelang poetra). Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 221005632. 
  210. ^ Moesa, M. (1862). Wawatjan Woelang Krama. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 221000190. 
  211. ^ Moesa, M. (1865). Wawatjan Woelang Moerid. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 499961204. 
  212. ^ Moesa, M. (1862). Woelang-Tani. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 257755114. 
  213. ^ Kartawinata; Holle, K.F. (1874). Mitra noe Tani. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 881561808. 
  214. ^ De Koning, D. (1866). Kitab Elmoe Itoengan. Rotterdam: Nederlandsche Zendingsvereeniging. OCLC 993663683. 
  215. ^ Kartawinata (1867). Kitab Noedoehkeun Ngelmoe Itoengan. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 920435797. 
  216. ^ Van Haastert, C.J. (1894). Boekoe Pĕtjahan Itoengan Bener. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 251389095. 
  217. ^ Kartawinata; Holle, K.F. (1876). Nieuw brievenboek voor de Soendasche scholen. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 46359253. 
  218. ^ Van Der Chijs, J.A.; Kartawinata (1880). Geschiedenis van de Soenda-landen. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 906557772. 
  219. ^ Djajadiningrat (1897). Wawatjan piwoelang panoelak panjakit Kolera. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC 67626961. 
  220. ^ Hardjadibrata dalam Purwo (1999), hlm. 105

Bibliografi

sunting

Bacaan lanjutan

sunting

Pranala luar

sunting