Jenghis Khan
Jenghis Khan[a] (lahir sebagai Temüjin (bahasa Mongol: Темүзин; Temüzin); ca 1162 – Agustus 1227), adalah seorang pendiri dan pemimpin (khan) pertama Kekaisaran Mongol. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menyatukan suku-suku Mongol dan kemudian memimpin serangkaian kampanye militer yang menaklukkan sebagian besar wilayah Tiongkok dan Asia Tengah.
Jenghis Khan | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Khan Kekaisaran Mongol | |||||||||||||
Berkuasa | 1206 – Agustus 1227 | ||||||||||||
Penerus | |||||||||||||
Kelahiran | Temüjin ca 1162 Pegunungan Khentii | ||||||||||||
Kematian | Agustus 1227 Xingqing, Xia Barat | ||||||||||||
Pemakaman | |||||||||||||
Pasangan |
| ||||||||||||
Keturunan | |||||||||||||
| |||||||||||||
Wangsa | Borjigin | ||||||||||||
Ayah | Yesugei | ||||||||||||
Ibu | Hö'elün |
| ||
---|---|---|
Kampanye kesukuan
Peninggalan
|
||
Temüjin yang lahir antara tahun 1155 dan 1167 merupakan putra sulung dari pasangan Yesugei, kepala suku Mongol dari klan Borjigin dan istri utamanya Hö'elün. Ketika Temüjin berusia delapan tahun, ayahnya meninggal dan suku mereka meninggalkan keluarga Temujin. Dengan keluarganya yang hampir sepenuhnya miskin, Temüjin membunuh kakak tirinya untuk memperkuat posisinya di dalam keluarga. Pribadinya yang karismatik membantunya mendapatkan pengikut dan mengikat persekutuan dengan dua pemimpin padang rumput yang kuat, Jamukha dan Toghrul. Bersama-sama, mereka menyelamatkan istri Temüjin, Börte, yang diculik oleh perampok. Namun, seiring dengan meningkatnya pamor Temüjin, hubungannya dengan Jamukha berubah menjadi konflik. Pada sekitar 1187, Temüjin mengalami kekalahan besar dan mungkin menghabiskan beberapa tahun berikutnya di bawah kendali dinasti Jin. Pada 1196, ia muncul kembali dan dengan cepat mulai mendapatkan kekuasaan. Toghrul, yang melihat Temüjin sebagai ancaman, melancarkan serangan mendadak terhadapnya pada 1203. Temüjin mundur, tetapi kemudian berkumpul kembali dan mengalahkan Toghrul. Setelah mengalahkan suku Naiman dan mengeksekusi Jamukha, Temüjin menjadi penguasa tunggal padang rumput Mongolia.
Pada 1206, Temüjin mengambil gelar “Jenghis Khan”, meskipun arti sebenarnya dari gelar tersebut tidak jelas. Ia menerapkan reformasi untuk menciptakan stabilitas jangka panjang, mengubah tatanan kesukuan bangsa Mongol menjadi sistem meritokrasi terpadu dalam kesetiaan kepada wangsa yang berkuasa. Setelah menghentikan upaya kudeta oleh seorang dukun yang kuat, Jenghis Khan mulai mengkonsolidasikan kekuasaannya. Pada 1209, ia memimpin serangan besar-besaran ke negara tetangga, Xia Barat sehingga mereka tunduk kepada tuntutan Mongol setahun kemudian. Ia lalu meluncurkan kampanye militer selama empat tahun melawan dinasti Jin, yang berakhir pada 1215 dengan kejatuhan ibu kota mereka di Zhongdu. Pada 1218, jenderalnya, Jebe, mencaplok negara bagian Qara Khitai di Asia Tengah. Tahun berikutnya, Jenghis Khan menginvasi Kekaisaran Khwarezmia setelah utusannya dieksekusi. Kampanye ini meruntuhkan negara Khwarezmia serta menghancurkan wilayah Transoxiana dan Khorasan. Sementara, Jebe dan seorang jenderal lainnya, Subutai, memimpin ekspedisi yang mencapai Georgia dan Rus' Kiev. Jenghis Khan meninggal pada 1227 saat memadamkan pemberontakan di Xia Barat. Setelah jeda dua tahun, putra ketiganya dan pewaris Ögedei naik takhta pada 1229.
Jenghis Khan merupakan tokoh sejarah yang kontroversial. Ia sangat setia dan murah hati kepada para pengikutnya, tetapi tidak menunjukkan belas kasihan kepada musuh-musuhnya. Ia mencari nasihat dari berbagai sumber dalam upayanya menjadi penakluk dunia, sebuah peran yang ia yakini telah ditakdirkan untuknya oleh dewa Tengri. Di bawah kepemimpinannya, tentara Mongol membunuh jutaan orang, tetapi penaklukannya juga memungkinkan tingkat perdagangan dan pertukaran budaya yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah yang begitu luas. Di Rusia dan dunia Arab, ia dikenang sebagai seorang tiran yang brutal, sementara para cendekiawan Barat baru-baru ini mengevaluasi kembali penggambaran sebelumnya tentang dirinya sebagai panglima perang yang biadab. Setelah kematiannya, ia dipuja di Mongolia dan kini dihormati sebagai bapak pendiri bangsa.
Nama dan gelar
Nama-nama Mongolia tidak memiliki satu cara baku untuk ditulis dalam alfabet Romawi sehingga ejaannya bisa sangat bervariasi dan menghasilkan pengucapan yang berbeda dari aslinya.[1] Gelar kehormatan yang paling sering ditulis sebagai “Genghis” berasal dari bahasa Mongolia ᠴᠢᠩᠭᠢᠰ ᠬᠠᠭᠠᠨ, yang dapat dilatinkan menjadi Činggis. Nama ini diadaptasi ke dalam bahasa Tionghoa sebagai 成吉思 Chéngjísī dan ke dalam bahasa Persia sebagai چنگیز Čəngīz. Karena bahasa Arab tidak memiliki bunyi yang mirip dengan [tʃ] dalam bahasa Mongolia dan Persia, penulis Arab menuliskan nama tersebut sebagai J̌ingiz, sementara penulis Suriah menggunakan Šīngīz.[2]
Selain “Genghis,” yang masuk ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-18 karena kesalahan pembacaan sumber-sumber Persia, ejaan bahasa Inggris modern untuk namanya meliputi “Chinggis,” “Chingis,” “Jinghis,” dan “Jengiz.”[3] Nama lahirnya, “Temüjin” (ᠲᠡᠮᠦᠵᠢᠨ; 鐵木真 Tiěmùzhēn), terkadang juga dieja “Temuchin” dalam bahasa Inggris.[4]
Ketika cucu Jenghis Khan, Kubilai Khan, mendirikan dinasti Yuan pada tahun 1271, ia menghormati kakeknya dengan nama kuil Taizu (太祖, yang berarti “Nenek Moyang Tertinggi”) dan nama anumerta Shengwu Huangdi (聖武皇帝, yang berarti “Kaisar Militer Suci”). Kemudian, cicit Kubilai, Külüg Khan, memperpanjang gelar ini menjadi Fatian Qiyun Shengwu Huangdi (法天啟運聖武皇帝), yang berarti “Penerjemah Hukum Langit, Pemrakarsa Keberuntungan, Kaisar Suci-Militer”.[5]
Sumber
Karena sumber-sumber tentang Jenghis Khan ditulis dalam lebih dari selusin bahasa dari seluruh Eurasia, para sejarawan modern mengalami kesulitan untuk mengumpulkan informasi tentang kehidupannya.[6] Satu-satunya catatan rinci tentang masa muda dan kebangkitannya menuju kekuasaan berasal dari dua sumber berbahasa Mongolia: Sejarah Rahasia Bangsa Mongol dan Altan Debter (Buku Emas). Altan Debter kini telah hilang, tetapi sempat mengilhami dua kronik Tiongkok, yaitu Sejarah Yuan dari abad ke-14 dan Shengwu qinzheng lu (Kampanye Jenghis Khan).[7] Meskipun tidak disunting dengan baik, Sejarah Yuan memberikan penguraian terperinci bagi tiap-tiap kampanye militer dan tokoh-tokohnya. Shengwu, meskipun lebih teratur secara kronologis, menghindari kritik terhadap Jenghis dan terkadang mengandung kekeliruan.[8]
Naskah penuh Sejarah Rahasia hanya bertahan dalam bentuk alih aksara Han yang disalin antara abad ke-14 dan ke-15.[9] Keakuratannya sebagai catatan sejarah telah diperdebatkan: Ahli sinologi abad ke-20, Arthur Waley, menganggapnya sebagai karya sastra tanpa nilai sejarah. Meski begitu, sejarawan di kemudian hari telah menanggapi karya ini dengan lebih serius.[10] Walaupun urut-urutan kejadian dalam karya ini dipertanyakan dengan beberapa bagian yang tampaknya diubah atau dihilangkan agar pengisahannya lebih luwes, Sejarah Rahasia sangat dihargai karena penulis anonimnya sering mengkritik Jenghis Khan. Penulisnya menggambarkan Jenghis Khan sebagai sosok peragu dan memiliki fobia pada anjing serta memasukkan bahasan tabu seperti pembunuhan saudaranya dan keraguan akan keabsahan nasab putranya, Jochi.[11]
Beberapa kronik Persia yang masih bertahan menunjukkan perpaduan antara pandangan positif dan negatif terhadap Jenghis Khan dan bangsa Mongol, seperti misalnya tawarikh karya Minhaj-i Siraj Juzjani dan Ata-Malik Juvayni, yang sama-sama selesai disusun pada tahun 1260.[12] Juzjani, yang menyaksikan langsung kebrutalan penaklukan bangsa Mongol, menulis dengan rasa permusuhan yang jelas terhadap mereka.[13] Sebaliknya, Juvayni, yang dua kali melakukan perjalanan ke Mongolia dan memegang posisi tinggi di negara penerus Mongol, lebih bersimpati. Catatannya paling dapat diandalkan untuk kampanye-kampanye Jenghis Khan ke barat.[14] Sumber Persia yang paling penting adalah Jami' al-tawarikh (Ringkasan Sejarah), yang disusun oleh Rashid al-Din atas permintaan keturunan Jenghis, Ghazan, pada awal abad ke-14. Ghazan memberi Rashid akses khusus ke sumber-sumber rahasia Mongol seperti Altan Debter dan para ahli tradisi lisan Mongol, termasuk duta besar Kubilai Khan, Bolad Chingsang. Karena Rashid sedang menulis kronik resmi, ia menyensor setiap detail yang tidak nyaman atau tabu.[15]
Banyak catatan sejarah lain dari masa itu juga memberikan informasi tentang Jenghis Khan dan bangsa Mongol, meskipun netralitas dan keandalannya sering dipertanyakan. Sumber-sumber tambahan dari Tiongkok termasuk kronik dari dinasti-dinasti yang ditaklukkan oleh bangsa Mongol dan tulisan-tulisan dari diplomat Song, Zhao Hong, yang mengunjungi bangsa Mongol pada 1221.[b] Sumber-sumber Arab mencakup riwayat hidup pangeran Khwarezmia, Jalal al-Din, yang ditulis oleh rekannya, al-Nasawi. Ada juga beberapa catatan Kristen yang muncul di kemudian hari, seperti Kehidupan Kartli dan tulisan-tulisan dari para pelancong Eropa seperti Carpini dan Marco Polo.[17]
Kehidupan awal
Kelahiran dan masa kanak-kanak
Tahun kelahiran Temüjin tidak pasti. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai tahun lahirnya, entah itu 1155, 1162, atau 1167. Beberapa riwayat mengatakan bahwa ia lahir pada Tahun Babi, yang bisa jadi pada tahun 1155 atau 1167.[18] Tahun 1155 didukung oleh tulisan-tulisan Zhao Hong dan Rashid al-Din, sementara sumber-sumber utama seperti Sejarah Yuan dan Shengwu lebih memilih tahun 1162.[19][c] Penanggalan tahun 1167, yang dipilih oleh ahli sinologi Paul Pelliot, berasal dari sumber yang kurang dikenal, yakni karya seniman Yuan, Yang Weizhen, tetapi lebih sesuai dengan peristiwa kehidupan Jenghis Khan daripada tahun 1155 yang bisa berarti, bahwa ia tidak memiliki anak sampai usia tiga puluhan dan masih turut berperang di usia tujuh puluhan.[20] Sebagian besar sejarawan menerima tahun 1162 sebagai tanggal yang tepat.[21] Sejarawan Paul Ratchnevsky mencatat bahwa Temüjin sendiri mungkin tak tahu persis tahun kelahirannya.[22] Lokasi kelahirannya, yang dicatat dalam Sejarah Rahasia sebagai Delüün Boldog di dekat Sungai Onon, juga masih diperdebatkan; bisa jadi di Dadal, Provinsi Khentii atau di selatan Okrug Agin-Buryat, Rusia.[23]
Temüjin lahir ke dalam klan Borjigin di bawah suku Mongol[d] dari pasangan Yesügei, seorang kepala suku yang mengaku bernasab kepada pejuang legendaris Bodonchar Munkhag serta istri utamanya, Hö'elün, yang berasal dari klan Olkhonud dan direbut oleh Yesügei dari mempelai pria bersuku Merkit, Chiledu.[25] Asal usul nama lahirnya masih diperdebatkan: beberapa riwayat awal mengatakan bahwa ayahnya mengambil nama tersebut dari Temüchin-uge, seorang tawanannya dari pertempuran melawan Tatar, sebagai pengingat atas kemenangan. Sementara, riwayat-riwayat di kemudian hari menghubungkan nama tersebut dengan kata temür yang berarti 'besi', sehingga “Temüjin” mungkin saja bermakna 'pandai besi'.[26]
Terdapat beberapa legenda seputar kelahiran Temüjin. Salah satu yang paling terkenal adalah bahwa ia lahir dengan gumpalan darah di tangannya. Penggambaran ini merupakan sebuah cerita rakyat khas Asia yang menjadi pertanda bahwa anak itu akan menjadi seorang pejuang.[27] Legenda lain mengatakan bahwa Hö'elün hamil dari seberkas cahaya, yang menandakan masa depan anak tersebut, sebuah kisah yang mirip dengan mitos nenek moyang Borjigin, Alan Gua.[28] Setelah Temüjin, Yesügei dan Hö'elün memiliki tiga anak laki-laki—Qasar, Hachiun, dan Temüge—serta seorang anak perempuan, Temülün. Temüjin juga memiliki dua saudara tiri, Behter dan Belgutei, dari istri kedua Yesügei, Sochigel, yang latar belakangnya tidak diketahui. Kakak beradik ini tumbuh besar di perkemahan utama Yesügei di tepi Sungai Onon, kala mereka belajar menunggang kuda dan memanah.[29]
Ketika Temüjin berusia delapan tahun, ayahnya memutuskan sudah waktunya untuk menikahkannya dengan seorang gadis yang cocok. Yesügei membawa Temüjin ke suku Onggirat, tempat istrinya Hö'elün berasal, untuk mengatur pernikahan dengan Börte, putri kepala suku Onggirat, Dei Sechen. Pernikahan ini akan memberikan Yesügei sekutu yang kuat, dan mahar Börte yang tinggi membuat Dei Sechen berada di atas angin dalam negosiasi, menuntut Temüjin untuk tetap tinggal bersama keluarganya untuk melunasi utang.[30] Yesügei menyetujui syarat ini, tetapi dalam perjalanan pulang, ia berhenti untuk meminta makan kepada sekelompok orang Tatar, dengan mengandalkan tradisi keramahtamahan mereka. Orang-orang Tatar, yang mengenali Yesügei sebagai musuh lama, meracuni makanannya. Yesügei jatuh sakit, tetapi berhasil kembali ke rumah. Menjelang ajal, ia meminta punggawa kepercayaannya, Münglig, untuk membawa Temüjin kembali dari Onggirat. Ia meninggal tak lama kemudian.[31]
