Tradisi Dhammakaya atau Gerakan Dhammakaya (juga disebut Thammakaai[1]), dikenal sebagai Majelis Agama Buddha Mahanikaya Indonesia meskipun tidak mewakili seluruh ordo Mahā Nikāya Thai,[2] adalah tradisi kontroversial dalam Buddhisme Thailand yang didirikan oleh Luang Pu Sodh Candasaro pada awal abad ke-20. Tradisi ini dikaitkan dengan beberapa kuil yang merupakan turunan dari Wat Paknam Bhasicharoen di Bangkok.

Tradisi ini dibedakan dari tradisi Buddhisme Theravāda di Thailand lainnya melalui ajarannya tentang konsep Dhammakaya dan praktik meditasi Dhammakaya (Vijja Dhammakaya), sebuah metode yang oleh para ahli dikaitkan dengan tradisi Yogavacara (dalam aliran Vajrayana), yang sudah ada sejak sebelum masa reformasi Buddhisme Thailand pada abad ke-19. Tradisi Dhammakaya dikenal karena mengajarkan bahwa ada "Diri Sejati" (atta) yang terhubung dengan Nirwana, yang secara khusus dikritik pada tahun 1990-an sebagai dugaan kontradiksi terhadap ajaran tradisional Buddhisme Theravāda tentang anatta (bukan-Diri).

Beberapa ahli Theravāda, seperti Bhante Payutto, para ahli agama, para biksu, dan akademisi Thailand, telah mengkritik pandangan yang dipegang oleh gerakan ini. Di Indonesia, biksu-biksu Theravāda arus utama, seperti Bhikkhu Jotidhammo, Bhikkhu Dhammakaro, dan Bhikkhu Dhammadhiro, juga telah menyatakan bahwa ajaran tradisi ini kontroversial dan menyimpang dari ajaran Theravāda. Saṅgha Theravāda Indonesia juga telah memberikan pernyataan resmi bahwa mereka tidak bekerjasama dengan tradisi ini.

Tradisi Dhammakaya dipandang oleh para pengikutnya sebagai bentuk kebangkitan kembali Buddhisme yang dipelopori oleh Luang Pu Sodh Candasaro. Para sarjana Studi Buddhisme telah menggambarkan aspek-aspek praktiknya sebagai sesuatu yang memiliki karakteristik apologetika agama dan modernisme Buddhis. Ciri-ciri tradisi tersebut meliputi pengajaran meditasi dalam kelompok, pengajaran meditasi secara bersamaan kepada para biarawan dan umat awam, dan penekanan pada penahbisan seumur hidup.

Sejarah

sunting

Garis tradisi Yogavacara

sunting

Para sarjana berteori bahwa Tradisi Dhammakaya berakar pada tradisi Yogavacara (juga dikenal sebagai Theravāda Tantrik; bedakan dari aliran Yogacara dalam Buddhisme Mahāyāna),[3][4][5] yang berkembang pada masa pra-modern dan pra-kolonial. Turunan dari tradisi ini mungkin terkait dengan Wat Rajasittharam [th],[6] kuil bekas tempat tinggal Somdet Suk [th] (awal abad ke-19), "pewaris ajaran guru meditasi Ayutthaya,"[7][note 1] dan kuil tempat Luang Pu Sodh biasa berlatih sebelum ia mengembangkan meditasi Dhammakaya.[8][6]

Menurut teolog Rory Mackenzie, gagasan Yogavacara kemungkinan besar memberikan pengaruh pada sistem meditasi Dhammakaya, meskipun hal ini belum terbukti secara pasti.[9] Menurut sarjana Studi Buddhis Catherine Newell, "tidak diragukan lagi bahwa meditasi Dhammakaya didasarkan pada tradisi Yogavacara yang lebih luas." Dia menyajikan bukti kesamaan sistem Dhammakaya Luang Pu Sodh dengan sistem meditasi Somdet Suk.[3] Dia dan sarjana studi Asia Phibul Choompolpaisal meyakini bahwa asal usul Yogavacara kemungkinan besar.[3][10] Jika memang demikian, maka metode meditasi tradisi ini akan menjadi versi eksoteris (diajarkan secara terbuka) dari apa yang awalnya merupakan tradisi esoteris (bersifat khusus, rahasia, dan terbatas).[11]

