Hak asasi manusia
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Danu Widjajanto (Kontrib • Log) 2125 hari 1243 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Hak |
---|
Perbedaan teoretis |
Hak asasi manusia |
Berdasarkan penerima |
Kelompok hak lainnya |
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang dianggap melekat pada diri semua manusia tanpa memandang latar belakang suku, agama, bahasa, etnis, atau status lainnya. Hak asasi manusia dilindungi sebagai hak ikhtiyari dalam hukum nasional maupun internasional. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut. Hak asasi manusia berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal. HAM juga bersifat egaliter dalam artian hak-hak yang dimiliki semua orang itu sama. Hak asasi manusia tidak boleh dilanggar, kecuali jika hal tersebut diputuskan secara adil melalui proses hukum, tetapi ada pula sejumlah hak yang dianggap mutlak dalam artian tidak dapat dilanggar dalam keadaan apapun, misalnya hak untuk tidak disiksa.
Doktrin hak asasi manusia sangat berpengaruh di berbagai belahan dunia. Namun, klaim-klaim mengenai hak asasi manusia juga memicu keraguan dan perdebatan tentang isi, hakikat, dan pembenaran hak asasi manusia sampai saat ini. Walaupun terdapat konsensus bahwa hak asasi manusia meliputi berbagai macam hak, seperti hak hidup, hak untuk mendapatkan proses hukum yang adil, perlindungan dari perbudakan, kebebasan berbicara, atau hak atas pendidikan, terdapat perdebatan mengenai hak mana yang perlu dimasukkan ke dalam kerangka umum hak asasi manusia.
Masyarakat kuno tidak memiliki gagasan mengenai hak asasi manusia universal seperti halnya masyarakat modern. Pelopor sebenarnya dari wacana hak asasi manusia adalah konsep hak kodrati yang muncul pada Abad Pencerahan, yang kemudian memengaruhi wacana politik selama Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis. Konsep hak asasi manusia modern muncul pada paruh kedua abad kedua puluh, terutama setelah dirumuskannya Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM) di Paris pada tahun 1948.
Sejarah
Upaya untuk menelusuri sejarah hak asasi manusia terganjal oleh perdebatan mengenai titik awalnya.[2][3] Secara umum dan abstrak, nilai-nilai yang mendasari hak asasi manusia (seperti keadilan, kesetaraan, dan martabat) dapat ditemukan dalam berbagai masyarakat dalam sejarah.[4] Konsep-konsep yang terkait dengan hak asasi manusia sudah dapat ditelusuri paling tidak semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Hammurabi di Babilonia pada abad ke-18 SM, dan juga dengan munculnya kitab-kitab agama.[2] Jika yang ingin ditilik adalah sejarah gagasan bahwa semua manusia memiliki hak alami, maka konsep ini sudah ada setidaknya dari zaman Yunani Kuno dengan munculnya pemikiran filsuf-filsuf Stoikisme.[2] Pada zaman Romawi, terdapat pula konsep yang serupa dengan ius humanum, walaupun hak ini bukanlah hak yang dianggap alamiah dan berlaku untuk semua manusia, tetapi merupakan hak yang diciptakan oleh manusia.[3] Akan tetapi, apabila sejarah HAM yang dimaksud adalah sejarah HAM modern yang ditegakkan secara hukum di tingkatan nasional dan internasional saat ini, maka dapat dikatakan bahwa sejarahnya bermula dari piagam-piagam yang mencantumkan kebebasan-kebebasan yang melindungi pemilik hak dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin, dan biasanya dokumen yang dianggap sebagai titik awalnya adalah Magna Carta di Kerajaan Inggris dari tahun 1215.[2][4] Namun, Magna Carta pun masih dianggap bermasalah, karena dokumen ini hanya melindungi para bangsawan yang kuat dari kekuasaan Raja Inggris.[1] Maka dari itu, masa yang umumnya dianggap sangat berpengaruh terhadap konsep HAM modern yang mencakup semua umat manusia adalah Abad Pencerahan pada abad ke-18 dengan munculnya tulisan-tulisan karya John Locke yang terkait dengan hukum kodrat.[4] Pakar hak asasi manusia Eva Brems bahkan membuat pernyataan yang lebih keras dengan menyatakan bahwa "Sumber rumusan hak asasi manusia di tingkatan internasional saat ini sulit untuk ditilik kembali ke masa sebelum Abad Pencerahan, atau di tempat di luar Eropa dan Amerika. Gagasan bahwa PUHAM berakar dari segala kebudayaan tidaklah lebih dari sekadar mitos."[5]
Para pemikir pencerahan
Thomas Hobbes menerbitkan karyanya yang berjudul Leviathan pada tahun 1651. Raja Charles I dari Inggris baru saja dipenggal dua tahun sebelumnya oleh para pendukung Parlemen yang dipimpin oleh Oliver Cromwell, dan di dalam buku tersebut, Hobbes merasakan bahwa kekuasaan absolut wajib ada, dan ia menolak gagasan mengenai pembatasan terhadap kekuasaan. Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa semua bawahan tunduk kepada penguasanya, dan ia tidak banyak bersentuhan dengan hak alami. Walaupun begitu, Hobbes meyakini bahwa penguasa harus menjalankan wewenangnya secara bertanggung jawab dan dengan mengikuti hukum Allah dan hukum kodrat. Selain itu, Hobbes dianggap berjasa karena telah memperkenalkan gagasan kontrak sosial yang menyatakan bahwa penguasa punya wewenang untuk berkuasa karena rakyat sebelumnya sudah menyatakan kesediaan mereka untuk perintah.[6]
John Locke mengembangkan gagasan ini lebih lanjut di dalam karyanya, Two Treatises of Government, yang diterbitkan pada tahun 1689. Locke dikenal dengan gagasannya mengenai hak alami bahwa manusia terlahir dengan "kebebasan sempurna" dan "hak-hak dan keistimewaan yang tak dapat dikendalikan" dalam keadaan alamiah sebelum adanya negara, dan manusia secara alamiah juga memiliki kekuatan untuk mempertahankan kehidupan, kebebasan, dan hak-hak pemilikannya dari ancaman atau serangan manusia lain.[6] Ia menolak mentah-mentah klaim bahwa manusia dapat melepaskan hak-hak alaminya; menurutnya, tidak ada orang yang bisa menyerahkan wewenang yang lebih besar daripada yang dimilikinya, dan juga tidak ada satu pun insan yang punya kekuasaan mutlak dan sewenang-wenang terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain sampai-sampai mereka dapat membunuh atau merampas hak milik orang lain. Maka dari itu, manusia dianggap tidak dapat menundukkan dirinya kepada kekuasaan sewenang-wenang orang lain, dan dari sini muncul kesimpulan bahwa manusia masih tetap mempertahankan kebebasan alamiahnya bahkan ketika mereka hidup di dalam suatu negara, dan perumusan kontrak sosial untuk mendirikan negara bukan dianggap sebagai penyerahan hak tanpa syarat seperti yang dibayangkan oleh Hobbes. Gagasan ini membuka jalan bagi kemunculan hak asasi yang melindungi seseorang dari permintaan-permintaan yang tidak berdasar dari negara.[7] Locke bahkan mengambil langkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa penguasa kadang-kadang perlu dilawan jika mereka sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya atau memakainya untuk mengakibatkan kehancuran, dan bukannya untuk kebaikan umat manusia dan perlindungan hak mereka.[6] Gagasan ini kelak tertuang di dalam mukadimah PUHAM: "Menimbang bahwa hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penindasan."[8]
