Kanon Alkitab

Kanon Alkitab adalah kumpulan kitab yang diyakini memiliki otoritas sebagai Firman Allah dan layak menjadi tolak ukur bagi iman umat.

Kanon Alkitab, atau kanon Kitab Suci,[1] adalah suatu daftar kitab yang dianggap sebagai kitab suci yang berwibawa atau otoritatif oleh komunitas keagamaan tertentu. Kata "kanon" berasal dari bahasa Yunani Kuno κανών, yang berarti "mistar" atau "tongkat pengukur". Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh umat Kristen untuk merujuk pada kitab suci, tetapi gagasan tersebut dikatakan berasal dari umat Yahudi.[2] Kanon Alkitab dapat juga dipahami sebagai sebuah daftar kitab yang menjadi "standar" atau "aturan" yang bersifat normatif bagi umat.[3]

Sebagian besar kanon yang tercantum dalam artikel ini dianggap sudah "ditutup", yaitu tidak ada penambahan atau pengurangan kitab lagi.[4] Sehingga mencerminkan keyakinan bahwa wahyu umum telah berakhir dan karenanya teks-teks yang terinspirasi tersebut dapat dikumpulkan menjadi suatu kanon yang lengkap dan otoritatif, yang mana Bruce M. Metzger mendefinisikannya sebagai "sebuah kumpulan yang otoritatif dari kitab-kitab". Sebaliknya, suatu "kanon terbuka", yang mana memungkinkan penambahan kitab melalui proses dari wahyu yang berkelanjutan, didefinisikan Metzger sebagai "sebuah kumpulan kitab-kitab otoritatif".[5]

Semua kanon tersebut telah dikembangkan selama berabad-abad dan melalui proses diskusi yang rumit,[6] lalu kesepakatan dibuat oleh otoritas-otoritas keagamaan dari keyakinan mereka masing-masing. Umat menganggap kitab-kitab kanonik diinspirasikan oleh Allah atau mengungkapkan sejarah yang berwibawa tentang hubungan antara Allah dengan umat-Nya. Kitab-kitab seperti "Injil Kristen–Yahudi" telah dikeluarkan seluruhnya dari kanon; namun banyak kitab yang diperdebatkan, yang dianggap non-kanonik atau bahkan apokrif oleh beberapa kalangan, dipandang sebagai apokrifa Alkitab atau Deuterokanonika atau sepenuhnya kanonik oleh kalangan lainnya.

Ada perbedaan-perbedaan antara Tanakh Yahudi dan kanon Alkitab Kristen, dan antara berbagai kanon dalam denominasi Kristen yang berbeda. Perbedaan kriteria dan proses kanonisasi menentukan apa yang dianggap berbagai komunitas tersebut sebagai kitab suci yang terinspirasi. Dalam beberapa kasus di mana terdapat beragam tingkatan inspirasi kitab suci, sungguh bijak untuk membahas teks-teks yang hanya memiliki status ditinggikan di dalam suatu tradisi tertentu. Namun hal ini menjadi lebih kompleks ketika mempertimbangkan kanon terbuka dari berbagai aliran Orang Suci Zaman Akhir — yang dapat dipandang sebagai perluasan dari Kekristenan dan Yudaisme — dan wahyu kitab suci yang konon diberikan selama kurun waktu beberapa tahun kepada sejumlah pemimpin gerakan tersebut.

Kanon Yahudi

Yudaisme Rabinik

Yudaisme Rabinik (bahasa Ibrani: יהדות רבנית‎) mengakui 24 kitab dari Teks Masoret, dan umumnya disebut Tanakh (bahasa Ibrani: תַּנַ"ךְ‎) atau Alkitab Ibrani.[7] Terdapat bukti yang mendukung pendapat bahwa proses kanonisasi terjadi antara 200 SM dan 200 M, dan suatu pandangan yang populer adalah Torah (Taurat) dikanonisasi ca 200 SM, Para nabi ca 200 SM, dan Tulisan-tulisan ca 100 M[8] mungkin pada suatu konsili hipotetis di Yamnia —namun semakin banyak kritikan atas pandangan ini oleh para akademisi modern.[9][10][11][12][13]

 
Sebuah gulungan naskah Kitab Ester, salah satu dari kelima megillot Tanakh.

