Friedrich Nietzsche

filsuf Jerman (1844–1900)
(Dialihkan dari Friedrich Nietszche)

Friedrich Wilhelm Nietzsche (Jerman: [ˈfʁiːdʁɪç ˈvɪlhɛlm ˈniːtʃə] ;[10][11] 15 Oktober 1844 – 25 Agustus 1900) adalah seorang filsuf, penulis prosa, kritikus budaya, dan filolog Jerman yang karyanya memberikan pengaruh yang sangat besar pada filsafat kontemporer. Ia memulai karirnya sebagai seorang filolog klasik sebelum beralih ke bidang filsafat. Ia menjadi orang termuda yang menjabat sebagai Professor Filologi Klasik di Universitas Basel di usia 24 tahun pada tahun 1869. Namun, ia mengundurkan diri pada tahun 1879 karena masalah kesehatan yang terus mengganggu hidupnya. Pada tahun 1889, di usia 44 tahun, ia terjatuh dan kehilangan kemampuan mentalnya yang disertai kelumpuhan dan kemungkinan demensia vaskular. Dia kemudian menjalani sisa hidupnya dalam perawatan ibunya, dan kemudian saudara perempuannya, Elisabeth Förster-Nietzsche. Pada tahun 1900, Nietzsche meninggal setelah menderita pneumonia dan stroke yang menimpanya.

Friedrich Nietzsche
Friedrich Nietzsche di Basel, 1875.
LahirFriedrich Wilhelm Nietzsche
(1844-10-15)15 Oktober 1844
Röcken, Saxony, Prusia, Konfederasi Jerman
Meninggal25 Agustus 1900(1900-08-25) (umur 55)
Weimar, Saxony, Kekaisaran Jerman
KebangsaanJerman
AlmamaterUniversitas Bonn
Universitas Leipzig
EraFilsafat abad ke-19
KawasanFilsafat barat
Aliran
Minat utama
Gagasan penting
Tanda tangan

Karya Nietzsche meliputi polemik-polemik filosofis, puisi, kritik budaya, dan fiksi. Ia juga mempunyai minat terhadap pepatah dan ironi. Unsur-unsur utama dalam filsafatnya mencakup kritik radikal terhadap kebenaran dan sudut pandang perspektivisme; kritik genealogi agama dan moralitas Kristen serta teori terkait moralitas tuan-budak; krisis nihilisme yang mendalam sebagai akibat dari “kematian Tuhan” dan afirmasi estetika kehidupan sebagai respons terhadapnya; gagasan tentang kekuatan Apollonian dan Dionysian; dan karakterisasi subjek manusia sebagai ekspresi dari kehendak untuk bersaing, yang secara kolektif dipahami sebagai kehendak untuk berkuasa. Dia juga mengembangkan konsep-konsep berpengaruh seperti Übermensch, amor fati dan pengulangan abadi. Dalam karyanya yang kemudian, ia semakin berfokus pada kekuatan kreativitas individu untuk mengatasi persoalan budaya dan moral dengan tujuan untuk menciptakan nilai-nilai baru. Karya filsafatnya mencakup berbagai bidang antara lain seni, filologi, sejarah, musik, agama, tragedi, budaya, dan sains. Ia mendapatkan inspirasi dari tragedi Yunani dan tokoh-tokoh seperti Zoroaster, Arthur Schopenhauer, Ralph Waldo Emerson, Richard Wagner, dan Johann Wolfgang von Goethe.

Setelah kematiannya, saudara perempuan Nietzsche, Elisabeth, menjadi kurator dan editor manuskrip-manuskripnya. Dia mengedit tulisan-tulisan Nietzsche yang belum diterbitkan agar sesuai dengan ideologi ultranasionalis Jerman. Elisabeth sering kali mengaburkan dan memutarbalikkan pendapat Nietzsche, yang secara eksplisit menentang antisemitisme dan nasionalisme. Oleh karena itu, karya-karya Nietzsche kemudian dianggap sebagai landasan fasisme dan Nazisme. Para sarjana seperti Walter Kaufmann, RJ Hollingdale, dan Georges Bataille membela Nietzsche dan mengoreksi penerbitan-penerbitan karyanya yang sebelumnya. Pemikiran Nietzsche mempunyai dampak besar pada para pemikir filsafat abad ke-20 dan awal abad ke-21—terutama pada aliran filsafat kontinental seperti eksistensialisme, postmodernisme, dan pasca-strukturalisme — serta seni, sastra, puisi, politik, dan budaya populer.

Kehidupan

sunting

Masa muda (1844–1868)

sunting
 
Nietzsche Muda, 1861

Nietzsche dibesarkan di kota Röcken (sekarang bagian dari Lützen), dekat Leipzig, di Provinsi Saxony, Prusia.[12] Ia diberi nama seperti nama Raja Friedrich Wilhelm IV dari Prusia (di masa hidupnya, Nietzsche kemudian menghilangkan nama tengahnya, Wilhelm).[13] Ayah Nietzsche, Carl Ludwig Nietzsche (1813–1849), adalah seorang pendeta Lutheran[14] dan mantan guru; Ayahnya menikah dengan ibunya, Franziska Nietzsche (née Oehler) (1826–1897), pada tahun 1843, setahun sebelum kelahiran putra mereka. Orang tua Nietzsche mempunyai dua anak lain selain Nietzsche: seorang putri, Elisabeth Förster-Nietzsche, lahir pada tahun 1846; dan putra kedua, Ludwig Joseph, lahir pada tahun 1848. Ayah Nietzsche meninggal karena penyakit otak pada tahun 1849; Adik Nietzsche, Ludwig Joseph, meninggal enam bulan kemudian pada usia dua tahun.[15] Keluarganya kemudian pindah ke Naumburg, tempat mereka tinggal bersama nenek dari pihak ibu Nietzsche dan dua saudara perempuan ayahnya yang belum menikah. Setelah kematian nenek Nietzsche pada tahun 1856, keluarga tersebut pindah ke rumah mereka sendiri, yang sekarang dikenal sebagai Nietzsche-Haus, sebuah museum dan pusat studi Nietzsche.

Nietzsche bersekolah di sekolah khusus laki-laki dan kemudian melanjutkan studi di sekolah swasta, tempat ia bertemu dan berteman dengan Gustav Krug dan Wilhelm Pinder. Mereka bertiga berasal dari keluarga yang sangat dihormati. Catatan akademis dari salah satu sekolahnya menunjukkan bahwa performa akademis Nietzsche sangat baik dalam bidang teologi Kristen.[16]

Pada tahun 1854, dia mulai melakukan studi di Domgymnasium di Naumburg. Karena ayahnya pernah bekerja untuk pemerintah (sebagai pendeta), Nietzsche ditawari beasiswa untuk belajar di Schulpforta, sebuah sekolah yang reputasinya diakui secara internasional (klaim bahwa Nietzsche diterima berdasarkan kompetensi akademisnya telah dibantah: nilainya tidak dekat dengan peringkat teratas di kelas).[17] Dia belajar di Schulpforta dari tahun 1858 hingga 1864. Di sana, ia berteman dengan Paul Deussen dan Carl von Gersdorff. Ia juga menyempatkan diri untuk menulis puisi dan komposisi musik. Nietzsche menjadi ketua "Germania", sebuah klub musik dan sastra selama musim panas di Naumburg.[18] Di Schulpforta, Nietzsche mendapat pelajaran penting dalam bidang bahasa, antara lain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Prancis—yang dimaksudkan agar ia dapat membaca sumber-sumber primer yang penting.[19]

 
Nietzsche muda

Nietzsche juga merupakan seorang komposer amatir.[20] Dia membuat beberapa komposisi suara, piano, dan biola sejak tahun 1858 di Schulpforta. Komposer Jerman Richard Wagner menganggap rendah musik Nietzsche; ia diduga mengejek komposisi piano yang dikirim oleh Nietzsche sebagai hadiah ulang tahun kepada istri Wagner, Cosima pada tahun 1871. Konduktor dan pianis Jerman Hans von Bülow juga menilai karya Nietzsche yang lain sebagai "draf musik paling tidak menyenangkan dan paling antimusik yang pernah saya dengar dalam waktu yang lama".[21]

Setelah lulus pada bulan September 1864,[22] Nietzsche melanjutkan studi ke perguruan tinggi untuk mempelajari teologi dan filologi klasik di Universitas Bonn dengan tujuan untuk menjadi seorang pendeta. Dalam beberapa waktu, dia dan Deussen ikut menjadi anggota dalam perhimpunan mahasiswa Burschenschaft di Franken. Setelah satu semester berjalan, dia menghentikan studi teologinya dan kehilangan keyakinan keagamaannya.[23] Pada awal esainya yang berjudul "Fate and History" pada tahun 1862, Nietzsche berpendapat bahwa penelitian sejarah telah mendiskreditkan ajaran utama agama Kristen.[24] Salah satu karya sejarah yang mempunyai pengaruh yang besar pada pemikiran Nietzsche pada waktu itu adalah Kehidupan Yesus, Kajian Secara Kritis karya David Strauss.[23] Dalam karyanya itu, Strauss tidak menyangkal keberadaan Yesus; akan tetapi Strauss berpendapat bahwa mukjizat dalam Perjanjian Baru hanyalah tambahan mitos yang tidak mempunyai dasar faktual yang nyata.[25][26][27] Selain itu, Esensi Kekristenan karya Ludwig Feuerbach juga mempengaruhi Nietzsche muda dengan argumennya bahwa manusialah yang telah menciptakan Tuhan, dan bukan sebaliknya.[28] Pada bulan Juni 1865, di usia 20 tahun, Nietzsche menulis surat kepada saudara perempuannya yang sangat religius, Elisabeth, mengenai hilangnya keyakinannya. Surat ini berisi pernyataan berikut:

Oleh karena itu, jalan-jalan manusia terbelah. Jika kamu ingin mendapatkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan, maka berimanlah; jika kamu ingin menjadi pengikut kebenaran, maka selidikilah."[29]

 
Filsuf Arthur Schopenhauer sangat mempengaruhi pemikiran filosofis Nietzsche.

Nietzsche kemudian berkonsentrasi melanjutkan studi filologi di bawah bimbingan Profesor Friedrich Wilhelm Ritschl di Universitas Leipzig.[30] Di sana ia berteman dekat dengan sesama mahasiswa Erwin Rohde. Publikasi filologi pertama Nietzsche muncul segera setelah pertemanan mereka.

Arthur Schopenhauer adalah filsuf yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap pemikiran Nietzsche. Nietzsche mengatakan bahwa Schopenhauerlah yang mengubahnya menjadi seorang filsuf. Nietzsche pertama kali mengenal Schopenhauer pada tahun 1865, ketika dia secara tidak sengaja menemukan buku Schopenhauer, The World as Will and Representation, di sebuah toko buku bekas di Leipzig. Ia kemudian membeli buku itu dan mempelajarinya secara menyeluruh. Dampaknya langsung terasa, seperti yang diakui Nietzsche:

Saya termasuk pembaca Schopenhauer yang tahu dengan pasti bahwa setelah membaca halaman pertama, akan membaca setiap halaman, dan akan mendengarkan setiap kata yang diucapkannya... Saya memahami Schopenhauer seolah-olah dia menulis khusus diperuntukkan bagi saya.[31]

Pada tahun 1866, ia juga mempelajari karya Friedrich Albert Lange, History of Materialism. Deskripsi Lange tentang filsafat anti-materialisme Kant, kebangkitan Materialisme Eropa, meningkatnya kepedulian orang-orang Eropa terhadap sains, teori evolusi Charles Darwin, dan pemberontakan umum terhadap tradisi dan otoritas sangat menarik minat Nietzsche. Karya Lange dan juga pemikir-pemikir neo-Kantianisme lain yang menekankan hubungan antara filsafat Kant dengan ilmu-ilmu alam pada waktu itu mempengaruhi perspekfif naturalisme Nietzsche.[32]

Pada tahun 1867, Nietzsche sempat mengikuti dinas militer di divisi artileri Prusia di Naumburg selama setahun. Dia dianggap sebagai salah satu pengendara kuda terbaik di antara rekan-rekannya. Namun, pada bulan Maret 1868, saat hendak melompat ke atas pelana kudanya, Nietzsche terjatuh dan merobek dua otot di tubuh bagian kirinya. Hal ini membuatnya tidak dapat berjalan selama berbulan-bulan.[33][34] Oleh karena itu, ia kembali mengalihkan perhatiannya pada studinya yang ia selesaikan pada tahun 1868. Di tahun yang sama, Nietzsche bertemu Richard Wagner, seorang komposer yang juga mengagumi Schopenhauer, untuk pertama kalinya.[35]

Professor di Basel (1869–1879)

sunting
 
Kiri ke kanan: Erwin Rohde, Karl von Gersdorff dan Nietzsche, Oktober 1871

Pada tahun 1869, dengan dukungan Ritschl, Nietzsche menerima tawaran untuk menjadi profesor filologi klasik di Universitas Basel di Swiss. Pada waktu itu, ia baru berusia 24 tahun dan belum menyelesaikan gelar doktor dan mendapatkan sertifikat mengajar (“habilitasi”). Ia dianugerahi gelar doktor kehormatan oleh Universitas Leipzig pada bulan Maret 1869.[36] Hingga saat ini, Nietzsche tercatat salah satu profesor tetap termuda di bidang Sastra Klasik.[37]

Penelitian doktoral Nietzsche pada tahun 1870 berjudul "Kontribusi terhadap Studi dan Kritik terhadap Sumber Diogenes Laertius" ("Beiträge zur Quellenkunde und Kritik des Laertius Diogenes"), yang meneliti asal usul gagasan Diogenes Laërtius.[38] Meskipun tidak pernah dikirimkan, tesis itu kemudian diterbitkan sebagai 'publikasi yang disertai dengan ucapan selamat' di Basel.[39]

Sebelum pindah ke Basel, Nietzsche melepaskan kewarganegaraan Prusianya: selama sisa hidupnya ia tetap tidak memiliki kewarganegaraan.[40][41]

Namun demikian, Nietzsche sempat bertugas di pasukan Prusia sebagai petugas medis selama Perang Perancis-Prusia (1870–1871). Dalam waktu singkatnya di militer, ia mengalami banyak hal dan menyaksikan dampak traumatis dari pertempuran. Ia juga terjangkit difteri dan disentri.[42] Filsuf Walter Kaufmann berspekulasi bahwa pada masa inilah Nietzsche tertular sifilis di rumah bordil bersama dengan infeksi lainnya.[43][44] Sekembalinya ke Basel, Nietzsche menyaksikan berdirinya Kekaisaran Jerman dan diangkatnya Otto von Bismarck sebagai kanselir Jerman yang pertemu. Nietzsche juga bertemu dengan Franz Overbeck, seorang profesor teologi yang tetap menjadi temannya sepanjang hidupnya. Seorang filsuf Rusia yang kurang begitu dikenal, Afrikan Spir, yang menulis Pemikiran dan Realitas tahun 1873 dan rekan Nietzsche, sejarawan terkenal Jacob Burckhardt, yang kuliahnya sering dihadiri Nietzsche, mulai memberikan pengaruh yang signifikan terhadapnya.[45]

Nietzsche bertemu komposer Richard Wagner dan istrinya, Cosima di Leipzig pada tahun 1868. Nietzsche sangat mengagumi keduanya. Selama tinggal di Basel, ia sering mengunjungi rumah Wagner di Tribschen di Lucerne sehingga mereka mempunyai hubungan pertemanan yang sangat baik. Karena itulah, Nietzsche juga mengenal komposer Franz Liszt.[46] Pada tahun 1870, ia memberi Cosima Wagner sebuah naskah "The Genesis of the Tragic Idea" sebagai hadiah ulang tahun. Pada tahun 1872, Nietzsche menerbitkan buku pertamanya, The Birth of Tragedy. Namun, rekan-rekannya di bidang filologi, termasuk Ritschl, tidak menunjukkan antusiasme terhadap karya Nietzsche yang dianggap menghindari metode filologi klasik dan memilih pendekatan yang lebih spekulatif. Dalam polemiknya Philology of the Future, Ulrich von Wilamowitz-Moellendorff mengkritik buku Nietzsche. Sebagai tanggapan, Rohde (saat itu menjadi profesor di Kiel) dan Wagner membela Nietzsche. Nietzsche berkomentar bahwa ia merasa terasingkan dalam komunitas filologi dan berkeinginan untuk berpindah posisi sebagai akademisi filsafat di Basel, meskipun gagal.[butuh rujukan]

 
Nietzsche, tahun 1872

Pada tahun 1873, Nietzsche mulai mengumpulkan catatan-catatannya yang kemudian diterbitkan secara anumerta sebagai Filsafat di Zaman Tragis Yunani. Antara tahun 1873 dan 1876, ia menerbitkan empat esai panjang secara terpisah: "David Strauss: Sang Pemberi Pengakuan dan Penulis", "Tentang Penggunaan dan Penyalahgunaan Sejarah dalam Kehidupan", "Schopenhauer sebagai Pendidik", dan "Richard Wagner di Bayreuth". Keempat esai itu kemudian muncul dalam sebuah edisi buku dengan judul Untimely Meditations. Esai-esai tersebut mempunyai tema dengan orientasi kritik budaya, menentang perkembangan budaya Jerman yang direkomendasikan oleh Schopenhauer dan Wagner. Selama berada di lingkaran pertemanan dengan keluarga Wagner, dia bertemu Malwida von Meysenbug dan Hans von Bülow. Ia juga memulai persahabatan dengan Paul Rée yang mempengaruhinya untuk menghilangkan pesimisme dalam tulisan-tulisan awalnya pada tahun 1876. Di sisi lain, ia juga menjadi sangat kecewa dengan Festival Bayreuth tahun 1876, karena ia menganggap pertunjukan Wagner menjadi dangkal dan membuatnya muak. Ia juga tidak setuju dengan pembelaan Wagner terhadap "budaya Jerman", serta perayaan ketenaran Wagner di kalangan masyarakat Jerman. Semua ini berkontribusi pada keputusannya untuk menjauhkan diri dari Wagner.[butuh rujukan]

Dengan diterbitkannya Human, All Too Human pada tahun 1878 (sebuah buku berisi aforisme dengan tema tentang metafisika hingga moralitas dan agama), pendirian Nietzsche, yang pada waktu itu sangat dipengaruhi oleh Pemikiran dan Realitas karya Afrikan Spir,[47] menjadi jelas: ia merespon filsafat pesimisme Wagner dan Schopenhauer. Pada tahun 1879, karena kesehatannya yang menurun secara signifikan, Nietzsche harus mengundurkan diri sebagai akademisi di Basel dan pensiun dini.[48]

Filsuf independen (1879–1888)

sunting
 
Lou Salomé, Paul Rée dan Nietzsche melakukan perjalanan melalui Italia pada tahun 1882. Mereka berencana untuk mendirikan komune pendidikan bersama, tetapi persahabatan tersebut berakhir pada akhir tahun 1882 karena ketertarikan romantis Rée dan Nietzsche pada Lou Andreas-Salomé.