Pada tahun yang sama, pemerintah Inggris mengeluarkan piagam Bill of Rights yang memberikan hak-hak yang terbatas, seperti pelarangan pengganjaran hukuman yang "lalim dan tak lazim". Namun, sumbangsih terbesar piagam ini adalah dalam menetapkan konsep kedaulatan parlemen secara konstitusional, dan berdasarkan pemahaman masyarakat modern, piagam ini tidak memenuhi syarat sebagai piagam hak asasi manusia. Walaupun begitu, piagam ini tetap dianggap penting karena telah memastikan gagasan bahwa kekuasaan mutlak di tangan negara perlu dibatasi demi kepentingan individu-individu di dalamnya.[1]
Menjadi hukum positif
Gagasan Locke mengenai hak kodrati untuk pertama kalinya dijawantahkan secara hukum di Amerika Serikat. Deklarasi Hak-Hak Virginia yang dikeluarkan pada tanggal 12 Juni 1776 dianggap sebagai piagam hak pertama yang sejalan dengan konsep modern; dokumen tersebut tidak hanya mengakui bahwa semua manusia itu setara, bebas, dan memiliki hak-hak yang melekat pada dirinya, tetapi juga mencantumkan daftar hak-hak yang dilindungi, seperti hak untuk memperoleh proses hukum yang semestinya dan kebebasan berekspresi.[9] Setelah itu, Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikumandangkan pada tanggal 4 Juli 1776 berisi preambul yang sangat tersohor:
Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini terbukti sendiri, bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka dianugerahi oleh Pencipta mereka hak-hak tertentu yang tidak bisa dipungkiri, diantaranya hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan. Bahwa untuk mengamankan hak-hak ini, Pemerintahan dilembagakan di antara manusia, kekuasaan mereka diperoleh dari persetujuan mereka yang diperintah; bahwa kapan saja setiap bentuk pemerintahan menghambat tujuan ini, maka hak rakyat untuk mengubah atau membubarkannya (...).[10]
Pada tahun yang sama, di tengah bergeloranya Revolusi Prancis, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara dimaklumkan oleh Majelis Nasional Prancis pada tanggal 26 Agustus 1789.[11] Deklarasi ini turut menegaskan bahwa manusia memiliki hak yang alamiah dan tidak dapat dicabut.[12] Setelah itu, di negara yang sama, muncul juga Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara 1793 dan Deklarasi Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Manusia dan Warga Negara 1795. Di Amerika Serikat, hak asasi juga diakui di tingkatan negara bagian, seperti di New York pada tahun 1777 dan Massachusetts pada tahun 1780, serta di tingkatan federal dalam bentuk Deklarasi Hak-Hak tahun 1791 yang merupakan sepuluh amandemen pertama terhadap Konstitusi Amerika Serikat.[4]
Deklarasi-deklarasi ini pada praktiknya tidak memiliki cakupan yang universal. Pada Abad Pencerahan, "manusia" dianggap sebagai laki-laki yang dapat melindungi dirinya sendiri, sehingga budak kulit hitam, perempuan, anak-anak, dan bahkan hamba tidak termasuk ke dalam cakupan. Banyak dari antara para perumus Deklarasi Hak-Hak di Amerika Serikat yang menerima institusi perbudakan dan menganggap wanita tidak layak untuk terlibat dalam urusan politik.[13] Di Prancis, walaupun para perumus Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara tahun 1789 tidak membatasi cakupannya kepada orang Prancis saja, usulan "Deklarasi Hak Asasi Wanita dan Warga Negara Perempuan" yang dicetuskan oleh Olympe de Gouges pada tahun 1791 tidak digubris.[13] Pada zaman tersebut, wanita juga dianggap memiliki kodrat irasional, sehingga Konvensi Nasional Prancis menyatakan pada tahun 1793 bahwa anak-anak, wanita, orang gila, dan tahanan tidak dianggap sebagai warga negara (untuk tahanan, sampai ia direhabilitasi).[14] Walaupun begitu, dokumen-dokumen ini tetap berhasil mengubah gagasan Locke dan filsuf-filsuf pencerahan lainnya menjadi hukum positif. Selain itu, deklarasi-deklarasi ini juga menjadi terobosan karena mampu membatasi kekuasaan negara dengan berbagai cara, termasuk dengan melindungi hak-hak individu. Tatanan konstitusi semacam ini kemudian menyebar ke negara-negara lain, seperti Belanda pada tahun 1798, Spanyol pada tahun 1812, Belgia pada tahun 1831, Liberia pada tahun 1847, Sardinia pada tahun 1848, dan Prusia pada tahun 1850.[15]
Abad ke-19 dan permulaan abad ke-20
Walaupun gagasan mengenai hak-hak dasar telah menyebar ke berbagai negara, konsep "hak asasi manusia" yang berlaku untuk semua manusia tanpa terkecuali masih jarang ditemui di hukum nasional maupun internasional pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Selain itu, gagasan hak kodrati sendiri juga tidak banyak menyita perhatian para pemikir pada abad tersebut; pemikir-pemikir politik seperti Alexis de Tocqueville, Karl Marx, dan Max Weber hanya menyebut hak asasi manusia secara sepintas dan mereka malah memandangnya dengan kritis.[16] Salah satu pemikir pada masa tersebut yang mengemukakan kritik yang keras terhadap pendekatan hak kodrati adalah filsuf Inggris Jeremy Bentham. Ia menganggap konsep hukum kodrati sebagai suatu "omong kosong", dan ia menyatakan bahwa "hak yang sesungguhnya" berasal dari "hukum yang sesungguhnya", sedangkan hak yang berasal dari "hukum imajiner" merupakan hak yang juga bersifat "imajiner".[17]
Abad ke-19 juga dikenal dengan munculnya dorongan untuk menghapuskan perbudakan, dan gerakan abolisionisme sendiri sudah diprakarsai di Inggris pada tahun 1787 dengan didirikannya Society for the Abolition of Slave Trade oleh kaum Quaker. Pada tahun 1833, Imperium Britania membebaskan semua budaknya, dan Prancis juga mengambil langkah yang sama pada tahun 1848. Amerika Serikat sendiri baru berhasil menghapuskan perbudakan pada tahun 1865 seusai perang saudara melawan konfederasi negara-negara bagian selatan yang mendukung perbudakan, sementara Rusia menghapuskan sistem perhambaan tani pada tahun 1861.[16] Namun, muncul keraguan bahwa abolisionisme benar-benar dilancarkan atas dasar moral, apalagi "hak asasi manusia". Diduga Inggris mengambil tindakan tersebut demi kepentingan ekonomi, karena kelanjutan perdagangan budak dianggap akan menguntungkan jajahan negara-negara saingan Inggris.[12] Selain itu, Inggris juga dinilai ingin menjalankan "misi pemberadaban" yang akan membuatnya seolah memiliki moral yang lebih baik daripada negara-negara Eropa lainnya. Setelah itu, pada zaman Imperialisme Baru, penolakan terhadap perbudakan sering dijadikan dalih oleh negara-negara Eropa untuk melakukan "campur tangan kemanusiaan".[18]