Masa remaja
Kematian Yesügei menyebabkan perpecahan dalam persatuan bangsanya, yang meliputi klan Borjigin, Tayichiud, dan klan-klan lainnya. Karena Temüjin masih berusia di bawah sepuluh tahun dan kakaknya, Behter, hanya sekitar dua tahun lebih tua, keduanya dianggap belum siap untuk memimpin. Faksi Tayichiud tidak mengikutsertakan Hö'elün dalam upacara pemujaan leluhur yang dilakukan setelah kematian seorang penguasa. Segera setelah itu, mereka meninggalkan perkemahan Hö'elün. Menurut Sejarah Rahasia, seluruh anggota klan Borjigin juga turut meninggalkan Hö'elün, meskipun ia telah berupaya mempermalukan mereka yang pergi dengan menyinggung kehormatan mereka.[32] Namun, Rashid al-Din dan Shengwu menyatakan bahwa saudara-saudara Yesügei mendukung sang janda. Ketegangan di kemudian hari kemungkinan ditimbulkan oleh penolakan Hö'elün untuk melakukan pernikahan levirat dengan salah satu dari mereka, atau mungkin juga penulis Sejarah Rahasia hanya melebih-lebihkan cerita ini.[33] Semua sumber setuju bahwa sebagian besar pengikut Yesügei lebih memilih bergabung dengan suku Tayichiud sehingga hidup keluarga Hö'elün menjadi lebih sulit.[34] Mereka bertahan dengan gaya hidup pemburu-pengumpul; mengumpulkan akar-akaran dan kacang-kacangan, berburu binatang kecil, dan memancing.[35]
Ketegangan pun mulai muncul di antara anak-anak yang beranjak dewasa. Baik Temüjin maupun Behter memiliki alasan untuk mengklaim posisi ayah mereka: Temüjin adalah putra dari istri utama Yesügei, tetapi Behter setidaknya dua tahun lebih tua. Bahkan jika mengikuti hukum levirat, Behter bisa saja menikahi Hö'elün saat ia dewasa dan menjadi ayah tiri Temüjin.[36] Konflik tersebut diperburuk oleh pertengkaran yang sering terjadi karena perebutan hasil buruan. Pada akhirnya, Temüjin dan adiknya, Qasar, menyergap dan membunuh Behter. Tindakan ini dianggap tabu dan tidak masuk dalam catatan resmi, tetapi disebutkan dalam Sejarah Rahasia yang mencatat bahwa Hö'elün memarahi kedua putranya dengan keras. Adik laki-laki Behter, Belgutei, tidak membalas dendam dan kemudian menjadi salah satu sekutu terdekat Temüjin, bersama dengan Qasar.[37] Pada masa ini, Temüjin juga menjalin persahabatan dekat dengan Jamukha, seorang anak laki-laki dari keluarga bangsawan. Mereka saling bertukar hadiah berupa tulang buku jari atau shagai dan anak panah serta melakukan pakta anda, sebuah sumpah saudara sedarah tradisional Mongol, ketika mereka berusia sebelas tahun.[38]
Karena keluarga Temüjin tidak memiliki sekutu yang kuat, ia ditangkap beberapa kali.[39] Ketika ia ditawan oleh suku Tayichiud, ia berhasil melarikan diri saat pesta dan pertama-tama bersembunyi di Sungai Onon, kemudian di tenda Sorqan-Shira, yang melihatnya, tetapi tidak memberi tahu siapa pun. Sorqan-Shira melindungi Temüjin selama tiga hari, meskipun membahayakan dirinya sendiri dan kemudian membantunya melarikan diri.[40] Pada kesempatan lain, seorang pemuda bernama Bo'orchu membantu Temüjin menemukan kembali beberapa kuda milik Temujin yang dicuri. Tak lama kemudian, Bo'orchu bergabung dengan Temüjin sebagai nökor[e]nya yang pertama.[41] Kisah-kisah yang tertuang di dalam Sejarah Rahasia ini menunjukkan besarnya sorotan yang diberikan oleh sang penulis terhadap karisma pribadi Temüjin.[42]
Naik ke tampuk kekuasaan
Kampanye awal
Ketika Temüjin berumur lima belas tahun dan dianggap mencapai usia mayoritas, ia kembali menemui Dei Sechen untuk menikahi Börte. Merasa bungah dapat berjumpa kembali dengan menantu yang dikiranya telah meninggal, Dei Sechen menyetujui pernikahan tersebut dan mendampingi pasangan pengantin baru ini kembali ke perkemahan Temüjin. Istri Dei Sechen, Čotan, memberikan Hö'elün sebuah jubah musang yang berharga sebagai hadiah.[43] Demi menarik hati seorang patron, Temüjin memutuskan untuk menghadiahkan jubah ini kepada Toghrul, khan (penguasa) dari suku Kerait, yang merupakan sekutu Yesügei dan telah melakukan pakta anda dengannya. Toghrul memerintah wilayah yang luas di Mongolia tengah, tetapi mewaspadai banyak pengikutnya merasa senang dengan pemberian itu dan menjadikan Temüjin di bawah perlindungannya. Ketika mereka semakin dekat, Temüjin mulai mengumpulkan pengikut, termasuk nökod seperti Jelme.[44] Sekitar waktu ini, Temüjin dan Börte memiliki anak pertama mereka, seorang anak perempuan bernama Qojin.[45]
Segera setelah itu, sekitar 300 orang Merkit menyerang perkemahan Temüjin untuk membalas dendam atas penculikan Hö'elün yang dilakukan oleh Yesügei. Meskipun Temüjin dan saudara-saudaranya berhasil bersembunyi di gunung Burkhan Khaldun, Börte dan Sochigel berhasil ditawan oleh Merkit. Börte dinikahkan dengan adik laki-laki mendiang Chiledu, mengikuti hukum levirat.[46] Temüjin meminta bantuan dari Toghrul dan teman masa kecilnya, Jamukha, yang telah menjadi kepala suku Jadaran. Kedua kepala suku itu bersedia menggerakkan pasukan yang terdiri dari 20.000 prajurit. Di bawah pimpinan Jamukha, mereka dengan cepat memenangkan pertempuran. Börte, yang saat itu sedang hamil, diselamatkan dan kemudian melahirkan seorang putra, Jochi. Meskipun Temüjin membesarkan Jochi layaknya putra sendiri, keraguan mengenai nasab Jochi selalu mengikutinya sepanjang hayat.[47] Kisah ini ada di Sejarah Rahasia, tetapi tidak dicatat oleh Rashid al-Din, yang berupaya melindungi reputasi keluarganya dengan menghilangkan segala kesan ketidakabsahan.[48] Selama 15 tahun berikutnya, Temüjin dan Börte memiliki tiga anak laki-laki (Chagatai, Ögedei, dan Tolui) dan empat anak perempuan (Checheyigen, Alaqa, Tümelün, dan Al Altan).[49]
Para pengikut Temüjin dan Jamukha berkemah bersama selama sekitar satu setengah tahun. Selama itu pula, kedua pemimpin memperbaharui pakta anda mereka, bahkan turut berbagi selimut, sebagaimana dicatat oleh Sejarah Rahasia. Sumber tersebut menggambarkan masa ini sebagai penjalinan hubungan erat antar sahabat. Walaupun demikian, Ratchnevsky menduga bahwa Temüjin mungkin saja melayani Jamukha sebagai imbalan atas bantuannya melawan orang Merkit.[50] Pada akhirnya, kedua pemimpin itu berpisah, konon karena ujaran terselubung Jamukha tentang berkemah yang ditafsirkan oleh Börte sebagai tanda bahwa ia telah muak terhadap mereka.[f] Mengikuti saran dari Hö'elün dan Börte, Temüjin memutuskan untuk mulai membangun kelompok pengikutnya sendiri yang merdeka. Meskipun para pemimpin suku utama tetap bersama Jamukha, 41 pemimpin, bersama dengan banyak orang biasa, memilih untuk mendukung Temüjin. Mereka termasuk orang-orang dari suku Uriankhai, Barula, dan Olkhonud.[52] Mereka tertarik pada Temüjin karena pamornya sebagai pemimpin adil dan murah hati yang menawarkan taraf hidup lebih baik dan karena para dukun meramalkan bahwa ia ditakdirkan untuk menjadi orang besar.[53]
Temüjin dengan cepat dinyatakan sebagai khan Mongol oleh para pengikut dekatnya.[54] Toghrul senang dengan naiknya Temüjin, tetapi Jamukha cemburu dan kesal. Hal ini menyebabkan meningkatnya ketegangan, yang akhirnya berubah menjadi konflik terbuka. Sekitar tahun 1187, Temüjin menghadapi Jamukha dalam pertempuran di Dalan Baljut. Walaupun kedua pihak membawa pasukan yang berimbang, Temüjin kalah telak. Para penyusun sejarah di kemudian hari, seperti Rashid al-Din, mengklaim bahwa Temüjin menang, tetapi catatan mereka tidak konsisten dan saling bertentangan.[55]
Sejarawan modern seperti Ratchnevsky dan Timothy May berpendapat bahwa Temüjin sangat mungkin menghabiskan sebagian besar dekade setelah pertempuran di Dalan Baljut dengan bekerja sebagai abdi dinasti Jin Jurchen di Tiongkok Utara.[56] Zhao Hong mencatat bahwa sang pemuda yang nantinya menjadi Jenghis Khan menghabiskan beberapa tahun sebagai budak Jin. Meskipun pernah dianggap sebagai arogansi nasionalisme, riwayat ini mungkin saja bersandarkan kenyataan, terutama karena tidak ada sumber lain yang memberikan penjelasan meyakinkan tentang apa yang dilakukan Temüjin sejak pertempuran di Dalan Baljut hingga sekitar tahun 1195.[57] Hal yang umum bagi para pemimpin padang rumput yang dikecewakan dan pejabat Tiongkok yang dipermalukan untuk mencari perlindungan di seberang perbatasan. Kemunculan kembali Temüjin dengan kekuatan yang besar menunjukkan bahwa ia mungkin diuntungkan dari pengalamannya mengabdi pada Jin. Penaklukannya terhadap Jin di kemudian hari menjadikan riwayat pengabdiannya dianggap merendahkan martabat bangsa Mongol sehingga tidak dicatat dalam sumber-sumber mereka; Zhao Hong yang bukan orang Mongol tidak dibatasi oleh anggapan ini.[58]
Mengalahkan pesaing
Sumber-sumber yang ada memberikan rincian yang berbeda-beda mengenai kembalinya Temüjin ke padang rumput. Pada awal musim panas 1196, ia ikut serta dalam kampanye bersama dengan dinasti Jin melawan bangsa Tatar, yang mulai menentang kepentingan Jin. Sebagai hadiah, Jin memberinya gelar cha-ut kuri, yang kemungkinan berarti “komandan ratusan” dalam bahasa Jurchen. Pada sekitar waktu yang sama, Temüjin membantu Toghrul merebut kembali kepemimpinan suku Kereit setelah direbut oleh salah satu kerabat Toghrul dengan dukungan suku Naiman yang kuat.[59] Peristiwa tahun 1196 menandai titik balik status Temüjin di padang rumput—meskipun secara teknis ia masih menjadi bawahan Toghrul, dalam praktiknya, ia telah menjadi sekutu yang setara.[60]
Setelah kemenangannya di Dalan Baljut, Jamukha bertindak dengan sangat kejam. Sejarah Rahasia melaporkan bahwa Jamukha merebus 70 tahanan hidup-hidup dan memperlakukan tubuh para pemimpin yang menentangnya secara tidak hormat. Perilaku kasar ini membuat beberapa pengikutnya, termasuk Münglig, seorang mantan pengikut Yesügei dan putra-putranya, berpindah haluan dan bergabung dengan Temüjin, yang kemungkinan besar tertarik dengan kekayaan Temüjin yang terus bertambah.[61] Temüjin kemudian berurusan dengan suku Jurkin, yang sebelumnya telah menghinanya dalam sebuah pesta dan menolak untuk bergabung dengan kampanye Tatar. Setelah mengeksekusi para pemimpin mereka, ia menyuruh Belgutei untuk mematahkan punggung seorang pemimpin suku Jurkin dalam sebuah pertandingan gulat sebagai bentuk pembalasan. Tindakan ini, yang bertentangan dengan adat istiadat keadilan Mongol, hanya disebutkan oleh penulis Sejarah Rahasia, yang tidak menyetujuinya. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1197.[62]
Pada tahun-tahun berikutnya, Temüjin dan Toghrul melancarkan kampanye melawan Merkit, Naiman dan Tatar, terkadang bekerja sama dan terkadang secara independen. Sekitar tahun 1201, beberapa suku yang tidak puas, termasuk Onggirat, Tayichiud, dan Tatar, membentuk sebuah aliansi untuk menantang dominasi koalisi Borjigin-Kereit. Mereka memilih Jamukha sebagai pemimpin mereka dan memberinya gelar gurkhan, yang berarti “khan para suku.” Meskipun mereka lumayan berjaya di awal, Temüjin dan Toghrul akhirnya mengalahkan persekutuan renggang ini pada pertempuran Yedi Qunan sehingga memaksa Jamukha untuk memohon belas kasihan dari Toghrul.[63]
Berusaha untuk menjadi kekuatan dominan di Mongolia timur, Temüjin pertama-tama mengalahkan Tayichiud dan kemudian, Tatar pada 1202. Setelah setiap kemenangan, ia mengeksekusi para pemimpin klan dan merekrut para pejuang yang tersisa ke dalam pasukannya. Di antara anggota baru ini adalah Sorkan-Shira, yang sebelumnya telah membantu Temüjin dan seorang prajurit muda bernama Jebe, yang membuat Temüjin terkesan dengan keterampilan dan keberaniannya—Jebe telah membunuh kuda Temüjin selama pertempuran dan tidak berusaha menyembunyikannya.[64]
Setelah menaklukkan Tatar, ada tiga kekuatan militer utama yang tersisa di padang rumput: Naiman di barat, Mongol di timur, dan Kereit di antaranya.[65] Untuk memperkuat posisinya, Temüjin menyarankan agar putranya, Jochi, menikahi salah satu putri Toghrul. Namun, kaum elit Kereit yang dipimpin oleh putra Toghrul, Senggum, menganggap hal ini sebagai upaya Temüjin untuk menguasai suku mereka. Desas-desus tentang ketidakjelasan nasab Jochi kemungkinan membuat mereka merasa semakin terhina. Selain itu, Jamukha menunjukkan bahwa Temüjin merupakan ancaman bagi aristokrasi tradisional padang rumput karena ia sering mempromosikan rakyat jelata ke posisi tinggi, menantang tatanan sosial yang sudah mapan. Pada akhirnya, Toghrul bertindak seolah menuruti permintaan ini dan mencoba menjebak Temüjin dalam sebuah penyergapan. Namun, dua orang penggembala mendengar rencana tersebut sehingga Temüjin dapat mengumpulkan beberapa pasukannya. Meskipun demikian, ia dikalahkan secara meyakinkan pada Pertempuran Gurun Pasir Qalaqaljid.[66]
"Temüjin, mengangkat tangannya ke langit, kemudian bersumpah: "Jika aku berhasil menyelesaikan 'Pekerjaan Besar', maka aku akan berbagi suka dan dukanya dengan kalian. Jika aku melanggar perkataan ini, maka biarkan aku menjadi seperti sungai ini, diminum oleh orang lain." Perwira dan pasukan yang ada di sana pun tidak dapat menahan air mata mereka.