Teori alternatif lmenyatakan bahwa asal usulnya berasal dari Buddhisme Tibet atau bentuk lain dari Buddhisme Mahāyāna.[12][13] Menurut Mackenzie, ada kemungkinan, namun tidak begitu mungkin, bahwa seseorang yang mengetahui metode meditasi Tibet bertemu dan berbagi pengetahuan tentang metode tersebut dengan Luang Pu Sodh pada awal tahun 1910-an.[9] Ada kesamaan antara kedua sistem meditasi tersebut, kata Mackenzie, begitu pula dengan konsep seperti chakra (pusat psiko-fisik tantra), "bola kristal", dan Vajra.[9] Meskipun kesamaan ini diterima secara luas, belum ada bukti yang tampak terkait praktik-praktik Buddhisme Tibet yang bercampur dengan sistem Dhammakaya. Gagasan-gagasan Yogavacara kemungkinan besar merupakan pengaruh pada sistem meditasi Dhammakaya, tetapi ini juga belum terbukti, kata Mackenzie.[9] Newell mengakui bahwa Crosby meragukan hubungan tersebut karena kedua sistem menggunakan terminologi yang berbeda.[14]

Ada kemungkinan lain bahwa Luang Pu Sodh mengembangkan pendekatannya berdasarkan pengalaman cenayangnya sendiri.[9]

Keyakinan dan praktik

sunting

Meditasi Dhammakaya

sunting

Meditasi merupakan praktik terpenting dari semua kuil utama dalam gerakan Dhammakaya. Sistem meditasi dalam tradisi ini membedakannya dari Buddhisme Theravāda arus utama.[15] Menurut Suwanna Satha-Anand, tradisi ini percaya bahwa meditasi dan pencapaian Dhammakaya adalah satu-satunya jalan menuju Nirwana.[16] Selain itu, teknik ini diklaim dalam tahap lanjutannya dapat menghasilkan abhiñña, atau kekuatan mental, dan memungkinkan meditator untuk mengunjungi kehidupan lampau dan alam eksistensi alternatif, di mana seseorang dapat mempengaruhi keadaan kehidupan saat ini.[17][18]

Hal yang dianggap penting dalam proses ini adalah "pusat tubuh", yang dijelaskan dengan tepat oleh Luang Pu Sodh sebagai titik yang berjarak dua jari di atas pusar setiap orang: teknik apa pun yang digunakan seseorang untuk bermeditasi, pikiran hanya dapat mencapai tingkat wawasan yang lebih tinggi melalui pusat ini. Pusat ini juga diyakini memainkan peran mendasar dalam kelahiran dan kematian seseorang.[19] Bagian tengah tubuh juga digambarkan sebagai "ujung napas", titik terdalam di perut tempat napas bergerak maju mundur.[20]

Tahap samatha

sunting

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan oleh praktisi dalam memfokuskan perhatian pada bagian tengah tubuh.[21][22][23]

Para praktisi dapat memvisualisasikan sebuah gambaran mental di pusat tubuh–biasanya berupa bola kristal atau gambar Buddha yang bening.[24] Pendekatan ini telah dibandingkan dengan meditasi pada objek terang, seperti yang dijelaskan dalam kitab Visuddhimagga.[19][25] Para praktisi kemudian memvisualisasikan gambar ini di depan mereka, dan kemudian menggerakkan gambar mental tersebut ke dalam melalui tujuh landasan pikiran hingga mencapai pusat. Setelah rintangan mental diatasi, gambar visual yang dibayangkan diubah.[26]

Para praktisi juga dapat menggunakan mantra (bahasa Thai: บริกรรมภาวนา, translit. borikam-phavana), secara tradisional Sammā-Arahaṃ,[27][25] yang mengacu pada Buddha yang telah 'dengan sempurna' (sammā) mencapai 'kesempurnaan dalam pengertian Buddhis' (arahaṃ),[28][23] seperti yang dapat ditemukan dalam chanting tradisional Tiratanavanda. Bacaan ini adalah varian dari bacaan Buddhanussati, yaitu mengingat kembali sifat-sifat Buddha. Mantra ini juga telah digunakan oleh para biksu dari Thailand Utara.[25] Sebagai alternatif, praktisi juga dapat menempatkan perhatian mereka langsung pada pusat tubuh,[29] dan bahkan dapat melakukan hal tersebut tanpa memvisualisasikan atau menggunakan mantra, menurut publikasi Dhammakaya.[30]

Tahap pertama dari jalan ini disebut oleh Luang Pu Sodh sebagai 'awal dari jalan' (bahasa Thai: ปฐมมรรค, translit. pathommamak).[19][22][31] Setelah itu, Luang Pu Sodh biasanya akan menjelaskan tingkat pencapaian dalam hal tubuh bagian dalam (bahasa Pali: kāya) di dalam setiap manusia,[32] yang semakin halus, dan muncul berpasangan.[33] Secara keseluruhan, setiap manusia diyakini terdiri dari sembilan jenis tubuh,[34][35] yang masing-masing memiliki bentuk normal dan halus.[36]