Konstitusi-konstitusi negara-negara Eropa pada abad ke-19 juga menghindari penyebutan konsep "hak asasi manusia" maupun "hak alami". Hak asasi manusia sudah tidak lagi disebutkan di dalam Konstitusi Prancis setelah tahun 1799 dan baru muncul lagi pada tahun 1946.[18] Di tengah bergeloranya Revolusi 1848, rancangan Konstitusi Frankfurt mengandung daftar "hak-hak dasar" (Grundrechte). Namun, seperti konstitusi-konstitusi lainnya pada zaman itu, hak-hak tersebut hanya dapat dinikmati oleh warga negara, seperti yang dapat dilihat dari namanya, Grundrechte des deutschen Volkes, sehingga hak-hak tersebut bukanlah hak yang berlaku secara universal seperti halnya hak asasi pada zaman modern. Setelah kegagalan revolusi ini, positivisme hukum berhasil menyingkirkan doktrin hukum kodrati sebagai yustifikasi untuk menganugerahkan hak. Hak asasi manusia sendiri tidak disebutkan di dalam Konstitusi Kekaisaran Jerman tahun 1871, dan daftar hak-hak dan kewajiban-kewajiban baru muncul lagi di dalam Konstitusi Republik Weimar tahun 1919.[19] Di tingkatan internasional sendiri, gagasan "hak alami" hanya dijadikan sebagai dalih untuk melancarkan misi pemberadaban.[20] Sebagai contoh, Prancis memiliki konsep mission civilisatrice sebagai pembenaran untuk "membebaskan" orang-orang Afrika dari kekuasaan pemimpin penduduk asli yang "terbelakang".[18] Pada masa itu, bangsa Eropa memang masih membedakan antara negara-negara yang "beradab" dengan masyarakat "tidak beradab" di luar Eropa dan Amerika. Hanya negara yang dianggap "beradab" yang memiliki hak, sementara wilayah masyarakat yang "tidak beradab" dapat sewaktu-waktu dicaplok oleh negara Eropa karena dianggap sebagai terra nullius.[21]
Pada masa seusai Perang Dunia I, perlindungan hak asasi manusia sama sekali tidak masuk ke dalam cakupan Piagam Liga Bangsa-Bangsa,[22] walaupun perlindungan kelompok minoritas tetap menjadi perhatian dari organisasi internasional tersebut.[23] Meskipun begitu, di tingkatan nasional, muncul pergerakan-pergerakan hak asasi manusia, seperti Fédération Internationale des Droits de l’Homme yang didirikan di Paris pada tahun 1922. Organisasi tersebut menuntut dikeluarkannya deklarasi atau piagam hak asasi manusia dunia yang bersifat mengikat. Di kota yang sama, Académie Diplomatique Internationale yang didirikan oleh sejumlah pengacara internasional pada tahun 1926 merumuskan sebuah deklarasi, yang kemudian menginspirasi Deklarasi Hak Asasi Manusia Internasional yang dikeluarkan oleh Institut Hukum Internasional di New York pada tahun 1929.[24]
Pasca Perang Dunia II
Di tengah berkecamuknya Perang Dunia II, pada Januari 1941, Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt mencetuskan Empat Kebebasan yang menurutnya perlu dijamin oleh semua negara, yaitu "kebebasan mengeluarkan pendapat", "kebebasan beribadah kepada Tuhan dengan cara masing-masing", "hak untuk bebas dari kekurangan dan kemiskinan", serta "kebebasan dari ketakutan". Pada tanggal 14 Agustus 1941, Roosevelt dan Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill mengeluarkan Deklarasi Atlantik yang mengungkapkan harapan agar "manusia di semua negeri dapat menjalani hidup mereka bebas dari rasa takut atau kekurangan."[26] Kemudian, pada awal tahun 1942, Deklarasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dikumandangkan. Deklarasi yang menjadi cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini ditandatangani oleh 47 negara yang menyatakan kesediaannya untuk mengikuti asas yang menyatakan bahwa "kemenangan mutlak atas musuh diperlukan untuk mempertahankan hidup, kebebasan, kemerdekaan, dan kebebasaan beragama, dan untuk memelihara hak asasi manusia dan keadilan di negeri mereka sendiri dan juga di negeri lain."[26] Maka dari itu, hak asasi manusia pun menjadi salah satu aspirasi yang ingin diwujudkan oleh negara-negara Sekutu setelah mengalahkan Blok Poros.[26]
Seusai perang, aspirasi ini untuk pertama kalinya dijawantahkan dalam instrumen-instrumen hukum internasional. Mukadimah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ditetapkan pada tahun 1945 mengumandangkan tekad masyarakat PBB untuk:
... menyelamatkan generasi penerus dari bencana perang, yang dua kali dalam hidup kita telah membawa kesedihan yang tak terhitung kepada umat manusia, dan menegaskan kembali keyakinan akan hak asasi manusia, atas martabat dan nilai pribadi manusia, dalam persamaan hak laki-laki dan perempuan dan bangsa-bangsa besar dan kecil, (...)[27]
Dengan ini, hak asasi manusia akhirnya menjadi perhatian masyarakat internasional, walaupun hal ini dirasa masih belum cukup, karena enam acuan terhadap istilah "hak asasi manusia" dalam pasal-pasal Piagam PBB tidak membebankan kewajiban yang besar kepada negara-negara anggota.[28] Mereka hanya diharuskan untuk mempromosikan "penghormatan hak asasi manusia seantero jagad demikian pula pengejawantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama."[27] Sebelumnya, terdapat usulan untuk mengambil langkah lebih lanjut. Chile dan Kuba bersedia menerima pasal-pasal yang menjamin hak-hak spesifik, sementara Panama pernah mengusulkan agar piagam tersebut mencantumkan daftar hak-hak asasi. Namun, usulan-usulan ini ditolak akibat kekhawatiran bahwa hal tersebut akan berdampak buruk terhadap kedaulatan masing-masing negara.[28]
Pada tahun 1946, Komisi Hak Asasi Manusia PBB dibentuk dengan tugas untuk merumuskan Piagam Hak-Hak Internasional yang berlaku di seluruh dunia tanpa mengecualikan siapapun. Komisi ini kemudian memutuskan agar piagam semacam ini terdiri dari tiga bagian, yaitu sebuah deklarasi, sebuah konvensi yang berisi kewajiban-kewajiban hukum, serta bagian yang berisi tentang sistem pengawasan dan pengendalian. Tugas untuk merumuskan piagam ini diberikan kepada sebuah komite yang terdiri dari delapan anggota asal Australia, Chile, Tiongkok, Prancis, Lebanon, Britania, Amerika Serikat, dan Uni Soviet, dan komite ini dikepalai oleh Eleanor Roosevelt. Maka dirumuskanlah Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM) yang dibuat berdasarkan rancangan dari ahli hukum Kanada John Peters Humphrey serta berdasarkan sebuah rancangan dari Britania Raya. Pada tanggal 10 Desember 1948, PUHAM diproklamasikan oleh 48 negara anggota PBB di Majelis Umum.[25]
Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia...
— Kalimat 1 dari Pembukaan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.
