Pengguna:Glorious Engine/Amir Sjarifoeddin

Amir Sjarifuddin Harahap
Foto Amir pada 1947
Amir pada 1947
Perdana Menteri Indonesia ke-2
Masa jabatan
3 Juli 1947 – 29 Januari 1948
PresidenSukarno
Wakil Perdana Menteri Indonesia
Sebelum
Pendahulu
Sutan Sjahrir
Sebelum
Menteri Pertahanan ke-2
Masa jabatan
14 November 1945 – 29 Januari 1948
Perdana MenteriSutan Sjahrir
Diri sendiri
DeputiArudji Kartawinata
Sebelum
Pendahulu
Supriyadi
Sebelum
Menteri Penerangan ke-1
Masa jabatan
2 September 1945 – 12 Maret 1946
Perdana MenteriSutan Sjahrir
Sebelum
Pendahulu
Jabatan dibentuk
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Amir Sjarifuddin Harahap

(1907-04-27)27 April 1907
Medan, Hindia Belanda
Meninggal19 Desember 1948(1948-12-19) (umur 41)
Yogyakarta, Indonesia
Sebab kematianDieksekusi
Partai politikPKI
Afiliasi politik
lainnya
Suami/istri
Djaenah Harahap
(m. 1935)
Anak6
Alma materRechts Hogeschool (RHS)
Pekerjaan
  • Politikus
  • wartawan
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Amir Sjarifuddin Harahap (EVO: Amir Sjarifoeddin Harahap; 27 April 1907 – 19 Desember 1948) adalah seorang politikus dan wartawan Indonesia yang menjabat sebaagi Perdana Menteri Indonesia kedua dari 1947 sampai 1948. Sebagai pemimpin besar sayap kiri pada Revolusi Nasional Indonesia, ia sebelumnya menjabat sebagai Menteri Penerangan dari 1945 sampai 1946 dan Menteri Pertahanan dari 1945 sampai 1948.

Amir lahir dalam aristokrasi Sumatra, dan dididik di Europeesche Lagere School, sebelum datang ke Leiden untuk menjalani pendidikan lanjutan. Di sana, ia menjadi anggota badan asosiasi pelajar Gimnasium di Haarlem, dan terlibat dalam organisasi pelajar Batak Jong Batak. Ia pulang ke Indonesia karena masalah keluarga, namun meneruskan pendidikannya di Rechts Hogeschool. Setelah lulus, ia menjadi aktif dalam kelompok sastra dan wartawan, bergabung dengan badan editorial surat kabar Panorama. Ia juga terlibat dalam politik sayap kiri, dan memimpin kelompok pemuda Marxis dalam pendirian Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).

Pada 1933, karena kegiatan politiknya, Amir ditahan, dan nyaris diasingkan ke kamp konsentrasi Boven-Digoel, bukan karena upaya sepupu dan gurunya. Pada masa pendudukan Hindia Belanda oleh Jepang, Amir menjadi salah satu dari sedikit politikus Indonesia berpengaruh yang aktif berjuang melawan Jepang, bersama dengan kelak Perdaan Menteri sejawat Sutan Sjahrir. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia diangkat menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet Presidensial pimpinan Presiden Sukarno. Kemudian, ia diangkat menjadi Menteri Pertahanan oleh Perdana Menteri Sjahrir.

Setelah pembubaran kabinet Sjahrir, Amir dipilih untuk mengepalai kabinet baru, dengan bekingan koalisi besar. Ia menghadapi timbal balik atas keputusan kabinet untuk meratifikasi Perjanjian Renville, dan ia mundur dari jabatan perdana menteri, digantikan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Setelahd igulingkan, ia terlibat dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). Setelah permulaan Tragedi Madiun, Amir dan pemimpin FDR lainnya merebut kendali atas pemerintahan "Front Nasional" yang baru dibentuk. Berpekan-pekan kemudian, pasukan pro-pemerintahan, pimpinan Divisi Siliwangi, mulai memukul mundur pasukan sayap kiri. Pada pertarungan tersebut, Amir ditangkap dan ditahan di Yogyakarta. Setelah penarikan diri pasukan Republik setelah Operasi Kraai, ia dieksekusi, bersama dengan lima puluh tahanan sayap kiri lainnya.

