Sahabat Nabi

sahabat, murid, atau anggota keluarga Nabi Muhammad
Revisi sejak 12 Agustus 2021 03.02 oleh Ustad abu gosok (bicara | kontrib) (Membalikkan revisi 18960780 oleh Iylaq (bicara))

Sahabat Nabi (bahasa Arab: أصحاب النبي, translit. aṣḥāb al-nabī) adalah orang-orang yang mengenal dan melihat langsung Nabi Muhammad, membantu perjuangannya dan meninggal dalam keadaan Muslim. Secara terminologi, kata ṣahabat (صحابة) merupakan bentuk jama'/plural dari kata ṣahabi (صحابي) yang bermakna membersamai, mendampingi, dan berinteraksi langsung. Para Sahabat yang utama mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Nabi Muhammad, sebab mereka merupakan penolongnya dan juga merupakan murid dan penerusnya. Bagi dunia Islam saat ini, sahabat Nabi berperan amat penting, yaitu sebagai jembatan penyampaian hadis dan sunnah Nabi Muhammad yang mereka riwayatkan.

Definisi

Kebanyakan ulama secara umum mendefinisikan sahabat Nabi sebagai orang-orang yang mengenal Nabi Muhammad, mempercayai ajarannya, dan meninggal dalam keadaan Islam. Dalam bukunya “al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah”, Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1449 M) menyampaikan bahwa:

"Sahabat (صحابي, ash-shahabi) adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam."[1][2][3]

Terdapat definisi yang lebih ketat yang menganggap bahwa hanya mereka yang berhubungan erat dengan Nabi Muhammad saja yang layak disebut sebagai sahabat Nabi. Dalam kitab “Muqadimmah” karya Ibnu ash-Shalah (w. 643 H/1245 M),

Dikatakan kepada Anas, “Engkau adalah sahabat Rasulullah dan yang paling terakhir yang masih hidup". Anas menjawab, “Kaum Arab (badui) masih tersisa, adapun dari sahabat beliau, maka saya adalah orang yang paling akhir yang masih hidup.”[4][5]

Demikian pula ulama tabi'in Said bin al-Musayyib (w. 94 H/715 M) berpendapat bahwa: “Sahabat Nabi adalah mereka yang pernah hidup bersama Nabi setidaknya selama setahun, dan turut serta dalam beberapa peperangan bersamanya.”[3][4]

Sementara Imam an-Nawawi (w. 676 H /1277 M) juga menyatakan bahwa: “Beberapa ahli hadis berpendapat kehormatan ini (sebagai Sahabat Nabi) terbatas bagi mereka yang hidup bersamanya (Nabi Muhammad) dalam waktu yang lama, telah menyumbang (harta untuk perjuangannya), dan mereka yang berhijrah (ke Madinah) dan aktif menolongnya; dan bukan mereka yang hanya menjumpainya sewaktu-waktu, misalnya para utusan Arab badui; serta bukan mereka yang bersama dengannya setelah Pembebasan Mekkah, ketika Islam telah menjadi kuat.”[4]

Jumlah Sahabat Nabi

Tidak mungkin bisa dipastikan mengenai jumlah sahabat Nabi secara tepat karena berbagai faktor seperti perbedaan definisi dan luasnya daerah persebaran mereka selama hidup, jika kita hanya merujuk pada jumlah sahabat Nabi yang tercatat dalam berbagai buku biografi karangan Ulama yang membahas mereka seperti kitab Thabaqat Al-Kabir karya Ibnu Sa'ad, kitab Al-Isti'ab karya Ibnu Abdil Barr dan Mu'jam as-Shahabah karya Ibnu Qani', maka kita hanya akan mendapati sekitar 2700-an sahabat laki laki dan 380-an sahabat perempuan, sedangkan Imam Al-Qasthalani dalam kitab al-Mawahib nya menyatakan bahwa jumlah sahabat Nabi ketika peristiwa Fathu Makkan adalah berjumlah sekitar 7000 orang, lalu dalam peristiwa perang Tabuk bertambah menjadi 70.000, dan yang terakhir pada peristiwa Haji Wada' jumlah mereka mencapai sekitar 124.000 orang, wallahu a'lam.

