Kerajaan Kadiri
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait, atau pranala luar, tetapi sumbernya belum jelas karena belum menyertakan kutipan pada kalimat. |
Kerajaan Kadiri, Kediri disebut juga dengan Daha atau Panjalu (bahasa Jawa: ꦥꦚ꧀ꦗꦭꦸ, translit. Pañjalu) adalah kerajaan Hindu-Buddha yang terdapat di Jawa Timur, antara tahun 1042–1222. Dan merupakan salah satu kerajaan hasil pembelahan yang juga didirikan Airlangga[1]. Kerajaan ini dipimpin oleh Wangsa Isyana dan berpusat di Dahanapura, adalah nama sebuah kota kuno di masa lalu yang sekarang menjadi bagian dari Kota Kediri. Sebelum pembagian kerajaan, Panjalu merupakan wilayah dari Medang Kahuripan.
1042–1293 | |||||||||
Kerajaan Janggala dan Panjalu, kemudian bersatu menjadi Kerajaan Kadiri | |||||||||
Status | Kerajaan | ||||||||
Ibu kota | Dahanapura (1042-1222) | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Kawi (utama), Sanskerta (alternatif) | ||||||||
Agama | Hinduisme, Buddhisme, Animisme | ||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||
Maharaja/Sri | |||||||||
• 1042-1051 | Sri Samarawijaya | ||||||||
• 1051-1112 | Sri Jitendrakara | ||||||||
• 1112-1135 | Sri Bameswara | ||||||||
• 1135-1159 | Jayabaya | ||||||||
• 1159-1169 | Sri Sarweswara | ||||||||
• 1169-1180 | Sri Aryeswara | ||||||||
• 1180-1182 | Sri Gandra | ||||||||
• 1182-1194 | Kameswara | ||||||||
• 1194-1222 | Kertajaya | ||||||||
• 1292-1293 | Jayakatwang | ||||||||
Sejarah | |||||||||
• Didirikan | 1042 | ||||||||
• Dibagi oleh Airlangga dari Medang Kahuripan | 1042 | ||||||||
1135 | |||||||||
• Kakawin Bhāratayuddha selesai ditulis | 1157 | ||||||||
• Runtuh oleh Pemberontakan Ken Arok | 1222 | ||||||||
• Pemberontakan Jayakatwang melawan Singhasari | 1292 | ||||||||
1293 | |||||||||
Mata uang | Koin emas dan campuran tembaga, perak dan timah | ||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia Timor Leste | ||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Etimologi
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum peristiwa pembelahan kerajaan oleh Airlangga. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang, bahwa saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan telah berpindah ke Dahanapura dan menyebut Airlangga sebagai raja Daha.[2]
... 15. Sigra datang pwa sirêng sagara Rupěk, mantas ta sira ngkana, Sang Yogîswara Mpu Baradah. Tan lingěn pwa sirêng (h)ěnu lampah Sang Mahamuni ambramaga. Sigra datang ta sirêng nagarêng Daha, panggih ta sirâtmajanira Sang Maharaja Erlanggya sědang tinangkil...
... 15. Segera tiba di Sagara Rupek, beliau menyeberang di sana, Sang Pendeta Baradah. Tidak diceritakan perjalanan Sang Pendeta di jalan sangat cepat jalannya. Beliau segera tiba di kerajaan Daha, bertemu dengan putranya Sang Maharaja Erlangga yang sedang dihadap...
— (Lontar Calon Arang).
Nama Panjalu
Pada mulanya, nama Pañjalu pembacaan yang tepat sesuai dengan aksara adalah Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Panjalu, bahkan nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung di dalam kronik Tiongkok dari Dinasti Song yang berjudul Ling-wai-tai-ta (Hanzi: 嶺外代答; Pinyin: Lĭngwài Dàidā) tahun 1178 M. Sebuah kitab geografi yang ditulis pada abad ke-12 M, oleh Chou Ch'u-fei (Pinyin: Zhōu Qùfēi) seorang birokrat di kota Guilin, provinsi Guanxi.[3]
Pangjalu berasal dari kata Jalu yang memiliki arti Jantan atau Pria, unsur dari maskulinitas selanjutnya diberi kata Pang yang adalah Pe, merupakan tambahan sehingga menjadi kalimat Pe-jantan dalam konteks kewilayahan istilah pejantan tersebut bermakna wilayah yang subur serta berdikari atau mandiri. Istilah Kadhiri merupakan sinonim atau persamaan kata dari Pangjalu yang bermakna kemandirian. Kasus tersebut mirip dengan nama Majapahit dengan Wilwatikta, dimana wilwa adalah buah maja sedangkan tikta adalah pahit.
Nama Kadiri
Nama Kadiri atau Kediri pembacaan yang tepat sesuai dengan aksara adalah Kadhiri juga berasal dari kata bahasa Sansekerta, khadri, yang berarti pacé atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang kulit kayu pohon ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam pembuatan batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan. Nama yang serupa juga dikenal dengan Kadiri sebuah kota di Andhra Pradesh, India. Asal usul kata yang dipandang lebih tepat adalah diturunkan dan berasal dari kata "kāḍiri" (kadhiri) dalam bahasa Jawa kuno yang berarti bisa berdiri sendiri, mandiri, berdiri tegak, berkepribadian, atau berswasembada.[4] Meninjau dari beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Panjalu dapat dilihat frasa kalimat yang tertera dalam prasasti Ceker dari tahun 1107 Saka (1185 M) yang menyebutkan:
"... śrī mahārāja mantuk śīma nira ring bhūmi kaḍiri ..."
Terjemahan inskripsi: (Sri Maharaja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri)
Dalam prasasti Kamulan yang berangka tahun 1116 Saka (1194 M) juga menyebutkan:
"... tatkāla ni n kentar sangke kaḍatwan ring katang-katang deni nkin malṛ yatik kaprabhun śrī mahārāja siniwi riŋ bhūmi kaḍiri ..."
Terjemahan inskripsi: (ketika meninggalkan istananya yang berada di Katang-katang sehingga tetap dapat menjalankan pemerintahan sebagai Sri Maharaja yang bertahta di Bhumi Kadiri)
Pada isi kalimat di prasasti Mula Malurung: (VII.a) yang diterbitkan oleh Kertanegara tahun (1255 M) sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya Wisnuwardhana raja Singhasari.
"... 4) sira śrī kṛtānagara nāma niran inabhiśeka. pinasaṅakěn ṅkāneŋ maṇikanaka siṅhāsana. riŋ nagara daha. sinewita niŋ bhūmi kaḍiri..."
Transkrip isi Prasasti Batur yang merupakan titah raja Hayam Wuruk dari masa Majapahit.
