Muhammad Wahib Emha

Revisi sejak 21 Desember 2021 09.07 oleh M. Idris Daulat (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '{{Tentang|Relawan|Tokoh Santri Siaga Bencana|Wahib Emha}} {{Infobox person | name = Muhammad Wahib Emha | image = Muhammad Wahib Emha, M.Si.png | alt = | birth_name = Muhammad Wahib Emha | birth_date = {{Birth date and age|1953|05|27}} | birth_place = Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Indonesia | death_date = <!-- {{Death date and age|YYYY|MM|DD|YYYY|MM|DD}} (tanggal meninggal diik...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Muhammad Wahib Emha atau biasa dikenal Wahib MH atau Cak Nun atau Mbah Nun[4] (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 68 tahun) adalah seorang tokoh intelektual Muslim Indonesia. Ia menyampaikan gagasan pemikiran dan kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk: puisi, esai, cerpen, film, drama, lagu, musik, talkshow televisi, siaran radio, seminar, ceramah, dan tayangan video. Ia menggunakan beragam media komunikasi dari cetak hingga digital dan sangat produktif dalam berkarya.[5]

Muhammad Wahib Emha
LahirMuhammad Wahib Emha
27 Mei 1953 (umur 71)
Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Nama lainCak Nun, Mbah Nun[1]
Dikenal atasTokoh intelektual Islam
Inisiator Masyarakat Maiyah
Suami/istriNeneng Suryaningsih (cerai 1985)[2]
Novia Kolopaking (1997–sekarang)[3]
AnakSabrang Mowo Damar Panuluh
Ainayya Al-Fatihah
Aqiela Fadia Haya
Jembar Tahta Aunillah
Anayallah Rampak Mayesha
Situs webwww.wahib.com

Kehidupan pribadi

Wahib Emha merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.[6] Lahir dari pasangan Muhammad Abdul Latief dan Chalimah. Ayahnya adalah petani dan tokoh agama (kyai) yang sangat dihormati masyarakat Desa Menturo, Sumobito, Jombang.[7] Juga seorang pemimpin masyarakat yang menjadi tempat bertanya dan mengadu tentang masalah yang masyarakat hadapi.[8] Begitu juga ibunya menjadi panutan warga yang memberikan rasa aman dan banyak membantu masyarakat.[6][9] Dalam ingatan Cak Nun, ketika ia kecil sering diajak ibunya mengunjungi para tetangga, menanyakan keadaan mereka. Apakah mereka bisa makan dan menyekolahkan anak. Pengalaman ini membentuk kesadaran dan sikap sosialnya yang didasarkan nilai-nilai Islam. Bahwa menolong sesama manusia dari kemiskinan dan membuat mereka mampu berfungsi sebagai manusia seutuhnya, merupakan kunci dalam Islam.[8] Kakak tertuanya, yaitu Ahmad Fuad Effendy, adalah anggota Dewan Pembina King Abdullah bin Abdul Aziz International Center For Arabic Language (KAICAL) Saudi Arabia.[10]

 
Emha Ainun Nadjib (berdiri paling kanan mengenakan kopiah) di masa kecil bersama keluarganya.

Pendidikan formal Cak Nun dimulai dari Sekolah Dasar di desanya. Karena semenjak kecil ia sangat peka atas segala bentuk ketidakadilan, ia sempat dianggap bermasalah oleh para guru karena memprotes dan menendang guru yang dianggapnya tak berlaku adil.[11] Suatu ketika ada guru terlambat mengajar, dan Cak Nun memprotesnya. Karena sebelumnya Cak Nun pernah terlambat masuk sekolah dan dihukum berdiri di depan kelas sampai pelajaran usai. Hukuman itu ia jalani sebagai konsekuensi kesalahannya dan itu merupakan aturan sekolah. Maka tatkala ada guru terlambat, menurut Cak Nun aturan yang sama harus diberlakukan. Dan ujungnya, ia keluar dari SD yang dianggapnya menerapkan aturan yang tidak adil itu.[12]

Aktivitas

Semasa di Malioboro ini, Cak Nun yang masih SMA sering bolos sekolah karena asyik dengan dunia sastra. Ia pernah membolos hampir 40 hari dalam satu semester. Ini membuat ia mulai tidak disukai guru-gurunya, ditambah rambutnya gondrong yang dianggap melanggar peraturan sekolah. Tapi ia mengatakan bahwa dirinya lebih suka mencari hal-hal yang belum diketahuinya namun tidak didapatkannya di sekolah.[13]

Tenaga Ahli Kemendes

 
Emha Ainun Nadjib produktif berkarya dengan menggunakan mesin ketik.

