Kontra-Reformasi (bahasa Latin: Contrareformatio), juga disebut Reformasi Katolik (bahasa Latin: Reformatio Catholica) atau Kebangunan Katolik,[1] adalah periode kebangkitan Katolik yang diawali sebagai tanggapan terhadap Reformasi Protestan, bermula dari Konsili Trento (1545–1563) dan berakhir pada penutupan Perang Tiga Puluh Tahun (1648). Kontra-Reformasi merupakan suatu upaya komprehensif yang mencakupi lima elemen utama:

  1. Pembelaan reaksioner atas praktik sakramental Katolik
  2. Rekonfigurasi struktural atau gerejawi
  3. Tarekat-tarekat religius
  4. Gerakan-gerakan kerohanian
  5. Dimensi-dimensi politik
Sebuah salinan Vulgata (Kitab Suci Katolik edisi Latin) yang dicetak pada 1590, setelah banyak hasil reformasi Konsili Trento telah mulai mengambil tempat dalam ibadah Katolik.

Reformasi-reformasi yang terjadi misalnya pendirian seminari-seminari untuk pelatihan para imam secara tepat dalam kehidupan rohani dan tradisi-tradisi teologis Gereja, pembaruan kehidupan membiara dengan mengembalikan tarekat-tarekat kepada landasan-landasan kerohanian mereka, serta gerakan-gerakan kerohanian baru yang berfokus pada kehidupan devosional dan relasi pribadi dengan Kristus, termasuk para mistikus Spanyol dan aliran spiritualitas Perancis.[2]

Periode ini juga menyangkut aktivitas-aktivitas politik yang mencakup Inkuisisi Roma. Salah satu penekanan utama Kontra-Reformasi adalah misi untuk menjangkau bagian-bagian dunia yang pernah menjadi koloni yang dominan Katolik dan juga adanya upaya untuk mengubah kembali wilayah-wilayah seperti Swedia dan Inggris yang pernah menjadi wilayah-wilayah dominan Katolik, namun telah didominasi Protestan pada masa Reformasi Protestan.[2]

Fokus dari berbagai teolog Kontra-Reformasi sebatas pembelaan posisi-posisi doktrinal seperti sakramen-sakramen dan praktik-praktik kesalehan yang ditentang oleh para reformis Protestan,[3] hingga berlangsungnya Konsili Vatikan II pada 1962–1965. Salah satu dari antara "momen-momen paling dramatis" dalam konsili tersebut adalah intervensi dari Uskup Belgia Emil de Smedt. Saat berlangsungnya diskusi tentang hakikat Gereja, sang uskup menyerukan untuk diakhirinya "klerikalisme, legalisme, dan triumfalisme" yang pernah menjadi karakteristik Gereja pada abad-abad sebelumnya.[4]

Para pendahulu

Abad ke-14, ke-15, dan ke-16 merupakan suatu periode kebangunan rohani di Eropa, yang menempatkan pertanyaan seputar keselamatan sebagai titik sentral. Gerakan pembaruan ini menjadi dikenal dengan sebutan Reformasi Katolik. Beberapa teolog[siapa?] menelusuri kembali ke masa-masa awal Kekristenan dan mempertanyakan spiritualitas mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan meluas ke sebagian besar Eropa Barat pada abad ke-15 dan ke-16, sementara para kritikus sekuler[siapa?] turut menelaah praktik keagamaan, perilaku klerikal, dan posisi-posisi doktrinal Gereja. Terdapat sejumlah gerakan pemikiran yang bervariasi, namun gagasan-gagasan reformasi dan pembaruan dipimpin oleh kalangan klerus.[butuh rujukan]

Reformasi-reformasi yang diputuskan pada Konsili Lateran V (1512–1517) hanya menimbulkan sedikit pengaruh.[butuh rujukan] Beberapa posisi doktrinal bergerak semakin menjauh dari posisi resmi Gereja,[butuh rujukan] sehingga mengarah pada perpecahan dengan Roma dan pembentukan denominasi-denominasi Protestan. Kendati demikian, kalangan-kalangan konservatif maupun reformis masih tetap bertahan di dalam Gereja Katolik, bahkan ketika Reformasi Protestan menyebar. Kalangan Protestan secara definitif keluar dari Gereja Katolik pada tahun 1520-an. Kedua posisi dogmatis yang berbeda di dalam Gereja Katolik diperkukuh pada tahun 1560-an. Reformasi Katolik menjadi dikenal dengan istilah Kontra-Reformasi, yang didefinisikan sebagai reaksi terhadap Protestanisme alih-alih sebagai gerakan reformasi. Sejarawan Henri Daniel-Rops mengatakan:

