Dinasti Song
Dinasti Song ([sʊ̂ŋ]; Min Hokien: 宋國, PŌJ: Sòng-kok; Hanzi: 宋朝; Pinyin: Sòng-cháo; W-G: Sung-ch'ao) adalah salah satu dinasti yang memerintah di Tiongkok antara tahun 960 sampai dengan tahun 1279 sebelum Tiongkok diinvasi oleh bangsa Mongol. Dinasti ini menggantikan periode Lima Dinasti dan Sepuluh Negara dan setelah kejatuhannya digantikan oleh Dinasti Yuan. Dinasti ini merupakan pemerintahan pertama di dunia yang mencetak uang kertas dan merupakan dinasti Tiongkok pertama yang mendirikan angkatan laut. Dalam periode pemerintahan dinasti ini pula, untuk pertama kalinya bubuk mesiu digunakan dalam peperangan dan kompas digunakan untuk menentukan arah utara.
Song 宋 | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
960–1279 | |||||||||||
Song Utara pada tahun 1111 | |||||||||||
Status | Kekaisaran | ||||||||||
Ibu kota | Bianjing (汴京) (960–1127) Lin'an (臨安) (1127–1276) | ||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Mandarin | ||||||||||
Agama | Buddhisme, Taoisme, Konfusianisme, Kepercayaan tradisional Tiongkok | ||||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||||
Kaisar | |||||||||||
• 960–976 | Kaisar Taizu | ||||||||||
• 1278–1279 | Kaisar Bing | ||||||||||
Menteri | |||||||||||
• – | Cai Jing, | ||||||||||
• – | Fan Zhongyan, | ||||||||||
• | Han Tuozhou, | ||||||||||
• – | Li Fang, | ||||||||||
• | Qin Hui, | ||||||||||
• | Sima Guang, | ||||||||||
Sejarah | |||||||||||
• Zhao Kuangyin menggulingkan Dinasti Zhou Akhir | 960 | ||||||||||
• Insiden Jingkang | 1127 | ||||||||||
• Penyerahan Lin'an | 1276 | ||||||||||
• Pertempuran Yamen, berakhirnya Dinasti Song | 1279 | ||||||||||
Luas | |||||||||||
Sekitar 962 | 1.050.000 km2 (410.000 sq mi) | ||||||||||
Sekitar 1111 | 2.800.000 km2 (1.100.000 sq mi) | ||||||||||
Sekitar 1142 | 2.000.000 km2 (770.000 sq mi) | ||||||||||
Populasi | |||||||||||
• 1120 | 118,800,000[a] | ||||||||||
Mata uang | Jiaozi, Huizi, Koin Tiongkok, Koin tembaga | ||||||||||
| |||||||||||
Sekarang bagian dari | Republik Rakyat Tiongkok Hong Kong Makau Vietnam | ||||||||||
Dinasti Song dibagi ke dalam dua periode berbeda, Song Utara dan Song Selatan. Semasa periode Song Utara (Hanzi: 北宋, 960–1127), ibu kota Song terletak di kota Bianjing (sekarang Kaifeng) dan dinasti ini mengontrol kebanyakan daerah Tiongkok dalam (daerah mayoritas suku Han). Song Selatan (Hanzi: 南宋, 1127–1279) merujuk pada periode setelah dinasti Song kehilangan kendali atas Tiongkok Utara yang direbut oleh Dinasti Jin. Pada masa periode ini, pemerintahan Song mundur ke selatan Sungai Yangtze dan mendirikan ibu kota di Lin'an (sekarang Hangzhou). Walaupun Dinasti Song telah kehilangan kendali atas daerah asal kelahiran kebudayaan Tiongkok yang berpusat di sekitar Sungai Kuning, ekonomi Dinasti Song tidaklah jatuh karena 60 persen populasi Tiongkok berada di daerah kekuasaan Song Selatan dan mayoritas daerah kekuasaannya merupakan tanah pertanian yang produktif.[1] Dinasti Song Selatan meningkatkan kekuatan angkatan lautnya untuk mempertahankan daerah maritim dinasti Song. Untuk mendesak Jin dan bangsa Mongol, dinasti Song mengembangkan teknologi militer yang menggunakan bubuk mesiu. Pada tahun 1234, Dinasti Jin ditaklukkan oleh bangsa Mongol. Möngke Khan, khan keempat kekaisaran Mongol, meninggal pada tahun 1259 dalam penyerangan ke sebuah kota di Chongqing. Saudara lelakinya, Kublai Khan kemudian dinyatakan sebagai khan yang baru, walaupun klaim ini hanya diakui oleh sebagian bangsa Mongol di bagian Barat. Pada tahun 1271, Kubilai Khan dinyatakan sebagai Kaisar Tiongkok.[2] Setelah peperangan sporadis selama dua dasawarsa, tentara Kubilai Khan berhasil menaklukkan dinasti Song pada tahun 1279. Tiongkok kemudian disatukan kembali di bawah Dinasti Yuan (1271–1368).[3]
Dinasti Song melakukan penyatuan dan membuat Tiongkok pada masa dinasti Song menjadi kerajaan terkaya, paling berkeahlian, dan paling padat di bumi.[4] Populasi Tiongkok meningkat dua kali lipat semasa abad ke-10 dan ke-11. Pertumbuhan ini didukung oleh perluasan pertanian padi di Tiongkok tengah dan selatan, penggunaan kultivar padi genjah dari Asia Selatan dan Tenggara (Vietnam), dan surplus produksi bahan pangan.[1][5] Sensus Dinasti Song Utara mencatat penduduk sekitar 50 juta. Angka ini menyamai populasi Tiongkok pada saat Dinasti Han dan Dinasti Tang. Data ini diperoleh dari sumber catatan Dua Puluh Empat Sejarah (Hanzi: 二十四史). Namun demikian, diperkirakan bahwa Dinasti Song Utara berpopulasi sekitar 100 juta jiwa.[6] Pertumbuhan populasi yang dramatis ini memacu revolusi ekonomi Tiongkok pramodern. Populasi yang meningkat ini merupakan salah satu penyebab lepasnya secara perlahan peranan pemerintah pusat dalam mengatur ekonomi pasar. Populasi yang besar ini juga meningkatkan pentingnya peranan para bangsawan rendah dalam menjalankan administrasi pemerintahan tingkat bawah.
Kehidupan sosial semasa Dinasti Song cukup bergairah. Elite-elite sosial saling berkumpul untuk memamerkan dan memperdagangkan karya-karya seni berharga, masyarakat saling berkumpul dalam festival-festival publik dan klub-klub pribadi, dan di kota-kota terdapat daerah perempatan dengan hiburan yang semarak. Penyebaran ilmu dan literatur didorong oleh pemutakhiran teknik percetakan balok kayu yang sudah ada dan penemuan percetakan huruf lepas pada abad ke-11. Teknologi, sains, filsafat, matematika, dan ilmu teknik pra-modern berkembang dengan pesat pada masa Dinasti Song. Walaupun institusi seperti ujian pegawai sipil telah ada sejak masa Dinasti Sui, institusi ini menjadi lebih menonjol pada periode Song. Hal inilah yang menjadi faktor utama bergesernya elite bangsawan menjadi elite birokrat.
Sejarah
Song Utara
Kaisar Song Taizu (memerintah 960–976) menyatukan Tiongkok dengan menaklukkan berbagai daerah-daerah kekuasaan semasa pemerintahannya dan mengakhiri pergolakan periode Lima Dinasti dan Sepuluh Negara. Di Kaifeng, ia mendirikan pemerintahan pusat yang kuat. Ia menjaga stabilitas administrasi negara dengan mempromosikan sistem ujian pegawai sipil dalam menunjuk pejabat-pejabat birokrat. Selain itu, ia juga memulai berbagai proyek-proyek yang bertujuan menjamin efisiensi komunikasi di seluruh kerajaan. Salah satu proyek tersebut adalah pembuatan peta tiap-tiap provinsi dan kota-kota kerajaan secara mendetail dan kesemuannya dikumpulkan menjadi satu atlas yang besar.[7] Ia juga mendorong inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mendukung berbagai karya-karya ilmiah seperti pembuatan menara jam astronomi yang dibuat oleh insinyur Zhang Sixun.[8]
Kerajaan Song memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan Chola di India, Fatimiyah di Mesir, Sriwijaya, Kekhanan Kara-Khanid dari Asia Tengah, dan kerajaan-kerajaan lainnya yang juga menjadi mitra dagang dengan Jepang.[9][10][11][12] Dari awal sejak didirikannya oleh Taizu, Dinasti Song secara bergantian terlibat dalam peperangan dan hubungan diplomasi dengan bangsa Khitan dari Dinasti Liao di Timur Laut dan bangsa Tangut dari Dinasti Xia Barat di Barat Laut. Dinasti Song menggunakan kekuatan militer dalam usahanya menumpas Dinasti Liao dan merebut kembali Enam belas Prefektur, daerah kekuasaan Khitan yang dianggap sebagai bagian dari Tiongkok.[13] Namun, tentara Song berhasil didesak oleh tentara Liao yang terlibat dalam kampanye perang agresif selama bertahun-tahun di daerah utara Song. Hal ini berhenti pada tahun 1005 dengan ditandatanganinya perjanjian Shanyuan. Bangsa Tiongkok kemudian dipaksa membayar upeti kepada bangsa Khitan, walaupun pembayaran upeti ini tidak memberikan dampak yang besar bagi ekonomi Song karena bangsa Khitan sangat bergantung pada impor barang dari Dinasti Song.[14] Dinasti Song berhasil memenangkan beberapa peperangan dengan bangsa Tangut pada awal abad ke-11. Kemenangan ini mencapai puncaknya di bawah arahan Jenderal Shen Kuo (1031–1095), yang juga seorang cendekiawan dan negarawan.[15] Namun, operasi militer ini pada akhirnya gagal oleh karena salah seorang rival Shen tidak mematuhi perintah langsung dan daerah yang berhasil direbut dari Xia Barat pada akhirnya lepas.[16] Terdapat pula perang yang signifikan melawan Dinasti Lý dari Vietnam dari tahun 1075 sampai dengan tahun 1077 dikarenakan sengketa wilayah perbatasan dan diputusnya hubungan dagang dengan kerajaan Đại Việt.[17] Setelah tentara Lý berhasil memberikan kerusakan parah dalam serangannya di Guangxi, komandan Song Guo Kui (1022–1088) kemudian membalas dengan menyerang balik sampai sejauh Thăng Long (sekarang Hanoi).[18] Oleh karena kerugian besar yang ditanggung oleh kedua belah pihak, Komandan Lý Thường Kiệt (1019–1105) kemudian menawarkan perjanjian damai dan mengizinkan kedua belah pihak mundur dari peperangan. Daerah-daerah yang berhasil direbut oleh Song dan Lý kemudian dikembalikan ke pihak masing-masing bersama dengan para tahanan perang pada tahun 1082.[19]
