Nizar bin al-Mustansir

Abu Mansur Nizar bin al-Mustansir (bahasa Arab: أبو منصور نزار بن المستنصر, translit. Abū Manṣūr Nizār ibn al-Mustanṣir; 1045–1095) adalah seorang pangeran Fathimiyah, dan putra tertua khalifah Fathimiyah kedelapan dan imam Isma'ili kedelapan belas, al-Mustansir. Ketika ayahnya meninggal pada bulan Desember 1094, wazir yang berkuasa, Al-Afdhal Syahansyah, mengangkat adik laki-laki Nizar, al-Musta'li, ke takhta di Kairo, melewati klaim Nizar dan putra sulung al-Mustansir lainnya. Nizar melarikan diri dari Kairo, memberontak dan merebut Aleksandria, di mana ia memerintah sebagai khalifah dengan nama pemerintahan al-Mustafa li-Din Allah (bahasa Arab: المصطفى لدين الله, translit. al-Muṣṭafā li-Dīn Allāh). Pada akhir tahun 1095 ia dikalahkan dan ditawan di Kairo, di mana ia dieksekusi tanpa hukuman.

Nizar bin al-Mustansir
Dinar emas dicetak atas nama Nizar di Aleksandria pada tahun 1095
Lahir26 September 1045
Kairo, Mesir
Meninggalca November/Desember 1095 (umur 50)
Kairo, Mesir
Sebab meninggalDieksekusi tanpa hukuman
GelarImamah dari Isma'ilisme Nizari
Masa jabatan1094-1095
Pendahulual-Mustansir Billah
PenggantiAli al-Hadi
Orang tua
KeluargaDinasti Fathimiyah

Selama abad ke-12, beberapa keturunan Nizar mencoba untuk merebut takhta dari khalifah Fathimiyah, namun tidak berhasil. Banyak kaum Isma'ili, khususnya di Persia, yang menolak imamah al-Musta'li dan menganggap Nizar sebagai imam yang sah. Akibatnya, mereka memisahkan diri dari rezim Fathimiyah dan mendirikan cabang Isma'ilisme Nizari, dengan garis imam mereka sendiri yang mengaku sebagai keturunan Nizar. Garis keturunan tersebut berlanjut hingga hari ini dalam pribadi Aga Khan.

Kehidupan

sunting

Nizar lahir pada 26 September 1045 (5 Rabiulawal 437 Hijriyah) dari imamkhalifah Fathimiyah yang berkuasa, al-Mustansir (m. 1036–1094).[1] Pada waktu itu, al-Mustansir berusia sekitar 15 tahun dan telah bertakhta selama sepuluh tahun.[2] Nizar nampaknya merupakan putra sulung khalifah, walaupun putra lain bernama Abu Abdallah terkadang dinyatakan sebagai sosok senior dari putra-putra al-Mustansir.[a][2]

Pada akhir 1060-an, Kekhalifahan Fathimiyah memasuki krisis menonjol, dengan pergerakan Turki Seljuk dari timur mengancam kekuasaannya atas Suriah, dan kemunculan pertikaian antara pasukan Turki dan orang kulit hitam Afrika di Mesir berujung pada perpecahan pemerintahan pusat dan persebaran bencana kelaparan dan anarki.[4] Pada sekitar tahun 1068, kala pertikaian internal mengancam keruntuhan dinasti, al-Mustansir menyebar para putranya ke sepanjang wilayah kekuasaannya sebagai pengamanan, hanya mempertahankan putranya tanpa nama di bawah umur yang dekat dengannya. Catatan oleh sejarawan era Mamluk al-Maqrizi berujar bahwa Abu Abdallah dan Abu Ali dikerahkan ke Acre untuk bergabung dengan pasukan panglima Badr al-Jamali; Abu'l-Qasim Muhammad (ayah dari Khalifah al-Hafiz) ke Ascalon; sementara lainnya, putranya yang tak bernama dan di bawah umur, menetap di Kairo.[5] Nizar tak disebutkan oleh al-Maqrizi, namun ia nampaknya terlibat dalam tindakan tersebut,[6] dan al-Hidaya al-Amiriyya, sebuah proklamasi yang diedarkan pada 1122 oleh Khalifah al-Amir (m. 1101–1130), mengklaim bahwa ia dikirim ke pelabuhan Damietta.[7] Penyebaran para pangeran Fathimiyah tersebut berlangsung setidaknya sampai Badr al-Jamali meraih kekuasaan pada 1073 selaku wazir dan semi-diktator dan memulihkan tatanan di Mesir.[6][8]

