Suku Bugis
Suku Bugis merupakan kelompok etnis Austronesia terbesar di antara tiga kelompok etnolinguistik utama di Sulawesi Selatan, bersama dengan suku Makassar dan Toraja. Sulawesi Selatan terletak di bagian barat daya pulau Sulawesi, pulau terbesar ketiga di Indonesia. Pada tahun 1605, suku Bugis beralih dari kepercayaan animisme ke Islam. Meskipun mayoritas masyarakat Bugis menganut agama Islam, sebagian kecil dari mereka memeluk agama Kristen serta kepercayaan pra-Islam yang dikenal sebagai Tolotang.[5][6]
To Ugi ᨈᨚ ᨕᨘᨁᨗ | |
---|---|
Jumlah populasi | |
± 7.000.000 (2010) | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Indonesia | 6.359.700[1] |
Sulawesi Selatan | 3.618.683 |
Kalimantan Timur | 735.819 |
Sulawesi Tenggara | 496.432 |
Sulawesi Tengah | 409.741 |
Sulawesi Barat | 144.554 |
Kalimantan Barat | 137.282 |
Riau | 107.159 |
Kalimantan Selatan | 101.727 |
Jambi | 96.145 |
Papua | 88.991 |
Jakarta | 68.227 |
Papua Barat | 40.087 |
Malaysia | 728.465[2] |
Singapura | 15.000[2][3] |
Bahasa | |
Mayoritas Bugis • Indonesia • Melayu Makassar Minoritas Massenrempulu • Melayu | |
Agama | |
Mayoritas Islam: 98.99% Minoritas Kristen (Protestan dan Katolik): 0,55% • Hindu (termasuk Tolotang): 0,41% • Lain-lain (di antaranya Buddhis): 0,05%[4] | |
Kelompok etnik terkait | |
Suku Bugis, yang populasinya diperkirakan sekitar enam juta jiwa dan mencakup 2,5% dari total penduduk Indonesia.[7] Secara historis, Suku Bugis dikenal sebagai pelaut dan perantau yang ulung. Selama beberapa abad terakhir, mereka telah menjelajahi dan menetap di berbagai wilayah di Nusantara, termasuk Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan, Kepulauan Nusa Tenggara, serta daerah lain yang menjadi tujuan migrasi besar-besaran sejak akhir abad ke-17. Presiden ketiga Indonesia, B. J. Habibie,[8][9] serta mantan wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla, memiliki keturunan Bugis. Di Malaysia, Yang di-Pertuan Agong saat ini, Sultan Ibrahim, dan perdana menteri kedelapan, Muhyiddin Yassin, juga memiliki darah keturunan Bugis.[10][11]
Sebagian besar orang Bugis berbicara dalam bahasa daerah yang khas, yaitu bahasa Bugis (Basa Ugi), selain menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Bugis termasuk dalam kelompok bahasa Sulawesi Selatan, yang juga mencakup bahasa Makassar, Toraja, Mandar dan Massenrempulu. Nama "Bugis" merupakan eksonim yang berasal dari bentuk lama nama tersebut, sedangkan "(To) Ugi" adalah endonim yang digunakan oleh masyarakat Bugis sendiri.[12]
Asal usul dan latar belakang
Toalean — Pribumi Pra-Austronesia di Sulawesi Selatan
Penduduk paling awal di Sulawesi Selatan kemungkinan berhubungan dengan Manusia Wajak yang berasal dari ras Proto-Australoid. Beberapa artefak serpihan ditemukan di lembah Sungai Walanae dan Maros, yang diperkirakan berasal dari antara 40.000 hingga 19.000 SM. Kebudayaan pemburu-pengumpul di Sulawesi Selatan dikenal sebagai Budaya Toalean, yang didasarkan pada penggunaan alat berupa bilah, serpihan, dan mikrolit. Mereka mungkin berasal dari ras Melanesoid atau Australoid, sehingga berhubungan dengan populasi kontemporer di Papua Nugini atau Australia.[13]
Pada tahun 2015, sisa-sisa kerangka seorang wanita muda bernama Bessé ditemukan di Leang Panninge, Sulawesi Selatan. Kerangka tersebut diperkirakan berusia lebih dari 7.200 tahun. Setengah dari DNA-nya diidentifikasi memiliki keterkaitan dengan penduduk asli Australia, masyarakat di Papua Nugini, dan Pasifik Barat, serta menunjukkan adanya garis keturunan manusia yang sebelumnya tidak diketahui, yang bercabang sekitar 37.000 tahun lalu. DNA Bessé memberikan bukti penting dalam memahami migrasi manusia purba.[14]
Kedatangan Austronesia
Kedatangan orang-orang Austronesia ke Sulawesi Selatan membawa perubahan signifikan dalam sejarah wilayah tersebut. Diperkirakan bahwa mereka tiba sekitar 4.000 tahun yang lalu, membawa serta teknologi bercocok tanam, perahu layar, dan sistem sosial yang lebih kompleks. Orang Austronesia inilah yang kemudian berbaur dengan penduduk asli dan menjadi nenek moyang langsung suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan, termasuk suku Bugis. Migrasi dan penyebaran budaya mereka memiliki dampak besar terhadap perkembangan bahasa, budaya, serta struktur sosial di wilayah ini.[15]
Christian Pelras, seorang antropolog, mengajukan hipotesis bahwa proto-Bugis kemungkinan tiba dari luar negeri, mungkin dari Kalimantan, ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Kedatangan mereka didorong oleh keinginan untuk mengendalikan sumber daya mineral dan alam di daerah pedalaman. Seiring dengan penyebaran mereka ke interior wilayah yang kini dikenal sebagai pusat Bugis, kelompok ini semakin terpisah dari saudara-saudara mereka yang bersebelahan, seperti Suku Makassar, Mandar dan Toraja. Pada saat yang sama, proto-Bugis mulai mengasimilasi suku Austronesia yang sebelumnya berada di daerah yang jarang penduduknya, suatu proses di mana populasi asli secara bertahap mengadopsi bahasa dari pendatang baru. Dengan demikian, terbentuklah identitas hibrida melalui etnogenesis, yang menggabungkan unsur-unsur asli dari masyarakat pribumi dengan teknik, barang, dan ide baru yang dibawa oleh pemukim baru, termasuk tenun, pengerjaan logam, dan doktrin teologis. Meskipun demikian, masyarakat tetap terbagi antara dua kelas utama, yaitu kaum bangsawan dan rakyat biasa.[16]
Tana Ogi — Tanah Bugis
Tanah leluhur suku Bugis terletak di sekitar Danau Tempe dan Danau Sidenreng di Depresi Walannae di semenanjung barat daya Sulawesi. Di sinilah nenek moyang suku Bugis saat ini menetap, kemungkinan pada pertengahan hingga akhir milenium kedua SM. Wilayah ini kaya akan ikan dan satwa liar, dan fluktuasi tahunan Danau Tempe (yang merupakan danau penampung untuk sungai Bila dan Walannae) memungkinkan penanaman padi secara spekulatif, sementara perbukitan dapat digunakan untuk bercocok tanam dengan sistem ladang, penanaman padi sawah, serta berburu dan mengumpulkan hasil hutan.
Sekitar tahun 1200 M, ketersediaan barang-barang impor bergengsi, termasuk keramik Cina dan Asia Tenggara serta tekstil blok cetak dari Gujarat, ditambah dengan penemuan sumber bijih besi baru di Luwu, memicu revolusi agraria. Revolusi ini meluas dari kawasan danau besar ke dataran rendah di timur, selatan, dan barat Depresi Walannae. Proses ini mendorong perkembangan kerajaan-kerajaan utama di Sulawesi Selatan dan transformasi masyarakat adat menjadi proto-kerajaan yang bersifat hierarkis dalam kurun waktu empat ratus tahun berikutnya.[17][18]
Sejarah
Masyarakat Awal
Gaya hidup masyarakat Bugis kuno sebagian besar dipertahankan oleh masyarakat Toraja yang masih memeluk agama tradisional hingga awal abad ke-20. Rumah mereka umumnya dibangun di atas tiang, dan komunitas-komunitas tersebut cenderung tersebar di sepanjang tepi sungai, pantai, atau tepi danau. Kegiatan utama pada periode ini meliputi bercocok tanam padi, millet, jali dan tanaman pangan lainnya, menangkap ikan dan kerang, memperoleh hasil hutan, serta berburu hewan liar. Kerbau diimpor dan digunakan dalam acara-acara penting.[19][20]
Penduduk awal kemungkinan mengenakan pakaian yang sederhana. Wanita kemungkinan memakai rok, sementara pria menggunakan cawat dan mungkin juga penutup kepala. Berdasarkan bukti arkeologis, ditemukan sisa-sisa ornamen dari tembaga dan emas. Kerajinan tembikar terlihat ada, meskipun wadah bambu lebih banyak digunakan bersamaan dengan pisau bambu. Senjata terbuat dari besi dan batu, sementara helm dan perisai terbuat dari rotan.[20]
Secara teologis, Bugis awal kemungkinan mempraktikkan pemujaan leluhur. Mereka juga memiliki ritual kuno yang berkaitan dengan pertanian dan kesuburan. Umumnya, jenazah dikuburkan, meskipun ada beberapa kasus di mana tubuh jenazah ditempatkan di laut atau danau, atau diletakkan di atas pohon. Praktik pemakaman lainnya termasuk pembakaran, terutama untuk para penguasa.[21]
Meskipun terletak di komunitas yang jarang penduduknya, mereka tidak hidup dalam isolasi mutlak dari dunia luar. Sebaliknya, perdagangan dan komersial dianggap sangat penting dan memiliki peran sentral dalam masyarakat. Temuan arkeologis di dekat Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bulukumba di Ara mengungkapkan artefak kuno yang berasal dari tahun 300 hingga 100 SM, menunjukkan bahwa bagian selatan Sulawesi memainkan peran integral dalam poros perdagangan maritim Asia Tenggara awal. Terdapat juga jejak keramik dan tembikar Cina serta kerajinan Asia Tenggara daratan yang diimpor ditemukan di pemakaman pra-Islam.[22]
Namun, berbeda dengan sebagian besar Asia Tenggara, indikasi bahan-bahan Hindu dan Buddha cukup jarang ditemukan dalam budaya Sulawesi Selatan. Sistem tulisan Lontara, beberapa nama dan kata, serta beberapa patung Buddha dari perunggu yang ditemukan di Mandar dan Bantaeng hanya menunjukkan adanya hubungan perdagangan dengan Kepulauan Asia Tenggara barat dan kehadiran orang asing. Meskipun mereka memperoleh manfaat dari hubungan perdagangan tersebut, kemungkinan besar mereka menolak asimilasi budaya eksternal. Dengan demikian, elemen-elemen luar hampir tidak mempengaruhi perkembangan agama asli dan kerajaan-kerajaan adat di wilayah tersebut[23][24][25].
Intensitas perdagangan awal menyebabkan perubahan bertahap dalam hal pengembangan ekonomi, struktur sosial dan kepentingan politik di antara masyarakat Sulawesi Selatan, yang secara mendasar menyebabkan kemunculan dan perkembangan kerajaan, dinasti dan politi Bugis.[26]
Pertumbuhan Kerajaan Bugis
Kemajuan aktivitas perdagangan antar-pulau dan meningkatnya interaksi dengan Jalur Sutra Maritim kemungkinan merupakan faktor utama yang berkontribusi pada kemakmuran ekonomi bagi beberapa komunitas utama di Sulawesi Selatan.[27] Periode antara tahun 1200 dan 1600 menyaksikan perubahan radikal dalam lanskap politik Semenanjung Selatan, Sulawesi.[28]
Perdagangan di Sulawesi Selatan didasarkan pada ekspor barang langka, sebuah usaha yang dengan mudah dikuasai oleh kelas pemerintahan eksklusif. Struktur administratifnya cukup dasar, sebagian besar kerajaan bagian berbentuk kepemimpinan lokal yang kecil.[28] Populasi yang kecil sudah memadai untuk membantu elit dengan penyediaan makanan, kerja fisik, dan bantuan militer untuk menjaga kemerdekaan kerajaan mereka.[29]
Namun, pada abad ke-15, terjadi revolusi ekonomi besar, dan pertanian menjadi dasar ekonomi yang penting.[30] Untuk melanjutkan kekuasaan mereka dalam masyarakat agraris, para elit penguasa kini diharuskan untuk menangani pertumbuhan yang hampir tanpa preceden di wilayah penghasil beras guna mengakomodasi ledakan populasi yang signifikan. Oleh karena itu, untuk menyesuaikan dengan perubahan ekonomi dan sosial, diperlukan sistem dan perantara baru.[29]
Perdagangan dan komersial tetap mempertahankan kepentingan esensialnya bagi ekonomi Sulawesi Selatan. Beras menjadi sumber utama ekspor, dan pada saat yang sama, ekonomi didorong oleh impor barang-barang prestisius dari bagian lain kepulauan.[21] Wilayah ini kemungkinan mengalami pertumbuhan luar biasa seiring dengan kemunculan Malaka sebagai entrepot regional. Sebaliknya, kekayaan keluarga elit di Sulawesi Selatan juga meningkat akibat transaksi komersial intensif ini, meskipun perdagangan kini tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber kekayaan mereka.