Masih dalam masa berproses bersama PSK di bidang sastra, Cak Nun juga aktif dalam dunia jurnalistik dan kepenulisan, tahun 1973 sampai 1976. Sebagai wartawan serta redaktur beberapa rubrik di Harian Masa Kini Yogyakarta, seperti: Seni-Budaya, Kriminalitas, dan Universitaria, pun redaktur tamu di Harian Bernas selama tiga bulan.[14] Pada usia 24-25, tahun 1977-1978, kualitas esai-esai Cak Nun sudah diakui publik dan diterima harian Kompas. Pada 1981 saat usia Cak Nun 28 tahun, majalah Tempo telah menerima tulisan kolom-kolomnya dan ia menjadi kolumnis termuda majalah itu.[15][16]

Lima tahun (1970-1975) Cak Nun menggeluti dunia kewartawanan. Berbeda dengan wartawan modern dalam mendefinisikan peran dan tugasnya sebagai penyiar berita, Cak Nun memiliki prinsip kewartawanan yang niscaya berhubungan dengan transendensi. Cak Nun menjelaskannya sebagai berikut:[17]

“Sekurang-kurangnya para wartawan adalah jari-jemari Al-Khabir, yang maha mengabarkan. Para wartawan menyayangi dinamika komunikasi masyarakat, Ar-Rahman. Mereka memperdalam cinta kemasyarakatannya itu, Ar-Rahim. Mereka memelihara kejujuran, kesucian, dan objektivitas setiap huruf yang diketiknya, Al-Quddus. Mereka berkeliling ronda menyelamatkan transparansi silaturahmi, As-Salam. Mereka mengamankan informasi, Al-Mu`min. Mereka mengemban tugas untuk turut menjaga berlangsungnya keseimbangan nilai kebenaran, kebaikan dan keindalan, dalam kehidupan masyarakat: Al-Muhaimin. Mereka menggambar indahnya kehidupan dengan penanya, Al-Mushawwir. Serta berpuluh-puluh lagi peran Tuhan yang didelegasikan kepada kaum jurnalis atau para wartawan”.

Relawan Kebencanaan

Tahun 1977/1978, Cak Nun bergabung dengan Teater Dinasti yang didirikan oleh Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, dan Tertib Suratmo. Pada masa ini, keterlibatan Cak Nun bersama Teater Dinasti, dan keikutsertaan Teater Dinasti bersama Cak Nun tidak bisa dipisahkan.[18] Bersama Teater Dinasti, Cak Nun intensif mementaskan puisi dalam rentang perjalanan sejak 1978 sampai 1987. Ia menggunakan bahasa Jawa “jalanan” dan ungkapan-ungkapan populer yang bersifat oral dan menimbulkan plesetan yang mendekonstruksi logika, makna, serta humor dalam puisi-puisinya dan mengangkat masalah-masalah sosial.[19] Karya-karyanya bersama Teater Dinasti dianggap menjadi fenomena baru dalam pemanggungan puisi sehingga banyak dibicarakan oleh pengamat kesenian karena diiringi alunan musik dari seperangkat gamelan.[19]

 
Pementasan Musik Puisi Emha Ainun Nadjib bersama Teater/Karawitan Dinasti di akhir tahun 1970-an.


Televisi dan Radio

Setelah sebelumnya Cak Nun banyak menyampaikan gagasan dan kritiknya lewat media cetak, seminar, ceramah, pementasan musik puisi dan pertunjukan drama, pada pertengahan 1990-an ia memanfaatkan media audio-visual. Bersama KiaiKanjeng, pada 29 April 1996 Cak Nun mementaskan musik puisi Talbiyah Cinta di RCTI untuk menyambut Idul Adha.[20] Beberapa seniman terlibat seperti Ita Purnamasari, Novia Kolopaking, Gito Rollies, Dewi Gita, Amak Baldjun, Amoroso Katamsi, dan Wiwiek Sipala.

Masih pada tahun 1996, stasiun televisi Indosiar setiap hari menyiarkan program acara Cermin, yang digagas Cak Nun dan Uki Bayu Sejati.[21] Dengan pembawaannya, Cak Nun mengajak para penonton untuk tenang dan rileks ketika menikmati tontonan berdurasi sangat singkat, sekitar satu atau dua menit.[22] Cak Nun muncul di antara tayangan iklan atau acara-acara lainnya, sebanyak 70 episode. Pesan yang disampaikannya cukup variatif. Tak lepas dari sentuhan moral agama dan masalah sosial.[23] Program ini dimaksudkan Cak Nun untuk menyajikan kepada pemirsa, sebuah tayangan yang lebih kontemplatif dan berprioritas moral, di tengah kondisi siaran televisi yang dipenuhi hiburan-hiburan ringan dan hanya mimpi-mimpi.[24] Selain Cermin, di Indosiar Cak Nun juga pernah memproduksi dan menayangkan sebuah talk show yang bernuansa santai tapi berisi tema-tema serius dan kritis. Acara yang tayang setiap Kamis malam ini bernama Gardu.[21]

Cak Nun dilibatkan dalam sebuah perhelatan besar di masa Orde Baru yang mendapat porsi tayangan media sangat penting. Yaitu siaran malam takbiran tahun 1997. Bertempat di kawasan Monumen Nasional (Monas), acara yang bertajuk Gema Zikir dan Takbir digelar.[25] Penting karena Presiden Soeharto memimpin langsung takbiran itu. Sebuah momen langka Soeharto takbiran nasional. Bersama Soeharto dalam takbiran itu adalah Wakil Presiden Try Sutrisno, Rhoma Irama, K.H. Zainuddin MZ, Cak Nun, Prof. Dr. Quraisy Shihab, K.H. Hasan Basri, Muammar Z.A., dan K.H. Ilyas Ruchiyat.[26]