Hidup dari uang pensiunnya dari Universitas Basel dan bantuan dari teman-temannya, Nietzsche sering bepergian untuk mencari iklim yang lebih kondusif bagi kesehatannya. Hingga tahun 1889, ia menjadi penulis independen di berbagai kota. Nietzsche banyak menghabiskan waktu musim panasnya di Sils Maria dekat St. Moritz di Swiss, dan musim dingin di kota Genoa, Rapallo, dan Turin di Italia, serta kota Nice di Prancis. Pada tahun 1881, ketika Perancis menduduki Tunisia, ia berencana melakukan perjalanan ke Tunis tetapi kemudian membatalkan gagasan tersebut kemungkinan karena alasan kesehatan.[49] Nietzsche kadang-kadang kembali ke Naumburg untuk mengunjungi keluarganya. Pada masa ini, ia dan saudara perempuannya, Elisabeth berulang kali terlibat dalam pertengkaran.

Saat tinggal di Genoa, penglihatan Nietzsche yang menurun mendorongnya untuk menggunakan mesin tik sebagai sarana untuk terus menulis. Pada akhirnya, salah satu mantan muridnya, Peter Gast, menjadi sekretaris pribadi Nietzsche. Pada tahun 1876, Gast mentranskripsikan tulisan tangan Nietzsche yang hampir tidak terbaca bersama dengan Richard Wagner di Bayreuth.[50] Gast kemudian menyalin dan mengoreksi hampir seluruh karya Nietzsche. Pada Februari 1880, Gast menerima 200 mark dari teman Nietzsche, Paul Rée.[51] Sampai akhir hidup Nietzsche, Gast dan Overbeck tetap menjadi teman setianya. Malwida von Meysenbug juga tetap menjadi teman yang berperan layaknya seorang ibu bagi Nietzshce.

Pada tahun 1882, Nietzsche menerbitkan bagian pertama The Gay Science. Di tahun yang sama, ia juga bertemu dengan Lou Andreas-Salomé,[52] yang dikenalnya melalui Malwida von Meysenbug dan Paul Rée.

Lou Salomé pindah bersama ibunya ke Roma ketika ia berusia 21 tahun. Di salon sastra di kota itu, Salomé berkenalan dengan Paul Rée. Rée kemudian melamarnya, tetapi Salomé mengusulkan agar mereka tinggal dan belajar bersama sebagai "saudara laki-laki dan saudara perempuan", bersama dengan pria lain dengan tujuan agar mereka dapat mendirikan sebuah komunitas akademis.[53] Rée menerima gagasan itu dan menyarankan agar Nietzsche bergabung. Keduanya bertemu Nietzsche di Roma pada bulan April 1882. Nietzsche diyakini langsung jatuh cinta pada Salomé, sama halnya seperti Rée. Nietzsche meminta Rée untuk melamar Salomé untuk Nietzsche, namun ditolak oleh Salomé. Salomé hanya tertarik kepada Nietzsche sebagai teman, bukan sebagai calon suami.[53]

Meski demikian, Nietzsche senang bergabung dengan Rée dan Salomé. Mereka bertiga selajutnya melakukan perjalanan bersama ibu Salomé melewati Italia dan mempertimbangkan tempat komunitas akademik yang akan mereka dirikan. Mereka bermaksud mendirikan komunitas mereka di sebuah biara yang telah ditinggalkan, tetapi tidak ditemukan lokasi yang cocok. Pada tanggal 13 Mei, di Lucerne, ketika Nietzsche sedang sendirian bersama Salomé, Nietzsche dengan sungguh-sungguh melamarnya lagi, namun ditolaknya.[53] Setelah mengetahui adanya perasaan Nietzsche terhadap Salomé, saudara perempuan Nietzsche, Elisabeth, bertekad untuk menjauhkan Nietzsche dari Salomé yang dianggapnya "wanita tidak bermoral".[54] Nietzsche dan Salomé menghabiskan musim panas bersama di Tautenburg di Thuringia bersama dengan saudara perempuan Nietzsche, Elisabeth. Salomé menulis bahwa Nietzche memintanya untuk menikah dengannya pada tiga kesempatan terpisah dan dia selalu menolak, meskipun kebenaran lamaran yang ketiga kalinya ini dipertanyakan.[55]

Pada bulan November 1882, Rée dan Salomé meninggalkan Nietzsche menuju Stibbe (sekarang Zdbowo di Polandia)[56] tanpa rencana untuk bertemu lagi. Nietzsche kemudian mengalami depresi. Ia terus menulis kepada Rée, "Kita akan bertemu lagi dari waktu ke waktu, bukan?"[57] Dalam kesempatan lain, Nietzsche menulis kegagalannya dalam merayu Salomé disebabkan oleh hubungan Salomé dan Rée, serta intrik saudara perempuannya (yang telah menulis surat kepada keluarga Salomé dan Rée untuk mengganggu rencana pernikahannya). Pada tahun 1883, Nietzsche menulis bahwa dia merasakan kebencian yang mendalam terhadap saudara perempuannya.[57]

Dengan penyakit baru yang dideritanya, dan hidup terisolasi setelah perselisihan dengan ibu dan saudara perempuannya mengenai Salomé, Nietzsche pergi ke Rapallo, tempat dia menulis bagian pertama Thus Spoke Zarathustra dalam sepuluh hari.

 
Foto Nietzsche oleh Gustav-Adolf Schultze, 1882

Pada tahun 1882, Nietzsche mengonsumsi opium dalam dosis yang besar, tetapi dia masih mengalami kesulitan tidur.[58] Pada tahun 1883, saat tinggal di Nice, dia menulis resep untuk dirinya sendiri untuk mendapatkan obat penenang kloral hidrat, dan menandatanganinya dengan "Dr. Nietzsche".[59]

Dia telah berpaling dari pengaruh filsafat Schopenhauer. Setelah dia memutuskan hubungan pertemanan dengan Wagner, Nietzsche hanya mempunyai sedikit teman. Dengan karyanya, Zarathustra, ia menjadi semakin terasing karena karyanya itu tidak begitu laku di pasar. Nietzsche menyadari hal ini dan bertahan dalam kesendiriannya, meski ia sering mengeluh. Buku-bukunya sebagian besar masih belum terjual. Pada tahun 1885, ia hanya mencetak 40 eksemplar bagian keempat Zarathustra dan membagikan sebagian kepada teman-teman dekatnya, termasuk Helene von Druskowitz.

Pada tahun 1883, Nietzsche mencoba untuk menjadi akademisi lagi di Universitas Leipzig, namun ditolak oleh universitas. Menurut surat yang ditulisnya kepada Peter Gast, hal ini disebabkan oleh "sikapnya terhadap agama Kristen dan konsep Tuhan".[60]

Pada tahun 1886, Nietzsche memutuskan hubungan dengan penerbitnya, Ernst Schmeitzner, karena muak dengan antisemitismenya. Nietzsche kemudian mempublikasikan Beyond Good and Evil dengan biaya sendiri. Di tahun berikutnya, ia menerbitkan edisi kedua The Birth of Tragedy, Human, All Too Human, Daybreak, dan The Gay Science. Setelah itu, ia beristirahat untuk sementara waktu dan berharap jumlah pembacanya akan segera bertambah. Selama tahun-tahun ini Nietzsche bertemu dengan Meta von Salis, Carl Spitteler, dan Gottfried Keller.

Pada tahun 1886, saudara perempuannya, Elisabeth menikah dengan Bernhard Förster, seorang penganut antisemitisme. Mereka kemudian melakukan perjalanan ke Paraguay untuk mendirikan Nueva Germania, sebuah koloni "Jerman".[61][62] Melalui korespondensi, hubungan Nietzsche dengan Elisabeth berlanjut meski disertai dengan banyak pertengkaran. Nietzsche dan Elisabeth baru bertemu kembali setelah ia mengalami penyakit mental.

Pada tahun 1887, Nietzsche menulis sebuah karya polemik Tentang Genealogi Moralitas. Di tahun yang sama, dia menemukan karya Fyodor Dostoyevsky. Nietzsche merasakan kedekatan dengan Dostoyevsky setelah membaca karya-karyanya.[63] Dia juga bertukar surat dengan Hippolyte Taine dan Georg Brandes. Brandes, yang merupakan pengajar filsafat Søren Kierkegaard pada tahun 1870-an, menulis kepada Nietzsche untuk memintanya membaca karya Kierkegaard. Nietzsche merespons bahwa dia akan datang ke Kopenhagen dan mempelajari karya Kierkegaard. Namun, sebelum memenuhi janjinya, Nietzsche terjatuh dan mengalami penyakit mental yang parah. Pada awal tahun 1888, Brandes menyampaikan salah satu kuliah pertama tentang filsafat Nietzsche di Kopenhagen.

Meskipun Nietzsche telah mengumumkan di akhir buku On the Genealogy of Morality, bahwa sebuah karya baru dengan judul The Will to Power: Attempt at a Revaluation of All Values, ia tampaknya telah meninggalkan gagasan ini. Sebagai gantinya, ia menggunakan beberapa bagian drafnya untuk menulis Twilight of the Idols dan The Antichrist pada tahun 1888.[64]

Pada tahun 1888, setelah menyelesaikan Twilight of the Idols dan The Antichrist, Nietzsche memutuskan untuk menulis sebuah otobiografi, Ecce Homo. Dalam kata pengantarnya, Nietzsche menulis bahwa ia sangat menyadari kesulitan penafsiran yang kemungkinan akan dihasilkan oleh karya-karyanya.[65] Pada bulan Desember 1888, Nietzsche memulai korespondensi dengan August Strindberg. Ia mempertimbangkan jika tidak ada terobosan internasional, maka ia akan berusaha membeli kembali tulisan-tulisannya yang lama dari penerbitnya untuk diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa lainnya. Selain itu, ia merencanakan penerbitan kompilasi Nietzsche contra Wagner dan puisi-puisi yang menjadi koleksinya Dionysian-Dithyrambs.

Gangguan mental dan kematian (1889–1900)

sunting
 
Gambar oleh Hans Olde dari serial fotografi The Nietzsche III, akhir tahun 1899

Pada tanggal 3 Januari 1889, Nietzsche mengalami gangguan mental.[66] Dua polisi mendatanginya karena dia menyebabkan keributan publik di sebuah jalan di Turin. Apa yang sebenarnya terjadi tidak diketahui. Namun, kisah yang sering diceritakan tak lama setelah kematiannya menunjukkan bahwa Nietzsche melihat pencambukan seekor kuda di dekat Piazza Carlo Alberto. Ia kemudian berlari ke arah kuda tersebut, merangkul leher kuda tersebut untuk melindunginya, lalu terjatuh ke tanah.[67][68] Dalam beberapa hari berikutnya, Nietzsche mengirimkan tulisan pendek—dikenal sebagai Wahnzettel atau Wahnbriefe (secara harfiah berarti "Catatan Delusi" atau "surat")—ke sejumlah temannya termasuk Cosima Wagner dan Jacob Burckhardt. Surat tersebut ditandatangani dengan nama "Dionysus", beberapa surat lain dikirim dengan tertanda "der Gekreuzigte" yang berarti "yang disalib".[69]

Selain itu, dalam surat-suratnya, Nietzsche juga memerintahkan kaisar Jerman untuk pergi ke Roma untuk ditembak mati serta meminta penguasa Eropa untuk mengambil tindakan militer terhadap Jerman.[70] Dia juga menulis bahwa paus harus dipenjara, bahwa Nietzsche telah menciptakan dunia, dan bahwa ia sedang dalam proses untuk menembak mati semua orang yang anti-Semit.[71]

Pada bulan Januari 1889, Burckhardt menunjukkan surat yang diterima dari Nietzsche kepada Overbeck. Keesokan harinya, Overbeck menerima surat serupa. Ia menyarankan agar teman-teman Nietzsche membawanya kembali ke Basel. Overbeck kemudian pergi ke Turin dan membawa Nietzsche ke sebuah klinik psikiatri di Basel. Pada waktu itu, Nietzsche benar-benar telah mengalami penyakit mental yang serius.[72] Ibunya, Franziska memutuskan untuk memindahkannya ke sebuah klinik di Jena di bawah arahan Otto Binswanger.[73] Pada bulan November 1889 hingga Februari 1890, sejarawan dan budayawan Julius Langbehn berusaha menyembuhkan Nietzsche. Ia mengklaim bahwa metode para dokter tidak efektif dalam mengobati kondisi Nietzsche.[74] Pada bulan Mei 1890, Franziska memutuskan membawa Nietzsche pulang ke rumahnya di Naumburg.[72] Di masa ini, Overbeck dan Gast memikirkan apa yang harus dilakukan dengan karya Nietzsche yang tidak diterbitkan. Pada bulan Februari, mereka berencana untuk mencetak lima puluh eksemplar edisi pribadi Nietzsche contra Wagner, tetapi penerbit CG Naumann mencetak seratus eksemplar. Overbeck dan Gast memutuskan untuk menahan penerbitan The Antichrist dan Ecce Homo karena kontennya yang dianggap lebih radikal.[75][76]

Pada tahun 1893, saudara perempuan Nietzsche, Elisabeth, kembali dari Nueva Germania di Paraguay setelah suaminya bunuh diri. Dia mempelajari karya-karya Nietzsche sedikit demi sedikit dan mulai mengambil kendali atas penerbitannya. Elisabeth meminta agar Overbeck dan Gast tidak lagi mengurus karya Nietzsche. Setelah kematian ibu Nietzsche, Franziska, pada tahun 1897, Nietzsche tinggal di Weimar bersama Elisabeth yang merawatnya. Elisabeth sering menerima pengunjung, termasuk Rudolf Steiner (yang pada tahun 1895 telah menulis Friedrich Nietzsche: Pejuang Melawan Zaman, salah satu buku pertama yang memuji Nietzsche).[77] Elisabeth mempekerjakan Steiner sebagai tutor untuk membantunya memahami filosofi kakaknya. Steiner mengundurkan diri setelah beberapa bulan dengan alasan tidak mungkin mengajari Elisabeth apa pun tentang filsafat.[78]

 
Setelah kerusakan tersebut, Peter Gast "mengoreksi" tulisan Nietzsche tanpa persetujuannya.

Kegilaan Nietzsche awalnya didiagnosis sebagai penyakit sifilis tersier, sesuai dengan paradigma medis yang berlaku pada waktu itu. Penulis Georges Bataille berpendapat bahwa "Manusia yang 'berinkarnasi' juga harus menjadi gila."[79] Psikoanalisis postmortem René Girard mengemukakan bahwa persaingan dan perselisihan Nietzsche dengan Richard Wagner sebagai penyebab kejatuhan Nietzsche.[80] Terdapat penentangan terhadap diagnosis sifilis. Studi-studi yang dilakukan oleh Cybulska dan Schain menunjukkan bahwa Nietzsche lebih tepat didiagnosis dengan penyakit manik-depresif dengan psikosis periodik yang diikuti oleh demensia vaskular.[81][82] Psikolog Leonard Sax menyatakan bahwa lambatnya pertumbuhan meningioma retro-orbital sisi kanan Nietzsche sebagai penjelasan demensia yang dialaminya;[83] Orth dan Trimble berpendapat bahwa Nietzsche terkena demensia frontotemporal,[84] sedangkan peneliti lain berpendapat Nietzsche mengalami stroke berdasarkan keturunan yang disebut CADASIL.[85] Akibat-akibat lain seperti keracunan raksa, dan pengobatan sifilis[86] juga dianggap sebagai penyebab penyakit mental Nietzsche.[87]

 
Makam Nietzsche di Röcken di Jerman, dengan patung Das Röckener Bacchanal oleh Klaus Friedrich Messerschmidt (2000)

Pada tahun 1898 dan 1899, Nietzsche menderita stroke dua kali. Penyakit stroke yang dideritanya menyebabkan sebagian tubuhnya mengalami kelumpuhan, tidak dapat berbicara dan berjalan. Kemungkinan besar ia menderita hemiparesis klinis atau hemiplegia di sisi kiri tubuhnya pada tahun 1899. Setelah tertular pneumonia pada pertengahan Agustus 1900, ia kembali terserang stroke pada malam tanggal 24-25 Agustus dan meninggal pada siang hari pada tanggal 25 Agustus.[88] Elisabeth menguburkannya di samping makam ayahnya di dekat gereja di Röcken dekat Lützen. Teman dan sekretaris Nietzsche, Gast, memberikan orasi pemakamannya. Ia menyatakan: "Sucilah namamu untuk semua generasi mendatang!"[89]

Elisabeth Förster-Nietzsche kemudian menyusun The Will to Power dari buku catatan Nietzsche yang tidak diterbitkan. Ia menerbitkan karya itu secara anumerta pada tahun 1901. Terdapat konsensus di kalangan akademisi yang mempelajari filsafat Nietzsche bahwa buku yang diterbitkan oleh Elisabeth tidak mencerminkan pemikiran Nietzsche. Bahkan, akademisi Mazzino Montinari, editor Nachlass karya Nietzsche, menyebut upaya Elisabeth sebagai sebuah pemalsuan.[90]

Kewarganegaraan dan etnis

sunting

Para sarjana dan komentator umumnya menyebut Nietzsche sebagai "filsuf Jerman".[91][92][30][93] Beberapa sarjana tidak memberinya kategori kebangsaan tertentu.[94][95][96] Meskipun pada waktu itu, Jerman belum bersatu menjadi sebuah negara-bangsa, Nietzsche dilahirkan sebagai warga negara Prusia, yang sebagian besar merupakan bagian dari Konfederasi Jerman.[97] Tempat kelahirannya, Röcken, berada di negara bagian Saxony-Anhalt, Jerman modern. Ketika ia menjadi profesor di Basel, Nietzsche mengajukan permohonan pembatalan kewarganegaraan Prusia-nya.[98] Pencabutan resmi kewarganegaraannya tercantum dalam dokumen tertanggal 17 April 1869, [99] dan selama sisa hidupnya ia tetap tidak memiliki kewarganegaraan.

