Biologi sel

anatomi
(Dialihkan dari Sitologi)

Biologi sel atau sitologi adalah salah satu cabang biologi yang secara khusus mempelajari tentang sel dengan memanfaatkan penggunaan lensa optik dan mikroskop. Perkembangan kajian keilmuan biologi sel diawali dari pengamatan sel oleh Robert Hooke pada tahun 1665 melalui kaca pembesar hingga penemuan mikroskop sederhana oleh Antony van Leeuwenhoek pada tahun 1674 untuk mengamati mikroorganisme.[1] Kajian utama di dalam biologi sel ialah pengamatan sel sebagai satuan yang utuh, interaksi molekuler antarsel dan rekasi kimia yang terjadi di dalam sel.[2] Di dalam biologi sel, objek pengamatan meliputi asam amino, protein, virus, bakteri, dan sel.[3] Satuan pengukuran yang digunakan dalam pengamatan biologi sel ialah mikrometer atau nanometer.[4]

Sebuah sel

Sejarah

sunting

Kajian awal terkait keilmuan biologi sel dimulai dengan penemuan mikroskop cahaya pada awal abad ke-19 Masehi. Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop menunjukkan bahwa semua jaringan pada tumbuhan dan hewan ternyata tersusun dari sel yang merupakan bagian-bagian terkecil. Perkembangan keilmuan biologi sel berlanjut setelah diterbitkannya penemuan oleh Matthias Jacob Schleiden dan Theodor Schwann pada tahun 1838 yang dikenal sebagai teori sel.[5]

Bidang kajian

sunting

Teori sel

sunting

Sel merupakan kumpulan materi paling sederhana yang dapat hidup di dalam tubuh makhluk hidup. Semua makhluk hidup tersusun dari sel-sel yang tidak dapat dibagi lagi menjadi lebih kecil.[6] Teori sel merupakan asal-usul kajian awal dari biologi sel. Pernyataan tentang teori sel merupakan konsep dasar dari biologi yang menyatakan bahwa semua makhluk hidup terdiri dari sel dan produk sel. Sejak awal abad ke-19 Masehi, para ahli biologi mengembangkan teori sel melalui berbagai berbagai penelitian. Para ahli yang berkontribusi yaitu Mirbel (1802) Oken (1805) Lamarck (1809) Dutrochet (1824), dan Turpin (1826). Teori sel dalam bentuk yang jelas dikemukakkan oleh ahli botani bernama Schleiden (1838) dan ahli zoologi bernama Schwann (1839.[1]

Teori sel telah menyatakan bahwa setiap sel dibentuk oleh pembelahan sel lainnya. Semua penelitian biologi dilandaskan kepada teori sel. Teori sel kemudian berkembang seiring perkembangan ilmu biokimia. Dalam teori sel diketahui adanya persamaan mendasar antara susunan sel di dalam komposisi kimia dan pada aktivitas metabolisme. Teori sel juga menyatakan bahwa kegiatan dan interaksi antarsel menghasilkan fungsi organisme secara keseluruhan.[7]

Teori sel terdiri dari beberapa pernyataan yang dirumuskan sebagai berikut: [8]

  1. Setiap organisme yang hidup tersusun dari satu atau lebih sel.
  2. Sebagai bagian dari organisme multiseluler, sel merupakan kesatuan struktural, fungsional, dan unit terkecil.
  3. Jumlah sel bertambah melalui pembelahan sel yang sebelumnya hidup, sehingga semua sel hidup berasal dari sel yang sebelumnya hidup.
  4. Sel termasuk dalam unit aktifitas biologi yang dapat melakukan reproduksi sendiri pada medium di luar makhluk hidup. Reproduksi sel dibatasi oleh membran semipermeabel.
  5. Selama proses pembelahan, sel mewariskan suatu materi tertentu kepada keturunannya.

Objek pengamatan

sunting

Sel adalah kumpulan materi paling sederhana yang dapat hidup di dalam tubuh organisme. Fungsi dari sel adalah menjadi unit penyusun semua makhluk hidup. Sel mampu melakukan semua aktivitas kehidupan pada makhluk hidup. Pertahanan kehidupan yang sebagian besar merupakan reaksi kimia dilakukan dan berlangsung di dalam sel. Sebagian besar makhluk hidup termasuk organisme uniseluler yang tersusun atas sel tunggal, misalnya bakteri dan amuba. Sebagian lainnya merupakan organisme multiseluler yang tersusun dari banyak sel, seperti tumbuhan, hewan, dan manusia. Tiap jenis sel memiliki fungsinya masing-masing. Pembentukan sel baru di seluruh tubuh organisme merupakan hasil pembelahan dari satu sel. Penamaan sel berasal dari bahasa latin cella, yang berarti ruangan kecil. Sel pertama kali ditemukan oleh Robert Hooke melalui pengamatan terhadap sayatan gabus yang memiliki ruangan-ruangan kecil yang menyusun gabus.[9]