Kemunculan Kekuatan Politik Baru di Semenanjung
Pada abad ke-1500, Luwu merupakan kekuatan politik utama Bugis, dengan kekuasaan di seluruh bagian besar semenanjung. Meskipun demikian, pemain geopolitik baru yang akan menentang dominasinya sudah mulai terbentuk pada akhir abad tersebut.[31]
Dampak dari kebangkitan Malaka lebih terlihat di pesisir barat Sulawesi Selatan, wilayah dengan konsentrasi tinggi Melayu dan pedagang Minangkabau yang datang dari barat.[32] Hal ini secara perlahan menarik perhatian kerajaan-kerajaan Soppeng dan Sindereng, yang berusaha memasukkan wilayah tersebut dalam ekspansi teritorial mereka. Kerajaan-kerajaan Bugis ini telah kehilangan akses langsung ke laut di pesisir barat akibat kekuasaan Luwu.[29]
Sidenreng, sebagai wilayah bawahan di bawah kekuasaan Soppeng, perlahan-lahan tumbuh menjadi penting dan tampaknya mulai menolak dominasi Luwu di wilayah tersebut. Bekerja sama dengan beberapa kerajaan Bugis di pesisir barat — Sawitto', Alitta, Suppa', dan Bacukiki'; serta Rappang di pedalaman, mereka membentuk konfederasi longgar yang dikenal sebagai Aja'tappareng ('tanah di barat danau').[33]
Sebaliknya, wilayah Bugis tetangga Wajo juga memiliki aspirasi untuk otonomi terhadap Luwu, dan mulai memperluas pengaruh serta dominasinya di wilayah sekitarnya. Pada tahun 1490, mereka memasuki perjanjian dengan Luwu, yang menyatakan bahwa mereka tidak lagi dianggap sebagai "pelayan" tetapi sebagai "anak Luwu".[31] Pada tahun 1498, orang Wajo mengangkat Arung Matoa Puang ri Ma'galatung sebagai penguasa mereka, yang kemudian menjadikan wilayah tersebut sebagai salah satu Kerajaan Bugis utama.[34]
Di pesisir barat daya, Kerajaan Bugis Bone di bawah pemerintahan Raja Kerrampelua' (sekitar 1433–83) juga melaksanakan rencana ekspansi untuk menyerap sebagian wilayah Luwu ke dalam kekuasaan vasalnya. Akibatnya, dua abad kemudian, wilayah tersebut menjadi area konfrontasi intens antara kedua kerajaan.[34]
Sementara itu, Makassar, yang secara tradisional mendiami bagian selatan dalam-dalam dan pesisir barat semenanjung, terutama memusatkan kekuasaan politik mereka di Siang dan Bantaeng (yang terakhir mungkin masih berada di bawah kontrol nominal Luwu). Namun, kerajaan kembar Gowa dan Tallo (lebih dikenal oleh orang asing sebagai Kerajaan Makassar) mulai memperoleh pentingnya selama periode ini.[35]
Masyarakat Bugis-Makassar pada Abad ke-16
Pada abad ke-16, kehidupan Bugis ditandai dengan meningkatnya toleransi terhadap pengaruh asing. Produk-produk dari luar negeri tidak lagi terbatas pada kelas penguasa, tetapi juga mulai tersedia di kalangan rakyat biasa. Metode pembangunan rumah tetap tidak berubah. Sketsa dari beberapa sumber Barat pada paruh pertama abad ke-17 menggambarkan rumah-rumah kayu tinggi dan kokoh yang dibangun di atas tiang.[36]
Namun, di dalam rumah-rumah yang lebih kaya, beberapa perabot asing seperti meja dan kursi mulai muncul, dan bukaan dinding dasar kadang-kadang berubah menjadi jendela yang dilengkapi dengan pintu geser. Nama-nama Bugis untuk benda-benda ini menunjukkan koneksi Portugis mereka, seperti Jandela (jendela) yang berasal dari Janela, Kadera (kursi) dari Cadeira; dan Mejang (meja) dari Mesa. Perubahan bertahap juga terlihat dalam alat-alat rumah tangga dan peralatan, termasuk gelas serta jug dan nampan bergaya Iberia. Selain itu, beberapa permainan Portugis seperti dadu, permainan kartu, dan kelereng juga diadopsi. Orang Portugis dan Spanyol juga memperkenalkan makanan dan hasil produksi baru dalam diet lokal, terutama dari Tanaman Dunia Baru: ubi jalar dan tembakau, serta barang-barang penting lainnya — ubi kayu, jagung, dan cabai.[37]
Selama periode ini, wanita mengenakan celana panjang longgar; penggunaan tunik pendek dan lengan juga terlihat pada wanita menikah yang bebas. Untuk pria yang kaya, terdapat kecenderungan terhadap penggunaan kemeja dan topi bergaya Barat; terkadang dipadukan dengan buluh, dan jaket. Kelas budak dan pria biasa biasanya mengenakan pakaian tanpa atasan.
Jatuhnya Malaka terasa cukup kuat di Sulawesi Selatan. Seperti dicatat oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental, beberapa pedagang dari 'Kepulauan Makassar', termasuk Bugis dan Bajo, adalah di antara orang-orang yang tiba di Melaka untuk berdagang,[38] meskipun jumlah mereka kecil. Sebaliknya, para pedagang Muslim-Melayu dari Patani, Pahang, dan Ujung Tanah di Semenanjung Melayu; serta dari Champa di Indochina; dan Minangkabau di Sumatra menetap di kota-kota pelabuhan di pesisir barat, termasuk Suppa’, Pancana-Tanete, Siang, Tallo, Sanrabone, dan Gowa.[39] Karena hubungan bilateral yang luas ini, masyarakat Sulawesi Selatan umumnya sangat sadar akan perubahan politik-agama yang terjadi di bagian barat kepulauan tersebut.[40]
Dapat disimpulkan bahwa setelah Penaklukan Malaka oleh Penakluk Portugis, hubungan perdagangan antara Sulawesi Selatan dan kekuatan perdagangan lainnya—seperti Johor dan Patani di Semenanjung Melayu, Aceh di Sumatra, Banjarmasin di Kalimantan, dan Demak di Jawa—yang semuanya memiliki status sebagai benteng agama Islam, semakin intensif. Namun, hingga pertengahan abad ke-16, Sulawesi Selatan tetap menjadi salah satu dari sedikit domain signifikan dalam jaringan perdagangan regional yang belum sepenuhnya tersentuh oleh Islam.[40]
Upaya Awal untuk Mengkristenkan kerajaan-kerajaan Bugis
Meskipun kontak awal dengan Islam telah terjadi sejak tahun 1490 melalui hubungan perdagangan antara Siang dan Malaka, sebagian besar masyarakat Bugis masih menganut agama patturioloang asli. Pada tahun 1540, dua bangsawan dari Makassar telah dibaptis di Ternate. Mereka kemudian melakukan kunjungan lain pada tahun berikutnya dan membeli banyak bahan dari wilayah tersebut, termasuk emas, cendana dan senjata besi. Antonio de Paiva, seorang pedagang Portugis, melakukan beberapa perjalanan antara Sulawesi dan Malaka sejak tahun 1542, kemungkinan tertarik oleh potensi kekayaan wilayah tersebut. Selama ekspedisinya ke kerajaan-kerajaan Bugis seperti Suppa' dan Siang, ia terlibat dalam diskusi teologis dan diminta untuk membaptis La Putebulu, Datu dari Suppa' dan keluarganya, diikuti oleh raja Siang pada tahun 1544. Baptisan tersebut juga diakhiri dengan aliansi militer dengan kedua kerajaan tersebut.[40][41]
Kembalinya De Paiva ke Malaka tidak hanya disertai dengan hadiah resmi untuk Kerajaan Portugal, tetapi juga dengan empat pemuda Bugis yang kemudian akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi Jesuit di Goa India. Kedua raja Bugis juga meminta para imam dan dukungan militer dari gubernur Portugis Malaka, kemungkinan untuk mengatasi bahaya yang semakin meningkat dari kerajaan-kerajaan Makassar tetangga seperti Gowa-Tallo. Pembaptisan lanjutan dilakukan pada tahun 1545 oleh seorang pastor, Pastor Vicente Viegas, yang terlibat dalam kristenisasi para penguasa Bugis di Alitta dan Bacukiki'. Menurut Manuel Godinho de Erédia, raja-raja Sawitto dan Sidenreng juga ikut serta, semuanya adalah sekutu Suppa' dalam Aliansi Ajatappareng.[41]
Hubungan dengan Portugis tetap baik hingga sebuah insiden elopement antara seorang perwira Portugis dan putri La Putebulu dari Suppa terungkap, di mana mereka menikah secara diam-diam di Malaka, yang kemudian menghasilkan kelahiran Manuel Godinho de Erédia. Kapal Portugis harus segera meninggalkan Sulawesi untuk menghindari kekerasan yang parah, dan mereka tidak berani kembali ke pulau itu hingga tahun 1559.[42] Salah satu anggota perjalanan, Manuel Pinto, memutuskan untuk tetap tinggal di Sulawesi Selatan. Ia mencatat perkembangan politik dan terlibat dalam diskusi dengan beberapa penguasa Bugis-Makassar di wilayah tersebut sebelum kembali ke Malaka (melalui Jawa). Namun, Datu Suppa dan penduduknya, bersama dengan kerajaan-kerajaaan Ajatappareng, tetap sebagian besar beragama Kristen menurut Manuel Godinho de Erédia.[41]
Setelah pemulihan hubungan ekonomi dengan Malaka Portugis pada tahun 1559, terdapat permintaan berulang dari Sulawesi Selatan, terutama dari kerajaan-kerajaan Ajatappareng, untuk mendatangkan para imam. Namun, tidak banyak yang tersedia dan Portugis tidak menganggap Bugis sebagai perhatian utama mereka. Baru pada tahun 1584, Portugis mengirim empat biarawan Fransiskan ke daerah tersebut, dan masa tinggal mereka relatif singkat. Nasib dari empat pria Bugis yang dikirim untuk pendidikan di Goa, India juga tidak diketahui. Selanjutnya, tidak ada upaya baru untuk membaptis Sulawesi yang dilakukan setelah periode tersebut,[43] maupun dukungan militer Portugis terhadap invasi oleh Raja Gowa-Tallo, Karaeng Lakiyung Tunipalangga, yang menggabungkan dan menundukkan Siang bersama dengan kerajaan-kerajaan Ajatappareng.[41]
Pencarian Prestise, Pengaruh dan Kekuasaan di Semenanjung
Selama pemulihan hubungan Portugis-Sulawesi Selatan pada tahun 1559, dinamika politik di wilayah tersebut mengalami perubahan yang signifikan. Kerajaan Makassar dan Gowa, telah memperluas pengaruhnya ke utara dan menyerap banyak kerajaan Bugis yang sebelumnya memiliki hubungan ramah dengan Portugis.
Pada saat yang sama, Kerajaan Bone juga memulai ekspansi ke selatan dan segera berhubungan langsung dengan Makassar. Kedua kerajaan ini bersaing untuk menguasai seluruh Semenanjung bersama dengan jalur perdagangan yang penting.
Dengan demikian, kedua kerajaan yang berkembang ini terikat untuk menghadapi konflik besar, dan perang akhirnya pecah pada tahun 1562. Gowa didukung oleh Luwu; dan juga oleh Wajo dan Soppeng, yang keduanya mungkin lebih memilih untuk berada di bawah pengaruh kekuasaan jauh seperti Luwu atau Gowa, karena hal ini akan memberi mereka otonomi yang lebih besar dibandingkan dengan kerajaan tetangga seperti Bone, yang kemungkinan akan mendominasi mereka.[44]
Perang berakhir pada tahun 1565 dan perjanjian damai diadakan setelahnya. Kedua kerajaan sepakat pada Sungai Tengka sebagai wilayah pengaruh masing-masing di bawah Perjanjian Caleppa. Warga Bone dan Gowa juga diberikan hak yang sama di wilayah masing-masing.
Ambisi untuk mendominasi terus berlanjut di Sulawesi Selatan. Antara tahun 1570 dan 1591, beberapa operasi militer dilakukan oleh Gowa, seringkali dengan dukungan dari Luwu. Meskipun kekuasaan yang jauh, Gowa cenderung cukup keras terhadap kerajaan Bugis vassalnya, Wajo dan Soppeng, hal ini membuat kedua kerajaan ini cenderung menerima ajakan Bone untuk memulihkan otonomi mereka. Pada tahun 1590, ketiga kerajaan (Wajo, Soppeng, dan Bone) membentuk aliansi yang dikenal sebagai Tellumpocco'e, 'Tiga Puncak' atau 'Tiga Besar'.[45]
Pada tahun 1590, Daeng Mammeta memulai kampanye lain untuk menghancurkan Wajo, tetapi ia terbunuh dalam amuk yang tidak terkendali. Gencatan senjata segera mengikuti pada tahun 1591, dan perundingan damai, di bawah Perjanjian Caleppa, diperbarui.