Menjelang akhir hidupnya, Nietzsche percaya bahwa nenek moyangnya adalah orang Polandia.[100] Dia mengenakan cincin meterai berlambang Radwan yang berasal dari bangsawan Polandia pada abad pertengahan[101] dan nama keluarga "Nicki" dari keluarga bangsawan Polandia (szlachta).[102][103] Gotard Nietzsche, anggota keluarga Nicki, meninggalkan Polandia menuju Prusia. Keturunannya kemudian menetap di Elektorat Sachsen sekitar tahun 1700.[104] Nietzsche menulis pada tahun 1888, "Nenek moyang saya adalah bangsawan Polandia (Nietzky)."[105] Pada satu waktu, Nietzsche bersikeras tentang identitas Polandianya, "Saya murni seorang bangsawan Polandia, tanpa setetes pun darah buruk, dan yang pasti bukan darah Jerman."[106] Pada kesempatan lain, Nietzsche menyatakan, “Jerman menjadi bangsa yang besar hanya karena rakyatnya memiliki begitu banyak darah Polandia di dalam nadi mereka... Saya bangga dengan keturunan Polandia saya."[107] Nietzsche percaya bahwa namanya mungkin telah mengalami Jermanisasi. Dalam satu suratnya ia menulis, "Saya diajari untuk menganggap asal usul darah dan nama saya berasal dari bangsawan Polandia yang dipanggil Niëtzky dan meninggalkan rumah dan kebangsawanan mereka sekitar seratus tahun yang lalu; akhirnya harus menyerah pada penindasan yang tak tertahankan karena mereka Protestan."[108]

Kebanyakan sarjana membantah keterangan Nietzsche tentang asal usul keluarganya. Hans von Müller membantah silsilah yang dikemukakan oleh saudara perempuan Nietzsche yang menganggap sebagai keturunan bangsawan Polandia.[109] Max Oehler, sepupu Nietzsche dan kurator Arsip Nietzsche di Weimar, berpendapat bahwa semua nenek moyang Nietzsche memiliki nama Jerman, termasuk keluarga istri.[105] Oehler mengklaim bahwa Nietzsche memiliki silsilah panjang pendeta Lutheran Jerman pada kedua sisi keluarganya, dan para sarjana modern menganggap klaim keturunan Polandia Nietzsche sebagai "rekaan semata-mata".[110] Colli dan Montinari, editor kumpulan surat Nietzsche, menganggap klaim Nietzsche sebagai "keyakinan yang salah" dan "tanpa dasar".[111][112] Nama Nietzsche sendiri bukanlah nama Polandia, tetapi nama yang sangat umum di seluruh Jerman bagian tengah (serumpun dengan nama-nama seperti Nitsche dan Nitzke). Nama tersebut berasal dari nama depan Nikolaus, disingkat Nick; berasimilasi dengan Slavia Nitz; pertama menjadi Nitsche dan kemudian Nietzsche.[105]

Tidak diketahui mengapa Nietzsche ingin dianggap sebagai bangsawan Polandia. Menurut penulis biografinya, RJ Hollingdale, penyebaran mitos leluhur Polandia oleh Nietzsche mungkin merupakan bagian dari "kampanye melawan Jerman".[105] Nicholas D. More menyatakan bahwa klaim Nietzsche bahwa ia memiliki garis keturunan termasyhur adalah parodi. Ia juga mencurigai subjudul-subjudul yang memuji diri sendiri di karya Nietzsche, Ecce Homo, seperti "Mengapa Saya Begitu Bijaksana", sebagai sebuah sindiran.[113] Ia menyimpulkan bahwa silsilah Polandia yang dikemukakan Nietzsche hanyalah sebuah lelucon.[113]

Hubungan asmara dan seksualitas

sunting

Nietzsche tidak pernah menikah. Dia melamar Lou Salomé tiga kali dan selalu ditolak.[114] Sebuah teori menjelaskan bahwa penolakan itu disebabkan pandangan Salomé tentang seksualitas. Seperti yang diutarakan dalam novelnya, Fenitschka, tahun 1898, Salomé memandang hubungan seksual sebagai sesuatu yang terlarang dan pernikahan sebagai sebuah pelanggaran, dengan beberapa orang berpendapat bahwa hal tersebut mengindikasikan penindasan seksual dan neurosis.[115]

Deussen berpendapat untuk memahami cara berpikir Nietzsche tentang perempuan, perlu menelaah kunjungannya ke rumah bordil di Cologne pada bulan Februari 1865. Pada waktu itu, Nietzsche diam-diam pergi rumah bordil dan dengan kikuk ia memutuskan untuk pergi setelah melihat "setengah lusin perempuan mengenakan payet dan kerudung." Menurut Deussen, Nietzsche "tidak pernah memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya. Baginya, perempuan harus mengorbankan diri demi kepentingan laki-laki."[116] Akademisi Joachim Köhler mengklaim bahwa Nietzsche adalah seorang homoseksual. Köhler juga berpendapat bahwa dugaan sifilis Nietzsche sebagai akibat dari perjumpaannya dengan seorang pelacur di rumah bordil di Köln atau Leipzig kemungkinan besar juga benar. Beberapa pihak berpendapat bahwa Nietzsche tertular penyakit di rumah bordil pria di Genoa."[117] Penularan infeksi dari rumah bordil homoseksual adalah teori yang diyakini oleh Sigmund Freud, yang mengutip Otto Binswanger sebagai sumbernya.[118] Köhler juga menyatakan bahwa Nietzsche memiliki hubungan romantis dan persahabatan dengan Paul Rée.[119] Terdapat klaim bahwa homoseksualitas Nietzsche dikenal luas di Vienna Psychoanalytic Society, dengan teman Nietzsche, Paul Deussen, mengklaim bahwa "dia adalah pria yang belum pernah menyentuh seorang wanita."[120][121]

Pandangan Köhler tidak diterima secara luas di kalangan sarjana dan komentator Nietzsche. Sebaliknya, Nietzsche dikabarkan sering mengunjungi rumah bordil heteroseksual.[122] Penulis Nigel Rodgers dan Mel Thompson berpendapat bahwa penyakit dan sakit kepala yang terus-menerus menghalangi Nietzsche untuk mendekati wanita. Namun mereka memberikan contoh lain ketika Nietzsche mengungkapkan rasa cintanya kepada wanita, termasuk istri Wagner, Cosima Wagner.[123]

Sarjana lain berpendapat bahwa penafsiran berbasis seksualitas Köhler tidak membantu dalam memahami filsafat Nietzsche.[124][125] Terdapat juga sarjana yang menekankan bahwa, jika Nietzsche lebih menyukai laki-laki—dengan preferensi yang membentuk sifat psiko-seksualnya—tetapi tidak bisa mengakui keinginannya sendiri, itu berarti tindakannya bertentangan dengan filsafatnya.[126]

Filsafat

sunting

Karena gaya menggugah dan ide-ide provokatif Nietzsche, filosofinya menimbulkan reaksi yang luar biasa. Dalam filsafat Barat, tulisan-tulisan Nietzsche dideskripsikan sebagai sebuah pemikiran revolusioner bebas, yaitu, bersifat revolusioner dalam struktur dan permasalahannya, meskipun tidak terikat pada proyek revolusioner apa pun.[127] Sebagian orang memandang bahwa tulisan-tulisannya merupakan karya yang visioner karena filosofinya dianggap telah menjadi landasan kelahiran kembali budaya Eropa.[128][129]

Apollonian dan Dionysian

sunting

Apollonian dan Dionysian adalah konsep filosofis yang didasarkan pada dua tokoh dalam mitologi Yunani kuno, Apollo dan Dionisos. Hubungan dari keduanya berbentuk dialektika.[130] Meskipun konsep tersebut dibahas dalam karya Nietzsche, Kelahiran Tragedi, penyair Hölderlin telah terlebih dahulu membicarakannya. Sama halnya, Winckelmann juga telah mendiskusikan karakter Bacchus dalam karyanya.

Dalam drama tragedi Yunani, Nietzsche menemukan sebuah bentuk seni yang melampaui suatu pesimisme yang dikenal dengan kebijaksanaan Silenus. Penonton Yunani Kuno, dengan melihat ke dalam jurang penderitaan manusia yang digambarkan oleh karakter di atas panggung, dengan penuh semangat dan kegembiraan mengafirmasi kehidupan dan tetap menganggap bahwa kehidupan adalah sesuatu yang layak untuk dijalani. Tema utama dalam The Birth of Tragedy adalah perpaduan Kunsttriebe ("impuls artistik") Dionysian dan Apollonian yang membentuk seni dramatis atau tragedi. Apollo melambangkan harmoni, kemajuan, kejelasan, logika, dan prinsip individuasi, sedangkan Dionisos melambangkan ketidakteraturan, keracunan, emosi, ekstasi, dan kesatuan (karenanya prinsip individuasi dihilangkan). Nietzsche menggunakan dua kekuatan ini karena, baginya, dunia pikiran dan keteraturan di satu sisi, serta gairah dan kekacauan di sisi lain, membentuk prinsip-prinsip yang mendasar bagi kebudayaan Yunani:[131][132] Apolonia adalah keadaan bermimpi, penuh ilusi; dan Dionysian adalah keadaan mabuk, mewakili pembebasan naluri dan penghilangan batas.[133]

Karakter Apollonian dan Dionysian muncul dalam tragedi Yunani: pahlawan dalam drama tersebut, seorang protagonis utama, berjuang untuk membentuk tatanan (Apollonian) di tengah nasib kehidupannya sendiri yang tidak adil dan kacau (Dionysian); pada akhirnya ia meninggal dan gagal mencapai tujuannya. Dalam konteks ini, dengan merujuk kepada konsep Hamlet sebagai seorang intelektual yang tidak dapat mengambil keputusan, Nietzsche berpendapat bahwa tokoh Dionysian memiliki pemahaman bahwa tindakannya tidak dapat mengubah keseimbangan segala sesuatu, namun adalah memuakkan bagi tokoh Dionysian untuk tidak bertindak sama sekali.

Di samping itu, Nietzsche bersikukuh bahwa karya Aeschylus dan Sophocles merepresentasikan puncak karya artistik, suatu realisasi sebenarnya dari tragedi; dengan Euripides, dimulailah kemunduran dan kehancuran yang ditunjukkan dalam tragedi itu. Nietzsche menentang penggunaan rasionalisme dan moralitas Socrates oleh Euripides dalam tragedi-tragedinya. Ia mengklaim bahwa masuknya etika dan rasionalisme telah merampas fondasi tragedi itu, yaitu keseimbangan yang rapuh antara Dionysian dan Apollonian. Menurut Nietzsche, Socrates menekankan akal budi sedemikian rupa sehingga ia menyebarkan mitos dan penderitaan ke dalam pengetahuan manusia. Niezsche juga menolak penekanan rasionalitas yang juga dilakukan Plato dalam dialognya, yang pada akhirnya juga mempengaruhi dunia modern. Nietzsche menulis bahwa tanpa Apollonian, Dionysian tidak memiliki bentuk dan struktur untuk membuat sebuah karya seni yang koheren, dan tanpa Dionysian, Apollonian tidak memiliki vitalitas dan gairah yang diperlukan. Hanya penggabungan antara kedua kekuatan ini dalam sebuah senilah yang dapat mewakili tragedi Yunani yang terbaik.[134]

Arti penderitaan

sunting

Para sarjana yang mempelajari Nietzsche mengemukakan bahwa penderitaan mempunyai nilai yang sangat penting bagi Nietzsche. Pentingnya arti penderitaan telah dibahas di karya awalnya, Lahirnya Tragedi, dan kemudian berlanjut pada reevaluasi nilai-nilai moralitas di karya-karyanya yang selanjutnya.[135] Tujuan utama dari reevaluasi nilai-nilai moralitas adalah untuk menentukan peran dan signifikansi dari penderitaan bagi kehidupan manusia. Salah satu nilai moralitas yang dikritik keras oleh Nietzsche adalah moralitas belas kasih. Menurutnya, moralitas belas kasih adalah tidak baik bagi orang yang menjadi objek belas kasihan, dan tidak baik pula bagi orang yang berlaku belas kasih. Nietzsche menolak belas kasih karena ia menilai hal ini mengabaikan pentingnya penderitaan bagi orang yang mengalaminya. Sejalan dengan itu, ia khawatir bahwa belas kasih juga dapat melemahkan kemampuan seseorang untuk menjadi hebat. Nietzsche percaya bahwa tidak mungkin orang akan menjadi hebat tanpa mengalami penderitaan dan usaha keras yang dilakukannya secara terus menerus. Oleh karena itu, moralitas belas kasih yang berusaha menghilangkan semua penderitaan tanpa pandang bulu pasti akan melemahkan prospek kemajuan manusia.[136]

Selain itu, Nietzsche juga mengkritik etika utilitarianisme yang menyatakan bahwa tujuan moralitas yang objektif adalah untuk menghilangkan penderitaan dan meningkatkan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang. Nietzsche menyatakan bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan itu sendiri.[137] Ia mencerca kebahagiaan yang menjadi tujuan utama filsafat utilitarianisme dengan mengatakan, "kebahagiaan adalah suatu keadaan yang segera membuat manusia menjadi konyol dan rendah".[138] Dalam karyanya, (Beyond Good and Evil 225), ia menulis:

Penderitaan yang disiplin, penderitaan yang luar biasa – tahukah kamu bahwa hanya jenis disiplin inilah yang telah menciptakan segala kemajuan manusia selama ini?

Pemikiran penting Nietzsche adalah bahwa dalam suatu budaya yang berkomitmen untuk meningkatkan kebahagiaan dan menghapus penderitaan sebagai tujuannya, orang-orang hebat seperti Beethoven, Goethe dan Nietzsche tidak akan ada karena orang-orang yang mempunyai potensi besar akan mengejar dua tujuan tersebut, alih-alih mengembangkan diri dan menciptakan karya kreatif mereka. Menurut Nietzsche, keunggulan dan kemajuan manusia tidak kompatibel dengan upaya untuk mengejar kebahagiaan dan menghindari penderitaan.[139]

Perspektivisme

sunting

Nietzsche mengklaim bahwa kematian Tuhan akan berujung pada pemahaman bahwa tidak akan pernah ada perspektif universal mengenai segala sesuatu, dan bahwa gagasan tradisional tentang kebenaran obyektif menjadi tidak koheren.[140][141] Nietzsche menolak gagasan tentang kebenaran objektif, dengan alasan bahwa pengetahuan bersifat kontingen dan kondisional, relatif terhadap berbagai perspektif atau kepentingan yang berubah-ubah.[142] Hal ini berujung pada penilaian ulang secara terus-menerus terhadap aturan-aturan (yaitu aturan-aturan filsafat, metode ilmiah, dll.) sesuai dengan keadaan sudut pandang individu yang bersangkutan.[143] Pandangan ini diberi nama perspektivisme.

Di antara kritiknya terhadap filsafat konvensional Kant, Descartes, dan Plato, dalam Beyond Good and Evil, Nietzsche menyerang benda dalam dirinya sendiri dan cogito ergo sum ("Saya berpikir, maka saya ada"). Ia menganggap gagasan-gagasan itu sebagai keyakinan yang didasarkan pada penerimaan naif terhadap kekeliruan gagasan-gagasan yang mendahuluinya dan keyakinan yang tidak dapat diflasifikasi.[144] Filsuf Alasdair MacIntyre menempatkan Nietzsche pada posisi yang tinggi dalam sejarah pemikiran filsafat. Meskipun mengkritik nihilisme dan Nietzsche serta menganggapnya sebagai pertanda kerusakan,[145] MacIntyre tetap memuji Nietzsche karena dapat mengenali motif psikologis di balik filsafat moral Kant dan Hume:[146]

Pencapaian historis Nietzsche adalah memahami dengan lebih jelas dibandingkan semua filsuf lainnya... tidak hanya bahwa apa yang dianggap sebagai daya tarik objektivitas sebenarnya adalah ekspresi dari kehendak subjektif, namun juga sifat masalah yang ditimbulkannya bagi filsafat.[147]

Pemberontakan moralitas budak

sunting

Dalam Beyond Good and Evil dan On the Genealogy of Morality, Niezsche menunjukkan genealogi perkembangan sistem moral modern. Baginya, pergeseran mendasar terjadi sepanjang sejarah manusia adalah dari pemikiran "baik dan buruk" menuju "baik dan jahat".