Kitab Ulangan memuat suatu larangan untuk melakukan penambahan atau pengurangan (Ulangan 4:2, 12:32) yang mungkin saja berlaku pada kitab itu sendiri (yaitu suatu "kitab tertutup", larangan terhadap penyuntingan tulisan di kemudian hari) atau pada perintah yang diterima Musa di Gunung Sinai.[14] Kitab 2 Makabe (bukan bagian dari kanon Yahudi) menguraikan bahwa Nehemia (ca 400 SM) "menyusun sebuah perpustakaan dengan mengumpulkan berbagai buku tentang para raja dan para nabi, karangan-karangan Daud dan surat-surat para raja mengenai sumbangan-sumbangan bakti" (2 Makabe 2:13).

Kitab Nehemia menunjukkan bahwa Ezra (seorang imam dan ahli kitab) mengembalikan Torah dari Babilonia ke Yerusalem dan Bait Kedua pada kurun waktu yang sama. Baik Kitab 1 Makabe maupun 2 Makabe menunjukkan bahwa Yudas Makabe (ca 167 SM) juga mengumpulkan kitab-kitab suci (1 Makabe 3:42–50, 2 Makabe 2:13–15, 2 Makabe 15:6–9), karenanya beberapa akademisi berpendapat bahwa kanon Yahudi ditetapkan oleh dinasti Hashmonayim.[15] Namun sumber primer ini tidak menunjukkan kesan bahwa kanon "ditutup" pada waktu itu, dan tidak terdapat kejelasan bahwa kitab-kitab suci ini identik dengan yang kemudian menjadi bagian dari kanon tersebut.

Selain Tanakh, Yudaisme Rabinik arus utama juga memandang Talmud (bahasa Ibrani: תַּלְמוּד‎) sebagai teks sentral lainnya yang otoritatif. Talmud merupakan suatu catatan diskusi para rabi yang berkaitan dengan sejarah, adat istiadat, filsafat, etika, dan hukum Yahudi. Talmud terdiri dari dua komponen: Mishnah (ca 200 M), yaitu ringkasan tertulis yang pertama dari Hukum lisan Yudaisme; dan Gemara (ca 500 M) yang berisikan penjelasan dari Mishnah dan tulisan-tulisan Tannaitik terkait, yang mana seringkali bersinggungan dengan topik lainnya dan menguraikan Tanakh secara luas. Ada terdapat banyak kutipan dari Sirakh di dalam Talmud, meskipun kitab tersebut pada akhirnya tidak diterima dalam kanon Ibrani.

Talmud merupakan dasar dari semua kitab hukum rabinik dan sering dikutip dalam literatur rabinik lainnya. Kelompok Yahudi tertentu, seperti Yahudi Karait, tidak menerima Hukum lisan sebagaimana yang dikodifikasikan di dalam Talmud dan hanya memandang Tanakh sebagai satu-satunya yang berwibawa.

Beta Israel

Kaum Yahudi Ethiopia, atau Beta Israel (Ge'ez: ቤተ እስራኤል—Bēta 'Isrā'ēl), memiliki sebuah kanon kitab suci yang berbeda dengan Yudaisme Rabinik. Mäṣḥafä Kedus (Kitab-kitab Suci) adalah nama literatur keagamaan dari kaum Yahudi ini, yang mana utamanya ditulis dalam bahasa Ge'ez. Kitab tersuci mereka, Orit, terdiri dari Pentateukh, serta Yosua, Hakim-hakim, dan Rut. Kitab lainnya dari kanon Yahudi Ethiopia dianggap memiliki tingkat kepentingan kedua atau sekunder. Kanon tersebut terdiri dari kitab-kitab lainnya dari kanon Ibrani, mungkin selain Kitab Ratapan, dan berbagai kitab deuterokanonika. Kitab-kitab ini misalnya Sirakh, Yudit, Tobit, 12 Esdras, 1 dan 4 Barukh, tiga kitab Makabian, Yobel, Henokh, Perjanjian Abraham, Perjanjian Ishak, dan Perjanjian Yakub. Ketiga perjanjian patriarkal yang terakhir disebutkan tersebut berbeda dengan tradisi kitab suci ini.[16]