Islamisasi Bugis-Makassar-Mandar
Pada paruh kedua abad ke-16, persaingan antara Islam dan Kekristenan masih belum sepenuhnya terpecahkan di Semenanjung Sulawesi Selatan. Sebagian besar kerajaan di Sulawesi sudah memeluk Islam di bawah pengaruh Ternate-Gorontalo pada tahun 1525 dan Buton pada tahun 1542. Sudah ada individu-individu yang memeluk agama Islam di Sulawesi Selatan.[45]
Pada tahun 1550, komunitas Muslim-Melayu di Makassar diberi hak istimewa oleh penguasa Gowa menurut Lontarak Patturiolonga. Namun, pada tahun 1575, selama kunjungan Abdul Makmur (Dato' ri Bandang), salah satu penyebar Islam dari Minangkabau, ia mencatat bahwa ada beberapa kesulitan untuk mengubah kepercayaan lokal — ketertarikan yang berlebihan terhadap daging babi kering, hati rusa mentah yang dicincang dengan darah (lawa), dan minuman keras dari pohon kelapa. Ia kemudian melanjutkan untuk menyebarkan ajaran Islam di Kerajaan Kutei, Borneo timur, di mana ia lebih sukses.[45] Pada tahun 1580, Sultan Ternate, Babullah, menyarankan penguasa Gowa untuk memeluk ajaran Islam, tetapi sang raja menolak. Namun, sebagai tindakan kebaikan, ia memberi izin kepada komunitas Makassar-Melayu untuk membangun sebuah masjid.[46]
Abdul Makmur kembali ke Makassar bersama Sulaiman (Dato' ri Pa'timang) dan Abdul Jawad (Dato' ri Tiro). Ketiga orang ini berasal dari Minangkabau dan kemungkinan telah mendapat pendidikan di Aceh,[47] sebelum mereka mengunjungi Johor-Riau untuk mempelajari budaya Sulawesi Selatan dari pelaut Bugis-Makassar, diikuti oleh studi di bawah Wali Songo di Jawa, dalam misi penyebaran yang difasilitasi oleh Sultan Johor. Setelah upaya mereka untuk memperkenalkan ajaran Islam sekali lagi menemui penolakan, mereka berangkat ke Luwu. Hal ini karena Luwu merupakan pusat spiritual Sulawesi Selatan dan kepercayaan pribadinya tentang Dewata SewwaE memiliki beberapa kesamaan dengan Islam.[48] Mereka berhasil mengkonversi Pattiarase, Datu Luwu, dan pada Februari 1605 ia mengambil nama Sultan Muhammad. Kelompok ini kemudian mengunjungi kembali Makassar dan ketiganya berhasil mempromosikan Islam kepada penguasa Gowa, yang kemudian memeluk Islam dengan nama Sultan Ala’uddin. Pada November 1607, salat publik pertama kali dilakukan di Masjid Tallo' yang baru dibangun.[49] Konversi dimulai perlahan dan beradaptasi dengan praktik Ammatoa lokal yang berpusat di Bulukumba.[48]
Kerajaan kembar Gowa dan Tallo mendorong kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan untuk mengikuti langkah mereka dalam memeluk Islam sebagai agama mereka. Ketika undangan ini ditolak, mereka meluncurkan serangkaian tindakan militer yang dikenal sebagai "perang Islam". Pada tahun 1608, kerajaan-kerajaan di pantai barat seperti Bacukiki', Suppa', Sa wino', dan Mandar; serta di pantai timur, Akkotengeng dan Sakkoli', menyerah; diikuti dengan penaklukan Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609, dan Wajo pada tahun 1610.
Sejalan dengan penyerahan dari kerajaan Bugis Bone pada tahun 1611, sebagian besar Semenanjung Sulawesi Selatan (kecuali dataran tinggi Toraja) telah menerima Islam.[50][51][52][53] Bone, kemudian akan terus menyebarkan Islam ke dua kerajaan vasalnya yang terletak di tepi kerajaan Toraja — yaitu Enrekang dan Duri.[54]
Islamisasi di sebagian besar Sulawesi Selatan telah menyediakan platform untuk revolusi keyakinan dan ideologi. Hukum dan prinsip Islam diterapkan dan diserap ke dalam budaya Makassar, Bugis, dan Mandar.[55]
Dato' ri Bandang mengarahkan pertama-tama pada pendirian prinsip Syariah di wilayah tersebut, dengan penekanan pada pentingnya pelayanan agama pada upacara sunat, pernikahan, dan pemakaman. Namun, dengan pengecualian upacara pemakaman yang sepenuhnya di-Islamkan; upacara lainnya yang berbasis pemahaman Islam hanya diintegrasikan dengan praktik, norma, dan adat tradisional yang sudah ada. Adapun pelanggaran, juga ada penegakan hukum yang kuat terhadap perzinahan dan konsumsi daging babi; perilaku lainnya termasuk mengonsumsi alkohol dan opium, persembahan di tempat suci, penyembahan pada barang-barang kerajaan, peminjaman uang dengan bunga (Riba) dan perjudian juga dikutuk.
Seiring dengan perlunya Islamisasi yang perlahan mengambil akar di masyarakat di semenanjung, masjid dibangun di setiap wilayah. Dengan demikian, posisi-posisi baru dari qadi, imam, dan khatib diangkat di seluruh wilayah Bugis-Makassar.
Meskipun menjadi Muslim yang taat, proses ini tidak menghalangi Raja Gowa yang Muslim dari Makassar untuk menjaga hubungan baik dengan Portugis dan Kekristenan. Meskipun demikian, wilayah Bugis dan Makassarese menjadi Muslim dan kini dicegah untuk beralih ke Kekristenan oleh penguasa lokal.
Akhir Kekuasaan
Dimulai dari akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-19, keseimbangan kekuasaan di Sulawesi Selatan mengalami penurunan drastis akibat serangkaian perubahan radikal dalam pemerintahan lokal, termasuk perselisihan dinasti internal, ketegangan geopolitik, pengaruh sekunder yang berkembang dari konsumerisme Barat dan Kejatuhan Makassar.[56]
Setelah lebih dari satu abad pasca perjuangan monumental antara Gowa dan Bone untuk penguasaan semenanjung, perang lain perlahan-lahan mulai muncul kembali antara dua kekuatan yang bersaing. Konflik ini bermula dari masalah domestik di Kerajaan Bone, yang diperintah dari 1631 hingga 1634 oleh La Ma'daremmeng. Raja menerapkan aturan berdasarkan prinsip Islam yang kuat, termasuk menghapus bissu pagan dan melarang konsumsi bir kelapa serta praktik-praktik superstitious lainnya. Titik puncaknya adalah pelarangan perbudakan, yang mengakibatkan pemberontakan oleh Ibu suri. Ia kemudian meminta bantuan Gowa dan operasi militer besar-besaran pun dilakukan. Pasukan Makassar berhasil meraih kemenangan dan menangkap 30.000 tawanan Bugis, termasuk La’daremmeng dan mengangkat seorang gubernur Makassar. Setelah pemberontakan berikutnya, Bone diubah menjadi koloni penuh. Ini menyebabkan kemarahan di kalangan rakyat dan bangsawan Bone.[57]
Pada saat yang sama, Belanda juga mulai mengalihkan perhatian mereka ke kota pelabuhan Makassar — sebuah ibu kota penting dalam hal perdagangan, kekayaan, basis politik, dan militer di kepulauan timur. Sebaliknya, baik Kerajaan Makassar Gowa maupun Belanda menganggap satu sama lain sebagai ancaman besar terhadap dominasi mereka dalam perdagangan rempah yang sangat menguntungkan.
Kesempatan bagi Bone datang setelah serangan Belanda yang sukses pada Makassar pada tahun 1660. Diperlukan untuk menandatangani gencatan senjata yang tidak menguntungkan, orang-orang Gowa meminta 10.000 orang Bone untuk menggali parit secara paksa sebagai pertahanan terhadap kemungkinan serangan dari darat. Beberapa bangsawan Bone, termasuk Arung Pallaka, berlindung di Buton dan mengusulkan aliansi Bugis-Belanda melawan Makassar.[58] Aliansi militer ini juga bergabung dengan kerajaan Soppeng, yang, mirip dengan Bone, menganggap serangan ini sebagai tindakan pembalasan terhadap tindakan Gowa yang memperbudak ribuan orang mereka untuk membangun fasilitas di Makassar.
Perang meletus pada tahun 1666, dengan aliansi Bugis-Belanda dibantu oleh pasukan dari Ternate, Ambon dan Buton. Sekutu utama Makassar selama perang adalah kerajaan Bugis utara, Wajo. Meskipun menjadi mitra Bone berdasarkan perjanjian di masa lalu, pemimpin Wajo memutuskan untuk memasuki aliansi dengan Gowa untuk melawan pengaruh Belanda.
Jatuhnya Makassar terbukti fatal. Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667. Ini mengharuskan Makassar untuk menghapus sebagian besar bentengnya, melepaskan perdagangan rempah-rempah, mengakhiri impor barang-barang asing kecuali Belanda, mengusir Portugis dan Eropa non-Belanda lainnya, serta menolak segala bentuk kekuasaan suzerain, baik di tanah Bugis maupun bagian lain di kepulauan.[58] Pada tahun 1669, Sultan Hasanuddin turun dari takhta.
Belanda berhasil mencapai tujuannya setelah jatuhnya Makassar, tetapi mereka bukan satu-satunya pemenang; yang lain adalah Kerajaan Bone, meskipun dengan beberapa pembatasan mengikuti perjanjian yang juga ditandatanganinya, kerajaan ini akan secara efektif mempertahankan kedaulatannya hingga abad ke-19. Oleh karena itu, dalam narasi Bone, Arung Palakka dianggap sebagai pejuang kemerdekaan; sementara dalam warisan Makassar, Sultan Hasanuddin yang bersaing dianggap sebagai pahlawan bagi orang Makassar.[59]
Setelah dibebaskan dari Makassar, kekosongan kekuasaan kemungkinan telah membuka jalan bagi Bone untuk mempertahankan kedaulatan yang tidak tertandingi di seluruh semenanjung. Namun, prospek menyatukan semua tanah Bugis di bawah seorang penguasa tunggal terhenti oleh keberadaan Belanda di wilayah tersebut. Semenanjung kemudian terus bertahan di bawah mosaik berbagai konfederasi kecil dan besar.
Transformasi Perdagangan dan Emigrasi
Salah satu dampak besar setelah penaklukan Makassar adalah perubahan dalam desain navigasi dan rute emigrasi di antara masyarakat Sulawesi Selatan. Pelabuhan kosmopolitan Makassar menjadi titik awal maritim yang krusial, tidak hanya bagi orang Makassar, tetapi juga bagi orang Bugis yang mencari kekayaan dan ketenaran di kepulauan barat, karena Belanda memberlakukan pembatasan berat untuk akses mereka ke Kepulauan Rempah-rempah di timur.[60]
Secara bersamaan, selama akhir abad ke-17 dan abad ke-18, muncul periode transformasi yang ditandai dengan pendirian jaringan perdagangan laut yang penting. Migran yang ambisius terlibat dalam usaha luar negeri yang berani, berkontribusi pada kebangkitan bertahap kelas menengah pedagang yang kemudian memegang posisi penting dalam masyarakat Bugis. Pembangunan jaringan perdagangan laut ini meninggalkan dampak yang bertahan lama, membentuk kegiatan ekonomi dan mendorong konektivitas baik di dalam Sulawesi Selatan mereka maupun di wilayah asing.[61] Namun, selama periode ini, mereka juga mengalami renaisans seni dan budaya yang berkembang pesat di tanah air mereka. Banyak karya sastra penting mereka, termasuk sebagian besar produksi pasca-La Galigo, berasal dari masa-masa ini.[49]
Pada awal abad ke-18, orang Bugis secara strategis beraliansi dengan Kesultanan Johor, awalnya bertindak sebagai tentara bayaran selama perjuangan kekuasaan penting melawan Minangkabau yang dipimpin oleh Raja Kecil. Langkah strategis ini menandai titik balik penting, memperkuat posisi mereka dalam inti politik Melayu dan membentuk jalur politik mereka di kepulauan barat.[7]
Selanjutnya, banyak orang Bugis menetap di Kepulauan Riau, dekat dengan istana Johor, menambah kehadiran mereka di wilayah tersebut. Sebagai titik pertemuan krusial antara rute perdagangan regional dan global, mereka meluncurkan pengaruh angkatan laut mereka ke berbagai arah dalam perdagangan dan politik, termasuk Semenanjung Melayu, Singapura, Sumatra, dan pantai barat Kalimantan.[62][63] Di sini mereka menantang Belanda untuk dominasi dalam ekspor penambangan timah. Mereka juga terlibat secara mendalam dalam perselisihan dinasti di antara para raja; dan melalui tindakan bersenjata, tradisi berbasis militer, dan pernikahan politik, mereka menavigasi menjadi salah satu pemain tangguh dalam lingkup politik Melayu. Di daerah ini, keturunan mereka dikenal sebagai Melayu-Bugis.
Zaman Layar juga ditandai dengan gelombang migrasi dan perdagangan yang saling terhubung ke Batavia, pantai utara Java, Bali, Madura, Alor, Kepulauan Nusa Tenggara, Kalimantan tenggara, Kepulauan Sulu dan bagian lain dari Sulawesi dalam pencarian kekayaan, prestise dan pengaruh politik.[64][65]
Budaya
Bahasa dan dialek
Bahasa Bugis merupakan bagian dari keluarga bahasa Austronesia.[66] Bahasa ini termasuk dalam kelompok bahasa utama di belahan barat daya Sulawesi, bersama dengan Makassar, Toraja, Massenrempulu, dan Mandar. Bahasa-bahasa ini secara kolektif termasuk dalam bahasa Sulawesi Selatan.
