Perang Dunia I
Perang Dunia I (PDI) adalah sebuah perang global terpusat di Eropa yang dimulai pada tanggal 28 Juli 1914 sampai 11 November 1918. Perang ini sering disebut Perang Dunia atau Perang Besar sejak terjadi sampai dimulainya Perang Dunia II pada tahun 1939, dan Perang Dunia Pertama atau Perang Dunia I setelah itu. Perang ini melibatkan semua kekuatan besar dunia,[5] yang terbagi menjadi dua aliansi bertentangan, yaitu Sekutu (berdasarkan Entente Tiga yang terdiri dari Britania Raya, Perancis, dan Rusia) dan Blok Sentral (terpusat pada Aliansi Tiga yang terdiri dari Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia; namun saat Austria-Hongaria melakukan serangan sementara persekutuan ini bersifat defensif, Italia tidak ikut berperang).[6] Kedua aliansi ini melakukan reorganisasi (Italia berada di pihak Sekutu) dan memperluas diri saat banyak negara ikut serta dalam perang. Lebih dari 70 juta tentara militer, termasuk 60 juta orang Eropa, dimobilisasi dalam salah satu perang terbesar dalam sejarah.[7][8] Lebih dari 9 juta prajurit gugur, terutama akibat kemajuan teknologi yang meningkatkan tingkat mematikannya suatu senjata tanpa mempertimbangkan perbaikan perlindungan atau mobilitas. Perang Dunia I adalah konflik paling mematikan keenam dalam sejarah dunia, sehingga membuka jalan untuk berbagai perubahan politik seperti revolusi di beberapa negara yang terlibat.[9]
Penyebab jangka panjang perang ini mencakup kebijakan luar negeri imperialis kekuatan besar Eropa, termasuk Kekaisaran Jerman, Kekaisaran Austria-Hongaria, Kesultanan Utsmaniyah, Kekaisaran Rusia, Imperium Britania, Republik Perancis, dan Italia. Pembunuhan tanggal 28 Juni 1914 terhadap Adipati Agung Franz Ferdinand dari Austria, pewaris tahta Austria-Hongaria, oleh seorang nasionalis Yugoslavia di Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina adalah pencetus perang ini. Pembunuhan tersebut berujung pada ultimatum Habsburg terhadap Kerajaan Serbia.[10][11] Sejumlah aliansi yang dibentuk selama beberapa dasawarsa sebelumnya terguncang, sehingga dalam hitungan minggu semua kekuatan besar terlibat dalam perang; melalui koloni mereka, konflik ini segera menyebar ke seluruh dunia.
Pada tanggal 28 Juli, konflik ini dibuka dengan invasi ke Serbia oleh Austria-Hongaria,[12][13] diikuti invasi Jerman ke Belgia, Luksemburg, dan Perancis; dan serangan Rusia ke Jerman. Setelah pawai Jerman di Paris tersendat, Front Barat melakukan pertempuran atrisi statis dengan jalur parit yang mengubah sedikit suasana sampai tahun 1917. Di Timur, angkatan darat Rusia berhasil mengalahkan pasukan Kesultanan Utsmaniyah, namun dipaksa mundur dari Prusia Timur dan Polandia oleh angkatan darat Jerman. Front lainnya dibuka setelah Kesultanan Utsmaniyah ikut serta dalam perang tahun 1914, Italia dan Bulgaria tahun 1915, dan Rumania tahun 1916. Kekaisaran Rusia runtuh bulan Maret 1917, dan Rusia menarik diri dari perang setelah Revolusi Oktober pada akhir tahun itu. Setelah serangan Jerman di sepanjang front barat tahun 1918, Sekutu memaksa pasukan Jerman mundur dalam serangkaian serangan yang sukses dan pasukan Amerika Serikat mulai memasuki parit. Jerman, yang bermasalah dengan revolusi pada saat itu, setuju melakukan gencatan senjata pada tanggal 11 November 1918 yang kelak dikenal sebagai Hari Gencatan Senjata. Perang ini berakhir dengan kemenangan di pihak Sekutu.
Peristiwa di front Britania sama rusuhnya seperti front depan, karena para pihak terlibat berusaha memobilisasi tenaga manusia dan sumber daya ekonomi mereka untuk melakukan perang total. Pada akhir perang, empat kekuatan imperial besar—Kekaisaran Jerman, Rusia, Austria-Hongaria, dan Utsmaniyah—bubar. Negara pengganti dua kekaisaran yang disebutkan pertama tadi kehilangan banyak sekali wilayah, sementara dua terakhir bubar sepenuhnya. Eropa Tengah terpecah menjadi beberapa negara kecil.[14] Liga Bangsa-Bangsa dibentuk dengan harapan mencegah konflik seperti ini selanjutnya. Nasionalisme Eropa yang muncul akibat perang dan pembubaran kekaisaran, dampak kekalahan Jerman dan masalah dengan Traktat Versailles diyakini menjadi faktor penyebab pecahnya Perang Dunia II.[15]
Nama
Di Kanada, Maclean's Magazine pada bulan Oktober 1914 menuliskan, "Sejumlah perang memberi namanya sendiri. Perang ini namanya Perang Besar."[16] Sejarah asal usul dan bulan-bulan pertama perang diterbitkan di New York pada akhir 1914 dengan judul The World War (Perang Dunia).[17] Selama periode antarperang, perang ini lebih sering disebut Perang Dunia dan Perang Besar di negara-negara berbahasa Inggris.
Setelah pecahnya Perang Dunia Kedua tahun 1939, istilah Perang Dunia I atau Perang Dunia Pertama menjadi standar, dengan sejarawan Britania dan Kanada yang lebih suka Perang Dunia Pertama, dan Amerika Perang Dunia I. Kedua istilah ini juga dipakai selama periode antarperang. Frasa "Perang Dunia Pertama" pertama dipakai bulan September 1914 oleh filsuf Jerman Ernest Haeckel, yang mengklaim bahwa "tidak ada keraguan bahwa alur dan tokoh 'Perang Eropa' yang dikhawatirkan ... akan menjadi perang dunia pertama dalam arti sepenuhnya."[18] The First World War (Perang Dunia Pertama) juga merupakan judul buku sejarah tahun 1920 karya perwira dan jurnalis Charles à Court Repington.
Latar belakang
Pada abad ke-19, kekuatan-kekuatan besar Eropa berupaya keras mempertahankan keseimbangan kekuatan di seluruh Eropa, sehingga pada tahun 1900 memunculkan jaringan aliansi politik dan militer yang kompleks di benua ini.[6] Berawal tahun 1815 dengan Aliansi Suci antara Prusia, Rusia, dan Austria. Kemudian, pada Oktober 1873, Kanselir Jerman Otto von Bismarck menegosiasikan Liga Tiga Kaisar (Jerman: Dreikaiserbund) antara monarki Austria-Hongaria, Rusia, dan Jerman. Perjanjian ini gagal karena Austria-Hongaria dan Rusia tidak sepakat mengenai kebijakan Balkan, sehingga meninggalkan Jerman dan Austria-Hongaria dalam satu aliansi yang dibentuk tahun 1879 bernama Aliansi Dua. Hal ini dipandang sebagai metode melawan pengaruh Rusia di Balkan saat Kesultanan Utsmaniyah terus melemah.[6] Pada tahun 1882, aliansi ini meluas hingga Italia dan menjadi Aliansi Tiga.[19]
Setelah 1870, konflik Eropa terhindar melalui jaringan perjanjian yang direncanakan secara hati-hati antara Kekaisaran Jerman dan seluruh Eropa yang dirancang oleh Bismarck. Ia berupaya menahan Rusia agar tetap di pihak Jerman untuk menghindari perang dua front dengan Perancis dan Rusia. Ketika Wilhelm II naik tahta sebagai Kaisar Jerman (Kaiser), Bismarck terpaksa pensiun dan sistem aliansinya perlahan dihapus. Misalnya, Kaiser menolak memperbarui Perjanjian Reasuransi dengan Rusia pada tahun 1890. Dua tahun kemudian, Aliansi Perancis-Rusia ditandatangani untuk melawan kekuatan Aliansi Tiga. Pada tahun 1904, Britania Raya menandatangani serangkaian perjanjian dengan Perancis, Entente Cordiale, dan pada 1907, Britania Raya dan Rusia menandatangani Konvensi Inggris-Rusia. Meski perjanjian ini secara formal tidak menyekutukan Britania Raya dengan Perancis atau Rusia, mereka memungkinkan Britania masuk konflik manapun yang kelak melibatkan Perancis dan Rusia, dan sistem penguncian perjanjian bilateral ini kemudian dikenal sebagai Entente Tiga.[6]
Kekuatan industri dan ekonomi Jerman tumbuh pesat setelah penyatuan dan pendirian Kekaisaran pada tahun 1871. Sejak pertengahan 1890-an sampai seterusnya, pemerintahan Wilhelm II memakai basis industri ini untuk memanfaatkan sumber daya ekonomi dalam jumlah besar untuk membangun Kaiserliche Marine (Angkatan Laut Kekaisaran Jerman), yang dibentuk oleh Laksamana Alfred von Tirpitz, untuk menyaingi Angkatan Laut Kerajaan Britania Raya untuk supremasi laut dunia.[20] Hasilnya, setiap negara berusaha mengalahkan negara lain dalam hal kapal modal. Dengan peluncuran HMS Dreadnought tahun 1906, Imperium Britania memperluas keunggulannya terhadap pesaingnya, Jerman.[20] Perlombaan senjata antara Britania dan Jerman akhirnya meluas ke seluruh Eropa, dengan semua kekuatan besar memanfaatkan basis industri mereka untuk memproduksi perlengkapan dan senjata yang diperlukan untuk konflik pan-Eropa.[21] Antara 1908 dan 1913, belanja militer kekuatan-kekuatan Eropa meningkat sebesar 50 persen.[22]