Sejarah Yuan, vol 120 (1370)[67]
Setelah kekalahannya, Temüjin mundur ke arah tenggara ke sebuah tempat yang disebut Baljuna, yang mungkin saja merupakan sebuah danau atau sungai dan menunggu pasukannya yang tercerai-berai untuk berkumpul kembali. Bo'orchu, salah satu sekutu dekatnya, kehilangan kudanya dan harus melarikan diri dengan berjalan kaki, sementara putra Temüjin, Ögedei, yang terluka parah, dirawat oleh prajurit Borokhula. Temüjin memanggil setiap sekutu yang dapat ia temukan dan bersumpah setia, yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Baljuna, dengan para pengikut setianya. Sumpah ini memberi mereka prestise besar di masa depan.[68] Kelompok yang mengambil Perjanjian Baljuna sangat beragam, termasuk orang-orang dari sembilan suku yang berbeda dan pengikut berbagai agama—Kristen, Muslim, dan Buddha—yang disatukan hanya oleh kesetiaan mereka pada Temujin dan satu sama lain. Kelompok yang beragam ini menjadi model bagi kekaisaran masa depan, yang digambarkan oleh sejarawan John Man[69] sebagai “proto-pemerintahan dari sebuah proto-bangsa.” Perjanjian Baljuna tidak disebutkan dalam Sejarah Rahasia, kemungkinan besar karena penulisnya ingin mengecilkan peran suku-suku non-Mongol.[70]
Dengan menggunakan strategi Ruse de guerre yang melibatkan saudaranya, Qasar, Temüjin berhasil menyergap pasukan Kereit di Dataran Tinggi Jej'er. Meskipun pertempuran berlangsung selama tiga hari, Temüjin berhasil meraih kemenangan mutlak. Baik Toghrul maupun putranya, Senggum, terpaksa melarikan diri; Senggum melarikan diri ke Tibet, sementara Toghrul dibunuh oleh seorang prajurit Naiman yang tidak mengenalinya. Setelah kemenangan, Temüjin mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan menyerap elit Kereit ke dalam sukunya sendiri. Ia menikahi putri Kereit, Ibaqa dan mengatur pernikahan untuk saudara perempuannya, Sorghaghtani, dan keponakannya, Doquz, dengan putra bungsunya, Tolui.[71]
Sementara itu, pasukan Naiman telah berkembang dengan bergabungnya Jamukha dan pasukan lain yang telah dikalahkan oleh bangsa Mongol dan bersiap untuk berperang dengan Temujin. Kondisi ini diinformasikan kepada Temüjin oleh Alaqush , penguasa simpatik dari suku Ongud. Bersiap untuk berperang, suku Naiman bertemu dengan Temüjin pada Pertempuran Chakirmaut pada Mei 1204 di Pegunungan Altai. Pertempuran itu berakhir dengan kekalahan mutlak bagi Naiman; pemimpin mereka, Tayang Khan, terbunuh, dan putranya, Kuchlug, melarikan diri ke barat.[72] Di tahun yang sama, Temüjin juga menghancurkan bangsa Merkit. Setelah Jamukha meninggalkan orang-orang Naiman di Chakirmaut, ia dikhianati oleh rekan-rekannya sendiri, yang kemudian dieksekusi oleh Temüjin karena dianggap tidak setia. Menurut Sejarah Rahasia, Jamukha membujuk teman masa kecilnya yang merupakan rekan pakta andanya, Temüjin, untuk memberinya kematian yang terhormat, meskipun catatan lain menyatakan bahwa ia dibunuh dengan cara dipotong-potong.[73]
Pemerintahan awal: reformasi dan kampanye Tiongkok (1206–1215)
Kurultai tahun 1206 dan reformasi
Setelah menjadi penguasa tunggal padang rumput, Temüjin mengadakan pertemuan besar yang dikenal sebagai kurultai di sumber Sungai Onon pada 1206.[75] Dalam pertemuan ini, ia secara resmi mengadopsi gelar Jenghis Khan. Makna dan asal-usul gelar ini telah banyak diperdebatkan. Beberapa orang percaya bahwa gelar ini tidak memiliki arti khusus dan hanya dipilih oleh Temüjin untuk membedakan dirinya dari gelar tradisional gurkhan, yang telah diberikan kepada Jamukha dan oleh karena itu dianggap kurang berharga.[76] Teori lain menyatakan bahwa “Jenghis” menyiratkan kualitas seperti kekuatan, ketegasan, kekerasan, atau kebenaran.[77] Gagasan ketiga menyatakan bahwa gelar tersebut terkait dengan kata Turki tängiz, yang berarti “samudra,” menyiratkan bahwa “Jenghis Khan” dapat berarti “penguasa samudra,” yang pada gilirannya melambangkan seluruh dunia, sehingga membuat gelar tersebut berarti “Penguasa Universal.”[78]
Setelah berhasil menguasai populasi lebih dari satu juta orang,[79] Jenghis Khan memulai apa yang digambarkan oleh sejarawan Timothy May sebagai "revolusi sosial".[80] Sistem kesukuan tradisional, yang terutama dirancang untuk menguntungkan klan dan keluarga kecil, tidak memadai sebagai landasan bagi negara kesatuan lebih besar dan telah terbukti gagal diterapkan pada konfederasi-konfederasi padang rumput sebelumnya. Menyadari hal ini, Jenghis Khan memperkenalkan serangkaian reformasi administratif yang bertujuan untuk mengurangi kuatnya kesukuan dan menggantinya dengan kesetiaan tanpa syarat kepada khan dan keluarga penguasanya.[81] Dengan banyaknya pemimpin suku tradisional yang tersingkir saat ia naik ke tampuk kekuasaan, Jenghis Khan mampu membentuk kembali hierarki sosial Mongol dengan cara yang mendukung otoritasnya. Tingkat tertinggi dari hierarki baru ini diperuntukkan khusus bagi keluarganya sendiri dan keluarga saudara-saudaranya, yang kemudian dikenal sebagai altan uruq (yang berarti "keluarga emas") atau chaghan yasun (yang berarti "tulang putih"). Di bawah mereka adalah qara yasun (yang berarti "tulang hitam" atau terkadang qarachu), yang terdiri dari aristokrasi pra-kekaisaran yang masih ada dan keluarga-keluarga baru yang paling penting yang telah menjadi terkenal di bawah pemerintahan Jenghis Khan. Restrukturisasi ini membantu mengkonsolidasikan kekuasaannya dan memastikan kesetiaan rakyat Mongol kepada dinastinya.[82]
Untuk menghilangkan loyalitas kesukuan yang tersisa dan menciptakan masyarakat yang bersatu, Jenghis Khan menata ulang masyarakat Mongol ke dalam sistem desimal militer. Setiap pria berusia antara lima belas hingga tujuh puluh tahun diwajibkan mengikuti wajib militer ke dalam sebuah minqan (jamak: minkad), sebuah unit yang terdiri dari seribu tentara. Minkad ini kemudian dibagi lagi menjadi unit-unit yang lebih kecil yang terdiri dari ratusan orang, yang dikenal sebagai jaghun (jamak: jaghat), dan unit-unit yang terdiri dari puluhan orang, yang disebut arban (jamak: arbat).[83] Struktur ini tidak hanya mencakup militer, tetapi juga mencakup rumah tangga setiap orang, yang berarti bahwa setiap minqan militer didukung oleh minqan rumah tangga yang sesuai, menciptakan apa yang sejarawan Timothy May gambarkan sebagai "kompleks militer–industri." Setiap minqan berfungsi sebagai unit politik dan sosial, dan para pejuang dari suku-suku yang kalah sengaja disebarkan di berbagai minqad untuk mencegah mereka bersatu dan memberontak sebagai sebuah kelompok yang kohesif. Sistem ini dirancang untuk menghapus identitas kesukuan lama, menggantinya dengan kesetiaan kepada "Negara Besar Mongol" dan para komandan yang mendapatkan pangkat mereka melalui prestasi dan kesetiaan kepada khan.[84] Reformasi ini terbukti sangat efektif. Bahkan setelah Kekaisaran Mongol akhirnya terpecah belah, perpecahan yang terjadi tidak pernah mengikuti garis kesukuan. Sebaliknya, wangsa Jenghis Khan terus memerintah tanpa tantangan; beberapa cabang keturunannya masih berkuasa hingga akhir tahun 1700-an. Bahkan para pemimpin non-kaisar yang kuat seperti Timur Lenk dan Edigu dipaksa untuk memerintah melalui penguasa boneka yang merupakan keturunan Jenghis Khan, yang semakin menunjukkan kekuatan abadi dari sistem yang ia bangun.[85]
Jenghis Khan memberi penghargaan kepada nökod (sahabat setia) yang paling tepercaya dengan mengangkat mereka ke pangkat tertinggi dan menganugerahkan mereka penghargaan yang signifikan. Bo'orchu dan Muqali masing-masing diberi komando atas sepuluh ribu orang, masing-masing memimpin sayap kanan dan kiri pasukan.[86] Nökod lainnya diberi komando atas salah satu dari sembilan puluh lima minkad (unit yang terdiri dari seribu tentara). Sejalan dengan cita-cita meritokrasi Jenghis Khan, banyak dari para komandan ini berasal dari latar belakang yang sederhana. Sejarawan Ratchnevsky menyoroti contoh-contoh seperti Jelme dan Subutai, yang merupakan anak dari pandai besi, serta yang lainnya yang awalnya adalah seorang tukang kayu, penggembala, dan bahkan dua orang penggembala yang telah memperingatkan Temujin tentang rencana Toghrul pada 1203.[87] Sebagai hak istimewa, Jenghis Khan mengizinkan komandan-komandan tertentu yang setia untuk mempertahankan identitas kesukuan unit mereka, terlepas dari upaya-upaya umum yang dilakukannya untuk menekan afiliasi kesukuan. Sebagai contoh, Alaqush dari suku Ongud diizinkan untuk mempertahankan 5000 prajurit dari sukunya, karena putranya telah mendapatkan aliansi dengan Jenghis dengan menikahi putrinya, Alaqa.[88]
Elemen kunci yang mendukung reformasi Jenghis Khan adalah perluasan keshig, sebuah korps elit yang awalnya diambil dari Kereit setelah kemenangan Temüjin atas Toghrul pada 1203. Awalnya, keshig adalah kelompok yang relatif kecil, tetapi selama kurultai (dewan) tahun 1206, jumlahnya meningkat secara signifikan dari 1.150 menjadi 10.000 orang. Keshig memiliki banyak peran, tidak hanya sebagai pengawal khan, tetapi juga berfungsi sebagai staf rumah tangga, akademi militer, dan pusat administrasi pemerintahan.[89] Para prajurit di keshig biasanya adalah saudara laki-laki atau anak laki-laki dari komandan militer, yang secara efektif berfungsi sebagai sandera untuk memastikan kesetiaan keluarga mereka. Meskipun demikian, para anggota keshig menikmati hak istimewa dan memiliki akses langsung ke Jenghis Khan. Sebagai imbalan atas jasa mereka, Jenghis secara pribadi mengevaluasi kemampuan dan potensi mereka untuk peran kepemimpinan, mempersiapkan mereka untuk pemerintahan atau komando di masa depan.[90] Banyak komandan Mongol terkemuka, seperti Subutai, Chormaqan, dan Baiju, memulai karir mereka di keshig sebelum dipercayakan untuk memimpin pasukan mereka sendiri.[91]
Konsolidasi kekuatan (1206–1210)
Antara tahun 1204 dan 1209, Jenghis Khan berfokus pada konsolidasi dan mengamankan negara yang baru dibentuknya.[92] Selama periode ini, ia menghadapi tantangan yang signifikan dari dukun Kokechu, yang ayahnya, Münglig, telah membelot ke Temüjin (Jenghis Khan) dan diizinkan untuk menikahi ibu Jenghis, Hö'elün. Kokechu, yang telah mendeklarasikan Temüjin sebagai Jenghis Khan dan mengambil gelar Tengri "Teb Tenggeri" ("Sepenuhnya Surgawi") atas dasar klaim kesaktiannya, mendapatkan pengaruh yang cukup besar di antara rakyat jelata Mongol dan berusaha untuk memecah belah keluarga kekaisaran.[93] Awalnya, Kokechu mengincar saudara laki-laki Jenghis Khan, Qasar, yang memang sejak awal selalu dicurigai oleh Jenghis. Qasar dipermalukan dan hampir dipenjara dengan tuduhan palsu sampai ibu mereka, Hö'elün, turun tangan dan menegur Jenghis di depan umum. Meskipun demikian, pengaruh Kokechu terus berkembang. Ia bahkan mempermalukan adik bungsu Jenghis, Temüge, di depan umum karena dianggap hendak menghalangi tindak-tanduknya.[94] Melihat ancaman Kokechu terhadap kekuasaan Jenghis, Börte pun memperingatkan suaminya. Sekalipun Jenghis tetap memuja kesaktian Kokechu, ia kini menyadari bahaya politik yang mungkin ditimbulkan oleh sang dukun. Jenghis pun mengizinkan Temüge untuk membunuh Kokechu, kemudian mengambil alih posisi sang dukun sebagai pemegang wewenang spiritual tertinggi di kalangan bangsa Mongol, sehingga menghilangkan ancaman internal yang signifikan terhadap kekuasaannya.[95]
Selama tahun-tahun ini, bangsa Mongol memperluas kendali mereka atas wilayah-wilayah di sekitarnya. Pada 1207, Jenghis Khan mengirim putranya, Jochi, ke utara untuk menaklukkan Hoi-yin Irgen , sekelompok suku yang terletak di tepi taiga Siberia. Jochi berhasil mendapat sekutu lewat perkawinan dengan suku Oirat, mengalahkan suku Kirgiz Yenisei, sekaligus menguasai perdagangan biji-bijian dan bulu hewan, serta tambang emas di wilayah tersebut.[96] Sementara itu, tentara Mongol bergerak ke arah barat, hingga mereka mengalahkan persekutuan Naiman-Merkit di sepanjang Sungai Irtysh pada akhir 1208. Khan Naiman terbunuh dalam pertempuran tersebut, dan Kuchlug, pemimpin Naiman lainnya, melarikan diri ke Asia Tengah.[97] Pada tahun 1211, orang Uighur, yang dipimpin oleh Barchuk, membebaskan diri mereka dari kendali Qara Khitai dan menjadi masyarakat menetap pertama yang tunduk pada bangsa Mongol, dan bersumpah setia kepada Jenghis Khan. Penyerahan diri ini menandai perluasan pengaruh Mongol atas peradaban menetap yang signifikan.[98]
Bangsa Mongol mulai menyerbu permukiman perbatasan kerajaan Xia Barat yang dipimpin orang Tangut pada 1205, konon katanya sebagai balasan atas perlindungan yang mereka berikan kepada Senggum, putra Toghrul.[99] Namun, para ahli berpendapat bahwa ada alasan praktis lain untuk serangan ini. Salah satu penjelasannya adalah bahwa bangsa Mongol berusaha untuk meremajakan cadangan kekayaan mereka yang sudah terkuras dengan pasokan barang dan ternak.[100] Boleh jadi pula, serangan ini dilakukan semata demi mengamankan tunas negara Mongol dari ancaman tetangga yang bersikap setengah musuh.[101] Pada saat itu, sebagian besar pasukan Xia Barat ditempatkan di sepanjang perbatasan selatan dan timur kerajaan, berjaga-jaga terhadap potensi serangan dari dinasti Song dan Jin. Namun, perbatasan utara dianggap relatif aman dan hanya dilindungi oleh Gurun Gobi.[102] Pada tahun 1207, setelah serangan Mongol berhasil menghancurkan benteng Xia di Wulahai, Jenghis Khan memutuskan untuk memimpin sendiri penyerbuan besar-besaran ke Xia Barat pada tahun 1209.[103]
Pada bulan Mei, bangsa Mongol merebut kembali Wulahai dan merangsek ke Zhongxing (kini Yinchuan), ibu kota Xia Barat. Namun, mereka menghadapi perlawanan yang kuat dari tentara Xia. Setelah sempat mandek selama dua bulan, Jenghis Khan memecah kebuntuan dengan menggunakan taktik pura-pura mundur dan memancing pasukan Xia keluar dari pertahanan, sehingga memungkinkan pasukan Mongol untuk mengalahkan mereka.[104] Namun, meski pertahanan Zhongxing sudah tergerus, pasukan Mongol tetap kesulitan menembus masuk karena kurangnya alat pengepungan mumpuni selain pelantak tubruk yang dibuat seadanya.[105] Xia Barat meminta bantuan dari dinasti Jin, tetapi Kaisar Zhangzong menolak permohonan tersebut. Jenghis Khan kemudian mencoba membanjiri kota dengan mengalihkan Sungai Kuning menggunakan bendungan darurat. Meskipun strategi ini awalnya berhasil, bendungan yang dibangun dengan buruk ini akhirnya jebol—mungkin karena sabotase dari suku Xia—sehingga menyebabkan perkemahan Mongol kebanjiran dan memaksa mereka untuk mundur pada Januari 1210. Segera setelah itu, sebuah perjanjian damai diresmikan. Kaisar Xia Barat, Xiangzong, tunduk pada Jenghis Khan dan setuju untuk membayar upeti serta menawarkan putrinya, Chaka, untuk dinikahi, sebagai imbalan atas mundurnya bangsa Mongol.[106]
