Pancasila (Buddhisme)

Lima latihan moral dasar dalam Buddhisme

Pancasila (Pāli: pañcasīla; Sanskerta: pañcaśīla; terj. har.'lima sila, moralitas, akhlak'), juga disebut sebagai lima prinsip latihan (Pali: pañcasikkhapada; Sanskerta: pañcaśikṣapada), adalah sistem moralitas yang paling penting bagi umat awam Buddhisme. Silanya berisi komitmen untuk tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak melakukan perbuatan seksual yang salah, tidak berbohong, dan tidak mabuk-mabukan.

Plakat dengan lima sila terukir dalam bahasa Inggris di Lumbini, Nepal.

Pelanggaran sila dapat mengakibatkan kelahiran kembali di alam-alam kemalangan, seperti neraka, binatang, dan hantu kelaparan. Di sisi lain, penjagaan sila dikatakan dapat menghasilkan jasa kebajikan, kelahiran kembali di alam surga, hingga terbebas dari bahaya, permusuhan, dan gangguan.[1] Seorang upasaka-upasika yang menjunjung tinggi sila-sila tersebut digambarkan dalam kitab suci sebagai “permata di antara umat awam”.[2]

Syair pengambilan sila umum dilantunkan tepat setelah dilantunkannya syair perlindungan kepada Triratna baik bagi seseorang yang berniat pindah agama maupun seseorang yang sudah menganut Buddhisme.[3]

Theravāda

sunting

Berikut merupakan syair Pañcasīla Buddhis dalam bahasa Pali:[4]

  1. Pāṇātipātā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.
  2. Adinnādānā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.
  3. Kāmesu micchācārā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.
  4. Musāvāda veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.
  5. Surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.

Dalam bahasa Indonesia, sila-sila ini diterjemahkan sebagai berikut:[5]

  1. Aku bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup.
  2. Aku bertekad melatih diri untuk menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan.
  3. Aku bertekad melatih diri untuk menghindari perbuatan asusila.
  4. Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar (bohong).
  5. Aku bertekad melatih diri menghindari minuman memabukkan hasil penyulingan atau peragian yang menyebabkan lemahnya kesadaran.

Syair tersebut dirangkum sebagai paritta yang bersumber dari berbagai daftar yang dapat ditemukan dalam Tripitaka Pali, seperti DN 5; SN 56.71-74; Iti 74; dan lain-lain.

Penafsiran tradisional

sunting

Penafsiran yang didasarkan pada penjelasan kitab-kitab komentar (aṭṭhakathā) dan subkomentar (ṭīkā) untuk setiap sila merupakan penafsiran tradisional yang diamalkan oleh penganut Theravāda. Pendefinisian dalam kitab-kitab tersebut bersumber dari berbagai bagian kitab-kitab Suttapiṭaka, Vinayapiṭaka, Abhidhammapiṭaka, dan kepustakaan Pāli lainnya. (Sebagai catatan, aliran Buddhis lain, seperti aliran-aliran Mahāyāna, mungkin memiliki penafsiran yang berbeda secara signifikan.)

Pembunuhan makhluk hidup

sunting

Sila pertama terdiri dari kata pāṇa yang berarti "makhluk hidup (yang bernapas; berbeda dari definisi 'makhluk hidup' menurut ilmu biologi)", dan atipāta yang berarti "membunuh, mengakhiri kehidupan".[1][6]

Pelanggaran terjadi jika lima faktor berikut ini terpenuhi:[1][6]

  1. Adanya makhluk hidup (pāṇa)
  2. Dipersepsikan sebagai makhluk hidup, mengetahui bahwa itu adalah makhluk hidup (pāṇasaññitā)
  3. Pikiran untuk membunuh (vadhakacitta)
  4. Melakukan upaya untuk membunuh (upakkama)
  5. Makhluk tersebut mati (maraṇa)