Austria-Hongaria mengawali krisis Bosnia 1908–1909 dengan menganeksasi secara resmi bekas teritori Utsmaniyah di Bosnia dan Herzegovina, yang telah diduduki sejak 1878. Peristiwa ini membuat Kerajaan Serbia dan pelindungnya, Kekaisaran Rusia yang Pan-Slavik dan Ortodoks berang.[23] Manuver politik Rusia di kawasan ini mendestabilisasi perjanjian damai yang sudah memecah belah apa yang disebut sebagai "tong mesiu Eropa".[23]
Tahun 1912 dan 1913, Perang Balkan Pertama pecah antara Liga Balkan dan Kesultanan Utsmaniyah yang sedang retak. Perjanjian London setelah itu mengurangi luas Kesultanan Utsmaniyah dan menciptakan negara merdeka Albania, tetapi memperbesar teritori Bulgaria, Serbia, Montenegro, dan Yunani. Ketika Bulgaria menyerbu Serbia dan Yunani pada tanggal 16 Juni 1913, negara ini kehilangan sebagian besar Makedonia ke Serbia dan Yunani dan Dobruja Selatan ke Rumania dalam Perang Balkan Kedua selama 33 hari, sehingga destabilisasi di wilayah ini semakin menjadi-jadi.[24]
Pada tanggal 28 Juni 1914, Gavrilo Princip, seorang pelajar Serbia Bosnia dan anggota Pemuda Bosnia, membunuh pewaris tahta Austria-Hongaria, Adipati Agung Franz Ferdinand dari Austria di Sarajevo, Bosnia.[25] Peristiwa ini memulai satu bulan manuver diplomatik di antara Austria-Hongaria, Jerman, Rusia, Perancis, dan Britania, yang disebut Krisis Juli. Ingin mengakhiri intervensi Serbia di Bosnia, Austria-Hongaria mengirimkan Ultimatum Juli ke Serbia, yaitu sepuluh permintaan yang sengaja dibuat tidak masuk akal dengan tujuan memulai perang dengan Serbia.[26] Ketika Serbia hanya menyetujui delapan dari sepuluh permintaan, Austria-Hongaria menyatakan perang pada tanggal 28 Juli 1914. Strachan berpendapat, "Tanggapan ragu dan awal oleh Serbia yang mampu membuat perubahan terhadap perilaku Austria-Hongaria bisa diragukan. Franz Ferdinand bukan sosok yang gila popularitas, dan kematiannya tidak membuat kekaisaran ini berduka sedalam-dalamnya".[27]
Kekaisaran Rusia, tidak ingin Austria-Hongaria menghapus pengaruhnya di Balkan dan mendukung protégé lamanya Serbia, memerintahkan mobilisasi parsial sehari kemudian.[19] Kekaisaran Jerman melakukan mobilisasi tanggal 30 Juli 1914, siap menerapkan "Rencana Shlieffen" berupa invasi ke Perancis secara cepat dan massal untuk mengalahkan Angkatan Darat Perancis, kemudian pindah ke timur untuk melawan Rusia. Kabinet Perancis bergeming terhadap tekanan militer mengenai mobilisasi cepat, dan memerintahkan tentaranya mundur 10 km dari perbatasan untuk menghindari insiden apapun. Perancis baru melakukan mobilisasi pada malam tanggal 2 Agustus, ketika Jerman menyerbu Belgia dan menyerang tentara Perancis. Jerman menyatakan perang terhadap Rusia pada hari itu juga.[28] Britania Raya menyatakan perang terhadap Jerman tanggal 4 Agustus 1914, setelah "balasan tidak memuaskan" terhadap ultimatum Britania bahwa Belgia harus dibiarkan netral.[29]
Teater konflik
Serangan pembuka
Kebingungan Blok Sentral
Strategi Blok Sentral mengalami miskomunikasi. Jerman telah berjanji mendukung invasi Austria-Hongaria ke Serbia, namun penafsiran maksudnya berbeda. Rencana penempatan pasukan yang sebelumnya diuji telah diganti pada awal 1914, namun penggantian tersebut tidak pernah diuji dalam latihan. Para pemimpin Austria-Hongaria yakin Jerman akan melindungi perbatasan utaranya dari serbuan Rusia.[30] Meski begitu, Jerman mengharapkan Austria-Hongaria mengarahkan sebagian besar tentaranya ke Rusia, sementara Jerman menangani Perancis. Kebingungan ini mendorong Angkatan Darat Austria-Hongaria membagi pasukannya antara front Rusia dan Serbia.
Pada tanggal 9 September 1914, Septemberprogramm, sebuah rencana memungkinkan yang menyebutkan tujuan perang tertentu Jerman dan persyaratan yang dipaksakan Jerman terhadap Blok Sekutu, dibuat oleh Kanselir Jerman Theobald von Bethmann-Hollweg. Rencana ini tidak pernah dilaksanakan secara resmi.
Kampanye Afrika
Sejumlah pertempuran pertama dalam perang melibatkan kekuatan kolonial Britania, Perancis, dan Jerman di Afrika. Tanggal 7 Agustus, tentara Perancis dan Britania menyerbu protektorat Togoland Jerman. Tanggal 10 Agustus, pasukan Jerman di Afrika Barat Daya menyerang Afrika Selatan; pertempuran sporadis dan sengit berlanjut sampai akhir perang. Pasukan kolonial Jerman di Afrika Timur Jerman, dipimpin Kolonel Paul Emil von Lettow-Vorbeck, melakukan kampanye peperangan gerilya selama Perang Dunia I dan baru menyerah dua minggu setelah gencatan senjata diberlakukan di Eropa.[31]
Kampanye Serbia
Austria menyerbu dan memerangi pasukan Serbia pada Pertempuran Cer dan Pertempuran Kolubara yang dimulai tanggal 12 Agustus. Sampai dua minggu berikutnya, serangan Austria dipatahkan dengan kerugian besar, yang menandakan kemenangan besar pertama Sekutu dalam perang ini dan memupuskan harapan Austria-Hongaria akan kemenangan mulus. Akibatnya, Austria harus menempatkan pasukan yang memadai di front Serbia, sehingga melemahkan upayanya membuka perang dengan Rusia.[32] Kekalahan Serbia dalam invasi Austria-Hongaria tahun 1914 tergolong sebagai kemenangan terbalik besar dalam abad terakhir.[33]
Pasukan Jerman di Belgia dan Perancis
Pada awal pecahnya Perang Dunia Pertama, angkatan darat Jerman (di sebelah barat terdiri dari tujuh pasukan lapangan) melaksanakan versi modifikasi Rencana Schlieffen, yang dirancang untuk menyerang Perancis secara cepat melalui Belgia yang netral sebelum berbelok ke selatan untuk mengepung pasukan Perancis di perbatasan Jerman.[10]. Karena Perancis telah menyatakan bahwa mereka akan "bertindak sebebasnya andai terjadi perang antara Jerman dan Rusia", Jerman memperkirakan kemungkinan serangan di dua front. Jika terjadi hal seperti itu, Rencana Schlieffen menyatakan bahwa Jerman harus mencoba mengalahkan Perancis secara cepat (seperti yang terjadi pada Perang Perancis-Prusia 1870-71). Rencana ini menyarankan bahwa untuk mengulangi kemenangan cepat di barat, Jerman tidak usah menyerang melalui Alsace-Lorraine (yang memiliki perbatasan langsung di sebelah barat sungai Rhine), tetapi mencoba memutuskan Paris secara cepat dari Selat Inggris (terputus dengan Britania Raya). Kemudian pasukan Jerman dipindahkan ke timur untuk menyerbu Rusia. Rusia diyakini membutuhkan persiapan lama sebelum bisa menjadi ancaman besar bagi Blok Sentral.
Jerman ingin bergerak bebas melintasi Belgia (dan Belanda juga, meski ditolak Kaiser Wilhelm II) untuk bertemu Perancis di perbatasannya. Jawaban dari Belgia netral tentu saja "tidak". Jerman kemudian merasa perlu menyerbu Belgia, karena inilah rencana satu-satunya yang ada andai terjadi perang dua front di Jerman. Perancis juga ingin menggerakkan tentara mereka melintasi Belgia, tetapi Belgia menolak untuk menghindari pecahnya perang apapun di tanah Belgia. Pada akhirnya, setelah serbuan Jerman, Belgia mencoba menggabungkan pasukan mereka dengan Perancis (namun sebagian besar pasukan Belgia mundur ke Antwerpen tempat mereka dipaksa menyerah ketika semua harapan bantuan pupus).
Rencana ini meminta agar sisi kanan Jerman bergerak ke Paris, dan awalnya Jerman berhasil, terutama pada Pertempuran Frontiers (14–24 Agustus). Pada 12 September, Perancis, dengan bantuan dari pasukan Britania, menghambat pergerakan Jerman ke timur Paris pada Pertempuran Marne Pertama (5–12 September) dan mendorong pasukan Jerman 50 km ke belakang. Hari-hari terakhir pertempuran ini menandakan akhir dari peperangan bergerak di barat.[10] Serangan Perancis ke Alsace Selatan, dimulai tanggal 20 Agustus dengan Pertempuran Mulhouse, mengalami sedikit kesuksesan.