"2. [...] muŋ mpu kapat. śūra sapatnamarddhana. rakryan kanuruhan. mpu pakis. wairibala wirantaka. rakryan ma ri pu saṅkhya pranāśa. rakryan tumȇṅguŋ mpu nala. sāḍurakṣaṇana saḍunigramātatpara. makapuras sa jaṅgala kāḍiri. mpu mada. raṇa maddhyāryya nukula karaṇa. parasainya śirah kāpala gandopāna ma..."
Pada bait kalimat prasasti Carama berupa sebuah lempeng tembaga yang berada disimpan di Museum Arkeologi Frankfurt Jerman, bertarikh 07 Juni 1015 M. Yang merupakan anugerah dari Sri Mahadewi yang bertakhta di Kadhiri.
"...1. //O// Śwasti saka warşatita, 937, karttika masa, tithi, dwādaśi 2. Kṛṣṇapaksa, wara, ma, pa, bu, wayang, wawakaraṇa, maghanaksatra pitr 3. Dewata, kumbharaśi, irika diwaśa budyah (pu dyah) ghara manusuk darmma 4. Tani manguri, panganugrahanira paduka, śri mahadewi, siniwi ring kaḍiri, 5. Sang tita tlas, ginawayakên, lawan sawah rong têmpah sa (F.H. van Naerssen, dlm Kartoadmodjo, S.1985:66) ..."
Toponimi penyebutan wilayah Kadiri untuk pertama kali ditemukan di dalam prasasti Harinjing B tahun 843 Saka (19 September 921 Masehi) yang dikeluarkan oleh raja Rakai Layang Dyah Tulodong dari kerajaan Medang atau Mataram Kuno.
"... i śrī mahārāja mijil angkȇn cetra ka tlu i sang pamgat asing juru i kaḍiri ikang ri wilang ..."
Terjemahan inskripsi: (kepada sri maharaja dikeluarkan setiap Bulan Caitra tanggal 3, kepada Sang Pemutus Perkara bernama asing petugas di Kadiri, yang dari Wilang)
Latar belakang
Runtuhnya kerajaan Medang
Raja kedatuan Medang yang terakhir bernama Dharmawangsa Teguh saingan berat kedatuan Sriwijaya. Pada tahun 1016, Haji Wurawari seorang raja bawahan dari Lwaram sekitar Cepu, Blora bersekutu dengan Sriwijaya untuk menyerang istana Wwatan sekarang sekitar Maospati, Magetan ibu kota dari kerajaan Medang, yang pada saat itu tengah mengadakan sebuah pesta pernikahan antara putri Dharmawangsa Teguh dengan Airlangga, raja Dharmawangsa Teguh sendiri tewas dalam serangan tersebut sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga bersama dengan putri Dharmawangsa berhasil lolos ditemani pembantunya Mpu Narotama.
Airlangga adalah putra dari pasangan Mahendradatta saudari Dharmawangsa Teguh dengan Udayana raja dari kerajaan Bedahulu, Bali. ia lolos bersama putri Dharmawangsa dengan ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan Vana giri sekarang Wonogiri, dan selanjutnya menuju Sendang Made, Kudu, Jombang.
Berdirinya Medang Kahuripan
Pada saat pelarian dan dalam masa persembunyiannya dengan kalangan pertapa, setelah melewati tiga tahun hidup di dalam hutan pada tahun 1019, Airlangga didatangi utusan rakyat bersama dengan senapati yang masih setia untuk menyampaikan permintaan agar dirinya mendirikan dan membangkitkan kembali sisa-sisa kejayaan Medang. Atas dukungan para pendeta dari ketiga aliran yakni Hindu, Buddha, dan Mahabrahmana ia kemudian membangun kembali sisa-sisa kerajaan Medang yang istananya telah hancur tersebut, yang lazim dikenal sekarang dengan kerajaan Medang Koripan atau Medang Kahuripan dengan ibu kota baru yang bernama Watan Mas.[5]
15. Kemudian dalam tahun penting yaitu 941 tahun saka, tanggal 13 paro terang, bulan magha, pada hari kamis menghadaplah para abdi dan para Brahmana terpandang kepada raja di raja Erlangga, menunduk hormat disertai harapan tulus. Mereka dengan penuh ketulusan mengajukan permohonan kepadanya:“perintahlah negara ini sampai batas-batas yang paling jauh ! ...”
(Prasasti Pucangan)
Ibu kota baru bernama Watan Mas terletak di dekat sekitar Gunung Penanggungan. Pada mulanya wilayah kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung Penanggungan dan sekitarnya, karena banyak daerah-daerah bawahan kerajaan Medang yang membebaskan diri setelah keruntuhannya. Baru setelah kedatuan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa, raja Colamandala dari kerajaan Chola, wilayah Coromandel, India di tahun 1025, Airlangga baru bisa dengan leluasa membangun kembali dan menegakkan kekuasaan wangsa Isyana di tanah Jawa.
Sejak tahun 1029, peperangan demi peperangan dijalani Airlangga. Satu demi satu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukkannya. Periode antara tahun 1029 sampai dengan tahun 1037 adalah periode penaklukkan yang dilakukan oleh Airlangga terhadap musuh-musuhnya baik yang berada wilayah barat, timur, maupun selatan. Berita pada prasasti Pucangan memberikan keterangan tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh Airlangga atas musuh-musuhnya tersebut. Namun demikian diantara tahun-tahun tersebut bukan berarti istana Airlangga telah aman dari serangan musuh, keberhasilannya dalam penaklukkannya ternyata juga diselingi dengan kekalahan bahkan pelarian. Pada tahun 1031 (953 Saka) Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa. Raja wanita itu adalah Ratu Dyah Tulodong, yang merupakan salah satu raja kerajaan Lodoyong (sekarang wilayah Tulungagung, Jawa Timur). Dyah Tulodong digambarkan sebagai ratu yang memiliki kekuatan luar biasa. Salah satu peristiwa sejarah penting adalah pertempuran antara bala tentara Airlangga yang berhasil dikalahkan oleh Dyah Tulodong. Pertempuran tersebut terjadi lantaran Dyah Tulodong berusaha membendung ekspansi Airlangga yang waktu itu sudah menguasai wilayah-wilayah di sekitar kerajaan Lodoyong. Bahkan di beberapa riwayat, diceritakan pasukan khusus yang dibawa Ratu Dyah Tulodong merupakan prajurit-prajurit wanita pilihan, pasukan ini bahkan berhasil memukul mundur pasukan Airlangga dari pusat kota kerajaannya "Watan Mas" di dekat Gunung Penanggungan hingga harus pergi ke Patakan Sambeng, Lamongan.