Takbiran yang memang bernuansa politis, namun juga kental dengan unsur budaya. Hadirnya 'raja dangdut' Rhoma Irama dan Cak Nun menjadi magnet tersendiri. Takbir dan zikir penuh warna kesenian nuansa Islami yang tidak monoton.[26] Sebuah penggalan zikir pencerahan di masa menjelang krisis moneter itu disampaikan Cak Nun:[25]

Wahai Engkau pembuka segala pintu. Mohon. Jangan lagi bukakan pintu kelaliman di hati kami. Jangan bukakan lagi pintu kekerasan dan kebrutalan. Jangan bukakan pintu benci dan dengki di dalam jiwa kami. Mohon. Mohon. Jangan bukakan api dari lubuk nafsu kami. Ya Allah. Jangan bukakan pintu kerusuhan-kerusuhan lagi.

Selain televisi, Cak Nun berkomunikasi kepada masyarakat lewat frekuesi radio. Rekaman suara pemikirannya pernah disiarkan Radio Delta FM dalam tajuk Catatan Kehidupan.[27] Bulan Ramadlan tahun 2018 dan 2019, Cak Nun juga menyampaikan pesan-pesannya dalam program Radio Suara Surabaya bertajuk Tasbih.[28]

Reformasi 1998

Pada masa Orde Baru, sejak 80-an, Cak Nun termasuk salah satu tokoh masyarakat yang vokal dan kritis kepada Soeharto. Ia sering kali menempatkan diri dalam oposisi langsung melawan pemerintahan Orde Baru. Kegiatan-kegiatannya banyak sekali dicekal dan dibatasi ruang geraknya oleh ABRI.[29] Perjuangannya melawan segala bentuk ketidakadilan Orde Baru mencapai titik puncaknya tahun 1998. Reformasi 1998 merupakan episode perjalanan Republik Indonesia yang melibatkan banyak pihak dan elemen masyarakat Indonesia. Masing-masing memiliki peran, termasuk peran signifikan Cak Nun dan beberapa tokoh nasional.

Detik-detik Lengsernya Soeharto

Mei 1998, kerusuhan pecah di berbagai kota, termasuk Surakarta, Bandung, dan Palembang usai terjadi penembakan dalam demonstrasi yang menewaskan mahasiswa Universitas Trisakti tanggal 12 Mei. Dikenal dengan Tragedi Trisakti. Jakarta rusuh tanggal 13 Mei, dan puncaknya, 15 Mei, beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta hangus terbakar. Ratusan orang tewas.[30] 16 Mei, di tengah suasana Jakarta yang rusuh, beberapa intelektual berkumpul di Hotel Regent. Di antaranya Cak Nun dan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Dalam pertemuan ini, didiskusikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengakhiri krisis ekonomi-sosial-politik yang intinya, Soeharto harus lengser. Tapi bagaimana caranya menyampaikan itu ke Soeharto, karena sebelumnya pernah ditempuh lewat Quraish Shihab, tapi menteri agama ini menolaknya. Cak Nun pada pertemuan itu mengeluarkan ide untuk membentuk opini bersama militer.[31]

 
Emha Ainun Nadjib menyatakan tegas bahwa Soeharto harus turun, saat Padhangmbulan 11 Mei 1998.

Ide pembentukan opini ini sebelumnya sudah dilakukan Cak Nun pada forum Padhangmbulan tanggal 11 Mei di Jombang yang menyampaikan seruan Soeharto untuk lengser, waktunya sudah hampir habis.[30] Cak Nun juga menerbitkan Selebaran Terang Benderang, sudah ditulis sejak tanggal 8 Mei dan dikirimkan ke berbagai media massa namun tidak ada yang memuatnya. Cak Nun menyatakan tegas: “Pak Harto Turun, TNI Berpihak Pada Rakyat”. Secara khusus di pertemuan Padhangmbulan itu, Cak Nun mengajak masyarakat melantunkan wirid dan zikir bersama yang dipuncaki pembacaan Hizib Nashr yang dipimpin Bu Chalimah, ibunda beliau.[32]

Setelah pertemuan di Hotel Regent tanggal 16 Mei, malamnya, Cak Nur, Cak Nun, bersama Oetomo Dananjaya, Malik Fadjar, dan S. Drajat merumuskan empat prosedur lengsernya Soeharto dengan meminimalisir korban dan memaksimalkan efektivitas kenegaraan.[33] Empat prosedur ini termaktub dalam surat Husnul Khatimah yang rencananya akan diserahkan kepada Soeharto. [34] Para perumus surat itu sebenarnya berasal dari sebuah kelompok diskusi rutin yaitu Majelis Reboan yang salah satunya diselenggarakan di Jl. Indramayu 14 Menteng.[35]