— Pasal 1 dari Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia PBB[8]
PUHAM diterima di Majelis Umum PBB tanpa ada negara yang menentang, walaupun enam negara komunis (Republik Sosialis Soviet Byelorusia, Cekoslowakia, Polandia, Republik Sosialis Soviet Ukraina, Uni Soviet, dan Yugoslavia), Arab Saudi, dan Afrika Selatan menyatakan abstain.[25] Namun, deklarasi ini bukanlah sebuah perjanjian internasional dan tidak memiliki kekuatan hukum. Bahkan terdapat kemungkinan bahwa ketiadaan kekuatan hukum adalah hal yang mendorong 48 negara anggota PBB pada masa itu untuk menerima deklarasi ini.[29] Walaupun begitu, seperti yang diamati oleh ahli hukum internasional asal Jerman, Christian Tomuschat, "Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, telah lahir sebuah dokumen yang menetapkan hak asasi setiap manusia, terlepas dari ras, warna kulit, seks, bahasa, atau kondisi lainnya. Bab baru dalam sejarah manusia telah dimulai pada hari itu."[30] Tahun 1948-9 juga merupakan momen yang penting bagi upaya untuk memajukan hak asasi manusia karena Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida sudah boleh ditandatangani oleh negara-negara dunia pada tanggal 11 Desember 1948, dan begitu pula dengan Konvensi-Konvensi Jenewa yang berkaitan dengan hukum perang pada tahun berikutnya.[25]
Terkait dengan piagam hak asasi manusia yang memiliki kekuatan hukum, Komisi HAM PBB baru selesai merumuskan isi dari dokumen-dokumen yang kelak akan dikenal dengan nama Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) pada tahun 1954. Namun, kedua perjanjian ini baru dapat ditandatangani oleh negara-negara anggota pada tahun 1966, dan keduanya baru mulai berlaku pada tahun 1976 setelah diratifikasi oleh 35 negara. Sejarah perumusan kedua perjanjian ini menunjukkan banyaknya penyesuaian dan kompromi yang perlu dilakukan agar dapat diterima oleh negara-negara anggota PBB.[29] Walaupun perkembangannya berlangsung lambat, kini kedua perjanjian ini telah diratifikasi oleh hampir semua negara dan menjadi bagian dari hukum internasional. Pandangan masyarakat internasional terhadap hak asasi juga telah mengalami perubahan besar, dan saat ini rezim-rezim otoriter pun tidak akan menentang pernyataan bahwa warga mereka memiliki hak-hak dasar.[31]
Landasan konseptual
Di kalangan akademisi, terdapat empat mazhab dengan perbedaan pandangan perihal hakikat daripada konsep "hak asasi manusia", yaitu mazhab "natural", "deliberatif", "protes", dan "diskursus".[32] Mazhab "natural" memakai definisi hak asasi manusia yang paling dikenal, yaitu bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh seseorang karena ia adalah seorang manusia.[32][33] Para penganut mazhab ini percaya bahwa hak asasi manusia "dianugerahkan" secara "alamiah", baik itu oleh Tuhan, alam semesta, berdasarkan nalar, atau dari sumber-sumber transendental lainnya. Bagi mereka, hak asasi manusia bersifat universal karena hak tersebut bersifat alamiah. Mereka juga berkeyakinan bahwa hak asasi manusia itu selalu ada terlepas dari pengakuan oleh masyarakat, walaupun mereka tetap menyambut kodifikasi hak asasi manusia di dalam hukum positif,[34]
Mazhab natural ini merupakan pandangan "tradisional" dalam bidang hak asasi manusia, tetapi seiring berjalannya waktu, semakin banyak yang beralih ke mazhab "deliberatif", yaitu sebuah mazhab yang menganggap hak asasi manusia sebagai nilai-nilai politik yang disepakati oleh suatu masyarakat. Mazhab ini menolak upaya untuk memasukkan unsur-unsur naturalistik ke dalam konsep hak asasi manusia. Para pendukung mazhab ini tetap ingin agar hak asasi manusia bersifat universal, tetapi mereka merasa bahwa hal ini hanya akan tercapai apabila semua orang menerima hak asasi manusia sebagai standar hukum dan politik terbaik untuk mengatur jalannya hidup masyarakat. Menurut mazhab deliberatif, salah satu cara untuk mengungkapkan nilai-nilai hak asasi manusia yang telah disepakati adalah melalui hukum tata negara.[34]
Mazhab yang ketiga, yaitu mazhab "protes", menyatakan bahwa hak asasi manusia menyampaikan klaim-klaim dari kaum miskin dan tertindas. Maka dari itu, hak asasi manusia dipandang sebagai klaim dan aspirasi yang berupaya mengubah status quo demi kepentingan kaum yang terpinggirkan.[34] Sementara itu, mazhab "diskursus" mengklaim bahwa hak asasi manusia hanya ada karena orang-orang membicarakan tentang konsep tersebut. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh yang memiliki pandangan seperti ini merasa bahwa hak asasi manusia tidaklah dianugerahkan secara alamiah. Mereka tetap mengakui bahwa hak asasi manusia telah menjadi alat untuk mengemukakan klaim-klaim politik, tetapi mereka merasa khawatir dengan "imperialisme" berupa pemaksaan hak asasi manusia, dan mereka juga berupaya menunjukkan keterbatasan sistem hak asasi manusia yang bersifat individualistik. Pada saat yang sama, ada juga dari kalangan pendukung mazhab ini yang berpandangan bahwa hak asasi manusia kadang-kadang berdampak positif, tetapi mereka masih tidak percaya kepada hak asasi manusia dan menginginkan adanya proyek emansipasi yang lebih baik.[35]
Hak Asasi Manusia | Natural | Deliberatif | Protes | Diskursus |
---|---|---|---|---|
Hakikat | Dianugerahkan | Disepakati | Diperjuangkan | Dibicarakan |
Rupa | Hak | Asas | Klaim/Aspirasi | Tergantung pencetusnya |
Fungsi | Untuk semua orang | Untuk menjalankan pemerintahan dengan adil | Terutama bagi mereka yang menderita | Seharusnya untuk yang menderita, tapi pada praktiknya tidak |
Sumber | Alam/Tuhan/nalar | Konsensus | Tradisi perjuangan sosial | Bahasa |
Bisa Menjadi Hukum? | Memang inilah tujuannya | Bisa, dan HAM biasanya memang ada dalam bentuk hukum | Perlu, tetapi hukum sering mencederai HAM | Hukum HAM itu ada, tetapi tidak mengejawantahkan sesuatu yang lebih besar |
Bersifat universal? | Ya, bagian dari struktur alam semesta | Bisa jadi, tergantung konsensus | Pada dasarnya karena penderitaan bersifat universal | Tidak, sifat universal hanya berupa dalih |
Sumber: Dembour 2010[36] |
Sebagai catatan, mazhab-mazhab ini bisa saling bertumpang tindih, atau dalam kata lain, terdapat pandangan-pandangan yang berupa penggabungan dari berbagai unsur dalam mazhab-mazhab di atas.[37]
Karakteristik