Makhluk hidup dalam konteks ini dicirikan sebagai sesuatu yang memiliki kesadaran, memerlukan makanan, dapat bergerak, dapat melakukan suatu karma, dan terlihat oleh mata.[1] Dalam pengertian yang hakiki (paramattha), yang disebut makhluk adalah kesinambungan gugusan (khandhasantāna). Istilah "makhluk" hanyalah ekspresi sehari-hari (vohāra). Dalam pendefinisian yang lebih akurat, makhluk hidup—dalam konteks pembunuhan makhluk hidup—adalah indra-nyawa materi dan nonmateri/mental (rūpārūpajīvitindriya). Jadi, pembunuhan makhluk hidup adalah kehendak untuk membunuh makhluk tersebut, dia mengetahui bahwa makhluk tersebut adalah makhluk hidup, yang terjadi di pintu tertentu—pintu-tubuh atau pintu-ucapan—dan memunculkan upaya untuk menghancurkan indra-nyawa.[6]

Upaya yang dilakukan untuk membunuh (upakkama) tercatat dalam kitab komentar sebagai enam usaha (cha payoga) sebagai berikut:[1][6]

  1. Tangan sendiri (sāhatthika), yaitu dengan membunuh langsung menggunakan anggota tubuh atau peralatan tertentu.
  2. Perintah atau suruhan (āṇattika), yaitu dengan memberikan instruksi kepada makhluk lain untuk melakukan pembunuhan.
  3. Benda yang dilontarkan (nissaggiya), yaitu dengan menembak, memanah, melempar.
  4. Benda yang tidak bergerak (thāvara), yaitu dengan memasang jebakan.
  5. Jampi-jampi (vijjāmaya), yaitu dengan melafalkan mantra-mantra yang dapat mendatangkan daya gaib (makhluk halus).
  6. Kekuatan gaib (iddhimaya), yaitu dengan menggunakan kekuatan supranatural (santet, dan lain-lain), dengan mematangkan buah karma (kammavipākajiddhimaya).

Pengambilan barang yang tidak diberikan

sunting

Sila kedua terdiri dari kata adinna yang berarti "sesuatu yang tidak diberikan", dan ādāna yang berarti "mengambil, mencuri."[1][6]

Lima faktor (pañca sambhārā) untuk pelanggaran sila ini adalah:[1][6]

  1. Dikuasai oleh, atau milik orang lain (parapariggahita).
  2. Dipersepsikan sebagai milik orang lain, mengetahui bahwa itu adalah benda milik orang lain (parapariggahitasaññitā).
  3. Pikiran untuk mencuri (theyyacitta).
  4. Melakukan upaya untuk mencuri (upakkama).
  5. Membawa barang tersebut, berpindah karenanya (haraṇa).

Mencuri bisa dilakukan dengan upaya melalui enam usaha (cha payoga) sebagai berikut:[1][6]

  1. Pencurian (theyya), yaitu dengan mengambil secara sembunyi-sembunyi (mencopet, membobol, dsb.).
  2. Kekerasan (pasayha), yaitu dengan mengambil secara paksa (merampok, merampas, menjarah, membegal, dsb.).
  3. Penutupan (paṭicchanna), yaitu dengan membuat tidak terlihat (menyembunyikan, menggelapkan, korupsi, dsb.).
  4. Perencanaan atau persekongkolan (parikappa), yaitu dengan menggunakan siasat yang terencana (menyelundupkan, menyuap, muslihat).
  5. Penukaran label (kusa), yaitu dengan mengambil sesuatu berkualitas tinggi lalu menggantinya dengan kualitas yang lebih rendah (memalsukan).

Perbuatan asusila

sunting

Sila ketiga ini juga dapat diterjemahkan sebagai "menghindari perilaku yang salah dalam kesenangan indrawi, perbuatan seksual yang salah", terkadang diterjemahkan sebagai "zina", meskipun dengan definisi yang tidak memasukkan fornikasi (hubungan seksual di luar nikah) sebagai faktor pelanggarannya. Sila ini terdiri dari kata kāmesu yang berarti "kesenangan indrawi, nafsu seksual" yang merujuk pada "perbuatan cabul (methunasamācāra)"; dan micchācāra yang berarti "perilaku salah, keliru" yang merujuk pada "perilaku yang amat dicela, dicemooh orang" (ekantanindita lāmakācāra).[1][6]

Empat faktor (cattāro sambhāra) untuk pelanggaran sila ini:[1][6]

  1. Objek yang termasuk dalam wilayah yang terlarang, objek yang sepatutnya tidak disetubuhi (agamanīyavatthu).
  2. Pikiran untuk menyetubuhi (sevana-citta).
  3. Usaha untuk menyetubuhi (sevanapayoga).
  4. Perkenan atau persetujuan untuk melakukan persetubuhan (maggenamaggappaṭipattiadhivāsana).