Tetapi satu tahun kemudian di penghujung tahun 1032 (954 Saka), dari arah utara, pasukan Airlangga bergerak ke selatan menuju wilayah Lodoyong. Dyah Tulodong berhasil dikalahkan oleh Airlangga lewat pertempuran sengit. Tidak lama kemudian Raja Wurawari musuh bebuyutannya pun dapat dihancurkannya, sekaligus membalaskan dendam Airlangga dan wangsa Isyana. Raja Airlangga juga berhasil mengalahkan raja Wijayawarmman, raja terakhir yang masih belum tunduk pada (bulan Kartika tahun 959 Saka atau 10 November 1037 Masehi).[6] Sejak saat itu wilayah kerajaan Airlangga mencakup hampir seluruh Jawa Timur. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali.
Ibu Kota Kahuripan
Tahun 1032, menurut prasasti Terep, Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan yang berpusat di daerah Kabupaten Sidoarjo sekarang.
Istana Madander
Di tahun 1037, dikeluarkan prasasti Kusambyan memuat informasi mengenai keraton Madander yang diperkirakan sebagai lokasi dari istana Airlangga yang terletak di sekitar Kabupaten Jombang.
Ibu Kota Dahanapura
Pada tahun 1042, berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, di akhir masa pemerintahannya, Airlangga kemudian memindahkan ibukotanya ke Daha, Kota Kediri.
Berdirinya kerajaan
Pembagian kerajaan oleh Airlangga
Di dalam kakawin Desyawarnana yang ditulis oleh seorang pujangga, Mpu Prapanca. Bekas pembesar urusan agama Buddha di istana Majapahit, menyebutkan raja Airlangga yang telah memerintah dari Daha, di wilayah Panjalu atau Kadiri dan juga turut serta meriwayatkan tentang peristiwa pembelahan kerajaan.[7]
... 1. Nahan tatwanikaɳ kamal/ widita deniɳ sampradaya sthiti, mwaɳ çri pañjalunatha riɳ daha te- (122a) wekniɳ yawabhumy/ apalih, çri airlanghya sirandani ryyasihiran/ panak/ ri saɳ rwa prabhu, ...
... 1. Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya, Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah, Karena cinta raja Airlangga kepada dua puteranya, ...
— (Kakawin Nagarakretagama, Pupuh 68).
Menurut prasasti Turun Hyang (1044 M). Di akhir masa pemerintahannya tahun 1042 Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya, raja yang sebenarnya merupakan putri Airlangga. Nama asli dari putri tersebut dimuat dalam prasasti Cane (1021 M) sampai dengan prasasti Pasar Legi (1043 M) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi yang menjadi putri mahkota sekaligus pewaris takhta istana Kahuripan. Namun ia memilih untuk mengundurkan diri dan menjalani kehidupan suci sebagai pertapa biksuni atau pendeta wanita Buddha, di dalam cerita rakyat ia kemudian dikenal bergelar Dewi Kili Suci. Sedangkan dalam prasasti Pucangan (1041 M) memuat nama baru dan memunculkan Samarawijaya Tunggadewa sebagai putra mahkota atau rakryan mahamantri i hino dan diduga adalah putra Airlangga dan merupakan adik dari Sanggramawijaya Tunggadewi. Pada umumnya jabatan mahamantri i hino dijabat oleh putra sulung raja dan putra kedua akan menggantikan posisinya apabila pejabat tersebut meninggal, berselang tahun kemudian berdasarkan berita prasasti Pamwatan (1042 M) dan Serat Calon Arang, Airlangga telah memindahkan ibu kotanya dan mendirikan kota Dahanapura.[5]
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih penggantinya mengingat dirinya juga putra dari raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali untuk mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata Pangkaja sebagai raja Bali, dan Marakata selanjutnya digantikan adiknya yaitu Anak Wungsu.
Sebelum turun takhta, pada akhir November 1042, atas saran penasihat kerajaan sekaligus gurunya Mpu Bharada, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, bagian barat yaitu wilayah Panjalu beribukota di Daha diberikan kepada Sri Samarawijaya, kemudian wilayah bagian timur yaitu Janggala beribukota di Kahuripan diberikan kepada Mapanji Garasakan. Batas pemisah wilayah antara keduanya dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas.
2. Ada pendeta Budamajana putus dalam tantra dan yoga, Diam di tengah kuburan Lemah Citra, jadi pelindung rakyat, Waktu ke Bali berjalan kaki, tenang menapak di air lautan, Hyang Mpu Barada nama beliau, paham tentang tiga zaman.
3. Girang beliau menyambut permintaan Erlangga membelah negara, Tapal batas negara ditandai air kendi, mancur dari langit, Dari barat ke timur sampai laut; sebelah utara, selatan, Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar.
(Nagarakertagama, Pupuh 68)
Prasasti Wurare yang dipahatkan di alas sandar Arca Mahaksobhya pada masa Singhasari, menceritakan tentang dua wilayah baru yang telah terbagi yang dilakukan oleh pendeta Aryya Bharad.
5-6. Yang telah membagi dataran Jawa menjadi dua bagian dengan batas luar adalah lautan, oleh sarana kendi (kumbha) dan air sucinya dari langit (vajra). Air suci yang memiliki kekuatan putus bumi dan dihadiahkan bagi kedua pangeran, menghindari permusuhan dan perselisihan – oleh karena itu kuatlah Janggala sebagaimana Jayanya Panjalu (vishaya).
(Prasasti Wurare)
Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042 M) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Menurut prasasti Pasar Legi, baik Airlangga maupun Sanggramawijaya masih aktif menjalankan pemerintahan, mengikuti penyebutan gelar kependetaan Airlangga yaitu Resi Aji yang juga berarti sebagai pendeta raja. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Airlangga dan putrinya masih memegang kekuasaan tertinggi sekalipun hidupnya sudah terbagi dengan kegiatan non-duniawi.