Selama abad ke-11, persaingan politik yang sengit kemudian memecah belah anggota-anggota istana kerajaan oleh karena perbedaan pendekatan, pendapat, dan kebijakan para menteri pejabat dalam menangani ekonomi dan masyarakat Song yang kompleks. Kanselir Fan Zhongyan (989–1052) yang merupakan seorang idealis, mendapatkan pukulan politik yang besar ketika ia berusaha melakukan reformasi dalam memperbaiki sistem perekrutan pejebat, meningkatkan gaji para pegawai rendah, dan menginisiasi program sponsor yang mengizinkan masyarakat luas mendapatkan pendidikan.[20] Setelah Fan dipaksa turun dari jabatannya, Wang Anshi (1021–1086) menjadi kanselir baru istana. Dengan dukungan Kaisar Shenzong (1067–1085), Wang Anshi mengkritik habis-habisan sistem pendidikan dan birokrasi negara. Untuk menyelesaikan apa yang ia lihat sebagai korupsi dan kelalaian negara, Wang mengimplementasikan sejumlah reformasi yang disebut sebagai Kebijakan Baru. Reformasi ini meliputi reformasi pajak tanah, pendirian monopoli pemerintah, dukungan terhadap milisi-milisi lokal, dan pembuatan standar baru dalam ujian kerajaan.[21] Reformasi ini menimbulkan perpecahan politik dalam istana kerajaan. Kelompok Kebijakan Baru Wang Anshi ditentang oleh golongan 'Konservatif' yang dipimpin oleh sejarawan dan Kanselir Sima Guang (1019–1086).[22] Seketika salah satu golongan menjadi mayoritas dalam kementerian istana, para pejabat saingan akan diturunkan jabatannya secara paksa dan diasingkan ke tempat-tempat terpencil di kerajaan.[21] Salah satu korban persaingan politik yang terkenal ini adalah negawaran dan penyair Su Shi (1037–1101). Ia dipenjarakan dan pada akhirnya diasingkan oleh karena mengkritik kebijakan reformasi Wang.[21]
Manakala politik istana Song terpecah dan terfokus pada masalah internal, peristiwa besar yang terjadi di Kerajaan Liao pada akhirnya mendapatkan perhatian Kerajaan Song. Bangsa Jurchen yang merupakan suku taklukkan Kerajaan Liao memberontak dan mendirikan kerajaan mereka sendiri, yakni Dinasti Jin (1115–1234).[23] Pejabat Song Tong Guan (1054–1126) menganjurkan Kaisar Huizong (1100–1125) membentuk aliansi dengan bangsa Jurchen dan melakukan operasi militer bersama untuk menaklukkan Dinasti Liao pada tahun 1125. Namun, buruknya prestasi dan lemahnya kekuatan militer tentara Song terlihat oleh bangsa Jurchen dan dengan segera mereka keluar dari aliansi dengan Song. Bangsa Jurchen kemudian menyerang daerah Song pada tahun 1125 dan 1127. Pada penyerangan tahun 1127, bangsa Jurchen bukan hanya dapat merebut ibu kota Song di Kaifeng, tetapi juga menawan Kaisar Huizong yang telah mengundurkan diri, penggantinya Qinzong, dan kebanyakan anggota istana.[23] Kejadian ini terjadi pada tahun Jinkang (Hanzi: 靖康) dan dikenal sebagai peristiwa Penghinaan Jinkang (Hanzi: 靖康之恥). Tentara Song yang tersisa kemudian bergabung di bawah perintah Kaisar Gaozong (1127–1162) yang mengangkat dirinya sebagai Kaisar. Dinasti Song kemudian mundur ke selatan Sungai Yangtze dan mendirikan ibu kota baru di Lin'an (sekarang Hangzhou). Penaklukan Tiongkok utara oleh bangsa Jurchen dan berpindahnya ibu kota dari Kaifeng ke Lin'an merupakan garis pemisah Dinasti Song Utara dengan Dinasti Song Selatan.
Song Selatan
Walaupun telah melemah dan didesak ke selatan, Dinasti Song Selatan berhasil meningkatkan ekonomi dan mempertahankan eksistensinya melawan Dinasti Jin. Dinasti Song Selatan memiliki perwira-perwira militer seperti Yue Fei dan Han Shizhong. Pemerintah Song juga mensponsori proyek-proyek besar seperti pembuatan kapal, perbaikan pelabuhan, pembangunan menara api dan gudang pelabuhan untuk mendukung perdagangan maritim luar negeri dan pelabuhan laut internasional seperti Quanzhou, Guangzhou, dan Xiamen, yang menyokong aktivitas perdagangan Tiongkok.[24][25][26] Untuk melindungi dan mendukung kapal-kapal yang melayari Laut Tiongkok Timur dan Laut Kuning (menuju Korea dan Jepang), Asia Tenggara, Samudra Hindia, dan Laut Merah, adalah perlu untuk mendirikan angkatan laut resmi.[27][28] Dinasti Song oleh karenanya mendirikan angkatan laut permanen pertama Tiongkok pada tahun 1132,[26] dengan markas besarnya di Dinghai.[29] Dengan adanya angkatan laut permanen, Kerajaan Song menjadi siap untuk menghadapi tentara laut Jin di Sungai Yangtze pada tahun 1161, pada Pertempuran Tangdao dan Pertempuran Caishi. Dalam pertempuran ini, angkatan laut Song menggunakan kapal perang yang diperlengkapi manjanik untuk melemparkan bom mesiu.[29] Walaupun armada Jin terdiri dari 70.000 orang dalam 600 kapal perang, sedangkan tentara Song hanya terdiri dari 3.000 orang dalam 120 kapal perang,[30] tentara Dinasti Song berhasil memenangkan kedua pertempuran ini oleh karena daya rusak bom yang kuat dan serangan cepat kapal berdayung roda.[31] Sejak saat itu, kekuatan angkatan laut sangat ditekankan. Satu abad setelahnya, angkatan laut Song telah meningkat drastis mencapai 52,000 tentara laut.[29] Pemerintah Song menyita sebagian tanah yang dimiliki oleh para bangsawan untuk meningkatkan pemasukan yang digunakan untuk membiayai proyek ini. Hal ini kemudian menyebabkan ketidakpuasan dan hilangnya kesetiaan para tokoh-tokoh terkemuka dalam masyarakat Song. Namun hal ini tidak menghentikan persiapan defensif Song.[32][33][34] Permasalahan finansial juga diperparah oleh banyaknya orang kaya yang menggunakan koneksi pemerintahan untuk mendapatkan status bebas pajak.[35]
Walaupun Dinasti Song berhasil menahan serang Jin, ancaman besar lainnya muncul di daerah utara Dinasti Jin. Bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan (memerintah 1206–1227) pada awalnya menyerang Dinasti Jin pada tahun 1205 dan 1209 dalam serangan mendadak di sepanjang perbatasannya. Pada tahun 1211, tentara Mongol dalam skala besar dikerahkan untuk menginvasi Jin.[36] Dinasti Jin kemudian dipaksa untuk tunduk dan membayar upeti kepara bangsa Mongol sebagai negara taklukan (vassal). Ketika Jin memindahkan ibu kotanya secara tiba-tiba dari Beijing ke Kaifeng, bangsa Mongol melihatnya sebagai pemberontakan.[37] Di bawah kepemimpinan Ögedei Khan (memerintah 1229–1241), Dinasti Jin dan Dinasti Xia Barat ditaklukkan oleh tentara Mongol.[37][38] Bangsa Mongol juga menginvasi Korea, Khalifah Abbasiyah di Timur Tengah, dan Kievan Rus' di Rusia. Pernah suatu kali bangsa Mongol beraliansi dengan Song, tetapi aliansi ini pecah setelah Song merebut kembali ibu kota terdahulu Kaifeng, Luoyang dan Chang'an pada saat keruntuhan Dinasti Jin. Pemimpin Mongol Möngke Khan memimpin sebuah operasi militer melawan Song pada tahun 1259, tetapi meninggal pada tanggal 11 Agustus semasa pertempuran di Chongqing.[39] Kematian Möngke dan berlarut-larutnya krisis kepemimpinan membuat Hulagu Khan menarik mundur sebagian besar tentara Mongol dari Timur Tengah. Walaupun Hulagu beraliansi dengan Kublai Khan, tentaranya tidak dapat membantu serangan melawan Song oleh karena adanya perang dengan Ulus Jochi.[40]
Kubilai terus melakukan serangan terhadap Song dan berhasil mendapatkan daerah pangkalan di tepi sungai selatan Yangtze.[41] Kubilai telah bersiap-siap untuk menyerang Ezhou, tetapi perang saudara dengan saudaranya Ariq Böke (saingannya dalam merebut takhta Khan Mongol) memaksa Kubilai memindahkan sebagian besar tentaranya kembali ke utara. Tanpa keberadaan Kubilai, tentara Song diperintahkan oleh Kanselir Jia Sidao untuk melakukan serangan dan berhasil memaksa mundur tentara Mongol ke tepi sungai utara Yangtze.[42] Terdapat sedikit bentrokan di perbatasan sampai dengan tahun 1265, ketika Kubilai memenangkan pertempuran di Sichuan.[43] Dari tahun 1268 sampai dengan 1273, Kubilai memblokade Sungai Yangtze dan menggempur Xiangyang. Penggempuran ini merupakan halangan terakhirnya dalam menginvasi daerah lembah aliran Sungai Yangtze.[43] Kublai secara resmi mendeklarasikan berdirinya Dinasti Yuan pada tahun 1271. Pada tahun 1275, 300.000 tentara Song di bawah Kanselir Jia Sidao dikalahkan oleh Jenderal Bayan.[44] Pada tahun 1276, kebanyakan daerah kekuasaan Song telah direbut oleh tentara Yuan.[38] Pada pertempuran Yamen di Delta Sungai Mutiara pada tahun 1279, tentara Yuan yang dipimpin oleh Jenderal Zhang Hongfan pada akhirnya berhasil mengakhiri perlawanan Song. Penguasa terakhir Song, Kaisar Song Bing, yang masih berumur 11 tahun melakukan bunuh diri bersama-sama dengan pejabat Lu Xiufu (陆秀夫)[45] dan 800 anggota kerajaan. Di bawah perintah Kubilai, keluarga kerajaan terdahulu Song dibiarkan hidup dan Kaisar Song Gongdi yang sebelumnya telah digulingkan diturunkan statusnya menjadi bangsawan Ying (Ying Guogong 瀛國公), tetapi pada akhirnya ia diasingkan ke Tibet dan menjadi pertapa.[46]
Masyarakat dan kebudayaan
Zaman pemerintahan Dinasti Song merupakan periode organisasi sosial dan administrasi yang maju dan rumit. Beberapa kota terbesar di dunia pada saat itu berada di Tiongkok, dengan Kaifeng dan Hangzhou berpenduduk lebih dari satu juta jiwa.[1][47] Masyarakat menikmati berbagai hiburan di kota-kota dan bergabung ke dalam berbagai klub-klub sosial. Selain itu, terdapat pula banyak sekolah dan kuil yang memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan.[1] Pemerintah Song mendukung bermacam-macam program kesejahteraan sosial, meliputi pendirian rumah pensiunan, klinik umum, dan pemakaman bagi orang miskin.[1] Dinasti Song juga memiliki layanan pos di seluruh negeri yang meniru model Dinasti Han. Sistem pelayanan pos ini memperlancar komunikasi di seluruh kerajaan.[48]