Menurut Nietzsche, pada mulanya, sistem moralitas ditetapkan oleh para aristokrat dan penguasa peradaban kuno lainnya. Nilai-nilai aristokrat tentang baik dan buruk mencerminkan hubungan mereka dengan kasta yang lebih rendah seperti budak. Nietzsche menampilkan "moralitas utama" ini sebagai sistem moralitas asli yang dikaitkan dengan masa Yunani Homeros.[148] Pada waktu itu, menjadi "baik" berarti menjadi bahagia dan mempunyai hal-hal yang berhubungan dengan kebahagiaan: kekayaan, kekuatan, kesehatan, kekuasaan, dll. Menjadi "buruk" berarti menjadi seperti budak yang dikuasai oleh para aristokrat: miskin, lemah, sakit, menyedihkan—yang menjadi objek rasa kasihan atau rasa jijik, bukan kebencian.[149]

"Moralitas budak" berkembang sebagai reaksi terhadap moralitas tuan. Nilai-nilai yang muncul kemudian mempertentangkan antara yang baik dengan yang jahat: kebaikan dikaitkan dengan dunia yang akan datang, kasih, kesalehan, pengendalian diri, kelembutan hati, dan ketundukan; sedangkan kejahatan dikaitkan dengan hal-hal duniawi, kejam, egois, kaya, dan agresif. Nietzsche melihat moralitas budak sebagai hal yang pesimis dan menakutkan: nilai-nilainya muncul untuk meningkatkan persepsi diri para budak. Dia mengaitkan moralitas budak dengan tradisi Yahudi dan Kristen, karena moralitas itu lahir dari kebencian para budak. Nietzsche berpendapat bahwa gagasan tentang kesetaraan memungkinkan para budak untuk menolak ketidaksetaraan yang ia anggaap sebagai sesuatu yang alami pada manusia. Dengan menyangkal ketidaksetaraan yang melekat pada manusia—dalam hal kesuksesan, kekuatan, kecantikan, dan kecerdasan—para budak memperoleh sebuah metode untuk memberontak, yaitu dengan menghasilkan nilai-nilai baru sebagai dasar untuk menolak sistem moralitas aristokrat yang membuat mereka frustrasi. Hal ini dilakukan dengan menjadikan kelemahan seorang budak, misalnya, dengan memberinya label ulang sebagai “kelemahlembutan”. Menurut Nietzsche, dalam moralitas budak, "orang baik" dari sistem moralitas aristokrat kemudian dianggap sebagai "orang jahat", sedangkan definisi "orang buruk" diubah menjadi "orang baik".[150]

Nietzsche melihat sistem moralitas budak sebagai salah satu sumber nihilisme yang melanda Eropa. Ia menyerukan agar orang-orang yang luar biasa tidak merasa malu dalam menghadapi sistem moralitas yang dianggapnya berbahaya bagi kemajuan orang-orang yang luar biasa. Namun, Nietzsche juga mengingatkan bahwa moralitas pada hakikatnya tidaklah buruk; ia baik untuk masyarakat umum dan harus diserahkan kepada mereka. Sebaliknya, orang-orang yang luar biasa harus mengikuti "hukum batin" mereka sendiri.[151] Motto favorit Nietzsche, diambil dari Pindar, berbunyi: "Jadilah dirimu yang sebenarnya."[152]

Asumsi umum tentang Nietzsche adalah bahwa ia lebih memilih moralitas tuan daripada moralitas budak. Namun, sarjana terkemuka tentang Nietzsche, Walter Kaufmann, menolak interpretasi ini. Ia menulis bahwa analisis Nietzsche terhadap dua jenis moralitas ini hanya digunakan dalam pengertian deskriptif dan historis; ini tidak dimaksudkan sebagai penerimaan atau glorifikasi apa pun.[153] Di sisi lain, Nietzsche menyebut moralitas tuan memiliki "tingkat yang lebih tinggi, nilai-nilai mulia, nilai-nilai yang mengatakan YA terhadap kehidupan, nilai-nilai yang menjamin masa depan."[154] Seperti halnya “ada tingkatan kelas antar manusia”, ada juga tingkatan kelas “antar moralitas”.[155] Nietzsche menyatakan perang filosofis melawan moralitas budak dalam agama Kristen dengan konsepnya "reevaluasi semua nilai." Ia bermaksud untuk mengutamakan moralitas tuan yang ia sebut "filsafat masa depan" (Beyond Good and Evil diberi subjudul Prelude to a Philosophy of the Future).[156]

Dalam karyanya, Daybreak, Nietzsche memulai "Kampanye Melawan Moralitas".[157] Ia menyebut dirinya seorang "imoralis" dan mengkritik keras filsafat moral terkemuka pada zamannya: moralitas Kristen, Kantianisme, dan utilitarianisme. Konsep Nietzsche "Tuhan telah mati" berlaku untuk doktrin-doktrin Kristen, meskipun tidak untuk semua agama lain: ia mengklaim bahwa agama Buddha adalah agama yang sukses dan ia memujinya karena menumbuhkan pemikiran kritis.[158] Nietzsche juga melihat filsafatnya sebagai gerakan yang melawan nihilisme melalui apresiasi seni.[159]

Dalam karyanya, Ecce Homo, Nietzsche menyebut pembentukan sistem moral berdasarkan dikotomi baik dan jahat sebagai "kesalahan yang mendatangkan bencana",[160] dan ia ingin memulai evaluasi ulang nilai-nilai dunia Kristen.[161] Ia menunjukkan keinginannya untuk menghadirkan sumber nilai baru yang lebih naturalistik dengan dorongan kuat dari kehidupan itu sendiri.

Meskipun Nietzsche menyerang prinsip-prinsip Yudaisme, ia bukanlah seorang antisemit: dalam karyanya On the Genealogy of Morality, ia secara eksplisit mengutuk antisemitisme dan menunjukkan bahwa serangannya terhadap Yudaisme bukanlah serangan terhadap orang-orang Yahudi kontemporer, tetapi secara khusus merupakan serangan terhadap orang-orang Yahudi kuno.[162] Seorang sejarawan yang melakukan analisis statistik terhadap semua yang ditulis Nietzsche tentang Yahudi mengklaim bahwa referensi dan konteks yang memperjelas menunjukkan bahwa 85% komentar negatif adalah serangan terhadap doktrin Kristen atau, secara sarkastik, terhadap Richard Wagner.[butuh rujukan]

Nietzsche beranggapan bahwa antisemitisme modern adalah sesuatu yang tercela dan bertentangan dengan cita-cita ideal Eropa.[163] Penyebab antisemitisme, menurutnya, adalah karena tumbuhnya nasionalisme Eropa dan "kecemburuan dan kebencian" yang mewabah terhadap kesuksesan orang-orang Yahudi.[163] Ia menulis bahwa orang-orang Yahudi patut diberi ucapan terima kasih karena membantu menjunjung tinggi filsafat Yunani kuno,[163] karena telah melahirkan "manusia paling mulia (Kristus), filsuf paling murni (Baruch Spinoza), dan buku terkuat dan hukum moral paling efektif di dunia".[164]

Kematian Tuhan dan nihilisme

sunting

Pernyataan "Tuhan telah mati" muncul dalam beberapa karya Nietzsche (terutama dalam The Gay Science) dan telah menjadi salah satu pernyataannya yang paling terkenal. Karena itu, banyak komentator yang menganggap Nietzsche adalah seorang ateis.[165] Menurut Nietzsche, perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatnya sekularisasi di Eropa telah secara efektif 'membunuh' Tuhan Ibrahim, yang sebelumnya telah menjadi basis nilai dan arti kehidupan di Barat selama lebih dari seribu tahun. Kematian Tuhan dapat mendorong orang untuk beralih pada nihilisme, suatu pandangan bahwa tidak ada sesuatu apa pun yang bermakna, dan bahwa hidup tidak memiliki tujuan. Meskipun Nietzsche menolak moralitas dan teologi Kristen tradisional, ia juga menolak nihilisme.

Nietzsche meyakini bahwa doktrin moral Kristen pada awalnya dibangun untuk melawan nihilisme. Hal ini memberikan orang-orang dengan kepercayaan tradisional nilai-nilai moral yang baik dan jahat, kepercayaan kepada Tuhan (yang keberadaannya dapat dijadikan alasan untuk membenarkan adanya kejahatan di dunia), dan suatu kerangka pemikiran sebagai dasar bagi kebenaran objektif. Dalam membangun sebuah dunia di mana pengetahuan obyektif dianggap mungkin, Kekristenan mempunyai fungsi untuk menangkal nihilisme — suatu bentuk keputusasaan karena tidak adanya arti objektif dari kehidupan. Seperti yang dikemukakan oleh Heidegger, “Jika Tuhan sebagai landasan supraindrawi dan tujuan dari seluruh realitas sudah mati, jika dunia supraindrawi telah kehilangan kekuatan yang memaksa di atasnya, kekuatan yang menghidupkan dan membangun, maka tidak ada lagi yang tersisa untuk dilakukan, yang dapat dipegang teguh oleh manusia sebagai tujuan hidupnya.”[166]

Salah satu reaksi terhadap hilangnya makna kehidupan adalah apa yang disebut Nietzsche sebagai nihilisme pasif, yang ia anggap mewakili filsafat pesimisme Schopenhauer. Ajaran Schopenhauer, yang juga disebut Nietzsche sebagai Buddhisme Barat, adalah mengadvokasi pengunduran diri dari kehendak dan keinginan dengan tujuan untuk bebas dari penderitaan. Nietzsche menganggap sikap asketis ini sebagai "keinginan menuju ketiadaan". Menurutnya, keinginan menuju ketiadaan ini merupakan ciri khas kaum nihilis, meskipun dalam hal ini orang-orang nihilis tampak tidak konsisten; "keinginan menuju ketiadaan" ini masih merupakan suatu bentuk keinginan.[167]

Seorang nihilis adalah orang yang menilai bahwa dunia nyata ini, bahkan seluruh dunia seharusnya tidak ada. Menurut pandangan ini, keberadaan kita (tindakan, penderitaan, kemauan, perasaan) tidak ada artinya: kesia-siaan inilah yang mempunyai daya tarik bagi para nihilis—sebuah ketidakkonsistenan bagi orang-orang nihilis.

— Friedrich Nietzsche, Complete Works: Critical study edition 12:9 [60], diambil dari The Will to Power, bagian 585, diterjemahkan oleh Walter Kaufmann

Nietzsche melihat masalah nihilisme sebagai masalah yang sangat pribadi. Ia menyatakan bahwa dunia modern ini telah sadar dengan masalah ini.[168] Lebih lanjut, ia menekankan bahaya nihilisme dan kemungkinan akibatnya, seperti terlihat dalam pernyataannya, "Saya memuji, saya tidak mencela, kedatangan [nihilisme]. Saya percaya ini adalah salah satu krisis terbesar, sebuah momen dari refleksi kemanusiaan yang terdalam. Apakah manusia dapat pulih dari krisis ini, apakah ia mampu mengatasi krisis ini, adalah pertanyaan tentang kekuatannya!"[169] Menurut Nietzsche, hanya ketika nihilisme diatasi maka suatu budaya dapat memiliki landasan yang kuat untuk berkembang dan maju. Nietzsche ingin mempercepat kedatangannya agar ia juga bisa mempercepat kepergiannya. Heidegger menafsirkan kematian Tuhan sebagai kematian metafisika. Ia menyimpulkan bahwa metafisika telah mencapai puncaknya, dan bahwa nasib akhir dan kehancuran metafisika diproklamirkan dengan pernyataan “Tuhan sudah mati.”[170]

Para sarjana seperti Nishitani dan Parkes berpendapat bahwa pemikiran keagamaan Nietzsche selaras dengan para filsuf Buddha, khususnya yang berasal dari tradisi Mahayana.[171] Kadang-kadang, pemikiran keagamaan Nietzsche juga dianggap terkait dengan mistik Katolik seperti Meister Eckhart.[172] Namun, peneliti Andrew Milne menentang interpretasi tersebut dengan alasan bahwa para pemikir dari tradisi agama Barat dan Timur sangat menekankan pembatasan keinginan dan penghilangan ego, sedangkan Nietzsche melakukan pembelaan yang kuat terhadap egoisme.[173] Milne berpendapat bahwa pemikiran Nietzsche dapat dipahami lebih baik dengan mengaitkannya dengan para pemikir yang dikagumi Nietzsche sendiri: “Heraclitus, Empedocles, Spinoza, Goethe".[174]

Kehendak untuk berkuasa

sunting

Salah satu elemen dalam filsafat Nietzsche adalah “kehendak untuk berkuasa” (der Wille zur Macht), yang menurutnya memberikan dasar untuk memahami perilaku manusia—lebih dari penjelasan lain, seperti penjelasan tentang tekanan untuk beradaptasi atau bertahan hidup.[175] Oleh karena itu, menurut Nietzsche, dorongan untuk konservasi muncul sebagai motivator utama perilaku manusia atau hewan hanya dalam beberapa pengecualian, karena kondisi umum kehidupan bukanlah 'perjuangan untuk eksistensi'.[176] Seringkali, mempertahankan diri merupakan sebuah konsekuensi dari keinginan entitas yang hidup untuk mengerahkan kekuatannya di dunia luar.

Terkait dengan teorinya tentang kehendak untuk berkuasa adalah spekulasinya, yang ia anggap belum final,[177] mengenai realitas dunia fisik, termasuk materi anorganik — seperti afeksi dan dorongan manusia, bahwa dunia material juga diatur oleh suatu bentuk kehendak untuk berkuasa yang dinamik. Ia tampaknya menolak atomisme — suatu gagasan bahwa materi terdiri dari unit-unit (atom) yang stabil dan tidak dapat dibagi-bagi. Sebaliknya, ia tampaknya menerima kesimpulan Ruđer Bošković yang berargumen bahwa kualitas materi adalah hasil interaksi antar kekuatan.[i][178] Salah satu studi tentang Nietzsche mendefinisikan konsepnya tentang kehendak untuk berkuasa sebagai "elemen yang menghasilkan perbedaan kuantitatif dari kekuatan-kekuatan yang terkait dan kualitas yang berpindah ke setiap kekuatan dalam hubungan ini"; ini menunjukkan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan "prinsip sintesis antar kekuatan".[179] Kekuatan seperti itu, menurut Nietzsche, mungkin dapat dipahami sebagai bentuk primitif dari kehendak. Demikian pula, ia menolak pandangan bahwa pergerakan benda diatur oleh hukum alam yang tidak dapat ditawar-tawar, dan sebaliknya menyatakan bahwa pergerakan diatur oleh hubungan kekuasaan antara benda dan kekuatan atau energi.[180]

Sebagian sarjana tidak setuju bahwa Nietzsche menganggap dunia material sebagai bentuk dari kehendak untuk berkuasa. Alasannya adalah Nietzsche sendiri mengkritik metafisika seluruhnya. Dengan memasukkan kehendak untuk berkuasa dalam dunia material, maka ia sama seperti membuat suatu sistem metafisika baru. Lebih lanjut, mereka menunjukkan bahwa selain terdapat dalam aforisme 36 dalam Beyond Good and Evil, yang menunjukkan Nietzsche mengajukan pertanyaan tentang kehendak untuk berkuasa dalam dunia material, ide tentang konsep kehendak untuk berkuasa hanya ada dalam catatan Nietzsche (yang tidak diterbitkan oleh dirinya). Sebagian sarjana juga mengklaim bahwa kehendak untuk berkuasa adalah konsep awal Nietzsche yang telah ia tinggalkan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya permintaan Nietzsche untuk membakar catatan-catatannya yang berisi konsep tersebut ketika dia meninggalkan Sils Maria pada tahun 1888.[181] Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa meskipun benar bahwa pada tahun 1888 Nietzsche ingin beberapa catatannya dibakar, hal ini tidak berarti bahwa Nietzsche telah meninggalkan proyek filsafatnya tentang kehendak untuk berkuasa karena catatan-catatan yang ia tinggalkan ini terutama berfokus pada topik-topik seperti kritik terhadap moralitas, bukan tentang perasaan berkuasa.[182]

Kembalinya yang kekal

sunting

"Kembalinya yang kekal" (juga dikenal sebagai "pengulangan abadi") adalah konsep hipotetis yang menyatakan bahwa alam semesta telah dan akan terus berulang secara terus menerus dalam ruang atau waktu yang tidak terhingga. Nietzsche pertama kali memperkenalkan gagasan kembalinya yang kekal dalam sebuah perumpamaan di Bagian 341 dari The Gay Science, dan juga dalam bab "Of the Vision and the Riddle" di Thus Spoke Zarathustra.[183] Nietzsche menganggap konsep ini berpotensi "mengerikan dan melumpuhkan", dan mengatakan bahwa bebannya adalah "beban terberat" yang dapat dibayangkan ("das schwerste Gewicht ").[184] Keinginan untuk kembalinya segala peristiwa secara abadi menandai penegasan afirmasi kehidupan, sebuah reaksi terhadap filsafat Schopenhauer yang menolak kehendak untuk hidup. Untuk memahami dan menerima pengulangan abadi, diperlukan amor fati, "cinta kepada takdir".[185] Seperti yang ditunjukkan Heidegger dalam kuliahnya tentang Nietzsche, Nietzsche pertama kali mempresentasikan konsep pengulangan abadi sebagai eksperimen pemikiran alih-alih menyatakannya sebagai fakta:[186]

Bagaimana jika suatu hari dalam kesendirianmu yang paling sepi, iblis datang mendekatimu dan berkata kepadamu, "Hidup ini, sebagaimana yang kamu jalani sekarang dan telah kamu alami, akan kamu jalani lagi berkali-kali tanpa henti; dan tidak akan ada yang baru di dalamnya, tetapi setiap rasa sakit dan setiap kegembiraan dan setiap pikiran dan keluh kesah serta segala hal yang tak terkatakan, entah kecil atau besar dalam hidupmu, akan terjadi lagi kepadamu, semua dalam rangkaian dan urutan yang sama"... Tidakkah kamu akan terjatuh dan mengutuk iblis yang berbicara demikian? Atau pernahkah kamu mengalami sesuatu yang begitu dahsyat sehingga kamu akan menjawab iblis tersebut: "Engkau adalah Tuhan dan aku tidak pernah mendengarkan kata-kata yang lebih ilahi daripada ini."[187]

Dalam Nietzsche: Life as Literature, filsuf Alexander Nehamas menulis bahwa terdapat tiga cara untuk memahami pengulangan abadi:

  1. "Kehidupan saya akan terulang dengan cara yang persis sama:" ini mengungkapkan pendekatan yang sangat fatalistis terhadap gagasan tersebut;
  2. “Kehidupan saya mungkin berulang dengan cara yang persis sama:” Pandangan kedua ini secara kondisional menegaskan kosmologi, namun gagal menangkap apa yang dirujuk Nietzsche dalam The Gay Science, hal. 341;
  3. "Jika hidup saya terulang kembali, maka hal itu hanya bisa terulang kembali dengan cara yang sama." Nehamas menunjukkan bahwa interpretasi ini sepenuhnya independen dari ilmu fisika dan tidak mengandaikan kebenaran kosmologi.