Di sebelah timur, hanya satu pasukan lapangan, yaitu pasukan ke-8, yang bergerak cepat melalui kereta api melintasi Kekaisaran Jerman. Pasukan yang dulunya cadangan di barat ini dipimpin oleh Jenderal Paul von Hindenburg untuk mempertahankan Prusia Timur, setelah berhasil melakukan serbuan awal ke Rusia dengan dua unit pasukan. Jerman mengalahkan Rusia dalam serangkaian pertempuran yang secara kolektif disebut Pertempuran Tannenberg Pertama (17 Agustus – 2 September). Akan tetapi, invasi Rusia yang gagal lebih disebabkan oleh berhentinya serangan Jerman di barat dan kekalahan taktis oleh Angkatan Darat Perancis di Marne. Pasukan Jerman semakin lelah dan pasukan cadangannya dipindahkan untuk menangani invasi ke Rusia. Staf Jenderal Jerman di bawah Jenderal Helmuth von Moltke yang Muda juga telah memperhitungkan bahwa pemanfaatan transportasi tentara cepat melalui kereta api tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan di luar Kekaisaran Jerman. Blok Sentral gagal mendapatkan kemenangan cepat di Perancis dan terpaksa berperang di dua front. Pasukan Jerman mengambil posisi defensif yang baik di dalam Perancis dan berhasil melumpuhkan mobilisasi 230.000 tentara Perancis dan Britania secara permanen. Meski begitu, masalah komunikasi dan keputusan komando yang bisa dipertanyakan menggagalkan impian kemenangan awal Jerman.[34]
Asia dan Pasifik
Selandia Baru menduduki Samoa Jerman (kemudian Samoa Barat) pada tanggal 30 Agustus 1914. Tanggal 11 September, Pasukan Ekspedisi Laut dan Militer Australia mendarat di pulau Neu Pommern (kemudian Britania Baru), yang merupakan wilayah Nugini Jerman. Tanggal 28 Oktober, kapal jelajah SMS Emden menenggelamkan kapal jelajah Jerman Zhemchug pada Pertempuran Penang. Jepang merebut koloni Mikronesia Jerman dan, setelah Pengepungan Tsingtao, pelabuhan batu bara Jerman di Qingdao di semenanjung Shandong, Cina. Dalam beberapa bulan, pasukan Sekutu telah merebut semua teritori Jerman di Pasifik; hanya pos dagang terisolasi dan sedikit wilayah di Nugini yang bertahan.[35][36]
Front Barat
Awal peperangan parit (1914–1915)
Taktik militer sebelum Perang Dunia I gagal menyamai kemajuan teknologi. Kemajuan ini memungkinkan terciptanya sistem pertahanan canggih yang tidak mampu disamai taktik militer lama sepanjang perang. Kawat berduri merupakan penghalang efektif terhadap pergerakan infanteri massal. Artileri, jauh lebih mematikan daripada tahun 1870-an, ditambah senjata mesin, menjadikan pergerakan di daratan terbuka sangat sulit dilakukan.[37] Jerman memperkenalkan gas beracun; teknik ini kelak dipakai oleh kedua pihak, meski tidak pernah terbukti menentukan dalam memenangkan suatu pertempuran. Dampaknya sangat sadis, menyebabkan kematian yang lama dan menyakitkan, dan gas beracun menjadi salah satu hal terburuk yang paling ditakuti dan diingat dalam perang ini.[38] Komandan di kedua sisi gagal mengembangkan taktik mematahkan posisi parit dengan tanpa kerugian besar. Sementara itu, teknologi mulai menciptakan senjata-senjata ofensif baru, seperti tank.[39]
Setelah Pertempuran Marne Pertama (5–12 September 1914), baik pasukan Entente dan Jerman mengawali serangkaian manuver mengepung dalam peristiwa yang disebut "Perlombaan ke Laut". Britania dan Perancis kelak menyadari bahwa mereka menghadapi pasukan parit Jerman dari Lorraine sampai pesisir Belgia.[10] Britania dan Perancis berupaya melakukan serangan, sementara Jerman mempertahankan teritori yang diduduki. Akibatnya, parit-parit Jerman lebih kukuh ketimbang milik musuhnya, parit Inggris-Perancis hanya bersifat "sementara" sebelum pasukan mereka mematahkan pertahanan Jerman.[40]
Kedua sisi mencoba memecah kebuntuan menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tanggal 22 April 1915 pada Pertempuran Ypres Kedua, Jerman (melanggar Konvensi Den Haag) memakai gas klorin untuk pertama kalinya di Front Barat. Tentara Aljazair mundur ketika digas sehingga terbentuk celah sepanjang enam kilometer (empat mil) terbuka di lini Sekutu yang segera dimanfaatkan Jerman, mengadakan Pertempuran Kitchener's Wood, sebelum ditutup oleh tentara Kanada.[41] Tank pertama dipakai dalam pertempuran oleh Britania pada Pertempuran Flers-Courcelette (bagian dari serangan Somme yang lebih besar) pada tanggal 15 September 1916 dengan sedikit keberhasilan; Perancis memperkenalkan meriam putar Renault FT pada akhir 1917; Jerman memanfaatkan tank-tank Sekutu yang ditangkap dan sejumlah kecil tank mereka sendiri.
Kelanjutan peperangan parit (1916–1917)
Kedua sisi tidak mampu memberi pukulan menentukan selama dua tahun berikutnya. Sekitar 1,1 sampai 1,2 juta tentara pasukan Britania dan jajahannya berada di Front Barat pada satu waktu.[42] Seribu batalion, menempati sektor lini dari Laut Utara sampai Sungai Orne, melakukan sistem rotasi empat tahap selama satu bulan, kecuali sebuah serangan sedang terjadi. Front ini memiliki parit sepanjang 9.600 kilometer (5.965 mi). Setiap batalion menduduki sektornya selama seminggu sebelum kembali ke lini pendukung dan terus ke lini cadangan sebelum seminggu di luar lini, biasanya di wilayah Poperinge atau Amiens.
Sepanjang 1915–17, Imperium Britania dan Perancis mengalami lebih banyak korban daripada Jerman, karena sikap strategi dan taktik yang dipilih oleh sisinya. Secara strategis, saat Jerman hanya melakukan satu serangan tunggal di Verdun, Sekutu melakukan banyak upaya untuk mematahkan lini Jerman.
Pada tanggal 1 Juli 1916, Angkatan Darat Britania Raya mengalami hari paling mematikan dalam sejarahnya, dengan korban 57.470 jiwa, termasuk 19.240 gugur, pada hari pertama Pertempuran Somme. Kebanyakan korban jatuh pada satu jam pertama serangan. Seluruh serangan Somme melibatkan setengah juta prajurit Angkatan Darat Britania.[43]
Serangan Jerman yang terus-menerus di Verdun sepanjang 1916,[44] ditambah Somme (Juli dan Agustus 1916), membawa pasukan Perancis yang lelah di ambang perpecahan. Upaya sia-sia dalam serangan frontal memakan banyak korban bagi Britania dan poilu Perancis dan mendorong terjadinya mutini besar-besaran tahun 1917, setelah Serangan Nivelle (April dan Mei 1917) yang gagal.[45]
Secara taktis, doktrin komandan Jerman Erich Ludendorff berupa "pertahanan elastis" cocok dipakai untuk peperangan parit. Pertahanan ini terdiri dari posisi depan yang minim pertahanan dan posisi utama jauh di belakang jangkauan artileri yang lebih kuat, yang dari situlah serangan balasan cepat dan kuat bisa dilancarkan.[46][47]
Ludendorff menulis tentang pertempuran tahun 1917,
25 Agustus mengakhiri fase kedua pertempuran Flandria. Peristiwa ini memakan banyak korban dari pihak kami ... Pertempuran Agustus mematikan di Flandria dan Verdun membawa tekanan berat bagi tentara Barat. Meski di bawah perlindungan beton, semua tampak kurang kuat menghadapi artileri musuh yang luar biasa. Pada beberapa saat, mereka tidak lagi memiliki ketegasan yang saya, bersama para komandan setempat, harapkan. Musuh berupaya mengadaptasikan diri mereka dengan metode kakmi dalam melakukan serangan balasan ... Saya sendiri mengalami tekanan luar biasa. Suasana di Barat tampak mencegah dilakukannya rencana-rencana kami di manapun. Jumlah korban begitu banyak sehingga kami tidak sempat menguburkan mereka secara layak, dan melebihi semua harapan kami.[48]
Pada pertempuran Menin Road Ridge, Ludendorff menulis,
Serangan besar lain dilancarkan terhadap lini kami pada tanggal 20 September ... Serangan musuh terhadap pasukan ke-20 berhasil, yang membuktikan superioritas serangan terhadap pertahanan. Kekuatan mereka tidak melibatkan tank; kami melihat mereka begitu tidak nyaman, tetapi terus mengerahkan semuanya. Kekuatan serangan terletak di artileri, dan faktanya artileri kami tidak mampu memberi dampak yang cukup untuk memecah infanteri saat mereka terus bersatu pada saat itu juga.[49]
Pada Pertempuran Arras 1917, satu-satunya keberhasilan besar militer Britania adalah penaklukan Vimy Ridge oleh Korps Kanada di bawah pimpinan Sir Arthur Currie dan Julian Byng. Tentara yang menyerang, untuk pertama kalinya, mampu mengalahkan, bersatu dengan cepat, dan mempertahankan pegunungan yang membatasi dataran Douai yang kaya akan kandungan batu bara.[50][51]
Perang laut
Pada awal perang, Kekaisaran Jerman memiliki kapal jelajah yang tersebar di seluruh dunia, beberapa di antaranya dipakai untuk menyerang kapal dagang Sekutu. Angkatan Laut Kerajaan Britania Raya secara sistematis memburu mereka, meski menanggun malu akibat ketidakmampuannya melindungi kapal Sekutu. Misalnya, kapal jelajah ringan Jerman SMS Emden, bagian dari skadron Asia Timur yang berpusat di Tsingtao, menangkap atau menghancurkan 15 kapal dagang, serta menenggelamkan sebuah kapal jelajah Rusia dan kapal penghancur Perancis. Namun sebagian besar Skadron Asia Timur Jerman—terdiri dari kapal jelajah lapis baja Scharnhorst dan Gneisenau, kapal jelajah ringan Nürnberg dan Leipzig dan dua kapal angkut—tidak diberi perintah mencegat jalur perkapalan dan malah diperintahkan kembali ke Jerman ketika bertemu kapal perang Britania. Armada Jerman dan Dresden menenggelamkan dua kapal jelajah lapis baja pada Pertempuran Coronel, namun hampir hancur pada Pertempuran Kepulauan Falkland bulan Desember 1914, dengan Dresden dan beberapa kapal pembantu berhasil kabur, tetapi pada Pertempuran Más a Tierra kapal-kapal tadi akhirnya hancur atau ditangkap.[52]