Penutur bahasa Bugis dominan di sebagian besar kabupaten di Sulawesi Selatan — yaitu Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Barru, Sinjai, dan Parepare.[67] Di Bulukumba, Pangkep, dan Maros, populasi penduduk terbagi antara desa-desa penutur Bugis dan Makassar, masing-masing desa mempertahankan identitas bahasa mereka sendiri. Batasan bahasa yang serupa juga terlihat di kota-kota pesisir barat laut Pinrang (di Provinsi Sulawesi Selatan) dan Polmas (di Sulawesi Barat), yang merupakan area transisi antara wilayah budaya Bugis dan Mandar.[68]
Berada di pinggiran dunia Bugis-Toraja, orang Massenrempulu (yang mencakup kelompok Duri, Enrekang, Maiwa, dan Malimpung) dari Enrekang dan utara Pinrang serta penutur Tae' dari Luwu juga kadang-kadang dianggap dan diterima sebagai subkelompok dari keluarga Bugis karena tradisi dan afiliasi agama yang sama.[69] Secara budaya, mereka membentuk kontinum antara orang Bugis dan Toraja; secara linguistik, bahasa ibu Massenrempulu dan Tae’ umumnya lebih dekat dengan bahasa Toraja.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan dalam ekspresi lokal dan dialek, varian-varian bahasa Bugis (kecuali Massenrempulu dan Tae’, jika dipertimbangkan) umumnya tetap memiliki tingkat kesalingpahaman yang tinggi satu sama lain. Namun, dalam masyarakat Bugis utama, adalah praktik yang diterima untuk membedakan diri mereka secara regional dan budaya berdasarkan lokasi kerajaan tradisional dan leluhur mereka.[70]
Ada perbedaan halus dalam bahasa yang digunakan di area-area ini, dan ahli bahasa mengidentifikasi varian-varian ini sebagai dialek yang terpisah (bukan bahasa yang berbeda). Saat ini, terdapat sepuluh cabang utama dialek Bugis[66] — Bone, Camba, Pangkep, Sidrap, Pasangkayu, Sinjai, Soppeng, Wajo, Barru, dan Luwu,[71] serta puluhan subdialek kecil yang berasal dari cabang utama. Namun, beberapa peneliti masih berselisih apakah Sawitto — sebuah varian Bugis yang berbeda yang dituturkan di pusat Pinrang[72] — tetap berada dalam kelompok bahasa yang sama atau cukup berbeda untuk dianggap sebagai bahasa yang terpisah.[73]
Orang Bugis masa kini umumnya bilingual. Di Sulawesi Selatan, mereka menggunakan dua bahasa utama, yaitu Bugis atau Bahasa Indonesia, disesuaikan dengan lingkungan, lingkaran sosial, dan kegiatan. Bahasa Indonesia umumnya digunakan dalam situasi resmi, sebagai bahasa pendidikan formal, administrasi, media massa, dan sastra modern; Bahasa Indonesia juga umum digunakan saat berkomunikasi dengan penutur non-Bugis.[74] Dalam setting informal dan santai di sekitar lingkaran penutur Bugis, alih kode adalah hal yang umum, atau mencampurkan elemen dari kedua bahasa dalam berbagai derajat, seperti berbicara Bahasa Indonesia dengan elemen yang kuat dari bahasa Bugis dan sebaliknya.[75]
Di provinsi Sulawesi Selatan, afiks seperti -ki’, -ko, na-, -ji, -mi, dll. digunakan dalam campuran bahasa Indonesia-Bugis-Makassar. Aksen Bugis-Makassar, yang dikenal sebagai Okkots, juga terlihat dalam penggunaan pengucapan -ng yang lebih kuat dalam beberapa bagian ucapannya. Pola ini tidak terbatas hanya di wilayah Sulawesi Selatan, tetapi juga dapat terdengar di bagian lain Indonesia dengan populasi Bugis yang terlihat. Di luar provinsi, campuran bahasa ini tidak hanya dipengaruhi oleh Bahasa Indonesia, tetapi juga oleh jejak bahasa lokal dan dialek lain yang terintegrasi dengan bahasa Bugis diaspora. Demikian pula, di luar Indonesia, campuran bahasa ini juga dapat terlihat di Malaysia dan Singapura, yang memiliki komunitas Bugis yang cukup besar. Selain dipengaruhi oleh Bahasa Indonesia, komunitas Bugis di negara-negara ini juga dipengaruhi oleh bahasa Melayu dan dialek lokalnya.
Di luar tanah leluhur mereka di dataran rendah Sulawesi Selatan, bahasa Bugis, dialek, dan campurannya ditemukan di seluruh jaringan diaspora dan enklave etnis di Sulawesi dan seluruh Asia Tenggara Maritim. Namun, saat ini ada kecenderungan pergeseran bahasa yang nyata di antara diaspora di luar Sulawesi Selatan, sehingga pemahaman dan penguasaan bahasa Bugis dapat bervariasi berdasarkan latar belakang pribadi, paparan, minat, dan kontak dengan bahasa leluhur mereka.
Filsafat
Siri’ na Pacce (Rasa Malu, Belas Kasih)
— Kode Etik Bugis-Makassar-Mandar-Toraja
Bugis-Makassar memiliki warisan yang kaya, filsafat, struktur agama dan sosial. Adat mereka didasarkan pada konsep Pangadereng — yang awalnya terdiri dari Ade (adat), Rapang (Hukum), Bicara (Pengadilan) dan Warik (Sistem sosial); setelah Islamisasi Bugis-Makassar, Syara' (Syariah) dimasukkan ke dalam nilai-nilai inti mereka.[76]
Kearifan lokal lainnya termasuk Siri' na pacce.[77] Ini berfungsi sebagai panduan, konvensi sosial, dan perilaku moral. Siri menandakan penggabungan sikap malu dan harga diri, yang berfungsi sebagai pilar yang mendukung pentingnya martabat, kebajikan, penghargaan, solidaritas, dan tanggung jawab. Siri adalah elemen penting agar seseorang dianggap sebagai tau (manusia). Pacce memanifestasikan kehadiran belas kasih dan solidaritas. Ini melibatkan kemampuan seseorang dalam kecerdasan emosional, termasuk cinta, kesedihan, rasa sakit, dan solidaritas. Interpretasi lain dari Pacce berkisar pada pengorbanan diri, kerja keras, dan pengekangan diri. Selain Bugis dan Makassar, etos tradisional ini juga dibagikan oleh kerabat utara mereka — Toraja dan Mandar.
Diterjemahkan sebagai "empat sudut" — Sulappa Eppa mewakili filsafat kuno, ide, dan teori Bugis-Makassar tentang gagasan bahwa alam semesta dibangun dalam bentuk belah ketupat raksasa, yang diciptakan oleh empat dasar utama — angin, api, air, dan tanah. Dengan demikian, estetika, ungkapan, dan nuansa klasik Bugis-Makassar sebagian besar dibuat dan dibayangkan dalam komposisi empat sudut yang dominan; termasuk dalam skrip tulisan tradisional mereka (lontara), tata letak arsitektur, hidangan upacara (songko dan songkolo), desain seni, motif sarung dan nilai-nilai filosofis. Keempat elemen ini juga secara sinonim dikaitkan dengan empat warna berbeda — angin (kuning), api (merah), air (putih), dan tanah (hitam).[78] Selain itu, Lipa' Sabbe atau sarung sutra (sarung kain yang terbuat dari sutra) melambangkan penghormatan terhadap paradigma budaya Bugis-Makassar yang paling murni.[79]
Skrip Tradisional
Aksara Lontara berasal dari Aksara Kawi; meskipun demikian, skrip ini mengalami perkembangan dan modifikasi lokal untuk menyesuaikan penulisan dalam bahasa Bugis, Makassar, dan Mandar. Skrip ini secara tradisional digunakan untuk dokumen formal dan resmi seperti kontrak, hukum perdagangan, perjanjian, peta, dan buku harian, baik dalam format buku Barat maupun dalam Lontar tradisional.[80] Dengan meningkatnya kekuatan angkatan laut Sulawesi Selatan di kepulauan timur, skrip ini menyebar pengaruhnya, diperkenalkan dan diadopsi sebagai Lonta Ende di Flores, Mbojo di timur Sumbawa, dan Satera Jontal di barat Sumbawa, meskipun dengan perubahan untuk bahasa-bahasa tersebut.[81]
Nama "Lontara" diperoleh dari istilah Lontar, yang daunnya sering digunakan untuk menulis naskah. Dalam Bahasa Bugis, sistem penulisannya disebut "urupu sulapa eppa", yang digambarkan sebagai "huruf kotak" atau "empat sudut", yang merupakan ilustrasi jelas tentang interpretasi awal Bugis-Makassar terhadap empat unsur yang membentuk alam semesta — api, air, tanah, dan udara.[81]
Selama kolonisasi Belanda di Hindia Belanda, sistem penulisan ini sebagian besar digantikan dengan pengenalan Abjad Latin. Meskipun demikian, skrip ini masih mempertahankan pentingnya budaya yang mendalam di kalangan masyarakat Bugis-Makassar di tanah air mereka dan digunakan untuk upacara tradisional, kalender, dan sastra; serta dalam dokumen pribadi dan barang-barang tulisan tangan, misalnya dalam surat dan catatan. Skrip ini juga diajarkan di banyak sekolah di Sulawesi Selatan dan penggunaannya terlihat di beberapa rambu lalu lintas di seluruh provinsi. Saat ini, ada juga upaya signifikan oleh desainer tipografi dan grafis Indonesia untuk memperkenalkan skrip ini kepada audiens yang lebih luas di luar batas tradisionalnya.[80]
Selain Lontara, ada juga bentuk penulisan tradisional Bugis-Makassar lainnya yang didasarkan pada skrip Arab, dikenal sebagai Alfabet Serang. Secara relatif, dengan modul yang hampir serupa dengan skrip saudara perempuannya, abjad Jawi dan Pegon untuk Melayu dan Jawa, sistem penulisan Serang mengintegrasikan penggunaan unsur-unsur abjad Arab dengan beberapa karakter tambahan untuk berintegrasi dengan bahasa lokal.[82]
Folklor dan Tradisi Sastra
Sastra Bugis merujuk pada bentuk-bentuk sastra yang diekspresikan dalam bahasa Bugis — yang meliputi baik sastra tulisan maupun tradisi lisan. Karya sastra Bugis yang paling awal disampaikan secara lisan, dengan sastra tulisan mulai muncul dan secara bertahap dikodifikasi dengan perkembangan skrip Lontara. Dasarnya banyak bertepatan dan beririsan dengan sastra Makassar— yang memiliki perkembangan yang erat dengan Bugis. Tradisi sastra Bugis terutama fokus pada kearifan, moral, kehidupan sosial, dan lingkungan budaya identitas Bugis.
Sastra rakyat Bugis adalah komposisi lisan yang sangat mendalam berakar pada pemahaman dan persepsi hidup Bugis — dalam bentuk prosa, puisi, dan lirik. Klasifikasinya mencakup berbagai puisi pendek, élong; puisi naratif panjang, tolo; ucapan ceria, seperti teka-teki, atteppungeng dan lagu anak-anak; mantra magis, jappi, baca-baca; ungkapan ritual pra-Islam, sabo, sessukeng, lawolo; petuah, pappaseng; dan sumpah setia, aru. Warisan lisan penting lainnya termasuk — cerita, curita; khotbah, katoba; dan pidato. Meskipun pada dasarnya bersifat verbal, banyak karya tersebut juga kemudian ditulis dalam bahasa tersebut.[83]
Penulisan dalam Skrip Lontara kemungkinan muncul pertama kali sekitar tahun 1400. Teks-teks awal diukir pada daun palma, diikuti dengan volume komposisi tulisan tangan pada naskah kertas, kemungkinan dari tahun 1500-an atau bahkan lebih awal.[84] Karya-karya sastra umumnya dipesan oleh spesialis penulis yang dikenal sebagai palôntara. Tugas palôntara adalah sebagai peneliti dalam menciptakan dan menyusun naskah-naskah Bugis.[85] Naskah-naskah ini cenderung kaya dan bervariasi, dengan banyak tema dan subjek — termasuk sejarah, puisi, karya hukum, teks ritual, manual, etika, dan lain-lain. Bahan-bahan cetak dalam bahasa Bugis diperkenalkan pada paruh kedua abad ke-19, meskipun dengan sirkulasi yang lebih kecil, seperti dalam kamus, buku tata bahasa, chrestomathy, dan terjemahan.[86]
Terdiri dari lebih dari 6.000 halaman, La Galigo dianggap sebagai magnum opus dalam warisan sastra Bugis. Disusun dalam bahasa Bugis kuno, saga ini berasal dari tradisi lisan awal. Teks puitis ini berfungsi sebagai almanak yang dihormati dan memberikan narasi tentang pemahaman kuno mengenai kemanusiaan dan kerajaan. Dalam budaya Bugis, episode-episode dari La Galigo biasanya dipentaskan melalui nyanyian dan puisi yang dipimpin oleh seorang spesialis La Galigo, yang dikenal sebagai passure. Pertunjukan ini kadang-kadang diadakan selama festival, pernikahan, atau selama acara rumah baru.[87] Naskah cerita rakyat La Galigo terdiri dari 12 jilid dan saat ini telah ditulis serta diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, dari keseluruhan jilid tersebut, baru tiga jilid yang berhasil dibukukan. Sementara itu, sembilan jilid lainnya, masih berupa naskah asli yang disimpan di arsip Sulawesi Selatan[88]. Pada tahun 2012, dua naskah La Galigo termasuk dalam Program Memori Dunia UNESCO.