Kehidupan awal sunting

Masa kecil sunting

Amir Sjarifuddin Harahap lahir di Medan, pada 27 April 1907.[1] Ia lahir dalam aristokrasi Sumatra, dengan kakeknya, Mangaraja Monang, merupakan bangsawan Batak – yang dibaptis menjadi Kristen dan dinamai Efraim – dengan gelar Sutan Gunung Tua.[2] Ayah Amir, Djamin, juga merupakan bangsawan, dengan gelar Sultan Soripada Harahap. Namun, ia kemudian meninggalkan agama tersebut dan menjadi Muslim, setelah menikahi ibu Amir, Basunu Siregar,[1] seorang Muslimah saleh yang berasal dari sebuah keluarga paling dihormati dari komunitas Islam-Melayu.[2][3] Amir adalah anak sulung dari tujuh bersaudara, dan diberi gelar Sutan Gunung Sualoon. Ia berasal dari keluarga jaksa dengan kakek dan ayahnya mempratekkan profesi tersebut.[1]

Pendidikan sunting

Amir mulai menempuh pendidikan pada 1914, saat ia masuk Europeesche Lagere School (ELS) di Medan. Namun, pada 1916, ia terpaksa untuk masuk ELS yang berbeda di Sibolga, karena ayahnya ditransfer ke sana.[4][5] Pada Agustus 1921, ia dan kakak sepupunya, Todung Sutan Gunung Mulia, datang ke Belanda. Disana, ia bermukim dengan keluarga Smink di Haarlem, 29 kilometer dari utara Leiden. Ia meneruskan pendidikannya ke Gimnasium di Haarlem, meskipun Mulia pulang ke Indonesia, karena ia telah menamatkan sekolahnya.[6] Setelah menjalani waktu hanya setahun di Gimnasium Haarlem, ia pindah ke Gimnasium Negeri Leiden.[4] Di Leiden, Amir singgal di rumah Nyonya Antonie Aris van de Losdrecht–Sizzo, seorang janda dari penginjil dan misionaris Antonie Aris van de Loosdrecht, yang dibunuh di Tana Toraja pada 1913.[6]

Ia terlibat dalam organisasi pelajar Batak Jong Batak, dan menumbuhkan peminatannya terhadap Kekristenan dan Alkitab.[6] Sebagai pelajar, ia menjadi anggota Perhimpoenan Indonesia, di bawah kepemimpinan kelak wakil presiden Indonesia Mohammad Hatta.[7] Pada masanya di Leiden, ia mulai mengagumi dan dipengaruhi oleh Count Mirebeau, Honoré Gabriel Riqueti, dan Maximillien Robespierre, keduanya akan mempengaruhi Amir dalam karir berikutnya.[8] Ia pulang ke Indonesia karena masalah keluarga, ketika ayahnya kehilangan pekerjaannya sebagai Ketua Jaksa karena ia memukul seorang tahanan.[4] Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Rechts Hogeschool, dan kemudian berpindah agama dari Islam ke Kristen pada 1931, ketika ia dibaptis di Gereja Huria, Batavia. Ia kemudian menyampaikan kotbah-kotbah di gereja tersebut.[9]

Jurnalisme dan Perang Dunia II sunting

Karir jurnalistik sunting

 
Amir Sjarifuddin, tanggal tidak diketahui

Sepanjang 1930an, Amir aktif dalam lingkup sastra dan jurnalistik, bergabung dengan badan editorial surat kabar Panorama, bersama dengan Liem Koen Hian, Sanusi Pane dan Mohammad Yamin.[10] Pada 1933, Amir ditahan oleh Belanda karena membuat esai berjudul Aksi Massa, sebuah esai yang diterbitkan dalam majalah Banteng Partindo yang mendorong masyarakat untuk mengusir pasukan invasi kolonial. Meskipun pada kenyataannya, esai tersebut ditulis oleh Mohammad Yamin, dengan Amir hanya bertindak sebagai pengarang dalam versi yang diterbitkan.[11] Amir ditahan selama dua tahun dan dibebaskan pada 5 Juni 1935.[12]