Sesaat setelah pecahnya pertempuran, Britania memulai blokade laut Jerman. Strategi ini terbukti efektif, memutuskan suplai militer dan sipil, meski blokade ini melanggar hukum internasional yang diatur oleh beberapa perjanjian internasional selama dua abad terakhir.[53] Britania membuang ranjau di perairan internasional untuk mencegah kapal apapun memasuki seluruh wilayah samudra, sehingga membahayakan kapal yang netral sekalipun.[54] Karena ada sedikit tanggapan terhadap taktik ni, Jerman mengharapkan taktik yang sama terhadap peperangan kapal selamnya yang tidak terhambat.[55]
Pertempuran Jutland (Jerman: Skagerrakschlacht, atau "Pertempuran Skagerrak") 1916 berubah menjadi pertempuran laut terbesar dalam perang ini, satu-satunya pertempuran kapal perang berskala besar dalam Perang Dunia I, dan salah satu yang terbesar dalam sejarah. Pertempuran ini terjadi pada tanggal 31 Mei – 1 Juni 1916 di Laut Utara lepas pantai Jutland. Armada Laut Lepas Kaiserliche Marine, dipimpin Wakil Laksamana Reinhard Scheer, berperang melawan Armada Besar Angkatan Laut Kerajaan, dipimpin Laksamana Sir John Jellicoe. Pertempuran ini buntu, karena Jerman, yang kalah jumlah dengan armada Britania, berhasil kabur dan mengakibatkan kerusakan lebih banyak bagi armada Britania daripada yang mereka terima. Secara strategis, Britania menguasai lautan, dan sebagian besar armada permukaan Jerman masih tertahan di pelabuhan selama perang berlangsung.[56]
Kapal-U Jerman berusaha memotong jalur suplai antara Amerika Utara dan Britania.[57] Sifat peperangan kapal selam berarti bawha serangan bisa datang tanpa peringatan, sehingga memberi kemungkinan selamat yang kecil bagi awak kapal dagang.[57][58] Amerika Serikat mengeluarkan protes, dan Jerman mengganti aturan pertempuran. Setelah penenggelaman kapal penumpang RMS Lusitania tahun 1915, Jerman berjanji tidak lagi menyerang kapal penumpang, sementara Britania mempersenjatai kapal-kapal dagangnya dan menempatkan mereka di luar perlindungan "aturan kapal jelajah" yang meminta peringatan dan penempatan awak di "tempat aman" (standar yang tidak dimiliki sekoci).[59] Akhirnya, pada awal 1917, Jerman menerapkan kebijakan peperangan kapal selam tak terbatas, menyadari bahwa Amerika Serikat akan ikut berperang.[57][60] Jerman berupaya menghambat jalur laut Sekutu sebelum Amerika Serikat dapat memindahkan pasukan dalam jumlah besar ke luar negeri, tetapi hanya mampu mengerahkan lima kapal-U jarak jauh dengan dampak yang sedikit.[57]
Ancaman kapal-U berkurang pada tahun 1917, ketika kapal-kapal dagang mulai berlayar dalam bentuk konvoi dan dikawal kapal penghancur. Taktik ini terbukti sulit bagi kapal-U untuk mencari target, sehingga mengurangi kerugian; setelah hidropon dan ranjau bawah air diperkenalkan, kapal penghancur pengawal bisa menyerang kapal selam dengan kemungkinan berhasil. Konvoi memperlambat aliran suplai, karena kapal harus menunggu saat konvoi dibentuk. Solusi terhadap penundaan ini adalah program pembangunan kapal angkut baru secara besar-besaran. Kapal tentara terlalu cepat untuk dikejar kapal selam dan tidak berlayar di Atlantik Utara dalam konvoi.[61] Kapal-U telah menenggelamkan lebih dari 5.000 kapal Sekutu dengan kerugian sebanyak 199 kapal selam.[62]
Perang Dunia I juga menjadi peristiwa ketika kapal angkut pesawat pertama kali dipakai dalam pertempuran, dengan HMS Furious meluncurkan pesawat Sopwith Camels dalam serangan sukses terhadap hangar Zeppelin di Tondern pada bulan Juli 1918, serta blimp untuk patroli antikapal selam.[63]
Teater Selatan
Perang di Balkan
Menghadapi Rusia, Austria-Hongaria hanya mampu menyisihkan sepertiga pasukannya untuk menyerang Serbia. Setelah mengalami kerugian besar, Austria sementara berhasil menduduki ibu kota Serbia, Belgrade. Serangan balasan Serbia pada pertempuran Kolubara berhasil mengusir mereka dari negara ini pada akhir 1914. Selama sepuluh bulan pertama 1915, Austria-Hongaria memanfaatkan sebagian besar cadangan militernya untuk berperang dengan Italia. Akan tetapi, diplomat Jermen dan Austria-Hongaria mengusulkan kudeta dengan membujuk Bulgaria agar ikut menyerang Serbia. Provinsi Slovenia, Kroasia, dan Bosnia menyediakan bala tentara untuk Austria-Hongaria, menyerbu Serbia sekaligus menghadapi Rusia dan Italia. Montenegro berpihak pada Serbia.[65]
Serbia dikuasai dalam kurun satu bulan lebih sedikit, setelah Blok Sentral, sekarang mencakup Bulgaria, mengirimkan 600.000 tentara. Pasukan Serbia, berperang di dua front dan menghadapi kekalahan telak, mundur ke Albania utara (yang sudah mereka duduki sejak awal perang[diragukan ]). Serbia kalah pada Pertempuran Kosovo. Montenegro melindungi mundurnya Serbia ke pantai Adriatik pada Pertempuran Mojkovac tanggal 6–7 Januari 1916, namun Austria pada akhirnya menduduki Montenegro. 70.000 tentara Serbia tersisa dievakuasi dengan kapal ke Yunani.[66]
Pada akhir 1915, satu pasukan Perancis-Britania mendarat di Salonika, Yunani, untuk memberi bantuan dan menekan pemerintah setempat untuk menyatakan perang terhadap Blok Sentral. Sayang sekali bagi Sekutu, Raja Constantine I yang pro-Jerman membubarkan pemerintahan Eleftherios Venizelos yang pro-Sekutu, sebelum pasukan ekspedisi Sekutu tiba.[67] Pertentangan antara raja Yunani dan Sekutu terus memuncak dengan terjadinya Skisma Nasional, yang efektif membelah Yunani menjadi wilayah yang setia pada raja dan pemerintahan sementara Venizelos di Salonika. Setelah negosiasi diplomatik intensif dan konfrontasi bersenjata di Athena antara pasukan Sekutu dan royalis (insiden Noemvriana), raja Yunani mundur dan putra keduanya, Alexander, menggantikannya. Venizelos pulang ke Athena tanggal 29 Mei 1917 dan Yunani, setelah bersatu, secara resmi bergabung di pihak Sekutu. Seluruh pasukan Yunani dimobilisasi dan mulai berpartisipasi dalam operasi militer melawan Blok Sentral di front Makedonia.
Setelah penaklukan, Serbia dibagi antara Austria-Hongaria dan Bulgaria. Pada tahun 1917, Serbia melancarkan Pemberontakan Toplica dan sempat membebaskan wilayah antara pegunungan Kopaonik dan sungai Morava Selatan. Pemberontakan ini dipadamkan oleh pasukan gabungan Bulgaria dan Austria pada akhir Maret 1917.
Front Makedonia pada awalnya cenderung statis. Pasukan Perancis dan Serbia menduduki kembali sedikit wilayah Makedonia dengan menaklukkan Bitola tanggal 19 November 1916 sebagai hasil dari Serangan Monastir yang membawa kestabilan di front ini.
Tentara Serbia dan Perancis akhirnya membuat terobosan, setelah sebagian besar tentara Jerman dan Austria-Hongaria ditarik. Terobosan ini penting dalam mengalahkan Bulgaria dan Austria-Hongaria, yang berujung pada kemenangan akhir PDI. Bulgaria mengalami kekalahan satu-satunya dalam perang pada Pertempuran Dobro Pole, namun beberapa hari kemudian mereka berhasil mengalahkan pasukan Britania dan Yunani pada Pertempuran Doiran demi menghindari pendudukan. Setelah Serbia menerobos perbatasan Bulgaria, Bulgaria menyerah pada tanggal 29 September 1918.[68] Hindenburg dan Ludendorff menyimpulkan bahwa keseimbangan strategi dan operasi sekarang telah beralih melawan Blok Sentral dan sehari setelah kejatuhan Bulgaria, pada pertemuan pejabat-pejabat pemerintahan, mereka mengupayakan penyelesaian secara damai secepat mungkin.[69]
Hilangnya front Makedonia menandakan bahwa jalan ke Budapest dan Wina terbuka untuk 670.000 tentara pimpinan Jenderal Franchet d'Esperey setelah menyerahnya Bulgaria memberi Blok Sentral kerugian sebanyak 278 batalion infanteri dan 1.500 senjata (sama besar dengan 25 sampai 30 divisi Jerman) yang sebelumnya mempertahankan perbatasan.[70] Komando tinggi Jerman merespon dengan mengirimkan tujuh infanteri dan satu divisi kavaleri saja, tetapi pasukan ini terlalu jauh dari front dan sudah terlambat.[70]
Kesultanan Utsmaniyah
Kesultanan Utsmaniyah bergabung dengan Blok Sentral pada perang ini, Aliansi Utsmaniyah-Jerman yang rahasia telah ditandatangani pada bulan Agustus 1914.[71] Aliansi ini mengancam teritori Kaukasus Rusia dan komunikasi Britania dengan India melalui Terusan Suez. Britania dan Perancis membuka front seberang laut melalui Kampanye Gallipoli (1915) dan Mesopotamia. Di Gallipoli, Kesultanan Utsmaniyah berhasil mengusir Britania, Perancis, dan Korps Angkatan Darat Australia dan Selandia Baru (ANZAC). Di Mesopotamia, sebaliknya, setelah Pengepungan Kut (1915–16) yang menghancurkan, pasukan Imperium Britania melakukan reorganisasi dan menduduki Baghdad pada bulan Maret 1917.