Objek dalam wilayah yang terlarang (agamanīyavatthu) didefinisikan sebagai dua puluh jenis orang yang:[1][6]

  • Belum menikah:
    1. Di bawah pengawasan ibunya (māturakkhita).
    2. Di bawah pengawasan ayahnya (piturakkhita).
    3. Di bawah pengawasan ibu dan ayahnya (mātāpiturakkhita).
    4. Di bawah pengawasan saudara laki-laki (bhāturakkhita).
    5. Di bawah pengawasan saudara perempuan (bhaginirakkhita).
    6. Di bawah pengawasan kerabatnya (ñātirakkhita).
    7. Di bawah pengawasan suku atau marganya (gottarakkhita).
    8. Di bawah pengawasan Dhamma (dhammarakkhita).
    9. Di bawah penjagaan/pengamanan (sārakkha).
    10. Sedang didenda oleh raja (saparidaṇḍā).
  • Sudah menikah (pasangan dari orang lain):
    1. Dibeli dengan uang (dhanakkīta).
    2. Tinggal bersama karena suka, karena keinginannya sendiri (chandavāsinī).
    3. Tinggal bersama karena alasan harta kekayaan (bhogavāsinī).
    4. Tinggal bersama karena pakaian (paṭavāsinī).
    5. Telah dinikahkan dengan mencelupkan tangan di mangkuk air (odapattakinī).
    6. Telah dinikahkan setelah dibawa pergi gelung rambutnya (obhaṭacumbaṭā).
    7. Pelayan/budak sekaligus pasangan (dāsī ca bhariyā ca).
    8. Pembantu sekaligus pasangan (kammakārī ca bhariyā ca).
    9. Rampasan perang (dhajāhata).
    10. Pasangan sementara/kontrak (muhuttika).

Sebagai tambahan, selain pasangannya sendiri, orang lain tidak diizinkan untuk "mendekati [secara romantis]" dua belas jenis orang, yaitu nomor sembilan sampai dengan dua puluh.[6]

Ucapan tidak benar

sunting

Sila keempat terdiri dari kata musā yang berarti "sesuatu yang tidak benar, kebohongan", dan vāda yang berarti "ucapan, ujaran, perkataan".[1] Lebih lanjut, tidak benar (musā) bermakna "usaha melalui tubuh atau ucapan yang menghancurkan kesejahteraan (yang dilakukan) oleh seseorang yang dimaksudkan untuk kebohongan." Dengan demikian, perkataan tidak benar/berbohong (musāvāda) adalah kehendak yang memunculkan usaha melalui tubuh atau ucapan untuk membohongi orang lain yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan kebohongan. Dari definisi ini, perkataan tidak benar atau berbohong bisa muncul melalui pintu-tubuh (kebohongan melalui gerak-gerik tubuh) atau pintu-ucapan (kebohongan melalui mulut).[6]

Empat faktor (cattāro sambhārā) pelanggaran sila keempat:[1][6]

  1. Sesuatu yang tidak benar (atathaṃ vatthu).
  2. Pikiran yang dimaksudkan untuk kebohongan (visaṃvādana-citta).
  3. Usaha yang sesuai (tajjo vāyāmo).
  4. Memberikannya kepada orang lain—supaya mengetahui makna tersebut; pihak lawan bicara memahami maksudnya (parassa tadatthavijānana).