Kampanye melawan Jin (1211–1215)
Pada tahun 1209, Wanyan Yongji merebut tahta dinasti Jin. Setelah sebelumnya bertugas di perbatasan padang rumput, ia adalah seseorang yang sangat tidak disukai Jenghis Khan.[107] Pada tahun 1210, ketika Yongji menuntut Jenghis untuk tunduk dan membayar upeti tahunan kepada Jin, Jenghis menanggapinya dengan penghinaan. Ia mengejek kaisar Jin, meludahi, dan pergi meninggalkan utusan tersebut, mengisyaratkan bahwa perang tidak dapat dihindari.[108] Meskipun menghadapi pasukan yang terdiri dari 600.000 tentara Jin, yang jumlahnya bisa mencapai delapan banding satu, Jenghis Khan tidak gentar. Ia telah mempersiapkan diri untuk menyerang Jin sejak tahun 1206, ketika ia menyadari ketidakstabilan internal yang melanda negara tersebut.[109] Jenghis memiliki dua tujuan utama dalam melancarkan invasi ini, yakni 1) untuk memberi balasan atas kesalahan masa lalu yang dilakukan oleh Jin, terutama eksekusi Ambaghai Khan pada pertengahan abad ke-12; dan 2) untuk mendapatkan sejumlah besar barang jarahan yang sangat dinantikan oleh para prajurit dan pengikutnya. Motivasi ini mendorong tekadnya untuk menantang dinasti Jin yang kuat meskipun ada rintangan.[110]
Setelah mengadakan pertemuan kurultai (dewan pemimpin Mongol) pada Maret 1211, Jenghis Khan melancarkan invasinya ke Jin Tiongkok pada Mei di tahun yang sama. Pada bulan Juni, pasukan Mongol telah mencapai lingkar luar pertahanan perbatasan Jin. Benteng-benteng ini dijaga oleh suku Ongud dibawah pimpinan Alaqush, yang membiarkan orang-orang Mongol berlalu tanpa perlawanan.[111] Strategi Jenghis Khan melibatkan chevauchée bercabang tiga, memanfaatkan serangan kilat untuk menjarah dan membumihanguskan sebagian besar wilayah Jin. Hal ini ditujukan untuk menguras persediaan Jin serta melemahkan legitimasi mereka di mata khalayak. Selain itu, pasukan Mongol juga berusaha untuk mengamankan jalur pegunungan utama yang menyediakan akses ke Dataran Tiongkok Utara.[112] Pasukan Jin mengalami kerugian yang signifikan, dan situasi mereka diperburuk oleh serangkaian pembelotan ke Mongol. Salah satu kejadian pembelotan yang paling menonjol turut berkontribusi secara langsung terhadap kemenangan pasukan Muqali dalam Pertempuran Huan'erzhui pada musim gugur 1211.[113] Namun, kampanye ini dihentikan sementara pada tahun 1212 ketika Jenghis Khan terluka oleh anak panah selama pengepungan Xijing (kini Datong) yang gagal.[114] Setelah kemunduran ini, Jenghis menyadari perlunya kemampuan pengepungan yang lebih baik dan membentuk korps insinyur pengepungan. Selama dua tahun berikutnya, korps ini merekrut 500 orang ahli dari Jin, yang secara signifikan meningkatkan kemampuan bangsa Mongol untuk melakukan pengepungan dalam kampanye-kampanye berikutnya.[115]
Begitu konflik pecah kembali pada tahun 1213, pertahanan Perlintasan Juyong telah diperkuat secara signifikan. Namun, sebuah detasemen Mongol yang dipimpin oleh jenderal brilian Jebe berhasil menyusup ke celah tersebut dan mengejutkan pasukan elit Jin, yang secara efektif membuka jalan menuju ibu kota Jin, Zhongdu (kini Beijing).[116] Seiring dengan merangsek masuknya pasukan Mongol, pemerintahan Jin mulai berantakan. Suku Khitan yang berada di bawah kekuasaan Jin secara terbuka memberontak, sehingga semakin mengacaukan situasi. Di tengah kekacauan ini, Hushahu, komandan pasukan Jin di Xijing, meninggalkan jabatannya dan melakukan kudeta di Zhongdu. Ia membunuh kaisar Yongji dan melantik Xuanzong sebagai penguasa boneka.[117] Keruntuhan pemerintahan ini membuka peluang bagi pasukan Jenghis Khan. Namun, meski sudah diuntungkan oleh beberapa kemenangan awal, pasukan Mongol terlampau memaksakan diri dan kehilangan momentum. Pengepungan berkepanjangan tidak juga mampu menembus benteng Zhongdu. Terkurasnya persediaan memicu kelaparan yang diperparah dengan menyebarnya wabah penyakit. Menurut catatan Yohanes dari Plano Carpini, tentara Mongol bahkan sampai mesti melakukan kanibalisme, meskipun klaim ini mungkin terlalu dibesar-besarkan. Menyadari bahwa pasukannya tidak sanggup bertahan menghadapi kondisi mengerikan dalam pengepungan berkepanjangan, Jenghis Khan memilih untuk berunding demi perdamaian, meskipun beberapa komandannya masih ingin tetap lanjut berperang.[118] Dalam perundingan ini, ia mendapatkan upeti yang cukup besar dari bangsa Jin, termasuk 3.000 kuda, 500 budak, seorang putri Jin, dan sejumlah besar emas dan sutra. Setelah persyaratan ini disetujui, Jenghis mengakhiri pengepungan dan menarik pasukannya pada bulan Mei 1214.[119]
Setelah negeri Jin utara hancur akibat wabah dan perang, Kaisar Xuanzong membuat keputusan strategis untuk memindahkan ibu kota dan istana kekaisaran 600 kilometer (370 mil) ke selatan ke Kaifeng.[120] Jenghis Khan menafsirkan pemindahan ini sebagai tanda bahwa bangsa Jin sedang berusaha untuk berkumpul kembali di selatan dengan tujuan untuk memulai kembali perang. Percaya bahwa langkah ini melanggar perjanjian damai, Jenghis Khan segera bersiap untuk kembali dan merebut Zhongdu.[121] Menurut sejarawan Christopher Atwood, pada titik inilah Jenghis Khan memutuskan untuk menaklukkan Tiongkok utara sepenuhnya.[122] Selama musim dingin tahun 1214-15, jenderal Jenghis, Muqali, berhasil merebut sejumlah kota di Liaodong. Meskipun penduduk Zhongdu menyerah kepada Jenghis Khan pada tanggal 31 Mei 1215, kota ini masih dikuasai oleh bangsa Mongol.[123] Setelah mendapatkan kemenangan ini, Jenghis Khan kembali ke Mongolia pada awal 1216, meninggalkan Muqali sebagai komando pasukan Mongol di Tiongkok.[124] Muqali memimpin kampanye yang brutal namun efektif melawan rezim Jin yang semakin tidak stabil, melanjutkan gerak maju Mongol hingga kematiannya pada 1223. Kampanye ini semakin memperkuat kontrol Mongol atas Tiongkok utara, dan membuka jalan bagi penaklukan dinasti Jin secara menyeluruh.[125]
Masa pemerintahan selanjutnya: ekspansi barat dan kembalinya Tiongkok (1216-1227)
Mengalahkan pemberontakan dan Qara Khitai (1216-1218)
Pada tahun 1207, Jenghis Khan menunjuk seorang pria bernama Qorchi sebagai gubernur suku-suku Hoi-yin Irgen yang telah ditaklukkan di Siberia. Qorchi dipilih bukan karena kemampuannya, melainkan karena jasanya di masa lalu kepada Jenghis. Namun, perilaku Qorchi, terutama kebiasaannya menculik wanita untuk menambah haremnya, membuat suku-suku tersebut memberontak, dan mereka menangkapnya pada awal tahun 1216. Tahun berikutnya, suku-suku tersebut menyergap dan membunuh Boroqul, salah satu nökod (sahabat) Jenghis Khan yang berpangkat tertinggi dan paling dekat.[126] Jenghis Khan sangat marah atas kehilangan teman dekatnya dan awalnya berencana untuk memimpin kampanye pembalasan. Namun, ia akhirnya dibujuk untuk mengirim putra sulungnya, Jochi, bersama dengan seorang komandan Dörbet. Mereka berhasil melancarkan serangan mendadak terhadap para pemberontak, mengalahkan mereka dan membangun kembali kendali atas wilayah yang secara ekonomi penting tersebut.[127]
Kuchlug, pangeran Naiman yang dikalahkan oleh Jenghis Khan pada 1204, telah menguasai dinasti Qara Khitai di Asia Tengah antara tahun 1211 dan 1213. Sebagai seorang penguasa, Kuchlug dikenal atas keserakahan serta tindakannya yang sewenang-wenang. Ia juga kemungkinan dibenci oleh pemeluk agama Islam setempat yang dipaksanya berpindah ke agama Buddha.[128] Jenghis Khan melihat Kuchlug sebagai ancaman potensial bagi kekaisaran dan mengirim jenderalnya, Jebe, dengan pasukan 20.000 kavaleri ke kota Kashgar. Jebe merongrong kekuasaan Kuchlug dengan mempromosikan kebijakan toleransi beragama bangsa Mongol, yang membantunya memenangkan kesetiaan para elit lokal.[129] Menghadapi perlawanan yang semakin meningkat, Kuchlug melarikan diri ke selatan menuju Pegunungan Pamir, tetapi tertangkap oleh para pemburu lokal. Jebe memerintahkan agar Kuchlug dipenggal, lalu mayatnya diarak melintasi Qara Khitai, menandai berakhirnya persekusi agama di wilayah tersebut.[130]
Invasi Kekaisaran Khwarezmia (1219-1221)
Jenghis Khan telah mendapatkan kendali penuh atas bagian timur Jalur Sutra, dengan wilayahnya yang kini berbatasan dengan Kekaisaran Khwarezmia, yang menguasai sebagian besar Asia Tengah, Persia, dan Afghanistan.[131] Para pedagang dari kedua belah pihak sangat ingin melanjutkan perdagangan, yang telah terganggu selama pemerintahan Kuchlug. Setelah Mongol merebut Zhongdu, penguasa Khwarezmia, Muhammad II, mengirim utusan kepada Jenghis Khan, yang kemudian menginstruksikan para pedagangnya untuk mencari tekstil dan baja berkualitas tinggi dari Asia Tengah dan Barat.[132] Sebuah kafilah besar yang terdiri dari 450 pedagang, yang didukung oleh anggota altan uruq (Keluarga Emas), dikirim ke Khwarezmia pada tahun 1218 dengan sejumlah besar barang. Namun, gubernur kota perbatasan Khwarezmia di Otrar, Inalchuq, menuduh para pedagang itu sebagai mata-mata dan memerintahkan pembantaian mereka, serta menyita barang-barang mereka. Muhammad, yang curiga dengan niat Jenghis Khan, mendukung tindakan Inalchuq atau mengabaikannya.[133] Sebagai tanggapan, Jenghis Khan mengirim seorang duta besar Mongol dengan dua orang pendamping untuk bernegosiasi dan menghindari perang, tetapi Muhammad membunuh duta besar tersebut dan mempermalukan dua orang lainnya. Tindakan membunuh utusan ini membuat Jenghis Khan marah, mendorongnya untuk meninggalkan Muqali dengan pasukan kecil di Tiongkok Utara sementara ia bersiap untuk menyerang Khwarezmia dengan sebagian besar pasukannya.[134]
Kekaisaran Khwarezmia Muhammad sangat luas namun terpecah-pecah. Ia memerintah bersama ibunya, Terken Khatun, dalam apa yang sejarawan Peter Golden gambarkan sebagai "diarki yang tidak nyaman." Bangsawan dan rakyat Khwarezmia tidak puas dengan peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh Muhammad dan sentralisasi pemerintahan. Karena masalah-masalah internal ini dan faktor-faktor lainnya, Muhammad memilih untuk tidak menghadapi bangsa Mongol dalam pertempuran terbuka. Sebaliknya, ia menempatkan pasukannya yang tidak bisa diatur di kota-kota besar, menghindari konfrontasi langsung.[135] Keputusan ini memberikan pasukan Mongol yang lapis baja ringan dan sangat mudah bergerak untuk menguasai daerah-daerah di luar tembok kota.[136] Pada musim gugur 1219, bangsa Mongol mengepung Otrar. Pengepungan berlangsung selama lima bulan, namun kota ini akhirnya jatuh pada Februari 1220, dan gubernurnya, Inalchuq, dieksekusi.[137] Selama pengepungan, Jenghis Khan secara strategis membagi pasukannya. Ia meninggalkan putranya, Chagatai dan Ögedei, untuk melanjutkan pengepungan Otrar, mengirim Jochi ke utara di sepanjang Sungai Syr Darya, dan mengirim pasukan lain ke selatan ke Transoxiana tengah. Sementara itu, Jenghis dan putranya Tolui memimpin pasukan utama Mongol melintasi Gurun Kyzylkum, mengejutkan dan membuat garnisun Bukhara kewalahan dalam sebuah gerakan penjepit yang terkoordinasi.[138]
Pada Februari 1220, bangsa Mongol merebut benteng Bukhara, dan Jenghis Khan kemudian mengalihkan perhatiannya ke Samarkand, kediaman Muhammad, yang jatuh pada bulan berikutnya.[139] Penaklukan Mongol yang cepat membuat Muhammad kebingungan, dan ia melarikan diri dari Balkh, dengan jenderal Mongol Jebe dan Subutai yang mengejarnya. Mereka mengejarnya hingga akhirnya ia meninggal karena disentri di sebuah pulau di Laut Kaspia pada musim dingin tahun 1220-1221, setelah menobatkan putra sulungnya, Jalal al-Din, sebagai penggantinya.[140] Setelah kematian Muhammad, Jebe dan Subutai memulai ekspedisi sepanjang 7.500 kilometer (4.700 mil) di sekitar Laut Kaspia, yang kemudian dikenal sebagai Serangan Besar. Kampanye selama empat tahun ini menandai kontak pertama bangsa Mongol dengan Eropa.[141] Sementara itu, tiga putra tertua Jenghis Khan mengepung ibu kota Khwarezmia, Gurganj. Pengepungan ini berlangsung hingga musim semi 1221 dan berakhir dengan peperangan kota yang brutal.[142] Selama masa ini, Jalal al-Din bergerak ke selatan ke Afghanistan, mengumpulkan kekuatan saat ia pergi. Ia berhasil mengalahkan unit Mongol di bawah komando Shigi Qutuqu, anak angkat Jenghis Khan, pada Pertempuran Parwan.[143] Namun, perselisihan internal di antara para komandannya melemahkan Jalal al-Din, dan ia dikalahkan dengan telak pada Pertempuran Indus pada November 1221. Setelah kekalahan ini, ia terpaksa melarikan diri menyeberangi Sungai Indus menuju India.[144]
Selama periode ini, putra bungsu Jenghis Khan, Tolui, memimpin kampanye brutal di wilayah Khorasan. Setiap kota yang melawan pasukan Mongol dihancurkan. Di antara kota-kota yang dihancurkan adalah Nishapur, Merv, dan Herat—tiga kota terbesar dan terkaya di dunia pada saat itu.[h][146] Kampanye ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap reputasi Jenghis Khan sebagai penakluk yang kejam dan tidak berperikemanusiaan. Sejarawan Persia kontemporer mengklaim bahwa jumlah korban tewas dari tiga pengepungan ini saja melebihi 5,7 juta orang, sebuah angka yang oleh para cendekiawan modern dianggap sangat berlebihan.[147] Namun, bahkan perkiraan yang lebih konservatif, seperti 1,25 juta kematian yang disarankan oleh sejarawan John Man untuk keseluruhan kampanye, akan menjadi bencana demografis dengan proporsi yang sangat besar.[148]
Kembali ke Tiongkok dan kampanye terakhir (1222-1227)
Pada tahun 1221, Jenghis Khan secara tak terduga menghentikan kampanye Asia Tengahnya.[149] Awalnya berencana untuk kembali melalui India, ia segera menyadari bahwa iklim Asia Selatan yang panas dan lembab menghalangi keefektifan pasukannya, dan pertanda alam juga tidak menguntungkan.[150] Meskipun bangsa Mongol menghabiskan sebagian besar tahun 1222 untuk menumpas pemberontakan di Khorasan, mereka akhirnya menarik diri dari wilayah tersebut untuk menghindari kekuatan yang terlalu besar, dan membangun perbatasan baru mereka di sepanjang Sungai Amu Darya.[151] Selama perjalanan pulang yang panjang, Jenghis Khan mulai mengorganisir divisi administratif baru untuk mengatur wilayah-wilayah yang baru saja ditaklukkan. Ia menunjuk darughachi (komisaris, secara harfiah berarti "mereka yang menekan segel") dan basqaq (pejabat lokal) untuk mengelola wilayah tersebut dan memulihkan keadaan normal.[152] Selain itu, ketika berada di Hindu Kush, Jenghis memanggil pemuka agama Taois, Changchun, untuk mengadakan pertemuan. Khan mendengarkan dengan seksama ajaran Changchun dan memberikan beberapa keistimewaan kepada para pengikutnya, termasuk pembebasan pajak dan otoritas atas semua biksu di seluruh kekaisaran. Para penganut Tao kemudian menggunakan otoritas ini untuk mencoba menegaskan dominasi atas agama Buddha.[153]