Bagaimanapun, kendati lazim, istilah [Kontra-Reformasi] menyesatkan: tidak dapat diterapkan dengan benar secara logis maupun kronologis pada gairah yang mendadak tersebut, seakan-akan dari sesosok raksasa yang terkejut, untuk upaya peremajaan dan reorganisasi seperti demikian, yang dalam waktu tiga puluh tahun memberikan Gereja suatu penampilan yang sama sekali baru. ... Yang disebut 'kontra-reformasi' itu tidak dimulai dengan Konsili Trento, lama setelah Luther; asal mula dan pencapaian-pencapaian awalnya jauh lebih dahulu daripada ketenaran Wittenberg. Reformasi itu dilakukan bukan dengan cara menanggapi 'para reformis', namun dalam ketaatan pada tuntutan-tuntutan dan prinsip-prinsip yang merupakan bagian dari tradisi Gereja yang tidak dapat diubah serta bersumber dari loyalitas-loyalitas paling mendasar yang dimiliki Gereja.[5]

Tarekat-tarekat regular melakukan upaya-upaya pertama mereka untuk reformasi pada abad ke-14. 'Bulla Benediktin' tahun 1336 membarui tarekat Benediktin dan Sistersien. Pada tahun 1523, Pertapa-Pertapa Kamaldolesi dari Monte Corona (Er. Cam.) diakui sebagai suatu kongregasi tersendiri para rahib. Pada tahun 1435, Santo Fransiskus dari Paola mendirikan Para Pertapa Miskin dari Santo Fransiskus dari Assisi, yang kemudian menjadi Frater-Frater Minimi (O.M.). Pada tahun 1526, Matteo da Bascio mengusulkan pembaruan aturan hidup Fransiskan kepada kemurnian asalinya sehingga melahirkan tarekat Kapusin (O.F.M.Cap.), yang memperoleh pengakuan dari paus pada tahun 1619.[6] Tarekat atau ordo ini dikenal baik oleh kaum awam dan memainkan peranan penting dalam pewartaan publik. Untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan baru akan evangelisasi, kaum klerus membentuk kongregasi-kongregasi religius, mengikrarkan kaul-kaul khusus tetapi tanpa kewajiban untuk membantu dalam suatu pelayanan religius di biara. Klerus regular ini mengajar, melakukan pewartaan, dan menerima pengakuan, namun berada di bawah wewenang seorang uskup secara langsung serta tidak terkait dengan wilayah atau paroki tertentu layaknya seorang vikaris ataupun kanonik.[6]

Di Italia, kongregasi pertama klerus regular adalah Teatin (C.R.), yang dibentuk pada tahun 1524 oleh Kayetanus dan Kardinal Carafa. Pendirian itu diikuti dengan pendirian Imam-Imam Somaski (C.R.S.) pada tahun 1528, Barnabit pada tahun 1530, Ursulin (O.S.U.) pada tahun 1535, Yesuit (S.J.) yang diakui secara kanonis pada tahun 1540, Klerus Regular dari Bunda Allah dari Lucca (O.M.D.) pada tahun 1583, Kamilian (M.I.) pada tahun 1584, Imam-Imam Adorno (C.R.M.) pada tahun 1588, dan Piaris (S. P.) pada tahun 1621. Pada tahun 1524,[butuh klarifikasi] sejumlah imam di kota Roma mulai menjalani kehidupan dalam suatu komunitas yang berpusat pada Filipus Neri. Mereka melembagakan diri sebagai Oratorian (C.O.) dan mendapat pengakuan kepausan sebagai suatu kongregasi pada tahun 1575. Mereka memanfaatkan musik dan nyanyian untuk menarik perhatian umat.[7]

Konsili Trento

 
Penggambaran salah satu sesi Konsili Trento.

Paus Paulus III (1534–1549) dianggap sebagai paus Kontra-Reformasi yang pertama,[2] dan ia juga memprakarsai Konsili Trento (Konsili Trente, 1545–1563), suatu komisi para kardinal yang ditugaskan untuk melakukan reformasi institusional, membahas isu-isu kontroversial seperti para uskup dan imam yang korup, indulgensi, serta penyalahgunaan finansial lainnya.

Konsili menegakkan struktur dasar dari Gereja Abad Pertengahan, sistem sakramental, tarekat-tarekat religius, dan doktrinnya. Konsili menolak segala kompromi dengan pihak Protestan, menegaskan kembali prinsip-prinsip dasar dari iman Katolik. Konsili menegakkan dogma keselamatan yang dianugerahkan oleh rahmat melalui iman dan perbuatan-perbuatan dari iman tersebut (bukan iman semata, sebagaimana yang ditekankan oleh pihak Protestan) karena "iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati", seperti yang termaktub dalam Yakobus 2:22-26.