Proses-proses

sunting

Pergerakan protein

sunting

Protein disintesis oleh ribosom di sitoplasma. Proses tersebut juga dikenal sebagai translasi protein atau biosintesis protein. Beberapa jenis protein, misalnyaprotein yang akan digabungkan kepada membran sel (protein membran), ditranspor ke retikulum endoplasma (RE) selama proses sintesisnya dan kemudian diproses lebih lanjut di badan Golgi. Dari badan Golgi, protein membran dapat bergerak ke membran plasma (membran sel), ke kompartemen subselular lainnya, atau dapat pula disekresikan ke luar sel. Retikulum endoplasma dapat dianggap sebagai "kompartemen tempat sintesis protein membran", sedangkan badan Golgi dapat dianggap sebagai "kompartemen tempat pemrosesan protein membran". Terdapat aliran protein semi-konstan melalui kompartemen-kompartemen tersebut. Protein-protein yang terdapat pada RE dan badan Golgi berasosiasi dengan protein-protein lain namun tetap terdapat pada kompartemennya masing-masing. Protein-protein lain "mengalir" melalui RE dan badan Golgi ke membran plasma. Dari membran plasma, protein kemudian pada akhirnya diuraikan kembali di dalam kompartemen intraselular lisosom menjadi asam amino-asam amino penyusunnya.

Teknik pengamatan

sunting

Mikroskopik

sunting

Pengamatan dan visualiasi sel dilakukan dengan menggunakan mikroskop. Pertimbangan utama dalam pemilihan jenis mikroskop didasari pada kemampuan resolusi atau daya pisah terhadao bagian-bagian yang perlu diamati dari sel. Teknik pengamatan dengan mikroskop dapat dilakukan dengan memberikan pewarnaan kontras pada bagian sel yang akan diamati dan teknik pencahayaan yang tepat.[10] Biologi sel menggunakan mikroskop untuk mengamati sel yang memiiki bentuk sederhana. Batas pengamatan dengan mikroskop yaitu ukuran sel yang mikroskopis.[11]

Isolasi sel

sunting

Yang dimaksud dengan isolasi sel adalah proses pengambilan suatu partikel sel dari tempat asalnya untuk diteliti lebih lanjut. Sel dapat diisolasi dari suspensi jaringan.

Isolasi sel dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

1. Fluorescence-Activated Cell Sorter

Prinsip metode ini ialah menggunakan antibodi yang berikatan dengan zat fluoresen untuk melabel sel spesifik. Suspensi sel dilewatkan pada sinar laser dan dibaca oleh detektor. Suspensi yang mengandung sel diberi sinyal positif atau negatif bergantung pada selnya mengandung zat fluoresen atau tidak. Suspensi kemudian melewati aliran listrik dan dipisahkan ke tempat masing-masing sesuai muatannya.

2. Laser Capture Microdissection

Prinsip metode ini menggunakan laser untuk memotong bagian tertentu dan memindahkannya ke tempat lain, contohnya memisahkan sel tumor dari jaringannya.

Pembiakan sel

sunting

Setelah diisolasi, sel ditumbuhkan (diperbanyak) dengan cara in vitro (menggunakan media) atau in vivo (melibatkan sel hidup).

Ada 2 macam biakan atau kultur, yaitu biakan primer dan biakan sekunder. Biakan primer ialah biakan yang diambil langsung dari jaringan organisme tanpa proliferasi sel secara in vitro. Sementara itu, biakan sekunder ialah biakan yang dikembangbiakkan dari biakan primer, biasanya di-refresh dalam jangka waktu tertentu.

Hibridisasi sel

sunting

Sel hibrid adalah gabungan dua sel berbeda yang dengan hasil akhir satu inti sel. Tujuan dibuatnya sel hibrid adalah untuk membentuk antibodi monoklonal.

Fraksinasi sel

sunting

Fraksinasi sel ialah pemisahan sel menjadi organel dan molekul, biasa dilakukan dengan sentrifugasi. Sentifugasi merupakan tahap pertama dalam fraksinasi, memisahkan organel berdasarkan ukuran dan densitasnya. Prinsip sentrifugasi ialah bahwa untuk memperoleh organel yang besar, diperlukan kecepatan sentrifugasi yang rendah, dan sebaliknya.