Tingkatan dan status

Identifikasi terhadap Sahabat Nabi, termasuk tingkatan dan statusnya, merupakan hal yang penting dalam Dunia Islam karena digunakan untuk mengevaluasi keabsahan suatu hadis maupun perbuatan Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh mereka.[6]

Menurut Al-Hakim an-Naisaburi dalam karyanya Al-Mustadrak, tingkatan Sahabat terbagi dalam dua belas tingkatan,[7][8] yaitu:

  1. Para Khulafa'ur Rasyidin dan selebihnya dari Sepuluh yang Dijanjikan Surga ketika masih hidup
  2. Para sahabat yang masuk Islam di Makkah sebelum Umar dan mengikuti majelis Daarul Arqam
  3. Para sahabat yang ikut serta berhijrah ke negeri Habasyah
  4. Para sahabat Kaum Anshar yang ikut serta dalam Bai'at Aqabah Pertama
  5. Para sahabat Kaum Anshar yang ikut serta dalam Bai'at Aqabah Kedua
  6. Para sahabat Kaum Muhajirin yang berhijrah sebelum sampainya Nabi Muhammad di Madinah dari Quba
  7. Para sahabat yang ikut serta dalam Perang Badar
  8. Para sahabat yang berhijrah antara Perang Badar dan Perjanjian Hudaibiyyah
  9. Para sahabat yang ikut serta dalam Baiat Ridwan pada saat ekspedisi Hudaibiyyah
  10. Para sahabat yang masuk Islam dan berhijrah ke Madinah setelah Perjanjian Hudaibiyyah
  11. Para sahabat yang masuk Islam setelah Fathu Makkah
  12. Para sahabat anak-anak yang melihat Nabi Muhammad di waktu atau tempat apapun setelah Fathu Makkah

Terdapat sekelompok Sahabat Nabi yang dipandang lebih tinggi statusnya di antara kalangan mereka sendiri, yaitu sebagai ulama yang dimintakan fatwanya untuk berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Sahabat Nabi yang memberikan fatwa diperkirakan ada sekitar 130 orang, laki-laki dan perempuan.[9] Menurut Ibnu Qayyim, para ulama Sahabat Nabi terbagi sbb.:[9][10]

  1. Para sahabat yang banyak berfatwa, yaitu tujuh orang: Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Aisyah Ummul Mukminin, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas
  2. Para sahabat yang pertengahan dalam berfatwa, antara lain: Abu Bakar, Ummu Salamah, Anas bin Malik, Abu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah, Utsman bin Affan, Abdullah bin Amr bin al-Ash, Abdullah bin Zubair, dll.
  3. Para sahabat yang sedikit berfatwa, hanya satu-dua masalah, yaitu: Abu Darda, Abu al-Yasar, Abu Salamah al-Makhzumi, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Nu'man bin Basyir, Ubay bin Ka'ab, Abu Ayyub, Abu Thalhah, Abu Dzar, Ummu Athiyyah, Shafiyah Ummul Mukminin, Hafshah, dan Ummu Habibah.

Sahabat Nabi dalam Pandangan Islam

Sahabat dalam Pandangan Ahlu Sunnah

Banyak sekali ayat al-Qur'an dan hadist Nabi yang mencatat mengenai keutamaan para sahabat karena mereka merupakan orang-orang yang membela Nabi Muhammad baik dalam keadaan senang maupun susah, bahkan diantara mereka sudah ada yang dijaminkan surga melalui lisan Nabi sendiri sewaktu beliau masih hidup yang dikenal sebagai "Asyarah al-Mubassyarin bi-l-jannah" (sepuluh orang yang dijanjikan surga), diantara ayat al-qur'an yang menjelaskan tentang keutamaan mereka yaitu :

"Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar". (Q.S. Al-Fath : 29).

kemudian ayat lainnya yang menjelaskan ridha Allah atas mereka :

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar". (Q.S. At-Taubah : 100).