Namun, koleksi terbesar sastra Bugis adalah dalam bentuk genealogi keluarga. Ini dianggap sebagai warisan keluarga yang penting, terutama di kalangan anggota keluarga bangsawan dan aristokrat. Beberapa yang bertanggal awal tahun 1400 — sekitar dua ratus tahun sebelum Islamisasi mereka, genealogi Bugis awal memberikan pandangan langka tentang budaya dan ideologi masyarakat Austronesia awal dan melek huruf.[89]
Pakaian, Tekstil, dan Tradisi Menenun
Dalam budaya tradisional Bugis-Makassar, tekstil dan pakaian dihormati dan memiliki tempat khusus dalam masyarakat. Secara historis, warna dan motif yang dikenakan oleh pemakainya memiliki indikator penting dan berfungsi sebagai simbol penentu identitas, usia, dan status seseorang.[90]
Istilah Baju Bodo berasal dari bahasa Makassar, yang diterjemahkan sebagai "pakaian pendek".[90] Sebaliknya, dalam bahasa Bugis, pakaian ini juga dikenal sebagai Waju Tokko dan Waju Ponco. Sebagai tunik dengan lengan pendek, pakaian ini biasanya dipadukan dengan sutra atau sarung tenunan. Pakaian ini berasal dari awal abad ke-9, mengikuti pengenalan kain muslin oleh para pedagang asing ke pelabuhan-pelabuhan di Sulawesi Selatan.[91] Kain ini, yang tipis dan ringan, sangat sesuai dengan cuaca tropis lokal di wilayah tersebut. Selain kain muslin, Baju Bodo juga umumnya dibuat dari kain serat nanas dan kapas.
Dengan meningkatnya Islamisasi di kalangan Bugis-Makassar, bentuk Baju Bodo yang terkait muncul. Memiliki lengan lebih panjang, Baju La’bu (dari bahasa Makassar la'bu 'panjang'), juga dikenal sebagai Bodo Panjang (keduanya berarti "kain panjang") disesuaikan dengan interpretasi Islam mengenai Aurat dan kesopanan. Baju La’bu juga tradisionalnya terbuat dari sutra, berbeda dari kain semi-transparan dan tembus pandang dari pendahulunya.[92]
Industri tenun Bugis-Makassar kemungkinan dimulai pada abad ke-15. Motif sarung buatan lokal awalnya sederhana, dengan garis-garis vertikal, horizontal, atau pola kotak-kotak yang sederhana,[93] kemungkinan terinspirasi oleh dasar Sulappa Eppa (empat unsur). Pada abad ke-17, desain menjadi semakin terornamen, dengan penambahan berbagai bentuk geometris, kontur, dan urutan. Hampir sejalan dengan fungsi Baju Bodo di masa lalu, motif dan desain sarung juga digunakan untuk menunjukkan status pemakainya.[94] Bahan sarung biasanya terbuat dari sutra dan kapas.
Mode yang sesuai untuk pria Bugis dikenal sebagai Jas Tutu atau Jas Tutup (pakaian "terbungkus"), berupa jas berlengan panjang dengan kerah. Jas Tutu juga identik dipadukan dengan Songkok recca/Pabiring/Songkok To Bone (songkok Bugis), Lipa’ Sabbe (sarung), dan kancing berwarna emas atau perak. Songkok bergaya Bugis terbuat dari anyaman rotan dan benang emas.[95] Selama upacara pernikahan tradisional, pengantin pria juga biasanya mengenakan aksesori yang sangat rumit, termasuk Tataroppeng (Keris), Pabekkeng (sabuk),[96] Rope (Songket), Sigara (penutup kepala), Salempang (sabuk), Gelang (gelang), dan Sapu tangan.
Saat ini, Baju Bodo dan Jas Tutu umumnya digunakan sebagai pakaian formal, sering terlihat selama pernikahan, serta dalam fungsi ceremonial dan budaya lainnya.
Tradisi Kuliner
Masakan Bugis merupakan bagian penting dari warisan mereka, meliputi berbagai gaya kuliner dan resep yang sering diasosiasikan dengan masyarakat Bugis. Masakan ini memiliki banyak kesamaan dengan tradisi gastronomi yang ada di sekitar Makassar, Mandar, dan Toraja. Banyak hidangan yang berkembang secara lokal di pulau Sulawesi, dengan fokus pada bahan-bahan asli; sementara yang lainnya menunjukkan pengaruh luar yang lebih kuat dan disesuaikan dengan selera lokal.
Teknik memasak asing dalam masakan Sulawesi Selatan dapat dilihat dari adopsi Jalangkote, pai kecil yang digoreng yang diadopsi dari Portugis papeda. Isian Jalangkote biasanya terdiri dari bihun (menunjukkan pengaruh Tiongkok) dikombinasikan dengan irisan sayuran, telur rebus dan daging cincang. Sementara itu, elemen India terlihat dan ditunjukkan dalam hidangan lokal, seperti Gagape, Toppa Lada dan Juku Palumara.[97]
Ada juga berbagai jenis hidangan yang menandakan asal usul lokal: Kue beras sangat populer dengan hidangan seperti Burasa' dan Tumbu/Lapa-lapa/Langka.[98][99] Kue beras ini dikukus dan dibungkus dalam wadah daun dengan santan, memberikan rasa yang kaya dan gurih. Biasanya disajikan sebagai pengganti nasi putih dan dimakan bersama sup atau hidangan sampingan lainnya.[100] Bentuk kue beras yang menonjol di komunitas Bugis-Makassar termasuk Gogos — beras ketan yang dipanggang dengan isian ikan, dibungkus dalam daun pisang. Ini umumnya dimakan sebagai camilan.[101]
Panjang garis pantai di semenanjung telah berkontribusi pada industri perikanan yang besar di wilayah tersebut, menjadikan produk laut sebagai bagian penting dari makanan.[102] Hidangan seperti Pa’Deme (sambal ikan teri), Bajabu (serundeng), Lawa Bale (ikan mentah yang dimarinasi) dan sup kaldu jernih dari Nasu Bale dan Nassu Meti mencerminkan koneksi maritim yang luas.
Selain makanan laut, terdapat juga tradisi kuliner yang beragam dengan penekanan pada daging, yang terlihat pada hidangan yang dimasak dengan metode masak lambat, yaitu Nasu Likku',[103] Nasu Palekko[104] dan Goré-Goré. Hidangan ini biasanya disajikan sebagai hidangan sampingan untuk melengkapi Nasi Putih (nasi putih biasa), atau dalam beberapa kasus, kue beras.
Pisang memiliki pentingnya besar setelah nasi dalam makanan pokok Bugis, karena ditanam secara luas di Sulawesi Selatan.[105] Selain dimakan segar setelah makan, hidangan berbahan dasar pisang sangat luas dalam bentuk camilan dan pencuci mulut — mulai dari Berongko (puding pisang kukus), Sanggara Balanda yang karamel,[99] hingga camilan renyah dan gurih seperti Sanggara Pappek (pisang yang dihancurkan).
Hidangan populer lainnya yang terkait dengan Bugis termasuk hidangan bubur — Barobbo (bubur nasi dan jagung) dan Kapurung yang berbasis sagu; serta Kue tradisional, terutama Kue bugis, Kue Dange, Kue Sikaporo dan Bolu Peca.[99] Karena interaksi yang ramah dan pernikahan antar-etnis yang umum dengan masyarakat Makassar yang sejenis, banyak hidangan unik Makassar juga dinikmati secara luas oleh Bugis, termasuk Coto Makassar, Sop Sodara, Pallubasa, Pallu Kacci, Pallumara dan Konro, atau pencuci mulut seperti Cucuru' Te'ne dan Es Palu Butong.[103]
Di luar tanah asalnya, Burasa' dan hidangan tradisional Bugis-Makassar lainnya juga umum disajikan sebagai hidangan upacara oleh komunitas diaspora mereka.
Senjata dan Tradisi Militer
Taniya ugi narekko de'na punnai kawali
(Seseorang tidak dianggap sebagai Bugis tanpa Kawali)— Ungkapan tradisional Bugis[106]
Senjata tradisional Bugis-Makassar meliputi berbagai jenis blade, pisau, dan senjata api. Namun, Badik, juga dikenal sebagai Kawali, dianggap sebagai senjata tradisional yang sangat terkait dengan identitas mereka dan memiliki status yang dihormati dalam struktur sosial masyarakat Bugis-Makassar. Senjata ini tidak hanya dipandang sebagai senjata, tetapi juga sebagai lambang yang mewakili karakter pribadi pemiliknya. Secara historis, Badik digunakan sebagai alat vital untuk perburuan hewan dan mekanisme pertahanan diri.[106]
Dalam pemahaman tradisional Bugis-Makassar, hierarki Badik dianggap berada di bawah Keris. Berbeda dengan Badik yang digunakan hampir di seluruh lapisan masyarakat, Keris Pusaka (Keris Dinasti) adalah regalia keluarga penting di kalangan elite kerajaan di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, secara historis, Badik memperoleh identitas sebagai pendamping bagi pria Bugis-Makassar.[106]
Di masa lalu, Badik digunakan sebagai alat pertahanan untuk melindungi individu dan kehormatan keluarga. Doktrin ini sebagian besar didasarkan pada interpretasi filosofis dari Siri, yang merupakan dasar dari budaya Bugis-Makassar. Siri melambangkan tanggung jawab untuk menjaga martabat dalam masyarakat. Konsep ini secara historis terpatri dalam jiwa kognitif masyarakat dan secara tradisional menjadi kekuatan pengikat pada nilai-nilai moral dan sistem sosial. Badik juga sering diwariskan dari generasi ke generasi, berfungsi sebagai pusaka keluarga yang penting.[106]
Pedang penting lainnya milik Bugis adalah Keris, juga dikenal sebagai Tappi. Meskipun memiliki beberapa perbedaan kecil dibandingkan dengan Keris Jawa, Keris Bugis dicatat memiliki kemiripan anatomi yang lebih dekat dengan versi Melayu dari belati tersebut, yang mungkin diperkenalkan oleh orang Melayu kepada masyarakat Sulawesi Selatan. Hampir setara dengan Badik, Keris juga membawa simbol yang dihormati di kalangan banyak orang Bugis-Makassar.[107][108][109]
Selain Badik dan Keris, mereka dikenal memiliki berbagai jenis senjata klasik. Sebagian besar barang-barang ini secara kolektif diklasifikasikan dalam kategori parewa bessi (senjata besi) yang dibuat oleh pandai besi Bugis-Makassar. Beberapa koleksi notable lainnya termasuk Alamang dan Sundang, pedang panjang; Bessing, tombak; Kanna, perisai; Pantu’, tongkat bertarung tradisional; Baju Rantai (armor); dan Tado, tali perangkap.[109]
Seni senjata di kalangan Bugis-Makassar terus berkembang sepanjang milenium. Orang-orang kuno Sulawesi Selatan tercatat menggunakan sumpit dengan panah lempar beracun, tombak, pedang pendek, keris, dan helm dari rotan.[110] Pada era modern awal, Bugis-Makassar mendapatkan pengetahuan lebih lanjut tentang artileri dengan pengenalan berbagai senjata api: musket, culverin, dan meriam yang meningkatkan keterampilan perang dan tempur mereka. Zirah rantai dan lempeng (baju lamina) diperkirakan mulai digunakan pada era ini, dan masih dikenakan hingga abad ke-19.[111]
Hubungan kuat antara pengembangan senjata dan budaya militer menciptakan momentum yang menguntungkan yang mendorong pencapaian politik dan pengaruh mereka di luar tanah air Bugis-Makassar yang tradisional. Ini menjadi salah satu alat yang mengukuhkan figur sejarah mereka serta status sebagai tentara, tentara bayaran, pejuang, dan petarung di seluruh wilayah maritim.
Arsitektur Tradisional
Dalam masyarakat Bugis, arsitektur dianggap sebagai lambang dari filosofi, dirancang untuk mendukung keyakinan, kepercayaan, dan pemahaman penghuni tentang kosmos dan alam semesta. Ini sangat berakar dalam sejarah panjang dan kaya mereka, menggabungkan elemen interpretasi kosmologi asli dengan budaya, keyakinan, mitologi, estetika, dan fungsionalitas. Gaya arsitektur Bugis secara luas digolongkan bersama dengan Makassarese, yang memiliki fitur arsitektural dan identitas yang kuat.
Berdasarkan pemahaman filosofis Bugis, sebuah rumah dianggap sebagai ekspresi sah dari ritus peralihan sebagai manusia: tempat untuk dilahirkan, dibesarkan dan dirawat sebagai anak, menjadi suami atau istri, dan akhirnya tempat peristirahatan terakhir. Oleh karena itu, hunian dirancang untuk menjadi sakral, suci, dan sangat dihormati. Ini memberikan tempat bagi kesendirian, energi, pemeliharaan, kesejahteraan, dan kehormatan bagi penghuninya.[112] Kehadiran rumah dalam masyarakat Bugis merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan, sehingga kepemilikan rumah dianggap sangat penting — untuk memperingati kehidupan dan menjadi simbol kehidupan.