Sengketa suksesi

sunting

Selaku putra sulung, Nizar nampak dianggap menjadi penerus paling menonjol dari ayahnya, sebagaimana kebiasaan;[9] sehingga, para sejarawan seringkali menyatakan bahwa Nizar telah menjadi penerus yang dirancang[b] dari ayahnya.[11][12] Namun, tak ada perancangan resmi terhadap Nizar selaku pewaris nampak terjadi kala kematian al-Mustansir pada Desember 1094.[9][13]

Al-Maqrizi menulis bahwa ini dikarenakan pergerakan putra Badr al-Afdhal Syahansyah, yang meneruskan ayahnya dalam jabatan wazir pada Juni 1094.[14] Menurut al-Maqrizi, sebuah permusuhan terasa mendalam timbul antara al-Afdhal and Nizar. Sebuah anekdot mengisahkan bagaimana al-Afdhal sempat berniat untuk memasuki istana menunggangi kuda—sebuah hak yang dikhususkan untuk khalifah—kala Nizar menyambutnya dengan tidak hormat dan menyebutnya "Armenia kotor". Sejak itu, keduanya menjadi musuh bebuyutan, menangguhkan kegiatan al-Afdhal dan memecat para pelayannya, sementara pada saat yang sama memenangkan para panglima tentara atas kepentingannya. Hanya satu dari mereka, Berber Muhammad bin Masal al-Lukki, yang dikatakan masih setia kepada Nizar, karena ia berjanji untuk mengangkatnya menjadi wazir alih-alih al-Afdhal.[15][16]

Menurut al-Maqrizi, al-Afdhal menekan al-Mustansir untuk mencegah pencalonan publik Nizar selaku pewaris,[15] dan kala khalifah wafat, al-Afdhal menaikkan adik seayah[c] Nizar, al-Musta'li, ke takhta dan imamah.[d] Al-Musta'li, yang tak lama sebelum menikahi saudari al-Afdhal, sepenuhnya bergantung pada al-Afdhal untuk pengangkatannya. Ini membuatnya menjadi sosok pemimpin setia yang tak nampak mengancam keberadaan al-Afdhal, dan sehingga walau rapuh, memegang kekuasaan.[11][24][25]

Dalam rangka mempertahankan suksesi al-Musta'li dan melawan klaim partisan Nizar, putra dan penerus al-Mu'stali, al-Amir, mengeluarkan al-Hidaya al-Amiriyya. Dokumen tersebut menempatkan putaran berbeda pada pengerahan para pangeran: mendadak, mereka dikirim dalam urutan pengaruh, dengan orang-orang yang paling dekat dengan Kairo (dan kemudian khalifah sendiri) diberi pangkat tertinggi.[6][7] Para sejarawan modern menekankan bahwa ini adalah arhumen yang sangat tak dipercaya, karena pangeran dikirim untuk perlindungan mereka. Menurut sejarawan Paul E. Walker, pengiriman Abu Abdallah ke pasuka kuat Badr al-Jamali adalah, jika terjadi hal apapun, sebuah indikasi pengaruh tingginya dan keinginan ayahnya untuk menjaganya agar tetap aman.[6] Pada saat yang sama, putra di bawah umur yang tak teridentifikasi tertinggal di Kairo secara jelas bukanlah al-Musta'li, yang belum lahir pada waktu itu. Walker mengidentifikasikan pangeran tak bernama tersebut dengan Abu'l-Qasim Ahmad, yang kelahirannya diumumkan pada 1060. Pangeran tersebut nampaknya wafat pada suatu waktu, karena kelak al-Musta'li, yang lahir pada 1074, diberikan nama yang sama.[6]

al-Hidaya al-Amiriyya dan catatan lainnya kemudian menganggap pengesahan kenaikan takhta al-Musta'li lewat laporan kisah bahwa pada makan besar perkawinan al-Musta'li, atau kala menjemput ajal, al-Mustansir telah memilihnya sebagai pewarisnya, dan bahwa salah satu saudari al-Mustansir dikatakan memanggilnya secara pribadi dan menerima nominasi al-Musta'li sebagai peninggalan.[9][26][27] Para sejarawan modern, seperti Farhad Daftary, meyakini bahwa kisah tersebut lebih nampak merupakan upaya untuk membenarkan dan secara retroaktif mengesahkan apa yang berdampak pada kudeta oleh al-Afdhal.[11]