Pemikiran Nietzsche dianggap sebagai sebuah negasi terhadap gagasan keselamatan rohani.[188]

Übermensch

sunting

Konsep lain yang penting dalam filsafat Nietzsche adalah Übermensch (manusia unggul atau adimanusia).[189][190][191][192] Dalam karyanya, Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche memperkenalkan konsep adimanusia. Menurut Laurence Lampert, "kematian Tuhan akan diikuti dengan meredupnya kesalehan beragama dan munculnya nihilisme (II.19; III.8). Pemberian Zarathustra kepada umat manusia yang tidak menyadari masalah tersebut adalah adimanusia sebagai solusinya."[193] Zarathustra mempresentasikan adimanusia sebagai pencipta nilai-nilai baru, dan ia tampil sebagai solusi terhadap masalah kematian Tuhan dan nihilisme. Adimanusia tidak mengikuti moralitas orang-orang kebanyakan yang mengutamakan keadaan yang biasa-biasa saja dan kenyamanan, tetapi ia melampaui gagasan tentang baik dan jahat dan "naluri kawanan".[194] Dengan cara ini, Zarathustra menyatakan tujuan utamanya adalah mencapai keadaan adimanusia. Ia menginginkan semacam evolusi spiritual dalam kesadaran diri untuk melampaui pandangan tradisional tentang moralitas dan keadilan yang berasal dari kepercayaan takhayul yang telah mengakar kuat.[195]

Seperti yang tertulis dalam Maka Berbicaralah Zarathustra (Prolog Zarathustra; hal. 9–11):

Aku mengajarimu Übermensch. Manusia adalah sesuatu yang harus dilampaui. Apa yang sudah kamu lakukan untuk melampauinya? Semua makhluk sejauh ini telah menjadi sesuatu yang melampaui diri mereka sendiri: dan kamu ingin menjadi titik balik dari gelombang besar itu, dan lebih memilih kembali ke dunia binatang daripada melampaui manusia? Apa arti kera bagi manusia? Bahan tertawaan atau rasa malu yang menyakitkan. Demikian pula arti manusia bagi adimanusia: bahan tertawaan atau rasa malu yang menyakitkan... Lihatlah, aku mengajarkan adimanusia kepadamu. Adimanusia adalah makna dunia ini. Biarkanlah kehendakmu berseru: hendaknya adimanusia menjadi makna dunia ini.... Manusia adalah seutas tali yang direntangkan di antara binatang dan adimanusia — seutas tali di atas jurang yang dalam... Yang hebat dalam diri manusia adalah ia merupakan sebuah jembatan dan bukan sebuah tujuan.[196]

 
Koran yang diterbitkan Nazi pada tanggal 9 April 1939: "Apa yang tidak membunuhku, membuatku lebih kuat."

Zarathustra mempertentangkan adimanusia dengan manusia terakhir modernitas egaliter (contoh paling jelas adalah dalam demokrasi), sebuah tujuan alternatif yang mungkin ditetapkan umat manusia untuk dirinya sendiri. Manusia terakhir hanya dapat terjadi jika umat manusia telah melahirkan makhluk apatis yang tidak memiliki ambisi atau komitmen besar, yang tidak mampu bermimpi, yang hanya mencari nafkah dan menghangatkan diri. Konsep ini muncul dalam Maka Berbicaralah Zarathustra, dan disajikan sebagai suatu kondisi yang membuat kelahiran adimanusia menjadi mustahil.[197]

Nazi berusaha memasukkan konsep tersebut ke dalam ideologi mereka dengan cara menciptakan supremasi ras atas ras-ras manusia lainnya. Setelah kematian Nietzsche, Elisabeth Förster-Nietzsche menjadi kurator dan editor manuskrip-manuskripnya. Dia selanjutnya mengolah kembali tulisan-tulisan Nietzsche yang tidak diterbitkan agar sejalan dengan ideologi nasionalis Jerman, dan mengaburkan pendapat-pendapat Nietzsche yang secara eksplisit menentang antisemitisme dan nasionalisme. Melalui edisi yang diterbitkan oleh Elisabeth, karya Nietzsche dihubungkan dengan fasisme dan Nazisme.[198] Para sarjana abad ke-20 menentang penafsiran ini dan mereka melakukan koreksi dalam karya-karya akademik mereka.

Kritik terhadap budaya massa

sunting

Nietzsche mempunyai pandangan yang pesimistis terhadap masyarakat dan budaya modern. Ia menganggap bahwa pers dan budaya massa terlalu menghargai konformitas, dan akibatnya, menghasilkan orang-orang yang medioker. Ia melihat sedikitnya kemajuan intelektual akan menyebabkan penurunan kualitas spesies manusia. Menurutnya, sebagian orang bisa menjadi manusia unggul jika mereka mempunyai kemauan yang keras. Dengan melampaui budaya massa, orang-orang tersebut akan menghasilkan manusia-manusia yang lebih unggul.[199]

Inspirasi

sunting
 
Kediaman tiga tahun terakhir Nietzsche beserta arsipnya di Weimar, Jerman, yang menyimpan banyak makalah Nietzsche

Sebagai seorang ahli filologi, Nietzsche memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat Yunani Kuno. Selain itu, ia juga membaca filsafat-filsafat barat yang terkemuka di masanya seperti karya-karya Kant, Plato, Mill, Schopenhauer dan Spir.[200] Banyak dari filsuf barat yang menjadi lawan utama dalam filsafatnya. Ia selanjutnya juga mempelajari pemikiran Baruch Spinoza, yang ia lihat sebagai "pendahulunya" dalam banyak hal[201][202], meski ia juga menganggap Spinoza sebagai personifikasi dari "cita-cita asketisme". Nietzsche menyebut Kant sebagai seorang "fanatik moral"; menganggap Plato "membosankan", Mill sebagai "orang dungu."[203] Ia juga menyatakan kebenciannya terhadap penulis Inggris George Eliot.[204]

Filsafat Nietzsche, meskipun inovatif dan revolusioner, terinspirasi dari banyak pendahulunya. Selama menjadi profesor di Basel, Nietzsche memberi kuliah tentang filsafat pra-Sokrates selama beberapa tahun, dan materi-materi dari kuliah ini sering dianggap sebagai "rantai yang hilang" dalam perkembangan pemikirannya. “Di dalamnya, konsep-konsep seperti kehendak untuk berkuasa, pengulangan abadi, manusia yang unggul, sains yang mengasyikan, mengatasi diri sendiri dan sebagainya terkadang dikaitkan dengan filsafat Yunani Kuno tertentu sebelum Plato dan Sokrates, seperti Heraclitus."[205] Pemikir filsafat pra-Socrates Heraclitus terkenal karena menolak konsep keberadaan yang konstan dan abadi; sebaliknya ia menganut "fluks" dan perubahan yang tiada henti dalam kehidupan. Simbolismenya tentang dunia sebagai "permainan anak-anak" yang ditandai dengan spontanitas amoral dan kurangnya aturan yang pasti diapresiasi oleh Nietzsche.[206] Karena simpatinya terhadap pemikiran Heraclitus, Nietzsche juga merupakan seorang kritikus yang keras terhadap Parmenides yang memandang dunia sebagai satu Wujud yang tidak berubah.[207]

Dalam bukunya Egotism in German Philosophy, penulis George Santayana menyatakan bahwa keseluruhan filsafat Nietzsche merupakan respons terhadap filsafat Schopenhauer. Santayana menulis bahwa karya Nietzsche adalah "sebuah revisi terhadap karya Schopenhauer. Kehendak untuk hidup berubah menjadi kehendak untuk berkuasa; pesimisme yang didasarkan pada proses refleksi berubah menjadi optimisme yang didasarkan pada keberanian; kegelisahan kehendak dalam kontemplasi akan menghasilkan penjelasan yang lebih biologis tentang kecerdasan dan rasa; akhirnya, untuk merespon perasaan belas kasih dan asketisme (dua prinsip moral Schopenhauer), Nietzsche menjadikan suatu kewajiban untuk menguatkan kehendak dengan segala cara dan menjadi kuat dengan kejam tetapi indah. Poin-poin perbedaan dari Schopenhauer ini mencakup keseluruhan filsafat Nietzsche."[208][209]

Nietzsche menyatakan kekagumannya terhadap moralis Prancis abad ke-17 seperti La Rochefoucauld, La Bruyère dan Vauvenargues,[210] serta penulis Stendhal.[211] Organisisme Paul Bourget juga mempengaruhi Nietzsche,[212] seperti halnya konsep serupa yang dinyatakan ahli biologi Rudolf Virchow dan Alfred Espinas.[213] Pada tahun 1867, Nietzsche menulis sebuah surat yang menyatakan bahwa ia sedang berusaha meningkatkan gaya penulisan Jermannya dengan mempelajari karya-karya Lessing, Lichtenberg dan Schopenhauer.[214] Nietzsche juga mempelajari Darwinisme melalui karya Friedrich Albert Lange.[215] Esai Ralph Waldo Emerson mempunyai pengaruh yang besar terhadap Nietzsche; ia "mengagumi Emerson dari awal hingga akhir."[216][217] Filsuf dan sejarawan Hippolyte Taine juga mempengaruhi pandangan Nietzsche tentang Rousseau dan Napoleon.[218] Ia juga membaca beberapa karya Charles Baudelaire, My Religion karya Tolstoy, Life of Jesus karya Ernest Renan, dan Demons karya Fyodor Dostoyevsky.[219][219][220] Nietzsche menyebut Dostoyevsky sebagai "satu-satunya psikolog yang saya belajar darinya".[221] Meskipun Nietzsche tidak pernah menyebut nama Max Stirner, kesamaan ide mereka telah mendorong sebagian komentator untuk menyatakan adanya hubungan di antara keduanya.[222][223][224][225][226][227][228]

Pada tahun 1861, Nietzsche dengan antusias menulis esai tentang penyair favoritnya yang terlupakan pada waktu itu, Friedrich Hölderlin.[229] Ia juga menyampaikan apresiasi yang mendalam terhadap Indian Summer karya Stifter,[230] Manfred karya Byron, dan Twain karya Tom Sawyer.[231]

Pengaruh

sunting
 
Lukisan Nietzsche oleh Edvard Munch, 1906

Karya-karya Nietzsche tidak mendapatkan penerimaan yang luas selama ia aktif menulis. Namun, pada tahun 1888, kritikus Denmark yang berpengaruh, Georg Brandes, membangkitkan minat yang besar kepada Nietzsche setelah ia memberikan kuliah tentang filsafat Nietzsche di Universitas Kopenhagen. Beberapa tahun setelah kematiannya, karya-karya Nietzsche menjadi lebih dikenal, dan para pembacanya meresponsnya dengan cara yang kompleks dan terkadang kontroversial.[232] Banyak orang Jerman yang tertarik dengan seruan Nietzsche tentang individualisme dan pengembangan karakter pribadi dalam Thus Spoke Zarathustra. Nietzsche juga mempunyai beberapa pengikut di kalangan sayap kiri Jerman pada tahun 1890-an; pada tahun 1894–1895 kelompok konservatif Jerman ingin melarang peredaran karyanya karena dianggap subversif. Pada akhir abad ke-19, gagasan Nietzsche umumnya dikaitkan dengan gerakan anarkisme dan tampaknya mempunyai pengaruh pada gerakan anarkisme, khususnya di Perancis dan Amerika Serikat.[233][234][235] Penulis HL Mencken menulis buku pertama tentang Nietzsche dalam bahasa Inggris pada tahun 1907, The Philosophy of Friedrich Nietzsche.[236]

Di Indonesia, karya-karya Nietzsche diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penulis dan sastrawan H. B. Jassin, Agus R. Sarjono, dan Berthold Damshäuser.[237] Nietzsche kini dikenal sebagai pelopor eksistensialisme, pasca-strukturalisme, dan postmodernisme, meskipun sebagian akademisi menolak bahwa Nietzsche adalah seorang penganut postmodernisme.[238][239]

Penyair WB Yeats dan Arthur Symons menganggap Nietzsche sebagai pewaris intelektual William Blake.[240] Symons kemudian membandingkan gagasan kedua pemikir itu dalam The Symbolist Movement in Literature, sedangkan Yeats berusaha untuk meningkatkan kesadaran umum tentang Nietzsche di Irlandia.[241][242][243] Gagasan serupa juga didukung oleh penyair WH Auden yang menulis tentang Nietzsche dalam New Year Letter -nya (dirilis pada tahun 1941 dalam The Double Man): "Wahai debunker kekeliruan liberal... sepanjang hidup Anda, Anda menyerang, seperti pendahulu Inggris Anda, Blake."[244][245][246] Nietzsche juga memberikan pengaruh pada para komposer. Penulis Donald Mitchell memandang bahwa komposer Gustav Mahler "tertarik pada api puitis Zarathustra, namun menolak esensi utama dari tulisannya". Dia menambahkan bahwa Mahler juga dipengaruhi oleh konsepsi Nietzsche dan pendekatan afirmatif terhadap alam, yang disajikan Mahler dalam Third Symphony-nya menggunakan roundelay Zarathustra. Komposer Frederick Delius memproduseri musik paduan suara, A Mass of Life, berdasarkan teks Thus Spoke Zarathustra, sedangkan Richard Strauss (dengan mendasarkan pada Thus Spoke Zarathustra), tertarik untuk menyelesaikan "bab lain dari simfoni autobiografi".[247] Penulis dan penyair lain yang dipengaruhi oleh Nietzsche antara lain André Gide,[248] August Strindberg,[249] Robinson Jeffers,[250] Pío Baroja,[251] DH Lawrence,[252] Edith Södergran[253] dan Yukio Mishima.[254]

Nietzsche mempunyai pengaruh awal pada puisi-puisi karya Rainer Maria Rilke.[255] Penulis roman Knut Hamsun menganggap Nietzsche, Strindberg dan Dostoyevsky, sebagai inspirasi utamanya.[256] Penulis Jack London menulis bahwa dia lebih tertarik kepada Nietzsche dibandingkan penulis lainnya.[257] Kritikus berpendapat bahwa karakter David Grief dalam A Son of the Sun didasarkan pada Nietzsche.[258] Pengaruh Nietzsche terhadap Muhammad Iqbal terdapat dalam karyanya, Asrar-i-Khudi (Rahasia Diri).[259] Di Rusia, Nietzsche mempengaruhi simbolisme Rusia[260] dan tokoh-tokoh seperti Dmitry Merezhkovsky,[261] Andrei Bely,[262] Vyacheslav Ivanov dan Alexander Scriabin. Mereka memasukkan atau mendiskusikan sebagian ide-ide filsafat Nietzsche dalam karya-karya mereka. Novel Thomas Mann, Death in Venice,[263] menunjukkan penggunaan Apollonian dan Dionysian, dan dalam Doctor Faustus, Nietzsche adalah sumber utama dari karakter Adrian Leverkühn.[264][265] Dalam Narcissus dan Goldmund, novelis Hermann Hesse menampilkan dua karakter utama sebagai roh Apollonian dan Dionysian yang berlawanan namun saling berkaitan. Pelukis Giovanni Segantini terpesona oleh Maka Berbicaralah Zarathustra, dan dia membuat ilustrasi untuk terjemahan pertama buku tersebut dalam bahasa Italia. Pelukis Rusia Lena Hades menciptakan siklus lukisan cat minyak Maka Berbicaralah Zarathustra yang didedikasikan untuk Nietzsche.[266]

Menjelang Perang Dunia I, Nietzsche telah mempunyai reputasi sebagai inspirasi bagi militerisme sayap kanan Jerman dan politik kiri. Tentara Jerman menerima salinan Thus Spoke Zarathustra sebagai hadiah selama Perang Dunia I.[267][268] Ketenaran Nietzsche yang meningkat membuatnya dikaitkan dengan Adolf Hitler dan Nazi Jerman. Di kalangan sarjana, masih belum terdapat konsensus apakah Hitler benar-benar membaca Nietzsche; jika dia telah membaca karya Nietzsche, kemungkinan tidak secara ekstensif.[ii][iii][269][270] Hitler dikabarkan sering berkunjung ke museum Nietzsche di Weimar dan menggunakan ekspresi Nietzsche, seperti "penguasa bumi" dalam karyanya, Mein Kampf.[271] Partai Nazi secara selektif juga menggunakan filosofi Nietzsche untuk ideologinya. Alfred Baeumler merupakan pendukung pemikiran Nietzsche yang paling menonjol di Nazi Jerman. Pada tahun 1931, sebelum Nazi berkuasa, Baeumler telah menerbitkan bukunya "Nietzsche, Philosopher and Politician." Ia kemudian menerbitkan beberapa edisi karya Nietzsche selama pemerintahan Third Reich.[272][273] Mussolini,[274][275] Charles de Gaulle[276] dan Huey P. Newton[277] dikabarkan juga telah membaca karya Nietzsche. Richard Nixon membaca Nietzsche karena adanya rasa keingintahuan. Bukunya, Beyond Peace, kemungkinan terinspirasi dari judul buku Nietzsche Beyond Good and Evil yang dibaca Nixon sebelumnya.[278] Filsuf Bertrand Russell memandang bahwa Nietzsche telah memberikan pengaruh besar pada para filsuf dan para artis, budayawan dan sastrawan. Namun, Russell juga mengingatkan bahwa upaya untuk menerapkan filsafat aristokrasi Nietzsche hanya dapat dilakukan oleh organisasi yang mirip dengan partai Fasis atau Nazi.[279]

Filsuf Albert Camus menggambarkan Nietzsche sebagai "satu-satunya artis yang memperoleh konsekuensi ekstrim dari sistem estetika yang absurd".[280] Psikolog Carl Jung juga dipengaruhi oleh Nietzsche.[281] Dalam Memories, Dreams, Reflections, sebuah biografi yang ditulis oleh sekretarisnya, ia menyebut Nietzsche sebagai inspirasi.[282] Aspek filsafat Nietzsche, terutama gagasannya tentang diri dan hubungannya dengan masyarakat, terdapat dalam banyak pemikiran pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21.[283][284] Tulisan-tulisan Nietzsche tentang tradisi romantis-heroik abad kesembilan belas, sebagaimana diungkapkan dalam cita-cita "pejuang yang hebat" juga muncul dalam karya para pemikir mulai dari Cornelius Castoriadis hingga Roberto Mangabeira Unger.[285] Bagi Nietzsche, perjuangan besar diperlukan bagi seorang individu untuk mengatasi hambatan dan tantangan dalam hidup, terlibat dalam perjuangan epik, mengejar tujuan baru, merangkul hal-hal baru, dan melampaui struktur dan konteks yang ada.[283] Filsafat Nietzsche telah mempengaruhi para filsuf setelahnya seperti Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre,[286] Oswald Spengler,[287] Emil Cioran,[288] Ayn Rand,[289] Jacques Derrida,[290] Leo Strauss,[291] Max Scheler, Michel Foucault,[292] dan Bernard Williams.[293]

 
Batu Nietzsche, dekat Surlej, inspirasi untuk Maka Berbicaralah Zarathustra


Catatan

sunting
  1. ^ Nietzsche comments in many notes about the matter being a hypothesis drawn from the metaphysics of substance. Whitlock, G. (1996). "Roger Boscovich, Benedict de Spinoza and Friedrich Nietzsche: The Untold Story". Nietzsche-Studien. 25: 207. doi:10.1515/9783110244441.200. 
  2. ^ Trevor-Roper, Hugh. [1972] 2008. "Introductory essay for 'Hitler's Table Talk 1941–1944 Secret Conversations'." In The Mind of Adolf Hitler. Enigma Books. p. xxxvii: "We know, from his [Hitler's] secretary, that he could quote Schopenhauer by the page, and the other German philosopher of willpower, Nietzsche, whose works he afterward presented to Mussolini, was often on his lips."
  3. ^ Kershaw, Ian. Hitler: Hubris 1889–1936. W. W. Norton. hlm. 240. 'Landsberg,' Hitler told Hans Frank, was his 'university paid for by the state.' He read, he said, everything he could get hold of: Nietzsche, Houston Stewart Chamberlain, Ranke, Treitschke, Marx, Bismarck's Thoughts and Memories, and the war memoirs of German and allied generals and statesmen.... But Hitler's reading and reflection collection were anything but academic, doubtless, he did read much. However, as was noted in an earlier chapter, he made clear in My Struggle that reading for him had purely an instrumental purpose. He read not for knowledge or enlightenment, but for confirmation of his own preconceptions. 