Dalam budaya Bugis, arsitektur tidak hanya dipandang sebagai praktik, tetapi juga sebagai subjek teologi. Formula Sulapa Eppa (empat elemen) diinterpretasikan dan dibangun dengan maksud tersebut.[112] Rencana tata letak bangunan Bugis umumnya memiliki konsistensi berbentuk persegi panjang dan simetris, dengan tujuan mengintegrasikan pemahaman awal Bugis bahwa alam semesta berbentuk belah ketupat raksasa dan empat unsur yang menciptakan alam semesta (angin, air, api, dan bumi); bersama dengan empat arah angin (utara, selatan, timur, dan barat). Dengan demikian, rumah Bugis tradisional biasanya menghadap utara, sebagai sumber energi positif; atau ke timur, fajar cahaya.[113]
Rumah-rumah dirancang dengan tiga tingkat terpisah, melambangkan tiga posisi alam semesta berdasarkan interpretasi Bugis pra-Islam. Rakeang (dunia atas) — penghormatan kepada langit, loteng dirancang sebagai puncak rumah dan dianggap sebagai tempat suci untuk menyimpan beras, tanaman, dan pusaka penting. Ale Bola (dunia tengah), menunjukkan penghormatan kepada dunia manusia, diwakili oleh ruang hidup dan ruang umum rumah. Awa Bola (dunia bawah), tempat gelap dan ganas, konsep ini diilustrasikan oleh jambar dan tempat penyimpanan ternak di bawah tempat tinggal manusia.[113]
Konsep rupa-tau ('kemiripan dengan manusia') juga dieksplorasi dan diterapkan secara luas dalam prinsip arsitektur Bugis. Hal ini mengarah pada struktur bangunan sebagai manifestasi besar dari hubungan anatomis. Kerangka rumah secara monumental dicirikan oleh komponen-komponen berdasarkan fisik manusia: Aje-bola (kaki), ditunjukkan oleh tiang-tiang rumah; ale-bola (torso), ruang hidup umum; ulu-bola (kepala), atap; dan posi-bola (pusar) oleh area tengah rumah.[112]
Perkembangan arsitektur Bugis berasal dari keyakinan bahwa sebuah rumah dibangun dengan keyakinan optimis untuk masa depan yang lebih baik. Berdasarkan mitos klasik Bugis dan pemahaman, bintang, langit, dan konstelasi memiliki makna ilahi yang besar; sebagai tanggapan, manusia dipercayakan untuk menjaga tata ruang alam semesta — untuk memiliki kehidupan yang lebih aman dan tenang, serta menghindari bencana alam (terutama banjir, longsor, tornado, dan gempa bumi). Oleh karena itu, etos dan esensi tersebut sangat diadaptasi, diserap, dan secara jelas dipancarkan dalam perwujudan arsitektur tradisional Bugis.[112]
Tradisi Maritim, Perdagangan, dan Migrasi
Di Indonesia, Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut, navigator, dan pedagang maritim. Fondasi angkatan laut mereka sebagian besar berkaitan dengan tradisi pembuatan kapal yang luas, keterampilan navigasi, dan kehadiran dominan dalam jalur perdagangan antar pulau.
Sebaliknya, mereka juga mendapatkan julukan sebagai "Viking Asia Tenggara".[114] Ekspedisi maritim dan perdagangan mereka yang luas secara historis menjadikan mereka sebagai salah satu pemain regional penting dalam perjalanan transoceanic ke Indochina, Makau, Manila, Papua, dan Australia utara, bersama dengan pulau-pulau Asia Tenggara yang terletak di antara wilayah-wilayah tersebut. Kapal-kapal mereka umumnya digunakan untuk membawa dan mengangkut rempah-rempah eksotis, kayu cendana, tekstil, beras, produk laut mewah, porselen, mutiara, dan barang-barang penting lainnya di sepanjang jalur perdagangan rempah-rempah kuno.[114][115]
Selama Zaman Penjelajahan, odisei pelayaran mereka sangat dibantu oleh padewakang, salah satu jenis kapal Bugis-Makassar awal, yang kemudian berkembang menjadi palari. Bersejarah, kapal air pertama dari jenis ini lahir berdasarkan tradisi legendaris Sulawesi.[114]
Hingga abad kesembilan belas, Padekawang klasik umumnya dipimpin oleh seorang kapten, dikenal sebagai nakoda atau anakoda; diikuti oleh bawahan, juragang. Biasanya, kapal juga memiliki dua juru kemudi, jurumudi — yang bertugas mengarahkan kursus kapal; dua jurubatu — pematang, bertanggung jawab mengukur kedalaman saat mendekati pantai, terumbu karang, atau batu karang; dan seorang sekretaris — dikenal sebagai jurutulisi, yang bertindak sebagai agen atas nama pemilik kapal. Nama-nama ini sebagian besar diadopsi dari bahasa Melayu, dengan pengaruh dari Persia, seperti istilah nakhoda.[116]
Untuk menentukan jalur pelayaran mereka, para pelaut biasanya menggunakan berbagai praktik nautikal konvergen, mulai dari menentukan matahari terbit dan matahari terbenam; lokasi cakrawala, bintang, dan konstelasi; lingkungan laut — aliran ombak, bentuk gelombang dan penampilan air; fauna — tindakan ikan dan pola terbang burung; arah angin; dan landmark geografis tertentu.[117]
Kapal pinisi asli (palari) memiliki panjang sekitar 50 hingga 70 kaki (15,24 hingga 21,34 m), dengan garis air yang ringan sepanjang 34 hingga 43 kaki (10,36 hingga 13,11 m).[118] Palari yang lebih kecil hanya sekitar 10 m panjangnya.[119] Sebuah kapal berlayar dengan dua tiang layar, nama "pinisi" berasal dari jenis pebahu layar, yang digunakan untuk konfigurasinya. Ciri khasnya adalah layar agung dan tiang tripod yang miring, memberikan desain yang unik dan berbeda dari kapal barat lainnya. Di era kontemporer, palari juga dilengkapi dengan mesin untuk pelayaran mereka.[120]
Ada banyak pusat pembuatan kapal yang dihormati di wilayah tersebut, termasuk Ara, Tanah Lemo, dan Bira. Namun, Konjo, salah satu subkelompok Makassar, dikenal sebagai salah satu pembuat kapal pinisi terhormat, dengan tradisi panjang dalam pembuatan kapal dan perahu, sebuah pengetahuan yang umumnya diwariskan dari ayah ke anak selama berabad-abad.[114]
Bagi Konjo di Bulukumba, identitas pembuatan perahu sangat tertanam dalam kehidupan mereka sebagai manifestasi seni, budaya, dan ritual yang berharga. Sebagai komunitas pembuat kapal yang sangat berdedikasi, orang Konjo secara tradisional dilarang berlayar ke laut, karena para tetua mereka takut bahwa klan mereka tidak akan kembali ke tanah air mereka, menciptakan risiko besar kehilangan pengetahuan pembuatan kapal yang berharga di antara kerabat mereka.[114] Dengan demikian, di Sulawesi Selatan, tanggung jawab pelayaran transoceanic sebagian besar dijalankan oleh saudara-saudara mereka yang terkait erat — Bugis dan Makassar.
Kekayaan budaya nautika Bugis-Makassar juga tercermin dan diperkuat oleh berbagai jenis kapal — mulai dari penjajap, kapal perang; pajala, kapal kecil yang juga digunakan untuk memancing; palari, keturunan lain dari padewakang;[120] Lambo, kapal perdagangan; dan kapal-kapal awal Somba Lete dan sompe tanja. Kapal-kapal ini secara kolektif meninggalkan dampak signifikan pada perkembangan lokal dan regional.
Saat identitas pelayaran mulai mengakar dalam masyarakat pesisir Sulawesi Selatan, hal itu secara bertahap menjadi ikon mendalam yang menavigasi pengaruh dan kehadiran mereka di wilayah tersebut. Mengikuti tradisi migrasi Bugis-Makassar yang dikenal sebagai sompe (untuk berlayar) dan malleke' dapureng; dari kapal-kapal historis inilah banyak orang Bugis dan Makassar, baik pria, wanita, dan anak-anak, berani meninggalkan tanah leluhur mereka untuk mencari pursuit ekonomi, kemakmuran, dan peluang, sementara yang lainnya berangkat untuk pengalaman pendidikan, petualangan, martabat pribadi, pencarian militer, atau ambisi politik yang bergengsi.[121] Dengan demikian, sebagian besar, jika tidak semua Bugis di diaspora dapat melacak asal-usul leluhur mereka ke salah satu Pasompe' (sebutan untuk orang-orang yang berlayar/berpetualang di luar tanah asli mereka).[122] Kisah dan jejak dari gelombang pelayaran dan pemukiman masa lalu masih dapat disaksikan hingga hari ini, secara jelas diilustrasikan oleh komunitas etnis dan diaspora yang luas yang telah didirikan di seluruh pulau-pulau dan wilayah pesisir Asia Tenggara maritim.
Tradisi Padi dan Pertanian
Beras adalah kehidupan bagi orang Bugis
— Leonard Andaya, Antropolog[123]
Sebagai pergeseran nyata dari budaya maritim dan navigasi yang didominasi oleh kerabat pesisir mereka, masyarakat Bugis-Makassar yang berada di pedalaman menunjukkan warisan pertaniannya yang kuat.[123] Padi dianggap sebagai salah satu hasil tanaman terpenting dalam masyarakat mereka, dan telah dibudidayakan di semenanjung selama berabad-abad. Biji-bijian ini telah tertanam dalam cara hidup pertanian mereka selama beberapa generasi. Padi tidak hanya dihargai sebagai sumber makanan utama dalam diet, tetapi juga terjalin dalam jalinan sosial, legenda, teori, ekonomi, politik, dan ideologi. Dalam arti tertentu, identitas tradisional mereka juga didampingi oleh budaya pertanian.
Biji-bijian sederhana ini dianggap sebagai inti dari tradisi mereka, dan memang memiliki hubungan kompleks dan panjang dengan Bugis-Makassar. Jejak awal padi di Asia Tenggara maritim ditemukan di Gua Ulu Leang, di Maros, Sulawesi Selatan. Diperkirakan berasal antara 4000 SM hingga 2000 SM, biji-bijian ini kemungkinan terkait dengan kedatangan leluhur Austronesia mereka ke wilayah tersebut, atau di antara masyarakat pemburu-pengumpul Toalean yang lebih awal.[124][13]
Padi memberikan nutrisi, yang tertanam dalam perkembangan historis mereka. Pada abad ke-14, transformasi radikal mereka dari penguasa lokal menjadi kerajaan besar sebagian besar bertepatan dengan lonjakan populasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di semenanjung, yang pada gilirannya merupakan hasil terkait dari perbaikan praktik pertanian sebelumnya.[29][28] Darah, keringat, dan air mata telah ditumpahkan di tanah dalam upaya untuk mendapatkan hasil panen yang baik, misalnya pada abad ke-16, konfederasi Ajatappareng (yang mencakup kerajaan-kerajaan Bugis seperti Sidenreng, Rappang, Suppa', Bacukiki, Alitta', dan Sawitto) diperluas oleh ambisi Gowa untuk menguasai hasil pertanian lokal yang melimpah di wilayah tersebut.[125]
Dalam kepercayaan dan pemahaman kuno mereka, padi dipersepsikan sebagai simbol yang terkait dengan rezeki dan penciptaan, serta berkah dan kebahagiaan yang menghubungkan adat-istiadat kuno, mitologi, dan masyarakat. Pembudidayaan biji-bijian ini telah menyebabkan perkembangan siklus kehidupan ekonomi yang berpusat terutama pada inti pertanian. Berakar pada sistem kepercayaan pra-Islam, mappalili (musim tanam padi) diorganisir di antara orang Bugis untuk berdoa agar musim panen melimpah, sementara festival panen besar diadakan oleh masyarakat agraris sebagai kesyukuran setelah panen yang sukses. Padi juga sangat dihormati, berdasarkan almanak manual Bugis yang dikenal sebagai Kutika, hanya pada jadwal, hari, dan waktu tertentu yang diperbolehkan untuk kegiatan pertanian;[123] di rumah, padi secara tradisional disimpan di loteng rumah, menandakan posisinya yang tinggi dalam tatanan sosial;[113] sementara selama perang, penghancuran ladang padi dipersepsikan sebagai tabu yang sangat dilarang.[123]
Kepercayaan asli Bugis-Makassar dibangun di atas hortikultura sebagai pilar utamanya. Pertanian padi juga mempengaruhi banyak aspek lain dari kegiatan ekonomi kuno mereka. Selama era pertengahan, padi menjadi salah satu komoditas utama ekspor dari wilayah inti Sulawesi Selatan ke seluruh Asia Tenggara insular.[126][28][125] Komoditas ini mungkin juga berfungsi sebagai panduan awal untuk keterampilan perdagangan dan kewirausahaan mereka yang mendasar, sebelum cepat berkembang menjadi salah satu alat utama perdagangan mereka selama keterlibatan maritim mereka dalam jalur perdagangan regional.
Supremasi padi dan fondasi agraris yang kuat dari masyarakat Sulawesi Selatan tetap bertahan hingga saat ini. Pada tahun 2022, provinsi ini diperkirakan menghasilkan 5,4 juta ton padi, menjadi salah satu lumbung padi terkemuka di Indonesia modern.[127]
Festival, Perayaan dan Tradisi Keagamaan
Islamisasi kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar yang dipelopori oleh Luwu dan Gowa pada abad ke-17 telah mengubah secara signifikan lanskap keagamaan di seluruh semenanjung.[53] Akibatnya, sebagian besar festival liturgi orang Bugis terutama diatur sesuai dengan kalender Islam, meskipun tetap mempertahankan orientasi budaya lokal yang kuat.
Perayaan Idulfitri dan Iduladha merupakan festival terbesar bagi orang Bugis. Idul Fitri (dikenal sebagai Maleppe, yang berarti "bebas" dalam bahasa Bugis) merupakan ritual kemenangan setelah menyelesaikan sebulan puasa dan kegiatan keagamaan selama Ramadhan.[128] Dalam bahasa Bugis, istilah Mallepe memegang simbol filosofi sebagai pembebasan dari dosa dan kebiasaan buruk seseorang.[129] Sementara Idul Adha adalah perayaan keagamaan yang memperingati pengorbanan yang dilakukan oleh Ibrahim.