Namun, al-Maqrizi juga memasukkan penjelasan berbeda bahwa pengadaan keraguan terhadap apa yang menjadi pergerakan al-Afdhal benar-benar merupakan kudeta yang disiapkan secara berhati-hati. Kala al-Afdhal memanggil tiga putra al-Mustansir—Nizar, Abdallah, dan Isma'il, nampaknya sangat berpengaruh di kalangan keturunan khalifah—ke istana untuk menghadap kepada al-Musta'li, yang telah menduduki takhta, mereka semua menolak. Tak hanya mereka menolak al-Musta'li, namun mereka semua mengklaim bahwa al-Mustansir telah memilihnya selaku penerusnya. Nizar mengklaim bahwa ia memiliki dokumen tertulis dari dampak tersebut.[28][29] Penolakan tersebut nampaknya membuat al-Afdhal sangat terkejut. Para saudaranya diperkenankan untuk meninggalkan istana; namun kala Abdallah dan Isma'il berada pada masjid terdekat, Nizar langsung kabur dari Kairo.[28][29] Untuk menambahkan kekeliruan, dengan mengetahui kepergian al-Mustansir, Baraqat, da'i Kairo (kepala kelompok keagamaan Isma'ili) memproklamasikan Abdallah sebagai khalifah dengan nama regnal al-Muwaffaq.[30] Namun, al-Afdhal kemudian merebut lagi kekuasaan. Baraqat ditangkap (dan kemudian dieksekusi), Abdallah dan Isma'il ditempatkan di bawah pengawasan dan kemudian secara terbuka mengakui al-Musta'li. Sebuah majelis besar perwira diadakan, yang menyatakan al-Musta'li selaku imam dan khalifah.[15]

Pemberontakan dan kematian

sunting

Pada suatu waktu, Nizar kabur ke Iskandariyah dengan beberapa pengikutnya. Gubernur lokal, seorang Turki bernama Nasr al-Dawla Aftakin, menentang al-Afdhal, sehingga Nizar dengan cepat dapat meraih dukungannya. Ia juga menang atas hakim lokal (qadi), para penduduk dan suku-suku Arab saudari terhadap kepentingannya. ia kemudian mengembangkan pemberontakan dan memproklamasikan dirinya sebagai imam dan khalifah dengan gelar al-Mustafa li-Din Allah ('Yang Terpilih dari Agama Allah').[1][13][31][32] Sebuah dinar emas Nizar, yang mencantumkan gelar tersebut, ditemukan pada 1994, yang menunjukkan pengangkatan gelar khalifahnya dan pencetakan koin padanya.[31] Menurut Walker, kecepatan meraih dukungan yang didapatkan oleh Nizar, dan beberapa cerita lain yang dijelaskan dalam al-Maqrizi, menandakan keberadaan faksi yang relatif besar yang mengharapkan atau menginginkannya untuk menggantikan al-Mustansir.[32]

Pemberontakan Nizar awalnya berhasil: serangan al-Afdhal terhadap Iskandariyah pada Februari 1095 dengan mudah dipukul mundur, dan pasukan Nizar menyerbu pinggiran Kairo. Namun, sepanjang bulan-bula berikutnya, al-Afdhal memutuskan untuk memenangkan kembali persekutuan suku-suku Arab dengan upeti dan hadiah. Melemah, pasukan Nizar dipukul mundur ke Iskandariyah, yang berada dalam keadaan pengepungan. Pada November, panglima militer Nizar, Ibnu Masal, meninggalkan kota, mengambil sebagian besar hartanya yang tersisa. Ini memaksa Aftakin dan Nizar untuk menyerah melawan penjagaan keamanan mereka (aman). Kedua dibawa kembali ke Kairo, tempat Nizat diimurasi dan Aftakin dihukum mati.[1][13][31][32] Penjelasan atau tanggal pasti kematian Nizar tidak diketahui.[33]