Penjelasan umum tentang Jenghis Khan yang menghentikan kampanye Asia Tengahnya adalah bahwa Xia Barat tidak hanya menolak untuk menyediakan pasukan tambahan untuk invasi tahun 1219, tetapi juga tidak mematuhi Muqali selama kampanyenya melawan pasukan Jin yang tersisa di Shaanxi.[149] Namun, sejarawan Timothy May menentang pandangan ini, dengan menyatakan bahwa Xia terus bertempur bersama Muqali hingga kematiannya pada 1223. Hanya setelah kematiannya, setelah merasa frustrasi dengan kontrol Mongol dan merasakan adanya peluang dengan pendudukan Jenghis di Asia Tengah, suku Xia berhenti bekerja sama.[154] Terlepas dari waktu yang tepat, Jenghis Khan pada awalnya mencoba menyelesaikan konflik dengan Xia Barat melalui diplomasi. Namun, ketika elit Xia tidak dapat menyepakati jumlah sandera yang harus mereka kirim ke Mongol, Jenghis kehilangan kesabaran, yang menyebabkan konflik lebih lanjut.[155]
Setelah kembali ke Mongolia pada awal 1225, Jenghis Khan menghabiskan waktu satu tahun untuk mempersiapkan kampanye melawan Xia Barat. Kampanye ini dimulai pada awal 1226 dengan merebut Khara-Khoto, sebuah kota di perbatasan barat kerajaan Xia.[156] Invasi ini berlangsung dengan cepat, dengan Jenghis memerintahkan penghancuran kota-kota di sepanjang Koridor Gansu, dan hanya menyisakan beberapa kota saja.[157] Pada musim gugur, pasukan Mongol telah menyeberangi Sungai Kuning. Pada bulan November, pasukan Mongol mengepung wilayah saat ini dari Lingwu, yang hanya berjarak 30 kilometer (19 mil) dari sebelah selatan ibu kota Xia, Zhongxing. Pada 4 Desember, Jenghis Khan secara meyakinkan mengalahkan pasukan bantuan Xia. Setelah kemenangan ini, ia menyerahkan pengepungan Zhongxing yang sedang berlangsung kepada para jenderalnya dan bergerak ke selatan dengan jenderal kepercayaannya, Subutai, untuk menjarah dan mengamankan wilayah Jin.[158]
Kematian dan setelahnya
Pada musim dingin 1226-1227, Jenghis Khan jatuh dari kudanya ketika sedang berburu, yang menyebabkan kesehatannya menurun selama beberapa bulan berikutnya. Penyakit ini memperlambat kemajuan pengepungan Zhongxing, karena putra-putranya dan para komandannya mendesaknya untuk kembali ke Mongolia untuk memulihkan diri, dengan alasan bahwa bangsa Xia akan tetap berada di sana jika mereka menunda kampanye.[160] Namun, Jenghis Khan, yang marah karena penghinaan dari komandan utama Xia, bersikeras untuk melanjutkan pengepungan. Ia meninggal pada 18 atau 25 Agustus 1227, namun kematiannya dijaga dengan sangat rahasia. Tanpa mengetahui kematiannya, Zhongxing jatuh pada bulan berikutnya, dan penduduknya menjadi sasaran kebrutalan yang ekstrem, yang secara efektif memusnahkan peradaban Xia-sebuah kampanye yang digambarkan oleh sejarawan John Man sebagai "etnosida yang sangat sukses."[161] Penyebab pasti kematian Jenghis Khan telah menjadi bahan spekulasi. Beberapa sumber, seperti Rashid al-Din dan Sejarah Yuan, mengatakan bahwa ia meninggal karena penyakit, mungkin malaria, tifus, atau wabah pes.[162] Marco Polo mengklaim bahwa Jenghis ditembak oleh anak panah selama pengepungan, sementara pengelana Carpini melaporkan bahwa ia disambar petir. Berbagai legenda juga telah muncul, yang paling terkenal adalah Gurbelchin, seorang wanita cantik yang pernah menjadi istri kaisar Xia, melukai alat kelamin Jenghis Khan dengan belati saat berhubungan seks, yang menyebabkan kematiannya.[163]
Setelah kematiannya, jasad Jenghis Khan dibawa kembali ke Mongolia dan dimakamkan di atau dekat puncak suci Burkhan Khaldun di Pegunungan Khentii, tempat yang telah dipilihnya beberapa tahun sebelumnya.[164] Detail prosesi pemakaman dan penguburannya dirahasiakan, dan gunung tersebut dinyatakan sebagai ikh khorig (yang berarti "Tabu Besar"), sebuah zona terlarang yang hanya dapat diakses oleh para pengawal Uriankhai. Ketika putra Jenghis Khan, Ögedei, naik takhta pada 1229, makam itu dihormati dengan persembahan selama tiga hari dan pengorbanan 30 gadis.[165] Sejarawan Ratchnevsky berpendapat bahwa bangsa Mongol, yang tidak memiliki teknik pembalseman, mungkin telah menguburkan Jenghis Khan di wilayah Ordos untuk mencegah jasadnya membusuk di musim panas ketika diangkut ke Mongolia. Namun, teori ini ditolak oleh sejarawan Christopher Atwood, yang meyakini bahwa Jenghis Khan memang dimakamkan di Mongolia seperti yang telah menjadi tradisi.[166]
Suksesi
Suku-suku di padang rumput Mongol tidak memiliki sistem yang tetap untuk suksesi, tetapi mereka sering mempraktikkan bentuk ultimogenitur, yakni anak laki-laki bungsu mewarisi properti ayahnya. Praktik ini didasarkan pada gagasan bahwa putra bungsu akan memiliki waktu paling sedikit untuk membangun pengikutnya sendiri dan karena itu membutuhkan dukungan dari warisan ayahnya.[167] Namun, jenis warisan ini hanya berlaku untuk properti, bukan untuk gelar atau posisi kepemimpinan.[168]
Sejarah Rahasia Bangsa Mongol mencatat bahwa Jenghis Khan memilih penggantinya ketika mempersiapkan kampanye Khwarezmia pada tahun 1219, sementara sejarawan Rashid al-Din menyatakan bahwa keputusan tersebut dibuat sebelum kampanye terakhir Jenghis melawan Xia Barat.[169] Terlepas dari waktu yang tepat, ada lima kandidat yang memungkinkan untuk menjadi penerus tahta: Empat putra Jenghis dan adik bungsunya, Temüge. Namun, Temüge, yang memiliki klaim paling lemah, tidak pernah dipertimbangkan secara serius.[170] Meskipun ada keraguan tentang keabsahan Jochi karena kelahirannya setelah penculikan Börte, Jenghis Khan tampaknya tidak terlalu khawatir tentang hal ini.[171] Namun, Jenghis dan Jochi semakin lama semakin menjauh, sebagian karena Jochi lebih fokus pada appanage-nya sendiri. Ketegangan meningkat setelah pengepungan Gurganj, di mana Jochi dengan enggan berpartisipasi dan gagal memberikan Jenghis bagian dari harta rampasan perang, yang semakin merenggangkan hubungan mereka.[172] Jenghis Khan sangat marah dengan penolakan Jochi untuk kembali kepadanya pada tahun 1223 dan mempertimbangkan untuk mengirim putra-putranya, Ögedei dan Chagatai, untuk memaksa Jochi tunduk ketika ia menerima kabar bahwa Jochi telah meninggal karena sakit.[173]
Sikap Chagatai terhadap potensi suksesi Jochi secara terbuka bermusuhan—ia menyebut kakaknya sebagai "anak haram Merkit" dan bahkan terlibat perkelahian fisik dengannya di depan ayah mereka. Perilaku ini membuat Jenghis Khan memandang Chagatai sebagai orang yang kaku, sombong, dan berpikiran sempit, terlepas dari pengetahuannya yang mendalam tentang adat istiadat hukum Mongol.[174] Akibatnya, Chagatai dikesampingkan sebagai kandidat, menyisakan Ögedei dan Tolui sebagai pesaing utama untuk suksesi. Tolui tidak diragukan lagi adalah pemimpin militer yang lebih kuat—kampanyenya di Khorasan telah berperan penting dalam keruntuhan Kekaisaran Khwarezmia, sementara kakaknya, Ögedei, tidak begitu cakap sebagai seorang komandan.[175] Namun, Ögedei memiliki kekuatannya sendiri: meskipun ia sering minum minuman keras, yang akhirnya menyebabkan kematiannya pada 1241,[176] ia sangat dermawan, disukai, dan memiliki bakat untuk mengatur orang. Tidak seperti kakak-kakaknya, Ögedei bersedia mempercayai bawahannya yang cakap dan lebih terbuka untuk berkompromi, membuatnya lebih cenderung menjunjung tinggi tradisi Mongol. Sebaliknya, istri Tolui, Sorghaghtani, adalah seorang Kristen Nestorian yang mendukung berbagai agama, termasuk Islam, yang mungkin membuat Tolui kurang menarik sebagai penerus. Mempertimbangkan faktor-faktor ini, Ögedei akhirnya diakui sebagai pewaris takhta Mongol.[177]
Setelah Jenghis Khan wafat, Tolui menjabat sebagai waliraja dan menjadi preseden bagi praktik-praktik adat yang akan dilakukan setelah kematian seorang khan. Tradisi ini termasuk menghentikan semua operasi militer yang melibatkan pasukan Mongol, mengamati masa berkabung yang panjang di bawah pengawasan waliraja, dan mengadakan kurultai untuk mencalonkan dan memilih penguasa berikutnya.[178] Bagi Tolui, masa jabatannya sebagai bupati memberikan kesempatan strategis. Ia masih merupakan kandidat yang layak untuk suksesi dan mendapat dukungan dari keluarga Jochi. Namun, kurultai umum, yang dihadiri oleh para panglima yang telah dipromosikan dan dihormati oleh Jenghis, kemungkinan besar akan mematuhi keinginan Jenghis Khan secara ketat dan menunjuk Ögedei sebagai penguasa baru. Ada yang berpendapat bahwa keraguan Tolui untuk mengadakan kurultai berasal dari kesadarannya bahwa hal itu dapat mengancam ambisinya sendiri.[179] Pada akhirnya, Tolui dibujuk oleh penasihatnya, Yelü Chucai, untuk melanjutkan kurultai. Pada 1229, kurultai diselenggarakan, dan menobatkan Ögedei sebagai khan, dengan Tolui yang hadir, menandai peralihan kekuasaan secara resmi.[180]
Keluarga
Börte, yang dinikahi Temüjin pada sekitar tahun 1178, tetap menjadi istri senior sepanjang hidupnya.[181] Ia melahirkan empat putra dan lima putri, yang semuanya menjadi tokoh berpengaruh di Kekaisaran Mongol.[182] Jenghis Khan memberikan tanah dan kekayaan kepada putra-putranya melalui sistem apanase Mongol,[183] sementara ia mengamankan aliansi strategis dengan menikahkan putri-putrinya dengan keluarga-keluarga penting.[182] Anak-anaknya adalah:
- Qojin (lahir sekitar tahun 1179): Ia menikah dengan Butu dari Ikires, salah satu pendukung awal dan terdekat Temüjin, yang juga duda Temülün.[184]
- Jochi (lahir sekitar tahun 1182): Keabsahannya sebagai ayah dipertanyakan karena penculikan Börte, tetapi Temüjin menerimanya sebagai anak yang sah.[185] Jochi mendahului Jenghis Khan, serta kelompoknya berkembang menjadi Gerombolan Emas di sepanjang sungai Irtysh dan meluas sampai Siberia.[186]
- Chagatai (lahir sekitar tahun 1184)[187]: Ia diberikan wilayah di bekas wilayah Qara Khitai di sekitaran Almaligh Turkestan, yang kemudian menjadi Kekhanan Chagatai.[188]
- Ögedei (lahir sekitar tahun 1186): Ia menerima tanah di Dzungaria dan menggantikan Jenghis Khan sebagai penguasa kekaisaran.[189]
- Checheyigen (lahir sekitar tahun 1188): Pernikahannya dengan Törelchi menjamin kesetiaan kaum Oirat.[190]
- Alaqa (lahir sekitar 1190): Ia menikahi beberapa anggota suku Ongud antara tahun 1207 dan 1225.[191]
- Tümelün (lahir sekitar tahun 1192): Ia menikah dengan Chigu dari suku Onggirat.[192]
- Tolui (lahir sekitar tahun 1193): Ia menerima tanah di dekat Pegunungan Altai, dan dua putranya, Möngke dan Kubilai, kemudian memerintah kekaisaran, sementara putra lainnya, Hulagu, mendirikan Ilkhaniyyah.[193]
- Al Altan (lahir sekitar tahun 1196): Ia menikah dengan penguasa Uighur yang kuat, Barchuk,[194] dan kemudian dieksekusi di bawah pemerintahan Güyük Khan pada 1240-an.[195]
Setelah Börte melahirkan anak terakhirnya, Temüjin mengambil beberapa istri muda, terutama melalui penaklukan. Istri-istri ini sebelumnya adalah putri atau ratu, dan Temüjin menikahi mereka untuk menunjukkan dominasi politiknya. Mereka termasuk putri Kereit, Ibaqa, saudara perempuan Tatar, Yesugen dan Yesui, Qulan (seorang Merkit), Gürbesu (ratu Naiman Tayang Khan), dan dua putri Tiongkok, Chaqa dan Qiguo, yang masing-masing berasal dari dinasti Xia dan Jin Barat.[196] Anak-anak dari istri-istri junior ini selalu berada di peringkat yang lebih rendah dari anak-anak Börte. Anak-anak perempuan dari serikat-serikat ini dinikahkan untuk mendapatkan aliansi yang lebih rendah, dan anak-anak laki-laki, seperti anak laki-laki Qulan, Kölgen , tidak pernah dipertimbangkan untuk menjadi pewaris tahta.[197]
Karakter dan pencapaian
Tidak ada deskripsi saksi mata atau penggambaran kontemporer tentang Jenghis Khan yang masih ada.[198] Namun, dua deskripsi paling awal berasal dari penulis sejarah Persia, Juzjani, dan diplomat dinasti Song, Zhao Hong.[i] Keduanya menggambarkannya sebagai sosok yang tinggi, kuat, dan bertubuh kekar. Zhao mencatat bahwa Jenghis Khan memiliki alis yang lebar dan janggut yang panjang, sementara Juzjani menyebutkan matanya yang seperti kucing dan fakta bahwa ia tidak memiliki uban. Selain itu, Sejarah Rahasia Bangsa Mongol mencatat bahwa ayah Börte mengomentari "mata Jenghis Khan yang berbinar dan wajahnya yang hidup" ketika mereka pertama kali bertemu.[200]
Atwood berpendapat bahwa banyak nilai-nilai Jenghis Khan, terutama penekanan yang ia berikan pada masyarakat yang tertib, berasal dari masa mudanya yang penuh gejolak.[201] Ia menghargai kesetiaan di atas segalanya dan kesetiaan bersama menjadi landasan negara barunya.[202] Jenghis tidak merasa sulit untuk mendapatkan kesetiaan orang lain: ia sangat karismatik bahkan saat masih muda, seperti yang ditunjukkan oleh banyaknya orang yang meninggalkan peran sosial yang ada untuk bergabung dengannya.[203] Meskipun kepercayaannya sulit diperoleh, jika ia merasa kesetiaannya terjamin, ia memberikan kepercayaan penuhnya sebagai balasannya.[204] Diakui atas kemurahan hatinya terhadap para pengikutnya, Jenghis tanpa ragu menghargai bantuan sebelumnya. Nökod yang paling dihormati di kurultai 1206 adalah mereka yang telah menemaninya sejak awal, dan mereka yang telah bersumpah Perjanjian Baljuna dengannya di titik terendahnya.[205] Ia mengambil tanggung jawab atas keluarga nökod yang terbunuh dalam pertempuran atau yang mengalami masa sulit dengan menaikkan pajak untuk memberi mereka pakaian dan makanan.[206]
Surga mulai bosan dengan kesombongan dan kemewahan yang berlebihan di Tiongkok... Saya berasal dari Utara yang biadab... Saya memakai pakaian yang sama dan makan makanan yang sama seperti para penggembala sapi dan penggembala kuda. Kami melakukan pengorbanan yang sama dan kami berbagi kekayaan kami. Saya memandang bangsa ini seperti anak yang baru lahir dan saya merawat tentara saya seolah-olah mereka adalah saudara saya.
Sumber utama kekayaan padang rumput adalah penjarahan pascaperang, yang biasanya sebagian besarnya diklaim oleh seorang pemimpin; Jenghis menghindari kebiasaan ini, dan memilih untuk membagi harta rampasan secara merata antara dirinya dan semua anak buahnya.[208] Karena tidak menyukai segala bentuk kemewahan, ia memuji kehidupan nomaden yang sederhana dalam sebuah surat kepada Changchun, dan menolak untuk disapa dengan sanjungan yang menjilat. Ia mendorong teman-temannya untuk menyapanya secara informal, memberinya nasihat, dan mengkritik kesalahannya.[209] Keterbukaan Jenghis terhadap kritik dan kemauannya untuk belajar membuatnya mencari pengetahuan dari anggota keluarga, teman, negara tetangga, dan musuh.[210] Ia mencari dan memperoleh pengetahuan tentang persenjataan canggih dari Tiongkok dan dunia Muslim, menguasai alfabet Uighur dengan bantuan juru tulis Tata-tonga yang ditangkap, dan mempekerjakan banyak spesialis di bidang hukum, komersial, dan administrasi.[211] Ia juga memahami perlunya suksesi yang lancar dan para sejarawan modern setuju bahwa ia menunjukkan penilaian yang baik dalam memilih ahli warisnya.[212]
Meskipun ia kini terkenal karena penaklukan militernya, sangat sedikit yang diketahui tentang kepemimpinan pribadi Jenghis. Keterampilannya lebih cocok untuk mengidentifikasi calon komandan.[213] Pembentukan struktur komando meritokratisnya memberikan keunggulan militer kepada tentara Mongol, meskipun tidak inovatif secara teknologi atau taktik.[214] Tentara yang dibentuk Jenghis dicirikan oleh disiplin yang kejam, kemampuannya untuk mengumpulkan dan menggunakan intelijen militer secara efisien, penguasaan perang psikologis, dan kemauan untuk menjadi sangat kejam.[215] Jenghis sangat menikmati pembalasan dendam terhadap musuh-musuhnya—konsep tersebut merupakan inti dari achi qari'ulqu (terj. har. '"baik untuk kebaikan, kejahatan untuk kejahatan"'), sebuah kode keadilan padang rumput. Dalam keadaan luar biasa, seperti ketika Muhammad dari Khwarazm mengeksekusi utusannya, kebutuhan untuk membalas dendam mengesampingkan semua pertimbangan lainnya.[216]
Jenghis mulai percaya bahwa dewa tertinggi Tengri telah menetapkan takdir yang besar untuknya. Awalnya, ambisi ini hanya terbatas pada Mongolia, tetapi seiring dengan keberhasilan yang diraih dan jangkauan bangsa Mongol meluas, ia dan para pengikutnya mulai percaya bahwa ia berwujud suu (terj. har. ''rahmat ilahi'').[217] Karena percaya bahwa ia memiliki hubungan yang erat dengan Surga, siapa pun yang tidak mengakui haknya untuk menguasai dunia akan diperlakukan sebagai musuh. Pandangan ini memungkinkan Jenghis untuk merasionalisasi setiap momen munafik atau bermuka dua di pihaknya sendiri, seperti membunuh anda Jamukha atau membunuh nökod yang goyah dalam kesetiaan mereka.[218]
Warisan dan penilaian sejarah
Jenghis Khan meninggalkan warisan yang sangat besar dan kompleks. Dengan menyatukan suku-suku Mongol dan mendirikan kekaisaran terbesar yang bersebelahan dalam sejarah dunia, ia "secara permanen mengubah pandangan dunia tentang peradaban Eropa, Islam, dan Asia Timur," seperti yang dicatat oleh sejarawan Christopher Atwood.[220] Penaklukannya membuka jalan bagi terciptanya jaringan perdagangan Eurasia yang luas, yang membawa kekayaan dan keamanan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi suku-suku tersebut.[221] Meskipun kecil kemungkinan ia mengkodifikasi hukum tertulis yang dikenal sebagai Yasa Agung,[222] Jenghis Khan menata ulang sistem hukum dan membentuk otoritas peradilan yang kuat di bawah Shigi Qutuqu.[223]
Penaklukan Jenghis Khan tidak dapat disangkal kejam dan brutal, meninggalkan dampak yang mendalam pada peradaban Tiongkok, Asia Tengah, dan Persia. Wilayah-wilayah ini, yang dulunya makmur, hancur akibat invasi Mongol, mengalami trauma dan penderitaan dari beberapa generasi.[224] Terlepas dari pencapaiannya yang signifikan, salah satu kegagalan terbesar Jenghis Khan adalah ketidakmampuannya untuk membangun sistem suksesi yang stabil. Pembagian kekaisarannya menjadi beberapa apanase yang diberikan kepada putra-putranya untuk memerintah—dimaksudkan untuk memastikan stabilitas, tetapi malah menyebabkan fragmentasi kekaisaran. Seiring berjalannya waktu, kepentingan lokal dan negara berbeda, dan kekaisaran mulai terpecah menjadi beberapa entitas yang terpisah: Gerombolan Emas, Kekhanan Chagatai, Kekhanan Ilkhanat, dan Dinasti Yuan pada akhir tahun 1200-an.[225] Pada pertengahan 1990-an, Washington Post mengakui Jenghis Khan sebagai "manusia milenium", menggambarkannya sebagai sosok yang "mewujudkan dualitas manusia yang setengah beradab dan setengah biadab."[226] Gambaran kompleks tentang Jenghis Khan ini telah bertahan dalam kesarjanaan modern, dengan para sejarawan menyoroti kontribusi positifnya-seperti inovasi politik dan hukumnya—dan konsekuensi yang menghancurkan dari penaklukan-penaklukannya. Jenghis Khan tetap menjadi sosok yang dikagumi sekaligus kontroversi, yang mencerminkan sifat ganda dari peninggalannya dalam sejarah.[227]
Mongolia
Selama berabad-abad, Jenghis Khan dikenang di Mongolia terutama sebagai tokoh agama dan bukan tokoh politik. Setelah Altan Khan berpindah agama menjadi penganut Buddha Tibet pada akhir tahun 1500-an, Jenghis didewakan dan menjadi tokoh sentral dalam tradisi keagamaan Mongolia.[228] Sebagai seorang dewa, ia dikaitkan dengan perpaduan antara tradisi Buddhis, perdukunan, dan tradisi rakyat. Sebagai contoh, ia dipandang sebagai inkarnasi baru dari seorang chakravartin (penguasa yang ideal) seperti Ashoka atau Vajrapani, seorang bodhisattva militer. Ia juga memiliki hubungan silsilah dengan Buddha dan raja-raja Buddha kuno, dipanggil saat pernikahan dan perayaan, dan memainkan peran penting dalam ritual pemujaan leluhur.[229] Jenghis Khan menjadi fokus legenda "pahlawan tidur", yang meramalkan bahwa ia akan kembali untuk membantu orang-orang Mongol pada saat-saat yang sangat dibutuhkan.[230] Pemujaannya berpusat di naiman chagan ordon (terj. har. '"Delapan Yurt Putih"'), yang sekarang menjadi mausoleum yang terletak di Mongolia Dalam, Tiongkok.[231]
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, Jenghis Khan mulai dianggap sebagai pahlawan nasional rakyat Mongolia. Kekuatan-kekuatan asing menyadari sentimen yang berkembang ini. Sebagai contoh, selama pendudukannya di Mongolia Dalam, Kekaisaran Jepang mendanai pembangunan sebuah kuil yang didedikasikan untuk Jenghis Khan. Baik Kuomintang maupun Partai Komunis Tiongkok menggunakan kenangannya selama Perang Saudara Tiongkok untuk menarik calon sekutu, karena menyadari pentingnya simbolisnya.[232] Selama Perang Dunia II, Republik Rakyat Mongolia yang bersekutu dengan Uni Soviet mempromosikan Jenghis Khan sebagai tokoh patriotik untuk menginspirasi perlawanan terhadap penjajah. Namun, sikap ini berubah secara dramatis setelah perang berakhir. Khawatir Jenghis Khan, sebagai pahlawan non-Rusia, dapat menjadi simbol anti-komunis, Uni Soviet mengubah sikapnya. Jenghis Khan kemudian dikutuk sebagai "penguasa feodal dan reaksioner" yang telah mengeksploitasi rakyat.[233] Pemujaannya ditindas, aksara tradisional Mongolia yang dipilihnya diganti dengan aksara Sirilik, dan rencana untuk merayakan ulang tahun ke-800 kelahirannya pada tahun 1962 dibatalkan dan dikritik setelah mendapat penolakan keras dari Soviet. Menariknya, sejarawan Tiongkok umumnya lebih memihak kepada Jenghis Khan daripada rekan-rekan Soviet mereka, yang berkontribusi pada peran kecilnya dalam perpecahan Tiongkok-Soviet. Pandangan yang kontras tentang Jenghis Khan antara Tiongkok dan Soviet menyoroti beberapa perbedaan ideologis yang pada akhirnya menyebabkan ketegangan antara kedua negara komunis tersebut.[234]
Kebijakan glasnost dan perestroika pada tahun 1980-an menyebabkan rehabilitasi resmi Jenghis Khan di Mongolia. Setelah revolusi 1990, negara ini mulai merangkul tokoh bersejarahnya dengan kebanggaan baru. Kurang dari dua tahun setelah revolusi, Jalan Lenin di ibu kota, Ulaanbaatar, berganti nama menjadi Jalan Jenghis Khan, yang melambangkan pergeseran identitas nasional.[235] Sejak saat itu, Jenghis Khan menjadi tokoh sentral dalam budaya dan identitas Mongolia. Bandara Internasional Chinggis Khaan dinamai untuk menghormatinya, dan sebuah patung besar dirinya didirikan di Lapangan Sükhbaatar, yang juga dinamai dengan nama Jenghis Khan antara 2013 dan 2016. Gambarnya digunakan secara luas, muncul di perangko, uang kertas bernilai tinggi, dan berbagai produk komersial, termasuk alkohol dan bahkan tisu toilet. Namun, pada tahun 2006, parlemen Mongolia mulai menyatakan keprihatinannya atas penyepelean nama Jenghis Khan karena penggunaannya yang berlebihan dalam iklan dan merek komersial, yang mencerminkan ketegangan antara menghormati tokoh bersejarah dan menjaga martabat peninggalannya.[236]
Orang Mongolia modern cenderung menekankan warisan politik dan sipil Jenghis Khan daripada penaklukan militernya. Mereka memandang aspek-aspek destruktif dari kampanye-kampanyenya sebagai "produk dari zaman mereka," seperti yang dicatat oleh sejarawan Michal Biran, dan menganggapnya sebagai hal yang kedua setelah kontribusinya yang abadi terhadap sejarah Mongolia dan dunia.[237] Kebijakan Jenghis Khan, seperti penggunaan kurultai (dewan atau majelis), pembentukan supremasi hukum melalui peradilan yang independen, dan promosi hak asasi manusia, dipandang sebagai elemen-elemen dasar yang membuka jalan bagi pembentukan negara Mongolia yang modern dan demokratis. Alih-alih dikenang terutama sebagai seorang pejuang, Jenghis Khan diidealkan sebagai pemimpin yang membawa perdamaian dan pengetahuan, mengubah Mongolia menjadi pusat budaya internasional selama masa pemerintahannya.[238] Dia dikenal luas sebagai bapak pendiri Mongolia, yang dirayakan karena telah meletakkan dasar bagi identitas bangsa dan tempatnya di dunia.[239]
Tempat lainnya
Baik pada masa lalu maupun sekarang, dunia Muslim telah menafsirkan Jenghis Khan dengan berbagai cara.[240] Awalnya, karena pemikiran Islam belum pernah mempertimbangkan kemungkinan diperintah oleh kekuatan non-Muslim, banyak yang memandang Jenghis sebagai tanda Hari Kiamat yang semakin dekat. Namun, seiring berjalannya waktu dan dunia tidak kiamat, dan ketika beberapa keturunannya mulai memeluk Islam, umat Islam mulai melihat Jenghis Khan sebagai alat kehendak Tuhan. Mereka percaya bahwa ia ditakdirkan untuk memurnikan dunia Muslim dengan membersihkannya dari kerusakan yang ada.[241]
Di Asia pasca-Mongol, Jenghis Khan menjadi tokoh kunci untuk membangun legitimasi politik, karena keturunannya diakui sebagai satu-satunya yang memiliki hak untuk memerintah. Akibatnya, para pemimpin yang bukan keturunan Jenghis harus mencari cara untuk membenarkan otoritas mereka. Mereka sering melakukan hal ini dengan menunjuk penguasa boneka dari garis keturunan Jenghis atau dengan menekankan hubungan mereka sendiri dengannya.[242] Salah satu contoh yang paling terkenal dari hal ini adalah Timur Lenk (Tamerlane), penakluk besar yang mendirikan kekaisaran di Asia Tengah. Timur Lenk memberikan penghormatan kepada keturunan Jenghis Khan, seperti Soyurgatmish dan Sultan Mahmud, dan melakukan kampanye propaganda yang melebih-lebihkan pentingnya nenek moyangnya, Qarachar Noyan, seorang panglima yang relatif kecil di bawah Jenghis, yang menggambarkannya sebagai saudara sedarah dan orang kedua di bawah Jenghis. Timur Lenk juga memperkuat klaimnya dengan menikahi setidaknya dua keturunan Jenghis.[243] Demikian pula, Babur, pendiri Kekaisaran Mughal di India,[k] memperoleh kekuasaannya dari keturunan Timur Lenk dan Jenghis Khan.[245] Di Asia Tengah, warisan Jenghis Khan sangat berpengaruh sehingga sampai abad ke-18, ia dianggap sebagai nenek moyang tatanan sosial dan berada di urutan kedua setelah Nabi Muhammad dalam hal otoritas hukum.[246]
Dengan bangkitnya nasionalisme Arab pada abad ke-19, dunia Arab mulai memandang Jenghis Khan secara negatif. Saat ini, ia sering dipandang sebagai "musuh terkutuk", "orang biadab barbar" yang tindakannya, terutama tindakan cucunya, Hulagu, selama Pengepungan Baghdad pada tahun 1258, dianggap sebagai awal kehancuran peradaban.[247] Demikian pula di Rusia, Jenghis Khan dipandang sangat negatif. Para sejarawan Rusia secara konsisten menggambarkan pemerintahan Gerombolan Emas—yang disebut "Kuk Tatar"—sebagai periode keterbelakangan, kehancuran, dan penghalang utama bagi kemajuan. Era ini sering disalahkan atas banyak tantangan dan kekurangan sejarah Rusia.[248] Di Asia Tengah dan Turki modern, warisan Jenghis Khan lebih ambivalen. Meskipun ia diakui sebagai tokoh sejarah yang penting, statusnya sebagai pemimpin non-Muslim berarti bahwa pahlawan dan tradisi nasional lainnya, seperti Timur Lenk dan Seljuk, sering kali dianggap lebih tinggi. Ambivalensi ini mencerminkan hubungan yang kompleks dengan warisan Jenghis Khan di wilayah-wilayah kala identitas dan sejarah Islam memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran nasional.[249]
Di bawah dinasti Yuan di Tiongkok, Jenghis Khan dihormati sebagai pendiri negara, status yang ia pertahankan bahkan setelah dinasti Ming didirikan pada tahun 1368. Meskipun periode Ming kemudian agak menjauhkan diri dari warisannya, pandangan positif ini dihidupkan kembali di bawah dinasti Qing yang dipimpin oleh Manchu (1644-1911), yang melihat diri mereka sebagai penerusnya. Pada abad ke-20, kebangkitan nasionalisme Tiongkok pada awalnya membuat Jenghis Khan digambarkan sebagai penjajah asing yang traumatis. Namun, seiring berjalannya waktu, citranya direhabilitasi, dan ia digunakan kembali sebagai simbol politik untuk berbagai tujuan. Historiografi Tiongkok modern umumnya memandang Jenghis Khan secara positif, dan sering kali menggambarkannya sebagai pahlawan Tiongkok.[250] Di Jepang kontemporer, Jenghis Khan paling terkenal dikaitkan dengan legenda bahwa ia sebenarnya adalah Minamoto no Yoshitsune, seorang samurai dan pahlawan tragis yang, menurut cerita, dipaksa untuk melakukan seppuku (ritual bunuh diri) pada 1189. Legenda ini menunjukkan bahwa alih-alih mati, Yoshitsune justru melarikan diri dari Jepang dan akhirnya menjadi Jenghis Khan, menambahkan sentuhan unik pada warisannya dalam budaya Jepang.[251]
Persepsi dunia Barat tentang Jenghis Khan telah berkembang dari waktu ke waktu, yang mencerminkan pergeseran konteks budaya dan sejarah. Pada abad ke-14, tokoh-tokoh seperti Marco Polo dan Geoffrey Chaucer menggambarkannya sebagai penguasa yang adil dan bijaksana, menyoroti prestasi dan kualitas kepemimpinannya. Namun, pada abad ke-18, selama Abad Pencerahan, Jenghis Khan menjadi simbol stereotip seorang penguasa lalim dari timur yang kejam, sosok yang mewujudkan kekejaman dan otoriter yang diasosiasikan dengan penguasa timur. Pada abad ke-20, citra Jenghis Khan semakin berubah menjadi panglima perang barbar yang prototipikal, yang terutama dilihat sebagai penakluk yang kejam. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kesarjanaan Barat telah mengambil pendekatan yang lebih bernuansa, mengakui Jenghis Khan sebagai individu yang kompleks dengan pencapaian yang signifikan dan warisan yang luar biasa. Pandangan modern ini mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari penaklukan-penaklukannya, inovasi administrasinya, dan perannya dalam membentuk sejarah dunia.[252]
Referensi
Catatan
- ^ Pengucapan: [dʒeŋgis xan], juga dieja sebagai Genghis Khan; bahasa Mongol: Чингис хаан / Chingis haan; bahasa Kazakh: Шыңғыс хан / Şyńğys han, Генгис хаан / Gengis haan; bahasa Turki: Cengiz Han.
- ^ Juga ditransliterasikan menjadi Zhao Gong, Meng Da beilu (Catatan Lengkap Tatar Mongol) menjadi satu-satunya sumber yang masih dilestarikan tentang bangsa Mongol yang ditulis semasa hidup Jenghis.[16]
- ^ Republik Rakyat Mongolia memilih untuk merayakan peringatan kelahiran Temüjin ke-800 pada 1962.[18]
- ^ Pada masa itu, kata "Mongol" hanya merujuk pada para anggota satu suku di timur laut Mongolia. Karena suku tersebut memainkan peran utama dalam pembentukan Kekaisaran Mongol, nama mereka kemudian dipakai untuk seluruh suku.[24]
- ^ 'Teman dekat'; jamak: nökod.
- ^ Menurut Sejarah Rahasia, Jamukha berujar: "Jika kita berkemah di dekat bukit, para penggembala kuda kita akan mendapatkan tenda mereka. Jika kita berkemah di samping aliran gunung, para penggembala domba dan lembu kita akan mendapatkan santapan untuk kerongkongan mereka."[51]
- ^ Tuq, sebuah panji yang terbuat dari ekor-ekor yak atau kuda, ditempatkan di kanan; tuq putih yang digambarkan disini mewakili perdamaian, sementara tuq hitam mewakili perang.[74]
- ^ Herat awalnya menyerah kepada Tolui, namun kemudian memberontak dan dihancurkan pada 1222; penduduknya dibantai.[145]
- ^ Zhao Hong mengunjungi Mongolia pada 1221, kala Jenghis berkampanye di Khorasan.[199] Juzjani, yang menulis tiga puluh tahun usai kematian Jenghis, menyebutkan tentang saksi-saksi mata dari kampanye yang sama.[200]
- ^ Mereka meliputi (atas ke bawah, kiri ke kanan): Jenghis, Ögedei, Kubilai, Temür, Külüg, Buyantu dan Rinchinbal.[219]
- ^ Kata "Mughal" berasal dari "Mongol", yang dipakai di India untuk pasukan invasi utara.[244]
Kutipan
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. x–xi.
- ^ Pelliot 1959, hlm. 281.
- ^ Bawden 2022, § "Introduction"; Wilkinson 2012, hlm. 776; Morgan 1990.
- ^ Bawden 2022, § "Introduction".
- ^ Porter 2016, hlm. 24; Fiaschetti 2014, hlm. 77–82.
- ^ Morgan 1986, hlm. 4–5.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. xii.
- ^ Sverdrup 2017, hlm. xiv.
- ^ Hung 1951, hlm. 481.
- ^ Waley 2002, hlm. 7–8; Morgan 1986, hlm. 11.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. xiv–xv.
- ^ Morgan 1986, hlm. 16–17.
- ^ Sverdrup 2017, hlm. xvi.
- ^ Morgan 1986, hlm. 18; Ratchnevsky 1991, hlm. xv–xvi.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. xv; Atwood 2004, hlm. 117; Morgan 1986, hlm. 18–21.
- ^ Atwood 2004, hlm. 154.
- ^ Sverdrup 2017, hlm. xiv–xvi; Wright 2017.
- ^ a b Morgan 1986, hlm. 55.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 17–18.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 17–18; Pelliot 1959, hlm. 284–287.
- ^ Man 2004, hlm. 70; Biran 2012, hlm. 33; Atwood 2004, hlm. 97; May 2018, hlm. 22; Jackson 2017, hlm. 63.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 19.
- ^ Atwood 2004, hlm. 97.
- ^ Atwood 2004, hlm. 389–391.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 14–15; May 2018, hlm. 20–21.
- ^ Pelliot 1959, hlm. 289–291; Man 2004, hlm. 67–68; Ratchnevsky 1991, hlm. 17.
- ^ Brose 2014, § "The Young Temüjin"; Pelliot 1959, hlm. 288.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 17.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 15–19.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 20–21; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 100.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 21–22; Broadbridge 2018, hlm. 50–51.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 22; May 2018, hlm. 25; de Rachewiltz 2015, § 71–73.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 22–23; Atwood 2004, hlm. 97–98.
- ^ Brose 2014, § "The Young Temüjin"; Atwood 2004, hlm. 98.
- ^ May 2018, hlm. 25.
- ^ May 2018, hlm. 25–26.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 23–24; de Rachewiltz 2015, §76–78.
- ^ Man 2004, hlm. 74; de Rachewiltz 2015, §116; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 101.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 25–26; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 100–101.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 26–27; May 2018, hlm. 26–27.
- ^ May 2018, hlm. 28.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 27.
- ^ May 2018, hlm. 28; Ratchnevsky 1991, hlm. 31.
- ^ Atwood 2004, hlm. 295–296, 390; Ratchnevsky 1991, hlm. 32–33; May 2018, hlm. 28–29.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 58.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 34–35; Brose 2014, § "Emergence of Chinggis Khan".
- ^ May 2018, hlm. 30; Bawden 2022, § "Early struggles".
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 34–35; May 2018, hlm. 30–31.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 66–68.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 37–38.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 37.
- ^ May 2018, hlm. 31; Ratchnevsky 1991, hlm. 37–41; Broadbridge 2018, hlm. 64.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 39–41.
- ^ Atwood 2004, hlm. 98; Brose 2014, § "Building the Mongol Confederation".
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 44–47.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 49–50; May 2018, hlm. 32.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 49–50.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 49–50; May 2018, hlm. 32; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 101.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 52–53; Pelliot 1959, hlm. 291–295.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 52–53; Sverdrup 2017, hlm. 56.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 46–47; May 2018, hlm. 32.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 54–56.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 61–62; May 2018, hlm. 34–35.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 63–67; de Hartog 1999, hlm. 21–22; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 102.
- ^ May 2018, hlm. 36.
- ^ Atwood 2004, hlm. 98; Ratchnevsky 1991, hlm. 67–70; May 2018, hlm. 36–37.
- ^ Cleaves 1955, hlm. 397.
- ^ Brose 2014, § "Building the Mongol Confederation"; Ratchnevsky 1991, hlm. 70–73; Man 2004, hlm. 96–98.
- ^ Man 2014, hlm. 40; Weatherford 2004, hlm. 58; Biran 2012, hlm. 38.
- ^ Man 2014, hlm. 40.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 78–80; Atwood 2004, hlm. 98; Lane 2004, hlm. 26–27.
- ^ Sverdrup 2017, hlm. 81–83; Ratchnevsky 1991, hlm. 83–86.
- ^ Brose 2014, § "Building the Mongol Confederation"; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 103; McLynn 2015, hlm. 86–88.
- ^ a b May 2012, hlm. 36.
- ^ Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 103.
- ^ Pelliot 1959, hlm. 296; Favereau 2021, hlm. 37.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 89; Pelliot 1959, hlm. 297.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 89–90; Pelliot 1959, hlm. 298–301.
- ^ Weatherford 2004, hlm. 65.
- ^ May 2018, hlm. 39.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 90; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 104.
- ^ Atwood 2004, hlm. 505–506; May 2018, hlm. 39.
- ^ May 2007, hlm. 30–31; McLynn 2015, hlm. 99.
- ^ May 2018, hlm. 39–40; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 104.
- ^ Jackson 2017, hlm. 65.
- ^ Atwood 2004, hlm. 393; Weatherford 2004, hlm. 67.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 92; May 2018, hlm. 77; Man 2004, hlm. 104–105.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 92–93; May 2018, hlm. 77; Atwood 2004, hlm. 460–462.
- ^ Atwood 2004, hlm. 297; Weatherford 2004, hlm. 71–72; May 2018.
- ^ May 2018, hlm. 78; Atwood 2004, hlm. 297; Ratchnevsky 1991, hlm. 94; Man 2004, hlm. 106.
- ^ Atwood 2004, hlm. 297.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 101.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 97–98; Atwood 2004, hlm. 531; Weatherford 2004, hlm. 73.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 98–100.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 100–101; Atwood 2004, hlm. 100.
- ^ May 2018, hlm. 44–45; Atwood 2004, hlm. 502.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 102; May 2018, hlm. 45.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 102–103; Atwood 2004, hlm. 563.
- ^ Atwood 2004, hlm. 590; Man 2004.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 103; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 104.
- ^ May 2012, hlm. 38; Waterson 2013, hlm. 37.
- ^ Sverdrup 2017, hlm. 96; Man 2004, hlm. 116.
- ^ Atwood 2004, hlm. 590–591; Ratchnevsky 1991, hlm. 104.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 104; Sverdrup 2017, hlm. 97–98.
- ^ May 2018, hlm. 48; Man 2014, hlm. 55.
- ^ Man 2004, hlm. 132–133; Atwood 2004, hlm. 591; May 2018, hlm. 48; Ratchnevsky 1991, hlm. 104–105; Waterson 2013, hlm. 38.
- ^ Atwood 2004, hlm. 275.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 108; Man 2004, hlm. 134.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 106–108.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 109–109; Atwood 2004, hlm. 275–276; May 2012, hlm. 39.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 109–109; Sverdrup 2017, hlm. 104; Atwood 2004, hlm. 424.
- ^ Waterson 2013, hlm. 39; May 2018, hlm. 50; Atwood 2004, hlm. 275–277.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 109–110; Atwood 2004, hlm. 501; Man 2004, hlm. 135–136; Sverdrup 2017, hlm. 105–106.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 110; Man 2004, hlm. 137.
- ^ Sverdrup 2017, hlm. 111–112; Waterson 2013, hlm. 42.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 110—111; Sverdrup 2017, hlm. 114–115; Man 2004, hlm. 137.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 111–112; Man 2004, hlm. 137–138; Waterson 2013, hlm. 42–43.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 112–113; Atwood 2004, hlm. 620; Man 2004, hlm. 139–140.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 113–114; May 2018, hlm. 52–54; Man 2004, hlm. 140; Sverdrup 2017, hlm. 114–116.
- ^ Man 2004, hlm. 140–141; Ratchnevsky 1991, hlm. 114.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 114; Weatherford 2004, hlm. 97; May 2018, hlm. 54.
- ^ Atwood 2004, hlm. 277.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 114–115; Atwood 2004, hlm. 277.
- ^ May 2018, hlm. 55.
- ^ Atwood 2004, hlm. 393.
- ^ May 2018, hlm. 57; Atwood 2004, hlm. 502; Ratchnevsky 1991, hlm. 116–117.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 117–118; May 2018, hlm. 57–58; Atwood 2004, hlm. 502.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 118–119; Atwood 2004, hlm. 445–446; May 2018, hlm. 60; Favereau 2021, hlm. 45–46.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 118–119; Atwood 2004, hlm. 446; Man 2004, hlm. 150.
- ^ Favereau 2021, hlm. 46; Atwood 2004, hlm. 446; Man 2004, hlm. 151; Pow 2017, hlm. 35.
- ^ Weatherford 2004, hlm. 105; Atwood 2004, hlm. 100.
- ^ Jackson 2017, hlm. 71–73; Ratchnevsky 1991, hlm. 119–120.
- ^ Atwood 2004, hlm. 429, 431; Ratchnevsky 1991, hlm. 120–123; May 2012, hlm. 42; Favereau 2021, hlm. 54.
- ^ Favereau 2021, hlm. 55; Ratchnevsky 1991, hlm. 123; Atwood 2004, hlm. 431; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 104.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 123–125; Golden 2009, hlm. 14–15; Jackson 2017, hlm. 76–77.
- ^ Atwood 2004, hlm. 307.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 130; Atwood 2004, hlm. 307.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 130; May 2018, hlm. 62; Jackson 2017, hlm. 77–78; Man 2004, hlm. 163–164.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 130–133; Man 2004, hlm. 164, 172; Atwood 2004, hlm. 307.
- ^ Atwood 2004, hlm. 307; May 2018, hlm. 62–63; Ratchnevsky 1991, hlm. 133; Pow 2017, hlm. 36.
- ^ Man 2004, hlm. 184–191; Atwood 2004, hlm. 521; May 2012, hlm. 43.
- ^ Man 2004, hlm. 173–174; Sverdrup 2017, hlm. 161.
- ^ Atwood 2004, hlm. 307, 436; Ratchnevsky 1991, hlm. 133.
- ^ May 2018, hlm. 63; Sverdrup 2017, hlm. 162–163; Ratchnevsky 1991, hlm. 133–134.
- ^ Sverdrup 2017, hlm. 160–167.
- ^ Atwood 2004, hlm. 307; May 2018, hlm. 63; Man 2004, hlm. 174–175; Sverdrup 2017, hlm. 160–161, 164.
- ^ Man 2004, hlm. 177–181; Weatherford 2004, hlm. 118–119; Atwood 2004, hlm. 308, 344.
- ^ Man 2004, hlm. 180–181; Atwood 2004, hlm. 244.
- ^ a b Ratchnevsky 1991, hlm. 134; Atwood 2004, hlm. 591.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 134; May 2018, hlm. 64.
- ^ Sverdrup 2017, hlm. 167–169; May 2012, hlm. 43.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 137–140; Biran 2012, hlm. 66–67.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 134–136; Atwood 2004a, hlm. 245–246; Jagchid 1979, hlm. 11–13.
- ^ May 2018, hlm. 64–65; Kwanten 1978, hlm. 34.
- ^ Biran 2012, hlm. 61; May 2018, hlm. 65.
- ^ Man 2004, hlm. 209–212; Atwood 2004, hlm. 591; Biran 2012, hlm. 61.
- ^ Atwood 2004, hlm. 100, 591; Man 2004, hlm. 212–213.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 140; Atwood 2004, hlm. 591; Man 2004, hlm. 214–215.
- ^ May 2018, hlm. 66.
- ^ May 2007, hlm. 17; Favereau 2021, hlm. 77.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 141; Biran 2012, hlm. 61; Man 2004, hlm. 117, 254; Atwood 2004, hlm. 100, 591; May 2018, hlm. 65–66.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 141; You et al. 2021, hlm. 347–348.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 141–142; Biran 2012, hlm. 61; Man 2004, hlm. 246–247.
- ^ Atwood 2004, hlm. 163; Morgan 1986, hlm. 72.
- ^ Atwood 2004, hlm. 163; May 2018, hlm. 95–96; Ratchnevsky 1991, hlm. 144; Craig 2017.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 142–143; Atwood 2004, hlm. 163.
- ^ Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 109.
- ^ Togan 2016, hlm. 408–409; May 2018, hlm. 68.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 125; May 2018, hlm. 69.
- ^ May 2018, hlm. 69.
- ^ Mote 1999, hlm. 434; May 2018, hlm. 69; Favereau 2021, hlm. 65.