Tulisan-tulisan keagamaan tingkat ketiga yang penting bagi kaum Yahudi Ethiopia, namun tidak dianggap sebagai bagian dari kanon, antara lain meliputi: Nagara Muse (Percakapan Musa), Mota Aaron (Wafatnya Harun), Mota Muse (Wafatnya Musa), Te'ezaza Sanbat (Aturan Sabat), Arde'et (Para Murid), Apokalipsis Gorgorios, Mäṣḥafä Sa'atat (Kitab Harian), Abba Elias (Bapa Elia), Mäṣḥafä Mäla'əkt (Kitab Para Malaikat), Mäṣḥafä Kahan (Kitab Para Imam), Dərsanä Abrəham Wäsara Bägabs (Homili tentang Abraham dan Sara di Mesir), Gadla Sosna (Kisah Susana), dan Baqadāmi Gabra Egzi'abḥēr (Pada Mulanya Allah Menciptakan). Selain kitab-kitab ini, Zëna Ayhud (Josippon versi Ethiopik) dan perkataan dari berbagai fālasfā (filsuf) merupakan sumber-sumber yang belum tentu dianggap suci, tetapi tetap memiliki pengaruh yang besar.

Kanon Samaria

Ada versi lain dari Torah (Pentateukh, Taurat), dan ditulis dengan alfabet Samaria. Teks ini dikaitkan dengan orang Samaria (bahasa Ibrani: שומרונים‎, bahasa Arab: السامريون), suatu suku bangsa yang mana Jewish Encyclopedia mendeskripsikannya: "Sejarah mereka sebagai suatu komunitas yang berbeda dimulai dengan dikuasainya Samaria oleh orang Asyur pada tahun 722 SM." [17]

 
Gulungan Abisha, gulungan naskah tertua di kalangan orang Samaria di Nablus.

Hubungan antara Torah Samaria dengan Teks Masoret masih dalam perdebatan. Ada beberapa perbedaan kecil, seperti perbedaan usia orang-orang yang disebutkan dalam silsilah; sedangkan yang lainnya merupakan perbedaan besar, seperti adanya suatu perintah untuk bermonogami, yang mana hanya terdapat dalam versi Samaria. Yang lebih penting, teks Samaria menyimpang dari Masoretik dengan menyatakan bahwa Musa menerima Sepuluh Perintah Allah di Gunung Gerizim, bukan di Gunung Sinai, dan di atas Gunung Gerizim inilah pengorbanan kepada Allah harus dilakukan —bukan di Yerusalem. Meski demikian para akademisi tetap mencari keterangan dalam versi Samaria ini dalam upaya untuk mengetahui makna dari teks-teks Torah asli, serta untuk melacak perkembangan dari berbagai rumpun teks. Beberapa gulungan naskah di antara berbagai gulungan naskah Laut Mati telah diidentifikasi sebagai jenis teks Pentateukh proto-Samaritan.[18]

Kaum Samaria memandang Torah sebagai kitab suci yang terinspirasi (atau terilhami), tetapi tidak menerima bagian-bagian lain dari Alkitab —mungkin posisi yang sama juga dipegang oleh kaum Saduki.[19] Mereka tidak memperluas kanon mereka dengan menambahkan suatu komposisi Samaritan apa pun. Ada Kitab Yosua Samaritan, namun ini merupakan suatu kronik populer yang ditulis dalam bahasa Arab dan tidak dianggap sebagai kitab suci. Teks keagamaan Samaritan non-kanonik yang lain misalnya Memar Markah (Pengajaran Markah) dan Defter (Buku Doa) —keduanya berasal dari abad ke-4 atau kemudian.[20]