Jauh ke barat, Terusan Suez berhasil dipertahankan dari serangan Utsmaniyah tahun 1915 dan 1916; pada bulan Agustus, pasukan gabungan Jerman dan Utsmaniyah dikalahkan pada Pertempuran Romani oleh Pasukan Berkuda Anzac dan Divisi Infanteri (Dataran rendah) ke-52. Setelah kemenangan ini, Pasukan Ekspedisi Mesir Imperium Britania maju melintasi Semenanjung Sinai, mendorong pasukan Utsmaniyah pada Pertempuran Magdhaba bulan Desember dan Pertempuran Rafa di perbatasan antara Sinai Mesir dan Palestina Utsmaniyah bulan Januari 1917.
Angkatan darat Rusia sedang jaya-jayanya di Kaukasus. Enver Pasha, komandan tertinggi angkatan bersenjata Utsmaniyah, sangat ambisius dan bermimpi menguasai kembali Asia Tengah dan wilayah-wilayah yang diduduki Rusia sebelumnya. Akan tetapi, ia bukan komandan yang cerdas.[72] Ia melancarkan serangan terhadap Rusia di Kaukasus bulan Desember 1914 dengan 100.000 tentara; akibat memaksakan serangan frontal di kawasan pegunungan Rusia saat musim dingin, ia kehilangan 86% pasukannya pada Pertempuran Sarikamish.[73]
Jenderal Yudenich, komandan Rusia pada 1915 sampai 1916, mengusir Turki keluar dari sebagian besar Kaukasus selatan dengan serangkaian kemenangan.[73] Bulan 1917, Adipati Agung Nicholas dari Rusia mengambil alih komando atas front Kaukasus. Nicholas berencana membangun rel kereta dari Georgia Rusia ke teritori taklukan, sehingga suplai segar bisa dikirimkan ke serangan baru tahun 1917. Sayangnya, pada bulan Maret 1917 (Februari dalam kalender Rusia pra-revolusi), Tsar dijatuhkan dalam Revolusi Februari dan Angkatan Darat Kaukasus Rusia mulai terpecah.
Dimulai oleh biro Arab dari Departemen Luar Negeri Britania Raya, Pemberontakan Arab dimulai dengan bantuan Britania bulan Juni 1916 pada Pertempuran Makkah, dipimpin Sherif Hussein dari Makkah dan berakhir dengan penyerahan Damaskus oleh Utsmaniyah. Fakhri Pasha, komandan Utsmaniyah di Madinah, bertahan selama lebih dari 2,5 tahun selama Pengepungan Madinah.[74]
Di sepanjang perbatasan Libya Italia dan Mesir Britania, suku Senussi, didorong dan dipersenjatai Turki, melakukan perang gerilya kecil terhadap tentara Sekutu. Britania terpaksa mengerahkan 12.000 tentaranya untuk menghadapi mereka dalam Kampanye Senussi. Pemberontakan mereka dipatahkan pada pertengahan 1916.[75]
Partisipasi Italia
Italia telah bersekutu dengan Kekaisaran Jerman dan Austria-Hongaria sejak 1882 sebagai bagian dari Aliansi Tiga. Akan tetapi, bangsa ini memiliki klaim tersendiri atas teritori Austria di Trentino, Istria, dan Dalmatia. Roma memiliki pakta rahasia dengan Perancis tahun 1902, sehingga efektif meniadakan aliansi ini.[76] Pada awal perang, Italia menolak mengirimkan tentara dengan alasan bahwa Aliansi Tiga bersifat defensif dan Austria-Hongaria adalah agresor. Pemerintah Austria-Hongaria mulai bernegosiasi untuk mengamankan kenetralan Italia dengan memberi imbalan koloni Perancis di Tunisia. Sekutu memberi tawaran balasan bahwa Italia bisa memperoleh Tirol Selatan, Padang Julian dan teritori pesisir Dalmatia setelah kekalahan Austria-Hongaria. Tawaran ini diresmikan oleh Perjanjian London. Terdorong oleh invasi Sekutu ke Turki bulan April 1915, Italia bergabung dengan Entente Tiga dan menyatakan perang terhadap Austria-Hongaria pada tanggal 23 MEi. Lima belas bulan kemudian, Italia menyatakan perang terhadap Jerman.
Secara militer, Italia memiliki superioritas jumlah. Keuntungan ini akhirnya hilang, bukan hanya karena medan peperangan yang sulit, tetapi juga karena strategi dan taktik yang dipakai. Marsekal Lapangan Luigi Cadorna, seorang pendukung keras serangan frontal, ingin sekali maju hingga plato Slovenia, menduduki Ljubljana dan mengancam Wina. Rencana Cadorna tidak mencakup sulitnya medan Alpen yang bergunung-gunung, atau perubahan teknologi yang menciptakan peperangan parit, sehingga memunculkan serangkaian serangan mematikan dan buntu.
Di front Trentino, Austria-Hongaria memanfaatkan daerah pegunungan yang menguntungkan pasukan Italia. Setelah kemunduran strategis pertama, front ini masih belum berubah drastis, sementara Kaiserschützen dan Standschützen Austria menghadapi Alpini Italia dalam pertempuran alot sepanjang musim panas. Austria-Hongaria menyerang balik di Altopiano Asiago, menghadap Verona dan Padua, pada musim semi 1916 (Strafexpedition), namun hanya membuat sedikit kemajuan.
Berawal pada tahun 1915, Italia di bawah pimpinan Cadorna mengadakan sebelas serangan di front Isonzo di sepanjang Sungai Isonzo, timur laut Trieste. Kesebelas serangan tersebut digagalkan oleh Austria-Hongaria, yang menguasai dataran yang lebih tinggi. Pada musim panas 1916, Italia menduduki kota Gorizia. Setelah kemenangan kecil ini, front tetap statis selama setahun meski Italia melakukan beberapa serangan. Pada musim gugur 1917, berkat situasi yang membaik di front Timur, tentara Austria-Hongaria menerima banyak sekali bantuan, termasuk Stormtrooper dan pasukan elit Alpenkorps Jerman.
Blok Sentral melancarkan serangan menghancurkan pada tanggal 26 Oktober 1917 yang dipimpin oleh Jerman. Mereka menang di Caporetto. Angkatan Darat Italia dialihkan dan mundur sejauh lebih dari 100 kilometer (62 mi) untuk reorganisasi, sehingga menstabilkan front di Sungai Piave. Karena pada Pertempuran Caporetto AD Italia mengalami kerugian besar, pemerintah Italia mengadakan wajib militer yang disebut '99 Laki-Laki (Ragazzi del '99): yaitu semua pria berusia 18 tahun. Pada tahun 1918, Austria-Hongaria gagal menerobos pertahanan Italia dalam serangkaian pertempuran di Sungai Piave, dan akhirnya dikalahkan pada Pertempuran Vittorio Veneto bulan Oktober tahun itu. Tanggal 5–6 November 1918, pasukan Italia dilaporkan telah mencapai Lissa, Lagosta, Sebenico, dan permukiman lain di pesisir Dalmatia.[77] Pada akhir perang bulan November 1918, militer Italia memegang kendali atas seluruh Dalmatia yang telah dijanjikan kepada Italia oleh Pakta London.[78] Tahun 1918, Laksamana Enrico Millo menyatakan dirinya sebagai Gubernur Dalmatia Italia.[78] Austria-Hongaria menyerah pada awal November 1918.[79][80]
Partisipasi Rumania
Rumania telah bersekutu dengan Blok Sentral sejak 1882. Ketika perang dimulai, negara ini malah menyatakan netral dengan alasan karena Austria-Hongaria sendirian menyatakan perang terhadap Serbia, Rumania tidak wajib ikut serta dalam perang. Ketika Blok Entente menjanjikan Rumania teritori besar di Hongaria timur (Transylvania dan Banat) yang memiliki populasi Rumania besar dengan imbalan Rumania menyatakan perang terhadap Blok Sentral, pemerintah Rumania menyatakan tidak lagi netral. Pada tanggal 27 Agustus 1916, Angkatan Darat Rumania melancarkan serangan terhadap Austria-Hongaria dengan sedikit bantuan dari Rusia. Serangan Rumania awalnya sukses, memukul tentara Austria-Hongaria di Transylvania, namun serangan balasan oleh pasukan Blok Sentral memukul kembali pasukan Rusia-Rumania. Sebagai akibat dari Pertempuran Bukares, Blok Sentral menduduki Bukares tanggal 6 Desember 1916. Peperangan di Moldova terus berlanjut tahun 1917 dan berakhir dengan kebuntuan yang merugikan bagi Blok Sentral.[81][82] Rusia menarik diri dari perang pada akhir 1917 akibat Revolusi Oktober yang berarti Rumania terpaksa menandatangani gencatan senjata dengan Blok Sentral pada tanggal 9 Desember 1917.
Bulan Januari 1918, pasukan Rumania menguasai Bessarabia setelah AD Rusia meninggalkan provinsi tersebut. Melalui perjanjian yang ditandatangani pemerintah Rumania dan Rusia Bolshevik pasca pertemuan tanggal 5–9 Maret 1918 tentang penarikan pasukan Rumania dari Bessarabia dalam kurun dua bulan, pada tanggal 27 Maret 1918 Rumania memasukkan Bessarabia ke dalam teritorinya, secara formal berdasarkan pada resolusi yang disahkan majelis teritori setempat tentang penyatuan dengan Rumania.