Dalam surat yang masih ada yang dikirim ke ratu Isma'ili Yaman Arwa al-Sulayhi mengumumkan kenaikan takhtanya, al-Musta'li memberikan versi peristiwa "resmi" sebagai berikut: Seperti putra lain dari al-Mustansir, Nizar mula-mula menerima imamahnya dan membayarkannya ganti rugi, sebelum bergerak cepat dan bergerombol untuk memberontak. Peristiwa yang membuat Iskandariyah menyerah dilaporkan dalam beberapa penjelasan, namun tak ada yang menyebutkan nasib Nizar atau Aftakin.[34]

Skisma Nizari

sunting

Masalah-masalah dengan aransemen suksesi telah timbul pada masa sebelumnya. Namun, kenaikan takhta al-Musta'li menjadi pertama kalinya para anggota pesaing dinasti Fathimiyah yang sebenarnya telah berjuang atas takhta tersebut.[35] Memberikan peran penting imam dalam kepercayaan Isma'ili, ini menjadi pengaruh kenangan: pengadaan suksesi sebenarnya bukanlah materi intrik politik, namun juga sangat beragama. Dalam perkataan pionir modern kajian Isma'ili, Samuel Miklos Stern, "yang bergantung pada kelanjutan agama institusial seerrta kesalamat pribadi orang percaya".[36] Bagi kepercayaan Isma'ili, tulis Stern, ini "tidaklah terlalu banyak orang pengklaim yang dibebankan dengan para pengikutnya; mereka tak digerakkan oleh jasa petinggi manapun dari Nizar selaku penguasa [...] ini merupakan hak ilahi yang dipersonifikasikan dalam pewaris sah yang terhitung".[36]

Akibatnya, peristiwa tahun 1094–1095 menyebabkan skisma pahit dan kekal dalam gerakan Isma'ili yang berlangsung sampai sekarang.[35][37] Kala al-Musta'li diakui oleh elit Fathimiyah dan perhimpunan keagamaan Isma'ili resmi (dakwah), serta komunitas Isma'ili bergantung padanya di Suriah dan Yaman, kebanyakan komunitas Isma'ili di sebagian besar Timur Tengah, dan khususnya Persia dan Irak, menolaknya. Entah apapun dakwaannya, atau kesimpulan yang menghimpun dirinya pada kekuasaan Kairo, pemimpin Isma'ili da'i di Persia, Hassan-i Sabbah, yang beralih mengakui hak Nizar pada imamah—kemungkinan pada masa kekuasaan Nizar di Iskandariyah—memutus hubungan dengan Kairo, dan menghimpun hierarki independennya sendiri (da'wa jadida, terj. har.'seruan baru'). Ini menandai perpecahan kekal dan menonjol dari gerakan Isma'ili terhadap cabang-cabang pesaing "Musta'li" dan "Nizari".[33][38][39]

Sepanjang dasawarsa berikutnya, Nizari adalah salah satu musuh paling besar dari para penguasa Musta'li di Mesir.[40] Hassan-i Sabbah mendirikan Hassasin, yang bertanggung jawab atas pembunuhan al-Afdhal pada 1121,[41][42] dan putra dan penerus al-Musta'li, al-Amir (yang juga menjadi keponakan dan menantu al-Afdhal) pada Oktober 1130.[42][43] Ini berujung pada serangkaian kudeta dan krisis yang berujung pada penurunan negara Fathimiyah, dan kemudian keruntuhannya.[44] Pada 1130–1131, rezim Fathimiyah secara temporer dibubarkan oleh putra al-Afdhal Kutayfat, sebelum keponakan Nizar, Abd al-Majid, dalam ketiadaan pewaris langsung al-Amir, menjalankan imamah dan kekhalifahan sebagai khalifah al-Hafiz pada Januari 1132.[45][46][47] Suksesi Al-Hafiz berujung pada skisma lain dalam Isma'ilisme, antara para pengikuti Musta'li yang menerima suksesi al-Hafi ("Hafizi") dan orang-orang yang tak melakukannya, mengangkat alih-alih imamah dari putra al-Amir yang masih bayi al-Tayyib ("Tayyibi").[48][49] Kala Isma'ilisme Nizari bertahan di Persia dan Suriah, dan Isma'ilisme Tayyibi di Yaman dan India, sekte Hafizi, yang sangat berkaitan dengan negara Fathimiyah, tak lama bertahan dari peniadaan akhir entitas tersebut oleh Salahuddin Ayyubi pada 1171.[50]