Pada pertengahan 1936, bersama dengan para koleganya Liem, Pane dan Yamin, Amir membentuk surat kabar lainnya, Kebangoenan, yang – seperti halnya Panorama – diterbitkan oleh Pers Percetakan Siang Po milik Phoa Liong Gie.[10] Pada 1937, menjelang akhir penjajahan Belanda, Amir memimpin kelompok pemuda Marxis dalam pendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).[13][14] Di bawah kepemimpinan Amir, partai tersebut dianggap sebagai partai politik anti-fasis sayap kiri radikal, yang dipengaruhi oleh ideologi Komunisme.[15] Doktrin Dimitrov dari Uni Soviet, menyerukan front umum melawan fasisme yang membantu menambahkan jumlah orang Indonesia dengan mengambil pendekatan kooperatif terhadap pemerintahan kolonial Belanda dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.[14]

Gerindo adalah salah satu partai kooperatif dalam tahun-tahun menjelang Perang Dunia II yang tujuan-tujuannya meliputi legislatur Indonesia sepenuhnya. Parpol tersebut memiliki tujuan-tujuan sederhana berbanding dengan nasionalis radikal pimpinan orang-orang yang mengagumi Sukarno dan Mohammad Hatta yang berada di bawah tekanan Belanda, yang ditemui oleh Sjarifuddin sebelum masa perang. Pada 1940, intelijensi Belanda menduga bahwa ia terlibat dalam gerakan bawah tanah Komunis.[14] Manyaksikan pertumbuhan kekuatan dan pengaruh Kekaisaran Jepang, ia menjadi salah satu dari sejumlah pemimpin Indonesia yang menyatakan perlawanan terhadap bahaya fasisme sebelum perang.[3] Sebelum invasi Belanda oleh Jerman, Amir sendiri memimpin dan mempromosikan pemboikotan melawan perdagangan dengan Jepang. Ketika koloni diinvasi oleh Jepang, peran pentingnya dalam kampanye-kampanye tersebut mendorong kepala intelijensi Belanda untuk menyediakan Amir dengan 25.000 gulden untuk menghimpun gerakan pemberontakan bawah tanah.[16][17]

Perang Dunia II sunting

Setelah pendudukan Hindia Belanda oleh Jepang, Jepang memberlakukan penindasan total pada oposisi manapun terhadap pemerintahan mereka. Kebanyakan pemimpin Indonesia memilih menjadi 'pengamat netral' atau aktif bekerjasama. Amir adalah salah satu dari sedikit politikus Indonesia yang aktif menentang Jepang, bersama dengan kelak Perdana Menteri sejawat Sutan Sjahrir. Jepang menangkap Sjarifuddin pada 1943, dan bebas dari eksekusi hanya karena campur tangan dari Sukarno, yang popularitasnya di Indonesia – dan sehingga mempengaruhi upaya perang – diakui oleh Jepang.[18][19] Pada 1945, Amir menjadi terkenal dan dihormati sebagai politikus. Dan meskipun ia menjalin kontak dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bersifat 'ilegal', ia tak melakukan apa-apa selain menghina para Marxis yang 'tidak dapat diandalkan' dan tidak dikenal yang mendirikan kembali partai tersebut pada 1935. Para kolega terdekatnya berasal dari gerakan bawah tanah 'PKI ilegal' dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang didirikan sebelum perang. Secara bersama-sama, mereka membentuk Partai Sosialis Indonesia (Parsi) pada 1 November 1945.[20][17]

Dalam konferensi dua partai pada 16 – 17 Desember, Parsi pimpinan Amir mengumumkan akan bergabung dengan kelompok politik Sjahrir, Partai Rakjat Sosialis (Paras), membentuk Partai Sosialis (PS). Dengan Sjahrir menjabat sebagai ketua, dan Amir bertugas sebagai wakil ketua.[20][21] Partai Sosialis dengan cepat menjadi partai pro-pemerintahan terkuat, khususnya di Yogyakarta dan Jawa Timur. Partai tersebut menerima argumen Amir dan pemimpin lainnya yang pada masa itu yang belum matang untuk mengimplementasikan sosialisme, alih-alih kebutuhan dukungan internasional untuk mendorong kemerdekaan, dan bahwa konstituen-konstituen nakal harus ditentang. Para pemimpin partai yang ter-Westernisasi menunjukan keyakinan lebih dalam unsur sayap kiri Belanda, ketimbang dalam unsur revolusioner rakyat Indonesia, yang menjadi sumber keretakan di kalangan penentang partai.[20]

Revolusi Nasional sunting

Menteri Penerangan sunting

 
Dari kiri sampai kanan: Adnan Kapau Gani, Amir, Oerip Soemohardjo, dan Mohamad Isa dalam pertemuan massa di Masjid Agung Palembang, c. 1946

Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada dua hari kemudian, Republik mengumumkan kementerian pertamanya pada 4 September. Kabinet tujuh belas anggota kebanyakan terdiri dari nasionalis 'yang berkolaborasi';[a] Amir diangkat menjadi Menteri Penerangan di bawah kabinet baru, meskipun pada masa itu nasibnya tidak diketahui, karena ia saat itu ditahan oleh Jepang.[23][22] Ia kemudian dibebaskan pada 1 Oktober 1945, dan memegang jabatan tak lama setelahnya. Pelantikan Amir sebagai menteri penerangan nampaknya karena latar belakangnya dalam jurnalisme sebelum Perang Dunia II.[24]

Pada awal Revolusi, Amir bekerjasama dengan Perdana Menteri pertama dari negara tersebut, Sutan Sjahrir. Keduanya memainkan peran besar dalam membentuk aransemen terkait pemerintahan baru Indonesia dengan rakyatnya yang terbukti efektif.[25] Pada 30 Oktober, Amir, bersama dengan Sukarno dan Hatta, dibawa ke kota Surabaya, Jawa Timur oleh pemerintahan pelaksana jabatan Inggris.[26] Ketiganya dipandang sebagai satu-satunya pemimpin Indonesia yang nampaknya dapat meredam pertikaian antara pasukan Republik dan India Britania dimana Brigade Inggris kalah jumlah dan menghadapi penyingkiran.[26] Gencatan senjata tak lama dilakukan, namun pertikaian berlanjut setelah komunikasi dan ketidakpercayaan antar kedua belah pihak, yang berujung pada Pertempuran Surabaya.[26]

Pada 16 Oktober 1945, Sjahrir dan Amir mengambil alih Komite Nasional Indonesia Pusat. Setelah transisi 11 November menuju pemerintahan parlementer, Amir diangkat pada kabinet baru dengan Sjahrir sebagai Perdana Menteri.[24] Presiden Sukarno menerima proporsal agar kabinet tersebut menugaskan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Parlemen alih-alih Presiden.[27] Peristiwa tersebut menciptakan bentuk pemerintahan 'liberal' atau parlementer, yang bertentangan dengan konstitusi yang dicetuskan Sukarnois selama dua belas tahun. Sehingga, kepemimpinan ditangani intelektual berpikiran Barat yang 'termodernisasi', yang pada masa itu dianggap sebagai pemimpin Asia mendatang dan lebih selaras pada gagasan-gagasan pemerintahan Barat. Saat dianggap menentang bentuk pemerintahan sebelumnya — Indonesia, Belanda, Jepang dan bahkan pemerintahan Republik pertama yang berlangsung singkat — ini menjadi perubahan politik paling revolusioner di tingkat nasional pada masa Revolusi Nasional.[28]