Referensi

sunting
  1. ^ See, for example:
    • "Some interpreters of Nietzsche believe he embraced nihilism, rejected philosophical reasoning, and promoted a literary exploration of the human condition, while not being concerned with gaining truth and knowledge in the traditional sense of those terms. However, other interpreters of Nietzsche say that in attempting to counteract the predicted rise of nihilism, he was engaged in a positive program to reaffirm life, and so he called for a radical, naturalistic rethinking of the nature of human existence, knowledge, and morality." Wilkerson, Dale. "Friedrich Nietzsche". Ensiklopedia Internet Filsafat. ISSN 2161-0002. .
    • "Nietzsche's increasing determination, however, in his later writings, to avoid philosophical nihilisms of every variety, leads him to wonder whether it might not be possible to achieve an understanding of what fuels the foregoing dialectic of a sort that would allow one to head in an altogether different philosophical direction." Conant, James F. (2005). "The Dialectic of Perspectivism, I" (PDF). Sats: Nordic Journal of Philosophy. Philosophia Press. 6 (2): 5–50. 
  2. ^ Brennan, Katie (2018). "The Wisdom of Silenus: Suffering in The Birth of Tragedy". Journal of Nietzsche Studies. 49 (2): 174–193. doi:10.5325/jnietstud.49.2.0174. JSTOR 10.5325/jnietstud.49.2.0174. 
  3. ^ Dienstag, Joshua F. (2001). "Nietzsche's Dionysian Pessimism". American Political Science Review. 95 (4): 923–937. JSTOR 3117722. 
  4. ^ Nietzsche self-describes his philosophy as immoralism, see also: Laing, Bertram M. (1915). "The Metaphysics of Nietzsche's Immoralism". The Philosophical Review. 24 (4): 386–418. doi:10.2307/2178746. JSTOR 2178746. 
  5. ^ Schacht, Richard (2012). "Nietzsche's Naturalism". Journal of Nietzsche Studies. Penn State University Press. 43 (2): 185–212. doi:10.5325/jnietstud.43.2.0185. 
  6. ^ Conway, Daniel (1999). "Beyond Truth and Appearance: Nietzsche's Emergent Realism". Dalam Babich, Babette E. Nietzsche, Epistemology, and Philosophy of Science. Boston Studies in the Philosophy of Science. 204. Dordrecht: Springer. hlm. 109–122. doi:10.1007/978-94-017-2428-9_9. ISBN 978-90-481-5234-6. 
  7. ^ Doyle, Tsarina (2005). "Nietzsche's Emerging Internal Realism". Nietzsche on Epistemology and Metaphysics: The World in View. Edinburgh University Press. hlm. 81–103. doi:10.3366/edinburgh/9780748628070.003.0003. ISBN 978-0748628070. 
  8. ^ Kirkland, Paul E. (2010). "Nietzsche's Tragic Realism". The Review of Politics. 72 (1): 55–78. doi:10.1017/S0034670509990969. JSTOR 25655890. 
  9. ^ Perez, Rolando (2015). "Nietzsche's Reading of Cervantes' "Cruel" Humor in Don Quijote" (PDF). EHumanista. 30: 168–175. ISSN 1540-5877. .
  10. ^ Duden – Das Aussprachewörterbuch 7. Berlin: Bibliographisches Institut. 2015. ISBN 978-3-411-04067-4. p. 633.
  11. ^ Krech, Eva-Maria; Stock, Eberhard; Hirschfeld, Ursula; Anders, Lutz Christian (2009). Deutsches Aussprachewörterbuch  [German Pronunciation Dictionary] (dalam bahasa Jerman). Berlin: Walter de Gruyter. hlm. 520, 777. ISBN 978-3-11-018202-6. 
  12. ^ "The Life Of Friedrich Nietzsche – YTread". youtuberead.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 27 March 2023. 
  13. ^ Kaufmann 1974, hlm. 22.
  14. ^ "Nietzsche, Friedrich Wilhelm". 1911 Encyclopædia Britannica. Volume 19. 
  15. ^ Wicks (2014). Stanford Encyclopedia of Philosophy Archive (edisi ke-Winter 2014). 
  16. ^ "Friedrich Nietzsche". Human, All Too Human. BBC Documentary. 1999. Diakses tanggal 16 October 2019. 
  17. ^ Brobjer, Thomas H. (2001). "Why Did Nietzsche Receive a Scholarship to Study at Schulpforta?". Nietzsche Studien. 30 (1): 322–328. doi:10.1515/9783110172409.322. 
  18. ^ Wicks (2014). Stanford Encyclopedia of Philosophy Archive (edisi ke-Winter 2014). 
  19. ^ Krell, David Farrell; Bates, Donald L. (1997). The Good European: Nietzsche's work sites in word and image. University of Chicago Press. 
  20. ^ Hollingdale (2001). Grove Music Online. Oxford University Press. doi:10.1093/gmo/9781561592630.article.19943. ISBN 978-1-56159-263-0. 
  21. ^ "Who knew? Friedrich Nietzsche was also a pretty decent classical composer". Classic FM. 
  22. ^ His "valedictorian paper" (Valediktionsarbeit, graduation thesis for Pforta students) was titled "On Theognis of Megara" ("De Theognide Megarensi"); see Jensen & Heit 2014
  23. ^ a b Schaberg, William (1996). The Nietzsche Canon. University of Chicago Press. hlm. 32. 
  24. ^ Salaquarda, Jörg (1996). "Nietzsche and the Judaeo-Christian tradition". The Cambridge Companion to Nietzsche. Cambridge University Press. hlm. 99. 
  25. ^ The Life of Jesus, Critically Examined by David Friedrich Strauss 2010 ISBN 1-61640-309-8 pages 39–43 and 87–91
  26. ^ The Making of the New Spirituality by James A. Herrick 2003 ISBN 0-8308-2398-0 pages 58–65
  27. ^ Familiar Stranger: An Introduction to Jesus of Nazareth by Michael J. McClymond (Mar 22, 2004) ISBN 0802826806 page 82
  28. ^ Higgins, Kathleen (2000). What Nietzsche Really Said. New York: Random House. hlm. 86. 
  29. ^ Nietzsche, Letter to His Sister (1865). Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 November 2012. 
  30. ^ a b Magnus 1999.
  31. ^ Magee, Bryan (1997-08-14). The Philosophy of Schopenhauer (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-1). Oxford University PressOxford. hlm. 286–291. doi:10.1093/0198237227.001.0001. ISBN 978-0-19-823722-8. 
  32. ^ Emden, Christian J. (2017-03-10). "Nietzsche, Naturalism, and Normativity: A Reply to Brian Leiter and Peter Kail". The Journal of Nietzsche Studies (dalam bahasa Inggris). 48 (1): 95–98. doi:10.5325/jnietstud.48.1.0095. ISSN 0968-8005. 
  33. ^ Hayman 1980, hlm. 93.
  34. ^ Nietzsche, Friedrich. [June 1868] 1921. "Letter to Karl Von Gersdorff." Selected Letters of Friedrich Nietzsche, translated by A. M. Ludovici.
  35. ^ Nietzsche, Friedrich. [November 1868] 1921. "Letter to Rohde." Selected Letters of Friedrich Nietzsche, translated by A. M. Ludovici.
  36. ^ Jensen & Heit 2014, hlm. 129.
  37. ^ Bishop, Paul (2004). Nietzsche and Antiquity. Boydell & Brewer. hlm. 117. ISBN 978-1571136480. 
  38. ^ Jensen & Heit 2014, hlm. 115.
  39. ^ McCarthy, George E. "Dialectics and Decadence". 
  40. ^ Hecker, Hellmuth (1987). "Nietzsches Staatsangehörigkeit als Rechtsfrage" [Nietzsche's nationality as a legal question]. Neue Juristische Wochenschrift (dalam bahasa Jerman). 40: 1388–1391. 
  41. ^ His, Eduard. 1941. "Friedrich Nietzsches Heimatlosigkeit." Basler Zeitschrift für Geschichte und Altertumskunde 40:159–186. Note that some authors (incl. Deussen and Montinari) mistakenly claim that Nietzsche became a Swiss citizen to become a university professor.
  42. ^ Deussen, Paul (1901). Erinnerungen a Friedrich Nietzsche [Memoirs of Friedrich Nietzsche] (dalam bahasa Jerman). Leipzig: F. A. Brockhaus. 
  43. ^ Sax, Leonard (2003). "What was the cause of Nietzsche's dementia?". Journal of Medical Biography. 11 (1): 47–54. doi:10.1177/096777200301100113. PMID 12522502. 
  44. ^ Schain, Richard (2001). The Legend of Nietzsche's Syphilis. Westwood: Greenwood Press. [kutipan diperlukan]
  45. ^ Green, M. S. (2002). Nietzsche and the Transcendental Tradition. University of Illinois Press.  [kutipan diperlukan]
  46. ^ Hughes, Rupert. [1903] 2004. "Franz Liszt." Ch. 1 in The Love Affairs of Great Musicians 2. Project Gutenberg. Also available via Book Rags.
  47. ^ Safranski, Rüdiger (2003). Nietzsche: A Philosophical Biography. Diterjemahkan oleh Frisch, Shelley. W. W. Norton & Company. hlm. 161. This work had long been consigned to oblivion, but it had a lasting impact on Nietzsche. Section 18 of Human, All Too Human cited Spir, not by name, but by presenting a 'proposition by an outstanding logician' (2,38; HH I § 18). 
  48. ^   Schiller, Ferdinand Canning Scott (1911). "perlu nama artikel ". Dalam Chisholm, Hugh. Encyclopædia Britannica (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 672. 
  49. ^ Güntzel, Stephan (2003). "Nietzsche's Geophilosophy" (PDF). Journal of Nietzsche Studies. 25: 78–91 (85). doi:10.1353/nie.2003.0010. 
  50. ^ Cate 2005, hlm. 221.
  51. ^ Cate 2005, hlm. 297.
  52. ^ "Lou von Salomé". f-nietzsche.de. 
  53. ^ a b c Hollingdale 1999, hlm. 149.
  54. ^ Hollingdale 1999, hlm. 151.
  55. ^ Kaufmann 1974, hlm. 49.
  56. ^ Killy, Walther; Vierhaus, Rudolf (2011). Plett – Schmidseder (dalam bahasa Inggris). Walter de Gruyter. ISBN 978-3-11-096630-5 – via Google Books. 
  57. ^ a b Hollingdale 1999, hlm. 152.
  58. ^ Cate 2005, hlm. 389.
  59. ^ Cate 2005, hlm. 453.
  60. ^ Nietzsche, Friedrich. [26 August 1883] 1921. "Letter to Peter Gast." Selected Letters of Friedrich Nietzsche, translated by A. M. Ludovici.
  61. ^ "Elisabeth Förster-Nietzsche." Britannica.com. [1998] 2019. Retrieved 25 May 2020.
  62. ^ van Eerten, Jurriaan (27 February 2016). "The lost 'Aryan utopia' of Nueva Germania". The Tico Times. Costa Rica. Diakses tanggal 29 September 2019. 
  63. ^ Nietzsche, Friedrich. [March 1887] 1921. "Letter to Peter Gast." Selected Letters of Friedrich Nietzsche, translated by A. M. Ludovici.
  64. ^ Montinari, Mazzino (1974). Friedrich Nietzsche. Eine Einführung (dalam bahasa Jerman). De Gruyter.  translated as Friedrich Nietzsche (dalam bahasa Prancis). Paris: PUF. 1991. 
  65. ^ Nietzsche 1888d, Preface, section 1.
  66. ^ Magnus, Bernd; Higgins, Kathleen Marie, ed. (1996). The Cambridge Companion to Nietzsche (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 79–81. ISBN 978-0-521-36767-7. 
  67. ^ Kaufmann 1974, hlm. 67.
  68. ^ Verrecchia, Anacleto (1988). "Nietzsche's Breakdown in Turin". Dalam Harrison, T. Nietzsche in Italy. Stanford: ANMA Libri, Stanford University. hlm. 105–112. 
  69. ^ Simon, Gerald (January 1889). "Nietzsches Briefe. Ausgewählte Korrespondenz. Wahnbriefe" [Nietzsche's letters. Selected Correspondence. delusional letters.] (dalam bahasa Jerman). The Nietzsche Channel. Diakses tanggal 24 August 2013. Ich habe Kaiphas in Ketten legen lassen; auch bin ich voriges Jahr von den deutschen Ärzten auf eine sehr langwierige Weise gekreuzigt worden. Wilhelm, Bismarck und alle Antisemiten abgeschafft. 
  70. ^ Zweig, Stefan (1939). The Struggle with the Daimon: Hölderlin, Kleist and Nietzsche. Master Builders of the Spirit. 2. Viking Press. hlm. 524. 
  71. ^ "Nietzsches Briefe, Ausgewählte Korrespondenz, Wahnzettel 1889" [Nietzsche's Letters, Selected Correspondence, Wahnzettel 1889]. The Nietzsche Channel (dalam bahasa Jerman). 
  72. ^ a b Brown, Malcolm (2011). "1889". Nietzsche Chronicle. Dartmouth College. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 February 2012. Diakses tanggal 28 September 2019. 
  73. ^ Safranski, Rüdiger (2003). Nietzsche: A Philosophical Biography. New York: W. W. Norton & Company. hlm. 371. ISBN 0-393-05008-4. 
  74. ^ Sorensen, Lee (ed.). "Langbehn, Julius". Dictionary of Art Historians. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 June 2019. Diakses tanggal 29 September 2019. 
  75. ^ Brown, Malcolm (2011). "1889". Nietzsche Chronicle. Dartmouth College. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 February 2012. Diakses tanggal 28 September 2019. 
  76. ^ Safranski, Rüdiger (2003). Nietzsche: A Philosophical Biography. W. W. Norton & Company. hlm. 317–350. ISBN 0-393-05008-4. 
  77. ^ Steiner, Rudolf (1895). Friedrich Nietzsche, in Kämpfer seine Zeit [Friedrich Nietzsche, in Fighters of His Time] (dalam bahasa Jerman). Weimar. 
  78. ^ Bailey, Andrew (2002). First Philosophy: Fundamental Problems and Readings in Philosophy. Broadview Press. hlm. 704. 
  79. ^ Bataille, Georges; Michelson, Annette (Spring 1986). "Nietzsche's Madness". October. 36: 42–45. doi:10.2307/778548. JSTOR 778548. 
  80. ^ Girard, René (1976). "Superman in the Underground: Strategies of Madness – Nietzsche, Wagner, and Dostoevsky". Modern Language Notes. 91: 1161–1185. doi:10.2307/2907130. JSTOR 2907130. 
  81. ^ Cybulska, E. M. (2000). "The madness of Nietzsche: a misdiagnosis of the millennium?". Hospital Medicine. 61 (8): 571–575. doi:10.12968/hosp.2000.61.8.1403. PMID 11045229. 
  82. ^ Schain, Richard (2001). The Legend of Nietzsche's Syphilis. Westport: Greenwood Press. ISBN 978-0-313-31940-2.  [halaman dibutuhkan]
  83. ^ Sax, Leonard (2003). "What was the cause of Nietzsche's dementia?". Journal of Medical Biography. 11 (1): 47–54. doi:10.1177/096777200301100113. PMID 12522502. 
  84. ^ Orth, M.; Trimble, M. R. (2006). "Friedrich Nietzsche's mental illness – general paralysis of the insane vs. frontotemporal dementia". Acta Psychiatrica Scandinavica. 114 (6): 439–444; discussion 445. doi:10.1111/j.1600-0447.2006.00827.x. PMID 17087793. 
  85. ^ Hemelsoet, D.; Hemelsoet, K.; Devreese, D. (March 2008). "The neurological illness of Friedrich Nietzsche". Acta Neurologica Belgica. 108 (1): 9–16. PMID 18575181. 
  86. ^ Dayan, L.; Ooi, C. (October 2005). "Syphilis treatment: old and new". Expert Opinion on Pharmacotherapy. 6 (13): 2271–2280. doi:10.1517/14656566.6.13.2271. PMID 16218887. 
  87. ^ Hammond, David (2013). Mercury Poisoning: The Undiagnosed Epidemic. hlm. 11. 
  88. ^ Concurring reports in Elisabeth Förster-Nietzsche's biography (1904) and a letter by Mathilde Schenk-Nietzsche to Meta von Salis, 30 August 1900, quoted in Janz (1981) p. 221. Cf. Volz (1990), p. 251.
  89. ^ Schain, Richard. "Nietzsche's Visionary Values – Genius or Dementia?". Philosophos. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 May 2006. 
  90. ^ Montinari, Mazzino. The 'Will to Power' Does Not Exist. 
  91. ^ Anderson, R. Lanier (17 March 2017). "Friedrich Nietzsche". Ensiklopedia Filsafat Stanford. Metaphysics Research Lab, Stanford University. 
  92. ^ Tanner, Michael (2000). Nietzsche: A Very Short Introduction. OUP Oxford. ISBN 978-0-19-285414-8. 
  93. ^ Magnus, Bernd; Higgins, Kathleen Marie (1996). The Cambridge Companion to Nietzsche. Cambridge University Press. hlm. 1. ISBN 978-0-521-36767-7 – via Google Books. 
  94. ^ Craid, Edward, ed. (2005). Routledge Encyclopedia of Philosophy. Abingdon: Routledge. hlm. 726–741. 