Mereka yang merupakan keturunan Samaria di Israel/Palestina zaman modern mempertahankan Taurat versi mereka sebagai kanonik sepenuhnya dan berwibawa.[21] Mereka menganggap diri mereka sebagai "para penjaga Hukum" yang sejati. Penegasan ini ditekankan kembali semata-mata oleh klaim dari komunitas Samaria di Nablus (suatu daerah yang secara tradisi dikaitkan dengan kota kuno Sikhem) untuk memiliki salinan Torah yang paling tua dan masih terlestarikan —yang mereka yakini ditulis oleh Abisha, seorang cucu Harun.[22]

Kanon Alkitab Kristen

Orang-orang Yahudi telah membakukan bahwa kitab-kitab yang kita sebut Perjanjian Lama diilhami Allah, sedangkan yang lain tidak. Ketika orang-orang Kristen berhadapan dengan berbagai ajaran sesat, mereka mulai merasakan pentingnya membedakan tulisan-tulisan yang sesungguhnya diilhami Allah dan yang tidak.

Dua kriteria penting yang dipakai gereja untuk mengenal kanon (istilah Yunani yang artinya "standar") adalah yang berasal dari para rasul dan tulisan-tulisan yang dipakai di gereja-gereja.

Dalam mempertimbangkan tulisan rasuli, gereja menganggap Paulus sebagai salah seorang rasul. Meskipun Paulus tidak berjalan bersama-sama dengan Kristus, Paulus bertemu dengan Kristus dalam perjalanannya ke Damaskus. Aktivitas penginjilannya yang tersebar luas – yang dibenarkan dalam Kisah Para Rasul – menjadikannya model seorang rasul.

Setiap Injil harus dihubungkan dengan seorang rasul. Dengan demikian, Injil Markus yang dihubungkan dengan Petrus dan Injil Lukas yang dihubungkan dengan Paulus, mendapat tempat dalam kanon. Setelah para rasul wafat, orang-orang Kristen sangat menghargai kesaksian yang ada dalam Injil tersebut, meskipun Injil tersebut tidak mengungkapkan nama rasul yang terkait.

Tentang penggunaan tulisan-tulisan yang dipakai di gereja-gereja, petunjuknya ialah, "Jika banyak gereja memakai tulisan tersebut dan jika tulisan tersebut dapat terus-menerus meningkatkan moral mereka, maka tulisan tersebut diilhami". Meskipun standar ini menunjukkan pendekatan yang agak pragmatis, namun ada juga logikanya di balik itu. Sesuatu yang diilhami Allah akan mengilhami juga para penyembah-Nya; tulisan yang tidak diilhami pada akhirnya akan lenyap juga.

Namun, standar-standar tersebut saja tidak cukup untuk menentukan sebuah kitab sebagai kanon. Banyak tulisan ajaran sesat membawa-bawa nama rasul. Di samping itu, ada gereja-gereja yang memakai tulisan tersebut sedangkan yang lainnya tidak.

Menjelang akhir abad kedua, keempat Injil, Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus sangat dihargai hampir di semua pelosok. Meskipun tidak pernah ada daftar "resmi", gereja-gereja cenderung berpaling pada tulisan-tulisan ini karena dianggap memiliki otoritas spiritual. Para uskup yang berpengaruh seperti Ignatius dari Antiokhia, Klemens dari Roma dan Polikarpus telah menjadikan tulisan-tulisan ini mendapat pengakuan yang luas. Namun perdebatan masih berlangsung terhadap Ibrani, Yakobus, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yudas serta Wahyu.

Daftar ortodoks mula-mula, yang disusun sekitar tahun 200, adalah Kanon Muratori Gereja Roma. Daftar ini meliputi sebagian besar Perjanjian Baru seperti yang kita ketahui masa kini, dan menambahkan Wahyu Petrus dan Kebijaksanaan Salomo. Kumpulan yang muncul di kemudian hari telah menghapuskan satu buku dan membiarkan yang lain, namun semuanya itu tetap mirip. Karya-karya seperti Gembala Hermas, Didache dan Surat Barnabas sangat disanjung, meskipun banyak orang enggan mengakui buku itu sebagai tulisan yang diiihami.