Menteri Pertahanan sunting

Amir melepas jabatannya sebagai Menteri Penerangan pada 4 Januari 1946, dan ia digantikan oleh Mohammad Natsir.[29] Sebagai gantinya, ia menjadi Menteri Pertahanan. Tugas utamanya sebagai menteri membuat angkatan bersenjata menjadi "alat kebijakan pemerintah yang efektif dan bertanggung jawab".[30] Namun, jabatannya sebagai menteri menjadi sumber keretakan dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan panglima barunya, Sudirman, yang mendominasikan kandidat mereka sendiri, Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta. Namun, Sultan enggan memperebutkan jabatan tersebut. Amir menjadi tokoh utama dalam program 'anti-fasis' pemerintah dengan angkatan bersenjata sebagai target utama, yang menimbulkan keretakan lebih lanjut. Sjahrir menuduh para perwira angkatan bersenjata yang dilatih oleh PETA sebagai 'pengkhianat', 'fasis', dan 'anjing pelari' yang bersekongkol dengan Jepang. Amir mempromosikan Tentara Merah sebagai model angkatan bersenjata rakyat yang setia terhadap pemerintah dan memegang gagasan-gagasan sosialis.[31] Pada 19 Februari 1946, Amir membentuk 'staf pendidikan' yang didominasi sosialis dan politikus Masyumi untuk angkatan bersenjata. Badan tersebut terdiri dari lima puluh lima 'pejabat politik' pada akhir Mei tanpa berkonsultasi pada komando angkatan bersenjata. Para perwira baru mendidik setiap unit TRI dengan tujuan revolusi.[31]

Namun, ia tak dapat memberlakukan gagasan semacam itu terhadap panglima unit, terutama Sudirman dan orang-orang PETA terlatih lainnya yang membenci julukan 'fasis' yang ditujukan kepada mereka. Pemikiran Marxis dari akademi-akademi militer baru bentukan Amir berkonflik dengan pandangan angkatan bersenjata populer yang berada di atas politik dan kebutuhan untuk memainkan peran-peran bersatu dalam perjuangan nasional. Kepemimpinan angkatan darat kemudian menolak upaya untuk memperkenalkan ideologi partisan dan keberpihakan.[32] Antagonisme antara pemerintahan dan perwira PETA terlatih, memaksa Amir untuk mendapatkan basis dukungan bersenjata di tempat lain. Ia menyekutukan dirinya sendiri dengan para perwira didikan Belanda yang simpatik, seperti Divisi Siliwangi Jawa Barat yang dikomandani oleh Letnan KNIL A.H. Nasution pada Mei 1946. Sumber dukungan lain untuk kabinet baru adalah para pemuda bersenjata yang lebih terdidik dan bersimpati terhadap pandangan 'anti-fasis' dari kabinet tersebut. Dengan kepribadian yang menarik dan keterampilan berpidato yang persuasif, Amir memiliki lebih banyak waktu dan kemampuan ketimbang Sjahrir untuk pembangunan partai, dan ia memainkan bagian utama dalam membujuk pasukan pemuda tersebut.[33]