Terlepas dari perbedaan pandangan mengenai landasan konseptualnya, secara umum hak asasi manusia memiliki beberapa ciri utama. Pertama-tama, hak asasi manusia bersifat subjektif, dalam artian selalu ada yang menjadi pemilik hak. Setiap hak juga memiliki objek, misalnya "kebebasan berkumpul". Hak selalu dialamatkan kepada suatu pihak atau pihak-pihak lain, dan hak asasi manusia utamanya diarahkan kepada negara. Maka dari itu, hak asasi manusia dapat dianggap memiliki hakikat ganda dalam artian yang dikumandangkan tidak hanya keberadaan hak-hak, tetapi juga kewajiban serta pihak yang menjadi pemegang kewajiban tersebut.[38] Setiap hak juga merincikan posisi normatif pemilik hak dan pihak yang dialamatkan oleh hak tersebut. Sebagai contoh, hak untuk menikah bukan berarti bahwa setiap orang bisa mengklaim bahwa ia harus menikah.[39] Kandungan normatif dari hak tersebut menyatakan bahwa setiap orang bebas mengubah status hukum mereka untuk hidup bersama dengan orang lain yang bersedia, dan tidak ada yang bisa dipaksa untuk menikah ataupun menerima lamaran orang lain. Sebagian besar hak juga memiliki pengecualian, contonhya adalah kebebasan berkumpul yang tidak dapat menghentikan negara dalam upaya mereka untuk memberantas organisasi kriminal.[40]
Dari sudut pandang hukum internasional, penerima hak asasi manusia adalah individu, dan hak asasi hanya dapat dialamatkan kepada negara. Oleh sebab itu, hak asasi manusia tidak dapat dialamatkan kepada pihak perorangan ataupun organisasi masyarakat yang bukan bagian dari pemerintah,[41] walaupun pemerintah tetap diwajibkan untuk melindungi rakyatnya dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh swasta.[42] Hak asasi manusia pada dasarnya berlaku pada masa damai maupun perang, walaupun terdapat beberapa hak dapat ditangguhkan pelaksanaannya dalam keadaan darurat.[41] Hak asasi manusia sendiri dilindungi di tingkatan internasional dengan tujuan untuk menjaga martabat manusia, sehingga suatu hak haruslah bersifat mendasar.[43]
Proklamasi Teheran pada tahun 1968 menyatakan bahwa hak asasi manusia tidak dapat dibagi atau bersifat utuh.[44] Dalam Deklarasi dan Program Aksi Wina yang dikumandangkan pada tahun 1993, negara-negara juga mengakui bahwa hak asasi manusia bersifat "universal, tidak dapat dibagi, saling bergantung, dan saling berhubungan".[45] Hal ini ditegaskan kembali dalam Pertemuan Puncak Dunia 2005 dan juga oleh Resolusi Majelis Umum PBB tahun 2006 yang mendirikan Dewan Hak Asasi Manusia PBB.[46] Selain itu, Deklarasi dan Program Aksi Wina juga menyatakan bahwa "penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar tanpa membeda-bedakan atas dasar apapun merupakan aturan dasar hukum hak asasi manusia internasional",[47] dan instrumen-instrumen hak asasi manusia di tingkatan internasional menjamin hak kesetaraan dan non-diskriminasi.[48]
Kategorisasi
Meskipun hak asasi manusia pada hakikatnya bersifat utuh, kategorisasi dapat dilakukan atas dasar konseptual. Dalam penerapannya, hak asasi manusia tetap tidak dapat dipecah-pecah dan harus dilihat secara keseluruhan.[49]
Hak sipil dan politik / hak ekonomi, sosial, dan budaya
Hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi "hak sipil dan politik" dan "hak ekonomi, sosial, dan budaya".[50] Pada dasarnya, hak ekonomi, sosial, dan budaya berurusan dengan hal-hal seperti tempat kerja, jaminan sosial, pangan, papan, air, kesehatan, dan pendidikan.[51] Oleh sebab itu, hak ekonomi, sosial, dan budaya membutuhkan investasi yang besar dari negara, sehingga hak-hak tersebut tidak dapat diwujudkan dalam sekejap.[52][53] ICESCR mengakui kenyataan ini, dan Pasal 2 ICESCR hanya mengharuskan negara untuk mengupayakan "perwujudan progresif" (progressive realization):[50]
Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini, berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dibidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk dengan pengambilan langkah-langkah legislatif.[54]
Di sisi lain, hak-hak sipil dan politik hanya mewajibkan negara untuk tidak melanggar kebebasan individu. Contohnya, negara dapat dengan mudah menghormati hak hidup dengan tidak membantai rakyatnya, dan pemerintah juga tidak akan melanggar hak kebebasan berpendapat jika mereka tidak membredel media yang tidak disukainya. Dalam kata lain, kewajiban-kewajiban yang terkandung di dalam ICCPR bersifat langsung (immediate).[50] Maka dari itu, perbedaan di antara keduanya berkenaan dengan kewajiban yang diemban oleh negara sehubungan dengan kedua jenis hak tersebut.[50]
Klasifikasi semacam ini sebenarnya tidak terkandung di dalam PUHAM, tetapi ketegangan antara Blok Barat dan Timur pada masa Perang Dingin mengakibatkan kemunculan kedua kategori ini. Negara-negara Barat yang memiliki ekonomi pasar mementingkan hak-hak sipil dan politik, sementara negara-negara komunis di Blok Timur mempunyai ekonomi yang direncanakan dari pusat dan lebih mengutamakan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hasilnya adalah dua perjanjian hak asasi manusia internasional yang terpisah, yaitu ICCPR dan ICESCR.[52] Saat ini perbedaan di antara keduanya sudah lagi tidak dianggap besar, dan bahkan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia menganggapnya sebagai perbedaan yang dibuat-buat dan kontraproduktif.[55] Sehubungan dengan kewajiban negara, ICESCR juga mengandung berbagai kewajiban dengan efek langsung (immediate effect). Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya di dalam General Comment 3 memberikan contoh berupa penghapusan diskriminasi dalam upaya perwujudan hak-hak di dalam ICESCR sesuai dengan Pasal 2(2) dan 3, hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh dan untuk berdemonstrasi dalam Pasal 8, serta perlindungan anak-anak dan pemuda dari eksploitasi ekonomi dan sosial dalam Pasal 10(3).[50] Berbagai kewajiban di dalam ICCPR juga membutuhkan investasi dari negara, seperti pendirian sistem peradilan, pembangunan penjara yang memenuhi standar minimal untuk tahanan, atau pemberian bantuan hukum.[52] Maka dari itu, secara konseptual, tidak ada lagi batas yang jelas di antara kedua kategori ini, walaupun hak ekonomi, sosial, dan budaya lebih sering menuai kritikan karena dianggap sebagai sekadar "aspirasi" tanpa bisa ditegakkan secara hukum.[53]
Hak generasi pertama, kedua, dan ketiga