Rumania secara resmi berdamai dengan Blok Sentral dengan menandatangani Perjanjian Bukares tanggal 7 Mei 1918. Rumania wajib mengakhiri perang dengan Blok Sentral dan membuat sedikit konsensi teritori ke Austria-Hongaria, memberikan kendali atas sejumlah celah di Pegunungan Carpathia, dan memberi konsesi minyak ke Jerman. Sebagai imbalannya, Blok Sentral mengakui kedaulatan Rumania atas Bessarabia. Perjanjian ini dihapus bulan Oktober 1918 oleh pemerintahan Alexandru Marghiloman, dan Rumania kembali masuk kancah perang pada tanggal 10 November 1918. Keesokan harinya, Perjanjian Bukares dinulifikasi sesuai ketentuan Gencatan Senjata Compiègne.[83][84] Total korban Rumania sejak 1914 sampai 1918, militer dan sipil di perbatasan lama diperkirakan mencapai 784.000 jiwa.[85]
Peran India
Berbeda dengan kekhawatiran Britania akan terjadinya pemberontakan di India, pecahnya Perang Dunia I malah memunculkan loyalitas dan niat baik terhadap Britania Raya.[86][87] Para pemimpin politik India dari Kongres Nasional India dan kelompok-kelompok lain mau mendukung upaya perang Britania karena yakin bahwa dukungan kuat untuk perang akan mendorong disetujuinya Pemerintahan Bebas India. Angkatan Darat India mengalahkan jumlah Angkatan Darat Britania pada awal perang; sekitar 1,3 juta tentara dan pekerja India tersebar di Eropa, Afrika, dan Timur Tengah, sementara pemerintah pusat dan negara kepangeranan mengirimkan suplai makanan, uang, dan amunisi dalam jumlah besar. Secara keseluruhan, 140.000 tentara ditempatkan di Front Barat dan hampir 700.000 tentara di Timur Tengah. Total korban dari tentara India sepanjang Perang Dunia I berjumlah 47.746 gugur dan 65.126 terluka.[88] Penderitaan akibat perang serta kegagalan pemerintah Britania untuk memberikan pemerintahan bebas kepada India setelah perang berakhir memunculkan disilusi dan mendorong kampanye kemerdekaan penuh yang kelak dipimpin oleh Mohandas Karamchand Gandhi dan teman-temannya.
Front Timur
Tindakan awal
Saat Front Barat mencapai kebuntuan, perang terus berlanjut di Eropa Timur. Rencana awal Rusia adalah melakukan invasi bersamaan terhadap Galisia Austria dan Prusia Timur Jerman. Meski serbuan awal Rusia ke Galisia sukses besar, Rusia dipukul mundur dari Prusia Timur oleh Hindenburg dan Ludendorff di Tannenberg dan Danau Masurian bulan Agustus dan September 1914.[89][90] Basis industri Rusia yang kurang maju dan kepemimpinan militernya yang tidak efektif juga memainkan peran dalam peristiwa selanjutnya. Pada musim semi 1915, Rusia mundur ke Galisia, dan pada bulan Mei, Blok Sentral melakukan terobosan luar biasa di front selatan Polandia.[91] Pada tanggal 5 Agustus, mereka menduduki Warsawa dan mengusir Rusia dari Polandia.
Revolusi Rusia
Meski berhasil pada Serangan Brusilov bulan Juni 1916 di timur Galisia,[92] ketidakpuasan atas operasi perang pemerintah Rusia muncul. Kesuksesan serangan ini dirusak oleh keengganan jenderal-jenderal lain untuk mengirimkan pasukan mereka untuk mendukung kemenangan ini. Pasukan Sekutu dan Rusia sementara terbangkitkan oleh masuknya Rumania ke Perang Dunia pada tanggal 27 Agustus. Pasukan Jerman datag membantu Austria-Hongaria di Transylvania, dan Bukares jatuh ke Blok Sentral pada tanggal 6 Desember. Sementara itu, kerusuhan terjadi di Rusia saat Tsar masih berada di garis depan. Pemerintahan Permaisuri Alexandra yang semakin tidak kompeten mendorong protes dan berujung pada pembunuhan tokoh favoritnya, Rasputin, pada akhir 1916.
Bulan Maret 1917, demonstrasi di Petrograd memuncak dengan pengunduran diri Tsar Nicholas II dan penyusunan Pemerintah Darurat lemah yang berbagi kekuasaan dengan sosialis Petrograd Soviet. Pembentukan ini menciptakan kebingungan dan kekacauan baik di garis depan dan dalam negeri. Angkatan darat pun semakin tidak efektif.[91]
Ketidakpuasan dan kelemahan Pemerintah Darurat membuat Partai Bolshevik pimpinan Vladimir Lenin semakin populer, yang meminta penghentian perang secepat mungkin. Pemberontakan bersenjata Bolshevik bulan November yang sukses diikuti dengan gencatan senjata dan negosiasi dengan Jerman pada bulan Desember. Awalnya, Bolshevik menolak permintaan Jerman, namun ketika tentara Jerman mulai bergerak melintasi Ukraina tanpa perlawanan, pemerintahan baru ini membuat Perjanjian Brest-Litovsk tanggal 3 Maret 1918. Perjanjian ini menyerahkan banyak sekali teritori, termasuk Finlandia, provinsi-provinsi Baltik, sebagian Polandia dan Ukraina ke Blok Sentral.[93] Meski Jerman tampak sukses besar, sumber daya manusia yang dibutuhkan Jerman untuk menduduki bekas teritori Rusia mungkin turut berkontribusi pada kegagalan Serangan Musim Semi dan mengamankan sedikit bahan pangan atau material lainnya.
Melalui adopsi Perjanjian Brest-Litovsk, Entente tidak lagi berdiri. Pasukan Sekutu memimpin invasi kecil ke Rusia, pertama untuk menghentikan Jerman mengeksploitasi sumber daya alam Rusia, dan kedua untuk mendukung "Kaum Putih" (lawan dari "Kaum Merah") pada Perang Saudara Rusia.[94] Tentara Sekutu mendarat di Arkhangelsk dan Vladivostok.
Rencana Blok Sentral untuk negosiasi damai
Pada bulan Desember 1916, setelah sepuluh bulan mematikan pada Pertempuran Verdun dan serangan sukses terhadap Rumania, Jerman berupaya menegosiasikan perdamaian dengan Sekutu. Presiden A.S. Woodrow Wilson segera berusaha mengintervensi selaku pencinta damai dan meminta kedua pihak diberi catatan untuk menyatakan permintaan mereka. Kabinet Perang Lloyd George menganggap tawaran Jerman sebagai jebakan untuk menciptakan perpecahan di kalangan Sekutu. Setelah kemarahan awal dan banyak pertimbangan, mereka menganggap catatan Wilson sebagai upaya terpisah yang menandakan bahwa A.S. berada di ambang pintu perang melawan Jerman pasca-"kekejaman kapal selam". Saat Sekutu mendiskusikan balasan terhadap tawaran Wilson, Jerman memilih untuk mengabaikannya demi "pertukaran pandangan langsung". Mengetahui tanggapan Jerman seperti itu, pemerintah Sekutu bebas membuat permintaan jelas dalam balasan mereka tanggal 14 Januari. Mereka menuntut perbaikan kerusakan, pengosongan teritori dudukan, biaya perbaikan untuk Perancis, Rusia, dan Rumania, dan pengakuan prinsip kebangsaan. Hal ini meliputi pembebasan bangsa Italia, Slavia, Rumania, Ceko-Slovak, dan pembentukan "Polandia bebas dan bersatu". Tentang keamanan, Sekutu menuntut jaminan yang dapat mencegah atau membatasi perang selanjutnya, lengkap dengan sanksi, sebagai persyaratan penyelesaian damai apapun.[95] Negosiasi ini gagal dan negara-negara Entente menolak tawaran Jerman, karena Jerman tidak menyatakan permintaan spesifik apapun. Kepada Wilson, negara-negara Entente menyatakan bahwa mereka tidak akan memulai negosiasi damai sampai Blok Sentral mengosongkan seluruh teritori Sekutu yang diduduki dan memberikan ganti rugi atas semua kerusakan yang diperbuat.[96]
1917–1918
Perkembangan tahun 1917
Peristiwa tahun 1917 terbukti menentukan dalam mengakhiri perang, meski dampaknya tidak terasa penuh sampai 1918.
Blokade laut Britania mulai memberi dampak serius terhadap Jerman. Sebagai tanggapan, pada bulan Februari 1917, Staf Jenderal Jerman meyakinkan Kanselir Theobald von Bethmann-Hollweg untuk menggelar perang kapal selam tanpa batas, dengan tujuan membuat Britania menarik diri dari perang. Para perencana Jerman memperkirakan bahwa perang kapal selam tanpa batas akan merugikan Britania 600.000 ton kapal per bulannya. Staf Jenderal mengakui bahwa kebijakan ini mungkin nyaris membawa Amerika Serikat ke dalam konflik ini, namun memperkirakan bahwa kerugian perkapalan Britania begitu tinggi sehingga mereka bisa dipaksa meminta perdamaian setelah 5 sampai 6 bulan, sebelum intervensi Amerika Serikat berpengaruh terhadap konflik. Kenyataannya, tonase kapal yang tenggelam di atas 500.000 ton per bulan mulai Februari sampai Juli. Jumlah ini meningkat menjadi 860.000 ton pada bulan April. Setelah Juli, sistem konvoi baru yang diperkenalkan kembali menjadi sangat efektif mengurangi ancaman kapal-U. Britania selamat dari ketiadaan armada kapal, sementara produksi industri Jerman jatuh, dan tentara Amerika Serikat ikut berperang dalam jumlah besar lebih cepat daripada yang diperkirakan Jerman.