Pada tahun 367, Athanasius, uskup Alexandria yang ortodoks dan berpengaruh itu, menulis "Surat Paskah" yang beredar cukup luas. Di dalamnya ia menyebut kedua puluh tujuh buku yang sekarang kita kenal dengan nama Perjanjian Baru. Dengan harapan mencegah jemaatnya dari kesalahan, Athanasius menyatakan bahwa tiada buku lain dapat dianggap sebagai Injil Kristen, meskipun ia longgarkan beberapa, seperti Didache, yang menurutnya, akan berguna bagi ibadah pribadi.

Kanon yang dibuat Athanasius tidak menyelesaikan masalah. Pada tahun 397, Konsili Kartago mensahkan daftar kanon tersebut, tetapi gereja-gereja wilayah Barat agak lamban menyelesaikan kanon. Pergumulan berlanjut atas kitab-kitab yang dipertanyakan, meskipun pada akhirnya semua pihak menerima Kitab Wahyu.

Pada akhirnya, daftar kanon yang dibuat Athanasius mendapat pengakuan umum, dan sejak itu gereja-gereja di seluruh dunia tidak pernah menyimpang dari kebijakannya.

Kanonisasi

Kata 'Kanon' merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Ibrani qāneh, yang secara harfiah dapat diterjemahkan dengan "ukuran" atau "tali pengukur" dan kemudian dalam bahasa Yunani berubah menjadi kanōn dan mendapat makna yang lebih penting: Pada abad ke-2 M kata kanones (bentuk jamak) dipakai sebagai istilah untuk Aturan atau Tata Gereja. Sejak abad ke-4 kata kanōn berarti 'ukuran' bagi iman Kristen. Ketika istilah ini dipakai bagi Alkitab, maka Alkitab dipercayai sebagai 'ukuran' bagi Iman dan Hidup orang Kristen.

Kanonisasi Perjanjian Lama

Secara pasti tidak ada kriteria untuk kanonisitas Perjanjian Lama, meskipun terdapat konsensus di kalangan para ahli yang menyebutkan ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai dasar kanonisitas Perjanjian Lama, yaitu:[3]

  • Kanonisitas dikaitkan dengan nubuat
  • Kanonisitas dikaitkan dengan perjanjian (covenant)
  • Kananositas Perjanjian Lama diteguhkan melalui Referensi-Referensi Perjanjian Baru terhadapnya
  • Kanonisitas Perjanjian Lama diteguhkan oleh pemakaiannya dalam ibadah yang dilakukan oleh umat Israel.
 
Origen

Kanonisasi Perjanjian Baru

Kanonisasi Perjanjian Baru dimulai sekitar tahun 200.[23] Pada saat itu mulai disusun daftar-daftar kitab suci yang kurang lebih resmi. Misalnya pada tahun 190 di Roma muncul sebuah daftar yang disebut Kanon Muratori. Kanon Muratori merupakan kanon tertua yang disimpan sebagai sebuah fragmen dalam sebuah naskah salinan dari abad VIII. Nama Muratori merupakan nama seorang pustakawan Milano, L.A. Muratori yang menemukan fragmen tersebut dan menerbitkannya pada tahun 1740.[24] Kanon ini berisi daftar kitab-kitab yang dipakai jemaat di Roma dan sejumlah karangan yang dianggap "palsu". Pada tahun 254, Origenes dari Alexandria juga menyusun sebuah daftar kitab. Tahun 303 Eusebius dari Kaisarea juga membuat daftar kitab. Tahun 367, Uskup Aleksandria Athanasius menyusun daftar Alkitab Perjanjian Baru dengan jumlah 27 kitab. Daftar itu kemudian diterima oleh umat di bagian Timur. Sedangkan di bagian barat, umat menerima daftar yang disusun oleh Athanasius. Paus Innosensius I mengirim daftar itu ke Perancis pada tahun 419. Daftar ke 27 kitab itu kembali diperteguh dalam konsili Florence (1441), konsili Trente (1546) dan Konsili Vatikan I (1870).