  95. ^ Blackburn, Simon (2005). The Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford: Oxford University Press. hlm. 252–253. 
  96. ^ Rée, Jonathan; Urmson, J.O., ed. (2005). The Concise encyclopedia of western philosophy  (edisi ke-3rd). London: Routledge. hlm. 267–270. ISBN 978-0-415-32924-8. 
  97. ^ Mencken, Henry Louis (2008). The Philosophy of Friedrich Nietzsche. Wilder Publications. hlm. 11–. ISBN 978-1-60459-331-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 November 2012 – via Google Books. 
  98. ^ Janz, Curt Paul (1978). Friedrich Nietzsche: Biographie [Friedrich Nietzsche: Biography] (dalam bahasa Jerman). 1. Munich: Carl Hanser Verlag. hlm. 263. Er beantragte also bei der preussischen Behörde seine Expatriierung. 
  99. ^ Colli, Giorgio; Montinari, Mazzino (1993). "Entlassungsurkunde für den Professor Friedrich Wilhelm Nietzsche aus Naumburg" [Dismissal certificate for Professor Friedrich Wilhelm Nietzsche from Naumburg]. Nietzsche Briefwechsel [Nietzsche Correspondence]. Kritische Gesamtausgabe (dalam bahasa Jerman). 4. Berlin: Walter de Gruyter. hlm. 566. ISBN 978-3-11-012277-0. 
  100. ^ Mencken, Henry Louis (1913). Friedrich Nietzsche. Transaction Publishers. hlm. 6. ISBN 978-1-56000-649-7 – via Google Books. 
  101. ^ Warberg, Ulla-Karin. "Nietzsche's ring". auktionsverket.com. Östermalm, Stockholm: Stockholms Auktionsverk. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 June 2017. Diakses tanggal 16 August 2018. Nietzsche's ring ... it was worn by Friedrich Nietzsche and it represents the ancient Radwan coat of arms, which can be traced back to the Polish nobility of medieval times. 
  102. ^ Niesiecki, Kasper; Bobrowicz, Jan Nepomucen (1841). "Radwan Herb" [Radwan Coat of Arms] (Online book). Herbarz Polski Kaspra Niesieckiego S.J., powiększony dodatkami z poźniejszych autorów, rękopismów, dowodów urzędowych i wydany przez Jana Nep. Bobrowicza. [Polish armorial of Kasper Niesiecki S.J., enlarged by additions from other authors, manuscripts, official proofs and published by Jan Nep. Bobrowicz.] (Noble/szlachta genealogical and heraldic reference) (dalam bahasa Polski). VIII. Leipzig, Germany: Breitkopf & Härtel. hlm. 28. Herbowni ... Nicki, ... (Heraldic Family ... Nicki, ...) 
  103. ^ Niesiecki, Kasper; Bobrowicz, Jan Nepomucen (1845). "Kasper Niesiecki, Herbarz Polski, wyd. J.N. Bobrowicz, Lipsk 1839–1845: herb Radwan (t. 8 s. 27–29)". wielcy.pl (Noble/szlachta genealogical and heraldic reference) (dalam bahasa Polski). Kraków, Poland: Dr Minakowski Publikacje Elektroniczne. Diarsipkan dari versi asli (website) tanggal 17 August 2018. Diakses tanggal 17 August 2018. Herbowni ... Nicki, ... (Heraldic Family ... Nicki, ...) 
  104. ^ Warberg, Ulla-Karin. "Nietzsche's ring". auktionsverket.com. Östermalm, Stockholm: Stockholms Auktionsverk. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 June 2017. Diakses tanggal 16 August 2018. In 1905, the Polish writer Bernhard Scharlitt in the spirit of Polish patriotism wrote an article about the Nietzsche family. In Herbarz Polski, a genealogy of Polish nobility, he had come across a note about a family named 'Nicki,' who could be traced back to Radwan. A member of this family named Gotard Nietzsche had left Poland for Prussia, and his descendants had eventually settled in Saxony around the year 1700. 
  105. ^ a b c d Hollingdale 1999, hlm. 6.
  106. ^ Appel, Fredrick (1998). Nietzsche Contra Democracy. Cornell University Press. hlm. 114. 
  107. ^ Mencken, Henry Louis (2006). The Philosophy of Friedrich Nietzsche. University of Michigan. hlm. 6. ISBN 978-0722220511 – via Google Books. 
  108. ^ "Letter to Heinrich von Stein, December 1882." KGB III 1, Nr. 342, p. 287; KGW V 2, p. 579; KSA 9 p. 681
  109. ^ von Müller, Hans. 2002. "Nietzsche's Vorfahren" (reprint). Nietzsche-Studien 31:253–275. DOI:10.1515/9783110170740.253
  110. ^ Mencken, Henry Louis (2003). The Philosophy of Friedrich Nietzsche. introd. & comm. Charles Q. Bufe. See Sharp Press. hlm. 2. 
  111. ^ "Letter to Heinrich von Stein, December 1882," KGB III 7.1, p. 313.
  112. ^ "Letter to Georg Brandes, 10 April 1888," KGB III 7.3/1, p. 293.
  113. ^ a b More, Nicholas D. (2014). Nietzsche's Last Laugh: Ecce Homo as Satire (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 69. ISBN 978-1107050815. Diakses tanggal 31 August 2021 – via Google Books. 
  114. ^ Leventhal, Robert S. (2001). "Nietzsche and Lou Andreas-Salomé: Chronicle of a Relationship 1882". rsleve.people.wm.edu. 
  115. ^ Diethe, Carol (1996). Nietzsche's Women: Beyond the Whip. Berlin: Walter de Gruyter. hlm. 56. ISBN 978-3-11-014819-0 – via Google Books. 
  116. ^ Deussen, Paul (1901). Erinnerungen a Friedrich Nietzsche [Memoirs of Friedrich Nietzsche] (dalam bahasa Jerman). Leipzig: F.A. Brockhaus. 
  117. ^ Köhler, Joachim (2002). Zarathustra's secret: the interior life of Friedrich Nietzsche. New Haven, Conn.: Yale University Press. hlm. xv. ISBN 978-0-300-09278-3. 
  118. ^ Golomb, Jacob (2001). Nietzsche and Jewish Culture . London: Routledge. hlm. 202. ISBN 978-0-415-09512-9. 
  119. ^ Megill, Allan (1 March 1996). "Historicizing Nietzsche? Paradoxes and Lessons of a Hard Case". The Journal of Modern History. 68 (1): 114–152. doi:10.1086/245288. ISSN 0022-2801. 
  120. ^ Pletsch, Carl (1992). Young Nietzsche: Becoming a Genius . New York: The Free Press. hlm. 67. ISBN 978-0-02-925042-6. 
  121. ^ Small, Robin (2007). Nietzsche and Rée: A Star Friendship. Oxford: Clarendon Press. hlm. 207. ISBN 978-0-19-927807-7. 
  122. ^ Golomb, Jacob (2001). Nietzsche and Jewish Culture . London: Routledge. hlm. 202. ISBN 978-0-415-09512-9. 
  123. ^ Rogers, N.; Thompson, M. (2004). Philosophers Behaving Badly. London: Peter Owen. 
  124. ^ Grenke, Michael W. (2003). "How Boring..." The Review of Politics. 65 (1): 152–154. doi:10.1017/s0034670500036640. JSTOR 1408799. 
  125. ^ Risse, Mathias (13 January 2003). "Zarathustra's Secret. The Interior Life of Friedrich Nietzsche". Notre Dame Philosophical Reviews. 
  126. ^ Clark, Maudemarie (2015). Nietzsche on Ethics and Politics. Oxford: Oxford University Press. hlm. 154. ISBN 978-0-19-937184-6. 
  127. ^ Benjamin Bennett (2001). Goethe As Woman: The Undoing of Literature. Wayne State University Press. hlm. 184. ISBN 978-0-8143-2948-1. Diakses tanggal 3 January 2013. 
  128. ^ Young, Julian (2010). Friedrich Nietzsche: A Philosophical Biography. Cambridge University Press. 
  129. ^ Bowman, William (2016). Friedrich Nietzsche: Herald of a New Era. Hazar Press. ISBN 978-0-9975703-0-4. 
  130. ^ Schrift, Alan D. (2006). "Deleuze Becoming Nietzsche Becoming Spinoza Becoming Deleuze". Philosophy Today. 50 (9999): 187–194. doi:10.5840/philtoday200650supplement23. ISSN 0031-8256. 
  131. ^ "Nietzsche, Dionysus and Apollo". www.historyguide.org. 
  132. ^ Desmond, Kathleen K. (2011). Ideas About Art. John Wiley & Sons. ISBN 978-1-4443-9600-3 – via Google Books. 
  133. ^ "Nietzsche's Apollonianism and Dionysiansism: Meaning and Interpretation". bachelorandmaster.com. 
  134. ^ "SparkNotes: Friedrich Nietzsche (1844–1900): The Birth of Tragedy". sparknotes.com. 
  135. ^ Janaway, Christopher (2017-02-17). "Attitudes to suffering: Parfit and Nietzsche". Inquiry (dalam bahasa Inggris). 60 (1-2): 69–70. doi:10.1080/0020174X.2016.1251165. ISSN 0020-174X. 
  136. ^ Reginster, Bernard (2006). The affirmation of life: Nietzsche on overcoming nihilism. Cambridge, Mass: Harvard Univ. Press. hlm. 185–186. ISBN 978-0-674-02199-0. 
  137. ^ Nietzsche 1888c, § 2.
  138. ^ Leiter, Brian (2021). Zalta, Edward N., ed. Nietzsche’s Moral and Political Philosophy (edisi ke-Summer 2021). Metaphysics Research Lab, Stanford University. 
  139. ^ Leiter, Brian. "Nietzsche: The truth is terrible". Times Literary Supplement. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-27. Diakses tanggal 2023-10-07. 
  140. ^ Yockey, Francis (2013). Imperium: The Philosophy of History and Politics. The Palingenesis Project (Wermod and Wermod Publishing Group). ISBN 978-0-9561835-7-6. 
  141. ^ Lampert 1986, hlm. 17–18.
  142. ^ Cox, Christoph (1999). Nietzsche: Naturalism and Interpretation. University of California Press. ISBN 978-0-520-92160-3 – via Google Books. 
  143. ^ Schacht, Richard (1983). Nietzsche. hlm. 61. 
  144. ^ Objective and subjective reality; perspectivism. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 May 2013. Diakses tanggal 23 April 2012. 
  145. ^ Solomon, Robert C. (1989). From Hegel to Existentialism. Oup USA. ISBN 978-0-19-506182-6 – via Google Books. 
  146. ^ Murphy, Mark C. (2003). Alasdair MacIntyre. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-79381-0 – via Google Books. 
  147. ^ Lutz, Christopher Stephen (2009). Tradition in the ethics of Alasdair MacIntyre. Rowman & Littlefield. ISBN 978-0-7391-4148-9 – via Google Books. 
  148. ^ Nietzsche, Friedrich; Lacewing, Michael. "Nietzsche on master and slave morality" (PDF). Amazon Online Web Services. Routledge, Taylor & Francis Group. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 10 May 2016. Diakses tanggal 29 September 2019. 
  149. ^ "Nietzsche, "Master and Slave Morality"". philosophy.lander.edu. Diakses tanggal 28 September 2019. 
  150. ^ Nietzsche, Friedrich; Lacewing, Michael. "Nietzsche on master and slave morality" (PDF). Amazon Online Web Services. Routledge, Taylor & Francis Group. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 10 May 2016. Diakses tanggal 29 September 2019. 
  151. ^ Nietzsche, Friedrich; Lacewing, Michael. "Nietzsche on master and slave morality" (PDF). Amazon Online Web Services. Routledge, Taylor & Francis Group. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 10 May 2016. Diakses tanggal 29 September 2019. 
  152. ^ Look, Brandon. "'Becoming Who One Is' in Spinoza and Nietzsche" (PDF). uky.edu. University of Kentucky. Diakses tanggal 28 September 2019. 
  153. ^ Kaufmann, Walter Arnold (1980). From Shakespeare to existentialism. Princeton University Press. ISBN 978-0-691-01367-1 – via Google Books. 
  154. ^ Nietzsche, Friedrich (1908). Ecce Homo. hlm. Chapter on The Case of Wagner, section 2. 
  155. ^ Nietzsche, Friedrich (1886). Beyond Good and Evil. hlm. Section 228. 
  156. ^ Bowman, William (2016). Friedrich Nietzsche: Herald of a New Era. Hazar Press. hlm. 31–38, 60–106. ISBN 978-0-9975703-0-4. 
  157. ^ Kaufmann 1974, hlm. 187.
  158. ^ Sedgwick 2009, hlm. 26.
  159. ^ "Art in Nietzsche's philosophy". jorbon.tripod.com. 
  160. ^ Nietzsche 1888d, Why I Am a Destiny, § 3.
  161. ^ Nietzsche 1888c, hlm. 4, 8, 18, 29, 37, 40, 51, 57, 59.
  162. ^ Sedgwick 2009, hlm. 69.
  163. ^ a b c Sedgwick 2009, hlm. 68.
  164. ^ Nietzsche, Friedrich (1986). Human, All Too Human: A Book for Free Spirits. University of Nebraska Press. hlm. 231. 
  165. ^ Morgan, George Allen (1941). What Nietzsche Means. Cambridge, MA: Harvard University Press. hlm. 36. ISBN 978-0-8371-7404-4. 
  166. ^ Heidegger, hlm. 61.
  167. ^ F. Nietzsche, On the Genealogy of Morals, III:7.
  168. ^ Nietzsche, KSA 12:7 [8]
  169. ^ Friedrich Nietzsche, Complete Works Vol. 13.
  170. ^ Hankey, Wayne J. (2004). "Why Heidegger's 'History' of Metaphysics is Dead". American Catholic Philosophical Quarterly. 78 (3): 425–443. doi:10.5840/acpq200478325. ISSN 1051-3558. 
  171. ^ Nishitani, Keiji (1990). The self-overcoming of nihilism. Albany: State University of New York Press. ISBN 0-585-05739-7. OCLC 43475134. 
  172. ^ Stambaugh, Joan (1994). The other Nietzsche. Albany: State University of New York Press. ISBN 0-7914-1699-2. OCLC 27684700. 
  173. ^ Milne, Andrew (2021). Nietzsche as egoist and mystic. Cham. ISBN 978-3-030-75007-7. OCLC 1264715169. 
  174. ^ Nietzsche, Friedrich. "Nachlass Fragments, 1884". 
  175. ^ Nietzsche 1886, hlm. 13.
  176. ^ Nietzsche 1888b, Skirmishes of an untimely man, § 14.
  177. ^ Nietzsche 1886, I, § 36.
  178. ^ Nietzsche 1886, I, § 12.
  179. ^ Deleuze 2006, hlm. 46.
  180. ^ Nietzsche 1886, I, § 22.
  181. ^ Leddy, Thomas (14 June 2006). "Project MUSE – Nietzsche's Mirror: The World as Will to Power (review)". The Journal of Nietzsche Studies. 31 (1): 66–68. doi:10.1353/nie.2006.0006. 
  182. ^ Huang, Jing (19 March 2019). "Did Nietzsche want his notes burned? Some reflections on the Nachlass problem". British Journal for the History of Philosophy. 27 (6): 1194–1214. doi:10.1080/09608788.2019.1570078. 
  183. ^ Nietzsche 1961, hlm. 176–180.
  184. ^ Kundera, Milan (1999). The Unbearable Lightness of Being. hlm. 5. 
  185. ^ Dudley, Will (2002). Hegel, Nietzsche, and Philosophy: Thinking Freedom. Cambridge University Press. hlm. 201. ISBN 978-0-521-81250-4 – via Google Books. 
  186. ^ See Heidegger, Nietzsche. Volume II: The Eternal Recurrence of the Same trans. David Farrell Krell. New York: Harper and Row, 1984. 25.
  187. ^ Schacht, Richard (2001). Nietzsche's Postmoralism: Essays on Nietzsche's Prelude to Philosophy's Future (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 237. ISBN 978-0-521-64085-5. 
  188. ^ Van Tongeren, Paul (2000). Reinterpreting Modern Culture: An Introduction to Friedrich Nietzsche's Philosophy. Purdue University Press. hlm. 295. ISBN 978-1-55753-157-5. Diakses tanggal 18 April 2013. 
  189. ^ Nietzsche, Friedrich (1954). The Portable Nietzsche. Diterjemahkan oleh Walter Kaufmann. New York: Penguin. 
  190. ^ Nietzsche, Friedrich (2006). Adrian Del Caro; Robert Pippin, ed. Nietzsche: Thus Spoke Zarathustra. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-60261-7. 
  191. ^ Lampert 1986.
  192. ^ Rosen, Stanley (1995). The Mask of Enlightenment. Cambridge: Cambridge University Press. 
  193. ^ Lampert 1986, hlm. 18.
  194. ^ "Nietzsche, "Master and Slave Morality"". philosophy.lander.edu. 
  195. ^ van der Braak, Andre (31 March 2015). "Zen and Zarathustra: Self-Overcoming without a Self". Journal of Nietzsche Studies. 46: 2–11. doi:10.5325/jnietstud.46.1.0002. 
  196. ^ Martin, Clancy; Higgins, Kathleen M.; Solomon, Robert C.; Stade, George (2005). Thus Spoke Zarathustra. New York: Barnes & Noble Books. hlm. 9–11. ISBN 978-1-59308-384-7. 
  197. ^ Nietzsche and Heidegger. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 June 2012. 