Keesokan harinya, 17 Mei, surat yang lengkapnya berjudul Semuanya Harus Berakhir Dengan Baik (Husnul Khatimah) itu dikabarkan kepada para wartawan di Hotel Wisata oleh Cak Nur, Cak Nun, dan kawan-kawan.[36] Konferensi pers itu menjadi pembicaraan di banyak media esoknya, 18 Mei.[31] Pada 18 Mei itu juga, surat tersebut disampaikan ke Soeharto melalui Mensesneg ketika itu, Saadilah Mursyid.[37] Sore harinya, tak diduga, Harmoko sebagai Ketua DPR/MPR yang dikenal setia kepada Soeharto, membacakan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri dengan arif dan bijaksana. Malam harinya, ternyata Soeharto menyambut baik usulan untuk Husnul Khatimah. Melalui Saadilah Mursyid, Presiden Soeharto menghubungi Cak Nur dan menyatakan bersedia mundur kapan saja. Kabar itupun diteruskannya kepada Cak Nun.[38][37][33][31]

 
Emha Ainun Nadjib dan tokoh-tokoh nasional lain menyimak konferensi pers Soeharto setelah pertemuan 19 Mei 1998.

Setelah usulan dalam surat Husnul Khatimah diterima dan menyatakan akan mundur, Soeharto ingin merundingkan cara lengser terbaik, tercepat, tetapi berisiko minimal bagi bangsa Indonesia. Ia ingin membahasnya bersama perumus surat itu dan tokoh-tokoh muslim segera. Soeharto secara khusus meminta agar Gus Dur diikutsertakan. Cak Nur mengusulkan agar Amien Rais juga diundang, tapi ditolak Soeharto.[30] Tanggal 19 Mei pagi, pukul 09.00, sembilan tokoh masyarakat diterima Soeharto di Istana Merdeka. Yaitu Cak Nur, Cak Nun, Gus Dur, Ahmad Bagja, KH. Cholil Baidowi, K.H. Ali Yafie, K.H. Ma’ruf Amin, Malik Fadjar, dan Sumargono. Selain mereka bersembilan, Cak Nur juga mengajak Yusril Ihza Mahendra. Yusril ketika itu bekerja sebagai penyusun naskah pidato kepresidenan yang sebenarnya tidak masuk dalam undangan, tapi Cak Nur memaksa karena Yusril paham hukum ketatanegaraan.[31]

Pertemuan 19 Mei pagi itu dijadwalkan hanya berlangsung setengah jam, tapi ternyata molor hingga dua setengah jam.[30] Dalam pertemuan itu tidak ada perdebatan, tidak ada desakan, tidak ada tawar-menawar kekuasaan. Justru pertemuan itu santai dan penuh gelak tawa. Kesemua tokoh, satu-persatu berbicara kepada Soeharto. Semuanya menegaskan beliau harus segera mundur. Pertemuan itu terjadi berkat kepastian malam sebelumnya, ketika Soeharto menyatakan bersedia mundur kepada Cak Nur. Ibarat sebuah pernikahan, pertemuan itu adalah bagian “resepsi”, karena sebelumnya kepastian “akad nikah” lengser sudah terjadi.[37]

Soeharto berencana akan membentuk Kabinet Reformasi. Juga, ia menerima usulan adanya semacam Komite Reformasi, yang berangkat dari gagasan formula keempat reformasi sebagai jalan tengah yang tertera dalam surat Husnul Khatimah. Soeharto meminta Cak Nur untuk memimpin komite itu. Tapi permintaan itu dengan tegas ditolak. Bila kabinet dan komite itu terbentuk, Cak Nur meminta tidak boleh satu pun dari tokoh-tokoh yang hadir tanggal 19 Mei itu dimasukkan Soeharto ke dalamnya. Soeharto sebenarnya sangat berharap kepada mereka, karenanya penolakan itu mengecewakannya. Ketika konferensi pers setelah pertemuan, Soeharto belum menyatakan mundur.[31] Ia menyatakan akan melakukan reshuffle kabinet dan memimpin reformasi, juga tak akan bersedia dipilih lagi dalam pemilu mendatang. Tak ada pernyataan yang jelas kapan ia akan benar-benar turun dari kursi presiden selain kode “secepat-sepatnya”.[39]

Merespons pertemuan itu, Amien Rais mengadakan konferensi pers di kantor PP Muhammadiyah. Ia mengatakan bahwa dengan tak memberi gambaran program dan tempo yang jelas, Soeharto sama sekali tak memberi titik cerah kepada masyarakat. Itu juga menandakan dengan gamblang Soeharto gagal membaca aspirasi rakyatnya.[30]

Pada hari yang sama dengan pertemuan di Istana Merdeka itu, 14 menteri Kabinet Pembangunan VII menandatangani surat pengunduran diri dari kabinet, di Gedung Bappenas dan menolak dimasukkan ke dalam Kabinet Reformasi atau Komite Reformasi yang akan dibentuk. Mereka adalah Akbar Tanjung, A.M. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Sanyoto Sastrowardoyo, Subiakto Tjakrawerdaya, Sumahadi, Tanri Abeng, dan Theo L. Sambuaga.[40]

