Pengguna:Haikal FK 1705/Bak artikel
Bahasa Sunda Klasik
Basa Sunda Klasik ᮘᮞ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮊᮣᮞᮤᮊ᮪ Bahasa Sunda Peralihan Basa Sunda Mangsa II | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Wilayah | bagian barat pulau Jawa | ||||||||
Era | Berkembang menjadi bahasa Sunda Modern Awal menjelang abad ke-19. | ||||||||
| |||||||||
Sunda Kuno • Pegon • Cacarakan • Latin | |||||||||
Kode bahasa | |||||||||
ISO 639-3 | – | ||||||||
Linguasfer | 31-MFN-aa | ||||||||
| |||||||||
Portal Bahasa | |||||||||
Bahasa Sunda Klasik[3][4] atau Bahasa Sunda Peralihan[3] (juga disebut sebagai Basa Sunda Mangsa II atau dapat dialihbahasakan menjadi Bahasa Sunda Masa II) adalah sebuah bentuk transisi bahasa Sunda antara bahasa Sunda Kuno dengan bahasa Sunda Modern. Bahasa Sunda Klasik mulai dipertuturkan dan digunakan dalam penulisan naskah-naskah pada abad ke-17 hingga abad ke-18 (sekitar 1600-1800 Masehi).[3]
Bahasa Sunda Zaman Klasik (Peralihan) merupakan tahapan lanjutan dari bahasa Sunda Kuno.[5] Hal ini dapat dilihat di antaranya dalam naskah Carita Waruga Guru. Kosakata yang digunakan dalam naskah tersebut bukanlah kosakata yang arkais (kuno) sebagaimana terdapat dalam bahasa Sunda Kuno. Bahasa Sunda Klasik sangat dipengaruhi oleh bahasa Arab sebagai akibat dari dominasi agama Islam pada masyarakat Sunda masa itu.[6]
Sejarah
Pra-Islam & Arab
Pengaruh Islam dan Arab setidaknya tidak pernah berkembang terlalu jauh sebelum kerajaan Sunda (Pajajaran), sebuah kerajaan bercorak Sunda-Hindu runtuh pada tahun 1579. Masa kerajaan ini merupakan masa bahasa Sunda Kuno. Pada waktu itu, bahasa Sunda Kuno merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat maupun orang-orang di lingkungan kerajaan untuk berkomunikasi satu sama lain dan digunakan dalam berbagai bidang, mulai dari bidang kenegaraan, keagamaan, kesenian, serta komunikasi bagi kepentingan kehidupan sehari-hari.[7]
Agama Islam terlebih dahulu berkembang di wilayah tetangga Sunda, seperti di Sumatra dan di sebelah timur Sunda. Walaupun begitu, pada awal abad ke-16, negeri-negeri Islam telah dikenal oleh para penganut agama Hindu di Kerajaan Sunda. Setidaknya mereka memiliki wawasan geografis dan hubungan ekonomi dengan negara-negara luar. Kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang selesai dikarang pada tahun 1518 mengonfirmasi hal tersebut melalui isinya yang menunjukkan pengetahuan luas tentang wilayah geografis mancanegara (bahasa Sunda Kuno: paranusa) yang mencakup beberapa kawasan-kawasan di benua Asia, disebutkan pula adanya profesi duta bahasa yang disebut jurubasa darmamurcaya yang dituntut untuk menguasai berbagai bahasa asing, ini sesuai dengan uraian berikut:[8]
“ | Aya ma nu uraṅ dek cəta, ulah salah gəsan naña, lamun dek ñaho di carek para nusa ma, carek cina, kəliṅ, parasi, məsir, samudra, baṅgala, makasar, pahaṅ, kalantən, baṅka, buwun, beten, tulaṅbawaṅ, səla, pasay, parayaman, nagara dekan, dinah, andələs, tego, maloko, badan, pego, malangkabo, məkah, buretet, lawe, saksak, səmbawa, bali, jənggi, sabini, ṅogan, kanaṅən, kuməriṅ, simpaṅ tiga, gumantuṅ, manumbi, babu, ñiri, sapari, patukaṅan, surabaya, lampuṅ, jambudipa, seran, gədah, solot, solodoṅ, indragiri, tanjuṅ pura, sakampuṅ, cəmpa, baluk, jawa; sing sawatək para nusa ma saṅ jurubasa darmamurcaya taña.