Empat pasang tubuh pertama ini disamakan dengan pencapaian meditasi jhāna sebagaimana dalam pandangan ortodoks.[37] Berikutnya adalah keadaan Dhammakaya perantara ‘perubahan garis keturunan’ (bahasa Pali: gotrabhū):[38][39] keadaan ini adalah keadaan peralihan antara belum tercerahkan dan empat tahap kemuliaan.[40] Empat pasangan batin terakhir ini disebut Dhammakaya, dan disamakan dengan empat tahap kemuliaan, yang mengarah ke tahap pencerahan akhir (arahat).[35][41]

Tahap vipassanā

sunting

Dalam meditasi Dhammakaya, tahap vipassanā (kebijaksanaan) dilakukan setelah praktisi mencapai Dhammakaya dan mereka dapat memperoleh wawasan tentang realitas kehidupan melalui pengamatan proses fisik dan mental mereka sendiri.[42] Hal ini dilakukan dengan merenungkan tiga tanda keberadaan tubuh batin duniawi yang lebih rendah.[43] Pada tahap ini, diyakini praktisi dapat memahami kelahiran, kematian, dan penderitaan pada tingkat yang lebih dalam, ketika mereka melihat hakikat sebenarnya dari fenomena ini melalui pencapaian meditasi.[44] Pengetahuan yang lebih tinggi dan kebijaksanaan transendental dalam tahap vipassanā adalah "melampaui pencapaian Dhammakaya" dari tahap samatha dalam tradisi meditasi Dhammakaya.[45]

Diri Sejati

sunting

Nirwana sebagai Diri Sejati

sunting

Menurut tradisi Dhammakaya, Sang Buddha telah menemukan bahwa Nirwana adalah Diri Sejati (bahasa Pali: attā). Tradisi ini menyebut Diri Sejati ini sebagai Dhammakāya, esensi spiritual.[46][47] Tradisi ini percaya bahwa hakikat Buddha dan Nirwana ini ada sebagai realitas literal dalam diri setiap individu.[48][49][50] Ajaran tanpa-diri (bahasa Pali: anattā) dianggap oleh tradisi ini sebagai sarana untuk melepaskan apa yang bukan diri, untuk mencapai Diri Sejati.[41] Menurut sarjana studi Buddhis Paul Williams,

"Meditasi [Dhammakaya] melibatkan realisasi, saat pikiran mencapai keadaan paling murni, dari "Tubuh Dhamma" (dhammakaya) yang tak bersyarat dalam bentuk sosok Buddha yang bercahaya, cemerlang, dan jernih, bebas dari segala kekotoran dan berada di dalam tubuh praktisi. Nirwana adalah Diri Sejati, dan ini juga merupakan dhammakaya."[51]

Penafsiran kontroversial

sunting

Beberapa kepercayaan dan praktik tradisi Dhammakaya–seperti tentang Nirwana, “Diri Sejati”, dan meditasi–telah dikritik karena dianggap menentang atau menolak ajaran dan praktik Theravāda arus utama oleh lembaga dan cendekiawan Buddhis tradisional Thailand.[52][53][54] Sebagian besar ajaran Buddhisme Theravāda Thailand menolak ajaran Dhammakaya yang menyatakan bahwa Diri Sejati adalah diri yang tidak ada dan bersikeras bahwa bukan diri yang absolut adalah ajaran sejati Sang Buddha.[55] Kontroversi mengenai hakikat sejati anatta sudah ada sejak tahun 1939, ketika Patriark Tertinggi ke-12 Thailand menerbitkan sebuah buku yang menyatakan bahwa Nirwana adalah "Diri Sejati".[51] Perselisihan ini muncul lagi pada tahun 1990-an ketika seorang biksu sarjana monastik bernama Phra Prayudh Payutto menerbitkan sebuah buku yang mengkritik ajaran tradisi Dhammakaya tentang Nirwana.[56][57][58][59] Phra Payutto menyatakan, dalam bukunya The Dhammakaya Case, bahwa ajaran "Nibbāna [Nirwana] adalah Diri yang Lebih Tinggi atau Diri Sejati (atta)" dari Dhammakaya "menghina" ajaran kanonis dan pasca-kanonis Buddhisme. Ia melanjutkan bahwa ajaran Theravāda yang historis menekankan Nirwana dalam konteks anatta (seperti dalam "sabbe dhamma anatta"), dan "Nirwana sebagai atta" bukanlah penafsiran yang dapat diterima.[60] Namun, Phra Payutto juga dikritik oleh sejumlah akademisi dan jurnalis Thailand karena dianggap "dogmatis" dan mempromosikan intoleransi agama.[61] Meskipun beberapa cendekiawan mengkritik ajaran Dhammakaya tentang Nirwana di masa lalu, kritik-kritik ini hampir tidak menarik perhatian publik hingga tahun 1990-an ketika Phra Payutto menerbitkan bukunya. Menurut cendekiawan agama Rachelle Scott, perkataan Phra Payutto secara luas dianggap berwibawa dalam Buddhisme Theravāda Thailand, dan dengan demikian melegitimasi interpretasi Dhammakaya tentang Nirwana sebagai kontroversial.[62]

