Berikut ini merupakan riwayat perkembangan atas pembentukan daerah di Indonesia, terutama daerah provinsi sebagai wilayah administratif tingkat satu dan daerah kabupaten/kota sebagai wilayah administratif tingkat dua.

Pembagian daerah zaman prarepublik

Masa kolonial Belanda

Pada masa kolonial Belanda, wilayah Hindia Belanda terbagi menjadi tiga provinsi (provincie) dan lima gubernemen (gouvernement), termasuk dua gubernemen yang berada pada daerah Vorstenlanden (daerah di bawah kekuasaan keraton Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman), semuanya dipimpin oleh gubernur (goeverneur). Semua provinsi dan kegubernuran tersebut dibagi lagi menjadi keresidenan (residentie) yang dipimpin oleh residen (resident). Semua keresidenan di Jawa dibagi menjadi kabupaten (regentschap) yang dipimpin oleh bupati (regent), sementara semua keresidenan di Daerah Luar dibagi menjadi afdeling (afdeeling) yang dipimpin oleh asisten residen (assistent-resident). Selain itu, terdapat pula daerah administratif geminte (stadgemeente) yang setingkat dengan kabupaten/afdeling, yang dipimpin oleh burgemeester ("wali kota") dan memiliki wilayah yang tumpang tindih dengan wilayah kabupaten/afdeling induk yang lebih besar.[1]

Masa pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang, wilayah Hindia Belanda dikendalikan oleh tiga divisi militer Jepang yang berbeda. Wilayah Jawa yang dikuasai oleh divisi Angkatan Darat XVI dibagi menjadi syuu (, shū) sebagai bekas keresidenan, yang dibagi lagi menjadi ken () dan si (, shi), masing-masing merupakan bekas kabupaten dan geminte. Syuu, ken, dan si masing-masing dipimpin oleh syuutyoo (州長, shūchō) sebagai ganti residen, kentyoo (県長, kenchō) sebagai ganti bupati, dan sityoo (市長, shichō) sebagai ganti burgemeester. AD XVI secara formal menghapus secara formal daerah administratif provinsi dan gubernemen, tetapi sebagai gantinya membentuk lima gunseibu (軍政部) yang masing-masing menjadi badan koordinator di wilayah bekas provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta daerah bekas Vorstenlanden Surakarta dan Yogyakarta yang disebut kooti (公地, kōchi).[2]

Wilayah Sumatra yang dikelola oleh Angkatan Darat XXV dibagi menjadi syuu (, shū) sebagai bekas keresidenan, yang dibagi lagi menjadi bunsyuu (分周, bunshū) dan si (, shi), masing-masing merupakan bekas afdeling dan geminte. Syuu, bunsyuu, dan si masing-masing dipimpin oleh syuutyoo (州長, shūchō) sebagai ganti residen, bunsyuutyoo (分周長, bunshūchō) sebagai ganti asisten residen, dan sityoo (市長, shichō) sebagai ganti burgemeester.[3]

Wilayah Hindia Belanda yang dikelola oleh Angkatan Laut Jepang melalui minseihu (民政府, minseifu) membawahi minseibu (民政部) pada tiap wilayah Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, serta Nugini Barat.[4]

Riwayat pembentukan daerah

Era revolusi

Tanggal Perubahan Peta perubahan
19 Agustus 1945 Dalam sidang kedua tanggal 19 Agustus, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan pembagian wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi dan menetapkan secara tidak langsung bahwa daerah tingkat satu Indonesia berbentuk provinsi.[5]
  Sumatera, dipimpin oleh Teuku Muhammad Hasan.
  Jawa Tengah, dipimpin oleh Soeroso.
  Jawa Timur, dipimpin oleh Ario Soerjo.
  Sulawesi, dipimpin oleh Sam Ratulangi.
  Maluku, dipimpin oleh oleh Johannes Latuharhary.
  Sunda Kecil, dipimpin oleh I Gusti Ketut Pudja.

Kedelapan provinsi tersebut dibagi lagi menjadi sejumlah keresidenan, dan seterusnya mengikuti keadaan saat itu, termasuk geminte (kota). Status swapraja untuk daerah istimewa menunggu sikap dari keempat monarki.[6]

 
6 September 1945 Pada tanggal 1 September 1945, Pakubuwana XII dari Surakarta dan Mangkunagara VIII dari Mangkunagaran mengeluarkan maklumat terpisah yang menyatakan integrasi wilayah kedua monarki tersebut ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Empat hari kemudian, Hamengkubuwana IX dari Yogyakarta dan Paku Alam VIII dari Pakualaman juga mengeluarkan maklumat integrasi serupa, yang kemudian dikenal sebagai Amanat 5 September 1945.

Setelah adanya sikap resmi untuk mendukung Republik, Presiden Soekarno menyerahkan Piagam Penetapan (yang sebenarnya telah dibuat sejak 19 Agustus) kepada keempat monarki tersebut. Penetapan ini membentuk dan mengakui       Daerah Istimewa Yogyakarta dan       Daerah Istimewa Surakarta yang terpisah dari       Jawa Tengah secara resmi.

 
15 Juli 1946 Akibat gerakan antiswapaja yang memicu pergolakan besar dan keadaan bahaya, Pemerintah membubarkan Daerah Istimewa Surakarta melalui UU No. 16/SD/1946. Sebagai gantinya, Pemerintah membentuk Keresidenan Surakarta.
 
15 April 1948 Provinsi Sumatera dipecah menjadi 3 wilayah provinsi.[7]
  Sumatera Utara, meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli.
  Sumatera Tengah, meliputi Keresidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.
  Sumatera Selatan, meliputi Keresidenan Bengkulu, Palembang, Lampung, dan Bangka-Belitung.
 
10 Juli 1948
  1. ^ "Chapter 4: The Netherlands Indies, 1800-1942 | Digital Atlas of Indonesian History - by Robert Cribb". Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 January 2012. Diakses tanggal 19 January 2012.  , sourced from Cribb, R. B (2010), Digital atlas of indonesian history, Nias, ISBN 978-87-91114-66-3  from the earlier volume Cribb, R. B; Nordic Institute of Asian Studies (2000), Historical atlas of Indonesia, Curzon ; Singapore : New Asian Library, ISBN 978-0-7007-0985-4 
  2. ^ Nurcholis, Hanif; Harijanti, Susi Dwi (2021). Negara Bagian dan Pemerintahan Lokal. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. ISBN 9786233121231. 
  3. ^ "Sejarah Kabupaten Asahan – Portal Resmi Pemerintah Kabupaten Asahan" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-17. 
  4. ^ "Sumber Sejarah Masa Pendudukan Jepang di Indonesia". online.flipbuilder.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-17. 
  5. ^ Adryamarthanino, Verelladevanka (2022-02-03). "Hasil Sidang PPKI Pertama, Kedua, dan Ketiga". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-04-11. 
  6. ^ Sabon, Max Boli (2009). Hukum Otonomi Daerah (Bahan Pendidikan Untuk Perguruan Tinggi). Jakarta: Universitas Atmajaya. hlm. 90. 
  7. ^ "Pembagian Sumatra dalam Tiga Propinsi". Undang-Undang No. 10 Tahun 1948.