Perkembangan kerajaan
Di masa-masa awal kerajaan Kadiri setelah peristiwa pembelahan tidak banyak diketahui, masa pemerintahan Sri Samarawijaya dianggap sebagai masa kegelapan karena belum ditemukan prasasti yang dikeluarkannya secara mandiri. Menurut prasasti Turun Hyang berangka tahun 1044 yang diterbitkan oleh kerajaan Janggala, hanya memberitakan adanya indikasi terjadi perang saudara diantara kedua kerajaan sepeninggal raja Airlangga. Sejarah dari kerajaan Kadiri mulai dapat diketahui dengan adanya prasasti Mataji, dikeluarkan oleh seorang raja bernama Sri Jitendra Kara yang berkuasa antara (1051-1112). Prasasti Garaman dari pihak Janggala menyebutkan pada tahun 1053, Sri Mapanji Garasakan memberikan anugerah kepada desa Garaman atas bantuan ketika raja melawan Haji Panjalu musuh dan anak dari kakaknya sendiri, kemungkinan yang disebut sebagai Aji Panjalu saat itu adalah raja Jitendra Kara yang dalam prasasti Mataji juga menyebutkan kalimat Hajyan Panjalu. Selanjutnya diketahui terdapat raja bernama Sri Bameswara berdasarkan prasasti Karanggayam tahun 1112, dalam prasasti Padlegan ia memperingati penetapan suatu daerah menjadi tanah sima sebagai anugerah dari raja Bameswara kepada para pejabat desa Padlegan, karena telah menunjukkan kesetiaannya kepada raja dengan mengorbankan jiwanya di medan pertempuran. Berikutnya dalam prasasti Hantang (1135 M) raja yang memerintah telah berganti kepada Sri Jayabhaya. Panjalu atau Kediri di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Jenggala dengan semboyannya yang terkenal di dalam prasasti Ngantang, yaitu Pangjalu Jayati, yang berarti Kadiri Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya, kerajaan Kadiri mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan hingga mengalahkan pengaruh Sriwijaya di Sumatera. Hal ini diperkuat dalam berita kronik Tiongkok yang berjudul Ling-wai-tai-ta karya Chou Ku-fei[8] dijelaskan bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Tiongkok secara berurutan adalah Arab, Jawa dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di jazirah Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai oleh Sriwijaya.
Menurut prasasti Talan yang memiliki angka tahun 1136 di sisi depan dan 1039 pada sisi belakangnya memuat anugerah dari raja Jayabaya kepada warga desa Talan termasuk wilayah Panumbangan yang sejak dahulu telah menyimpan prasasti ripta atau lontar dari masa leluhurnya yaitu Airlangga. Raja Jayabaya kemudian meneguhkan kembali prasasti ripta tersebut ke sebuah linggopala atau batu dengan memberi cap kerajaan bersimbol Garuda Mukha, serta menambahkan anugerah lain kepada warga Talan karena telah berbakti kepada raja Airlangga yang memakai Garuda Mukha sebagai cap dari masa pemerintahannya. Raja Jayabaya sendiri mengklaim bahwa raja Airlangga adalah nenek moyangnya.
Di dalam prasasti Jaring dari masa pemerintahan Sri Gandra untuk pertama kalinya memuat nama-nama hewan yang dipakai sebagai nama depan para pejabat kerajaan,[9] misalnya Menjangan Puguh, Lembu Agra, Kebo Waruga, Kebo Salawak, Tikus Jinada, Macan Kuning, Gajah Kuning, Macan Putih dan sebagainya. Nama kepangkatan menjangan, lembu, kebo, macan, gajah, tikus bisa menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana. Nama-nama binatang untuk kepangkatan istana juga masih terus berlanjut di masa kerajaan Singhasari dan Majapahit setelah Kadiri runtuh. Penamaan diri dengan binatang pada masa Jawa Kuno karena hewan tertentu dihargai dan dianggap memiliki peran penting dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya sehingga mempunyai tempat istimewa di hati penggunanya, dan merupakan salah satu bentuk perwujudan apresiasi budaya masyarakat Jawa Kuno akan alam sekitar.
Adapun isi prasasti Jaring berupa pengabulan permohonan penduduk desa Jaring oleh Sri Gandra melalui Senapati Sarwwajala yang dapat disamakan dengan laksamana atau panglima angkatan laut. Adanya penyebutan jabatan itu, maka besar kemungkinan kerajaan Kediri telah mempunyai angkatan laut yang kuat dan menunjukkan kemajuan Kediri dalam bidang maritim. Sehingga dapat diketahui bahwa pada masa raja Sri Gandra, pejabat kemiliteran mengalami perluasan peran tidak hanya sebatas menangani urusan perang atau kemiliteran, tetapi juga urusan sipil masyarakat.
Perkembangan agama
Corak keagamaan pada masa Kadiri dapat dilihat dari tinggalan arkeologis yang ditemukan di daerah Kediri. Candi Gurah dan Candi Tondowongso menunjukkan latar belakang agama Hindu khususnya Siwa berdasarkan dari berbagai arcanya yang ditemukan. Candi Kepung Petirtaan yang dilihat adalah bersifat Hindu karena tidak terlihat adanya unsur Buddha pada struktur arsitekturnya, sedangkan di situs Adan-adan terdapat penemuan antara lain arca Dhyanibuddha Amitabha, fragmen lapik arca, dan kepala arca Bodhisatwa. Temuan tersebut menandakan bahwa peninggalan situs Adan-adan ini termasuk peninggalan Buddha aliran Mahayana.
Beberapa prasasti menyebutkan nama abhiseka atau nama gelar penobatan dari raja yang merupakan serapan dan berhubungan dengan Wisnu dalam kaitannya dengan konsep triwikrama misalnya (mahārāja šri Sarwweswara Triwikramāwatāraānindita). Triwikrama adalah nama lain dari Wamana. Wamana adalah awatara Mahawisnu kelima, yang telah menghitung tiga dunia dengan tiga langkahnya. Hanya saja hal ini tidak secara langsung membuktikan bahwa Wisnuisme yang berkembang masa itu. Sebab landasan filosofis yang dikenal di Pulau Jawa ialah, semua raja dipandang sebagai titisan Dewa Wisnu dalam mengurus rakyat dan dunia atau kerajaannya. Dalam sistem sosial kerajaan di masa tersebut terjadi hubungan dimana seorang raja dianggap merupakan titisan dewa yang merupakan konsep dewaraja yang membuat seorang raja memiliki kedudukan istimewa, raja dianggap sebagai pusat daya magis, yang merefleksikan daya magisnya pada alam sekitarnya sesuai dengan pandangan kosmologis masyarakat Jawa pada saat itu. Oleh karena itu, raja dianggap mempunyai pengaruh untuk memproteksi warganya agar tercapai suatu kesejahteraan.
Pengaruh dalam budaya
Pada masa pemerintahan Sri Kameswara seorang pujangga bernama Mpu Dharmaja menciptakan mahakarya Kakawin Smaradahana (Asmaradahana) yang didedikasikan untuk Sri Kameswara dan permaisurinya Sri Kirana Ratu, putri dari kerajaan Janggala. Kakawin Smaradahana juga mengisahkan terbakarnya dewa Kamajaya dan dewi Ratih, menjelang kelahiran Ganesha. Pasangan dewa-dewi tersebut kemudian menitis dalam diri Sri Kameswara dan permaisurinya yang bernama Sri Kirana, dan dianggap merupakan inspirasi awal yang memunculkan cerita Panji, kisah cinta yang terinspirasi dari raja Kameswara dengan Sri Kirana. cerita Panji terfokus pada peyualangan romantika tokoh Panji dalam menemukan kekasih hatinya yaitu Candra Kirana.