Bila kita hendak bertindak, jangan salah mencari tempat bertanya. Bila ingin tahu bahasa negara-negara lain, seperti: bahasa Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kelantan, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Pasay, Negara Dekan, Madinah, Andalas, Tego, Maluku, Badan, Pego, Minangkabau, Mekah, Buretet, Lawe, Sasak, Sumbawa, Bali, Jenggi, Sabini; Ogan, Kanangen, Momering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; segala macam (bahasa) negara-negara lain, tanyalah juru bahasa darmamurcaya.” |
” |
— Sanghyang Siksa Kandang Karesian bab XX[9] |
Dari uraian di atas, dapat dilihat pada nama-nama negeri dan kota yang dicetak tebal merupakan negeri dan kota Islam dan menjadi pusat penyebaran agama Islam.[10] Manuskrip lain dari masa Sunda Kuno yang menyebutkan wilayah Islam yaitu Pendakian Sri Ajñana, yang menyebutkan Buana Mekah, salah satu pusat dan kota suci bagi umat Islam sebagai tempat yang disinggahi oleh tokoh utama dalam teks tersebut tatkala mencari kekasihnya di Kahyangan, selengkapnya dapat dibaca pada kutipan berikut:[11]
“ | Saləmpaṅ saṅ Sri Ajñana, diri ti sorga kancana, milaṅ-milaṅ kasorgaan, kaliwat na caturloka, katukaṅ buana Məkah, eta kasorgaan Siak.
Setelah Sri Ajnyana pergi, Berangkat dari surga kencana, dia melihat-lihat surga, Caturloka telah terlewati, buana Mekah telah dilalui, itulah surga bangsa Siak. |
” |
— Sri Ajñana, 916-921[11] |
Kutipan di atas secara jelas menunjukkan bahwa kedudukan Mekah dan Siak (sebutan untuk orang-orang yang telah memeluk Islam) diposisikan bersama-sama dengan ruang pikiran masyarakat Sunda-Hindu.[12] Naskah Sunda Kuno bernuansa Hindu lain yang cukup terkenal, Sewaka Darma juga menyebutkan Buana Mekah sebagai tempat di kahyangan. Berikut adalah petikannya:
“ | Mojarkən babu pərtiwi, ṅagapay tarajeəmas, dataṅ ka wəkasniṅ sabda, dina sunya liwat taya, hələt bəraṅ hələt pətiṅ, dataṅ ka banua məkah, ngadoṅkap ka catur loka, luput ti pada buana, dataṅ kana manarawaṅ, kateñjo para dewata.
Mengisahkan Ibu Pertiwi, meniti tangga emas, sampai pada akhir ucapan, dalam keadaan hampa melampaui ketiadaan, siang dan malam berselang, tibalah di benua Mekah, datang ke empat dunia, yang terlepas dari dunia, datang lalu memandang jauh, terlihat para dewata. |
” |
— Sewaka Darma, naskah B, fol. 46[13] |
Dari pembahasan mengenai tiga naskah di atas, dapat dipahami bahwa pengetahuan mengenai Islam dan Arab telah masuk ke dalam khazanah masyarakat Sunda-Hindu, terutama dari kalangan agamawan, sehingga kedudukannya cukup mendapat tempat tersendiri, meski bukan sesuatu hal yang diutamakan.[14]
Pasca-Pajajaran
Setelah keruntuhan kerajaan Pajajaran, penggunaan bahasa Sunda Kuno mulai tergeser dan kosakatanya bertambah dengan kosakata bahasa Arab dan bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Sunda kuno yang dikatakan masih bersih hanya dijumpai di lingkungan pedesaan yang masih setia menggunakan bahasa tersebut. Sementara itu, di lingkungan pesantren, bahasa Arab mulai tumbuh subur dan berkembang setelah berkuasanya kekuatan Islam, sedangkan bahasa Jawa sendiri tumbuh di lingkungan sekolah dan lingkungan yang cenderung feodal.[15]
Ciri-ciri
Struktur kebahasaan bahasa Sunda Klasik atau peralihan sangat dipengaruhi oleh bahasa asing, seperti contohnya bahasa Arab, bahasa Melayu, dan bahasa Jawa.[16] Hal ini dapat dilihat dari penggunaan abjad Pegon (Arab-Sunda)[17] dan aksara Cacarakan dalam naskah Sunda abad 17 dan 18 serta mulai masuknya unggah-ungguh basa atau undak usuk basa (sistem tingkatan berbahasa dalam bahasa Sunda) ke dalam bahasa Sunda.[3]
Naskah yang ditulis dalam aksara Cacarakan yang berbentuk puisi yang berjenis guguritan dan wawacan, yakni puisi yang digubah dalam bentuk dangding atau lagu, memiliki aturan gurulagu, guruwilangan, dan gurugatra dalam setiap pada 'bait' dan padalisan 'baris'. Sementara itu, naskah-naskah dalam abjad Pegon sangat dipengaruhi oleh bahasa Arab dan bahasa Melayu serta ditulis menggunakan jenis syair atau puisi pupujian.[3]
Contoh penggunaan bahasa Sunda klasik dapat dilihat pada naskah-naskah seperti Carita Waruga Guru,[18] Carita Waruga Jagat[19] dan Wirid Nur Muhammad.[20]
Catatan kaki
- ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011.
- ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022.
- ^ a b c d e Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 277.
- ^ Sumarlina (2009), hlm. 70.
- ^ Priyanto (2019), hlm. 40.
- ^ Priyanto (2019), hlm. 42.
- ^ Priyanto (2019), hlm. 41.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 446.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 446-447.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 447.
- ^ a b Gunawan (2016), hlm. 447-448.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 448.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 448-449.
- ^ Gunawan (2016), hlm. 449.
- ^ Priyanto (2019), hlm. 41-42.
- ^ Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 275.
- ^ Sumarlina, Permana & Darsa (2019), hlm. 276.
- ^ Pleyte, C.M. (1923). "Tjarita Waroega Goeroe" (PDF). Poesaka Soenda.
- ^ "Lontar, Kropak 20". British Library.
- ^ "Wirid Nur Muhammad – Kairaga.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-15. Diakses tanggal 2020-06-15.
Daftar pustaka
- Arisandi, I.B.; Ma'mun, T.N.; Darsa, U.A. (2021). "Babad Awak Salira: Intertekstualitas Naskah Sunda Islami". Jurnal Manuskrip Nusantara. Program Studi Ilmu Sastra Bidang Kajian Utama Filologi, Universitas Padjadjaran. 12 (1): 35–52. doi:10.37014/jumantara.v12i1.1151 . ISSN 2087-1074.
- Gunawan, A.; Kurnia, A. (2016). "Naskah-naskah Islam dari Kabuyutan". Jurnal Manuskrip Nusantara. 7 (2b): 437–468. doi:10.37014/jumantara.v7i2b.295 .
- D., Koswara; Isnendes, R.; Hyangsewu, P.; Suherman, A. (2021). Character Literature Learning Model Based on Classical Sundanese Literature Carita Pantun Mundinglaya di Kusumah (CPMdK) A Structural, Semiotic, and Ethno-pedagogic Study. Proceedings of the Fifth International Conference on Language, Literature, Culture, and Education (ICOLLITE 2021) (Paper). 595. Bandung: Department of Sundanese Language Education, Universitas Pendidikan Indonesia. hlm. 185–192. doi:10.2991/assehr.k.211119.029 . ISBN 978-94-6239-459-9. ISSN 2352-5398.
- Koswara, D. (2021). Sastra Sunda klasik. Bandung: UPI Press. ISBN 9786236988336. OCLC 1269216280.
- Priyanto, Yayat (2019). Teks Dan Konteks Dalam Jejak Budaya Takbenda Studi Kasus: Babasan dan 'Paribasa' Sunda. Prosiding Seminar Nasional Arkeologi 2019 (Paper). 3. Bandung: Pasundan University. hlm. 37–48. doi:10.24164/prosiding.v3i1.24 .
- Ruhailah (2018). Wawacan Sebuah Genre Sastra Sunda. Bandung: Dunia Pustaka Jaya. ISBN 9789794194966. OCLC 1057673447.
- Sumarlina, E.S.N.; Permana, R.S.M.; Darsa, U.A. (2019). The Role of Sundanese Letters as the One of Identity and Language Preserver. Surakarta: European Alliance for Innovation. hlm. 273–279.
- Sumarlina, E.S.N. (2009). Mengungkap kearifan lokal budaya Sunda yang tercermin dalam naskah dan prasasti. Bandung. OCLC 680676827.
Pustaka lanjutan
- 森山, 幹弘 (1996). "Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West Java". Southeast Asian Studies. 34 (1): 151–183. doi:10.20495/tak.34.1_151 .
- 森山, 幹弘 (1995). "Language Policy in the Dutch Colony: On Sundanese in the Dutch East Indies". Southeast Asian Studies. 32 (4): 446–454. doi:10.20495/tak.32.4_446 .
- 森山, 幹弘 (2005). Sundanese print culture and modernity in nineteenth-century West Java. Southeast Asian Studies. Singapore University Press. ISBN 9789971693220.
- 森山, 幹弘 (2013). Kesastraan Sunda dan Kolonialisme dalam Sejarah Garut: jejak langkah Moehamad Moesa, Lasminingrat, dan Kartawinata (PDF). Seminar Internasional “Garut dalam Lintas Sejarah” (Paper). Garut: Museum Negeri Sri Baduga di Aula Badan Kordinasi Pengembangan dan Pembangunan. hlm. 1–18.
Pranala luar
- Naskah Sunda Klasik di Kairaga.com
- Naskah guguritan Sinom Gurinda Pangrasa karya Raden Haji Muhamad Syu'eb: alih aksara di Google Buku
- Semangat baru: kolonialisme, budaya cetak, dan kesastraan Sunda abad ke 19 di Google Buku
Kategori:Bahasa Sunda Kategori:Bahasa di Indonesia Kategori:Bahasa mati