Tanggal 3 Mei 1917, selama Serangan Nivelle, Divisi Kolonial ke-2 Perancis yang lelah, para veteran Pertempuran Verdun, menolak perintah atasannya, tiba dalam keadaan mabuk dan tanpa membawa senjata. Perwira mereka tidak berani menghukum seluruh divisi dan hukuman keras tidak segera diberlakukan. Kemudian, pemberontakan militer dialami oleh 54 divisi Perancis dan 200.000 prajuritnya desersi. Pasukan Sekutu lainnya menyerang, namun menderita kerugian luar biasa.[97] Akan tetapi, seruan patriotisme dan tugas, serta penahanan dan pengadilan massal, membuat para prajurit kembali mempertahankan parit, meski tentara Perancis menolak berpartisipasi dalam operasi serangan selanjutnya.[98] Robert Nivelle dicopot dari jabatannya pada 15 Mei, digantikan oleh Jenderal Philippe Pétain, yang menunda sejumlah serangan mematikan berskala besar.
Kemenangan Austria-Hongaria dan Jerman pada Pertempuran Caporetto mendorong Sekutu di Konferensi Rapallo membentuk Dewan Perang Agung untuk mengoordinasikan perencanaan. Sebelumnya, pasukan Britania dan Perancis beroperasi di bawah komando yang berbeda.
Bulan Desember, Blok Sentral menandatangani gencatan senjata dengan Rusia. Perjanjian ini membebaskan sejumlah besar tentara Jerman agar bisa dipakai di barat. Dengan bantuan Jerman dan tentara Amerika Serikat baru masuk, hasil perang akan ditentukan di Front Barat. Blok Sentral tahu bahwa mereka tidak mampu memenangkan perang yang berlarut-larut, tetapi mereka memiliki harapan besar untuk berhasil berdasarkan serangan cepat terakhir. Selain itu, para pemimpin Blok Sentral dan Sekutu semakin khawatir terhadap kerusuhan sosial dan revolusi di Eropa. Karena itu, kedua sisi berusaha meraih kemenangan menentukan dengan cepat.[99]
Konflik Kesultanan Utsmaniyah 1917
Bulan Maret dan April 1917, pada Pertempuran Gaza Pertama dan Kedua, pasukan Jerman dan Utsmaniyah menghentikan laju Pasukan Ekspedisi Mesir yang telah dimulai bulan Agustus 1916 di Romani. Pada akhir Oktober, Kampanye Sinai dan Palestina dilanjutkan setelah Korps XX, Korps XXI, dan Korps Berkuda Gurun Jenderal Edmund Allenby memenangkan Pertempuran Beersheba. Dua pasukan Utsmaniyah dikalahkan beberapa minggu kemudian pada Pertempuran Yerusalem. Pada saat itu, Friedrich Freiherr Kress von Kressenstein diberhentikan dari jabatannya sebagai komandan Angkatan Darat ke-8 dan digantikan oleh Djevad Pasha, dan beberapa bulan kemudian komandan Angkatan Darat Utsmaniyah di Palestina, Erich von Falkenhayn, digantikan oleh Otto Liman von Sanders.
Keikutsertaan Amerika Serikat
Non-intervensi
Saat pecah perang, Amerika Serikat mengambil kebijakan non-intervensi, yaitu menghindari konflik tetapi mencoba menciptakan perdamaian. Ketika sebuah kapal-U Jerman menenggelamkan kapal pesiar Britania RMS Lusitania tanggal 7 Mei 1915 yang juga menewaskan 128 warga negara Amerika Serikat, Presiden Woodrow Wilson menegaskan bahwa "Amerika Serikat terlalu bangga untuk berperang", tetapi menuntut berakhirnya serangan terhadap kapal penumpang. Jerman patuh. Wilson gagal mencoba memediasi penyelesaian. Akan tetapi, ia juga berkali-kali memperingatkan bahwa A.S. tidak akan menoleransi perang kapal selam tanpa batas karena melanggar hukum internasional. Mantan presiden Theodore Roosevelt menyebut aksi Jerman sebagai "pembajakan".[100] Wilson menang tipis dalam pemilu presiden 1916 karena para pendukungnya menyatakan bahwa "ia menjauhkan kami dari perang".
Bulan Januari 1917, Jerman melanjutkan perang kapal selam tanpa batasnya, menyadari bahwa Amerika Serikat kelak ikut dalam perang. Menteri Luar Negeri Jerman, dalam Telegram Zimmermann, mengundang Meksiko bergabung sebagai sekutu Jerman melawan Amerika Serikat. Sebagai imbalannya, Jerman akan mendanai perang Meksiko dan membantu mereka mencaplok kembali teritori Texas, New Mexico, dan Arizona.[101] Wilson merilis telegram Zimmerman ke publik, dan warga AS memandangnya sebagai casus belli—penyebab perang. Wilson meminta elemen-elemen antiperang untuk mengakhiri semua perang dengan memenangkan yang satu ini dan menghapus militerisme dari dunia. Ia berpendapat bahwa perang begitu penting sehingga A.S. harus punya suara dalam konferensi perdamaian.[102]
Pernyataan perang A.S. terhadap Jerman
Setelah penenggelaman tujuh kapal dagang A.S. oleh kapal selam Jerman dan penerbitan telegram Zimmerman, Wilson menyatakan perang terhadap Jerman,[103] yang dinyatakan pada tanggal 6 April 1917 oleh Kongres A.S..
Partisipasi aktif A.S. pertama
Amerika Serikat secara formal tidak pernah menjadi anggota Sekutu, tetapi menjadi "Kekuatan Terkait" yang diberi nama sendiri. Amerika Serikat memiliki pasukan kecil, namun setelah pengesahan UU Dinas Selektif, pemerintah mewajibkan militer untuk 2,8 juta pria,[104] dan pada musim panas 1918 Amerika Serikat mengirim 10.000 tentara baru ke Perancis setiap hari. Pada tahun 1917, Kongres A.S. memberikan kewarganegaraan A.S. kepada warga Puerto Rico saat mereka mendaftar untuk ikut serta dalam Perang Dunia I sebagai bagian dari UU Jones. Jerman telah salah perkiraan, percaya bahwa dibutuhkan beberapa bulan sebelum tentara Amerika Serikat datang sehingga kedatangannya bisa dihentikan kapal-U.[105]
Angkatan Laut Amerika Serikat mengirimkan gugus kapal perang ke Scapa Flow untuk bergabung dengan Armada Besar Britania, kapal penghancur ke Queenstown, Irlandia, dan kapal selam untuk membantu melindungi konvoi. Beberapa resimen Marinir A.S. juga dikerahkan ke Perancis. Britania dan Perancis ingin pasukan A.S. dipakai untuk memperkuat tentara mereka yang sudah ditempatkan di lini pertempuran dan tidak menyia-nyiakan kapal kosong untuk membawa persediaan. A.S. menolak permintaan pertama dan menerima yang kedua. Jenderal John J. Pershing, komandan Pasukan Ekspedisi Amerika Serikat (AEF), menolak memecah pasukan A.S. agar dipakai sebagai bantuan untuk pasukan Imperium Britania dan Perancis. Sebagai pengecualian, ia mengizinkan resimen tempur Afrika-Amerika untuk bergabung dengan divisi Perancis. Harlem Hellfighters berperang sebagai bagian dari Divisi ke-16 Perancis, mendapatkan Croix de Guerre atas aksi mereka di Chateau-Thierry, Belleau Wood, dan Sechault.[106] Doktrin AEF menuntut serangan frontal, yang sejak lama ditiadakan oleh komandan Imperium Britania dan Perancis karena banyak memakan korban jiwa.[107]
Tawaran perdamaian terpisah Austria
Tahun 1917, Kaisar Charles I dari Austria secara rahasia mengupayakan negosiasi perdamaian terpisah dengan Clemenceau, bersama saudara istrinya Sixtus di Belgia sebagai penengah, tanpa sepengetahuan Jerman. Ketika negosiasi gagal, upayanya diketahui Jerman dan mengakibatkan bencana diplomatik.[108][109]
Serangan Musim Semi Jerman 1918
Jenderal Jerman Erich Ludendorff membuat rencana (dijuluki Operasi Michael) untuk serangan tahun 1918 di Front Barat. Serangan Musim Semi bermaksud memecah pasukan Britania dan Perancis melalui serangkaian penipuan dan serbuan. Pimpinan militer Jerman berharap bisa memberi pukulan menentukan sebelum tentara A.S. tiba. Operasi ini dimulai tanggal 21 Maret 1918 melalui serangan terhadap pasukan Britania dekat Amiens. Pasukan Jerman memperoleh wilayah sejauh 60 kilometer (37 mi).[110]
Parit Britania dan Perancis diterobos menggunakan taktik infiltrasi baru, disebut juga taktik Hutier sesuai nama Jenderal Oskar von Hutier. Sebelumnya, serangan memiliki ciri pengeboman artileri panjang dan serangan massal. Akan tetapi, pada Serangan Musim Semi 1918, Ludendorff jarang memakai artileri dan menyisipkan sekelompok kecil infanteri di titik-titik lemah. Mereka menyerang wilayah komando dan logistik dan menerobos titik-titik perlawanan sengit. Infanteri bersenjata berat kemudian menghancurkan posisi-posisi terisolasi ini. Keberhasilan Jerman sangat bergantung pada elemen kejutan.[111]
Front ini pindah ke daerah 120 kilometer (75 mi) dari kota Paris. Tiga senjata kereta berat Krupp menembakkan 183 bom ke ibu kota, mengakibatkan banyak warga Paris mengungsi. Serangan awal begitu sukses sampai-sampai Kaiser Wilhelm II menetapkan 24 Maret sebagai hari libur nasional. Banyak warga Jerman mengira kemenangan sudah dekat. Setelah bertempur sengit, serangan ini terhambat. Ketiadaan tank atau artileri motor membuat Jerman tidak mampu mengonsolidasikan keberhasilan mereka. Suasana juga diperburuk oleh jalur suplai yang sekarang diperpanjang akibat serbuan mereka.[112] Penghentian mendadak ini juga akibat dari empat divisi Pasukan Imperium Australia (AIF) yang "memaksa" menyerang dan melakukan apa yang belum pernah dilakukan pasukan manapun: menghentikan serbuan Jerman di tengah perjalanan. Pada saat itu, divisi Australia pertama secara terburu-buru dikirim lagi ke utara untuk menghentikan serbuan Jerman kedua.