Cerita Panji mengalami perkembangan pesat dan tersebar luas pada zaman Majapahit. Cerita Panji menggambarkan kisah percintaan dan peperangan dari dua kerajaan, yaitu Jenggala dan Panjalu. Cerita Panji dengan tokoh sentral Inu Kertapati dan Galuh Chandrakirana memiliki banyak versi dan tersebar hingga ke wilayah Asia Tenggara. Selain Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sumatera, kisah Panji juga menyebar hingga ke Thailand, Kamboja, Laos, Filipina, Malaysia, Vietnam dan Myanmar.[10] Tokoh Raden Inu Kertapati diadaptasi dalam karya sastra dan drama tari dengan nama yang bervariasi, seperti Inao/อิเหนา (Siam), Inav/Eynao (Khmer), atau E-naung (Birma), sementara Dewi Sekartaji dikenal sebagai Bussaba/Bessaba. Di Sulawesi, ada cerita panji yang ditulis dalam bahasa Makassar, yang disebut Hikayat Cekele (Bahasa Melayu: Cekel).[11]
Pada era Panjalu atau sering disebut dengan Kadiri, penanggalan dalam prasasti terbilang lengkap. Menurut de Casparis , prasasti masa Kadiri umumnya mempunyai 14 hingga 15 unsur dalam penanggalan, berupa tahun (warsa), bulan (masa), paksa, tithi, minggu, planet, naksatra, dewata, yoga, wuku, karana, mandala, parwesa, rasi. Unsur-unsur penanggalan tersebut menunjukkan kemajuan pengetahuan leluhur terkait ilmu astronomi tradisional. Pengetahuan akan waktu ditandai juga dengan bintang, planet, rasi dan elemen langit lainnya.
Pada masa Kediri dikenali memiliki gaya penulisan aksaranya yang disebut dengan huruf "Kadiri Kwadrat" (Kadiri Block Letter) atau aksara kuadrat yaitu aksara Kawi yang ditulis besar dan tebal serta memiliki ciri khas penulisannya tersendiri yang menonjol dan umumnya menyerupai bidang persegi empat atau bujursangkar dengan gaya timbul. Karena bentuknya yang persegi empat ini maka dinamakan dengan aksara kwadrat, adalah merupakan huruf spesifik yang hanya berasal dari "Masa Kadiri" dan tidak terdapat pada masa-masa Jawa Kuno lainnya. Hurufnya yang ditonjolkan keluar, mirip pahatan relief. dan berhias ornamentasi flora dan lainnya. Menjadikan aksara Kadiri kwadrat selain indah juga menunjukkan identitas budaya dari masa kerajaan Kediri. Pada masa kejayaan kerajaan Kadiri, aksara kwadrat juga berfungsi menunjukkan pengaruh pada daerah-daerah di sekitarnya. Persebaran aksara Kadiri kwadrat meliputi Wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah (tebing batu di Dataran Tinggi Dieng), Bali bahkan juga diketemukan di Candi Muaro Jambi di Sumatera.
Hubungan dengan Bali
Sejak pernikahan antara Dharma Udayana Warmadewa dengan Mahendradatta yang kemudian melahirkan Airlangga terlihat juga perkawinan peradaban antara kebudayaan Jawa Timur dan Bali, terjadi penguatan-penguatan peradaban dan menghasilkan beberapa perubahan yang mengarah terjadinya integrasi budaya Hindu Jawa di Bali. sekaligus tercapainya puncak kebudayaan Jawa-Bali Hindu di Bali terutama pada masa kekuasaan Raja Udayana ini Tampak terjadi penguatan penggunaan Bahasa Jawa Kuno yang di Bali disebut sebagai Bahasa Kawi yang tampaknya sejak saat itu semakin sering dipergunakan sebagaimana dapat dilihat dari aspek sosial budaya, hukum, pertahanan, ekonomi dan politik.
Di Pulau Bali, terdapat adanya unsur kata "Jaya" yang digunakan pada keempat gelar raja Bali Kuno. Adanya unsur yang sama tersebut rupanya bukan semata-mata bersifat kebetulan tetapi juga menunjukkan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka. Kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka diperkuat oleh keterangan dalam Kakawin Bhāratayuddha. Dalam kitab itu, dikatakan bahwa Sri Jayabhaya dari Kadiri sempat meluaskan kekuasaannya ke Nusantara bagian timur dan tidak ada pulau yang sanggup mempertahankan diri dari kekuasaan Jayabhaya.[12]
Empat orang raja yang menggunakan unsur Jaya dalam gelarnya, yaitu Śri Maharaja Śri Jayaśakti tahun 1055-1072 Saka (1133-1150 M), setelah Jayasakti yang memerintah adalah Śri Maharaja Śri Ragajaya tahun 1077 Saka (1155 M). Ragajaya kemudian digantikan oleh Raja Śri Maharaja Jayapangus tahun 1099-1103 Saka (1178-1181 M). Dan lalu Śri Maharaja Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Sri Arjaryya Dengjaya Ketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun 1122 Saka (1200 M).[13]
Hubungan kekeluargaan di antara mereka tidak diketahui secara pasti. Walaupun demikian, berdasarkan kelaziman dalam sistem pergantian kepala negara suatu kerajaan tradisional serta digunakannya unsur jaya dalam gelar masing-masing raja itu maka kemungkinan besar hubungan antara raja yang satu dan penggantinya merupakan hubungan ayah dengan anaknya. Jika tidak demikian, paling tidak mereka dipertalikan oleh hubungan kekeluargaan yang sangat dekat. Masa pemerintahan keempat raja itu hampir sezaman dengan masa pemerintahan raja-raja Jayabhaya (1135-1159 M), Sri Sarweswara (1159-1169 M), Sri Aryeswara (1169-1180 M), Kroncaryadhipa atau Sri Gandra (1180-1182 M), Kameswara (1182-1194 M), dan Kertajaya atau Srengga (1194-1222 M) di kerajaan Kadiri di Jawa Timur.[14]
Ekonomi
Perekonomian kerajaan Kediri sangat bergantung pada perdagangan luar negerinya. Ekspor Jawa antara lain adalah gading, cula badak, mutiara, kayu wangi seperti kayu cendana, adas, cengkih, pala, sejenis belati yang disebut keris, belerang, kesumba, nuri putih, benang sulam, kapas, kain kepar, dan lain-lain, diproduksi di daerah-daerah yang menjadi vasal Kediri, seperti cengkih di Maluku dan kayu cendana di Pulau Timor. Lada adalah target utama kapal dagang Cina. Di sisi lain, impor dari Tiongkok termasuk piring emas dan perak, pernis, seladon dan perlengkapan porselen putih, dan bahan kimia seperti sinabar, tawas, dan arsen sulfida yang digunakan dalam produksi pencelupan dan kerajinan tangan. Selain itu, meskipun memiliki mata uangnya sendiri, sejumlah besar koin dari Dinasti Song dibawa masuk ke negara tersebut, yang menyebabkan berkembangnya ekonomi moneter di Kediri.[15]