Kanonisitas Perjanjian Baru

Seperti yang telah disebutkan, penentuan mengenai kitab-kitab mana yang layak dan bisa dimasukkan ke dalam kanon Perjanjian Baru memakan waktu yang sangat lama, akan tetapi ada beberapa hal yang menjadi dasar kanonisitas Perjanjian Baru, yaitu:[3]

  • Dekat dengan tradisi kerasulan
  • Diterima secara umum di kalangan jemaat (katolisitas)
  • Bergantung pada ortodoksi

Lihat pula

Referensi

  1. ^ (Inggris) McDonald, L. M. & Sanders, J. A., eds. (2002). The Canon Debate. "The Notion and Definition of Canon." pp. 29, 34. (In the article written by Eugene Ulrich, "canon" is defined as follows: "...the definitive list of inspired, authoritative books which constitute the recognized and accepted body of sacred scripture of a major religious group, that definitive list being the result of inclusive and exclusive decisions after serious deliberation." It is further defined as follows: "...the definitive, closed list of the books that constitute the authentic contents of scripture.")
  2. ^ (Inggris) McDonald & Sanders, editors of The Canon Debate, 2002, The Notion and Definition of Canon by Eugene Ulrich, page 28: "The term is late and Christian ... though the idea is Jewish"; also from the Introduction on page 13: "We should be clear, however, that the current use of the term "canon" to refer to a collection of scripture books was introduced by David Ruhnken in 1768 in his Historia critica oratorum graecorum for lists of sacred scriptures. While it is tempting to think that such usage has its origins in antiquity in reference to a closed collection of scriptures, such is not the case." The technical discussion includes Athanasius's use of "kanonizomenon=canonized" and Eusebius's use of kanon and "endiathekous biblous=encovenanted books" and the Mishnaic term Sefarim Hizonim (external books).
  3. ^ a b c Yonky Karman (2005). Bunga Rampai Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm 5-13.
  4. ^ (Inggris) Athanasius Letter 39.6.3: "Let no man add to these, neither let him take ought from these."
  5. ^ (Inggris) McDonald & Sanders, page 32–33: Closed list; page 30: "But it is necessary to keep in mind Bruce Metzger's distinction between "a collection of authoritative books" and "an authoritative collection of books."
  6. ^ Van den End (2009). Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm 40-42.
  7. ^ (Inggris) Darshan, G. “The Twenty-Four Books of the Hebrew Bible and Alexandrian Scribal Methods,”, in: M.R. Niehoff (ed.), Homer and the Bible in the Eyes of Ancient Interpreters: Between Literary and Religious Concerns (JSRC 16), Leiden: Brill 2012, pp. 221–244.
  8. ^ McDonald & Sanders, page 4
  9. ^ (Inggris) W. M. Christie, The Jamnia Period in Jewish History (PDF), Biblical Studies.org.uk 
  10. ^ (Inggris) Jack P. Lewis (April 1964), "What Do We Mean by Jabneh?", Journal of Bible and Religion, 32, No. 2, Oxford University Press, hlm. 125-132 
  11. ^ (Inggris) Anchor Bible Dictionary Vol. III, pp. 634–7 (New York 1992).
  12. ^ (Inggris) McDonald & Sanders, editors, The Canon Debate, 2002, chapter 9: Jamnia Revisited by Jack P. Lewis.
  13. ^ (Inggris) McDonald & Sanders, The Canon Debate, 2002, page 5, cited are Neusner's Judaism and Christianity in the Age of Constantine, pages 128–145, and Midrash in Context: Exegesis in Formative Judaism, pages 1–22.
  14. ^ (Inggris) McDonald & Sanders, ed., The Canon Debate, page 60, chapter 4: The Formation of the Hebrew Canon: Isaiah as a Test Case by Joseph Blenkinsopp.
  15. ^ (Inggris) Philip R. Davies in The Canon Debate, page 50: "With many other scholars, I conclude that the fixing of a canonical list was almost certainly the achievement of the Hasmonean dynasty."
  16. ^ Because of the lack of solid information on this subject, the exclusion of Lamentations from the Ethiopian Jewish canon is not a certainty. Furthermore, some uncertainty remains concerning the exclusion of various smaller deuterocanonical writings from this canon including the Prayer of Manasseh, the traditional additions to Esther, the traditional additions to Daniel, Psalm 151, and portions of Säqoqawä Eremyas.
  17. ^ (Inggris) Jewish Encyclopedia: Samaritans
  18. ^ (Inggris) The Canon Debate, McDonald & Sanders editors, 2002, chapter 6: Questions of Canon through the Dead Sea Scrolls by James C. VanderKam, page 94, citing private communication with Emanuel Tov on biblical manuscripts: Qumran scribe type c.25%, proto-Masoretic Text c. 40%, pre-Samaritan texts c.5%, texts close to the Hebrew model for the Septuagint c.5% and nonaligned c.25%.
  19. ^ (Inggris) Jewish Encyclopedia: Sadducees: "With the destruction of the Temple and the state the Sadducees as a party no longer had an object for which to live. They disappear from history, though their views are partly maintained and echoed by the Samaritans, with whom they are frequently identified (see Hippolytus, "Refutatio Hæresium," ix. 29; Epiphanius, l.c. xiv.; and other Church Fathers, who ascribe to the Sadducees the rejection of the Prophets and the Hagiographa; comp. also Sanh. 90b, where "Ẓadduḳim" stands for "Kutim" [Samaritans]; Sifre, Num. 112; Geiger, l.c. pp. 128–129), and by the Karaites (see Maimonides, commentary on Ab. i. 3; Geiger, "Gesammelte Schriften," iii. 283–321; also Anan ben David; Karaites)."
  20. ^ (Inggris) Samaritan Documents, Relating To Their History, Religion and Life, translated and edited by John Bowman, Pittsburgh Original Texts & Translations Series Number 2, 1977.
  21. ^ (Inggris) JewishEncyclopedia.com – SAMARITANS
  22. ^ (Inggris) Crown, Alan D. (October 1991). "The Abisha Scroll – 3,000 Years Old?" in Bible Review.
  23. ^ (Indonesia)C. Groenen.2006. "Pengantar ke dalam Perjanjian Baru". Yogyakarta: Kanisius.
  24. ^ (Indonesia)Willi Marxsen.2006. "Pengantar Perjanjian Baru". Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Pustaka