Hak asasi manusia juga dapat digolongkan berdasarkan generasi. Kategorisasi ini pertama kali dicetuskan oleh pakar hak asasi manusia Ceko-Prancis Karel Vasak.[56] Berdasarkan klasifikasi ini, terdapat tiga jenis hak, yakni hak generasi pertama, kedua, dan ketiga. Hak generasi pertama adalah hak sipil dan politik yang melindungi kebebasan sipil. Hak-hak ini berasal dari deklarasi-deklarasi hak asasi manusia yang dikeluarkan di Amerika Serikat dan Prancis pada akhir abad ke-18. Kemudian, hak generasi kedua pada dasarnya adalah hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang dimaksudkan agar individu dapat mengakses sumber daya, barang, dan jasa tertentu, dan mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah progresif untuk mewujudkan hak-hak ini. Hak-hak ini dikatakan berakar dari tindakan-tindakan yang diambil pada abad ke-19 untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan eksploitasi pasca industrialisasi di Eropa.[43] Yang terakhir, yaitu hak generasi ketiga, merupakan hak kolektif yang dikembangkan pada paruh kedua abad ke-20, tetapi hak ini baru belakangan ini mulai dimasukkan ke dalam hukum internasional, seperti dalam Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk. Contohnya adalah hak pembangunan, perdamaian, serta hak untuk menikmati lingkungan yang bersih dan sehat. Keberadaan hak ini masih dipertentangkan oleh negara-negara maju, dan aspek hukum dari hak ini pun masih belum jelas (seperti pertanyaan soal siapa yang dapat menjadi pemilik haknya, dan kepada siapa kewajiban untuk menghormati hak tersebut dapat dialamatkan).[57]
Hak individu / hak kolektif
PUHAM dan perjanjian-perjanjian HAM internasional memiliki pendekatan yang individualistik, atau dalam kata lain, individulah yang menjadi penerima hak.[58] Pasal 27 ICCPR memang menyatakan bahwa "Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri."[59] Namun, perjanjian ini tidak menyebut "kelompok minoritas" sebagai penerima hak, tetapi malah menggunakan istilah "orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok minoritas". Hal ini mungkin disebabkan oleh kekhawatiran bahwa pasal ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan separatis. Pendekatan semacam ini juga digunakan oleh Deklarasi tentang Hak-Hak Orang-Orang yang Tergolong ke dalam Minoritas Nasional atau Etnis, Agama, dan Bahasa (1992).[58] Walaupun begitu, pendekatan yang lebih bersifat kolektivis dapat ditemui di dalam Deklarasi tentang Hak-Hak Penduduk Asli (2007). Deklarasi tersebut menyebutkan hak-hak yang diberikan kepada kelompok penduduk asli sekaligus individu yang merupakan bagian dari kelompok tersebut. Contoh hak kolektif di dalam deklarasi tersebut adalah hak penentuan nasib sendiri bagi kelompok penduduk asli, sementara contoh hak individu adalah hak untuk hidup bagi individu penduduk asli. Sebagai tambahan, sehubungan dengan hak penentuan nasib sendiri, Deklarasi dan Program Aksi Wina menganggap peniadaan hak tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia.[60]
Hak-hak inti
Tanpa menghapuskan unsur keutuhan dari hak asasi manusia, beberapa hak dianggap lebih penting untuk mempertahankan nyawa manusia dan menegakkan martabatnya. Oleh sebab itu, hak-hak tersebut dipandang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lainnya dan memerlukan tanggung jawab khusus dari negara. Sebagai contoh, hak untuk hidup dan pelarangan penyiksaan dianggap lebih utama daripada hak untuk beristirahat seperti yang dicantumkan di dalam Pasal 24 PUHAM.[61] Perjanjian-perjanjian HAM internasional sendiri mengakui sejumlah "hak inti" yang tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya. Menurut Pasal 4(2) ICCPR, hak-hak tersebut meliputi hak untuk hidup, pelarangan penyiksaan atau "perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia", pelarangan perbudakan, larangan menjebloskan seseorang ke penjara karena tidak mampu memenuhi kewajiban kontrak, asas legalitas dalam hukum pidana, pengakuan bahwa semua orang setara di mata hukum, serta kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.[59][62] Selain itu, pengadilan-pengadilan di tingkatan nasional, regional, dan internasional telah mengakui beberapa norma yang berkenaan dengan hak asasi manusia sebagai norma yang memiliki status jus cogens (norma yang diakui oleh komunitas internasional secara keseluruhan dan tidak dapat dilanggar dalam keadaan apapun). Contohnya adalah pelarangan penyiksaan. Akibatnya, kalaupun ada suatu negara yang menolak meratifikasi ICCPR dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT), negara tersebut tetap terikat dengan norma pelarangan penyiksaan dalam hukum internasional.[63]
Tipologi kewajiban HAM
Kewajiban HAM negara dapat digolongkan menjadi dua, yaitu kewajiban positif dan negatif. Kewajiban negatif mengharuskan negara untuk tidak melanggar hak asasi yang diakui oleh perjanjian-perjanjian HAM internasional dan hanya dapat membatasinya sesuai dengan ketentuan dari perjanjian-perjanjian tersebut. Sementara itu, kewajiban positif menuntut negara untuk mengambil tindakan untuk melindungi individu dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparatur pemerintah maupun pihak-pihak swasta. Negara akan dianggap melanggar kewajiban ini jika mereka gagal mengambil tindakan untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh swasta, tidak menyelidiki perkaranya, tidak menghukum pelakunya, atau tidak memberikan pemulihan kepada korban pelanggaran tersebut.[64]
Pada pertengahan dasawarsa 1980-an, Pelapor Khusus PBB untuk Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas, Asbjorn Eide, menggagas bahwa negara memiliki empat macam kewajiban HAM, yaitu kewajiban untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan mempromosikan. Kemudian konsep ini direvisi menjadi tiga kewajiban saja, yaitu kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi.[65] Semenjak itu, tipologi ini telah digunakan untuk menganalisis kewajiban HAM negara, baik itu untuk hak sipil dan politik[64] maupun untuk hak ekonomi, sosial, dan budaya.[66] Pada dasarnya, kewajiban untuk "menghormati" mengharuskan negara untuk tidak mengganggu ataupun mencederai hak asasi manusia. Sementara itu, kewajiban untuk "melindungi" dan "memenuhi" merupakan kewajiban positif: negara tidak hanya harus "melindungi" individu dan kelompok dari pelanggaran HAM oleh pihak lain, tetapi juga "memenuhi" dengan mengambil tindakan yang memfasilitasi hak asasi mereka.[64] Sebagai contoh, sehubungan dengan hak untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum dalam Pasal 25 ICCPR, negara diwajibkan untuk mengambil tindakan positif salah satunya dengan memberikan hak suara kepada semua warga dewasa, dan pada saat yang sama juga menjamin bahwa mereka benar-benar bisa memakai hak tersebut.[67]
Perlindungan di tingkatan internasional
Dewan HAM PBB