Menurut sumber berita dari Tiongkok, pekerjaan utama orang Panjalu berkisar pada pertanian (bercocok tanam padi), peternakan (sapi, babi hutan, unggas), dan perdagangan rempah-rempah. Daha, ibu kota Kerajaan Panjalu, terletak di pedalaman, dekat lembah sungai Brantas yang subur. Dari masa pemerintahan kerajaan sebelumnya Kahuripan, Panjalu mewarisi sistem irigasi, termasuk bendungan Waringin Sapta. Perekonomian Panjalu sebagian dimonetisasi, dengan koin emas dan perak yang dikeluarkan oleh istana. Pada periode-periode selanjutnya, perekonomian Kadiri tumbuh dengan lebih bertumpu pada perdagangan, khususnya perdagangan rempah-rempah. Hal ini dihasilkan dari pengembangan angkatan laut Kediri, memberi mereka kesempatan untuk mengontrol jalur perdagangan rempah-rempah ke pulau-pulau timur. Panjalu mengumpulkan rempah-rempah dari anak sungai di Kalimantan bagian selatan dan Kepulauan Maluku. Orang India dan Asia Tenggara kemudian mengangkut rempah-rempah ke pasar Mediterania dan Tiongkok melalui Rute Rempah-rempah yang menghubungkan rantai pelabuhan dari Samudra Hindia ke Cina selatan.
Pertanian, peternakan, dan perdagangan berkembang pesat dan mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Dia melaporkan bahwa peternakan ulat sutera untuk memproduksi pakaian sutra dan katun telah diadopsi oleh orang Jawa pada waktu itu. Tidak ada hukuman fisik (penjara atau penyiksaan) bagi para penjahat. Sebaliknya, orang yang melakukan perbuatan melawan hukum terpaksa membayar denda berupa emas, kecuali pencuri dan perampok yang dieksekusi mati. Dalam adat perkawinan, keluarga mempelai wanita menerima mas kawin berupa emas dari mempelai pria. Alih-alih mengembangkan pengobatan medis, masyarakat Panjalu mengandalkan doa kepada dewa dan Buddha. Pada bulan ke-5 tahun ini, festival air dirayakan dengan orang-orang yang bepergian dengan perahu di sepanjang sungai untuk merayakannya. Pada bulan ke-10, festival lain diadakan di pegunungan. Orang-orang akan berkumpul di sana untuk bersenang-senang dan memainkan berbagai musik dengan instrumen seperti seruling, gendang, dan gambang kayu (bentuk gamelan kuno).
Hubungan dengan kekuatan regional
Kerajaan Kadiri yang berkuasa di Jawa bersama dengan kedatuan Sriwijaya yang berbasis di Sumatera sepanjang abad ke 12 hingga ke-13, tampaknya telah mempertahankan hubungan perdagangan dengan Tiongkok dan sampai batas tertentu dengan India. Catatan Cina mengidentifikasi kerajaan ini sebagai Tsao-wa atau Chao-wa (Jawa), sejumlah catatan dari Tiongkok menandakan bahwa penjelajah dan pedagang Cina sering mengunjungi kerajaan ini. Hubungan dengan India adalah hubungan budaya, karena sejumlah Rakawi yaitu penyair atau sarjana Jawa menulis literatur yang diilhami oleh mitologi, kepercayaan, dan epos Hindu seperti Mahabharata dan Ramayana. Pada abad ke-11, hegemoni Sriwijaya di kepulauan Nusantara mulai menurun, ditandai dengan invasi Rajendra Chola dari kerajaan Chola ke Semenanjung Malaya dan Sumatera. Melemahnya hegemoni Sriwijaya telah memungkinkan terbentuknya kerajaan-kerajaan regional seperti Panjalu, yang berbasis pertanian intensif selain daripada pesisir dan perdagangan. Belakangan kerajaan Kadiri juga berhasil menguasai jalur perdagangan rempah-rempah ke Maluku.[16]
Menurut berita Cina, dan kitab Ling-wai-tai-ta diterangkan bahwa; dalam kehidupan sehari-hari orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut. Rambutnya diurai. Rumah-rumah mereka bersih dan teratur, lantainya ubin yang berwarna kuning dan hijau. Raja mengenakan pakaian sutra, sepatu kulit dan perhiasan emas berukir. Rambutnya disanggul tinggi-tinggi di atas kepala dan memakai lonceng emas. Setiap hari, dia akan menerima pejabat negara, dan menjalankan kerajaannya, di atas takhta persegi. Setelah pertemuan, pejabat negara akan membungkuk tiga kali kepada raja. Jika raja bepergian ke luar istana, raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 sampai 700 tentara bersenjata dan pejabat, sementara rakyatnya, orang-orang Panjalu, bersujud saat raja lewat dan baru berdiri setelahnya.
Tiga pangeran ditunjuk sebagai asisten raja. Ada pejabat bergelar simajie (sāmya haji) dan luojielian (rakryan). Mereka mengelola urusan negara bersama-sama seperti menteri utama di pusat, tetapi tidak memiliki gaji tetap, dihadiahi hasil bumi asli dan barang-barang lainnya. Di bawah mereka ada tiga ratus atau lebih juru tulis yang didelegasikan administrasi kota, perbendaharaan negara, lumbung, dan tentara. Para komandan militer dibayar dua puluh tael emas setahun. Tentara memiliki 30.000 tentara yang juga dibayar dengan jumlah emas yang bervariasi setiap tahun. Adat di negeri ini adalah melangsungkan akad nikah tanpa menggunakan mak comblang. Pihak keluarga laki-laki cukup memberikan hadiah berupa emas kepada keluarga pihak perempuan untuk dinikahkan. Mereka tidak menetapkan hukuman untuk sebagian besar kejahatan. Pihak yang bersalah hanya menebus dirinya dengan membayar denda dalam bentuk emas yang besarnya tergantung dari keseriusan kejahatannya. Hanya perampokan yang dihukum mati.