- ^ Barthold 1992, hlm. 457–458; Favereau 2021, hlm. 61–62.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 136–137; Atwood 2004, hlm. 278–279.
- ^ Atwood 2004, hlm. 81; May 2018, hlm. 69.
- ^ May 2018, hlm. 69–70; Barthold 1992, hlm. 463.
- ^ May 2018, hlm. 69; Atwood 2004, hlm. 418.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 126–128; May 2018, hlm. 69–70; Boyle 1968, hlm. 540–541; Barthold 1992, hlm. 463.
- ^ Atwood 2004, hlm. 542; May 2018, hlm. 68–69.
- ^ Barthold 1992, hlm. 463; May 2018, hlm. 70–71, 94–95.
- ^ Barthold 1992, hlm. 463; May 2018, hlm. 94–95.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 55–56.
- ^ a b Birge & Broadbridge 2023, hlm. 635.
- ^ Atwood 2004, hlm. 45.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 67, 138–139.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 59–63.
- ^ Favereau 2021, hlm. 65; Biran 2012, hlm. 69; Atwood 2004, hlm. 201, 278–279.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 67.
- ^ Biran 2012, hlm. 69; Atwood 2004, hlm. 18, 82–83.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 67; Biran 2012, hlm. 69.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 67, 146; Birge & Broadbridge 2023, hlm. 636.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 67, 140–142; Birge & Broadbridge 2023, hlm. 636.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 67, 144.
- ^ Atwood 2004, hlm. 18, 542.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 67, 156.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 187–188.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 73–75.
- ^ Broadbridge 2018, hlm. 74, 88–89; Birge & Broadbridge 2023, hlm. 636.
- ^ Lkhagvasuren et al. 2016, hlm. 433.
- ^ Buell 2010.
- ^ a b Ratchnevsky 1991, hlm. 145.
- ^ Atwood 2004, hlm. 101.
- ^ Atwood 2004, hlm. 101; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 100.
- ^ Mote 1999, hlm. 433; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 100.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 149.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 147–148; Morgan 1986, hlm. 63.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 147–148.
- ^ Mote 1999, hlm. 433.
- ^ Mote 1999, hlm. 433; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 102.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 149–150.
- ^ Biran 2012, hlm. 71–72; Atwood 2004, hlm. 101; May 2018, hlm. 31.
- ^ Biran 2012, hlm. 71–72; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 107–108.
- ^ Biran 2012, hlm. 72; May 2018, hlm. 98–99.
- ^ Atwood 2004, hlm. 101; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 102.
- ^ Biran 2012, hlm. 70; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 103.
- ^ Biran 2012, hlm. 70–71; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 103–104; Morgan 1986, hlm. 169–174.
- ^ Atwood 2004, hlm. 101; Ratchnevsky 1991, hlm. 151–152; Mote 1999, hlm. 433–434.
- ^ Biran 2012, hlm. 73.
- ^ Biran 2012, hlm. 45, 73; Ratchnevsky 1991, hlm. 158–159.
- ^ Liu & Cheng 2015, hlm. 26: "Bust Portraits of Yuan Dynasty Emperors"
- ^ Atwood 2004, hlm. 369; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 108.
- ^ Atwood 2004, hlm. 369; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 108.
- ^ Morgan 1986, hlm. 96–99; Biran 2012, hlm. 42–44.
- ^ Biran 2012, hlm. 44.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 209–210; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 108–109.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 207; Biran 2012, hlm. 69; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 109.
- ^ Biran 2012, hlm. 158; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 104.
- ^ Ratchnevsky 1991, hlm. 212–213; Fitzhugh, Rossabi & Honeychurch 2009, hlm. 105–109; Mote 1999, hlm. 97.
- ^ May 2008, hlm. 138–139; Biran 2012, hlm. 139.
- ^ May 2008, hlm. 139; Biran 2012, hlm. 139.
- ^ May 2008, hlm. 140–141.
- ^ Atwood 2004, hlm. 161.
- ^ May 2008, hlm. 141–142; Atwood 2004, hlm. 101.
- ^ May 2008, hlm. 142–143; Biran 2012, hlm. 142–143; Atwood 2004, hlm. 101.
- ^ May 2008, hlm. 143–144; Biran 2012, hlm. 143; Atwood 2004, hlm. 101–102.
- ^ Atwood 2004, hlm. 102; Biran 2012, hlm. 143–144; May 2008, hlm. 144–145.
- ^ May 2008, hlm. 137–138; Biran 2012, hlm. 143–144; Sanders 2017, hlm. lxxviii, lxxxiv.
- ^ Biran 2012, hlm. 144; May 2008, hlm. 145.
- ^ Biran 2012, hlm. 144–145; May 2008, hlm. 145–146.
- ^ May 2008, hlm. 145; Mote 1999, hlm. 434.
- ^ Biran 2012, hlm. 136.
- ^ Biran 2012, hlm. 112–114; Jackson 2023, hlm. 86, 101–102.
- ^ Biran 2012, hlm. 121–122; Jackson 2017, hlm. 382–384; Jackson 2023, hlm. 337.
- ^ Biran 2012, hlm. 122–125; Jackson 2017, hlm. 384–387; Jackson 2023, hlm. 338, 357–360.
- ^ Biran 2012, hlm. 83.
- ^ Biran 2012, hlm. 83; Jackson 2023, hlm. 437–438.
- ^ Biran 2012, hlm. 106, 127.
- ^ Biran 2012, hlm. 128–132.
- ^ Biran 2012, hlm. 153–155; Ratchnevsky 1991, hlm. 212.
- ^ Biran 2012, hlm. 132–135.
- ^ Biran 2012, hlm. 145–153; Ratchnevsky 1991, hlm. 211–212.
- ^ Fogel 2008.
- ^ Biran 2012, hlm. 156–158; May 2008, hlm. 146; Rosenfeld 2018, hlm. 255, 269.
Daftar pustaka
- Achenbach, Joel (31 Desember 1995). "The Era of His Ways". Washington Post. Diakses tanggal 27 November 2023.
- Atwood, Christopher P. (2004). Encyclopedia of Mongolia and the Mongol Empire. New York: Facts on File. ISBN 978-0-8160-4671-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-19. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Atwood, Christopher P. (2004a). "Validation by Holiness or Sovereignty: Religious Toleration as Political Theology in the Mongol World Empire of the Thirteenth Century" (PDF). The International History Review. 26 (2): 237–256. doi:10.1080/07075332.2004.9641030. ISSN 0707-5332. JSTOR 40109471. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-08-11. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Barthold, Vasily (1992). Bosworth, Clifford E., ed. Turkestan Down To The Mongol Invasion (edisi ke-Third). New Delhi: Munshiram Manoharlal. ISBN 978-8-1215-0544-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-01. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Bawden, Charles (2022). "Genghis Khan". Encyclopædia Britannica. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 October 2022. Diakses tanggal 17 October 2022.
- Biran, Michal (2012). Chinggis Khan. Makers of the Muslim World. London: Oneworld Publications. ISBN 978-1-7807-4204-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-11. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Birge, Bettine; Broadbridge, Anne F. (2023). "Women and Gender under Mongol Rule". Dalam Biran, Michal; Kim, Hodong. The Cambridge History of the Mongol Empire. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 628–654. ISBN 978-1-3163-3742-4.
- Boyle, John Andrew (1968). The Cambridge History of Iran Volume 5: The Saljuq and Mongol Periods. Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CHOL9780521069366. ISBN 978-1-1390-5497-3.
- Broadbridge, Anne F. (2018). Women and the Making of the Mongol Empire. Cambridge Studies in Islamic Civilization. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-1-1086-3662-9.
- Brose, Michael C. (2014). "Chinggis (Genghis) Khan" . Dalam Brown, Kerry. The Berkshire Dictionary of Chinese Biography. Great Barrington: Berkshire Publishing Group. ISBN 978-1-9337-8266-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-14. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Buell, Paul D. (2010). "Some Royal Mongol Ladies: Alaqa-beki, Ergene-Qatun and Others". World History Connected. 7 (1). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-21. Diakses tanggal 25 November 2023.
- Cleaves, Francis Woodman (1955). "The Historicity of The Baljuna Covenant". Harvard Journal of Asiatic Studies. 18 (3): 357–421. doi:10.2307/2718438. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-25. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Craig, Erin (19 July 2017). "Why Genghis Khan's tomb can't be found". BBC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 Juli 2023. Diakses tanggal 19 Juli 2023.
- Favereau, Marie (2021). The Horde: How the Mongols Changed the World. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 978-0-6742-7865-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-23. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Fiaschetti, Francesca (2014). "Tradition, Innovation and the construction of Qubilai's diplomacy" (PDF). Ming Qing Yanjiu. 18 (1): 82. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 11 Juni 2022. Diakses tanggal 10 Januari 2020.
- Fitzhugh, William W.; Rossabi, Morris; Honeychurch, William, ed. (2009). Genghis Khan and the Mongolian Empire . Washington: Mongolian Preservation Foundation. ISBN 978-0-2959-8957-0.
- Fogel, Joshua (2008). "Chinggis on the Japanese Mind". Mongolian Studies. 30/31: 259–269. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-07-08. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Golden, Peter (2009). "Inner Asia c.1200". Dalam Di Cosmo, Nicola; Frank, Allen J.; Golden, Peter. The Chinggisid Age. The Cambridge History of Inner Asia. hlm. 9–25. ISBN 978-1-1390-5604-5.
- de Hartog, Leo (1999). Genghis Khan: Conqueror of the World. London: I.B. Tauris. ISBN 978-1-8606-4972-1.
- Hung, William (1951). "The Transmission of The Book Known as The Secret History of The Mongols". Harvard Journal of Asiatic Studies. 14 (3/4): 433–492. doi:10.2307/2718184. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-21. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Jackson, Peter (2017). The Mongols and the Islamic World: From Conquest to Conversion. New Haven: Yale University Press. ISBN 978-0-3001-2533-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-19. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Jackson, Peter (2023). From Genghis Khan to Tamerlane: The Reawakening of Mongol Asia. New Haven: Yale University Press. ISBN 978-0-3002-5112-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-08-12. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Jagchid, Sechin (1979). "The Mongol Khans and Chinese Buddhism and Taoism". The Journal of the International Association of Buddhist Studies. 2 (1): 7–28. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-05. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Kwanten, Luc (1978). "The Career of Muqali: A Reassessment". Bulletin of Sung and Yüan Studies. 14: 31–38. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-16. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Lane, George (2004). Genghis Khan and Mongol Rule. Westport: Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-3133-2528-1.
- Liu, Fang-ju; Cheng, Shu-fang (2015). 國立故宮博物院藏蒙古文物彙編 [Cultural Relics of the Mongols in the National Palace Museum Collection] (dalam bahasa Tionghoa). Taipei: National Palace Museum. ISBN 978-9-5756-2734-8.
- Lkhagvasuren, Gavaachimed; et al. (2016). "Molecular Genealogy of a Mongol Queen's Family and Her Possible Kinship with Genghis Khan". PLoS ONE. 11 (9): 433. Bibcode:2016PLoSO..1161622L. doi:10.1371/journal.pone.0161622 . ISSN 1932-6203. PMC 5023095 . PMID 27627454.
- Man, John (2004). Genghis Khan: Life, Death and Resurrection . London: Bantam Press. ISBN 978-0-3129-8965-1.
- Man, John (2014). The Mongol Empire: Genghis Khan, His Heirs, and the Founding of Modern China. London: Penguin Random House. ISBN 978-0-5521-6880-9.
- May, Timothy (2007). The Mongol Art of War: Chinggis Khan and the Mongol Military System. Yardley: Westholme. ISBN 978-1-5941-6046-2.
- May, Timothy (2008). Culture and Customs of Mongolia. Culture and Customs of Asia. Westport: Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-3133-3983-7.
- May, Timothy (2012). The Mongol Conquests in World History. London: Reaktion Books. ISBN 978-1-8618-9971-2.
- May, Timothy (2018). The Mongol Empire. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 978-0-7486-4237-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-24. Diakses tanggal 2024-08-21.
- McLynn, Frank (2015). Genghis Khan: His Conquests, His Empire, His Legacy. New York: Hachette Books. ISBN 978-0-3068-2395-4.
- Morgan, David (1986). The Mongols . The Peoples of Europe. Oxford: Blackwell Publishing. ISBN 978-0-6311-7563-6.
- Morgan, David (1990). "Čengīz Khan". Encyclopædia Iranica. V. hlm. 133–135. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-06. Diakses tanggal 10 December 2022.
- Mote, Frederick W. (1999). Imperial China, 900–1800. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 978-0-6740-1212-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-01-28. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Pelliot, Paul (1959). Notes on Marco Polo (PDF). I. Paris: Imprimerie nationale. OCLC 1741887. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 August 2021. Diakses tanggal 17 October 2022.
- Porter, Jonathan (2016). Imperial China, 1350–1900. Lanham: Rowman & Littlefield. ISBN 978-1-4422-2293-9.
- Pow, Stephen (2017). "The Last Campaign and Death of Jebe Noyan". Journal of the Royal Asiatic Society. 27 (1): 31–51. doi:10.1017/S135618631600033X.
- The Secret History of the Mongols: A Mongolian Epic Chronicle of the Thirteenth Century (Shorter Version; edited by John C. Street). Diterjemahkan oleh de Rachewiltz, Igor. 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-25. Diakses tanggal 22 November 2022.
- Ratchnevsky, Paul (1991). Genghis Khan: His Life and Legacy . Diterjemahkan oleh Thomas Haining. Oxford: Blackwell Publishing. ISBN 978-0-6311-6785-3.
- Rosenfeld, Gavriel D. (2018). "Who Was "Hitler" Before Hitler? Historical Analogies and the Struggle to Understand Nazism, 1930–1945". Central European History. 51 (2): 249–281. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-05-17. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Sanders, Alan J. K. (2017). Historical Dictionary of Mongolia. 1 (edisi ke-Fourth). Lanham: Rowman & Littlefield. ISBN 978-1-5381-0227-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-01-28. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Sverdrup, Carl (2017). The Mongol Conquests: The Military Campaigns of Genghis Khan and Sübe'etei . Solihull: Helion & Company. ISBN 978-1-9133-3605-9.
- Togan, Isenbike (2016). "Otchigin's Place in the Transformation from Family to Dynasty". Dalam Zimonyi, Istvan; Karatay, Osman. Central Asia in the Middle Ages: Studies in Honour of Peter B. Golden. Turcologica. Wiesbaden: Harrassowitz Verlag. hlm. 407–424. ISBN 978-3-4471-0664-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-27. Diakses tanggal 2024-08-21.
- Waley, Arthur (2002). The Secret History of the Mongols: and other pieces . London: House of Stratus. ISBN 978-1-8423-2370-0.
- Waterson, James (2013). Defending Heaven: China's Mongol Wars, 1209–1370. Barnsley: Frontline Books. ISBN 978-1-7834-6943-7.
- Weatherford, Jack (2004). Genghis Khan and the Making of the Modern World . New York: Crown Publishing Group. ISBN 978-0-3072-3781-1.
- Wilkinson, Endymion (2012). Chinese History: A New Manual (edisi ke-Third). Cambridge: Harvard University Press. ISBN 978-0-6740-6715-8.
- Wright, David Curtis (2017) [2016]. "Genghis Khan" . Oxford Bibliographies: Military History. Oxford: Oxford University Press. doi:10.1093/OBO/9780199791279-0154. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-20. Diakses tanggal 2024-08-21.
- You, Wenpeng; Galassi, Francesco M.; Varotto, Elena; Henneberg, Maciej (2021). "Genghis Khan's death (AD 1227): An unsolvable riddle or simply a pandemic disease?". International Journal of Infectious Diseases. 104: 347–348. doi:10.1016/j.ijid.2020.12.089 . hdl:10447/620953 . ISSN 1201-9712. PMID 33444749 Periksa nilai
|pmid=
(bantuan). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-19. Diakses tanggal 2024-08-21.
Jenghis Khan Wangsa Borjigin (1206–1635) Lahir: ca 1162 Meninggal: 1227
| ||
Gelar kebangsawanan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Yesugei |
Khagan Khamag Mongol 1171–1206 |
Khamag Mongol melebur, diteruskan Kekaisaran Mongol |
Jabatan baru Kekaisaran Mongol didirikan
|
Khagan Kekaisaran Mongol 1206–1227 |
Diteruskan oleh: Tolui Wali raja |