Perdana Menteri sunting

 
Amir Sjarifuddin, c. 1947
Masa jabatan perdana menteri
Amir Sjarifuddin Harahap

3 Juli 1947 – 29 Januari 1948
Presiden
Kabinet
PartaiSosialis (PS)
Pengganti
Petahana
 
Pengganti
Petahana
 


Sebuah perpecahan antara para pendukung Amir dan Perdana Menteri Sjahrir makin berlarut-larut pada 1947. Telah lama ada hubungan saling menguntungkan antara Sjahrir dan kaum komunis yang kembali dari Belanda pada 1946. Pemudaran sebab 'anti-fasis' membuat kecurigaan semakin jelas. Pra-pendudukan Sjahrir dengan diplomasi, isolasi fisiknya di Jakarta dari Jawa Tengah yang meresapi revolusi, dan kebenciannya terhadap pawai-pawai massa yang membolehkan para Marxis yang lebih condong ke Moskwa untuk mendapatkan lebih banyak kendali dalam Partai Sosialis dan sayap kiri secara keseluruhan. Pada Juni 1946, peningkatan isolasi Sjahrir dari koalisi mendorong faksi penentangnya untuk menggulingkannya. Kelompok tersebut memberikan dukungan mereka terhadap Amir, pemimpin Sosialis alternatif.[34] Pada 26 June 1947, Amir, bersama dengan dua Menteri lainnya yang lebih condong ke Moskwa, Abdulmadjid Djojoadiningrat, dan Wikana, dibekingi oleh sebagian besar sayap kiri, menarik dukungannya terhadap Sjahrir. Alasan mereka adalah bahwa Sjahrir telah mengkompromikan Republik selaras dengan arah diplomasinya – dakwaan yang sama yang menggulingkan setiap pemerintahan revolusioner – dan bahwa dalam menghadapi pertikaian Belanda, konsiliasi semacam itu nampak sia-sia.[34]

Setelah pengunduran diri Sjahrir dari jabatan perdana menteri, pemerintahan baru perlu dibentuk. Pada 30 Juni 1947, Presiden Sukarno mengangkat Amir, Adnan Kapau Gani, Soekiman Wirjosandjojo, dan Setyadjit Soegondo untuk membentuk kabinet baru.[35] Pada negosiasi tersebut, Amir mendorong koalisi besar namun mengalami penentangan dari Muslim Masyumi yang menghindarkan pemimpinnya, Soekiman, serta berbagai 'sosialis relijius' pro-Sjahrir dari kabinet sebelumnya untuk bergabung dengan kabinet yang baru.[36] Faksi Masyumi berpengaruh pada masa sebelumnya, seperti faksi Wondoamiseno, memberikan dukungan. Meskipun sekutu komunis Amir mengendalikan 10% dari tiga puluh empat dengan Kementerian Pertahanan Amir sebagai unsur penting tunggal mereka, kabinet tersebut menjadi titik tertinggi dari pengaruh komunis ortodoks dalam Revolusi.[37]

Pada 3 Juli 1947, Amir diangkat menjadi perdana menteri, bersama dengan kabinetnya, yang dikenal sebagai Kabinet Amir Sjarifuddin I. Ia juga terus menjabat sebagai menteri secara berkelanjutan.[13] Terdapat rumor soal pelantikan Amir sebagai perdana menteri, yang berdasarkan pada anggapan bahwa ia akan dibutuhkan dalam negosiasi dengan Belanda. Dalam menjalankan pemerintahan, ia melantik Adnan Kapau Gani sebagai orang kepercayaan de facto-nya dalam kaitannya dengan urusan luar negeri.[38] Setelah pemberlakuan Perjanjian Renville, dimana Amir menerima banyak cemoohan, para anggota kabinet PNI dam Masyumi mundur pada awal Januari 1948. Pada 23 Januari, karena kehilangan basis dukungan, Amir mundur dari jabatan kementerian.[39]

Tragedi Madiun dan kematian sunting

 
Amir Sjarifuddin (mengenakan kacamata), setelah ditangkap oleh militer Indonesia, c. 1948

Setelah kejatuhan kabinet II, pada 26 Januari 1948, kabinet baru dibentuk, yang dikepalai oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Perlawanan terhadap Kabinet Hatta memicu sebuah organisasi baru, yang dikenal sebagai Front Demokrasi Rakyat,[40] yang mulai mengadakan unjuk rasa, menuntut pengembalian Amir ke Kabinet dan jabatan Menteri Pertahanan. Amir bergabung dengan kelompok tersebut, dan sangat mengkritik Hatta dan kabinetnya, mencapnya sebagai "Kabinet Masyumi", karena kabinet tersebut didominasi oleh para anggota Partai Masyumi.[41] Sementara itu, partai-partai dan organisasi-organisasi sayap kiri lainnya mendukung pemerintah bergabung dalam organisasi tandingan, yang dikenal sebagai Gerakan Revolusioner Rakyat (GGR).[40]