Sedangkan Nabi Muhammad sendiri mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk berhati-hati dalam berucap dan bersikap terhadap para Sahabat Beliau yang tertuang dalam hadits-nya sebagai berikut :

"الله الله في أصحابي، لا تتخذوهم غرضا بعدي، فمن أحبهم فبحبي أحبهم، ومن أبغضهم فببغضي أبغضهم، ومن آذاهم فقد أذاني، ومن أذاني فقد أذى الله، ومن آذى الله فيوشك أن يأخذه". Ingatlah Allah ! Ingatlah Allah dalam memperlakukan para sahabat-ku ! Jangan menjadikan mereka sebagai sasaran (atas berbagai tuduhan) setelah-ku, maka barangsiapa yang mencintai mereka, niscaya aku juga mencintainya, dan barangsiapa yang membenci mereka, niscaya aku juga akan membencinya, dan barangsiapa menyakiti mereka, sungguh ia telah menyakitiku juga, dan barangsiapa menyakitiku maka ia telah menyakiti Allah, dan barangsiapa menyakiti Allah, maka ditakutkan jikalau ia akan mendapat siksa.[11]

Dan masih banyak dalil dalam al-Qur'an dan as-Sunnah yang menunjukkan keutamaan mereka baik secara umum maupun secara individu dan kelompok, atas dasar inilah kalangan Ahlu Sunnah menyimpulkan beberapa kesepakatan mengenai sahabat Nabi sebagai berikut :

  1. Seluruh sahabat Nabi adalah bersifat 'udul (adil dan jujur) dimana tidak boleh kita membenarkan sebagian perkataan mereka dan mengingkari perkataan sahabat lainnya, hal ini berimplikasi besar dalam ilmu al-jarh wa at-ta'dil dalam periwayatan hadits.
  2. Para sahabat Nabi tidak pernah disebutkan dalam ayat al-Qur'an, kecuali Allah telah memuji mereka atas perbuatan dan sikap mereka, atau mengampuni atas seluruh kesalahan dan kekhilafan mereka tanpa terkecuali.
  3. Orang yang didapati mencaci dan menghina salah satu sahabat Nabi, maka mereka dianggap sebagai seorang zindiq (bahasa arab : زنديق), karena mereka telah mengingkari apa yang termaktub dalam al-Qur'an dan hadits sebagaimana yang tertulis di atas, bahkan madzhab Hanabilah (Imam Hambali) menyatakan bahwa mereka yang "hanya" mengingkari sifat shuhbah (pelabelan sahabat) terhadap salah satu sahabat yang jelas termaktub dalam al-Qur'an seperti Abu Bakar (dalam kisah hijrah dan singgah dalam gua) sebagai kafir, karena secara tidak langsung telah mengingkari keabsahan ayat dalam al-Qur'an itu sendiri.

Imam Malik bin Anas juga berpendapat sama mengenai takfir atas orang yang mengingkari atau bahkan mencaci para sahabat Nabi, karena tertulis dalam surat al-Fath di atas : "tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir", sembari beliau berkata : "Maka barangsiapa yang diresahkan hatinya oleh para Sahabat Nabi maka ia telah kafir".