Keesokannya, 20 Mei, Soeharto menganggap pengunduran para menterinya yang ramai-ramai mundur, hanya rumor. Sampai Yusril yang berada di kediaman Soeharto di jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, mendapat kabar kepastian mundur itu langsung dari Akbar Tanjung, yang menunjukkan kopian surat pengunduran. Surat disampaikan ke Saadilah Mursyid, dan akhirnya Soeharto pun mendapat kepastian kabar itu. Merasa kehilangan dukungan politik, tidak didukung tokoh-tokoh yang menemuinya, dan masyarakat sudah ngamuk, “resepsi” lengser itu pun akhirnya terjadi. Pagi hari pukul 09.00, tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia di Istana Negara, dan kemudian Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden.[31]

Husnul Khatimah

Surat atau konsep Husnul Khatimah merupakan gagasan luhur yang lahir dari pemahaman atas Islam. Cak Nun mengungkapkan, jika ada seorang maling berhenti dari kemalingannya tidak harus melalui peristiwa dikepung lalu dipukuli beramai-ramai dulu. Tuhan masih memberi peluang Taubat dan Husnul Khatimah. Maka Soeharto perlu diambil perasaan dan psikologinya sehingga ia menyadari memang perlu mundur.[41]

Kerusuhan yang menewaskan banyak orang termasuk mahasiswa, penculikan-penculikan, situasi ekonomi yang sulit, korupsi-kolusi-kronisme-nepotisme yang akut, represi militer bertahun-tahun, ketidakbebasan berpendapat yang lama, dan berbagai kesalahan Soeharto lainnya, maka bisa dipahami segala situasi itu menyebabkan kebencian dan dendam yang mendalam masyarakat kepadanya. Mereka menghendaki pengalihan kekuasaan total dan tidak menoleransi keterlibatan Soeharto dalam reformasi. Sementara menurut pertimbangan dengan logika berpikir Husnul Khatimah, yang paling bertanggung jawab atas semua kesalahannya adalah Soeharto sendiri.[42]

 
Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, dan Yusril Ihza Mahendra dalam diskusi buku Islam Demokrasi Atas Bawah di Jakarta tahun 1998.

Cak Nur, Cak Nun dan kawan-kawan memilih untuk melakukan pendekatan yang berbeda, dengan berusaha tidak hanyut dalam arus kebencian yang tidak proporsional. Mencoba untuk tidak mengutuk-ngutuknya lagi walaupun ingin, karena sering mengalami tindakan represi dari rezim Orde Baru.[42] Sebelumnya, pada HUT Golkar ke-33 tanggal 19 Oktober 1997, Soeharto dalam pidatonya mengisyaratkan siap lengser keprabon madeg pandito.[43] Cak Nun memandang Soeharto yang berkuasa dengan kuat selama 32 tahun, pada saat militer masih dikendalikan penuh, dalam batinnya saat itu sudah madeg pandito. Maka tinggal disentuh hatinya agar dirinya menyelesaikan permasalahan dengan husnul khatimah.

Sebelum menawarkan Husnul Khatimah, terlebih dahulu dijelaskan tiga bentuk aspirasi reformasi yang muncul. Pertama, reformasi masih dalam kerangka sistem pemerintahan Orde Baru, yang berarti dilakukan bertahap hingga selesainya masa jabatan tahun 2003. Kedua, reformasi dalam sistem yang sangat berbeda dari Orde Baru. Yaitu Soeharto harus mundur. Ketiga, reformasi dengan proses kudeta. Dijelaskan dalam surat tersebut bahwa bentuk pertama tidak banyak menjanjikan dan terlalu lama. Sedangkan bentuk kedua dan ketiga akan memunculkan gerakan penentangan yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Maka Cak Nur, Cak Nun, dan kawan-kawan menawarkan bentuk keempat yang tetap mengandung kesulitan, tetapi relatif aman dan dapat memberi landasan legitimasi baru yang kuat untuk pemerintahan yang akan datang.[34]

Bentuk keempat inilah sebuah Husnul Khatimah yang intinya bahwa Soeharto bertekad memimpin sendiri reformasi secara menyeluruh. Dengan menyesali terjadinya krisis moneter, mengakui semua kesalahan dan segala kekeliruannya. Menyerahkan kekayaan pribadi dan keluarga untuk kepentingan bangsa dan negara. Kemudian Soeharto memimpin perbaikan-perbaikan yang ketentuan-ketentuannya dituangkan dalam legal-formal-konstitusional. Menyatakan bersedia mundur dari jabatan kepresidenan secepat mungkin melalui cara-cara damai dan konstitusional. Lalu membimbing bangsa Indonesia memasuki Millenium Ketiga. Juga disampaikan teknis waktu yang matang yaitu selama 20 bulan berikutnya, sampai tidak lebih dari tanggal 10 Januari 2000, pemilihan umum sudah harus terlaksana. Maksimal tanggal 11 Maret 2000 sudah terpilih presiden baru.[34]

Komite Reformasi

Gagasan Cak Nur dan Cak Nun selain bersikeras Soeharto untuk tetap mundur adalah, jika memakai logika reformasi, saat Soeharto mundur maka semestinya DPR/MPR juga ikut bubar. Karena keberadaan DPR/MPR selama masa kekuasaan Soeharto, dipandang hanya untuk mengukuhkan jabatan Presiden Soeharto. DPR/MPR dipandang bukan lembaga yang sesuai namanya yang mewakili rakyat. Maka perlu disiapkan Komite Reformasi yang akan menjadi embrio berdirinya Parlemen Reformasi sesegera mungkin.[44]