Walaupun wanita berstatus lebih rendah daripada pria (sesuai dengan etika Konfusius), mereka menikmati banyak hak-hak sosial dan hukum, dan memegang kekuasaan yang besar di rumah dan di usaha kecil mereka sendiri. Seiring dengan semakin sejahteranya masyarakat Song, para orang tua pengantin perempuan memberikan maskawin yang semakin besar pula untuk perkawinannya, dan secara alami para wanita mendapatkan banyak hak-hak hukum baru dalam kepemilikan tanah dan harta keluarga.[49] Para wanita juga memiliki status yang setara dengan para pria dalam hal mewarisi harta keluarga[50] Terdapat banyak wanita-wanita terdidik yang terkenal dari Dinasti Song, dan merupakan hal yang umum bagi para wanita untuk mendidik anak laki-lakinya.[51][52] Sebagai contohnya, ibu seorang jenderal, diplomat, ilmuwan, dan negarawan Shen Kuo mengajari Shen Kuo dasar-dasar strategi perang.[52] Terdapat pula penulis dan penyair wanita yang terkenal seperti Li Qingzhao (1084–1151).[49]
Pada periode Dinasti Song, agama memiliki peranan yang penting terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Tiongkok dan literatur-literatur bertopik spiritual sangatlah populer.[53] Dewa-dewi Taoisme, Buddhisme, dan Kepercayaan tradisional Tiongkok, beserta roh-roh leluhur disembah dengan memberikan sesajian. Tansen Sen menyatakan bahwa lebih banyak Bhikkhu dari India yang berkunjung ke Tiongkok semasa Dinasti Song daripada semasa Dinasti Tang (618–907).[54] Dengan banyaknya pendatang asing yang berkunjung ke Tiongkok untuk berdagang ataupun berimigrasi tinggal di sana, berbagai agama-agama asing juga masuk ke Tiongkok. Bangsa-bangsa asing yang ada di Tiongkok pada saat itu meliputi bangsa Timur Tengah yang beragama muslim, Yahudi Kaifeng, dan bangsa Persia yang beragama Maniisme.[55][56]
Masyarakat Song terlibat dalam kehidupan rumah tangga dan sosial yang vibran dan menikmati berbagai jenis festival publik seperti festival Lampion dan festival Qingming. Terdapat perempatan-perempatan hiburan di kota-kota besar yang menyediakan hiburan sepanjang malam. Terdapat pula dalang boneka, pemain akrobat, aktor teater, penelan pedang, penjinak ular, pendongeng, penyanyi dan pemusik, pelacur, dan tempat-tempat untuk berelaksasi seperti rumah teh, restoran, dan perjamuan besar.[1][57][58] Masyarakat berpartisipasi dalam klub-klub sosial dalam jumlah yang besar, meliputi klub minum teh, klub makanan eksotik, klub kolektor barang seni dan antik, klub pecinta kuda, klub penyair, dan klub musik.[1] Drama teatrikal juga sangat populer di kalangan elite dan masyarakat umum, walaupun bahasa yang dituturkan oleh aktor di panggung adalah bahasa Mandarin klasik dan bukanlah bahasa Mandarin sehari-hari.[59][60] Empat teater drama terbesar di Kaifeng dapat menampung hingga beberapa ribu penonton per teater.[61] Terdapat pula permainan catur igo dan xiangqi yang dimainkan di rumah untuk melewatkan waktu senggang.
Ujian pegawai negeri sipil dan Shenshi (紳士)
Semasa periode Dinasti Song, terdapat perhatian dan tekanan yang lebih luas terhadap sistem perekrutan pegawai sipil yang didasarkan pada ujian kerajaan. Hal ini bertujuan untuk menyeleksi orang-orang yang paling pantas dalam pemerintahan. Sistem pegawai sipil ini dilembagakan dalam skala kecil semasa Dinasti Sui dan Tang, tetapi memasuki periode Song, sistem ini menjadi satu-satunya cara pengangkatan para pejabat dalam pemerintahan.[62] Meluasnya teknologi percetakan membantu penyeberluasan ajaran-ajaran Konfusius dan mendidik lebih banyak kandidat ujian yang memenuhi syarat.[63] Hal ini dapat terlihat pada jumlah peserta ujian yang meningkat dari 30.000 peserta pada awal abad ke-11 menjadi 400.000 peserta pada akhir abad ke-13 setiap tahunnya.[63] Sistem ujian pegawai sipil ini mengizinkan meritokrasi, mobilitas sosial, dan kesetaraan yang lebih luas.[64] Berdasarkan statistik Dinasti Song, Edward A. Kracke, Sudō Yoshiyuki, dan Ho Ping-ti mendukung hipotesis bahwa tidak ada jaminan seseorang akan mendapatkan kedudukan jabatan yang setara dengan orang tuanya hanya karena ia merupakan anak, cucu, ataupun cicit dari salah seorang pejabat di kerajaannya.[64][65][66] Robert Hartwell dan Robert P. Hymes mengkritik model hipotesis ini dengan menyatakan bahwa model ini terlalu menekankan pada peran keluarga inti manakala mengabaikan peranan keluarga jauh dan realitas demografi Song pada saat itu, yakni bahwa terdapat sejumlah besar pria pada tiap-tiap generasi yang tidak memiliki anak lelaki yang bertahan hidup.[65][66] Banyak pula masyarakat yang merasa terampas haknya oleh apa yang mereka pandang sebagai sistem birokrasi yang memfavoritkan masyarakat kelas pemilik tanah yang dapat membiayai pendidikan dengan mudah.[64] Salah satu kritik terhadap sistem ini datang dari seorang pejabat dan penyair yang terkenal Su Shi. Namun, Su sendiri pun merupakan produk sistem tersebut, seiring dengan berubahnya identitas, kebiasaan, dan perilaku para pejabat yang menjadi kurang aristokratik dan menjadi lebih birokratik pada transisi periode Tang ke Song.[67] Pada awal berdirinya dinasti, jabatan-jabatan pemerintahan secara disproporsional dipegang oleh dua kelompok elite sosial, yaitu kelompok elite yang memiliki hubungan dengan Kaisar dan kelompok elite profesional yang menggunakan status klan, koneksi keluarga, dan perkawinan untuk mengamankan posisi jabatan.[68] Pada akhir abad ke-11, kedua kelompok elite tersebut perlahan-lahan menghilang dan digantikan oleh berbagai keluarga Shenshi (紳士).[69]
Oleh karena pertumbuhan populasi Tiongkok yang meningkat drastis dan jumlah pengangkatan pejabat yang terbatas (sekitar 20.000 pejabat aktif semasa periode Song), golongan Shenshi (紳士) mengambil alih tugas-tugas pemerintahan pada tingkat terbawah.[70] Selain para pejabat yang diangkat oleh pemerintah, yang menjadi anggota golongan sosial elite ini adalah para kandidat ujian, para peserta ujian yang telah lulus tapi belum diangkat, para pengajar, dan pejabat-pejabat yang telah pensiun.[71] Orang-orang yang terpelajar ini mengawasi urusan-urusan daerah lokal dan mensponsori fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh komunitas lokal yang diawasi; Hakim-hakim lokal yang diutus oleh pemerintah ke suatu daerah juga bergantung pada kerja sama dengan beberapa ataupun banyak kalangan elite shenshi daerah tersebut.[70] Sebagai contohnya, pemerintah Song -kecuali pada masa pemerintahan Kaisar Song Huizong- menyisihkan sedikit sekali pendapatan negara untuk membiayai sekolah-sekolah tingkat prefektur (州-zhou) dan kabupaten (縣-xian). Pembiayaan sekolah-sekolah tersebut didapatkan dari pembiayaan privat.[72] Terbatasnya peranan pejabat-pejabat pemerintahan ini berbeda dengan peran pejabat pada periode awal Dinasti Tang (618–907), di mana pemerintah secara ketat meregulasi pasar dan pemerintahan daerah. Pada zaman Dinasti Song, pemerintah melepaskan peranannya dalam meregulasi perdagangan dan sebaliknya bergantung pada anggota shenshi untuk mengerjakan tugas-tugas yang diperlukan dalam komunitas lokal.[70]
Golongan shenshi berbeda dari masyarakat lain karena hasrat intelektual dan pengoleksian barang kuno mereka,[73][74][75] sementara rumah-rumah tuan tanah yang penting menarik perhatian berbagai macam orang istana, termasuk pengrajin, seniman, guru, dan penghibur.[76] Meski diremehkan oleh pejabat elite yang lulus ujian, perdagangan tetap menjadi salah satu unsur yang penting dalam budaya dan masyarakat Song.[57] Pejabat dan ahli akan dianggap remeh oleh rekannya jika ia mencoba mencari uang selain dari gaji resminya; namun, tetap banyak pejabat dan ahli yang berdagang lewat agen perantara.[77]
Hukum, keadilan, dan ilmu forensik
Undang-undang dari masa Dinasti Tang masih banyak dipertahankan pada masa Dinasti Song, dan tetap menjadi dasar hukum tradisional Tiongkok hingga era modern.[78] Penegak hukum daerah bertugas menegakkan hukum dan menjaga ketertiban di kota dan kadang-kadang mengawasi pedesaan.[79] Sementara itu, hakim resmi yang mengawal kasus pengadilan tidak hanya harus menguasai hukum tertulis, tetapi juga mengangkat moralitas dalam masyarakat.[78] Hakim seperti Bao Qingtian (999–1062) harus menjadi hakim yang jujur, bermoral, dan tidak pernah gagal menerapkan asas-asasnya. Hakim Song bertugas menentukan siapa yang bersalah dan menjatuhkan hukuman yang tepat (sering kali hukuman pukulan rotan).[78][80] Terdakwa yang dibawa ke pengadilan karena kejahatan kriminal atau sipil tidak dipandang tak bersalah hingga bukti menunjukkan yang sebaliknya, sementara sang penuduh sendiri juga sangat dicurigai oleh hakim.[80] Akibat mahalnya biaya pengadilan serta pemenjaraan langsung bagi orang yang bersalah, rakyat Song lebih suka menyelesaikan sengketa tanpa melibatkan pengadilan.[80]
Meng Xi Bi Tan karya Shen Kuo mengkritik kepercayaan anatomi tradisional Tiongkok (misalnya, Shen Kuo berpendapat bahwa hanya ada dua katup tenggorokan dan bukan tiga); karya ini mungkin mendorong ketertarikan akan otopsi setelah kematian di Tiongkok selama abad ke-12.[81][82] Dokter dan hakim yang bernama Song Ci (1186–1249) menulis karya yang memelopori ilmu forensik di Tiongkok yang mampu menentukan sebab kematian (dicekik, diracuni, ditenggelamkan, dll) suatu mayat dan membuktikan apakah kematian diakibatkan oleh pembunuhan, bunuh diri, atau kecelakaan.[83] Song Ci menekankan perilaku koroner (pejabat yang memeriksa sebab kematian) yang tepat dan pencatatan proses penentuan sebab kematian oleh juru tulis resmi.[84]
Militer dan metode peperangan
Militer Song diatur sedemikian rupa agar tak dapat mengancam kekuasaan kaisar, yang kadang mengakibatkan berkurangnya efektivitas dalam perang. Dewan Militer Song Utara dijalankan oleh seorang kanselir, yang tidak memiliki kuasa akan angkatan bersenjata kekaisaran. Angkatan bersenjata kekaisaran dibagi di antara tiga marsekal, yang masing-masing bertanggung jawab kepada kaisar. Karena kaisar jarang memimpin kampanye militer secara langsung, kesatuan komando agak kurang.[85] Jenderal yang berhasil sering kali dianggap sebagai ancaman bagi otoritas kekaisaran, dan sering kali dijatuhkan atau bakhan dihukum mati (seperti Li Gang,[86] Yue Fei, dan Han Shizhong.[87])
Walaupun tentara dipandang rendah oleh para pejabat,[88] mereka bisa memperoleh status dan martabat dengan menjadi perwira militer berpangkat tinggi yang telah memenangkan berbagai pertempuran.[89] Pada puncaknya, terdapat satu juta tentara di Dinasti Song,[21] yang dibagi menjadi peleton berisi 50 tentara, kompi yang terdiri dari dua peleton, dan satu batalion yang berisi 500 tentara.[90][91] Pembusur silang dipisah dari infanteri reguler dan ditempatkan dalam satuan mereka sendiri karena merupakan penembak yang efektif dalam menghadapi serangan kavaleri.[91] Pemerintah gencar mensponsori rancangan busur silang baru yang mampu menjangkau jarak yang lebih jauh, sementara pembusur silang juga sangat penting saat menjadi penembak runduk jarak jauh.[92] Kavaleri Song menggunakan berbagai macam senjata, seperti halberd, pedang, panah, tombak, dan ganjur api yang melontarkan ledakan api dari mesiu dan peluru shrapnel.[93]
Strategi dan pelatihan militer dianggap sebagai ilmu yang dapat dipelajari dan disempurnakan; tentara diuji berdasarkan kemampuan penggunaan senjata dan atletik.[94] Tentara dilatih agar mampu mengikuti sinyal untuk bergerak maju saat panji dilambaikan dan berhenti saat bel dan drum dibunyikan.[91]
Angkatan laut Song berperan penting dalam konsolidasi kekaisaran pada abad ke-10; selama peperangan melawan Tang Selatan, angkatan laut Song menerapkan taktik seperti melindungi jembatan ponton yang besar di Sungai Yangtze untuk mengamankan pergerakan tentara dan persediaan.[95] Di Dinasti Song terdapat beberapa kapal besar yang mampu mengangkut 1.000 tentara,[96] sementara perahu kincir air dianggap sebagai perahu tempur yang sangat penting untuk memenangkan pertempuran laut.[96][97]
Dalam pertempuran pada 23 Januari 971, panah api besar yang ditembak oleh pemanah silang Dinasti Song berhasil membinasakan korps gajah perang Han Selatan.[98] Berkat kemenangan ini, Han Selatan berhasil ditundukkan, dan korps gajah perang tidak lagi digunakan sebagai divisi reguler dalam angkatan bersenjata Tiongkok.[98]
Terdapat 347 risalah militer yang ditulis pada masa Dinasti Song, seperti yang dicantumkan oleh teks sejarah Song Shi (disusun tahun 1345).[99] Namun, hanya sedikit risalah yang masih bertahan, seperti Wujing Zongyao yang ditulis pada tahun 1044. Risalah tersebut merupakan buku pertama yang mencantumkan formula untuk mesiu.[100][101] Selain itu, Wujing Zongyao juga menyajikan rincian dan gambaran pelempar api pompa piston ganda, dan juga instruksi untuk merawat dan memperbaiki komponen dan peralatan yang digunakan.[102]
Seni, sastra, dan filsafat
Seni visual pada masa Dinasti Song mengalami kemajuan dengan adanya perkembangan baru dalam lukisan lanskap dan potret. Seni seperti melukis, berpuisi, dan menulis kaligrafi merupakan waktu luang bagi golongan shenshi.[103] Penyair dan negarawan Su Shi dan rekannya Mi Fu (1051–1107) gemar mengoleksi barang antik, dan sering kali meminjam atau membeli seni untuk dipelajari dan disalin.[20] Sastra dan persajakan mengalami kemajuan karena kepopulerannya yang terus meningkat dan dikembangkannya gaya puisi ci. Volume-volume ensiklopedia disusun, seperti historiografi dan risalah teknik. Contohnya adalah teks sejarah universal Zizhi Tongjian yang disusun menjadi 1.000 volume yang mengandung 9,4 juta aksara Mandarin. Aliran sastra perjalanan juga menjadi populer berkat tulisan Fan Chengda (1126–1193) dan Su Shi. Su Shi sendiri unik karena menulis esai perjalanan harian dengan gaya penulisan persuasif untuk mendukung suatu argumen filosofis.[104] Meskipun gaya direktori geografis lokal sudah ada di Tiongkok semenjak abad ke-1, pada masa Dinasti Song gaya baru yang telah matang yang disebut "risalah perihal suatu tempat" atau fangzhi menggantikan gaya lama "panduan peta" atau tujing.[105]
Istana kaisar dipenuhi dengan pelukis, penulis kaligrafi, penyair, dan pencerita. Kaisar Huizong juga merupakan seniman dan pelindung seni yang terkenal. Contoh pelukis istana yang sangat terhormat adalah Zhang Zeduan (1085–1145), yang melukis lukisan panorama Qingming Shanghe Tu (Di Sepanjang Sungai Selama Festival Qingming). Kaisar Gaozong melancarkan proyek seni besar-besaran yang dikenal dengan nama Hujia Shiba Pai (Delapan Belas Lagu Suling Pengembara) yang didasarkan dari kisah kehidupan Cai Wenji (lahir 177). Proyek seni ini merupakan langkah diplomatik untuk Dinasti Jin agar ibunda Kaisar dibebaskan.[106]
Dalam dunia filsafat, pengaruh Buddhisme Tiongkok telah memudar, tetapi pengaruhnya dalam dunia seni dan amal biara masih terasa. Buddhisme sangat memengaruhi pergerakan Neo-Konfusianisme yang dipimpin oleh Cheng Yi (1033–1107) dan Zhu Xi (1130–1200).[107] Konsep universalisme etika dalam Buddha Mahayana memengaruhi Fan Zhongyan dan Wang Anshi,[108] sementara metafisika Buddha sangat berdampak bagi doktrin pra-Neo-Konfusianisme Cheng Yi.[107] Karya filosofis Cheng Yi sendiri pada gilirannya memengaruhi Zhu Xi. Meskipun penulisannya tidak diterima oleh rekan kontemporernya, penjelasan dan penekanan Zhu terhadap Empat Kitab dan Lima Klasik sebagai pengenalan Konfusianisme menjadi dasar doktrin Neo-Konfusianisme. Pada tahun 1241, dengan sokongan dari Kaisar Lizong, Empat Kitab dan Lima Klasik serta penjelasan Zhu Xi menjadi persyaratan standar bagi orang yang ingin lulus ujian pegawai negeri.[109] Negara-negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea juga menerapkan ajaran Zhu Xi, yang dikenal dengan nama Shushigaku (朱子学, Mazhab Zhu Xi) di Jepang dan Jujahak (주자학) di Korea. Sementara itu, pengaruh Buddhisme tampak pula dalam berbagai lukisan seperti Pencucian Luohan karya Lin Tinggui. Namun, Buddhisme juga menuai kritikan dan bahkan cibiran. Negarawan dan sejarawan Ouyang Xiu (1007–1072) menyebut agama tersebut sebagai "kutukan" yang hanya bisa disembuhkan dengan menghapuskannya dari budaya Tiongkok dan menggantikannya dengan Konfusianisme.[110] Buddhisme tidak akan mengalami kebangkitan yang sesungguhnya dalam masyarakat Tiongkok hingga Dinasti Yuan Mongol berkuasa, saat Kublai Khan mendukung Buddhisme Tibet dan Drogön Chögyal Phagpa sebagai lama. Tidak hanya itu, sekte Nestorianisme dalam Kekristenan, yang telah memasuki Tiongkok pada masa Dinasti Tang, juga akan mengalami kebangkitan pada masa Dinasti Yuan.[111]
Makanan dan pakaian
Di Dinasti Song, makanan yang dimakan dan pakaian dan dikenakan ditentukan oleh status dan kelas sosial. Makanan penduduk kelas bawah adalah nasi, babi, dan ikan yang digarami;[112][112] pakaian mereka terbuat dari serat rami atau kapas, dengan warna yang terbatas pada hitam dan putih.[113] Celana dikenakan oleh petani, tentara, pengrajin, dan pedagang, meskipun pedagang kaya mungkin akan memilih untuk mengenakan pakaian yang berhias bunga dan blus lelaki yang mencapai pinggang.[114] Pakaian untuk para pejabat ditentukan dari sistem kedudukan hierarki sosial. Namun, seiring berlalunya waktu, aturan pakaian berdasarkan kedudukan ini tidak ditegakkan secara ketat seperti pada masa awal Dinasti Song.[115] Setiap pejabat dapat menunjukkan status yang diperolehnya dengan mengenakan jubah sutra tradisional yang berwarna beda dan menggantung di sekitar kaki, penutup kepala jenis tertentu, atau bahkan korset bergaya tertentu yang menunjukkan kepejabatannya.[116]
Perempuan di Dinasti Song mengenakan pakaian panjang, blus yang mencapai kaki, rok, dan jaket dengan lengan panjang atau pendek, sementara perempuan dari keluarga kaya dapat mengenakan selendang ungu di sekitar pundak mereka.[117] Pakaian perempuan dikencangkan di sebelah kiri, sementara pakaian laki-laki di sebelah kanan.[117]
Ada banyak menu restoran dan kedai dan entrée untuk pesta, perjamuan, festival, dan karnaval,[118] yang terdiri dari makanan yang mewah dan beragam macam untuk penduduk dari kelas atas. Mereka dapat memilih berbagai macam daging, seperti udang, angsa, kerang, rusa, kelinci, partridge, ayam pegar, burung francolin, burung puyuh, rubah, musang luwak, tiram, kepiting, dan masih banyak lagi.[119][120][121] Dalam budaya Tiongkok, produk susu tidak tersedia, daging sapi jarang dimakan karena diperlukan untuk mengangkut, dan anjing tidak dimakan oleh orang kaya, sementara orang miskin dapat memakan anjing jika perlu (namun bukan bagian dari makanan sehari-hari).[122] Rakyat Song juga mengonsumsi kurma, kismis, jujube, pir, plum, aprikot, jus pir, jus leci, minuman jahe dan madu, jus pepaya, lada Sichuan, jahe, pimento, kecap, minyak nabati, minyak wijen, garam, dan cuka.[118][120][123][124]
Ekonomi, industri, dan perdagangan
Ekonomi Dinasti Song merupakan salah satu yang paling sejahtera dan maju pada abad pertengahan. Dinasti Song menanamkan modalnya dalam perseroan terbatas dan perahu layar saat keuntungan dari perdagangan luar negeri dan domestik di sepanjang Terusan Besar Tiongkok dan Sungai Yangtze diperoleh.[125] Keluarga pedagang dan bisnis swasta yang penting diperbolehkan menguasai industri yang tidak dimonopoli pemerintah.[21][126] Industri swasta dan pemerintah sama-sama penting dalam memenuhi kebutuhan rakyat Song.[21][126] Pengrajin dan pedagang membentuk serikat, dan pemerintah harus berurusan dengan serikat tersebut saat membebani pajak, memerlukan barang, dan menetapkan upah minimum pekerja dan harga barang.[125][127]
Industri besi ditekuni oleh wiraswasta yang memiliki peleburan mereka sendiri dan pemerintah.[128] Ekonomi Song mampu memproduksi lebih dari seratus juta kilogram (bernilai sekitar dua ratus juta pound) besi setiap tahunnya.[129] Penggundulan hutan besar-besaran di Tiongkok berhasil dihentikan dengan adanya inovasi penggunaan batu bara daripada arang di tempat peleburan pada abad ke-11.[129] Sebagian besar besi tersebut dimanfaatkan untuk membuat senjata dan mempersenjatai pasukan, tetapi beberapa juga digunakan untuk menghasilkan barang yang diminta oleh pasar. Perdagangan besi di Tiongkok semakin diperkuat dengan pembangunan terusan baru yang membantu pengiriman barang besi dari pusat produksi ke pasar besar di ibu kota.[130]
Pendapatan tahunan Song dalam bentuk mata uang logam tembaga pada tahun 1085 tercatat sebesar enam miliar koin.[131] Kemajuan paling penting dalam ekonomi Song adalah diprakarsainya percetakan uang kertas, yang disebut Jiaozi.[131] Untuk mencetak uang kertas, pemerintah mendirikan beberapa pabrik di kota Huizhou, Chengdu, Hangzhou, dan Anqi.[132] Jumlah orang yang dipekerjakan dalam pabrik tersebut besar; pada tahun 1175, pabrik di Hangzhou tercatat mempekerjakan lebih dari seribu pekerja dalam satu hari.[132]
Kekuatan ekonomi Dinasti Song sangat memengaruhi oleh ekonomi asing. Al-Idrisi dari Maroko pada tahun 1154 menulis kegagahan kapal pedagang Tiongkok di Samudra Hindia dan perjalanan tahunan mereka yang membawa besi, pedang, sutra, beludru, porselen, dan berbagai macam tekstil ke tempat seperti Aden (Yemen), Sungai Indus, dan Efrat (kini Irak).[28] Sebaliknya, orang asing juga memengaruhi ekonomi Tiongkok. Misalnya, banyak orang Muslim dari Asia Barat dan Tengah yang datang ke Tiongkok untuk berdagang, dan berperan penting dalam ekspor-impor, sementara beberapa di antaranya bahkan ditunjuk sebagai pejabat yang bertugas mengawasi urusan ekonomi.[56][133] Perdagangan dengan Pasifik Selatan, dunia Hindu, dunia Islam, dan Afrika Timur memperkaya para pedagang dan memacu pertumbuhan industri pembangunan kapal di Fujian.[134] Namun, terdapat pula risiko dalam melakukan perdagangan luar negeri yang jauh. Untuk mengurangi risiko kerugian, menurut sejarawan Ebrey, Walthall, dan Palais:
Penanam modal [Dinasti Song] biasanya menanamkan modalnya di banyak kapal, dan masing-masing kapal memiliki banyak penanam modal. Seorang pengamat memperhatikan bahwa hasrat untuk menanamkan modal di bidang perdagangan luar negeri telah menyebabkan arus keluar uang tembaga. Ia menulis, 'Orang di sepanjang pantai mengenal dengan baik pedagang yang berdagang di luar negeri, baik karena mereka adalah rekan sebangsa atau merupakan kenalan pribadi....[Mereka memberikan para pedagang tersebut] uang untuk membeli dan membawa kembali barang asing. Mereka menanamkan modal dari sepuluh hingga ratusan deret uang, dan sering kali memperoleh keuntungan beberapa ratus persen'.[67]
Teknologi, sains, dan teknik
Mesiu
Kemajuan dalam teknologi senjata yang dipicu oleh bubuk mesiu, termasuk perkembangan pelempar api awal, granat eksplosif, senjata api, meriam, dan ranjau darat, memampukan Dinasti Song untuk mengusir musuh mereka hingga kejatuhannya pada abad ke-13.[136][137][138][139][140] Manuskrip Wujing Zongyao pada tahun 1044 merupakan buku pertama dalam sejarah yang menyajikan bahan bubuk mesiu dan pemanfaatannya sebagai berbagai macam bom.[135] Saat berperang melawan Mongol, pada tahun 1259 pejabat Li Zengbo menulis dalam karyanya Kezhai Zagao, Xugaohou bahwa kota Qingzhou sedang memproduksi satu hingga dua ribu bom berselubung besi setiap bulannya, dan mengirim sepuluh hingga dua puluh ribu bom tersebut ke Xiangyang dan Yingzhou.[141] Sebaliknya, bangsa Mongol mempekerjakan tentara Tiongkok utara dan menggunakan jenis mesiu yang sama untuk melawan Song.[142] Pada abad ke-14, senjata api dan meriam juga dapat ditemui di Eropa, India, dan Timur Tengah, pada masa awal bubuk mesiu.
Pengukuran jarak dan navigasi mekanis
Semenjak masa Dinasti Han, saat negara harus mengukur jarak yang ditempuh di kekaisaran, orang Tiongkok menggunakan alat odometer.[143] Odometer Tiongkok berbentuk dokar. Gigi dalamnya berfungsi dari gerak rotasi roda, dan satuan jarak li ditandai dengan alarm drum atau bel.[144] Spesifikasi odometer pada abad ke-11 ditulis oleh Kepala Bendahara Lu Daolong, yang banyak dikutip dalam teks sejarah Song Shi (disusun tahun 1345).[145] Pada masa Dinasti Song, odometer dipadu dengan alat mekanik kuno lainnya yang disebut kereta kuda yang menunjuk ke selatan.[146] Alat yang awalnya ditemukan oleh Ma Jun pada abad ke-3 ini menggabungkan gigi diferensial yang membuat figur yang dimuat di atas kereta untuk selalu mengarah ke selatan.[147]
Polymath, penemuan, dan astronomi
Tokoh polymath seperti negarawan Shen Kuo dan Su Song (1020–1101) merupakan lambang kemajuan dalam berbagai macam bidang ilmu, seperti biologi, botani, zoologi, geologi, mineralogi, mekanika, horologi, astronomi, kedokteran, arkeologi, matematika, kartografi, optik, kritik seni, dan masih banyak lagi.[74][148][149]
Shen Kuo merupakan orang pertama yang memahami deklinasi magnetik utara sejati saat sedang bereksperimen dengan sebuah kompas.[150][151] Shen membuat teori bahwa iklim berubah secara bertahap seiring dengan berjalannya waktu.[152][153] Ia membuat teori pembentukan tanah, dengan beberapa konsep di dalamnya sesuai dengan geomorfologi modern.[154] Ia melakukan percobaan optik dengan menggunakan kamera obscura beberapa dekade sebelum Ibn al-Haytham melakukannya.[155] Shen juga memperbaiki rancangan alat astronomi seperti tabung pengamatan yang memampukan Shen Kuo untuk memperbaiki posisi bintang kutub (yang telah bergeser).[156] Lebih lagi, Shen Kuo membuat jam hidrolik. Ia menemukan jam air baru yang lebih akurat dalam mengukur waktu.[156]
Su Song dikenal karena risalah horologinya yang ditulis pada tahun 1092, yang mendeskripsikan secara detail menara jam astronomis setinggi 12 m berkekuatan hidraulis yang dibangun di Kaifeng. Menara jam tersebut menggunakan alat astronomis besar seperti bola armiler atau benda bulat yang digerakkan oleh mekanisme escapement yang bekerja berselang.[157][158] Selain itu, menara jam Su Song memanfaatkan rantai,[159] yang juga dipakai untuk sepeda. Di menara jam Su juga terdapat roda gigi yang berputar dengan 133 maneken pendongkrak jam yang diatur untuk berputar sementara memukuli gong, bel, dan drum, dan menempatkan lempengan pengumuman.[160] Di bukunya, Su menerbitkan atlas lima peta bintang. Peta bintang tersebut menampilkan proyeksi silindris yang mirip dengan proyeksi Mercator.[161][162]
Matematika dan kartografi
Ada banyak kemajuan dalam matematika Tiongkok pada masa Dinasti Song. Buku yang diterbitkan pada tahun 1261 oleh matematikawan Yang Hui (c. 1238–1298) menyajikan ilustrasi segitiga Pascal versi Tiongkok, meskipun konsep tersebut sudah dideskripsikan oleh Jia Xian pada tahun 1100.[163] Yang Hui juga menulis aturan untuk membentuk susunan kombinasi dalam segi empat ajaib, mencantumkan bukti teoretis untuk dalil parallelogram Euklides, dan menggunakan koefisien negatif 'x' dalam persamaan kuadrat.[164] Semasa dengan Yang, Qin Jiushao (c. 1202–1261) adalah orang pertama yang memperkenalkan lambang nol dalam matematika Tiongkok;[165] sebelumnya hanya ruang kosong yang digunakan.[166] Ia juga dikenal akan karyanya tentang teorema sisa, rumus Heron, dan penentuan titik balik matahari musim dingin. Karya besar Qin adalah Shushu Jiuzhang (Risalah Matematika dalam Sembilan Bab) yang diterbitkan pada tahun 1247.
Geometri merupakan ilmu yang penting dalam kartografi. Peta Tiongkok paling awal berasal dari abad ke-4,[167] namun berkat Pei Xiu (224–271) konsep ketinggian topografis, grid persegi panjang, dan skala diterapkan dalam peta.[168][169] Dengan mengikuti tradisi panjang, Shen Kuo membuat peta timbul, sementara petanya yang lain menyajikan skala 1:900.000.[170][171] Peta kuadrat dari tahun 1137 yang terukir di blok batu mengikuti skala grid seragam sebesar 100 li untuk setiap grid, dan dapat memetakan pantai dan sungai di Tiongkok hingga India secara akurat.[172] Lebih lagi, peta terrain tertua di dunia berasal dari ensiklopedia Yang Jia pada tahun 1155, yang menampilkan Tiongkok Barat tanpa sistem grid (yang merupakan ciri peta Tiongkok yang dibuat secara profesional).[173] Meskipun pembuat direktori geografis sudah ada semenjak tahun 52 pada masa Dinasti Han dan telah disertai dengan peta ilustratif (Mandarin: tujing) semenjak masa Dinasti Sui, petunjuk perjalanan berilustrasi lebih banyak beredar pada masa Dinasti Song, yang bermanfaat untuk bidang politik, administratif, dan militer.[174]
Percetakan huruf lepas
Percetakan huruf lepas dipelopori oleh seniman Bi Sheng (990–1051), yang pertama kali dideskripsikan oleh ilmuwan dan negarawan Shen Kuo dalam karyanya Meng Xi Bi Tan (Esai Kolam Mimpi) pada tahun 1088.[176][177] Koleksi rupa huruf Bi Sheng diturunkan ke salah satu keponakan Shen Kuo, dan secara hati-hati dipelihara.[177][178] Percetakan huruf lepas menyempurnakan penggunaan metode percetakan balok kayu yang sudah menyebar. Kemajuan dalam bidang percetakan ini sangat membantu bidang pendidikan dan pejabat karena lebih banyak buku yang dapat diproduksi dengan lebih cepat, dan juga biaya percetakan besar-besaran lebih murah daripada menyalin satu per satu dengan tulisan tangan.[63][67] Dengan semakin meluasnya percetakan pada periode Song, mobilitas sosial pun meningkat dan orang terdidik dan ahli menjadi semakin banyak; jumlah ahli berkembang pesat dari abad ke-11 hingga 13.[63][179]
Percetakan huruf lepas yang ditemukan oleh Bi Sheng pada akhirnya dikalahkan oleh percetakan balok kayu karena batasan sistem penulisan aksara Mandarin, tetapi percetakan huruf lepas masih tetap digunakan dan terus diperbaiki pada periode berikutnya. Pejabat Dinasti Yuan Wang Zhen (fl. 1290–1333) menerapkan proses penyusunan huruf yang lebih cepat, mengganti perangkat karakter bergerak tanah liat Bi dengan kayu, dan mencoba menggunakan penggerak timah-logam.[180] Pelindung percetakan yang kaya dari Dinasti Ming Hua Sui (1439–1513) membuat penggerak logam Tiongkok pertama (menggunakan perunggu) pada tahun 1490.[181] Pada tahun 1638, surat kabar Beijing mengganti proses percetakan mereka dari kayu menjadi penggerak.[182] Namun, baru pada masa Dinasti Qing proyek percetakan besar-besaran mulai menggunakan percetakan huruf lepas, seperti percetakan enam puluh enam salinan 5.020 volume ensiklopedia Gujin Tushu Jicheng (Koleksi Lengkap Ilustrasi dan Penulisan dari Masa Paling Awal hingga Sekarang) pada tahun 1725, yang memerlukan pembuatan 250.000 karakter percetakan huruf lepas dalam bentuk perunggu.[183] Pada abad ke-19, mesin cetak Eropa menggantikan metode percetakan huruf lepas Tiongkok, sementara percetakan balok kayu masih digunakan jarang-jarang untuk alasan estetis.
Teknik hidrolik dan nautika
Pada masa Dinasti Song, teknik hidrolik dan teknologi nautika mengalami kemajuan yang signifikan. Pada abad ke-10, sistem pintu air ditemukan, sehingga permukaan air dapat dinaikkan atau diturunkan untuk bagian terusan tertentu. Hal ini membantu mengamankan lalu lintas terusan. Selain itu, tongkang besar juga dapat lewat.[185] Inovasi kompartemen sekat (bulkhead) kedap air membantu kapal agar tidak tenggelam saat lambungnya rusak.[67][186] Apabila kapal rusak, orang Tiongkok pada abad ke-11 telah menemukan cara untuk memanfaatkan galangan kering untuk memperbaiki kapal.[187] Di galangan tersebut, palang dimanfaatkan untuk memperkuat kapal.[188] Kemudi yang dipasang di buritan sudah ada semenjak masa Dinasti Han pada abad ke-1. Pada periode Song, orang Tiongkok telah menemukan cara untuk mengangkat dan menurunkan kemudi secara mekanis agar kapal dapat mengarungi perairan dengan berbagai macam kedalaman.[188] Rakyat Song juga menyusun jangkar dalam pola sirkuler daripada satu arah saja.[188] David Graff dan Robin Higham menyatakan bahwa cara ini "lebih dapat diandalkan" dalam menjangkarkan kapal.[188] Salah satu inovasi nautika paling penting pada masa Dinasti Song adalah diperkenalkannya kompas magnetik untuk navigasi di laut.[170] Kompas magnetik pertama kali ditulis oleh Shen Kui dalam Esai Kolam Mimpinya pada tahun 1088, dan juga oleh Zhu Yu dalam karyanya Pembicaraan Meja Pingzhou yang diterbitkan pada tahun 1119.
Teknik struktural dan arsitektur
Arsitektur pada masa Dinasti Song mencapai kemutakhiran baru. Pengarang seperti Yu Hao (abad ke-10) dan Shen Kuo (abad ke-11) menulis buku yang menguraikan tata letak arsitektur, ketrampilan, dan teknik struktural. Shen Kuo menyimpan dialog tertulis Yu Hao yang mendeskripsikan isu teknis seperti topangan miring yang dibangun di menara pagoda untuk menahan angin.[189] Shen Kuo juga menyimpan dimensi dan satuan pengukuran Yu untuk berbagai jenis bangunan.[190] Arsitek Li Jie (1065–1110), yang menerbitkan Yingzao Fashi (Risalah Metode Arsitektur) pada tahun 1103, mengembangkan karya Yu Hao dan menyusun kode bangunan standar yang digunakan oleh badan pemerintah dan pengrajin di seluruh kekaisaran.[191] Ia menyampaikan metode standar konstruksi, desain, dan penggunaan parit, perbentengan, bangunan batu, bangunan kayu besar dan kecil, ukiran kayu, penggalian, penggergajian, bangunan bambu, pengubinan, tembok, pengecatan, dekorasi, pembataan, pembuatan genteng, serta menyajikan rumus mortar dalam pertukangan batu.[192][193] Dalam bukunya, Li menuliskan ilustrasi detail mengenai komponen arsitektur dan penampang bangunan. Ilustrasi tersebut menampilkan penggunaan korbel, lengan kantilever, serta purus dan lubang.[194] Ia juga menguraikan satuan pengukuran dan dimensional standar untuk semua komponen bangunan yang dideskripsikan dan digambarkan di bukunya.[195]
Proyek bangunan besar-besaran didukung oleh pemerintah, seperti didirikannya pagoda Buddha dan pembangunan jembatan besar. Pagoda yang didirikan kebanyakan tingginya melebihi sepuluh tingkat. Salah satu yang terkenal adalah Pagoda Besi yang dibangun pada tahun 1049 pada masa Song Utara dan Pagoda Liuhe yang dibangun pada tahun 1165 pada masa Song Selatan. Pagoda tertinggi yang dibangun Song adalah Pagoda Liaodi di Hebei yang dibangun pada tahun 1055, dengan tinggi 84 m. Sementara itu, beberapa jembatan panjangnya mencapai 1220 m, dan cukup lebar untuk menampung dua jalur.[196] Pemerintah juga mengawasi pembangunan kantor pemerintahan, apartemen istana, perbentengan kota, kuil leluhur dan kuil Buddha.[197]
Pekerjaan sebagai arsitek, pengrajin, tukang kayu, dan insinyur tidak dipandang profesional seperti pejabat. Pengetahuan arsitektur telah diturunkan secara lisan selama ribuan tahun di Tiongkok, biasanya dari ayah pengrajin ke anaknya. Sekolah teknik struktural dan arsitektur pernah berdiri pada masa Dinasti Song; salah satu sekolah teknik yang bergengsi terletak di Fujian dan dikepalai oleh Cai Xiang (1012–1067) .[198]
Seni Song yang menggambarkan cityscape dan bangunan lain membantu ahli modern untuk merekonstruksi dan memahami arsitektur Song. Artis Dinasti Song seperti Li Cheng, Fan Kuan, Guo Xi, Zhang Zeduan, Kaisar Huizong, dan Ma Lin melukis bangunan dan juga citra kota yang menampilkan jembatan, balai, paviliun, pagoda, dan tembok kota. Ilmuwan dan negarawan Shen Kuo dikenal karena kritiknya terhadap arsitektur. Ia mengatakan bahwa lebih penting bagi seorang seniman untuk menangkap sudut pandang holistik suatu lanskap daripada berfokus kepada sudut dan pojok bangunan.[199] Misalnya, Shen mengkritik karya pelukis Li Cheng karena gagal menerapkan asas "melihat yang kecil dari sudut pandang besar" dalam menggambarkan bangunan.[199]
Arkeologi
Pejabat pada masa Dinasti Song gemar memperoleh barang peninggalan kuno dari situs-situs arkeologi untuk memulihkan penggunaan wadah kuno dalam upacara kenegaraan.[200] Pejabat juga berhasil menemukan wadah perunggu kuno yang dibuat pada masa Dinasti Shang (1600–1046 SM) dan mengandung aksara Shang.[201] Beberapa mencoba untuk membuat kembali wadah perunggu tersebut dengan menggunakan imajinasi belaka; praktik ini dikritik oleh Shen Kuo dalam karyanya pada tahun 1088.[200] Akan tetapi, Shen Kuo masih melontarkan lebih banyak kritik. Ia menentang gagasan rekannya bahwa barang peninggalan kuno dibuat oleh "tetua bijak" terkenal atau oleh aristokrat kuno; Shen menyatakan kerajinan tangan dan wadah yang ditemukan dibuat oleh pengrajin dan orang biasa.[200] Ia juga tidak menyetujui pemanfaatan benda arkeologis untuk ritual kenegaraan karena Shen mengambil pendekatan interdisipliner terhadap arkeologi dan juga menekankan pembelajaran fungsionalitasnya dan penyelidikan proses pembuatan benda tersebut.[200] Sementara itu, Shen menggunakan teks kuno dan model bola armiler yang ada untuk membuat benda berdasarkan standar kuno. Ia juga mendeskripsikan senjata kuno seperti alat bidik pada busur silang.
Walaupun banyak yang tertarik kepada arkeologi hanya untuk upacara kenegaraan, beberapa rekan Shen juga memiliki cara pandang yang sama dengannya. Ouyang Xiu (1007–1072) menyusun katalog analitis untuk penggosokan batu dan perunggu yang memelopori gagasan dalam epigrafi dan arkeologi.[74] Pada abad ke-11, ahli Song menemukan kuil kuno Wu Liang (78-151), seorang ahli dari Dinasti Han; mereka menghasilkan penggosokan untuk ukiran yang mendekorasi tembok makamnya agar dapat dianalisis di tempat lain.[202] Perihal ketakterandalan teks sejarah yang ditulis setelah suatu peristiwa berlangsung, pejabat Zhao Mingcheng (1081–1129) menyatakan "...ukiran di batu dan perunggu dibuat pada saat suatu peristiwa berlangsung dan dapat dipercaya tanpa syarat, dan maka perbedaan [dengan teks sejarah] dapat ditemukan."[203] Sejarawan R.C. Rudolph menyatakan bahwa kekhawatiran Zhao mengenai sumber kontemporer untuk penanggalan yang akurat itu sejalan dengan keprihatinan sejarawan Jerman Leopold von Ranke (1795–1886),[203] dan hal tersebut memang ditekankan oleh banyak ahli Song.[204] Sementara itu, ahli Song Hong Mai (1123–1202) mengkritik katalog arkeologis Bogutu karena "tidak masuk akal".[205] Hong Mai memperoleh wadah kuno dari Dinasti Kuno dan membandingkannya dengan deskripsi di katalog, yang ia dapati sangat tidak akurat sehingga ia harus "menahan tawa."[206] Hong Mai menuduh bahwa hal tersebut merupakan kesalahan Kanselir Cai Jing (1047–1126) yang melarang para ahli untuk membaca dan membandingkan dengan sejarah tertulis.[206]
Lihat pula
Catatan
^ a: Pada masa pemerintahan dinasti Song, populasi dunia bertumbuh dari sekitar 250 juta menjadi 330 juta. Lihat pula Demografi Abad Pertengahan.
Catatan kaki
- ^ a b c d e f g Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 167.
- ^ Rossabi 1988, hlm. 115
- ^ Rossabi 1988, hlm. 76
- ^ McNeill, William H. (1982). The Pursuit of Power: Technology, Armed Force, and Society since A.D. 1000. University of Chicago Press. ISBN 0226561577., p. 50
- ^ Brook 1998, hlm. 96
- ^ Veeck et al. 2007, hlm. 103–104
- ^ Needham 1986b, hlm. 518
- ^ Needham 1986c, hlm. 469–471
- ^ Hall 1985, hlm. 23
- ^ Sastri 1984, hlm. 173, 316
- ^ Shen 1996, hlm. 158
- ^ Brose 2008, hlm. 258
- ^ Mote 1999, hlm. 69.
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 154.
- ^ Sivin 1995, hlm. 8.
- ^ Sivin 1995, hlm. 9.
- ^ Anderson 2008, hlm. 207.
- ^ Anderson 2008, hlm. 208.
- ^ Anderson 2008, hlm. 208–209.
- ^ a b Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 163.
- ^ a b c d e f Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 164.
- ^ Sivin 1995, hlm. 3–4.
- ^ a b Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 165.
- ^ Wang 2000, hlm. 14.
- ^ Sivin 1995, hlm. 5.
- ^ a b Paludan 1998, hlm. 136.
- ^ Shen 1996, hlm. 159–161.
- ^ a b Shen 1996, hlm. 159–161.
- ^ a b c Needham 1986d, hlm. 476.
- ^ Levathes 1994, hlm. 43–47.
- ^ Needham 1986a, hlm. 134.
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 239.
- ^ Embree & Gluck 1997, hlm. 385.
- ^ Adshead 2004, hlm. 90–91.
- ^ Rossabi 1988, hlm. 80.
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 235.
- ^ a b Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 236.
- ^ a b Needham 1986a, hlm. 139.
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 240.
- ^ Rossabi 1988, hlm. 55–56.
- ^ Rossabi 1988, hlm. 49.
- ^ Rossabi 1988, hlm. 56.
- ^ a b Rossabi 1988, hlm. 82.
- ^ Rossabi 1988, hlm. 88.
- ^ Rossabi 1988, hlm. 94.
- ^ Rossabi 1988, hlm. 90.
- ^ Fairbank & Goldman 2006, hlm. 89.
- ^ Needham 1986d, hlm. 35.
- ^ a b Ebrey 1999, hlm. 158.
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 170–171.
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 71.
- ^ a b Sivin 1995, hlm. 1.
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 172.
- ^ Sen 2003, hlm. 13.
- ^ Gernet 1962, hlm. 82–83.
- ^ a b Needham 1986d, hlm. 465.
- ^ a b "China", Encyclopædia Britannica, 2007, diakses tanggal June 28, 2007
- ^ Gernet 1962, hlm. 222–225.
- ^ Gernet 1962, hlm. 223.
- ^ Rossabi 1988, hlm. 162.
- ^ West 1997, hlm. 76.
- ^ Ebrey 1999, hlm. 145–146.
- ^ a b c d Ebrey 1999, hlm. 147
- ^ a b c Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 162.
- ^ a b Hartwell 1982, hlm. 417–418.
- ^ a b Hymes 1986, hlm. 35–36.
- ^ a b c d Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 159.
- ^ Hartwell 1982, hlm. 405–413.
- ^ Hartwell 1982, hlm. 416–420.
- ^ a b c Fairbank & Goldman 2006, hlm. 106.
- ^ Fairbank & Goldman 2006, hlm. 101–106.
- ^ Yuan 1994, hlm. 196–199
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 162–163
- ^ a b c Ebrey 1999, hlm. 148.
- ^ Fairbank & Goldman 2006, hlm. 104.
- ^ Gernet 1962, hlm. 92–93.
- ^ Gernet 1962, hlm. 60–61, 68–69.
- ^ a b c Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 161.
- ^ McKnight 1992, hlm. 155–157.
- ^ a b c Gernet 1962, hlm. 107.
- ^ Sivin 1995, hlm. 30–31
- ^ Sivin 1995, hlm. 30–31, footnote 27.
- ^ Gernet 1962, hlm. 170.
- ^ Sung 1981, hlm. 12, 72.
- ^ Bai Shouyi, 2002, hal. 239
- ^ Bai Shouyi, 2002,hal. 250
- ^ Bai Shouyi, 2002, hal. 254
- ^ Graff & Higham 2002, hlm. 25–26.
- ^ Lorge 2005, hlm. 43.
- ^ Lorge 2005, hlm. 45.
- ^ a b c Peers 2006, hlm. 130.
- ^ Peers 2006, hlm. 130–131.
- ^ Peers 2006, hlm. 131.
- ^ Peers 2006, hlm. 129.
- ^ Graff & Higham 2002, hlm. 87.
- ^ a b Graff & Higham 2002, hlm. 86–87.
- ^ Needham 1986d, hlm. 422.
- ^ a b Schafer 1957, hlm. 291.
- ^ Needham 1986e, hlm. 19.
- ^ Needham 1986e, hlm. 119.
- ^ Needham 1986e, hlm. 122–124.
- ^ Needham 1986e, hlm. 82–84.
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 81–83
- ^ Hargett 1985, hlm. 74–76.
- ^ Bol 2001, hlm. 44.
- ^ Ebrey 1999, hlm. 151.
- ^ a b Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 168.
- ^ Wright 1959, hlm. 93.
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 169.
- ^ Wright 1959, hlm. 88–89.
- ^ Gernet 1962, hlm. 215.
- ^ a b Gernet 1962, hlm. 136.
- ^ Gernet 1962, hlm. 128–130.
- ^ Gernet 1962, hlm. 130.
- ^ Gernet 1962, hlm. 128.
- ^ Gernet 1962, hlm. 127–128.
- ^ a b Gernet 1962, hlm. 129.
- ^ a b Gernet 1962, hlm. 133.
- ^ Gernet 1962, hlm. 134–137.
- ^ a b Rossabi 1988, hlm. 78.
- ^ West 1997, hlm. 73.
- ^ Gernet 1962, hlm. 135–136.
- ^ Gernet 1962, hlm. 134–138.
- ^ West 1997, hlm. 86.
- ^ a b Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 157.
- ^ a b Needham 1986c, hlm. 23.
- ^ Gernet 1962, hlm. 88, 94.
- ^ Wagner 2001, hlm. 178–179, 181–183.
- ^ a b Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 158.
- ^ Embree & Gluck 1997, hlm. 339.
- ^ a b Ebrey, Walthall & Palais 2006, hlm. 156.
- ^ a b Needham 1986e, hlm. 48.
- ^ "Islam in China (650–present): Origins", Religion & Ethics - Islam, BBC, Archived from the original on 2007-02-08, diakses tanggal 2007-08-01
- ^ Golas, Peter (1980), "Rural China in the Song", The Journal of Asian Studies, 39 (2): 291–325, doi:10.2307/2054291, JSTOR 2054291
- ^ a b Needham 1986e, hlm. 117.
- ^ Needham 1986e, hlm. 80.
- ^ Needham 1986e, hlm. 82.
- ^ Needham 1986e, hlm. 220–221.
- ^ Needham 1986e, hlm. 192.
- ^ Rossabi 1988, hlm. 79.
- ^ Needham 1986e, hlm. 173–174.
- ^ Needham 1986e, hlm. 174–175.
- ^ Needham 1986c, hlm. 283.
- ^ Needham 1986c, hlm. 281–282.
- ^ Needham 1986c, hlm. 283–284.
- ^ Needham 1986c, hlm. 291.
- ^ Needham 1986c, hlm. 287.
- ^ Needham 1986a, hlm. 136.
- ^ Needham 1986c, hlm. 446.
- ^ Mohn 2003, hlm. 1.
- ^ Embree & Gluck 1997, hlm. 843.
- ^ Chan 2002, hlm. 15.
- ^ Needham 1986b, hlm. 614.
- ^ Sivin 1995, hlm. 23–24.
- ^ Needham 1986c, hlm. 98.
- ^ a b Sivin 1995, hlm. 17.
- ^ Needham 1986c, hlm. 445.
- ^ Needham 1986c, hlm. 448.
- ^ Needham 1986c, hlm. 111.
- ^ Needham 1986c, hlm. 165, 445.
- ^ a b Needham 1986d, hlm. 569.
- ^ a b Needham 1986b, hlm. 208.
- ^ Needham 1986b, hlm. 134–137.
- ^ Needham 1986b, hlm. 46, 59–60, 104.
- ^ Needham 1986b, hlm. 43.
- ^ Needham 1986b, hlm. 62–63.
- ^ Hsu 1993, hlm. 90–93.
- ^ Hsu 1993, hlm. 96–97
- ^ Needham 1986b, hlm. 538–540.
- ^ a b Sivin 1995, hlm. 22.
- ^ Temple 1986, hlm. 179.
- ^ Needham 1986b, hlm. 547–549, Plate LXXXI
- ^ Needham 1986b, hlm. 549, Plate LXXXII
- ^ Hargett 1996, hlm. 406, 409–412.
- ^ Sivin 1995, hlm. 32.
- ^ Needham 1986e, hlm. 201–203.
- ^ a b Sivin 1995, hlm. 27.
- ^ Needham 1986c, hlm. 33.
- ^ Ebrey 2006, hlm. 159–160.
- ^ Needham 1986e, hlm. 206–208, 217.
- ^ Needham 1986e, hlm. 212–213.
- ^ Brook 1998, hlm. xxi
- ^ Needham 1986e, hlm. 215–216.
- ^ Needham 1986d, hlm. 350.
- ^ Needham 1986d, hlm. 350–351.
- ^ Needham 1986d, hlm. 463.
- ^ Needham 1986d, hlm. 660.
- ^ a b c d Graff & Higham 2002, hlm. 86.
- ^ Needham 1986d, hlm. 141.