Sahabat Nabi dalam Pandangan Kelompok Syi'ah

Dari segi definisi, Syi'ah melihat bahwa pelabelan Sahabat (ṣuhbah) hanya bisa dibenarkan dengan lamanya berhubungan dengan Nabi, meskipun mereka juga tidak menentukan jangka waktu tertentu. Syi'ah lebih suka menggunakan istilah aṣhab daripada shahabi karena istilah kedua tersebut dianggap tidak disebutkan dalam al-Qur'an atau as-Sunnah dan tidak ada asal-usulnya dalam bahasa Arab, tetapi istilah tersebut tetap digunakan meskipun dalam tingkatan kuantitas yang lebih rendah dalam literatur Syiah. Syiah menghargai status para sahabat, kebajikan, dan dukungan mereka untuk Nabi, kaum Syiah percaya bahwa para sahabat memang mematuhi manhaj (aturan) Al-quran dalam evaluasi mereka terhadap status sahabat, namun disisi lain mereka menyoroti ayat Al-quran yang dianggap diturunkan untuk untuk menyalahkan dan mencerca mereka di beberapa situasi dan kasus.[12] Tentu saja hal semacam ini ditolak mentah-mentah dan ditentang oleh kalangan ahli sunnah karena dianggap sembrono dalam menafsirkan ayat dan riwayat yang shahih menurut syi'ah sendiri secara sepihak. Kaum syi'ah juga menganggap bahwasanya tidak ada satu ayatpun yang menjamin kesucian para sahabat karena setiap ayat dan hadits tersebut harus dimaknai secara terbatas, maka mereka menyatakan bahwa nasib para sahabat tidak ada bedanya dengan orang-orang setelahnya, dimana jika mereka berbuat baik maka akan dibalas dengan pahala dan surga, sedang apabila berbuat kesalahan dan dosa maka mereka akan mendapat ganjaran dan siksa. Selain itu, para ahli ilmu al-Jarh wa at-Ta'dil syi'ah juga memperlakukan riwayat dari para sahabat sama dengan riwayat dari selain mereka, berbeda halnya dengan apa yang dipercaya dan dilakukan oleh kalangan ahlu sunnah. Sebagai tambahan mereka juga memperselisihkan berbagai peristiwa sejarah dalam islam mengenai sikap para sahabat terhadap Imam Ali bin Abi Thalib -karramallahu wajhah- yang berimplikasi terhadap lahirnya kelompok yang lebih ekstrim dalam hal 'aqidah (kepercayaan) di kalangan orang Syi'ah.

Para Sahabat yang Terakhir Meninggal

Daftar Sahabat Laki-Laki

Daftar Sahabat Perempuan

Lihat pula

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Kitab Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, karya Ibnu Hajar, hal. 101.
  2. ^ Akaha, Abduh Zulfidar (2006). Siapa Teroris? Siapa Khawarij?. Pustaka Al-Kautsar. hlm. 213. ISBN 979-592-358-7, 9789795923589. 
  3. ^ a b Gülen, Fethullah (2000). The Messenger of God Muhammad: An Analysis of the Prophet's Life (edisi ke-berilustrasi, cetak ulang, direvisi). Tughra Books. hlm. 369. ISBN 1-932099-83-2, 9781932099836. 
  4. ^ a b c Imam al-Bukhari (2013). Sahih al-Bukhari: The Early Years of Islam. Diterjemahkan oleh Muhammad Asad (edisi ke-Cetak ulang). The Other Press. hlm. 13-15. ISBN 967-5062-98-3, 9789675062988. 
  5. ^ Fazal, Mohammad Fazal (2003). Child Companions Around the Prophet. Diterjemahkan oleh Sameh Strauch. Riyadh: Darussalam. hlm. 287. ISBN 9960-897-58-3, 9789960897585. 
  6. ^ Al-Qaradhawi, DR. Yusuf (1995). Fatwa-Fatwa Kontemporer 2. 2. Gema Insani. hlm. 47. ISBN 979-561-332-4, 9789795613329. 
  7. ^ Gülen, Fethullah. The Messenger of God Muhammad: An Analysis of the Prophet's Life. hlm. 370. 
  8. ^ Ali Unal (2008). The Qur'an with Annotated Interpretation in Modern English (edisi ke-cetak ulang, beranotasi). Tughra Books. hlm. 413. ISBN 1-59784-144-7, 9781597841443. 
  9. ^ a b An-Nadawi, Sulaiman (2016). Aisyah. Diterjemahkan oleh Iman Firdaus, Lc.Q, Dpl. Qisthi Press. hlm. 265-266. ISBN 979-1303-07-X, 9789791303071. 
  10. ^ Al-Qaradhawi, DR. Yusuf (1995). Fatwa-Fatwa Kontemporer 3. 3. Gema Insani. hlm. 790. ISBN 979-561-780-X, 9789795617808. 
  11. ^ Imam At-Tirmidzi. Jami' at-Tirmidzi hadist no. 3826. 
  12. ^ As-Sayyid Murtadha al-'Askari. Ma'alim al-Madrasatain jilid I. hlm. 97–100. 
  13. ^ Al-Bidayah wan Nihayah/Juz 8/Sa'ad bin Abi Waqqas
  14. ^ Ad-Dzahabi. Siyar A'lam an-Nubala' jilid 3. Mu`assasah ar-Risalah. hlm. 194. 

Daftar pustaka

Pranala luar