Pasal 1 Piagam PBB mengakui hak asasi manusia sebagai salah satu tujuan utama organisasi internasional tersebut. Selain itu, Pasal 55 dan 56 juga mengharuskan negara anggota untuk mengambil tindakan kolektif maupun terpisah untuk memastikan penghormatan dan pengejawantahan hak asasi manusia di seantero jagad tanpa mengecualikan siapapun. Dengan adanya landasan hukum ini, sejumlah lembaga hak asasi manusia telah dibentuk di bawah naungan PBB. Pada tahun 1946, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB sebagai salah satu organ utama PBB mendirikan Komisi Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 53 utusan dari negara-negara anggota PBB. Komisi ini berdiri selama 60 tahun dan telah melaksanakan berbagai kegiatan demi perlindungan dan pemberdayaan hak asasi manusia. Beberapa sumbangsih terpenting dari organisasi ini adalah perumusan PUHAM, ICCPR, dan ICESCR, serta pengembangan kemampuan lembaga PBB dalam melindungi dan mempromosikan HAM. Komisi ini pernah mendirikan Sub-Komisi Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia yang mempersiapkan berbagai kajian tematik dan mengizinkan masyarakat madani ikut serta dalam kegiatan-kegiatannya. Selain itu, Komisi HAM PBB juga telah berjasa dalam memperbaiki situasi hak asasi manusia di berbagai negara karena lembaga ini telah mengirim para ahli yang diberi mandat untuk menyelidiki masalah hak asasi manusia tertentu atau pelanggaran hak asasi manusia di engara tertentu, dan juga karena lembaga ini memiliki mekanisme rahasia yang memberi ruang bagi individu untuk melaporkan pelanggaran HAM berat dan sistematis di negara mereka.[68] Namun, banyak pula yang mengkritik komisi ini karena politik internasional dirasa telah menghambat kinerja lembaga tersebut. Mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mengakui di dalam laporannya pada tahun 2005 bahwa komisi tersebut sedang merosot kredibilitas dan profesionalismenya, dan negara-negara seringkali ingin menjadi anggota komisi tersebut bukan untuk melindungi hak asasi manusia, tetapi untuk melindungi negara mereka dari kritik sekaligus menyerang negara lain. Maka dari itu, Kofi Annan menyerukan reformasi yang mengubah sistemnya dari "penetapan standar" (seperti perumusan dan perundingan instrumen HAM baru) menjadi berpusat pada implementasi di lapangan untuk menanggulangi krisis dan kedaruratan HAM. Ia juga menolak usulan pendirian sebuah lembaga dengan keanggotaan yang terdiri dari semua negara, dan ia lebih mendukung pendirian sebuah dewan dengan jumlah anggota yang terbatas dan berperan sebagai badan subsider Majelis Umum PBB. Ia ingin agar dewan ini berperan sebagai "ruang peninjauan sejawat" dengan tugas untuk mengevaluasi pemenuhan semua kewajiban HAM yang diemban oleh semua negara, dan setiap negara anggota akan dipanggil secara berkala untuk melalui peninjauan menyeluruh terhadap rekam jejak HAM mereka. Awalnya usulan Kofi Annan menuai tanggapan negatif, tetapi perundingan tetap dapat dimulai pada musim panas tahun 2005.[69] Berbagai permasalahan yang timbul (seperti soal jumlah anggota dan proses pengambilan keputusan) dapat diselesaikan, dan pada tanggal 15 Maret 2006, Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi 60/251 yang mendirikan Dewan Hak Asasi Manusia.[70]
Dewan Hak Asasi Manusia PBB terdiri dari 47 kursi keanggotaan, dan semua negara anggota PBB dapat menjadi bagian dari dewan tersebut asalkan mereka dilih oleh anggota Majelis Umum dengan suara mayoritas sederhana. Keanggotaannya disesuaikan berdasarkan wilayah: terdapat 13 kursi khusus untuk negara-negara Asia, 13 untuk negara-negara Afrika, 8 untuk negara-negara Amerika Latin dan Karibia, 6 untuk negara-negara Eropa Timur, dan 7 untuk negara-negara Eropa Barat dan kelompok lainnya, sehingga negara-negara Afrika dan Asia secara otomatis memiliki suara mayoritas, dan hal ini sangatlah berdampak terhadap kinerja dewan. Dewan HAM PBB bertemu paling tidak tiga kali dalam setahun, walaupun mereka juga dapat mengadakan sesi ad hoc. Tugas utama dewan ini dijabarkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 60/251.[70] Salah satunya adalah dengan mengadakan Peninjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review) yang menilai rekam jejak negara-negara anggota PBB. Setiap negara ditinjau empat tahun sekali, sehingga terdapat 48 negara yang ditinjau oleh Dewan setiap tahunnya.[71] Peninjauan ini tidak bersifat mengikat, hanya dapat memberikan rekomendasi, dan bersifat melengkapi dan tidak "bersaing" dengan prosedur-prosedur badan-badan HAM lainnya di PBB. Semenjak Juni 2006, Dewan juga mengadakan sesi-sesi khusus yang berupaya menanggapi pelanggaran hak asasi manusia yang serius di beberapa tempat, seperti di Palestina, Republik Demokratik Kongo, Darfur, Myanmar, dan Sri Lanka.[72] Selain itu, sebagai salah satu peninggalan Komisi HAM, Dewan HAM PBB memiliki mekanisme prosedur khusus yang melibatkan ahli-ahli independen yang bekerja sendiri atau dalam suatu kelompok kerja untuk mengkaji situasi HAM di negara tertentu atau isu-isu tematik yang berkenaan dengan semua negara.[73] Para ahli yang mendapatkan mandat prosedur khusus memiliki masa jabatan maksimal selama enam tahun, dan mereka dapat mengadakan misi pencari fakta atau menggelar kunjungan ke suatu negara. Namun, mereka hanya dapat mendatangi suatu negara jika diundang oleh negara tersebut.[74] Sebagian besar pemegang mandat juga dapat meninjau keluhan dari individu atau kelompok-kelompok lainnya, dan beberapa dari antara mereka telah menghasilkan pendapat-pendapat yang bersifat otoritatif walaupun tidak mengikat.[75] Sebagai tambahan, Paragraf 6 Resolusi Majelis Umum PBB 60/251 juga menyediakan "prosedur keluhan". Dengan ini, keluhan-keluhan dari korban atau perwakilan korban dapat disampaikan kepada Dewan, tetapi korban harus terlebih dahulu menghabiskan segala upaya untuk memperoleh pemulihan di tingkatan nasional.[76] Keluhan sendiri tidak dapat langsung dikirim ke Dewan dan harus diseleksi oleh Sekretariat OHCHR dan dua kelompok kerja yang berada di bawah naungan Dewan, yaitu Kelompok Kerja Komunikasi dan Kelompok Kerja Situasi. Keluhan yang berkenaan dengan situasi yang sedang dipertimbangkan dalam prosedur khusus di PBB atau dalam mekanisme perlindungan HAM regional tidak akan diterima.[76]
Namun, Dewan HAM juga telah menuai banyak kritik akibat kentalnya unsur politisasi di dalam tubuh dewan. Sebagai contoh, pada Mei 2009, anggota Dewan dari negara-negara Uni Eropa menghadapi kesulitan dalam mencari 16 dukungan dari negara anggota Dewan lainnya untuk menghimpun sesi khusus untuk membahas situasi HAM di Sri Lanka.[72] Selain itu, akibat banyaknya kursi yang dimiliki oleh negara-negara Afrika dan Asia, terbentuk blok-blok regional yang dapat menentukan apakah akan meloloskan atau menolak suatu resolusi atas dasar politik. Organisasi Konferensi Islam sangat berpengaruh dalam hal ini. Faktor ini pula yang mengakibatkan munculnya kritik bahwa Dewan bertindak selektif atau bahkan bias. Sebagai contoh, Dewan HAM dianggap terlalu sering mengadakan sesi khusus mengenai Palestina, sementara upaya negara-negara Barat untuk mengadakan sesi khusus mengenai Zimbabwe gagal karena negara-negara Asia dan Afrika enggan mendukungnya.[73]
Catatan kaki
- ^ a b c Bates 2010, hlm. 19.