Hanya ada satu upaya/usaha (eka payoga) untuk berbohong, yaitu diri seseorang yang berbohong itu sendiri; melalui usahanya untuk melakukan kebohongan dengan tubuh, sesuatu yang menempel pada tubuh (kāyappaṭibaddha), atau dengan ucapan.[6]

Minuman memabukkan

sunting

Surā (minuman hasil penyulingan) yang dibuat dari:[1]

  1. Tepung terigu (piṭṭhasurā)
  2. Kue (pūvasurā)
  3. Beras (odanasurā atau odaniyasurā)
  4. Ragi (kiṇṇapakkhittā)
  5. Campuran dari bahan-bahan di atas (sambhārasaṃyuttā)

Meraya (minuman hasil peragian) yang dibuat dari:[1]

  1. Bunga (pupphāsava)
  2. Buah (phalāsava)
  3. Madu (madhvāsava)
  4. Sari tebu (guḷāsava)
  5. Campuran dari bahan-bahan di atas (sambhārasaṃyuttā)

Jadi, surāmerayamajjappamādaṭṭhāna berarti "hal menenggak minuman yang memabukkan (majja) yang disebut sebagai surāmeraya, yang menimbulkan kelengahan batin (pamādacetanā)."[1]

Empat faktor pelanggaran sila kelima:[1]

  1. Sesuatu yang memabukkan (majja-bhāva)
  2. Pikiran untuk menenggaknya (pātukamyatā-citta)
  3. Upaya berdasarkan itu (tajjo vāyāmo)
  4. Terminum atau tertelan (ajjhoharaṇa)

Latihan ini juga ditafsirkan sebagai penghindaran sepenuhnya dari zat yang memabukkan.[1] Sigālovāda Sutta (DN 31) menjelaskan enam bahaya bagi penggemar minuman yang memabukkan dan menimbulkan kelengahan:[1]

  1. Kehilangan harta dalam hidup ini juga
  2. Kerap terlibat dalam perselisihan
  3. Rentan terserang penyakit
  4. Reputasi yang tidak baik
  5. Terpaparnya organ kemaluan
  6. Melemahnya kebijaksanaan

Pelanggaran sila

sunting

Konsekuensi dari pemenuhan sila adalah mendapatkan kelahiran kembali di alam-alam bahagia, sedangkan konsekuensi dari pelanggaran sila adalah kelahiran kembali di neraka.[1]

“Oh kepala rumah tangga, orang yang telah menanggalkan kelima kedengkian yang menakutkan ini disebut ‘berakhlak’ (sīlavā), akan terlahir di alam bahagia … Ia yang menghindari pembunuhan makhluk hidup … minuman hasil fermentasi yang memabukkan dan mengondisikan kelengahan, takkan menimbulkan kedengkian yang menakutkan dalam kelahiran ini, dalam kelahiran yang akan datang, takkan mengalami penderitaan dan kepedihan batin.”

Setelah menjelaskan kepada Anāthapiṇḍika perihal Pancasila Buddhis, Buddha berkata, “Orang yang membunuh makhluk hidup, mencuri, pergi ke wanita pihak lain, berbohong, menenggak minuman keras, di dunia ini; tidak menanggalkan lima kedengkian disebut tidak berakhlak, dungu; setelah terurainya jasmani, akan terlahir di neraka.”

— Vera Sutta (AN 5.174)

Selain itu, seseorang yang menghindari pelanggaran sila juga dikatakan telah membuat makhluk hidup yang tak terbatas jumlahnya terbebas dari bahaya, permusuhan, dan gangguan; mendapatkan pahala tak terbatas; dan terbebas dari bahaya, permusuhan, dan gangguan.[1]

“Dengan meninggalkan minuman beralkohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan dan mengondisikan kelengahan, seorang siswa yang mulia membuat makhluk hidup yang tak terbatas jumlahnya terbebas dari bahaya, permusuhan, dan gangguan. Setelah membuat makhluk hidup yang tak terbatas jumlahnya terbebas dari bahaya, permusuhan, dan gangguan, ia juga mendapatkan [pahala] yang tak terbatas jumlahnya, terbebas dari bahaya, permusuhan, dan gangguan ...

Inilah, oh para bhikkhu, kedelapan hal (termasuk berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha) yang menghasilkan jasa, menghasilkan kebajikan, membawa kebahagiaan, membuat terlahir di alam surga, berbuah kebahagiaan, menuntun menuju surga, yang mendatangkan hasil yang berkenan di hati, diinginkan, memesona, bermanfaat, dan membahagiakan.”