al-Mustansir bi'llah
(m. 1036–1094)
Abu'l-Qasim Muhammadal-Musta'li bi'llah
(m. 1094–1101)
Abu Mansur Nizar
al-Hafiz li-Din Allah
(m. 1132–1149)
al-Amir bi-Ahkam Allah
(m. 1101–1130)
al-Tayyib
Imam-khalifah HafiziImam tersembunyi TayyibiImam Nizari
       menandakan khalifah Fatimiyah berkuasa (dengan penanggalan masa jabatan)
Sumber: Daftary, Farhad (2007). The Ismāʿı̄lı̄s: Their History and Doctrines (edisi ke-Second). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 508. ISBN 978-0-521-61636-2. 

Keturunan dan suksesi

sunting

Sumber-sumber kontemporer menyatakan bahwa Nizar memiliki sejumlah putra.[51] Setidaknya salah satu dari mereka, al-Husayn, kabur dengan anggota dinasti lainnya (termasuk tiga saudara Nizar, Muhammad, Isma'il, dan Tahir) dari Mesir ke barat Maghreb pada 1095, tempat mereka membentuk kelompok oposisi di pengasingan terhadap rezim baru di Kairo.[13][32] Terdapat indikasi bahwa putra Nizar lainnya, bernama al-Mukhtar Muhammad, pergi Yaman, karena koin-koin atas namanya dicetak disana.[33] Pada 1132, menyusul pelantikan yang sangat tak lazim terhadap al-Hafiz, al-Husayn berniat untuk kembali ke Mesir. Ia memutuskan untuk mengerahkan pasukan, namun al-Hafiz berhasil menundukkan para panglimanya dan membunuhnya.[52][53] Pada 1149, al-Hafiz mengalami ancaman serupa dari putra Nizar. Pretender tersebut memutuskan untuk merekrut sepasukan besar di kalangan suku Berber, namun ia juga dibunuh kala khalifah Fathimiyah tersebut menyuap para panglimanya.[54][55] Pemberontakan terakhir oleh pengklaim Nizari dilakukan oleh putra al-Husayn, Muhammad, pada 1162, namun ia terbuai dengan janji-janji palsu dan dieksekusi oleh wazir Ruzzik bin Tala'i.[54][56]

Tak ada putranya yang resmi diangkat menjadi penerus oleh Nizar. Namun, mereka kekurangan pengesahan untuk menjadi imam setelahnya. Ini menimbulkan masalah akut bagi kepercayaan Nizari, sebagaimana doktrin Isma'ili dianut agar garis imam yang dilantik secara ilahiah tak mungkin diputus.[57] Mula-mula, beberapa Nizari menganggap bahwa Nizar tidak meninggal, namun akan kembali sebagai Mahdi (setidaknya pada kaumnya).[1] Dalam ketiadaan imam, pencetakan koin dari Kastel Alamut, pusat kedudukan negara Nizari Isma'ili yang dinaungi oleh Hassan-i Sabah di Persia tengah, dicetak dengan nama regnal Nizar al-Mustafa li-Din Allah sampai 1162.[33][57] Tak ada imam yang disebutkan secara umum di Alamut sampai saat itu, dan Hassan-i Sabbah dan dua penerus langsungnya berkuasa alih-alih sebagai da'i, atau sebagai hujja ('segel', 'kebanggaan'), para perwakilan bertindak atas pernatara imam yang absen.[58] Namun, Nizari kemudian menjadi percaya bahwa cucu (atau putra) Nizar telah diseludupkan keluar dari Mesir dan dibawa ke Alamut, dan menjadi imam budiman, yang tinggal di persembunyian (satr).[59][60]

