Bahasa Sunda Klasik
Basa Sunda Klasik
ᮘᮞ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮊᮣᮞᮤᮊ᮪
Bahasa Sunda Peralihan
Basa Sunda Mangsa II
Edisi faksimil naskah Carita Waruga Guru, sebuah naskah Sunda pada periode transisi yang bernuansa Islam, ditulis dengan aksara Sunda Kuno
Wilayahbagian barat pulau Jawa
EraBerkembang menjadi bahasa Sunda Modern Awal menjelang abad ke-19.
Bentuk awal
Sunda Kuno  •  Pegon  •  Cacarakan  •  Latin
Kode bahasa
ISO 639-3
Linguasfer31-MFN-aa
Status pemertahanan
Terancam

CRSingkatan dari Critically endangered (Terancam Kritis)
SESingkatan dari Severely endangered (Terancam berat)
DESingkatan dari Devinitely endangered (Terancam)
VUSingkatan dari Vulnerable (Rentan)
Aman

NESingkatan dari Not Endangered (Tidak terancam)
ICHEL Red Book: Extinct

Bahasa Sunda Klasik diklasifikasikan sebagai bahasa yang telah punah (EX) pada Atlas Bahasa-Bahasa di Dunia yang Terancam Kepunahan

Referensi: [1][2]
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  +  Info templat



Bahasa Sunda Klasik[3][4] atau Bahasa Sunda Peralihan[3] (juga disebut sebagai Basa Sunda Mangsa II atau dapat dialihbahasakan menjadi Bahasa Sunda Masa II) adalah sebuah bentuk transisi bahasa Sunda antara bahasa Sunda Kuno dengan bahasa Sunda Modern. Bahasa Sunda Klasik mulai dipertuturkan dan digunakan dalam penulisan naskah-naskah pada abad ke-17 hingga abad ke-18 (sekitar 1600-1800 Masehi).[3]

Bahasa Sunda Zaman Klasik (Peralihan) merupakan tahapan lanjutan dari bahasa Sunda Kuno.[5] Hal ini dapat dilihat di antaranya dalam naskah Carita Waruga Guru. Kosakata yang digunakan dalam naskah tersebut bukanlah kosakata yang arkais (kuno) sebagaimana terdapat dalam bahasa Sunda Kuno. Bahasa Sunda Klasik sangat dipengaruhi oleh bahasa Arab sebagai akibat dari dominasi agama Islam pada masyarakat Sunda masa itu.[6]

Sejarah

Pra-Islam & Arab

Pengaruh Islam dan Arab setidaknya tidak pernah berkembang terlalu jauh sebelum kerajaan Sunda (Pajajaran), sebuah kerajaan bercorak Sunda-Hindu runtuh pada tahun 1579. Masa kerajaan ini merupakan masa bahasa Sunda Kuno. Pada waktu itu, bahasa Sunda Kuno merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat maupun orang-orang di lingkungan kerajaan untuk berkomunikasi satu sama lain dan digunakan dalam berbagai bidang, mulai dari bidang kenegaraan, keagamaan, kesenian, serta komunikasi bagi kepentingan kehidupan sehari-hari.[7]

Agama Islam terlebih dahulu berkembang di wilayah tetangga Sunda, seperti di Sumatra dan di sebelah timur Sunda. Walaupun begitu, pada awal abad ke-16, negeri-negeri Islam telah dikenal oleh para penganut agama Hindu di Kerajaan Sunda. Setidaknya mereka memiliki wawasan geografis dan hubungan ekonomi dengan negara-negara luar. Kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang selesai dikarang pada tahun 1518 mengonfirmasi hal tersebut melalui isinya yang menunjukkan pengetahuan luas tentang wilayah geografis mancanegara (bahasa Sunda Kuno: paranusa) yang mencakup beberapa kawasan-kawasan di benua Asia, disebutkan pula adanya profesi duta bahasa yang disebut jurubasa darmamurcaya yang dituntut untuk menguasai berbagai bahasa asing, ini sesuai dengan uraian berikut:[8]


Dari uraian di atas, dapat dilihat pada nama-nama negeri dan kota yang dicetak tebal merupakan negeri dan kota Islam dan menjadi pusat penyebaran agama Islam.[10] Manuskrip lain dari masa Sunda Kuno yang menyebutkan wilayah Islam yaitu Pendakian Sri Ajñana, yang menyebutkan Buana Mekah, salah satu pusat dan kota suci bagi umat Islam sebagai tempat yang disinggahi oleh tokoh utama dalam teks tersebut tatkala mencari kekasihnya di Kahyangan, selengkapnya dapat dibaca pada kutipan berikut:[11]