— Abhisanda Sutta (AN 8.39)

Dalam Duccaritavipāka Sutta (AN 8.40), Buddha juga menguraikan akibat dari pelanggaran sila. Jika seseorang sering melanggarnya, maka ia akan terlahir di salah satu dari tiga alam kemalangan, yaitu alam neraka, binatang, dan hantu kelaparan. Akan tetapi, bila terlahir sebagai manusia (akibat paling ringannya dari pelanggaran tersebut), maka ia akan menjadi manusia yang:[1]

  1. Berusia pendek; untuk pelanggaran sila ke-1
  2. Sering ditimpa musibah, kehilangan harta; untuk sila ke-2
  3. Sering dimusuhi, dibenci; untuk sila ke-3
  4. Mendapat tuduhan palsu; untuk sila ke-4
  5. Gila, idiot; untuk sila ke-5

Pemurnian sila

sunting

Sila dimurnikan dengan empat perwujudan:[1]

  1. Ajjhāsayavisuddhi (kemurnian tekad): Dengan hasrat yang murni, dia yang memiliki harga diri, yang jijik terhadap keburukan, berperilaku murni setelah memunculkan rasa malu untuk berbuat jahat (hiri) dalam batinnya.
  2. Samādāna (pengambilan sila): Dia yang menghargai orang lain, takut terhadap perbuatan jahat, mengambil sila dari pihak lain, lalu berperilaku murni setelah memunculkan rasa takut untuk berbuat jahat (ottappa) dalam batinnya.
  3. Avītikkamana (tiada pelanggaran): Setelah mantap dalam kemoralan, dia tidak melakukan pelanggaran.
  4. Paṭipākatikakaraṇa (melakukan perbaikan): Oleh karena kelalaiannya, dia melanggar sila, kemudian melalui pengertian terhadap rasa malu dan takut secara moral, secara berurutan, ia melakukan perbaikan dengan cara rehabilitasi yang sesuai.

Sang Buddha pernah bersabda:[7][8]

Sīladassanasampannaṁ, dhammaṭṭhaṁ saccavedinaṁ;
attano kamma kubbānaṁ, taṁ jano kurute piyaṁ.


“Barang siapa sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang, teguh dalam Dhamma (ajaran Buddha), selalu berbicara jujur, dan memenuhi segala kewajibannya, maka seseorang akan dicintai banyak orang.”

— Dhp 217

Pengambilan sila

sunting

Dalam aliran Theravāda tradisional, seorang nonbuddhis dapat menjadi seorang upasaka-upasika dengan menyatakan perlindungan kepada Triratna dan bertekad melatih Pancasila sebagai jawaban dalam sebuah upacara khusus kepada seorang biksu-biksuni,[9] atau oleh dirinya sendiri di depan sebuah cetiya atau representasi Buddha.[10][11][12][13][14] Bayi yang lahir dari orang tua yang merupakan seorang penganut Buddhisme, secara tradisional juga dianggap sebagai penganut Buddhisme setelah dikenalkan dengan Triratna ketika mendatangi sebuah wihara sewaktu hari-hari uposatha atau hari raya Buddhis. Para upasaka-upasika melantunkan paritta pengambilan sila syair demi syair dalam sesi puja bakti dengan arahan seorang biksu.

Di Indonesia

sunting

Dalam upacara pengambilan Pancasila, umumnya seorang pandita atau pemimpin puja bakti dari umat biasa memohon pengambilan Tisaraṇa dan Pancasila kepada seorang biksu dengan membacakan kalimat berikut:[5]

Mayaṁ bhante, Tisaraṇena saha pañcasīlāni yācāma. Dutiyampi mayaṁ bhante, Tisaraṇena saha pañcasīlāni yācāma. Tatiyampi mayaṁ bhante, Tisaraṇena saha pañcasīlāni yācāma.
(Bhante, kami memohon Tisaraṇa & Pancasila. Untuk kedua kalinya Bhante, kami memohon Tisaraṇa & Pancasila. Untuk ketiga kalinya Bhante, kami memohon Tisaraṇa & Pancasila.)[5]

Kemudian, biksu tersebut akan menjawab sebagai berikut:

Yam-ahaṁ vadāmi taṁ bhaveta.'
(Ikutilah apa yang saya ucapkan.)[5]

Setelah itu, umat menjawab dengan kalimat "Āma, Bhante" (Baik, Bhante). Lalu, biksu tersebut membacakan kalimat Vandana sebanyak tiga kali yang kemudian diikuti oleh umat:

Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa.
(Terpujilah Sang Begawan, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna).[5]

Sesudah itu, biksu tersebut membacakan ayat-ayat Tisaraṇa per kalimatnya yang kemudian diikuti oleh umat per kalimatnya:

Buddhaṁ saranaṁ gacchāmi, Dhammaṁ saranaṁ gacchāmi, Saṅghaṁ saranaṁ gacchāmi. Dutiyampi buddhaṁ saranaṁ gacchāmi, Dutiyampi dhammaṁ saranaṁ gacchāmi, Dutiyampi saṅghaṁ saranaṁ gacchāmi. Tatiyampi buddhaṁ saranaṁ gacchāmi, Tatiyampi dhammaṁ saranaṁ gacchāmi, Tatiyampi saṅghaṁ saranaṁ gacchāmi.
(Aku berlindung kepada Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Saṅgha. Untuk kedua kalinya, aku berlindung kepada Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Saṅgha. Untuk ketiga kalinya, aku berlindung kepada Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Saṅgha.)[5]

Seusai pengambilan perlindungan dengan paritta Tisaraṇa selesai, biksu tersebut akan berkata sebagai berikut:

Tisaraṇa gamanaṁ paripuṇṇaṁ.
(Tisaraṇa telah diambil dengan lengkap)[5]

Kemudian, umat menjawabnya kalimat "Āma, Bhante" (Baik, Bhante). Setelah itu, biksu tersebut membacakan ayat-ayat Pancasila kalimat per kalimat yang diikuti oleh umat. Sesudah membacakan Pancasila, biksu tersebut akan mengucapkan:

Imāni pañca sikkhā-padāni. Sīlena sugatiṁ yanti. Sīlena bhoga-sampadā. Sīlena nibbutiṁ yanti. Tasmā sīlaṁ visodhaye.
(Itulah yang dinamakan Pancasila. Dengan melaksanakan Sila akan berakibat terlahir di alam bahagia. Dengan melaksanakan Sila akan berakibat memperoleh kekayaan (dunia dan Dhamma). Dengan melaksanakan Sila akan berakibat tercapainya Nibbāna. Sebab itu Anda harus melaksanakan Sila dengan sempurna.)[5]

Setelah itu, diakhiri dengan jawaban dari para umat yaitu:

Āma bhante. Sādhu sādhu, sādhu!
(Baik, Bhante. Sādhu, sādhu, sādhu!)[5]

Di Thailand

sunting

Seperti di Indonesia, umat Buddha di Thailand pun biasanya mendaraskan Pancasila ketika pelaksanaan upacara pemujaan yang dipimpin oleh salah seorang dari umat awam. Perbedaan tata upacara ini terletak pada kalimat yang diucapkan oleh umat untuk memohon tuntunan Tisaraṇa dan Pancasila. Salah seorang umat akan memohon tuntunan Tisaraṇa dan Pancasila kepada seorang biksu dengan kalimat berikut:

Mayaṁ bhante, visuṁ visuṁ rakkhaṇatthāya tisaraṇena saha pañcasīlāni yācāma. Dutiyampi mayaṁ bhante, visuṁ visuṁ rakkhaṇatthāya tisaraṇena saha pañcasīlāni yācāma. Tatiyampi mayaṁ bhante, visuṁ visuṁ rakkhaṇatthāya tisaraṇena saha pañcasīlāni yācāma.
(Bhante, kami memohon Tisaraṇa dan Pancasila untuk menaatinya satu per satu secara terpisah. Untuk kedua kalinya Bhante, kami memohon Tisaraṇa dan Pancasila untuk menaatinya satu per satu secara terpisah. Untuk ketiga kalinya Bhante, kami memohon Tisaraṇa dan Pancasila untuk menaatinya satu per satu secara terpisah.)[15]

Setelah itu, biksu tersebut akan membacakan Vandana sebanyak tiga kali yang kemudian akan diikuti oleh umat. Setelah umat selesai mendaraskan Vandana, biksu tersebut akan membacakan Tisaraṇa per kalimat yang kemudian umat akan ikut mendaraskannya per kalimat. Setelah pelantunan paritta Tisaraṇa selesai, biksu tersebut akan mengucapkan:

Tisaraṇa gamanaṁ niṭṭhitaṁ.
(Tisaraṇa telah diambil sebagai perlindungan.)[15]

Kemudian, para umat menjawab "Āma, Bhante" (Baiklah, Bhante). Setelah itu, biksu tersebut langsung membacakan Pancasila per kalimatnya yang kemudian diikuti oleh umat per tiap-tiap kalimat. Setelah pengambilan Pancasila selesai, biksu tersebut akan menutupnya dengan kalimat:

Imāni pañca sikkhā-padāni. Sīlena sugatiṁ yanti. Sīlena bhoga-sampadā. Sīlena nibbutiṁ yanti. Tasmā sīlaṁ visodhaye. (Itulah yang dinamakan Lima Sila. Dengan melaksanakan Sila akan berakibat terlahir di alam bahagia. Dengan melaksanakan Sila akan berakibat memperoleh kekayaan (dunia dan Dhamma). Dengan melaksanakan Sila akan berakibat tercapainya Nibbāna. Sebab itu Anda harus melaksanakan Sila dengan sempurna.)[15]

Selanjutnya, praktik pengambilan sila diakhiri dengan namaskara setelah pembacaan:

Āma bhante. Sādhu sādhu, sādhu!
(Baik, Bhante. Sādhu, sādhu, sādhu!)

Mahāyāna

sunting

Pengambilan sila

sunting

Dalam tradisi Ch'an di Tiongkok atau Zen di Jepang, pengambilan sila upasaka-upasika dilakukan dengan sebuah upacara yang menyatakan mencari keselamatan dalam Triratna dan menerima Pancasila (受戒 Hanyu Pinyin: shòujiè; Jepang: jukai).

Upacara ordinasi untuk menerima Pancasila, dalam tradisi Tionghoa, dituliskan dalam bab ke-14 dalam Sutra Prinsip Upasaka (優婆塞戒經受戒品第十四).[16][17]

Orang yang hendak menerima Pancasila pertama-tama memberi penghormatan pada enam arah, yang mewakili orang tua, guru, suami/istri, teman, Sangha, dan karyawan (awalnya pelayan). Menghormati keenam arah tersebut adalah "sebuah cara untuk mewakilkan hubungan timbal balik dalam tiap-tiap hubungan tersebut".[18]

Seseorang yang telah menghormati hubungan-hubungan ini dan memberi penghormatan pada keenam arah kemudian harus meminta izin kepada orang tuanya untuk menerima sila-sila dalam Pancasila. Jika mereka setuju, ia akan memberi tahu pasangan dan karyawannya. Orang ini kemudian perlu meminta izin dari raja, meskipun tentunya untuk alasan yang jelas, hari ini izin terakhir ini sudah jarang diminta.

Orang itu, setelah memberi penghormatan kepada enam arah dan mendapat izin yang cocok, kini boleh meminta kepada biksu-biksuni untuk diberikan sila Pancasila. Di zaman modern, upacara ini biasanya diadakan secara teratur dan diketuai oleh seorang kepala wihara atau perwakilannya; dan seseorang mungkin tak bisa begitu saja meminta kepada seorang biksu-biksuni untuk menjalankan upacara.

Sangha dan orang itu kemudian akan berdialog. Sangha akan bertanya dan orang itu harus menjawab. Ia akan bertanya apakah orang itu telah memberi penghormatan kepada enam arah dan apakah ia telah mendapatkan izin yang sesuai. Ia kemudian akan bertanya pertanyaan-pertanyaan tertentu untuk memastikan bahwa orang itu belum pernah melakukan kesalahan serius, dan kuat baik secara fisik atau mental untuk menerima sila.

Sangha kemudian akan menjelaskan manfaat sila Pancasila, serta konsekuensi negatif untuk melanggar sila-sila tersebut; setelah itu orang yang meminta akan ditanyakan apakah sudah siap dan akan tetap berdedikasi pada Triratna. Kemudian, sangha akan bertanya apakah orang itu akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan tertentu untuk menghindari melanggar sila, akan menghindarkan orang lain dari pelanggaran sila, dan menghindari ketergantungan pada skandha. Apabila orang tersebut sudah siap, biksu-biksuni kemudian akan meminta orang itu untuk mengikuti seluruh sarannya selama enam bulan selama berada di bawah supervisi teratur sang pendeta.