Menurut tradisi Nizari, penguasa keempat Alamut, Hassan II (m. 1162–1166), dianggap tak lagi menjadi da'i, namun diam-diam merupakan keturunan Nizar dan imam budiman, walaupun klaim tersebut tak dibuat eksplisit sampai masa kekuasaan putranya, Nur al-Din Muhammad II.[61][62] Tradisi Nizari modern bahwa tiga imam—Ali al-Hadi, Muhammad (I) al-Muhtadi, dan Hassan (I) al-Qahir[63][64]—berkuasa usai Nizar berada dalam persembunyian, namun berbagai sumber primer memberikan silsilah berbeda.[65][64] Menurut cendekiawan Syilah Jerman, Heinz Halm, identitas tiga imam yang bersembunyi nampaknya fiksi,[64] dan pernyataan klaim Hasan II terhadap keturunan Fathimiyah masih menjadi persoalan historiografi besar.[66] Meskipun demikian, para penerus Hassan II memegang klaim keturunan mereka dari Nizar sampai imam Isma'ilisme Nizari saat ini, Aga Khan.[33][67]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Masa kekuasaan al-Mustansir menunjukkan bahwa ia mengalami sejumlah keturunan, namun tak ada daftar lengkap yang ada, dan kebanyakan putranya berbagai bagian dari nama mereka, membuat identifikasi mereka menyulitkan. Sejarawan Paul E. Walker memperkirakan bahwa al-Mustansir "memiliki sekurang-kurangnya tujuh belas putra yang nama-namanya dapat ditemukan".[3]
  2. ^ konsep perancangan (nass) terpusat pada Syi'ah awal, dan terutama Isma'ili, pembentukan imamah, selain juga menunjukkan pergesekan: karena imam memegang ketidakbersalahan Allah (isma), ia tak dapat mungkin dipersalahkan, khususnya dalam hal paling krusial sebagaimana pemilihan pewarisnya. Para pewaris yang dimilik yang menghadap ayah mereka kemudian menjadi sumber pergesekan menonjol. Sehingga, adatnya menyatakan bahwa, walau penerus dapat secara jelas disukai pada masa kekuasaan ayahnya, nass seringkali dipegang sampai tak lama sebelum kematian imam yang berkuasa, diproklamasikan dalam pernyataannya, atau ditinggalkan selaku permintaan dari pihak ketiga.[10]
  3. ^ Al-Musta'li nampaknya merupakan putra bungsu al-Mustansir.[9][6]
  4. ^ Seorang imam adalah pemimpin spiritual komunitas kepercayaan Islam (ummah) selaku penerus Muhammad.[17] Usai perang saudara pada zaman Muslim awal, arus utama Sunni mengikut para khalifah selaku penerus Muhammad dan menghimpun sedikit kondisi pada jabatan kepemimpinan.[18][19] Di sisi lain, Syi'ah secara hartahap mengembangkan pernyataan imam sebagai penerus Muhammad tunggal, disahkan dan dipandu secara ilahiah, seorang sosok yang dihimpun dengan kualitas unik dan penunjangan hidup (hujja) dari Allah. Jabatan tersebut ditujukan untuk anggota keluarga Muhammad, dengan menantu Muhammad Ali bin Abi Talib dianggap sebagai imam semacam itu yang pertama.[20][21] Cabang-cabang Syi'ah Dua Belas Imam dan Isma'ili (atau Syi'ah Tujuh) terpecah usai kematian Ja'far ash-Shadiq pada 765. Dua Belas Imam mengikuti Musa al-Kadzim sebagai imam ketujuh mereka dan berujung pada garis imam mereka dengan al-Mahdi, imam kedua belas dan terakhir yang mendatangkan okultasi pada 874 dan bahwa pengembalian mesianik masih ditunggu.[22] Berbagai cabang Isma'ili mengikuti garis suksesi dari Isma'il bin Ja'far melalui kehadiran berkelanjutan imam tersembunyi dan umum, termasuk para imam-khalifah Fathimiyah, sampai saat ini.[23]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d Gibb 1995, hlm. 83.