  198. ^ Golomb, Jacob; Wistrich, Robert S., ed. (2002). Nietzsche, Godfather of Fascism?: On the Uses and Abuses of a Philosophy. Princeton, NJ: Princeton University Press. 
  199. ^ Kellner, Douglas (1999). "Nietzsche's Critique of Mass Culture". International Studies in Philosophy. 31 (3): 77–89. doi:10.5840/intstudphil199931353. 
  200. ^ Brobjer, Thomas. "Nietzsche's Reading and Private Library, 1885–1889". Journal of History of Ideas.
  201. ^ "Letter to Franz Overbeck, 30 July 1881"
  202. ^ Jason Maurice Yonover: "Nietzsche, Spinoza, and Philosophical Etiology (On the Example of Free Will)", in: European Journal of Philosophy (forthcoming).
  203. ^ Russell 2004, hlm. 693–697.
  204. ^ Joudrey, Thomas J. (2017). "The Defects of Perfectionism: Nietzsche, Eliot, and the Irrevocability of Wrong". Philological Quarterly. 96 (1): 77–104. 
  205. ^ Nietzsche 2001, hlm. xxxvii.
  206. ^ Roochnik 2004, hlm. 37–39.
  207. ^ Roochnik 2004, hlm. 48.
  208. ^ Santayana 1916, hlm. 114.
  209. ^ Wagner, Albert Malte (1939). "Goethe, Carlyle, Nietzsche and the German Middle Class (Concluded)". Monatshefte für Deutschen Unterricht. University of Wisconsin Press. 31 (5): 235–242. JSTOR 30169571. 
  210. ^ Brendan Donnellan, "Nietzsche and La Rochefoucauld" in The German Quarterly, Vol. 52, No. 3 (May 1979), pp. 303–318
  211. ^ Nietzsche 1888d, "Why I am So Clever", § 3.
  212. ^ Le Rider, Jacques. 1999. Nietzsche en France. De la fin du XIXe siècle au temps présent. Paris: PUF. pp. 8–9, as cited in Grzelczyk, Johan. 2005. "Féré et Nietzsche: au sujet de la décadence" (dalam bahasa Prancis). Error in webarchive template: Check |url= value. Empty.. via HyperNietzsche.
  213. ^ Wahrig-Schmidt, B. (1988). "Irgendwie, jedenfalls physiologisch. Friedrich Nietzsche, Alexandre Herzen (fils) und Charles Féré 1888" [Somehow, at least physiologically. Friedrich Nietzsche, Alexandre Herzen (fils) and Charles Féré 1888.]. Nietzsche Studien (dalam bahasa Jerman). Berlin: Walter de Gruyter. 17: 439. , as cited in Grzelczyk, Johan (2005). "Féré et Nietzsche: au sujet de la décadence" [Féré and Nietzsche: about decadence] (dalam bahasa Prancis). Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 November 2006. 
  214. ^ Thomas, Brobjer (2010). Nietzsche's Philosophical Context: An Intellectual Biography. University of Illinois Press. ISBN 978-0-252-09062-2 – via Google Books. 
  215. ^ Note sur Nietzsche et Lange: "Le retour éternel", Albert Fouillée, Revue philosophique de la France et de l'étranger. An. 34. Paris 1909. T. 67, S. 519–525 (on French Wikisource)
  216. ^ Walter Kaufmann, intr. p. 11 of his transl. of 'The Gay Science'
  217. ^ Notebooks, cf. The Gay Science, Walter Kaufmann transl, p. 12
  218. ^ Weaver, Santaniello (1994). Nietzsche, God, and the Jews: His Critique of Judeo-Christianity in Relation to the Nazi Myth. State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-2136-9 – via Google Books. 
  219. ^ a b Montinari, Mazzino (1996). La Volonté de puissance' n'existe pas [The Will to Power does not exist] (dalam bahasa Prancis). Éditions de l'Éclat. hlm. 13. 
  220. ^ Kaufmann 1974, hlm. 306–340.
  221. ^ Nietzsche 1888b, § 45.
  222. ^ Löwith, Karl. 1964. From Hegel to Nietzsche. New York. p. 187.
  223. ^ Taylor, S. (1990). Left Wing Nietzscheans: The Politics of German Expressionism 1910–1920. Berlin/New York: Walter de Gruyter. hlm. 144. 
  224. ^ Deleuze 2006, hlm. 153–154.
  225. ^ Solomon, R. C.; Higgins, K. M. (1993). The Age of German Idealism. Routledge. hlm. 300. 
  226. ^ Samek, R. A. (1981). The Meta Phenomenon. New York. hlm. 70. 
  227. ^ Goyens, T. 2007. Beer and Revolution: The German Anarchist Movement in New York City. Illinois. p. 197.
  228. ^ Laska, Bernd A. "Nietzsche's initial crisis". Germanic Notes and Reviews. 33 (2): 109–133. 
  229. ^ Liukkonen, Petri. "Johann Christian Friedrich Hölderlin (1770–1843)". Books and Writers (kirjasto.sci.fi). Finland: Kuusankoski Public Library. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 December 2014. 
  230. ^ Meyer-Sickendiek, Burkhard. 2004. "Nietzsche's Aesthetic Solution to the Problem of Epigonism in the Nineteenth Century." In Nietzsche and Antiquity: His Reaction and Response to the Classical Tradition, edited by P. Bishop. Woodbridge, UK: Boydell & Brewer. p. 323.
  231. ^ Rebekah, Peery (2008). Nietzsche, Philosopher of the Perilous Perhaps. Algora. ISBN 978-0-87586-644-4 – via Google Books. 
  232. ^   Chisholm, Hugh, ed. (1911). "perlu nama artikel ". Encyclopædia Britannica (edisi ke-11). Cambridge University Press. 
  233. ^ Ewald, O. 1908. "German Philosophy in 1907." The Philosophical Review 17(4):400–426.
  234. ^ Riley, T. A. 1947. "Anti-Statism in German Literature, as Exemplified by the Work of John Henry Mackay." PMLA 62(3):828–843.
  235. ^ Forth, C. E. 1993. "Nietzsche, Decadence, and Regeneration in France, 1891–1895." Journal of the History of Ideas 54(1):97–117.
  236. ^ Mencken, H. L. (1910). The Gist of Nietzsche. Boston: J.W. Luce. 
  237. ^ Hamdani, Sylviana (2022-09-25). "Nietzsche says 'Be Yourself' in latest compilation of aphorisms". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-10-07. 
  238. ^ Aylesworth. Ensiklopedia Filsafat Stanford. . §Precursors.
  239. ^ Gemes, Ken (2001-03). "Postmodernism's Use and Abuse of Nietzsche". Philosophy and Phenomenological Research (dalam bahasa Inggris). 62 (2): 337–360. doi:10.1111/j.1933-1592.2001.tb00059.x. ISSN 0031-8205. 
  240. ^ Coste, Bénédicte (15 December 2016). "The Romantics of 1909: Arthur Symons, Pierre Lasserre and T.E. Hulme". E-rea. 14 (1). doi:10.4000/erea.5609. ISSN 1638-1718. 
  241. ^ Everdell, William (1998). The First Moderns. Chicago: University of Chicago Press. hlm. 508. ISBN 978-0-226-22481-7. 
  242. ^ Joyce and Nietzsche. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 June 2011. 
  243. ^ Pasley, Malcolm (1978). Nietzsche:Imagery and thoughts. University of California Press. ISBN 978-0-520-03577-5 – via Google Books. 
  244. ^ Forrester, John (1997). Dispatches from the Freud Wars . Harvard University Press. hlm. 39. ISBN 978-0-674-53960-0. masterly debunker of our liberal fallacies. 
  245. ^ Argyle, Gisela (2002). Germany as model and monster: Allusions in English fiction . McGill-Queen's University Press – MQUP. hlm. 130. ISBN 978-0-7735-2351-7. W.H. Auden Nietzsche. 
  246. ^ Auden, Wystan Hugh (1 June 1979). The Double Man. Greenwood Press. ISBN 978-0-313-21073-0 – via Google Books. 
  247. ^ Donald, Mitchell (1980). Gustav Mahler: The Early Years. University of California Press. ISBN 978-0-520-04141-7 – via Google Books. 
  248. ^ Holdheim, William W. (1957). "The Young Gide's Reaction to Nietzsche". PMLA (dalam bahasa Inggris). 72 (3): 534–544. doi:10.2307/460474. ISSN 0030-8129. JSTOR 460474. 
  249. ^ Dahlkvist, Tobias, "By the Open Sea – A Decadent Novel?", The International Strindberg, Northwestern University Press: 195–214, doi:10.2307/j.ctv47w3xd.13, ISBN 978-0-8101-6629-5, diakses tanggal 28 May 2021 
  250. ^ Carpenter, Frederic I. (1977). "Robinson Jeffers Today: Beyond Good and Beneath Evil". American Literature. 49 (1): 86–96. doi:10.2307/2925556. ISSN 0002-9831. JSTOR 2925556. 
  251. ^ Murphy, Katharine (27 May 2020). "Spanish Modernism in Context: Failed Heroism and Cross-Cultural Encounters in Pío Baroja and Joseph Conrad". Bulletin of Spanish Studies. 97 (5): 807–829. doi:10.1080/14753820.2020.1726630. ISSN 1475-3820. 
  252. ^ Colin, Milton (1987). Lawrence and Nietzsche : a study in influence. Aberdeen University Press. ISBN 0-08-035067-4. OCLC 797149190. 
  253. ^ Mier-Cruz, Benjamin (5 February 2021). "Edith Södergran's Genderqueer Modernism". Humanities. 10 (1): 28. doi:10.3390/h10010028. ISSN 2076-0787. 
  254. ^ Wagenaar, Dick; Iwamoto, Yoshio (1975). "Yukio Mishima: Dialectics of Mind and Body". Contemporary Literature. 16 (1): 41–60. doi:10.2307/1207783. ISSN 0010-7484. JSTOR 1207783. 
  255. ^ Paine, Jeffery M. (1986). "Rainer Maria Rilke: The Evolution of a Poet". The Wilson Quarterly. 10 (2): 148–162. ISSN 0363-3276. JSTOR 40257012. 
  256. ^ James, Wood (26 November 1998). "Addicted to Unpredictability". London Review of Books. hlm. 16–19. 
  257. ^ Reesman, Jeanne Campbell (2011). Jack London's Racial Lives. University of Georgia Press. ISBN 978-0-8203-3970-2 – via Google Books. 
  258. ^ London, Jack (2001). A Sun of the Son. University of Oklahoma Press. ISBN 978-0-8061-3362-1 – via Google Books. 
  259. ^ Ray, Jackson (2007). Nietzsche and Islam. Routledge. ISBN 978-1-134-20500-4 – via Google Books. 
  260. ^ Brad, Damare. Music and Literature in Silver Age Russia: Mikhail Kuzmin and Alexander Scriabin. ISBN 978-0-549-81910-3 – via Google Books. [pranala nonaktif]
  261. ^ Bernice, Rosenthal (2010). New Myth, New World: From Nietzsche to Stalinism. Penn State Press. ISBN 978-0-271-04658-7 – via Google Books. 
  262. ^ Bernice, Rosenthal (1994). Nietzsche and Soviet Culture: Ally and Adversary. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-45281-6 – via Google Books. 
  263. ^ Shookman, Ellis (2004). Thomas Mann's Death in Venice. Greenwood Publishing. ISBN 978-0-313-31159-8 – via Google Books. 
  264. ^ Nietzsche Circle. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 January 2013. 
  265. ^ "Doctor Faustus". medhum.med.nyu.edu. 
  266. ^ Book: Ницше Фридрих Вильгельм. Так говорил Заратустра (с репродукциями картин Л. Хейдиз из цикла "Так говорил Заратустра"). Academic Dictionaries and Encyclopedias (dalam bahasa Rusia). 
  267. ^ Aschheim, Steven E. (1992). The Nietzsche Legacy in Germany, 1890–1990. Berkeley and Los Angeles. hlm. 135. [a]bout 150,000 copies of a specially durable wartime Zarathustra were distributed to the troops 
  268. ^ Kaufmann 1974, hlm. 8.
  269. ^ Santaniello, Weaver (1994). Nietzsche, God, and the Jews. SUNY Press. hlm. 41. Hitler probably never read a word of Nietzsche. 
  270. ^ Lang, Berel (2005). Post-Holocaust: Interpretation, Misinterpretation, and the Claims of History. Indiana University Press. hlm. 162. Arguably, Hitler himself never read a word of Nietzsche; certainly, if he did read him, it was not extensively. 
  271. ^ Shirer, William L. (1959). The Rise and Fall of the Third Reich: A History of Nazi Germany. Touchstone. hlm. 100–101. 
  272. ^ Baeumler, Alfred (1931). Nietzsche, der Philosoph und Politiker [Nietzsche, the philosophy and politics] (dalam bahasa Jerman). Leipzig: Reclam. 
  273. ^ Whyte, Max (2008). "The Uses and Abuses of Nietzsche in the Third Reich: Alfred Baeumler's 'Heroic Realism'". Journal of Contemporary History. 43: 171–194. doi:10.1177/0022009408089028. 
  274. ^ Falasca-Zamponi, Simonetta (2000). Fascist Spectacle: The Aesthetics of Power in Mussolini's Italy. University of California Press. hlm. 44. In 1908 he presented his conception of the superman's role in modern society in a writing on Nietzsche titled "The Philosophy of Force" 
  275. ^ Morgan, Philip (2003). Fascism in Europe, 1919–1945. Routledge. hlm. 21. We know that Mussolini had read Nietzsche 
  276. ^ Gaddis, J. L.; Gordon, P. H.; May, E. R.; Rosenberg, J. (1999). Cold War Statesmen Confront the Bomb. Oxford University Press. hlm. 217. The son of a history teacher, de Gaulle read voraciously as a boy and young man—Jacques Bainville, Henri Bergson, Friederich [sic] Nietzsche, Maurice Barres—and was steeped in conservative French historical and philosophical traditions. 
  277. ^ Mumia, Abu-Jamal (2004). We Want Freedom: A Life in the Black Panther Party. South End Press. ISBN 978-0-89608-718-7 – via Google Books. 
  278. ^ Crowley, Monica (1998). Nixon in Winter. I.B. Tauris. hlm. 351. He read with curious interest the writings of Friedrich Nietzsche [...] Nixon asked to borrow my copy of Beyond Good and Evil, a title that inspired the title of his final book, Beyond Peace. 
  279. ^ Russell, Bertrand (1945). A History of Western Philosophy. New York: Simon & Schuster. hlm. 766, 770. ISBN 978-0-671-20158-6. 
  280. ^ Cornwell, Neil (2006). The Absurd in Literature. Manchester University Press. ISBN 978-0-7190-7410-3 – via Google Books. 
  281. ^ Jarrett, J. L., ed. (1997). Jung's Seminar on Nietzsche's Zarathustra (edisi ke-abridged). Princeton University Press. ISBN 978-0-691-01738-9. Diakses tanggal 22 August 2014. 
  282. ^ "Jung's Reception of Friedrich Nietzsche: A Roadmap for the Uninitiated by Dr. Ritske Rensma". Depth Insights. Diakses tanggal 22 August 2014. 
  283. ^ a b Belliotti, Raymond A. (2013). Jesus or Nietzsche: How Should We Live Our Lives?. Rodopi. 
  284. ^ Kuipers, Ronald A. (2011). "Turning Memory into Prophecy: Roberto Unger and Paul Ricoeur on the Human Condition Between Past and Future". The Heythrop Journal: 1–10. 
  285. ^ Rorty, Richard (1988). "Unger, Castoriadis, and the Romance of a National Future". Northwestern University Law Review. 82: 39. 
  286. ^ Rickman, Hans Peter (1996). Philosophy in Literature. Fairleigh Dickinson Univ Press. ISBN 978-0-8386-3652-7 – via Google Books. 
  287. ^ Oswald Spengler. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 May 2013. 
  288. ^ Tat, Alin; Popenici, Stefan (2008). Romanian Philosophical Culture, Globalization, and Education. ISBN 978-1-56518-242-4. 
  289. ^ "Lester Hunt's Web Page". 
  290. ^ Derrida, J.; Attridge, D. (25 September 2017). ""This Strange Institution Called Literature": An Interview with Jacques Derrida". Acts of Literature. Routledge. hlm. 33–75. doi:10.4324/9780203873540-2. ISBN 978-0-203-87354-0. Diakses tanggal 28 May 2021. 
  291. ^ Lampert, Laurence (1996). Leo Strauss and Nietzsche. Chicago: University of Chicago Press. 
  292. ^ Foucault, Michel (1980). "Nietzsche, Genealogy, History". Language, Counter-Memory, Practice (dalam bahasa Inggris). Cornell University Press. hlm. 139–164. doi:10.1515/9781501741913-008. ISBN 978-1-5017-4191-3. 
  293. ^ Williams, Bernard (31 December 1994). "13. Nietzsche's Minimalist Moral Psychology". Nietzsche, Genealogy, Morality (dalam bahasa Inggris). University of California Press. hlm. 237–248. doi:10.1525/9780520914049-017. ISBN 978-0-520-91404-9. 

Pranala luar

sunting