Kutipan di atas secara jelas menunjukkan bahwa kedudukan Mekah dan Siak (sebutan untuk orang-orang yang telah memeluk Islam) diposisikan bersama-sama dengan ruang pikiran masyarakat Sunda-Hindu.[12] Naskah Sunda Kuno bernuansa Hindu lain yang cukup terkenal, Sewaka Darma juga menyebutkan Buana Mekah sebagai tempat di kahyangan. Berikut adalah petikannya:


Dari pembahasan mengenai tiga naskah di atas, dapat dipahami bahwa pengetahuan mengenai Islam dan Arab telah masuk ke dalam khazanah masyarakat Sunda-Hindu, terutama dari kalangan agamawan, sehingga kedudukannya cukup mendapat tempat tersendiri, meski bukan sesuatu hal yang diutamakan.[14]

Pasca-Pajajaran

Keruntuhan kerajaan Pajajaran membuat dimulainya periode transisi Hindu ke Islam yang membuat kosakata dalam bahasa Sunda pada masa itu mengalami perubhana, dari yang tadinya dibumbui dengan kosakata bahasa Sanskerta, menjadi digeser dan diisi oleh kosakata bahasa Arab. Penggunaan bahasa Sunda kuno yang dikatakan masih bersih hanya dijumpai di lingkungan pedesaan yang masih setia menggunakan bahasa tersebut. Sementara itu, di lingkungan pesantren, bahasa Arab mulai tumbuh subur dan berkembang.[15]

Ciri-ciri

Struktur kebahasaan bahasa Sunda Klasik atau peralihan sangat dipengaruhi oleh bahasa asing, seperti contohnya bahasa Arab, bahasa Melayu, dan bahasa Jawa.[16] Hal ini dapat dilihat dari penggunaan abjad Pegon (Arab-Sunda)[17] dan aksara Cacarakan dalam naskah Sunda abad 17 dan 18 serta mulai masuknya unggah-ungguh basa atau undak usuk basa (sistem tingkatan berbahasa dalam bahasa Sunda) ke dalam bahasa Sunda.[3]

Naskah yang ditulis dalam aksara Cacarakan yang berbentuk puisi yang berjenis guguritan dan wawacan, yakni puisi yang digubah dalam bentuk dangding atau lagu, memiliki aturan gurulagu, guruwilangan, dan gurugatra dalam setiap pada 'bait' dan padalisan 'baris'. Sementara itu, naskah-naskah dalam abjad Pegon sangat dipengaruhi oleh bahasa Arab dan bahasa Melayu serta ditulis menggunakan jenis syair atau puisi pupujian.[3]

Contoh penggunaan bahasa Sunda klasik dapat dilihat pada naskah-naskah seperti Carita Waruga Guru,[18] Carita Waruga Jagat[19] dan Wirid Nur Muhammad.[20]

Catatan kaki

  1. ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011. 
  2. ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022. 
  3. ^ a b c d e Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 277.
  4. ^ Sumarlina (2009), hlm. 70.
  5. ^ Priyanto (2019), hlm. 40.
  6. ^ Priyanto (2019), hlm. 42.
  7. ^ Priyanto (2019), hlm. 41.
  8. ^ Gunawan (2016), hlm. 446.
  9. ^ Gunawan (2016), hlm. 446-447.
  10. ^ Gunawan (2016), hlm. 447.
  11. ^ a b Gunawan (2016), hlm. 447-448.
  12. ^ Gunawan (2016), hlm. 448.
  13. ^ Gunawan (2016), hlm. 448-449.
  14. ^ Gunawan (2016), hlm. 449.
  15. ^ Priyanto (2019), hlm. 41-42.
  16. ^ Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 275.
  17. ^ Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 276.
  18. ^ Pleyte, C.M. (1923). "Tjarita Waroega Goeroe" (PDF). Poesaka Soenda. 
  19. ^ "Lontar, Kropak 20". British Library. 
  20. ^ "Wirid Nur Muhammad – Kairaga.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-15. Diakses tanggal 2020-06-15. 

Daftar pustaka

Pustaka lanjutan

Pranala luar

Kategori:Bahasa Sunda Kategori:Bahasa di Indonesia Kategori:Bahasa mati