Namun, upaya Amir untuk menggulingkan Kabinet Hatta sia-sia, karena Kabinet Hatta berlanjut bersamaan dengan empat program utamanya.[40] Sepanjang bulan-bulan berikutnya, situasi politik masih tegang, sementara situasi ekonomi makin menurun, dan hubungan dengan Belanda, setelah Perjanjian Renville tak nampak makin baik.[42] Pada Agustus 1948, Musso, pemimpin PKI pada 1920an, datang dari pengasingannya di Uni Soviet ke Yogyakarta. Amir dan para pemimpin Front Demokrasi Rakyat secara langsung menerima otoritasnya, dan Amir menyatakan diri menjadi anggota PKI bawah tanah sejak 1935. Mengikuti pemikiran Stalinis Musso soal partai tunggal kelas buruh, partai-partai sayap kiri besar di Front tersebut meleburkan diri mereka sendiri ke dalam PKI.[43]

Sementara itu, serangan-serangan buruh dilakukan di Delanggu, Surakarta. Serangan-serangan tersebut berpundak menjadi unjuk rasa, antara komunis dan pasukan pro-pemerintah, sebelum dengan cepat meningkat sepenuhnya menjadi perang terbuka. Pada 18 September 1948, sekelompok pendukung PKI merebut titik-titik strategis di wilayah Madiun dalam apa yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Madiun. Mereka membunuh para pejabat pro-pemerintah, dan mengumumkan pemerintahan "Front Nasional" yang baru melalui radio. Diredam mendadak karena upaya kudeta yang terlalu dini, para pemimpin Komunis, termasuk Amir, dibawa ke Madiun untuk didakwa pemerintah. Keesokan harinya, sekitar 200 pemimpin pro-PKI dan kelompok sayap kiri lainnya yang masih di Yogyakarta ditangkap oleh pemerintah Republik, dengan Sukarno mengecam para pemberontak Madiun lewat radio, dan menyerukan agar rakyat Indonesia berpawai melawan Musso dan rencana-rencananya untuk membentuk pemerintahan bergaya Soviet. Musso membalas di radio bahwa ia akan berjuang sampai akhir, sementara, cabang-cabang Front Demokrasi Rakyat di Banten dan Sumatra mengumumkan bahwa mereka tak melakukan pemberontakan.[44]

Berpekan-pekan berikutnya, pasukan pro-pemerintah, pimpinan Divisi Siliwangi, berpawai ke Madiun dimana terdapat sekitar 5.000-10.000 prajurit pro-PKI. Ketika para pemberontak menarik diri, mereka membunuh para pemimpin dan pejabat Masyumi dan PNI, dan di desa-desa terjadi pembunuhan terhadap santri-abangan. Pada 30 September, para pemberontak meninggalkan Madiun, dan ditekan oleh pasukan pro-pemerintah sampai wilayah pinggiran. Musso dibunuh pada 31 Oktober saat berniat untuk kabur dari tahanan.[44] Amir dan 300 prajurit pemberontak ditangkap oleh pasukan Siliwangi pada 1 Desember. Sekitar 35.000 orang kemudian ditangkap. 8.000 orang diyakini terbunuh dalam tragedi tersebut. Sebagai bagian dari serangan militer besar kedua melawan Republik, pada 19 Desember pasukan Belanda menduduki kota Yogyakarta dan pemerintahan Republik ditangkap, yang meliputi Sukarno, Hatta, Agus Salim, dan Sjahrir. Pasukan Republik menarik diri ke wilayah pinggiran memulai perang gerilya skala penuh terhadap setiap sudut Garis Van Mook. Alih-alih membebaskan mereka, pasukan bersenjata membunuh Amir dan lima puluh tahanan sayap kiri lainnya ketika mereka menarik diri dari Yogyakarta pada sore hari.[45]