Transubstansiasi, ajaran bahwa roti dan anggur yang dikonsekrasi benar-benar diubah secara substansial menjadi tubuh, darah, jiwa, dan keilahian Kristus, juga ditegaskan kembali bersama dengan ketujuh sakramen Gereja Katolik berdasarkan Tradisi Suci. Praktik-praktik lain yang menimbulkan kemarahan para reformis Protestan, seperti ziarah, penghormatan orang kudus dan relikui, penggunaan gambar dan rupa yang diberkati, serta penghormatan Perawan Maria, mendapat penegasan kembali sebagai praktik-praktik yang terpuji secara rohani.

Dalam Kanon Trento, Konsili secara resmi menerima daftar kitab Perjanjian Lama dalam Vulgata, yang mencakup kitab-kitab deuterokanonika (juga disebut Apokrifa oleh pihak Protestan) dalam kesetaraan dengan 39 kitab yang pada umumnya didapati dalam Teks Masoret. Hal ini menegaskan kembali hasil-hasil dari Konsili Roma dan Konsili Kartago (keduanya diadakan pada abad ke-4 M), yang telah menegaskan Deuterokanon sebagai bagian dari Kitab Suci.[8] Konsili juga menugaskan penyusunan Katekismus Roma, yang berfungsi sebagai pengajaran Gereja yang berwibawa hingga dikeluarkannya Katekismus Gereja Katolik pada tahun 1992.

While the traditional fundamentals of the Church were reaffirmed, there were noticeable changes to answer complaints that the Counter-Reformers were, tacitly, willing to admit were legitimate. Among the conditions to be corrected by Catholic reformers was the growing divide between the clerics and the laity; many members of the clergy in the rural parishes, after all, had been poorly educated. Often, these rural priests did not know Latin and lacked opportunities for proper theological training. Addressing the education of priests had been a fundamental focus of the humanist reformers in the past.

Parish priests were to be better educated in matters of theology and apologetics, while Papal authorities sought to educate the faithful about the meaning, nature and value of art and liturgy, particularly in monastic churches (Protestants had criticised them as "distracting"). Notebooks and handbooks became more common, describing how to be good priests and confessors.

Thus, the Council of Trent attempted to improve the discipline and administration of the Church. The worldly excesses of the secular Renaissance Church, epitomized by the era of Alexander VI (1492–1503), intensified during the Reformation under Pope Leo X (1513–1522), whose campaign to raise funds for the construction of St. Peter's Basilica by supporting use of indulgences served as a key impetus for Martin Luther's 95 Theses. The Catholic Church responded to these problems by a vigorous campaign of reform, inspired by earlier Catholic reform movements that predated the Council of Constance (1414–1417): humanism, devotionalism, legalism and the observantine tradition.

The Council, by virtue of its actions, repudiated the pluralism of the secular Renaissance that had previously plagued the Church: the organization of religious institutions was tightened, discipline was improved, and the parish was emphasized. The appointment of Bishops for political reasons was no longer tolerated. In the past, the large landholdings forced many bishops to be "absent bishops" who at times were property managers trained in administration. Thus, the Council of Trent combated "absenteeism", which was the practice of bishops living in Rome or on landed estates rather than in their dioceses. The Council of Trent also gave bishops greater power to supervise all aspects of religious life. Zealous prelates, such as Milan's Archbishop Carlo Borromeo (1538–1584), later canonized as a saint, set an example by visiting the remotest parishes and instilling high standards.

Tokoh-tokoh utama

Rujukan

  1. ^ (Inggris) "Counter Reformation". Encyclopædia Britannica Online. 
  2. ^ a b c (Inggris) "Counter-Reformation". Encyclopædia Britannica, Inc. 
  3. ^ (Inggris) "Counter-Reformation | religious history". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-05-11. 
  4. ^ (Inggris) "Anniversary Thoughts" in America, 7 October 2002.
  5. ^ (Inggris) Henri Daniel-Rops. "The Catholic Reformation". Taken from the Fall 1993 issue of The Dawson Newsletter. EWTN. 
  6. ^ a b (Prancis) Michel Péronnet, Le XVe siècle, Hachette U, 1981, p 213
  7. ^ Michel Péronnet, p 214
  8. ^ Mengikuti Septuaginta, pihak Ortodoks Timur umumnya memasukkan kitab-kitab deuterokanonika dengan beberapa kitab tambahan yang tidak ditemukan dalam Alkitab Katolik, namun kitab-kitab tersebut dipandang sebagai otoritas sekunder. Gereja Inggris dapat menggunakan Alkitab yang menempatkan kitab-kitab deuterokanonika di antara Protokanonika Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tidak dipadukan di antara kitab-kitab Perjanjian Lama yang lain sebagaimana adanya dalam Alkitab Katolik.
  • Philipp M. Soergel: Wondrous in His Saints: Counter Reformation Propaganda in Bavaria. Berkeley CA: University of California Press, 1993

Lihat pula