Komite Reformasi ini merupakan sebuah konsep sebagai langkah alternatif untuk menghindari konsekuensi naiknya B.J. Habibie yang dianggap masyarakat bagian dari Orde Baru. Karena bila B.J. Habibie menjadi presiden, akan muncul polarisasi konflik yang baru. Akan ada kelompok yang setuju kepada B.J. Habibie dan yang menolaknya.[45] Komite Reformasi ini semacam MPRS yang bertugas menyusun undang-undang politik dan pemilu, yang kemudian menyelenggarakan pemilu selama 6 bulan.

 
Emha Ainun Nadjib dan Abdurrahman Wahid menjelang pertemuan dengan Soeharto di Istana Merdeka.

Soeharto menyatakan akan membentuk Komite Reformasi dalam konferensi pers setelah bertemu sembilan tokoh pada 19 Mei. Yusril, bersama Saadilah, dipercaya Soeharto untuk merealisasikan pembentukan Komite Reformasi. Sekitar 45 nama diajak bergabung ke dalam Komite Reformasi.[40] 45 tokoh yang direncanakan masuk dalam Komite Reformasi ini antara lain Megawati Soekarno Putri, Gus Dur, Abdul Qadir Jailani, Adnan Buyung Nasution, Fahmi Idris, Y.B. Mangunwijaya, Kwik Kian Gie, Ali Sadikin, Daniel Sparingga, Muladi SH, Ismail Sunny, I Ketut Puja, Eggi R. Sudjana, Soelarso Supater, Adi Sasono, Affan Gaffar, Arbi Sanit, Achmad Tahir, Achmad Tirtosudiro, Ahmad Bagja, Akbar Tanjung, Albert Hasibuan, Anwar Hardjono, Anas Urbaningrum, A. M. Fatwa, Malik Fadjar, Harun Al-Rasyid, Hartono Suhardiman SE, Wiranto, Yusril Ihza Mahendra, serta para Rektor dari UI, ITB, UGM, Undip, Unair, Unpad, Unhas, IPB, dan IAIN Syarif Hidayatullah.[46]

Sebagai pemberi ide dibentuknya Komite Reformasi, sejak awal Cak Nur dan Cak Nun berjanji untuk tidak terlibat dalam komite maupun pemerintahan pasca lengsernya Soeharto.[47] Ini dilakukan untuk memberi contoh kepada masyarakat bahwa yang mereka lakukan bukanlah bertujuan kekuasaan. Karena kehadiran sembilan tokoh Islam ke Istana berada dalam posisi dicurigai masyarakat. Para tokoh ini sebelumnya dikenal kritis terhadap Soeharto selama krisis mulai melanda.[48] Cak Nur konsisten tidak mau memimpin komite ini, meskipun Soeharto mendesak.[49]

Yusril dan Saadilah pasca pertemuan itu tetap menjalankan perintah Soeharto untuk memformulasikan 45 nama-nama anggota Komite Reformasi. Namun orang-orang yang dihubungi, mayoritas menolak. Fahmi Idris yang awalnya mau, lantas mulai ragu-ragu. Ismail Sunny juga mengiyakan, tapi kemudian tidak mengontak lagi.[50]

Berbeda dengan Cak Nur, Cak Nun, dan Gus Dur yang mendukung adanya Komite Reformasi,[51] Amien Rais menolak gagasan itu karena menurutnya jika ketuanya adalah Soeharto sendiri, komite itu akan kehilangan kredibilitas dan akan sulit mencari tokoh yang kompeten untuk duduk di dalamnya.[30] Bahkan ia memandang, Komite Reformasi ini hanya cara Soeharto untuk mengulur waktu dan tetap berkuasa.[52] Sebenarnya Amien Rais akan ditunjuk sebagai Presiden Republik Indonesia oleh Komite Reformasi untuk memimpin masa transisi, namun Cak Nur tidak berhasil menjelaskan gagasan itu kepadanya.[53] Pada akhirnya Komite Reformasi pun kandas di tengah jalan, gagal terwujud.[54]

Ora Pathèken

Pada saat konferensi pers dalam pertemuan dengan sembilan tokoh di Istana Merdeka, Soeharto mengatakan “tidak jadi presisen tidak pathèken”. Idiomatik seperti ini bukan berasal dari habitat kulturnya Soeharto di Jawa Tengah dan Yogyakarta.[55] Istilah pathèken lazim diucapkan masyarakat Surabaya.[41]

Di dalam pertemuan itu Cak Nur menjadi juru bicara. Ia memberi kesempatan pertama kepada K.H. Ali Yafie untuk berbicara. Beliau menegaskan Soeharto harus mundur dan mengatakan mungkin ini pahit baginya.[56] Soeharto malah mengatakan, “Tidak, tidak pahit, saya sudah kapok jadi presiden”, yang kemudian menjadi headline berita koran Kompas esoknya, 20 Mei 1998. Ia dengan guyon mengatakan kapok sebanyak tiga kali sehingga Cak Nur menambahkan, “Kalau orang Jombang itu, bukan kapok, tapi tuwuk (kekenyangan).”[51] Cak Nun pun menimpali, “Ora dadi presiden, ora pathèken.”[57]