Ada banyak monyet di pegunungan, dan mereka tidak takut pada manusia. Saat orang memanggil mereka dengan suara "xiao, xiao" (yaitu, bersiul), mereka langsung keluar. Saat buah-buahan dilemparkan ke mereka, monyet terbesar keluar lebih dulu. Penduduk setempat menyebutnya Raja Kera. Setelah selesai makan, monyet lainnya memakan apa yang ditinggalkannya. Di negeri ini terdapat kebun bambu tempat diadakannya sabung ayam dan adu babi hutan. Rumah mereka megah dan dihiasi dengan emas dan batu giok. Pedagang yang berkunjung ditempatkan di wisma tamu. Makanan mereka kaya dan memperhatikan kebersihan. Penduduk setempat membuat rambut mereka terurai dan tidak terikat; pakaian mereka dililitkan di dada dan sampai ke lutut. Saat sakit, mereka tidak minum obat tetapi hanya berdoa kepada dewa dan Buddha. Orang-orang telah memberikan nama tetapi bukan nama keluarga (marga). Mereka terburu nafsu dan suka berperang dan memiliki permusuhan jangka panjang dengan Sanfoqi (Sriwijaya); kedua negara sering saling menyerang. [17]
Masih menurut Chou Ku-fei bahwa kerajaan Panjalu kekuasaannya sangat luas dan kaya raya, menurutnya di dunia saat itu ada tiga kerajaan kaya yaitu kekhalifahan Abbasiyah yang berkuasa di Arab, kerajaan Panjalu yang menguasai bagian timur Nusantara dan Sriwijaya yang menguasai bagian barat Nusantara.[18]
Chou Ju-kua (Pinyin: Zhào Rǔguò; 1170-1231) seorang pegawai resmi Dinasti Song menuliskan dalam bukunya Zhu-fan-zhi (Hanzi: 諸蕃志; Wade–Giles: Chu-fan-chi) menggambarkan bahwa, di kepulauan Asia Tenggara ada dua kerajaan yang kuat dan kaya: Sriwijaya dan Jawa (Panjalu). Di Jawa ia menemukan bahwa orang-orang menganut dua agama, Buddha dan agama Brahmana (Hindu). Orang Jawa adalah pemberani dan pemarah, mereka berani untuk melawan. Waktu luangnya dipergunakan untuk mengadu binatang, hiburan favoritnya adalah sabung ayam dan adu babi. Mata uangnya dibuat dari campuran tembaga, perak dan timah.
Dalam kitab Chu-fan-chi menyebut bahwa maharaja Jawa mempunyai wilayah jajahan: Pai-hua-yuan (Pacitan), Ma-tung (Medang), Ta-pen (Tumapel, sekarang Malang), Hi-ning (Dieng), Jung-ya-lu (Hujung Galuh, sekarang Surabaya), Tung- ki (Jenggi, Papua Barat), Tak-kang (Sumba), Huang-ma-chu (Papua Barat Daya), Ma-li (Bali), Kulun (Gurun, diidentifikasi sebagai Gorong atau Sorong di Papua Barat atau sebuah pulau di Nusa Tenggara[butuh rujukan]), Tan-jung-wu-lo (Tanjungpura di Kalimantan), Ti-wu (Timor), Pingya-i (Banggai di Sulawesi), dan Wu-nu-ku (Maluku).[19][20][21][22][23]
Mengenai Sriwijaya, Chou-Ju-kua melaporkan bahwa Kien-pi (Kampe, di Sumatera bagian utara) dengan pemberontakan bersenjatanya telah membebaskan diri dari pengaruh Sriwijaya, dan menobatkan raja mereka sendiri. Nasib yang sama menimpa beberapa koloni Sriwijaya di Semenanjung Malaya yang membebaskan diri dari dominasi Sriwijaya. Namun Sriwijaya masih negara terkuat dan terkaya di bagian barat Nusantara. Koloni Sriwijaya adalah: Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t'ing (Jelutong), Ts'ien-mai (?), Pa-t'a (Paka), Tan-ma -ling (Tambralinga, Ligor atau Nakhon Si Thammarat), Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara Semenanjung Malaya), Pa-lin-fong (Palembang ), Sin-t'o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), dan Si-lan. Menurut sumber ini, pada awal abad ke-13 Sriwijaya masih menguasai Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa bagian barat (Sunda). Mengenai Sunda, buku tersebut merinci bahwa pelabuhan Sunda (Sunda Kelapa) sangat bagus dan letaknya strategis, serta lada hitam dari Sunda termasuk yang kualitasnya terbaik. Masyarakatnya bekerja di bidang pertanian; rumah mereka dibangun di atas tiang kayu (rumah panggung). Namun negara itu penuh dengan perampok dan pencuri.
Keruntuhan
Kerajaan Kediri runtuh pada masa pemerintahan Prabu Kertajaya dan turut dikisahkan dalam kitab Pararaton juga di Nagarakretagama.
Pada tahun 1222, raja Srengga atau Kertajaya sedang berselisih dengan kaum Brahmana dan para pendeta, penyebabnya karena ia sang raja berkeinginan untuk disembah selayaknya dewa. Kaum agamawan yang menolak dan dengan kondisi yang terpojok tersebut lalu kemudian pergi meninggalkan ibu kota kerajaan Dahanapura dan meminta perlindungan kepada seorang akuwu di Tumapel (sekitar Malang sekarang) yang bernama Ken Angrok. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita ingin memerdekakan wilayah Tumapel yang merupakan daerah bawahan dari Kadiri.
Puncak peperangan antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat Desa Ganter, di mana "palagan (medan perang) Ganter" terjadi di wilayah timur Kadiri. Tatkala pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kadiri. Kertajaya sendiri disebutkan melarikan diri dan bersembunyi naik menuju kahyangan.
Kitab Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (alam tempat dewa). Kedua naskah tersebut sama-sama memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kemungkinan yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau Kertajaya tewas dianggap telah meninggal dan pergi ke alam para dewa.
Dengan demikian, berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari. Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah di bawah kekuasaan Tumapel. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 (1180 Saka) Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 (1193 Saka) Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
... 2. Tahun Saka Laut Manusia (1144) itulah sirnanya raja Kertajaya. Atas perintah Siwaputera, Jayasabha berganti jadi raja. Tahun Saka delapan satu satu (1180) Sastrajaya raja Kediri. Tahun tiga sembilan Siwa Raja (1193) Jayakatwang raja terakhir...
— (Kakawin Nagarakretagama, Pupuh 44).