Sehari sebelum eid, banyak keluarga Bugis menyiapkan kue nasi Burasa dan Tumbu dalam tradisi yang dikenal sebagai Ma’burasa dan Ma’tumbu.[130] Tradisi mengunjungi teman, kerabat, dan mengadakan pesta besar untuk pengunjung juga menjadi pusat perhatian — dikenal sebagai Massiara, kunjungan biasanya dimulai setelah shalat eid.[129]
Tradisi lain yang umum selama eid termasuk Mabbaca-baca, sebuah kumpul doa syukur dan pesta yang dipimpin oleh pemimpin agama komunitas yang dikenal sebagai Puang Anre Guru atau Daeng Imam.[128] Mengunjungi tempat peristirahatan terakhir orang yang telah meninggal juga merupakan hal yang umum selama musim ini, dalam adat yang dikenal sebagai Masiara Kuburu, kunjungan ke makam dianggap sebagai isyarat kasih sayang, hormat, dan penghargaan.
Liburan Islam lainnya yang diamati oleh orang Bugis termasuk Ramadhan dan Maulu/ma maulu’ (Maulid Nabi Muhammad), yang menghormati kelahiran Muhammad, di mana makanan ceremonial khusus dan telur berwarna-warni diberikan kepada jamaah masjid; Esso Sura (Hari Asyura), peringatan Muharram, di mana bubur khusus (dikenal sebagai Bubu Petu dan Bella Pitunrupa) disiapkan, hari ini juga ditandai sebagai periode belanja utama bagi orang Bugis-Makassar, karena banyak yang secara tradisional membeli peralatan rumah tangga baru selama Ashura.[131] Selain itu, keluarga Bugis dan Makassar juga mengadakan Massuro Baca, doa ceremonial khusus dan pesta yang diadakan seminggu sebelum Ramadhan untuk mengenang kerabat yang telah meninggal, serta sebagai persiapan untuk membersihkan diri sebelum bulan suci.
Elemen Islam juga terwujud selama perayaan pada tingkat individu. Sebagai komunitas Muslim yang mayoritas, tindakan Mabbarazanji/Barzanji (Berzanji), doa dan pujian kepada Muhammad dianggap sebagai salah satu titik fokus selama upacara semacam itu. Orang Bugis biasanya mengadakan pesta selamatan untuk meminta berkah ilahi, perlindungan, syukur, dan rasa terima kasih — termasuk pernikahan, perayaan kelahiran anak, aqiqah, upacara pembangunan rumah, mengirim jamaah untuk umrah dan haji, serta upacara pemakaman.
Pentingnya upacara pribadi dan komunitas ini secara kolektif menjadi bukti karakter etnis utama mereka. Ini berfungsi sebagai ikatan mereka sebagai seorang Muslim dan manifestasi identitas budaya mereka. Acara ini juga dilakukan sebagai juxtaposisi, saling terkait antara esensi agama dan adat; bersama dengan rasa tanggung jawab untuk menguatkan nilai-nilai mereka ke era kontemporer.
Secara historis, ada juga beberapa acara regional yang mendalam berakar pada kepercayaan kuno mereka, mencerminkan masa pra-Islam, lokasi geografis, demografi lokal, dan pekerjaan. Di beberapa komunitas Bugis agraris, festival panen besar seperti Mappangolo Datu Ase, Mappadendang, Manre Sipulung, Maccerak Ase, dan Maccerak Rakkapeng bertindak sebagai ungkapan syukur dan perayaan atas hasil panen yang melimpah. Sementara itu, di komunitas pesisir dan danau di mana industri perikanan dianggap sangat penting, mereka merayakan dengan Maccera Tappareng dan Maccerak Tasik.[132] Namun, dengan munculnya berbagai revolusi sosial-ekonomi dan pendidikan, bersama dengan industrialisasi dan pengenalan teknik pertanian dan perikanan modern sepanjang abad ke-19 dan ke-20, dampak kolektif dari festival-festival ini mulai memudar seiring dengan praktik yang lebih sesuai dengan pemahaman Islam di masyarakat Bugis yang mainstream. Meskipun demikian, perayaan regional tersebut menawarkan pandangan singkat tentang masa lalu, pada agama tradisional dari komunitas agraris yang pernah ada.
Tradisi Musik dan Seni Pertunjukan
Musik dan tarian telah lama menjadi bagian integral dari budaya Sulawesi Selatan, mencerminkan tradisi yang kaya dan beragam bentuk pertunjukan. Seni pertunjukan Bugis dapat dikategorikan dalam empat jenis utama: hiburan, pertunjukan ritualistik, tarian istana, dan seni bela diri.
Dalam budaya Bugis, tari merupakan medium penting untuk folklore dan hiburan, sering ditampilkan selama acara komunitas dan perayaan-perayaan penting. Tari Bugis yang terkenal termasuk Pajaga dan Pajogek[133], yang menggabungkan elemen Ronggeng, Jaipong, dan diiringi oleh drum yang disebut gendeng. Tarian lainnya yang mencolok adalah Jeppeng, yang menggabungkan pengaruh Islam, dan Tari Paduppa, tari penyambutan tradisional.
Secara historis, seni pertunjukan memegang peranan penting dalam praktik ritualistik Bugis. Selama upacara magico-religius, teknik tari kuno dilakukan oleh dukun Bugis, atau Bissu, yang bertujuan untuk memanggil energi spiritual dan mencapai keadaan trance. Pertunjukan ini merupakan bagian integral dari rite budaya penting seperti awal musim tanam padi atau acara kerajaan. Tarian ritual yang terkenal termasuk Tari Maggiri, Tari Alusu, dan Maddewata[134].
Seni bela diri mencerminkan nilai-nilai historis militer Bugis, menekankan kualitas seperti keberanian, kekuatan, dan kekuatan. Pertunjukan seni bela diri termasuk Manunencak/Mencak Baruga (Bugis Pencak Silat), Mallanca, dan Masempek. Tari perang seperti Penjaga Welado, Pajaga Gilireng, dan Pajaga Mutaro memperingati keberanian dan semangat kelas militer[135].
Balet istana Bugis, yang secara historis didukung oleh kerajaan, menampilkan gerakan cepat dan lambat serta kontras antara fase pasif dan aktif. Ini termasuk tarian seperti Pajaga Boneballa Anakdara, Pajaga Lelengbata Tulolo, dan Pajaga Lili[136]. Bentuk tari ini menekankan estetika dan kualitas pribadi, mencerminkan pentingnya tata krama dan bahasa sesuai dengan standar dan etiket kerajaan.
Instrumen musik Bugis sangat beragam dan mencakup Soling (seruling), Kacapi dan Talindo (alat musik gesek), Jalappa/Kancing-Kancing (simbal), Aloso/Laluso (alat musik perkusi), Gesok–Gesok/Keso–Keso (Rebab), Gendrang (sejenis drum), dan Puik Puik/Pui-Pui (trumpet)[137]. Gendrang, khususnya, memainkan peranan penting dalam musik Bugis, membentuk dasar untuk banyak pertunjukan. Namun, keunggulan tradisionalnya telah berkurang dengan adanya pengaruh tradisi Ganrang Makassarese.
Seni pertunjukan Bugis telah diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi, berfungsi sebagai catatan hidup dari identitas etnik mereka. Tradisi kaya ini menangkap evolusi budaya Bugis dari kepercayaan kuno dan adat istiadat istana hingga pengaruh Islam dan praktik-praktik modern saat ini.
Lihat pula
Referensi
- ^ Akhsan Na'im, Hendry Syaputra (2011). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. ISBN 9789790644175.
- ^ a b Mukrimin (2019). "Moving the Kitchen out": Contemporary Bugis Migration. Southeast Asian Studies.
- ^ Tham Seong Chee (1993). Malay Family Structure: Change and Continuity with Reference to Singapore. Department of Malay Studies National University of Singapore. hlm. 1. ISBN 9971-62-336-6.
- ^ Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, Agus Pramono. Demografi Etnis di Indonesia. Singapura: ISEAS: Institute of Southeast Asian Studies, 2015. hlm. 273.
- ^ Ooi, Keat Gin (2004). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, From Angkor Wat to East Timor. ABC-CLIO. hlm. 286. ISBN 1576077705.
- ^ Said, Nurman (Summer 2004). "Religion and Cultural Identity Among the Bugis (A Preliminary Remark)" (PDF). Inter-Religio (45): 12–20.
- ^ a b Andaya, Leonard Y. (1975). The kingdom of Johor, 1641-1728. Oxford University Press. ISBN 0-19-580262-4. OCLC 906499076.
- ^ "Mengenang B.J Habibie: Fokus agar Usil Tetap Genius (1)". Jawa Pos. Jawa Pos. 2019-11-09. Diakses tanggal 2022-03-29.
- ^ "BJ Habibie, Si Jenius Indonesia dari Sulawesi". Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Jawa Pos. 2019-05-03. Diakses tanggal 2024-05-16.
- ^ Cantika Adinda Putri (2020-03-01). "Ini Muhyiddin Yasin, PM Baru Malaysia Berdarah Bugis & Jawa". CNBC Indonesia. CNBC Indonesia. Diakses tanggal 2022-09-13.
- ^ Cantika Adinda Putri (2017-11-27). "Sultan Johor: Saya pun Bugis, terasa juga". Malaysiakini. Diakses tanggal 2024-01-31.
- ^ Shiv Shanker Tiwary & Rajeev Kumar (2009). Encyclopaedia of Southeast Asia and Its Tribes, Volume 1. Anmol Publications. hlm. 47. ISBN 978-81-261-3837-1.
- ^ a b Pelras 1996, hlm. 39.
- ^ Bower, Bruce (2021-08-25). "Ancient DNA shows the peopling of Southeast Asian islands was surprisingly complex". Science News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-11-19.
- ^ Li, H; Wen, B; Chen, SJ; et al. (2008). "Paternal genetic affinity between Western Austronesians and Daic populations". BMC Evol. Biol. 8 (1): 146. Bibcode:2008BMCEE...8..146L. doi:10.1186/1471-2148-8-146 . PMC 2408594 . PMID 18482451.
- ^ Pelras 1996, hlm. 335-336.
- ^ Caldwell, Ian (1995). "Power, state and society among the pre-Islamic Bugis". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 151 (3): 394–421. doi:10.1163/22134379-90003038 .
- ^ Bulbeck, David; Caldwell 2000, Ian. Land of iron; The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley. Hull: Centre for South-East Asian Studies, University of Hull.
- ^ Pelras 1996, hlm. 11.
- ^ a b Pelras 1996, hlm. 44.
- ^ a b Druce, et al. 2005, hlm. 1.
- ^ Druce, et al. 2005, hlm. 2.
- ^ Pelras 1996, hlm. 5.
- ^ Pelras 1996, hlm. 54.
- ^ Pelras 1996, hlm. 95.
- ^ Pelras 1996, hlm. 50.
- ^ Pelras 1996, hlm. 94.
- ^ a b c d Druce 2009.
- ^ a b c d Pelras 1996, hlm. 111.
- ^ Druce, et al. 2005, hlm. 3.
- ^ a b Pelras 1996, hlm. 112.
- ^ Timothy P. Barnard, Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, 2004
- ^ Druce 2009, hlm. 23.
- ^ a b Pelras 1996, hlm. 113.
- ^ Pelras 1996, hlm. 114.
- ^ Pelras 1996, hlm. 122-123.
- ^ Pelras 1996, hlm. 123.
- ^ Julianti L. Parani 2015.
- ^ Muhlis Hadrawi 2020.
- ^ a b c Pelras 1996.
- ^ a b c d "Jejak Kristen di Tanah Bugis". Tribun-timur.com. 2013-12-28. Diakses tanggal 2021-11-22.
- ^ Pelras 1996, hlm. 128.
- ^ Pelras 1996, hlm. 130.
- ^ Pelras 1996, hlm. 132.
- ^ a b c Pelras 1996, hlm. 133.
- ^ Pelras 1996, hlm. 134.
- ^ Pelras 1996, hlm. 135.
- ^ a b Mukhaer, Afkar Aristoteles (2021-11-18). "Proses Kristenisasi dan Islamisasi Sulawesi Selatan yang Beriringan". National Geographic Indonesia. Diakses tanggal 2021-11-22.
- ^ a b Pelras 1996, hlm. 139.
- ^ Mohd Sani, Mohd Azizuddin (2016). "Transformasi Budaya Islam di Kerajaan Bone pada abad ke-17". Jurnal Adabiyah. Makassar, Indonesia: Faculty of Adab and Humanities of Alauddin State Islamic University: 26–43. Diakses tanggal 31 July 2021.
- ^ Patmawati (2016). "Peranan Nilai Philosofi Bugis Terhadap Proses Pengislaman Kerajaan Bugis Makassar di Sulawesi Selatan". Jurnal Khatulistiwa – Journal of Islamic Studies. Pontianak, Indonesia: Pontianak State Institute of Islamic Studies. 6 (2): 183–200. Diakses tanggal 31 July 2021.
- ^ Noorduyn, J. (1987). "Makasar and the Islamization of Bima". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 143 (2/3): 312–342. doi:10.1163/22134379-90003330. JSTOR 27863842.
The Makasarese king understood the meaning of this and began what is known as the Islamic war, in Makasarese bunduq kasallannganga, by which he succeeded in the next four years in forcing the major Buginese kingdoms to accept Islam one by one, Bone as the last in 1611.