Gus Dur, oleh Cak Nur diberi kehormatan untuk bicara pada giliran akhir dan menjadi gongnya pertemuan. “Wah, tadi saya ketakutan ketika akan ketemu Pak Harto,” kata Gus Dur, “sebab saya pikir sampeyan ini monster. Tetapi alhamdulillah ternyata sampeyan ini ya manusia.”[37]

Kutipan konferensi pers Soeharto yang mengandung istilah ora patheken direkam koran Kompas saat itu:[51]

“Jadi, demikianlah, ada yang juga mengatakan, terus terang saja dalam bahasa Jawanya, tidak menjadi Presiden, tidak akan pathèk-en. Itu kembali menjadi warga negara biasa, tidak kurang terhormat dari Presiden asalkan bisa memberikan pengabdian kepada negara dan bangsa. Jadi, jangan dinilai saya sebagai penghalang, tidak sama sekali. Semata-mata karena tanggung jawab saya.”

Penghargaan

 
Emha Ainun Nadjib ketika menerima Anugerah Adam Malik tahun 1991.
 
Emha Ainun Nadjib menerima HIPIIS Social Science Awards 2017.

September 1991, Cak Nun menerima penghargaan Anugerah Adam Malik di Bidang Kesusastraan yang diberikan Yayasan Adam Malik. Penyerahan anugerah ini diselenggarakan di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta. Keputusan anugerah ini berdasarkan hasil seleksi lima orang juri, yaitu Rosihan Anwar, Adiyatman, Lasmi Jahardi, Wiratmo Soekito, dan Amy Prijono.[58][59]

Bulan Maret 2011, Cak Nun memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[60] Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa penerimaya memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.[60] Penerimaan penghargaan ini diwakili oleh putranya, Noe Letto.[61]

Pada pergelaran Festival Film Indonesia (FFI) 2012, Cak Nun dinominasikan dalam kategori penulis Cerita Asli Terbaik untuk cerita film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya. Film ini juga mendapatkan dua nominasi lain yaitu Tio Pakusadewo sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik, dan Christine Hakim sebagai Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.[62]

Dalam Kongres HIPIIS (Himpunan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) ke-10 yang diselenggarakan tahun 2017, Cak Nun memperoleh HIPIIS Social Sciences Award 2017 karena dipandang sebagai contoh ilmuwan sosial yang objektif dan mandiri, serta merupakan sosok yang kritis, independen, dan produktif. Cak Nun memperoleh penghargaan ini bersama ilmuwan Prof. Dr. R. Siti Zuhro M.A.[63]