Pada tahun 1292, raja bawahan sekaligus besan dari raja Kertanegara yaitu Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanagara, Jayakatwang membangun kembali kerajaan leluhurnya, yakni Kadiri. Namun hanya bertahan selama satu tahun (1292-1293) selanjutnya Jayakatwang dapat dikalahkan dan Kadiri benar-benar berakhir runtuh akibat serangan yang dilancarkan oleh pasukan gabungan dari Kekaisaran Mongol dibawah komando Ike Mese dan pasukan menantu Kertanagara, Raden Wijaya pendiri dari Majapahit.
Daftar penguasa
Raja-raja Pangjalu yang berkuasa di Kadhiri
Masa pemerintahan | Sri/Maharaja | Prasasti dan berita |
---|---|---|
1042-1051 | Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa (Sri Samarawijaya) |
Disebutkan di prasasti Pucangan (1041), Pandan (1042), Pamwatan (1042). Bergelar rakryan mahamantri i hino (putra mahkota) diduga adalah raja pertama Panjalu setelah pembagian kerajaan oleh Airlangga kepada kedua putranya. |
1051-1112 | Sri Maharaja Jyitêndra Kara Wuryyawiryya Parakrama Bhakta (Sri Jitendrakara) |
Disebutkan dalam prasasti Mataji (1051). |
1112-1135 | Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwana Tustikarana Sarwaniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa (Sri Bameswara) |
prasasti Tapan, prasasti Tiru Kidul, prasasti Karanggayam (1112), prasasti Padlegan (1117), prasasti Panumbangan (1120), prasasti Geneng (1128), prasasti Candi Tuban (1129), prasasti Tangkilan (1130), prasasti Sukorejo (1131), prasasti Besole (1132), prasasti Pagiliran (1134), prasasti Karangrejo (1134), prasasti Bameswara (1135). |
1135-1159 | Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa (Jayabaya) |
Disebutkan dalam Kakawin Bhāratayuddha, prasasti Hantang (1135), Talan (1136) dan Jepun (1144). Janggala ditaklukkan dan bersatu kembali dengan Kadiri. |
1159-1169 | Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardanawatara Wijaya Agrajasama Singhadani Waryawirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa (Sri Sarweswara) |
Disebutkan dalam prasasti Padlegan II (1159), Kahyunan (1161) dan Rini (1164). |
1169-1180 | Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara Madhusudanawatara Arijamuka Sakalabhuwana Ritiniwiryya Parakrama Uttunggadewa (Sri Aryeswara) |
Disebutkan dalam prasasti Mleri (1169) dan Angin (1171). |
1180-1182 | Sri Maharaja Koncaryadipa Handabhuwanapadalaka Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa Sri Gandra (Sri Gandra) |
Disebutkan dalam prasasti Manggar (1180) dan Jaring (1181). |
1182-1194 | Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Kameswara Sakalabhuwana Tustikarana Sarwaniwaryyawiryya Parakrama Digjaya Uttunggadewa (Kameswara) |
Disebutkan dalam prasasti Semanding (1182) dan Ceker (1185). |
1194-1222 | Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa (Kertajaya) |
Disebutkan dalam prasasti Sapu Angin (1190), prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Subhasita/Mleri II, (1198 M), prasasti Biri (1202), prasasti Tuliskriyo (1202), prasasti Sumberingin (1204), prasasti Lawadan (1205), prasasti Merjosari (1216), Nagarakretagama (1365) dan Pararaton. Gugur tahun 1144 Saka (1222). |
Pemberontakan Jayakatwang dari Gelang-gelang atau Gegelang yang menghidupkan kembali dinasti kedua Kadiri yang berumur pendek. | ||
1292-1293 | Sri Jayakatwang (Jayakatwang) |
Disebutkan dalam prasasti Kudadu (1294), Kakawin Nagarakretagama (1365) dan Kitab Pararaton. |
Warisan budaya
Lihat pula
Daftar pustaka
- H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Didahului oleh: Medang Kahuripan |
Kerajaan Hindu-Buddha 1042 - 1222 |
Diteruskan oleh: Tumapel |
Referensi
- ^ https://www.britannica.com/place/Kadiri
- ^ Kediri archeological discovery offers clues on ancient kingdom Diarsipkan 2007-03-28 di Wayback Machine., The Jakarta Post, 24 March 2007.
- ^ https://storymaps.arcgis.com/stories/39bce63e4e0642d3abce6c24db470760
- ^ https://www.britannica.com/place/Kediri-regency-Indonesia
- ^ a b Wignjosoebroto, Wiranto. MENCARI JEJAK KAHURIPAN; Kerajaan Hindu Tertua dan Terlama di Tanah Jawa. Penerbit K-Media. ISBN 978-602-6287-19-9.
- ^ "Prasasti Kamalagean dusun Klagen, desa Tropodo, kecamatan Krian, kabupaten Sidoarjo Jaw". Informasi Situs Budaya Indonesia. 2017-09-18. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ http://www.spaetmittelalter.uni-hamburg.de/java-history/JavaNK/Java1365.Nagara-Kertagama.Canto.63-69.html
- ^ https://storymaps.arcgis.com/stories/39bce63e4e0642d3abce6c24db470760
- ^ https://www.kedirikota.go.id/p/dalamberita/6351/silsilah-raja-raja-kerajaan-kediri-dan-asal-usulnya
- ^ https://www.museumnasional.or.id/panji-cerita-asli-indonesia-1836
- ^ Dr. Cense (1889). Band. Tijdschr. V. Ind. Taal, Land-en Volkenkunde 32, h. 424; Poerbatjaraka (1968). Tjerita Pandji dalam Perbandingan. h. 410; Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. h. 42 dan 355.
- ^ Krom, 1956:hlm.154-155
- ^ Dawan, Lanang (Sabtu, 14 Mei 2011). "ŚRI SURADHIPA". PEMECUTAN-BEDULU-MAJAPAHIT. Diakses tanggal 2019-12-18.
- ^ cf. Damais, 1952:hlm.66-71 ; Sumadio dkk., 1990:hlm.267-272, 306.
- ^ "Sejarah Kerajaan Kediri: Awal Berdiri, Kejayaan, hingga Keruntuhannya". 2024-07-17. Diakses tanggal 2024-07-20.
- ^ https://www.britannica.com/place/Kadiri
- ^ https://storymaps.arcgis.com/stories/39bce63e4e0642d3abce6c24db470760
- ^ https://repositori.kemdikbud.go.id/18404/
- ^ Soekmono, R. (1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed (dalam bahasa indonesian). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 60.
- ^ Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
- ^ Hirth, F. (1911). Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg. .
- ^ Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel, ed. Sriwijaya. PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1.
- ^ Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X.