Alat pengamatan

sunting

Mikroskop majemuk dua lensa

sunting

Mikroskop majemuk dengan dua lensa telah ditemukan pada akhir abad ke-16 Masehi. Pengembangan mikroskop majemuk dilakukan di Belanda, Italia, dan Inggris hingga awal abad ke-17 Masehi. Pada pertengahan abad ke 17, Robert Hooke mengembangkan mikroskop majemuk yang memiliki sumber cahaya sendiri. Mikroskop majemuk buatan Hooke mampu menghasilkan perbesaran citra sampai 30 kali lipat.[12]

Mikroskop cahaya

sunting

Sel hewan tidak memiliki warna. Pengenalan ciri-ciri utama dari sel hewan baru dapat diamati oleh para peneliti setelah dikembangkannya berbagai bahan pewarna. Zat pewarna yang digunakan dapat menimbulkan kontras secukupnya pada bagian-bagian sel. Pada awal tahun 1940-an, para peneliti menciptakan mikroskop elektron dengan perbesaran dengan kelipatan yang sangat banyak. Mikroskop elektron juga tidak mampu digunakan secara langsung untuk mengamati sel. Pengamatan terhadap struktur sel yang rumit dilakukan setelah pengembangan teknik-teknik baru untuk pengawetan dan pewarnaan sel.[5] Pengamatan sel hidup tanpa pewarnaan dapat diamati secara rinci setelah dibuatnya mikroskop cahaya interferensi oleh Lebedeff pada tahun 1930 dan mikroskop cahaya kontras fasa oleh Zernicke pada tahun 1932. Pada tahun 1941, Coons melakukan deteksi antigen dalam sel menggunakan antibodi yang dikombinasikan denga zat pewarna berpendar.[13] Nomarski kemudian menciptakan dan mematenkan sistem kontras interferensi diferensial untuk mikroskop cahaya rancangannya pada tahun 1952. Penyempurnaan kontras video pada mikroskop cahaya dilakukan oleh Allen dan Inoue pada tahun 1981.[14]

Mikroskop cahaya mampu mengamati panjang gelombang cahaya tampak. Objek terkecil yang mampu dilihat dengan jelas memiliki rentang ukuran antara 0,4 mikrometer untuk warna ungu hingga 0,7 mikrometer untuk warna merah gelap. Mikroskop cahaya secara praktis dapt mengamati bakteri dan mitokondria yang memiliki lebar kira-kira 500 nanometer. Pengamatan melalui mikroskop cahaya harus memberikan fiksasi terlebih dahulu kepada sel yang diamati. Sel harus diwarnai dan harus dalam kondisi tidak bergerak, mati, tetapi awet. Setelah fiksasi, jaringan dipotong-potong menjadi sayatan-sayatan yang sangat tipis dengan sebuah mikrotom agar sampel jaringan tidak terlalu tebal. Pemotongan jaringan hanya dilakukan dalam pengamatan sel pada resolusi yang tinggi.[13]

Referensi

sunting
  1. ^ a b Susilowati 2019, hlm. 44.
  2. ^ Susilawati dan Nurhasanah 2018, hlm. 5.
  3. ^ Rahmadina dan Febriani 2017, hlm. 6.
  4. ^ Rahmadina dan Febriani 2017, hlm. 7.
  5. ^ a b Kurniati 2020, hlm. 14.
  6. ^ Susilawati dan Nurhasanah 2018, hlm. 7.
  7. ^ Susilowati 2019, hlm. 44-45.
  8. ^ Rahmadina dan Febriani 2017, hlm. 5.
  9. ^ Waluyo dan Wahyuni 2020, hlm. 3.
  10. ^ Lukitasari 2015, hlm. 4.
  11. ^ Lukitasari 2015, hlm. 5.
  12. ^ Waluyo dan Wahyuni 2020, hlm. 4.
  13. ^ a b Kurniati 2020, hlm. 16.
  14. ^ Kurniati 2020, hlm. 17.

Daftar pustaka

sunting
  1. Kurniati, Tuti (2020). Biologi Sel (PDF). Bandung: CV. Cendekia Press. ISBN 978-623-7438-83-0. 
  2. Lukitasari, Marheny (2015). Biologi Sel (PDF). Malang: Universitas Negeri Malang. ISBN 978-979-495-760-8. 
  3. Rahmadina dan Febriani, H. (2017). Biologi Sel: Unit Terkecil Penyusunan Tubuh Makhluk Hidup (PDF). Surabaya: CV. Selembar Papyrus. ISBN 978 602 50521 3 2. 
  4. Susilawati dan Nurhasanah, B. (2018). Biologi Dasar Terintegrasi (PDF). Pekanbaru: Kreasi Edukasi. ISBN 978-602-6879-99-8. 
  5. Susilowati, Rina Priastini (2019). Kajian Sel dan Molekuler: Hubungannya dengan Penyakit pada Manusia (PDF). Banyumas: CV. Pena Persada. ISBN 978-979-3025-78-0. 
  6. Waluyo, J., dan Wahyuni, D. (2020). Biologi Dasar (PDF). Yogyakarta: CV. Laksbang Pressindo. ISBN 978-623-7771-39-5. 

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting