Menyusui dalam Islam

Revisi sejak 17 Agustus 2024 08.41 oleh Hida28 (bicara | kontrib)

Menyusui sangat dihormati dalam Islam. Al-Qur'an memandangnya sebagai tanda cinta antara ibu dan anak. Dalam hukum Islam, menyusui menciptakan ikatan kekerabatan susu (dikenal sebagai raḍāʿ atau riḍāʿa (bahasa Arab: رضاع, رضاعة pelafalan [riˈdˤaːʕ(a)])) yang memiliki implikasi dalam hukum keluarga.[1][2] Umat Islam di seluruh dunia memiliki tradisi menyusui yang bervariasi.

Al-Qur'an dan hadis

Beberapa ayat Al-Qur'an, yang semuanya berasal dari periode Madinah, menetapkan etika Islam dalam menyusui.[3]:106 Qur'an Al-Qasas:7 dan Qur'an Al-Qasas:12 mengacu pada penyusuan Nabi Musa untuk menekankan ikatan kasih sayang antara bayi Musa dan ibunya.[3]:106 Menyusui disebut secara tersirat sebagai ikatan keibuan dasar dalam Qur'an Al-Hajj:2, yang menganggap seorang ibu yang lalai menyusui anaknya sebagai tanda yang tidak biasa.[3]:106

Menyusui dianggap sebagai hak dasar setiap bayi menurut Al-Qur'an.[4] Menurut Qur'an Al-Baqarah:233, dalam situasi ibu dari anak tersebut telah diceraikan oleh bapak si anak, baik sebelum maupun setelah melahirkan dalam masa menyusui, maka Al-Qur’an juga menyerukan kepada para bapak untuk membiayai perawatan anak tersebut dengan menyediakan makanan dan pakaian kepada ibu si anak selama masa menyusui, meskipun diperbolehkan untuk menyapih anak lebih awal dengan persetujuan kedua belah pihak, baik ibu maupun bapak.[3]:106 Ayat yang sama juga memperbolehkan pemberian ASI digantikan oleh ibu susu.[3]:106 Qur'an 65:6-7 mengharapkan bapak dari anak tersebut untuk bermurah hati terhadap si ibu susu.[5]:477

Al-Quran menganggap hubungan kekerabatan karena susu sama dengan hubungan kekerabatan karena darah.[5]:477 Oleh karena itu, Qur'an An-Nisa’:23 melarang seorang laki-laki melakukan hubungan seksual dengan ibu susu atau saudara perempuan sepersusuannya.[3]:107 Hadis menerangkan bahwa suami ibu susu juga termasuk kerabat susu,[5]:477 misalnya, seorang wanita tidak boleh menikahi suami ibu susunya. Menurut para ulama, larangan ini tidak terdapat dalam tradisi Yahudi dan Kristen, meskipun terdapat pada kelompok matrilineal.[3]:107

Dalam hukum Islam

Menyusui dianggap sebagai salah satu hak paling mendasar anak dalam hukum Islam.[4] Para ahli fikih telah banyak memberikan penafsiran mengenai topik ini, misalnya Al-Mawardi (w. 1058) yang menulis risalah berjudul Kitab al-Rada'ah mengenai topik menyusui.[4] Ini mencakup hal-hal spesifik yang terkait dengan hak untuk disusui, serta implikasi menyusui dalam melarang pernikahan antar individu yang terhubung oleh kekerabatan susu.

Hak untuk menyusui

Hak untuk disusui dianggap sebagai salah satu hak anak yang paling penting dalam hukum Islam.[4] Jika sang ibu tidak mampu menyusui anaknya, maka sang bapak harus membayar seorang ibu susu untuk melakukannya.[6] Jika kedua orang tua anak tersebut bercerai, maka sang bapak wajib memberi mantan istrinya imbalan selama menyusui.[7] Para ulama Ja'fari lebih jauh berpendapat bahwa seorang ibu berhak mendapat kompensasi selama menyusui sekalipun jika kedua ibu dan bapak itu menikah.[6] Namun, mazhab suni tidak setuju dan berpendapat bahwa sang bapak tidak berkewajiban membayar nafkah kepada sang ibu jika keduanya bercerai;[6] sedangkan seorang istri sudah memiliki hak atas nafkah (makanan dan pakaian) berdasarkan hukum Islam.[8]

Beberapa pendapat menyatakan bahwa seorang ibu memiliki hak untuk menyusui anak-anaknya, namun dapat memilih untuk tidak melakukannya jika ia menginginkannya.[8] Hal ini merupakan perluasan dari asas umum dalam hukum Islam, bahwa seorang ibu mempunyai hak untuk membesarkan anak-anaknya, namun ia boleh melepaskan hak tersebut karena hal tersebut bukan merupakan kewajibannya.[8]

Kekerabatan susu bagi bayi

Al-Qur'an memandang pemberian ASI untuk membentuk kekerabatan susu yang memiliki implikasi pada pernikahan.

Fikih membahas secara luas penggambaran yang tepat tentang hubungan mana yang terlarang setelah hubungan penyusuan terbentuk. Islam Syiah juga melarang pernikahan dengan kerabat sedarah dari orang tua susu sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an. Dalam masyarakat Syiah, ibu susu selalu berasal dari kelompok masyarakat lebih rendah, sehingga pernikahan dengan kerabat ibu susu tidak mungkin terjadi. Teks-teks menyebutkan bahwa Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hambali, juga membahas pertanyaan serupa.[9]

Jumlah minimum penyusuan yang diperlukan untuk membentuk kekerabatan susu telah menjadi subyek perdebatan luas. Bagi penganut mazhab lama seperti Maliki dan Hanafi, satu kali menyusu sudah cukup. Sementara yang lain, seperti Syafi'i, berpendapat bahwa jumlah minimal adalah lima atau sepuluh, dan menyatakan bahwa suatu ayat Al-Qur'an pernah menetapkan jumlah tersebut hingga ayat tersebut dibatalkan dari teks Al-Qur'an, tetapi ketetapannya masih berlaku. Namun, Imam Malik meyakini bahwa ketetapan tersebut telah dibatalkan beserta dengan ayatnya.[10][11]

Penyusuan pada orang dewasa

Hadis berikut membahas baik topik ini maupun topik rada'ah al-kabir atau menyusui pria dewasa dan jumlah penyusuan:

Urwah bin az-Zubair meriwayatkan bahwa Nabi memerintahkan istri Abu Hudzaifah untuk memberi ASI pada maula (pembantu) suaminya, Salim, agar dia bisa terus tinggal bersama mereka (setelah dewasa).[12][13][14][15]

Bagi sebagian besar ahli fikih (dengan Ibnu Hazm sebagai pengecualian terkemuka), larangan menikah hanya berlaku jika anak yang disusui masih bayi. Namun, hal ini pun memungkinkan terjadinya hubungan baru antara keduanya; misalnya Ibnu Rusyd, yang menetapkan bahwa si wanita kini bisa bersikap lebih bebas di hadapan laki-laki dewasa yang dulu disusui, misalnya dengan tampil di hadapan laki-laki tersebut tanpa mengenakan jilbab.[16] Ahli hadis terkenal Muhammad al-Bukhari dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai mufti dan meninggalkan kota Bukhara setelah menetapkan bahwa dua anak yang disusui dari hewan ternak yang sama menjadi saudara sepersusuan.[17]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ (Giladi 1999)
  2. ^ G. J. H. van Gelder, Close Relationships: Incest and Inbreeding in Classical Arabic Literature, ISBN 1-85043-855-2, p. 93
  3. ^ a b c d e f g Giladi. Jane Dammen McAuliffe, ed. 3.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  4. ^ a b c d Benaouda Bensaid (2019). "Breastfeeding as a Fundamental Islamic Human Right". Journal of Religion and Health. 
  5. ^ a b c Giladi. Jane Dammen McAuliffe, ed. 5.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  6. ^ a b c Jamal Nasir (1990). The Islamic Law of Personal Status. hlm. 172. 
  7. ^ Vincent J. Cornell, ed. (2007). Voices of Islam: Voices of tradition. 1. Praeger. hlm. 86. 
  8. ^ a b c Ronak Husni, Daniel L. Newman (2007). Muslim Women in Law and Society. Taylor & Francis. hlm. 59. 
  9. ^ (Giladi 1999)
  10. ^ John Burton, The Sources of Islamic Law: Islamic Theories of Abrogation, ISBN 0-7486-0108-2, pp. 156–158
  11. ^ Burton, Naskh, Encyclopaedia of Islam
  12. ^ John Burton, The Sources of Islamic Law: Islamic Theories of Abrogation, pp. 157
  13. ^ "Hadith - The Book of Suckling - Sahih Muslim - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2020-12-24. 
  14. ^ "Hadith - The Book of Suckling - Sahih Muslim - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2020-12-24. 
  15. ^ "قصة سالم ورضاعه من السيدة سهلة". 24 July 2021. 
  16. ^ (Giladi 1999)
  17. ^ Giladi, Infants, Parents and Wet Nurses, p. 69

Bacaan lebih lanjut