Bacaan Lanjutan

  • Barnstone, Willis (ed.) The Other Bible: Ancient Alternative Scriptures. HarperCollins, 1984, ISBN 978-0-7394-8434-0.
  • Childs, Brevard S., The New Testament as Canon: An Introduction ISBN 0-334-02212-6
  • Gamble, Harry Y., The New Testament Canon: Its Making and Meaning ISBN 0-8006-0470-9
  • McDonald, Lee Martin, Forgotten Scriptures. The Selection and Rejection of Early Religious Writings, 2009, ISBN 978-0-664-23357-0
  • McDonald, Lee Martin, The Formation of the Christian Biblical Canon ISBN 0-687-13293-2
  • McDonald, Lee Martin, Early Christianity and Its Sacred Literature ISBN 1-56563-266-4
  • McDonald, Lee Martin, The Biblical Canon: Its Origin, Transmission, and Authority ISBN 978-1-56563-925-6
  • McDonald, Lee Martin, and James A. Sanders (eds.) The Canon Debate ISBN 1-56563-517-5
  • Metzger, Bruce Manning, The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance ISBN 0-19-826180-2
  • Souter, Alexander, The Text and Canon of the New Testament, 2nd. ed., Studies in theology; no. 25. London: Duckworth (1954)
  • Stonehouse, Ned Bernhard, The Apocalypse in the Ancient Church: A Study in the History of the New Testament Canon, 1929
  • Taussig, Hal A New New Testament: A Bible for the 21st Century Combining Traditional and Newly Discovered Texts, 2013
  • Wall, Robert W., The New Testament as Canon: A Reader in Canonical Criticism ISBN 1-85075-374-1
  • Westcott, Brooke Foss, A General Survey of the History of the Canon of the New Testament, 4th. ed, London: Macmillan (1875)

Pranala luar