- ^ a b Pelras 1996, hlm. 137.
- ^ Bigalke 2005, hlm. 4.
- ^ Pelras 1996, hlm. 138.
- ^ Pelras 1996, hlm. 138-139.
- ^ Pelras 1996, hlm. 142-143.
- ^ a b Hall 1981, hlm. 346.
- ^ Pelras 1996, hlm. 143.
- ^ Pelras 1996, hlm. 144-145.
- ^ Pelras 1996, hlm. 337.
- ^ Ricklefs 2005, hlm. 159.
- ^ Julianti L. Parani 2015, hlm. 4-5.
- ^ Husain, B., et al. 2020, hlm. 83.
- ^ Ho 2013.
- ^ a b Friberg 1984, hlm. 1.
- ^ Murni Mahmud 2010, hlm. 86.
- ^ Umrahwati 2018, hlm. 4.
- ^ Nur Azizah 2017, hlm. 43.
- ^ Pelras 1996, hlm. 12.
- ^ Frawley 2003, hlm. 137.
- ^ Druce 2009, hlm. 140.
- ^ Tryon 1995, hlm. 549.
- ^ Murni Mahmud 2010, hlm. 87.
- ^ Murni Mahmud 2010, hlm. 86-87.
- ^ Nurnaningsih 2015, hlm. 340.
- ^ Abdul Azis, et al. 2020, hlm. 83.
- ^ Hasbi, et al. 2021.
- ^ Murni Mahmud 2010, hlm. 1.
- ^ a b Atlas of Endangered Languages.
- ^ a b Valls 2014, hlm. 06.
- ^ Matlob (2007). Pandai Jawi. Cerdik Publications. hlm. 237–238. ISBN 978-983-70-1054-3.
- ^ Pelras 2016, hlm. 27.
- ^ Macknight 2016, hlm. 60.
- ^ Pelras 2016, hlm. 23.
- ^ Pelras 2016, hlm. 20.
- ^ Pelras 2016, hlm. 24.
- ^ Fitriana, Fitriana; Mulyati, Yeti (2024-02-21). "Analisis Nilai Kebudayaan Lokal Bugis dalam Cerita Rakyat La Galigo". Jurnal Onoma: Pendidikan, Bahasa, dan Sastra (dalam bahasa Inggris). 10 (1): 1040–1051. doi:10.30605/onoma.v10i1.3430. ISSN 2715-4564.
- ^ Druce 2016, hlm. 3-4.
- ^ a b Sejarah Baju Bodo 2019.
- ^ Resti 2021.
- ^ Ros Mahwati Ahmad Zakaria 2019.
- ^ Aristy Claudia 2021.
- ^ Eva Yanuarti, S.Pd.
- ^ Museum Daerah Maros 2020.
- ^ Surya Karmila Sari 2015.
- ^ Nabila Qibtiya 2019, hlm. 2.
- ^ Umrahwati 2018, hlm. 6.
- ^ a b c Uli Wahyuliana 2017, hlm. 2.
- ^ Umrahwati 2018, hlm. 9.
- ^ Nabila Qibtiya 2019, hlm. 7.
- ^ Umrahwati 2018, hlm. 5.
- ^ a b Uli Wahyuliana 2017, hlm. 1.
- ^ Nabila Qibtiya 2019, hlm. 9.
- ^ Nabila Qibtiya 2019, hlm. 5.
- ^ a b c d Muslimin 2018, hlm. 2.
- ^ Representasi Badik sebagai simbol kearifan lokal Bugis-Makassar 2020.
- ^ Pelras 1996, hlm. 80.
- ^ a b Senjata Tradisional Sulawesi Selatan, Ini 8 Alat Khas Suku Bugis 2021.
- ^ Pelras 1996, hlm. 46.
- ^ Pelras 1996, hlm. 122.
- ^ a b c d Syarif , et al. 2017.
- ^ a b c Mustamin Rahim, et al. 2017.
- ^ a b c d e Lamima 2020.
- ^ Munsi Lampe 2014, hlm. 6.
- ^ Pelras 1996, hlm. 263.
- ^ Pelras 1996, hlm. 264.
- ^ Gibson-Hill, C.A. (February 1950). "The Indonesian Trading Boats reaching Singapore". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 23: 112–113 – via JSTOR.}
- ^ Liebner, Horst H. (November 2016). "Perahu Nusantara - sebuah presentase bagi Menko Maritim". Academia. Diakses tanggal 13 August 2019.
- ^ a b Mellefont 2018.
- ^ Tradisi rantau masyarakat Bugis Makassar 2010.
- ^ Lineton 1975, hlm. 173-199.
- ^ a b c d Rahmatia, et al. 2020.
- ^ Pelras 1996, hlm. 23.
- ^ a b Nani Somba, et al. 2019.
- ^ Pelras 1996, hlm. 118.
- ^ 2022, BPS: Produksi Padi Sulsel Naik Jadi 5.431.021 Ton, Imran Jausi Sebut Dipicu Benih Mandiri 2022.
- ^ a b Hidayat Alsair 2019.
- ^ a b "Massiara, Tradisi Damai Orang Bugis", Tuturkata.com, 2023-04-23, diakses tanggal 2024-03-21
- ^ Ona Mariani 2019.
- ^ Mulyadi Ma'ruf 2018.
- ^ Halilintar Lathief, et al. 1999, hlm. 50.
- ^ Halilintar Lathief, et al. 1999, hlm. 123.
- ^ Halilintar Lathief, et al. 1999, hlm. 53-67.
- ^ Halilintar Lathief, et al. 1999, hlm. 105-115.
- ^ Halilintar Lathief, et al. 1999, hlm. 80-87.
- ^ Guru Dafa 2022.
Kepustakaan
- Pelras, Christian (1996), The Bugis, Backwell Publishing, ISBN 978-0-631-17231-4, diarsipkan dari versi asli tanggal 18 January 2013, diakses tanggal 16 September 2023
- Druce, Stephen; et al. (2005), A transitional Islamic Bugis cremation in Bulubangi, South Sulawesi: its historical and archaeological context, RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs
- Druce, Stephen (2009), The Lands West of the Lakes, Brill, ISBN 9789004253827
- Ricklefs, Merle Calvin (2005), Sejarah Indonesia Modern (1200-2004) (PDF) (dalam bahasa Indonesian), Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, ISBN 979-16-0012-0
- Julianti L. Parani (2015), Perantauan orang Bugis abad ke-18 (dalam bahasa Indonesian), Jakarta: Arsip Nasional RI
- Hall, D.G.E (1981), History of South East Asia, Jakarta: Red Globe Press, ISBN 978-0333241646
- Nurnaningsih (2015), Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter: Kajian Naskah Paaseng Toriolo Tellumpoccoe (dalam bahasa Indonesian), Indonesia: Jurnal Lektur Keagamaan
- Abdul Azis; et al. (2020), Inculcating Siri' Na Pacce Value in Primary School Learning (PDF), Mimbar Sekolah Dasar
- Murni Mahmud (2010), Language Change in Bugis Society: to be polite or to be maju (PDF), Linguistik Indonesia
- Friberg, Timothy (1984), A Dialect Geography of Bugis (PDF)
- Frawley, William J. (2003), International Encyclopedia of Linguistics, Oxford University Press, ISBN 9780195051964
- Tryon, Darrell T. (1995), Comparative Austronesian Dictionary: An Introduction to Austronesian Studies, Linguistic Society of America
- Valls, David (2014), A Grammar sketch of the Bugis Language.
- Atlas of Endangered Languages, 28 November 2018
- Sejarah Baju Bodo (dalam bahasa Indonesian), 2019
- Ros Mahwati Ahmad Zakaria (2019), Baju Bodo Akulturasi Budaya, Warisan Bugis (PDF) (dalam bahasa Malay), Utusan
- Eva Yanuarti (3 February 2021), Kain Sarung Bugis: Sejarah – Motif dan Cara Perawatannya (dalam bahasa Indonesian), haloedukasi.com
- Aristy Claudia (2021), Melirik Indahnya Kain Tenun Sutra Bugis (dalam bahasa Indonesian), farahid.com
- Museum Daerah Maros, 2020[butuh sumber yang lebih baik]
- Surya Karmila Sari (2015), Pakaian Adat Suku Bugis (dalam bahasa Indonesian)[butuh sumber yang lebih baik]
- Sejarah Sarung Orang Melayu Mingankabau Makasar Bugis (dalam bahasa Indonesian), 2017[butuh sumber yang lebih baik]
- Muhlis Hadrawi (2020), Intergrasi Melayu di Sulawesi Selatan: Kajian Berdasarkan Lontara (dalam bahasa Indonesian), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, ISBN 9786233130530
- Umrahwati (2018), Kebiasaan Makanan Khas Suku Bone di Sulawesi Selatan (Makanan Khas Burasa') (dalam bahasa Indonesian)
- Husain, B.; et al. (2020), Sailing to the Island of the Gods': Bugis Migration in Bali Island (PDF), Utopía y Praxis Latinoamericana
- Ho, Stephanie (2013), Bugis community, National Library Singapore
- Nabila Qibtiya (2019), Suguhan Kuliner Tradisioinal Bugis (PDF) (dalam bahasa Indonesian)
- Uli Wahyuliana (2017), Berburu Kuliner Lebaran di Tanah Bugis (dalam bahasa Indonesian), Kompasiana
- Syarif; et al. (2017), Sulapa Eppa As The Basic or Fundamental Philosophy of Traditional Architecture Buginese, SHS Web of Conferences
- Mustamin Rahim; et al. (2021), "Characteristics of Buginese Traditional Houses and their Response to Sustainability and Pandemics" (PDF), E3S Web of Conferences, 328: 10015, doi:10.1051/e3sconf/202132810015
- Pelras, Christian (2016), Orality and writing among the Bugis (PDF), Penerbit USM
- Macknight, Campbell (2016), The Media of Bugis Literacy: A Coda to Pelras, International Journal of Asia-Pacific Studies
- Druce, Stephen C. (2016), Orality, writing and history: The literature of the Bugis and Makasar of South Sulawesi
- Halilintar Lathief; et al. (1999), Tari Daerah Bugis (PDF) (dalam bahasa Indonesian), Pustaka Wisata Budaya
- Hidayat Alsair (2019), Sarat Nilai Lokal, Ini Tiga Tradisi Iduladha di Sulawesi Selatan (dalam bahasa Indonesian), IDN Times SulSel
- Ona Mariani (2021), Tradisi Ma'burasa dan Ma'tumbu Jelang Hari Raya (dalam bahasa Indonesian), Read Times
- Mulyadi Ma'ruf (2018), Filosofi Beli Alat Dapur di 10 Muharram Tradisi Bugis Makassar (dalam bahasa Indonesian), Pijar News
- Representasi Badik sebagai simbol kearifan lokal Bugis-Makassar (dalam bahasa Indonesian), Kumparan Travel, 2020
- Muslimin (2018), Sejarah Keris Bugis dan Perjalanan Panjangnya ke Pangkuan Ibu Pertiwi (dalam bahasa Indonesian), Uin Alauddin Makassar
- Senjata Tradisional Sulawesi Selatan, Ini 8 Alat Khas Suku Bugis (dalam bahasa Indonesian), Kumparan, 2021
- Mengenal Senjata Tradisional Sulawesi Selatan, Ada Kawali hingga Tappi (dalam bahasa Indonesian), Makassar Tribunnews, 2021
- Guru Dafa (2022), Alat Musik Tradisional Bugis (dalam bahasa Indonesian), RumusSoal.com
- Lamima (2020), Phinisi: A symbol of Indonesia's seafaring traditions, Lamima.com
- Munsi Lampe (2014), Tradisi pelayaran pelaut Bugis-Makassar dan reproduksi wawasan geo-sosio-budaya maritim Nusantara dan global (dalam bahasa Indonesian), Munsi Lampe
- Mellefont, Jeffrey (2018), Pinisi and the art of boatbuilding in Sulawesi recognised by UNESCO, Australia National Maritime Museum
- Tradisi rantau masyarakat Bugis Makassar (dalam bahasa Indonesian), Kompasiana, 2010
- Rahmatia; et al. (2020), "Eco-phenomenology in the local concept of Buginese agriculture based on Kutika manuscript", E3S Web of Conferences, Universitas Indonesia, 211: 01008, doi:10.1051/e3sconf/202021101008
- Nani Somba; et al. (2019), Mistifikasi ritual sistem pertanian tradisional masyarakat Ajatappareng, Sulawesi Selatan (dalam bahasa Indonesian), Jurnal Walennae
- 2022, BPS: Produksi Padi Sulsel Naik Jadi 5.431.021 Ton, Imran Jausi Sebut Dipicu Benih Mandiri (dalam bahasa Indonesian), sulselprov.go.id, 2021
- Lineton, Jacqueline (1975), "Pasompe' Ugi' : Bugis Migrants and Wanderers", Archipel, Archipel10, 10: 173–201, doi:10.3406/arch.1975.1248
- Hasbi; et al. (2021), Sappo: Sulapa Eppa Walasuji as the Ideas of Creation Three Dimensional Painting, Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni
- Nur Azizah (2017), Realitas Pertukaran Sosial Masyarakat Duri pada Hari Pasar di Baraka Kabupaten Enrekang, Universitas Muhammadiyah Makassar
- Bigalke, Terance W. (2005), Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People, Singapore: Singapore University Press, ISBN 9971-69-313-5