- ^ Needham 1986d, hlm. 82–84.
- ^ Guo 1998, hlm. 4–6.
- ^ Needham 1986d, hlm. 85.
- ^ Guo 1998, hlm. 5.
- ^ Needham 1986d, hlm. 96–100, 108–109.
- ^ Guo 1998, hlm. 1–6.
- ^ Needham 1986d, hlm. 151–153.
- ^ Needham 1986d, hlm. 84.
- ^ Needham 1986d, hlm. 153.
- ^ a b Needham 1986d, hlm. 115.
- ^ a b c d Fraser & Haber 1986, hlm. 227.
- ^ Fairbank & Goldman 2006, hlm. 33.
- ^ Hansen 2000, hlm. 142.
- ^ a b Rudolph 1963, hlm. 170.
- ^ Rudolph 1963, hlm. 172.
- ^ Rudolph 1963, hlm. 170–171.
- ^ a b Rudolph 1963, hlm. 171.
Referensi
- Adshead, S. A. M. (2004), T'ang China: The Rise of the East in World History, New York: Palgrave Macmillan, ISBN 1-4039-3456-8 (hardback).
- Anderson, James A. (2008), "'Treacherous Factions': Shifting Frontier Alliances in the Breakdown of Sino-Vietnamese Relations on the Eve of the 1075 Border War", dalam Wyatt, Don J., Battlefronts Real and Imagined: War, Border, and Identity in the Chinese Middle Period, New York: Palgrave MacMillan, hlm. 191–226, ISBN 978-1-4039-6084-9
- Bai, Shouyi (2002), An Outline History of China (edisi ke-Revised), Beijing: Foreign Languages Press, ISBN 7-119-02347-0
- Bol, Peter K. (2001), "The Rise of Local History: History, Geography, and Culture in Southern Song and Yuan Wuzhou", Harvard Journal of Asiatic Studies, 61 (1): 37–76, doi:10.2307/3558587, JSTOR 3558587
- Brook, Timothy (1998), The Confusions of Pleasure: Commerce and Culture in Ming China, Berkeley: University of California Press, ISBN 978-0-520-22154-3
- Brose, Michael C. (2008), "People in the Middle: Uyghurs in the Northwest Frontier Zone", dalam Wyatt, Don J., Battlefronts Real and Imagined: War, Border, and Identity in the Chinese Middle Period, New York: Palgrave MacMillan, hlm. 253–289, ISBN 978-1-4039-6084-9
- Ebrey, Patricia Buckley; Walthall, Anne; Palais, James B. (2006), East Asia: A Cultural, Social, and Political History, Boston: Houghton Mifflin, ISBN 0-618-13384-4
- Ebrey, Patricia Buckley (1999), The Cambridge Illustrated History of China, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 0-521-66991-X (paperback).
- Embree, Ainslie Thomas; Gluck, Carol (1997), Asia in Western and World History: A Guide for Teaching, Armonk: ME Sharpe, ISBN 1-56324-264-8
- Chan, Alan Kam-leung; Clancey, Gregory K.; Loy, Hui-Chieh (2002), Historical Perspectives on East Asian Science, Technology and Medicine, Singapore: Singapore University Press, ISBN 9971-69-259-7
- Fairbank, John King; Goldman, Merle (2006) [1992], China: A New History (edisi ke-2nd enlarged), Cambridge; London: The Belknap Press of Harvard University Press, ISBN 0-674-01828-1
- Fraser, Julius Thomas; Haber, Francis C. (1986), Time, Science, and Society in China and the West, Amherst: University of Massachusetts Press, ISBN 0-87023-495-1
- Gernet, Jacques (1962), Daily Life in China on the Eve of the Mongol Invasion, 1250-1276, Translated by H. M. Wright, Stanford: Stanford University Press, ISBN 0-8047-0720-0
- Graff, David Andrew; Higham, Robin (2002), A Military History of China, Boulder: Westview Press
- Guo, Qinghua (1998), "Yingzao Fashi: Twelfth-Century Chinese Building Manual", Architectural History: Journal of the Society of Architectural Historians of Great Britain, 41: 1–13
- Hall, Kenneth (1985), Maritime trade and state development in early Southeast Asia, Hawaii: University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-0959-9
- Hansen, Valerie (2000), The Open Empire: A History of China to 1600, New York & London: W.W. Norton & Company, ISBN 0-393-97374-3
- Hargett, James M. (1985), "Some Preliminary Remarks on the Travel Records of the Song Dynasty (960–1279)", Chinese Literature: Essays, Articles, Reviews (CLEAR), hlm. 67–93
- Hargett, James M. (1996), "Song Dynasty Local Gazetteers and Their Place in The History of Difangzhi Writing", Harvard Journal of Asiatic Studies, 56 (2): 405–442, doi:10.2307/2719404, JSTOR 2719404
- Hartwell, Robert M. (1982), "Demographic, Political, and Social Transformations of China, 750-1550", Harvard Journal of Asiatic Studies, 42 (2): 365–442, doi:10.2307/2718941, JSTOR 2718941
- Hymes, Robert P. (1986), Statesmen and Gentlemen: The Elite of Fu-Chou, Chiang-Hsi, in Northern and Southern Sung, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 0-521-30631-0
- Hsu, Mei-ling (1993), "The Qin Maps: A Clue to Later Chinese Cartographic Development", Imago Mundi, 45: 90–100, doi:10.1080/03085699308592766
- Levathes, Louise (1994), When China Ruled the Seas, New York: Simon & Schuster, ISBN 0-671-70158-4
- Lorge, Peter (2005), War, Politics and Society in Early Modern China, 900–1795 (edisi ke-1st), New York: Routledge
- McKnight, Brian E. (1992), Law and Order in Sung China, Cambridge: Cambridge University Press
- Mohn, Peter (2003), Magnetism in the Solid State: An Introduction, New York: Springer-Verlag, ISBN 3-540-43183-7
- Mote, F. W. (1999), Imperial China: 900–1800, Harvard: Harvard University Press
- Needham, Joseph (1986a), Science and Civilization in China: Volume 1, Introductory Orientations, Taipei: Caves Books
- Needham, Joseph (1986b), Science and Civilization in China: Volume 3, Mathematics and the Sciences of the Heavens and the Earth, Taipei: Caves Books
- Needham, Joseph (1986c), Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part 2: Mechanical Engineering, Taipei: Caves Books
- Needham, Joseph (1986d), Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part 3: Civil Engineering and Nautics, Taipei: Caves Books
- Needham, Joseph (1986e), Science and Civilization in China: Volume 5, Chemistry and Chemical Technology, Part 7: Military Technology; The Gunpowder Epic, Taipei: Caves Books
- Paludan, Ann (1998), Chronicle of the Chinese Emperors, London: Thames & Hudson, ISBN 0-500-05090-2
- Peers, C. J. (2006), Soldiers of the Dragon: Chinese Armies 1500 BC-AD 1840, Oxford: Osprey Publishing
- Rossabi, Morris (1988), Khubilai Khan: His Life and Times, Berkeley: University of California Press, ISBN 0-520-05913-1
- Rudolph, R. C. (1963), "Preliminary Notes on Sung Archaeology", The Journal of Asian Studies, 22 (2): 169–177, doi:10.2307/2050010, JSTOR 2050010
- Sastri, Nilakanta, K.A. (1984), The CōĻas, Madras: University of Madras
- Schafer, Edward H. (1957), "War Elephants in Ancient and Medieval China", Oriens, 10 (2): 289–291, doi:10.2307/1579643, JSTOR 1579643
- Sen, Tansen (2003), Buddhism, Diplomacy, and Trade: The Realignment of Sino-Indian Relations, 600–1400, Manoa: Asian Interactions and Comparisons, a joint publication of the University of Hawaii Press and the Association for Asian Studies, ISBN 0-8248-2593-4
- Shen, Fuwei (1996), Cultural flow between China and the outside world, Beijing: Foreign Languages Press, ISBN 7-119-00431-X
- Sivin, Nathan (1995), Science in Ancient China, Brookfield, Vermont: VARIORUM, Ashgate Publishing
- Steinhardt, Nancy Shatzman (1993), "The Tangut Royal Tombs near Yinchuan", Muqarnas: an Annual on Islamic Art and Architecture, X: 369–381
- Sung, Tz’u (1981), The Washing Away of Wrongs: Forensic Medicine in Thirteenth-Century China, translated by Brian E. McKnight, Ann Arbor: University of Michigan Press, ISBN 0-89264-800-7
- Temple, Robert (1986), The Genius of China: 3,000 Years of Science, Discovery, and Invention, with a foreword by Joseph Needham, New York: Simon and Schuster, ISBN 0-671-62028-2
- Veeck, Gregory; Pannell, Clifton W.; Smith, Christopher J.; Huang, Youqin (2007), China's Geography: Globalization and the Dynamics of Political, Economic, and Social Change, Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, ISBN 0-7425-5402-3
- Wagner, Donald B. (2001), "The Administration of the Iron Industry in Eleventh-Century China", Journal of the Economic and Social History of the Orient, 44 (2): 175–197, doi:10.1163/156852001753731033
- Wang, Lianmao (2000), Return to the City of Light: Quanzhou, an eastern city shining with the splendour of medieval culture, Fujian People's Publishing House
- West, Stephen H. (1997), "Playing With Food: Performance, Food, and The Aesthetics of Artificiality in The Sung and Yuan", Harvard Journal of Asiatic Studies, 57 (1): 67–106, doi:10.2307/2719361, JSTOR 2719361
- Wright, Arthur F. (1959), Buddhism in Chinese History, Stanford: Stanford University Press
- Yuan, Zheng (1994), "Local Government Schools in Sung China: A Reassessment", History of Education Quarterly, 34 (2): 193–213, doi:10.2307/369121, JSTOR 369121
Bacaan lanjut
- Cotterell, Arthur. (2007), The Imperial Capitals of China - An Inside View of the Celestial Empire, London: Pimlico, hlm. 304 pages., ISBN 978-1-84595-009-5
- Gascoigne, Bamber (2003), The Dynasties of China: A History, New York: Carroll & Graf, ISBN 1-84119-791-2
- Gernet, Jacques (1982), A history of Chinese civilization, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 0-521-24130-8
- Giles, Herbert Allen (1939). A Chinese biographical dictionary (Gu jin xing shi zu pu). Shanghai: Kelly & Walsh.
- Kruger, Rayne (2003), All Under Heaven: A Complete History of China, Chichester: John Wiley & Sons, ISBN 0-470-86533-4
- Tillman, Hoyt C. and Stephen H. West (1995). China Under Jurchen Rule: Essays on Chin Intellectual and Cultural History. Albany, New York: State University of New York Press.
Pranala luar
|
- Dinasti Song di China Heritage Quarterly
- Dinasti Song di bcps.org Diarsipkan 2012-09-03 di Wayback Machine.
- Karya seni Song dan Liao
- Lukisan-lukisan dinasti Song, Liao dan Jin Diarsipkan 2007-08-14 di Wayback Machine.
- Seni Dinasti Song dengan penjelasan dalam bentuk video