Referensi

  1. ^ "Riwayat Panggilan 'Mbah Nun'". CakNun.com. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  2. ^ "Anak Petani Menggores Tinta Emas". Majalah SINAR. 1 Maret 1997. 
  3. ^ "Film 90-an, Novia Kolopaking Antara Sitti Nurbaya-Keluarga Cemara". bintang.com. Diakses tanggal 24 Agustus 2016. Ia menikah dengan budayawan Emha Ainun Nadjib pada 1997. 
  4. ^ "Riwayat Panggilan 'Mbah Nun'". CakNun.com. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  5. ^ "Terus Berkarya". CakNun.com. 8 Oktober 2019. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  6. ^ a b Hadi, Sumasno (2017). Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran. Bandung: Mizan. hlm. 50. ISBN 978-602-441-010-0. 
  7. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 49. 
  8. ^ a b Betts, Ian L. (2006). Jalan Sunyi Emha. Jakarta: Kompas. hlm. 7. ISBN 979-709-255-0. 
  9. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. 18. 
  10. ^ "Perjuangan Cak Fuad Menjaga Bahasa Al-Qur`an di Kancah Dunia". CakNun.com. 24 Januari 2017. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  11. ^ Nugraha, Latief S (2018). Sepotong Dunia Emha. Yogyakarta: Octopus. hlm. 94. ISBN 978-602-727-437-2. 
  12. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. xxii. 
  13. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 90. 
  14. ^ Tahajjud cinta Emha Ainun Nadjib. hlm. 28. 
  15. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 56. 
  16. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. 14. 
  17. ^ Wardhana, Sutirman Eka (2017). Yogya Bercerita: Catatan 40 Wartawan Ala Jurnalisme Malioboro. Yogyakarta: Tonggak Pustaka. hlm. 77. ISBN 978-602-745-877-2. 
  18. ^ H.D., Halim (1995). "Fenomena Emha". Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. xvi. 
  19. ^ a b Sepotong Dunia Emha. hlm. 131. 
  20. ^ Majid, Munzir (10 Oktober 2016). "Penabuh Gong". KenduriCinta.com. Diakses tanggal 5 Desember 2019. 
  21. ^ a b Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 78. 
  22. ^ Kurniawan, Didik W (10 April 2017). "Masih di Depan 'Cermin'". CakNun.com. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  23. ^ "Emha Ainun Nadjib Tampil di Indosiar". Majalah GATRA. 20 Januari 1996. 
  24. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. 36. 
  25. ^ a b "Silatnas Politik Cak Nun". Majalah SINAR. 1 Maret 1997. 
  26. ^ a b Ginting, Selamat (16 Juni 2018). "Soeharto, Tabir dan Takbir 1997". Republika. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  27. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 80. 
  28. ^ "Ramadlan di Suara Surabaya". CakNun.com. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  29. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. 23. 
  30. ^ a b c d e f Firdausi, Fadrik Aziz (19 Mei 2018). "Diminta Para Ulama untuk Mundur, Soeharto Bergeming". Tirto.id. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  31. ^ a b c d e f "Di Balik Detik-detik Itu". Majalah TEMPO. 18 Mei 2003. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  32. ^ Nadjib, Emha Ainun (2016). Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana. Yogyakarta: Bentang. hlm. 3 dan 10. ISBN 978-602-291-206-4. 
  33. ^ a b Nadjib, Emha Ainun (14 Mei 2018). "Reformasi NKRI, 7". CakNun.com. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  34. ^ a b c Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana. hlm. 32. 
  35. ^ Makka, A. Makmur (2008). Sidang Terakhir Kabinet Orde Baru: 12 Jam Sebelum Presiden Soeharto Mundur. Jakarta: Republika. hlm. 47. ISBN 978-979-110-240-7. 
  36. ^ Hisyam, Muhammad (2003). "Hari-Hari Terakhir Orde Baru". Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Pustaka Obor. hlm. 79. ISBN 978-602-433-161-0. 
  37. ^ a b c d Nadjib, Emha Ainun (2009). Demokrasi La Roiba Fih. Jakarta: Kompas. hlm. 115. ISBN 978-979-709-427-0. 
  38. ^ Tandjung, Akbar (2007). The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Jakarta: Gramedia. hlm. 69. ISBN 979-223-363-6. 
  39. ^ Parry, Richard Lloyd (2008). Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan. Jakarta: Serambi. hlm. 227. ISBN 978-979-024-058-2. 
  40. ^ a b "Hari Ini 20 Tahun Silam: Saat Soeharto Bertekuk Lutut". CNN Indonesia. 21 Mei 2015. Diakses tanggal 8 Desember 2019. 
  41. ^ a b Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana. hlm. 94. 
  42. ^ a b Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 95. 
  43. ^ Najib, Muhammad (1999). Suara Amien Rais Suara Rakyat. Jakarta: Gema Insani Press. hlm. 128. ISBN 979-561-490-8. 
  44. ^ Demokrasi la Roiba Fih. hlm. 116. 
  45. ^ M, Wens (23 Mei 1998). "Kami Beri Waktu Habibie Enam Bulan Untuk Memenuhi Tuntutan Kaum Reformis". 
  46. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran. hlm. 93. 
  47. ^ Agustian, Fahmi (21 Mei 2018). "Ora Dadi Presiden, Ora Pathèken (Akad Nikah Lengser Keprabon Soeharto)". CakNun.com. Diakses tanggal 8 Desember 2019. 
  48. ^ Gaus AF, Ahmad (2010). Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Kompas. hlm. 227. ISBN 978-979-709-514-7. 
  49. ^ Nadjib, Emha Ainun (17 Mei 2003). "Capres Kita 'Si Kung'". Majalah GATRA. Diakses tanggal 8 Desember 2019. 
  50. ^ Soempeno, Femi Adi (2008). Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru. Yogyakarta: Galang Press. hlm. 172. ISBN 978-979-249-954-4. 
  51. ^ a b c "Pak Harto: Saya Kapok Jadi Presiden". Kompas. 20 Mei 1998. 
  52. ^ "Hari Ini dalam Sejarah: 21 Mei 1998 Jadi Saksi Keruntuhan Hegemoni Soeharto oleh Gerakan Reformasi". National Geographic Indonesia. 21 Mei 2019. Diakses tanggal 9 Desember 2019. 
  53. ^ Demokrasi La Roiba Fih. hlm. 117. 
  54. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran. hlm. 94. 
  55. ^ Demokrasi La Roiba Fih. hlm. 114. 
  56. ^ Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana. hlm. 91. 
  57. ^ Sidang Kabinet Terakhir Orde Baru. hlm. 48. 
  58. ^ "Anugerah Adam Malik Untuk Emha". Jawa Pos. 5 September 1991. 
  59. ^ "Barangkali Saya Memang Konservatif". Jawa Pos. 10 September 1991. 
  60. ^ a b "Menbudpar Sematkan Satyalencana Kebudayaan 2010". antaranews.com. 24 Maret 2011. Diakses tanggal 24 Agustus 2016. 
  61. ^ "Noe Letto: Berkarya Tak Hanya Demi Penghargaan". KapanLagi.com. 24 Maret 2011. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  62. ^ "Diunggulkan Dapat Penghargaan, Reaksi Tio Datar". Kompas.com. 27 November 2012. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  63. ^ "Cak Nun dan Siti Zuhro Raih Penghargaan". LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). 10 Agustus 2017. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 

Pranala luar