Menurut para pendukung dan pengajar tradisi ini, seperti biksu Luang Por Sermchai, para sarjana cenderung memegang pandangan tentang ketiadaan diri yang absolut, sedangkan "beberapa biksu pertapa hutan yang terkemuka" seperti Luang Pu Sodh, Ajahn Mun, dan Ajahn Maha Bua memegang Nirwana sebagai Diri Sejati, karena mereka telah "mengonfirmasi keberadaan Diri yang Lebih Tinggi atau Diri Sejati (atta)" melalui realisasi mereka sendiri.[63][64] Ia lebih lanjut menyatakan bahwa Nirwana tidak mungkin bukan diri (anatta) karena ia bukanlah fenomena yang terkondisi (saṅkhāra) dan bercampur.[63] Sarjana studi agama Potprecha Cholvijarn mencatat bahwa Luang Pho Nong Indasuvaṇṇo, salah satu guru meditasi awal Luang Pu Sodh, mengambil posisi yang sama. Menurut Luang Pho Nong, Nirwana sebagaimana dipahami oleh beberapa praktisi Buddhis dengan pengalaman langsung berbeda dari pemahaman Nirwana yang umumnya digunakan oleh para sarjana.[65] Williams merangkum pandangan Luang Por Sermchai dan menyatakan bahwa cara-cara membaca Buddhisme dalam konteks "... Diri Sejati tampaknya cocok di lingkungan Asia Timur, dan karenanya berkembang dalam konteks yang, oleh karena alasan-alasan yang rumit, Mahayana juga menemukan 'rumah' yang siap". Menurut Williams, perdebatan terkait Dhammakaya di Thailand mengarah pada apresiasi bahwa

"... sekarang dan dulu ada penganut Buddhisme yang dengan itikad baik menerima ajaran tentang Diri (atta) dan berpendapat bahwa Diri Sejati adalah tujuan utama ajaran Buddha. Setiap catatan ilmiah tentang ajaran Buddha sebagaimana yang telah ada dalam sejarah secara keseluruhan harus menerima perbedaan dalam masalah ini, meskipun memang benar bahwa para pendukung bukan-Diri (anatta) tampaknya merupakan mayoritas".[63]

Menurut James Taylor, seorang sarjana Studi Agama dan Antropologi, pandangan doktrinal Dhammakaya tentang Nirwana dan "gagasan abadi tentang Diri Sejati" mirip dengan aliran Puggalavāda dalam salah satu aliran Buddhisme awal.[66] Paul Williams menyatakan bahwa, dalam beberapa hal, ajaran tradisi Dhammakaya menyerupai doktrin tentang hakikat Buddha dan Trikaya yang diyakini Buddhisme Mahāyāna. Ia melihat tradisi Dhammakaya berkembang secara independen dari tradisi Tathāgatagarbha dalam Mahāyāna, tetapi pada akhirnya memiliki kesimpulan yang sangat mirip dalam pemahaman mereka tentang Buddhisme.[67] Potprecha Cholvijarn telah membandingkan dan mengontraskan perbedaan doktrin Dhammakaya dengan Tathāgatagarbha, serta praktik meditasi yang diajarkan oleh Luang Pu Sodh dari Dhammakaya dengan yang ada dalam tradisi Shentong (gzhan stong) Buddhisme Tibet.[68]

Tradisi Dhammakaya telah menanggapi perdebatan tentang Diri Sejati (atta) dan bukan-Diri (anatta) dengan cara yang berbeda. Selain Luang Por Sermchai, asisten kepala biara Wat Phra Dhammakaya, Luang-phi Ṭhanavuddho, menulis sebuah buku tentang topik tersebut sebagai tanggapan terhadap kritik.[69] Menurut Rungrawee Chalermsripinyorat, para pengikut tradisi ini tampaknya tidak begitu tertarik dengan diskusi tersebut, dan lebih peduli dengan bagaimana meditasi Dhammakaya meningkatkan kualitas pikiran mereka.[70] Selain definisi Nirwana yang tidak lazim sebagai Diri Sejati yang permanen dan hakiki, Nirwana juga digambarkan oleh tradisi ini dari perspektif yang lebih ortodoks, sebagai ketiadaan keserakahan, kebencian, dan delusi. Scott menyatakan bahwa deskripsi positif Nirwana sebagai keadaan kebahagiaan tertinggi mungkin telah berkontribusi pada popularitas Wat Phra Dhammakaya bagi para anggota baru.[26] Mackenzie berpendapat bahwa banyak kritik terhadap kepercayaan ini datang dari orang-orang yang tidak setuju dengan status Wat Phra Dhammakaya yang menonjol dan praktik penggalangan dana. Untuk mendukung hal ini, ia mencatat bahwa kuil-kuil tradisi Dhammakaya lainnya seperti Wat Paknam dan Wat Luang Phor Sodh Dhammakayaram hampir tidak pernah menjadi subjek kritik seperti halnya Wat Phra Dhammakaya, meskipun kuil-kuil tersebut memiliki kepercayaan yang sama tentang Nirwana.[71]