  2. ^ a b Walker 1995, hlm. 250.
  3. ^ Walker 1995, hlm. 249.
  4. ^ Brett 2017, hlm. 201–205.
  5. ^ Walker 1995, hlm. 250–251.
  6. ^ a b c d e f Walker 1995, hlm. 251.
  7. ^ a b Stern 1950, hlm. 24.
  8. ^ Brett 2017, hlm. 205–206.
  9. ^ a b c d Gibb 1993, hlm. 725.
  10. ^ Walker 1995, hlm. 240–242.
  11. ^ a b c Daftary 2007, hlm. 241.
  12. ^ Brett 2017, hlm. 228.
  13. ^ a b c d Halm 2014, hlm. 90.
  14. ^ Halm 2014, hlm. 86–87.
  15. ^ a b c Walker 1995, hlm. 254.
  16. ^ Halm 2014, hlm. 89.
  17. ^ Madelung 1971, hlm. 1163.
  18. ^ Daftary 2007, hlm. 36–38.
  19. ^ Madelung 1971, hlm. 1163–1164.
  20. ^ Daftary 2007, hlm. 1, 39–86.
  21. ^ Madelung 1971, hlm. 1166–1167.
  22. ^ Daftary 2007, hlm. 38, 88–89.
  23. ^ Daftary 2007, hlm. 89–98, 99–100, 507ff..
  24. ^ Walker 1995, hlm. 252.
  25. ^ Brett 2017, hlm. 228–229.
  26. ^ Stern 1950, hlm. 25–29.
  27. ^ Walker 1995, hlm. 252, 257.
  28. ^ a b Halm 2014, hlm. 88.
  29. ^ a b Walker 1995, hlm. 253.
  30. ^ Walker 1995, hlm. 253–254.
  31. ^ a b c Daftary 2007, hlm. 242.
  32. ^ a b c d Walker 1995, hlm. 255.
  33. ^ a b c d e Walker 2022.
  34. ^ Halm 2014, hlm. 91.
  35. ^ a b Walker 1995, hlm. 248.
  36. ^ a b Stern 1951, hlm. 194.
  37. ^ Daftary 2007, hlm. 242–243.
  38. ^ Daftary 2007, hlm. 242–243, 324–325.
  39. ^ Brett 2017, hlm. 229–230.
  40. ^ Stern 1950, hlm. 20.
  41. ^ Brett 2017, hlm. 252.
  42. ^ a b Daftary 2007, hlm. 244.
  43. ^ Brett 2017, hlm. 233–234, 261.
  44. ^ Daftary 2007, hlm. 246.
  45. ^ Daftary 2007, hlm. 247–248.
  46. ^ Brett 2017, hlm. 263–265.
  47. ^ Halm 2014, hlm. 178–183.
  48. ^ Brett 2017, hlm. 265–266.
  49. ^ Daftary 2007, hlm. 248, 264.
  50. ^ Daftary 2007, hlm. 248.
  51. ^ Daftary 2007, hlm. 325.
  52. ^ Walker 1995, hlm. 255–256.
  53. ^ Halm 2014, hlm. 186–187.
  54. ^ a b Walker 1995, hlm. 256.
  55. ^ Halm 2014, hlm. 221–222.
  56. ^ Halm 2014, hlm. 249.
  57. ^ a b Daftary 2007, hlm. 326.
  58. ^ Daftary 2007, hlm. 301–302, 326, 509.
  59. ^ Daftary 2007, hlm. 301–302, 326.
  60. ^ Halm 2014, hlm. 157, 158.
  61. ^ Daftary 2007, hlm. 301–302, 326, 363–364.
  62. ^ Halm 2014, hlm. 259–261, 336.
  63. ^ Daftary 2007, hlm. 509.
  64. ^ a b c Halm 2014, hlm. 261.
  65. ^ Daftary 2007, hlm. 630 (note 138).
  66. ^ Andani 2016, hlm. 273–274.
  67. ^ Halm 2014, hlm. 91, 261.

Sumber

sunting

Pranala luar

sunting
Nizar bin al-Mustansir
Lahir: 1045 Meninggal: 1095
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Al-Mustansir
Khalifah Fathimiyah
(pengklaim di Iskandariyah)

1095
Diteruskan oleh:
Al-Musta'li
Jabatan Islam Syi'ah
Didahului oleh:
Al-Mustansir
Imam Isma'ilisme Nizari ke-19
1094–1095
Diteruskan oleh:
Ali al-Hadi bin Nizar
(secara sembunyi-sembunyi)