Lihat pula sunting

Catatan sunting

  1. ^ Kebanyakan pemimpin nasionalis Indonesia memandang pendudukan Indonesia oleh Jepang sebagai sebuah kesempatan untuk memajukan niat kemerdekaan mereka. Kerjasama mereka berikutnya dengan Jepang dipandang oleh pasukan Belanda yang kembali sebagai 'kolaborator', dan kemudian sebagai para pemimpin tak sah, dalam upaya untuk menaungi dukungan untuk Republik yang baru diproklamasikan.[22]

Referensi sunting

Kutipan sunting

  1. ^ a b c Purba 2013, hlm. 2.
  2. ^ a b Leclerc 1982, hlm. 54 – 59.
  3. ^ a b Vickers 2005, hlm. 86.
  4. ^ a b c Purba 2013, hlm. 3.
  5. ^ Leclerc 1982, hlm. 60 – 66.
  6. ^ a b c Leclerc 1982, hlm. 66 – 76.
  7. ^ Van Klinken 2010, hlm. 171 – 172.
  8. ^ Van Klinken 2010, hlm. 174.
  9. ^ Van Klinken 2010, hlm. 178.
  10. ^ a b Van Klinken 2003, hlm. 129.
  11. ^ Leclerc 1982, hlm. 38.
  12. ^ Purba 2013, hlm. 10.
  13. ^ a b Vickers 2005, hlm. 226.
  14. ^ a b c Reid 1974, hlm. 9.
  15. ^ Purba 2013, hlm. 34.
  16. ^ Vickers 2005, hlm. 106.
  17. ^ a b Purba 2013, hlm. 40.
  18. ^ Purba 2013, hlm. 45.
  19. ^ Reid 1974, hlm. 12.
  20. ^ a b c Reid 1974, hlm. 83.
  21. ^ Purba 2013, hlm. 41.
  22. ^ a b Reid 1974, hlm. 32.
  23. ^ Purba 2013, hlm. 46.
  24. ^ a b Purba 2013, hlm. 47.
  25. ^ Reid 1974, hlm. 69.
  26. ^ a b c Reid 1974, hlm. 52.
  27. ^ Ricklefs 2008, hlm. 352.
  28. ^ Reid 1974, hlm. 17.
  29. ^ Purba 2013, hlm. 49.
  30. ^ Cribb 2008, hlm. 93 – 94.
  31. ^ a b Reid 1974, hlm. 93 – 94.
  32. ^ Reid 1974, hlm. 79.
  33. ^ Reid 1974, hlm. 78 – 79.
  34. ^ a b Ricklefs 2008, hlm. 360 – 364.
  35. ^ Toer 1947, hlm. 202.
  36. ^ Ricklefs 2008, hlm. 362.
  37. ^ Reid 1974, hlm. 100.
  38. ^ Purba 2013, hlm. 53.
  39. ^ Ricklefs 2008, hlm. 364.
  40. ^ a b c Indonesian Army 1968, hlm. 126.
  41. ^ Dimyati 1951, hlm. 161.
  42. ^ Indonesian Army 1968, hlm. 140 – 141.
  43. ^ Ricklefs 2008, hlm. 367.
  44. ^ a b Ricklefs 2008, hlm. 368.
  45. ^ Reid 1974, hlm. 156.

Sumber sunting

Pranala luar sunting

Jabatan politik
Didahului oleh:
Sutan Sjahrir
Menteri Menteri Indonesia
3 Juli 1947 – 29 Januari 1948
Diteruskan oleh:
Mohammad Hatta
Didahului oleh:
Supriyadi
Menteri Pertahanan
14 November 1945 – 29 Januari 1948
Diteruskan oleh:
Hamengkubuwono IX (pelaksana tugas)
Didahului oleh:
Jabatan dibentuk
Menteri Penerangan
2 September 1945 – 12 Maret 1946
Diteruskan oleh:
Mohammad Natsir


[[Kategori:Tokoh dari Medan]] [[Kategori:Perdana Menteri Indonesia]]