Kontroversi di Indonesia

sunting

Tahun 2014

sunting

Aliran Theravāda arus utama di Indonesia, seperti Saṅgha Theravāda Indonesia dan Majelis Agama Buddha Theravāda Indonesia, sudah menyatakan bahwa tradisi Dhammakaya kontroversial.[72][73] Pada tahun 2014, Saṅgha Theravāda Indonesia telah menyatakan pernyataan resmi bahwa tidak ada kerjasama dengan Dhammakaya.[74]

Biksu yang memegang jabatan Ketua Umum Saṅgha Theravāda Indonesia tahun 2013, Bhikkhu Jotidhammo, menganggap adanya kultus individu terhadap pimpinan Wat Phra Dhammakaya. Ia berharap agar Dhammakaya tidak merekrut umat-umat yang sudah bernaung di bawah binaan Sangha yang ada:[72]

"Karena umat Buddha sudah masuk dalam binaan Sangha Theravada Indonesia, Sangha Agung Indonesia, dan Sangha Mahayana Indonesia, jangan masuk ke situ lagi."

Selain itu, Bhikkhu Dhammakaro juga menyatakan:[72]

"Kalau memang tidak sesuai dengan Buddhis, kita akan sampaikan (ke umat)."

Situs Majelis Agama Buddha Theravāda Indonesia juga menulis sebelas poin kontroversi tradisi Dhammakaya:[72][73]

  1. Wat Phra Dhammakaya dinyatakan sebagai sumber pahala terbesar.
  2. Nirwana adalah suatu alam, suatu lapisan bola kristal raksasa yang berkilau, dan tempat berdiam Dhammakaya dari semua Buddha.
  3. Nirwana bukan tujuan akhir. Dengan pengetahuan Dhammakaya, sang Diri Sejati (atta) dari setiap orang, ada suatu tempat yang lebih tinggi dan superior daripada Nirwana.
  4. Adanya sosok Phra Ton Thad (Tuhan) sebagai pencipta Nirwana, surga, dan bumi, juga semua Dhammakaya Cahaya.
  5. Adanya Dhammakaya Kegelapan yaitu Māra (tetapi dengan penafsiran yang sepenuhnya baru),[75] yang merupakan lawan dari Dhammakaya Cahaya.
  6. Adanya perang kosmis antara kekuatan gelap (Māra) dan Phra Ton Thad.
  7. Penemu meditasi Dhammakaya, Phra Monkhol-thep-muni (Kepala Wat Pak Nam Bhasicharoen) menyatakan dirinya sebagai penemu kembali ajaran murni Sang Buddha, yaitu Vijja Dhammakaya.
  8. Phra Monkhol-thep-muni diyakini telah dikirim oleh Phra Ton Thad ke dunia ini untuk membasmi Māra.
  9. Phra Dhammajayo (Kepala Wat Phra Dhammakaya) menyatakan dirinya sebagai reinkarnasi Phra Ton Thad (Tuhan) yang menugaskan Phra Monkhol-thep-muni untuk berperang dengan Māra.
  10. Awal semesta ini adalah kekosongan. Tiba-tiba, muncul Dhammakaya yang sangat terang, yaitu Phra Thon Tad. Hampir bersamaan, Dhammakaya Kegelapan muncul. Juga muncul Dhammakaya dengan warna mengkilap. Tiga Dhammakaya ini adalah asal usul pertama dari semuanya. Ketiganya menggandakan diri dan berusaha saling menaklukkan.
  11. Pasukan Dhammakaya Cahaya dibagi menjadi empat:
    • Prajurit (berperang melawan Māra),
    • Mualim (menyebarkan Vijja Dhammakaya),
    • Pembangun (membangun struktur bangunan untuk pasukan), dan
    • Pemasok (mendanai misi).

Tahun-tahun berikutnya

sunting

Pada tahun 2017, Bhikkhu Dhammadhiro, salah satu biksu senior Saṅgha Theravāda Indonesia, juga telah menerjemahkan buku "Korani Thammakay" yang ditulis oleh Phra Phromkhunabhorn (Bhante Payutto) dengan judul "Kasus Dharmakaya"[76] terkait tradisi ini. Pada bagian pengantar penerjemah, Bhikkhu Dhammadhiro menyatakan:

"Kalaupun pihak lembaga otoritas keagamaan Buddha Thai telah berupaya mengusut dan mengadilinya, keberadaan lembaga ini masih bertahan dan masih dapat dianut oleh para pengikutnya. Mengapa keberadaannya sedemikian kebal hukum hingga lembaga kepemerintahan dan lembaga otoritas keagamaan Buddha yang memiliki kewenangan penuh atas segala sisi hal yang berkaitan dengan Agama Buddha di Thai tidak mampu membenahinya? Sebab utamanya tidak lepas dari kekuatan pendanaan dan dukungan oknum-oknum di lingkungan pejabat politik dan sipil tertentu yang telah menaruh keyakinan yang mendalam terhadap ajaran lembaga itu.

Kalaupun peradilan atas ajaran lembaga ini tidak dapat dituntaskan oleh pihak yang berwenang, lembaga Dharmakāya dengan ajaran menyimpangnya tidak lagi berkembang di tengah-tengah masyarakat dengan mudah karena hebohnya berita tentang kasus ini menjadikan masyarakat luas sadar akan keberadaannya sebenarnya dan lambat laun menghentikan dukungan mereka. Bagaimanapun, lembaga ini memiliki sumber pendanaan yang kuat terkait dengan propaganda persembahan dana yang dilakukan sebelumnya dan hasil keuntungan yang didapat dari pengelolaan dana ke dunia bisnis tertentu."

Kendati demikian, pada tahun 2022, Majelis Agama Buddha Mahanikaya Indonesia yang secara resmi menaungi tradisi Dhammakaya mengadakan pelantikan yang dihadiri oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.[77] Berbagai kegiatan keagamaan tradisi ini juga diadakan dari tahun ke tahun, seperti penanaman pohon di kawasan Candi Borobudur,[78] pabbajja samanera sementara di Candi Borobudur,[79][80][81] hingga perayaan hari raya Asada di Tugu Pahlawan Surabaya yang bekerjasama dengan Keluarga Buddhayana Indonesia.[82][83][84]

Catatan

sunting
  1. ^ Named after Thai monks from the Ayutthaya Kingdom. Their influence stretched as far as Sri Lanka, were a revival of Buddhist meditation took place in the 1750s.[6]

Referensi

sunting
  1. ^ Taylor 2016, hlm. 37–9.
  2. ^ RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha-Kementerian Agama. "Waisak Mahanikaya Indonesia, Nyoman Jadi Baik Bangun Bangsa | Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI". Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha - Kementerian Agama RI. Diakses tanggal 2024-09-16. 
  3. ^ a b c Newell 2008, hlm. 256–7.
  4. ^ Williams 2008, hlm. 327, n.73.
  5. ^ Crosby, Kate (2000). "Tantric Theravada: A Bibliographic Essay on the Writings of Francois Bizot and others on the Yogavacara Tradition". Contemporary Buddhism. 1 (2): 141–198. doi:10.1080/14639940008573729. 
  6. ^ a b c Crosby, Skilton & Gunasena 2012.
  7. ^ Sasson 2012, hlm. 121.
  8. ^ Newell 2008, hlm. 263.
  9. ^ a b c d e Mackenzie 2007, hlm. 112–113, 224n15.
  10. ^ Skilton & Choompolpaisal 2017, hlm. 87 n.10.
  11. ^ Mackenzie 2007, hlm. 95.
  12. ^ Bowers 1996.
  13. ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 90–1.
  14. ^ Newell 2008, hlm. 257 with footnote 62.
  15. ^ Newell 2008, hlm. 235, Quote: "What sets the Dhammakaya temples apart from mainstream Thai Buddhism and what gives them their name is their meditation system, famously "rediscovered" by Sot Chandassaro Bhikkhu in 1916.".
  16. ^ Satha-Anand, Suwanna (1 January 1990). "Religious Movements in Contemporary Thailand: Buddhist Struggles for Modern Relevance". Asian Survey. 30 (4): 395–408. doi:10.2307/2644715. JSTOR 2644715. 
  17. ^ Newell 2008, hlm. 241.
  18. ^ Zehner 1990, hlm. 406–407.
  19. ^ a b c Fuengfusakul 1998, hlm. 84.
  20. ^ Cholvijarn 2019, hlm. 149, 268, 388.
  21. ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 82–4.
  22. ^ a b Zehner 2005, hlm. 2325.
  23. ^ a b Harvey 2013, hlm. 389.
  24. ^ Tanabe 2016, hlm. 127.
  25. ^ a b c Newell 2008, hlm. 238.
  26. ^ a b Scott 2009, hlm. 80.
  27. ^ Hutter, M. (2016). "Buddhismus in Thailand und Laos" [Buddhism in Thailand and Laos]. Dalam Hutter, M.; Loseries, A.; Linder, J. Theravāda-Buddhismus und Tibetischer Buddhismus (dalam bahasa Jerman). Kohlhammer. ISBN 978-3-17-028499-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 May 2021. Diakses tanggal 16 June 2021. 
  28. ^ Rhys Davids & Stede 1921, hlm. 76, 695, entries on Sammā and Arahant.
  29. ^ Mackenzie 2007, hlm. 113.
  30. ^ Start Meditation Today (PDF) (edisi ke-3rd). Dhammakaya Foundation. 2016. hlm. 53–4. ISBN 978-974-87855-4-7. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 27 July 2018. Diakses tanggal 29 December 2018. 
  31. ^ Mackenzie 2007, hlm. 102.
  32. ^ Newell 2008, hlm. 83.
  33. ^ Mackenzie 2007, hlm. 103, 107, 113.
  34. ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 87, Diagram 4.
  35. ^ a b Newell 2008, hlm. 240–1.
  36. ^ Mackenzie 2007, hlm. 103: ... as with the previous bodies, these bodies have both a normal and refined form.
  37. ^ Mackenzie 2007, hlm. 102–3.
  38. ^ Mackenzie 2007, hlm. 103.
  39. ^ Newell 2008, hlm. 240.
  40. ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 85, 87, Diagram 4.
  41. ^ a b Harvey 2013, hlm. 390.
  42. ^ Tanabe 2016, hlm. 128.
  43. ^ Cholvijarn 2019, hlm. 58–59.
  44. ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 85, 88.
  45. ^ Mackenzie 2007, hlm. 216 note 24.
  46. ^ Scott 2009, hlm. 52.
  47. ^ Mackenzie 2007.
  48. ^ Fuengfusakul 1993, hlm. 173.
  49. ^ Zehner 1990, hlm. 414.
  50. ^ Mackenzie 2007, hlm. 31.
  51. ^ a b Williams 2008, hlm. 126.
  52. ^ See Scott 2009, hlm. 3, 82, 129–130, 140: "... critique of the Dhammakaya Temple's wealth and alleged heretical teachings and practices ..." (p. 3); "... high ranking monastic officials who alleged that Phra Dhammachayo had violated the monastic code of conduct by teaching heretical views on nirvana". (pp. 129–130); ff.; (Scott 2008, hlm. 231, 248); (Taylor 2016, hlm. 55–57) ; and Mackenzie 2007, hlm. 16–7, 50–2, 175–9: "Thailand's highly regarded scholar monk, Phra Dhammapitaka [Prayudh Payutto] sought to identify Wat Phra Dhammakaya's position as heretical by commenting, 'In all Buddhist scriptures, both the Tipitaka and the commentaries, there is no evidence that nibbana is atta. But there is much evidence that nibbana is anatta ...'" (p. 51); "... his understanding of the Pali scriptures clearly demonstrates to the Thai that the movement is heretical in its beliefs" (p. 16)
  53. ^ Rosalind I. J. Hackett, ed. (2008). Proselytization Revisited: Rights Talk, Free Markets and Culture Wars. Equinox. hlm. 231, 248. ISBN 978-1-84553-227-7. Diakses tanggal 15 December 2018. 
  54. ^ Patchanee Malikhao (2017). Culture and Communication in Thailand. Springer. hlm. 18–19. ISBN 978-981-10-4125-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 May 2022. Diakses tanggal 7 December 2018. 
  55. ^ Seeger 2010, hlm. 71, n.39–40, at the height of the controversy the spiritual leader of this movement, with regard to Phra Thammachayo, it was claimed that he was "spreading teachings that have been regarded as unorthodox from a Theravāda doctrinal point of view. Severe criticism has particularly been directed against the movement's wide use of miracles (P. pāṭihāriya) and their teaching that nirvāṇa (P. nibbāna), the soteriological goal of Buddhism, has the characteristic of a Higher Self (P. attā), which is in conflict with traditional Theravāda's view that "all and everything is no-self" (P. sabbe dhammā anattā), including nibbāna." ... (These teachings have been) "criticized heavily by a number of acknowledged Thai scholars, academics, monks and social critics who are concerned about the integrity and longevity of original Buddhism".
  56. ^ Scott 2009, hlm. 138.
  57. ^ พระธรรมปิฎก (ป. อ. ปยุตฺโต) (1996). กรณีธรรมกาย : เอกสารเพื่อพระธรรมวินัย. กรุงเทพฯ: มูลนิธิพุทธธรรม. ISBN 974-575-455-2. (in Thai)
  58. ^ Mackenzie 2007, hlm. 51.
  59. ^ Fuengfusakul 1998, hlm. 88.
  60. ^ Seeger 2009, hlm. 13–15 with footnotes, context: 1–31.
  61. ^ Seeger 2010, hlm. 72, "For his criticism of Wat Phra Thammakai and Santi Asok, Phra Payutto has himself repeatedly been criticized not only by proponents of these movements but also by a number of Thai academics. He was accused of 'being narrow-minded' (Thai: mi naeu khwamkhit khapkhaep), 'attached to the scriptures', 'a dogmatist' and 'a purist' who tries 'to prevent religious freedom and thus promot[es] religious intolerance'."
  62. ^ Scott 2009, hlm. 146-149.
  63. ^ a b c Williams 2008, hlm. 127–8.
  64. ^ Seeger 2009, hlm. 13 footnote 40.
  65. ^ Cholvijarn 2019, hlm. 63, 74–82.
  66. ^ Taylor 2016, hlm. 55–57.
  67. ^ Williams 2008, hlm. 126–128.
  68. ^ Potprecha Cholvijarn (2008). "Dhammakaya, Thathagatagarbha and Other-Emptiness: A comparison between Luang Pho Sot's Thammakai Meditation System and Tibetan Shentong Tradition". Rian Thai: International Journal of Thai Studies. 1: 87–101. 
  69. ^ Thanavuddho, Phra Somchai (1999). นิพพานเป็นอัตตาหรืออนัตตา. Bangkok: ประดิพัทธ์. ISBN 978-974-7308-18-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 January 2005. 
  70. ^ Chalermsripinyorat, Rungrawee (2002). "Doing the Business of Faith: The Capitalistic Dhammakaya Movement and the Spiritually-thirsty Thai Middle Class" (PDF). Manusya: Journal of Humanities. 5 (1): 14–20. doi:10.1163/26659077-00501002 . Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 18 September 2016. Diakses tanggal 21 September 2016. 
  71. ^ Mackenzie 2007, hlm. 112.
  72. ^ a b c d Magabudhi, PP (2013-12-24). "Ajaran Dhammakaya yang Kontroversial". Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia. Diakses tanggal 2024-09-17. 
  73. ^ a b Soemitro, Sutar (2013-12-24). "Buddhazine". Buddhazine. Diakses tanggal 2024-09-16. 
  74. ^ Magabudhi, PP (2014-01-05). "Keluarkan Pernyataan Resmi, Sangha Theravada Indonesia Nyatakan Tidak Ada Kerjasama dengan Dhammakaya". Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia. 
  75. ^ Laohavanich, Mano Mettanando (2012). "Ajaran Esoterik dari Wat Phra Dhammakāya" (PDF). Journal of Buddhist Ethics. 19. ISSN 1076-9005. 
  76. ^ Phromkhunabhorn, Phra; Dhammadhiro Mahāthera, Bhikkhu (2017). Kasus Dharmakaya: Kajian untuk Mempelajari Agama Buddha dan Membangun Masyarakat Thai (PDF). Tangerang Selatan: Yayasan Sammasayambhu. ISBN 978-602-60452-0-1. 
  77. ^ RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha-Kementerian Agama. "Hadiri Pelantikan MBMI, Nyoman Organisasi Harus Dipandang Sebuah Milik nan Menjadi Panggilan Hati | Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI". Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha - Kementerian Agama RI. Diakses tanggal 2024-09-16. 
  78. ^ RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha-Kementerian Agama. "MBMI dan KLHK RI Lakukan Penanaman 500 Pohon di Kawasan Candi Borobudur | Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI". Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha - Kementerian Agama RI. Diakses tanggal 2024-09-16. 
  79. ^ Kontributor (2022-12-17). "500 Calon Bhikku Berbagai Negara Ikuti Pabbaja Samanera di Candi Borobudur". Kementerian Agama Republik Indonesia. Diakses tanggal 2024-09-17. 
  80. ^ "Blessing in Harmony Borobudur, InJourney Kolaborasi dengan MBMI Hadirkan Pabbajja Samanera - PT Taman Wisata Candi". injourneydestination.id (dalam bahasa Inggris). 2023-12-24. Diakses tanggal 2024-09-16. 
  81. ^ antaranews.com (2023-11-24). "MBMI targetkan 500 peserta Pabbajja Samanera Candi Borobudur". Antara News. Diakses tanggal 2024-09-16. 
  82. ^ Sudrajat, Rahmat (2024-09-01). "Umat Buddha Nyalakan 10.000 Lilin di Tugu Pahlawan Surabaya, Sebarkan Cahaya Perdamaian untuk Indonesia dan Dunia". RadarSurabaya JawaPos. Diakses tanggal 17-09-2024. 
  83. ^ Agency, ANTARA News. "Peringatan Hari Asadha di Surabaya - ANTARA News Jawa Timur". Antara News. Diakses tanggal 2024-09-16. 
  84. ^ "Light of Peace Indonesia 2024, Peringatan Asadha 2568 BE & HUT ke-79 RI di Tugu Pahlawan Surabaya – Yayasan Dana Paramita Majapahit". 2024-09-04. Diakses tanggal 2024-09-16. 

Daftar pustaka

sunting

Bacaan lanjutan

sunting

Utama

Sekunder

Pranala luar

sunting