- ^ a b c d Bates 2010, hlm. 18.
- ^ a b Hoffmann 2011, hlm. 4.
- ^ a b c d Brems 2001, hlm. 17.
- ^ Brems 2001, hlm. 7.
- ^ a b c Bates 2010, hlm. 20.
- ^ Tomuschat 2008, hlm. 12.
- ^ a b PUHAM 1948.
- ^ Bates 2010, hlm. 21-22.
- ^ Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 1776.
- ^ Bates 2010, hlm. 22.
- ^ a b Tomuschat 2008, hlm. 14.
- ^ a b Brems 2001, hlm. 18.
- ^ Brems 2001, hlm. 19.
- ^ Bates 2010, hlm. 25.
- ^ a b Hoffmann 2011, hlm. 7.
- ^ Bates 2010, hlm. 24.
- ^ a b c Hoffmann 2011, hlm. 8.
- ^ Hoffmann 2011, hlm. 9.
- ^ Hoffmann 2011, hlm. 11.
- ^ Hoffmann 2011, hlm. 10-11.
- ^ Beitz 2009, hlm. 15.
- ^ Bates 2010, hlm. 29-31.
- ^ Beitz 2009, hlm. 15-16.
- ^ a b c d Bates 2010, hlm. 35.
- ^ a b c Bates 2010, hlm. 33.
- ^ a b Piagam PBB 1945.
- ^ a b Bates 2010, hlm. 34.
- ^ a b Bates 2010, hlm. 36.
- ^ Tomuschat 2008, hlm. 24.
- ^ Bates 2010, hlm. 37.
- ^ a b Dembour 2010, hlm. 2.
- ^ Beitz 2009, hlm. 49.
- ^ a b c Dembour 2010, hlm. 3.
- ^ Dembour 2010, hlm. 4.
- ^ Dembour 2010, hlm. 11.
- ^ Dembour 2010, hlm. 20.
- ^ Shelton & Gould 2013, hlm. 562.
- ^ Nickel & Reidy 2010, hlm. 41.
- ^ Nickel & Reidy 2010, hlm. 42.
- ^ a b Kälin & Künzli 2009, hlm. 31.
- ^ Joseph 2010, hlm. 155-156.
- ^ a b Kälin & Künzli 2009, hlm. 32.
- ^ van Boven 2010, hlm. 178.
- ^ Kälin & Künzli 2009, hlm. 20.
- ^ van Boven 2010, hlm. 178-179.
- ^ Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993.
- ^ Moeckli 2010, hlm. 189.
- ^ van Boven 2010, hlm. 173.
- ^ a b c d e van Boven 2010, hlm. 174.
- ^ OHCHR 2008, hlm. 1.
- ^ a b c OHCHR 2008, hlm. 9.
- ^ a b van Boven 2010, hlm. 175.
- ^ ICESCR 1966.
- ^ OHCHR 2008, hlm. 8.
- ^ Claude & Weston 2006, hlm. 8.
- ^ Kälin & Künzli 2009, hlm. 32-33.
- ^ a b van Boven 2010, hlm. 176.
- ^ a b ICCPR 1966.
- ^ van Boven 2010, hlm. 177.
- ^ van Boven 2010, hlm. 181.
- ^ van Boven 2010, hlm. 182.
- ^ Chinkin 2010, hlm. 113-114.
- ^ a b c Shelton & Gould 2013, hlm. 566.
- ^ de Schutter 2010, hlm. 242.
- ^ de Schutter 2010, hlm. 243.
- ^ Shelton & Gould 2013, hlm. 567.
- ^ Schmidt 2010, hlm. 392.
- ^ Schmidt 2010, hlm. 393.
- ^ a b Schmidt 2010, hlm. 394.
- ^ Schmidt 2010, hlm. 395.
- ^ a b Schmidt 2010, hlm. 397.
- ^ a b Schmidt 2010, hlm. 398.
- ^ Schmidt 2010, hlm. 399.
- ^ Schmidt 2010, hlm. 400.
- ^ a b Schmidt 2010, hlm. 401.
Daftar pustaka
Buku
- Beitz, Charles R (2009). The Idea of Human Rights. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199572458.
- de Schutter, Olivier (2010). International Human Rights Law. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 9780511779312.
- Brems, Eva (2001). Human Rights: Universality and Diversity. Den Haag: Martinus Nijhoff. ISBN 9789041116185.
- Kälin, Walter; Künzli, Jörg (2009). The Law of International Human Rights Protection. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780191018688.
- Tomuschat, Christian (2008) [2003]. Human Rights: Between Idealism and Realism (edisi ke-2). Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199232741.
Bab buku
- Bates, Ed (2010). "History". Dalam Moeckli, Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Chinkin, Christine (2010). "Sources". Dalam Moeckli, Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Claude, Richard Pierre; Weston, Burns H (2006). "Issues". Dalam Claude, Richard Pierre; Weston, Burns H. Human Rights in the World Community: Issues and Action. Philadelphia: Pennsylvania University Press. ISBN 9780812219487.
- Joseph, Sarah (2010). "Sources". Dalam Moeckli, Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Hoffmann, Stefan-Ludwig (2011). "Introduction: Genealogies of Human Rights". Dalam Hoffmann, Stefan-Ludwig. Human Rights in the Twentieth Century. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 9780198767237.
- Moeckli, Daniel (2010). "Equality and Non-Discrimination". Dalam Moeckli, Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Nickel, James W.; Reidy, David A. (2010). "Philosophy". Dalam Moeckli, Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Schmidt, Markus (2010). "United Nations". Dalam Moeckli, Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
- Shelton, Dinah; Gould, Ariel (2013). "Positive and Negative Obligations". Dalam Shelton, Dinah. The Oxford Handbook of International Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199640133.
- van Boven, Theo (2010). "Categories of Rights". Dalam Moeckli, Daniel; Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198767237.
Jurnal
- Dembour, Marie-Bénédicte (2010). "What Are Human Rights? Four Schools of Thought". Human Rights Quarterly. 32: 1-20.
Dokumen
- Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (2008). Fact Sheet No. 33: Frequently Asked Questions on Economic, Social and Cultural Rights.
Deklarasi dan Perjanjian
- "Deklarasi Kemerdekaan" (PDF). Kedutaan Besar Amerika Serikat. Diakses tanggal 15 Januari 2019.
- "Deklarasi dan Program Aksi Wina". Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia. Diakses tanggal 16 Januari 2019.
- "Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya" (PDF). Diakses tanggal 16 Januari 2019.
- "Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik" (PDF). Diakses tanggal 16 Januari 2019.
- "Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia". Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia. Diakses tanggal 15 Januari 2019.
- "Piagam PBB". Perserikatan Bangsa-Bangsa. Diakses tanggal 15 Januari 2019.
Bacaan lanjut
- (Indonesia) Iskandar, Pranoto (2012) [2010]. Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual (edisi ke-2). Cianjur: IMR Press. ISBN 9786029648041.
- (Inggris) Fredman, Sandra (2018). Comparative Human Rights Law. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199689415.