Jika setelah enam bulan sang murid telah menjalankan sila dengan baik, ia boleh meminta kepada sangha untuk mengambil sila secara formal. Murid itu kemudian akan meminta perlindungan kepada Triratna, dan sangha akan memastikan bahwa sang murid telah siap untuk mengambil seluruh sila (dan bukan hanya beberapa). Apabila sang murid berkomitmen untuk menjalankan semua sila, dan mengikutinya dengan si biksu-biksuni, maka ia telah menyelesaikan ordinasinya menjadi kaum awam.

Bab itu kemudian berakhir dengan penjelasan mengenai konsekuensi melanggar sila dan kewajiban yang harus dijalani setelah mendapatkan sila.

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w Ratanadhīro, Bhikkhu (2017). Jotidhammo Mahāthera, Bhikkhu, ed. Aṭṭhasīla (PDF). Yogyakarta: Vidyāsenā Production. hlm. 13–45. 
  2. ^ De Silva, Padmasiri (2016). Environmental Philosophy and Ethics in Buddhism (edisi ke-1). London: Palgrave Macmillan. hlm. 63. ISBN 978-1-349-26772-9. 
  3. ^ Sakya, Madhusudan (2011). Buddhism Today: Issues & Global Dimensions, Current Perspectives in Buddhism. 3. Cyber Tech Publications. ISBN 9788178847337. 
  4. ^ Paritta, Pali. "PANCASILA (Lima Latihan Sila)". parittabuddhist.com. Paritta dan Lagu Buddhis. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-12-22. Diakses tanggal 20 Desember 2015. 
  5. ^ a b c d e f g h i Sangha Theravada Indonesia. "Paritta Suci" (PDF). Yayasan Dhammadīpa Ārāma. hlm. 45–47. Diakses tanggal 2 Desember 2019. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n Kheminda, Ashin (2020-02-01). KAMMA: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal. Jakarta Barat: Yayasan Dhammavihari. hlm. 232–240. ISBN 978-623-94011-0-8. 
  7. ^ Dhammapada – Kisah Lima Ratus Anak. Diakses tanggal 20 Mei 2022. Samaggi-Phala.or.id
  8. ^ Piya Vagga – Dhammapada. Diakses tanggal 20 Mei 2022. Sariputta.
  9. ^ A.G.S. Kariyawasam (1996). "Buddhist Ceremonies and Rituals of Sri Lanka, Chapter 1, "Initiation and Worship,"". 
  10. ^ Phra Khantipalo,Going for Refuge http://www.sinc.sunysb.edu/Clubs/buddhism/khantipalo/goingrefuge.html
  11. ^ The Light of Buddha, U Sein Nyo Tun, Vol. III, No. 10, 1958 https://web.archive.org/web/20120706235311/http://www.thisismyanmar.com/nibbana/snyotun3.htm
  12. ^ From 'The Teachings of the Buddha', the Ministry of Religious Affairs, Yangon, 1997 http://www.thisismyanmar.com/nibbana/precept2.htm Diarsipkan 2011-01-01 di Wayback Machine..
  13. ^ Buddhist studies, secondary level, becoming a buddhist http://www.buddhanet.net/e-learning/buddhism/bs-s17.htm
  14. ^ Blooming in the Desert: Favorite Teachings of the Wildflower Monk, hlm. 63, pada Google Books
  15. ^ a b c Terwiel, Barend Jan (2012). "Monks & Magic: Revisiting A Classic Study of Religious Ceremonies in Thailand" (PDF) (dalam bahasa Inggris). hlm. 179–183. 
  16. ^ "Taisho Tripitaka Vol. 24, No. 1488". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-31. Diakses tanggal 2012-12-10. 
  17. ^ Shih, Heng-ching (1994). The Sutra on Upāsaka Precepts (PDF). Berkeley: Numata Center for Buddhist Translation and Research. ISBN 0962561851. 
  18. ^ "Buddhist Studies (Secondary) Family and Society". www.buddhanet.net. 

Lihat pula

sunting

Pranala luar

sunting