Jenderal Foch memaksa memakai tentara Amerika yang baru tiba sebagai pengganti individu. Pershing malah berupaya menempatkan unit pasukan Amerika sebagai pasukan independen. Unit-unit tersebut ditempatkan pada komando Perancis dan Imperium Britania yang semakin sedikit pada tanggal 28 Maret. Dewan Perang Tertinggi Pasukan Sekutu dibentuk saat Konferensi Doullens tanggal 5 November 1917.[113] Jenderal Foch ditunjuk sebagai komandan tertinggi pasukan sekutu. Haig, Petain, dan Pershing mempertahankan kendali taktis atas masing-masing pasukannya; Foch mengambil peran koordinasi alih-alih pengarahan, dan komando Britania, Perancis, dan A.S. cenderung beroperasi secara independen.[113]
Setelah Operasi Michael, Jerman melancarkan Operasi Georgette terhadap pelabuhan-pelabuhan utara Selat Inggris. Sekutu menghadang upaya tersebut setelah Jerman sempat menguasai sedikit wilayah. Angkatan Darat Jerman di selatan kemudian melancarkan Operasi Blücher dan Yorck, bergerak terus menuju Paris. Operasi Marne dimulai tanggal 15 Juli yang berusaha mengepung Reims dan memulai Pertempuran Marne Kedua. Serangan balasannya memulai Serangan Seratus Hari dan menandakan serangan perang Sekutu pertama yang sukses.
Tanggal 20 Juli, Jerman berada di seberang Marne di garis awal Kaiserschlacht-nya,[114] gagal memenangkan apapun. Setelah fase terakhir perang di barat, AD Jerman tidak pernah mencapai kembali tujuannya. Korban Jerman antara Maret dan April 1918 sebanyak 270.000 jiwa, termasuk para tentara serbu yang sangat terlatih.
Sementara itu, Jerman terpecah di dalam negeri. Protes anti-perang semakin sering diadakan dan moral militer jatuh. Produksi industri mencapai 53 persen dari jumlah produksi tahun 1913.
Konflik Kesultanan Utsmaniyah 1918
Pada awal tahun 1918, garis depan pertempuran diperpanjang hingga Lembah Yordania yang terus diduduki, setelah serangan Transyordania Pertama dan Transyordania Kedua oleh pasukan Imperium Britania bulan Maret dan April 1918, sampai musim panas. Sepanjang bulan Maret, sebagian besar infanteri Britania dari Pasukan Ekspedisi Mesir dan kavaleri Yeomanry dikirim berperang di Front Barat sebagai akibat Serangan Musim Semi. Mereka digantikan oleh satuan Angkatan Darat India. Selama beberapa bulan reorganisasi dan pelatihan pada musim panas, sejumlah serangan dilancarkan di beberapa bagian garis depan Utsmaniyah. Serangan tersebut mendorong garis depan ke utara di posisi yang lebih menguntungkan bagi persiapan serangan dan menyiapkan infanteri AD India yang baru tiba. Baru pada pertengahan September pasukan bersatu ini siap melakukan operasi besar-besaran.
Pasukan Ekspedisi Mesir yang direorganisasi, bersama divisi berkuda tambahan, memecah belah pasukan Utsmaniyah pada Pertempuran Megiddo bulan September 1918. Dalam dua hari, infanteri Britania dan India, dibantu taktik merayap, berhasil memecah garis depan Utsmaniyah dan mencaplok markas besar Angkatan Darat Kedelapan di Tulkarm, jalur parit bersambungan di Tabsor, Arara, dan markas besar Angkatan Darat Ketujuh di Nablus. Korps Berkuda Gurun masuk lewat celah garis depan yang dibuat infanteri tadi selama operasi dilaksanakan tanpa henti oleh brigade Berkuda Ringan Australia, Yeomanry berkuda Britania, Lancers India, dan Bedil Berkuda Selandia Baru. Di Lembah Jezreel, mereka menduduki Nazareth, Afulah dan Beisan, Jenin, dan Haifa di pesisir Mediterania dan Daraa di timur Sungai Yordan di jalur kereta Hijaz. Samakh dan Tiberias di Laut Galilea diduduki dalam perjalanan ke utara menuju Damaskus. Sementara itu, Pasukan Chaytor yang terdiri dari pasukan berkuda ringan Australia, pasukan bedil berkuda Selandia Baru, infanteri India, Hindia Barat Britania, dan Yahudi menduduki penyeberangan Sungai Yordan, Es Salt, Amman, dan sebagian besar Angkatan Darat Keempat di Ziza. Gencatan Senjata Mudros ditandatangani pada akhir Oktober yang mengakhiri perang dengan Kesultanan Utsmaniyah, sementara perang terus berlangsung di sebelah utara Aleppo.
Negara-negara baru di zona perang
Pada akhir musim semi 1918, tiga negara baru berdiri di Kaukasus Selatan, yaitu Republik Demokratik Armenia, Republik Demokratik Azerbaijan, dan Republik Demokratik Georgia, yang menyatakan merdeka dari Kekaisaran Rusia.[115] Dua entitas minor lain juga berdiri, yaitu Kediktatoran Sentrokaspia (dilikuidasi oleh Azerbaijan pada musim gugur 1918) dan Republik Kaukasia Barat Daya (dilikuidasi oleh satuan tugas gabungan Armenia-Britania pada awal 1919). Melalui penarikan pasukan Rusia dari front Kaukasus pada musim dingin 1917–18, tiga republik besar tersebut bersiap menghadapi serbuan Utsmaniyah selanjutnya, yang dimulai pada bulan-bulan pertama 1918. Solidaritas terbentuk sementara ketika Republik Federatif Transkaukasia didirikan pada musim semi 1918 dan runtuh bulan Mei, ketika Georgia meminta dan menerima perlindungan dari Jerman dan Azerbaijan membuat perjnajian degnan Kesultanan Utsmaniyah yang lebih mirip dengan aliansi militer. Armenia dibiarkan bertahan sendiri dan berjuang selama lima bulan melawan ancaman pendudukan penuh oleh Turki Utsmaniyah.[116]
Kemenangan Sekutu: Musim panas dan gugur 1918
Serangan balasan Sekutu, dikenal sebagai Serangan Seratus Hari, dimulai pada tanggal 8 Agustus 1918. Pertempuran Amiens pecah dengan Korps III Angkatan Darat Keempat Britania Raya di sebelah kiri, Angkatan Darat Pertama Perancis di sebelah kanan, dan Korps Australia dan Kanada memimpin serangan di tengah melalui Harbonnières.[117][118] Serangan ini melibatkan 414 tank tipe Mark IV dan Mark V dan 120.000 prajurit. Mereka bergerak 12 kilometer (7,5 mi) ke dalam teritori dudukan Jerman dalam kurun tujuh jam saja. Erich Ludendorff menyebut hari itu sebagai "Hari Kelam Angkatan Darat Jerman".[117][119]
Australia-Kanada memimpin di Amiens, sebuah pertempuran yang menjadi awal keruntuhan Jerman,[49] membantu pasukan Britania bergerak ke utara dan Perancis ke selatan. Di front AD Keempat Britania di Amiens setelah maju sejauh 14 mil (23 km), perlawanan Jerman semakin sengit dan pertempuran berakhir. Tetapi AD Ketiga Perancis memperpanjang front Amiens pada tanggal 10 Agustus, ketika daerah tersebut dibiarkan begitu saja di sebelah kanan Angkatan Darat Pertama Perancis, dan maju sejauh 4 mil (6 km), membebaskan Lassigny dalam pertempuran yang berlangsung sampai 16 Agustus. Di selatan AD Ketiga Perancis, Jenderal Charles Mangin (si Pembantai) memajukan posisi AD Kesepuluh Perancis di Soissons tanggal 20 Agustus untuk menawan delapan ribu tentara musuh, dua ratus senjata, dan dataran tinggi Aisne yang menghadap dan mengancam posisi Jerman di sebelah utara Vesle.[120] Erich Ludendorff juga menyebut peristiwa ini sebagai "Hari Kelam".
Sementara itu, Jenderal Byng dari AD Ketiga Britania melaporkan bahwa musuh di frontnya semakin sedikit setelah ditarik dan diperintahkan menyerang dengan 200 tank ke Bapaume, memulai Pertempuran Albert, dengan perintah spesifik "Untuk menerobos front musuh, dengan tujuan menghancurkan front pertempuran musuh saat ini" (berseberangan dengan AD Keempat Britania di Amiens).[49] Para pemimpin Sekutu sekarang sadar bahwa melanjutkan serangan setelah perlawanan sengit memakan banyak korban, dan lebih baik membelokkan lini daripada meneruskannya. Mereka mulai melancarkan serangan dengan cara cepat untuk mendapatkan keuntungan dari pergerakan yang berhasil di garis depan, kemudian memecahnya ketika setiap serangan kehilangan impetus awalnya.[120]
Front Angkatan Darat Ketiga Britania sepanjang 15-mil (24 km) di sebelah utara Albert berhasil membuat kemajuan setelah buntu selama satu hari melawan garis perlawanan utama yang merupakan batas penarikan pasukan musuh.[121] Angkatan Darat Keempat Britania pimpinan Rawlinson berhasil menekan garis kirinya sampai wilayah antara Albert dan Somme, meluruskan garis antara posisi Angkatan Darat Ketiga dan front Amiens, yang berakhir dengan penaklukan kembali Albert pada saat yang sama.[120] Tanggal 26 Agustus, Angkatan Darat Pertama Britania di sebelah kiri Angkatan Darat Ketiga terlibat dalam pertempuran, sehingga memperpanjang front ke utara melewati Arras. Korps Kanada, sudah kembali di garis depan Angkatan Darat Pertama, bergerak dari Arras ke timur 5 mil (8 km) melewati wilayah Arras-Cambrai yang dipertahankan habis-habisan sebelum mencapai pertahanan terluar Garis Hindenburg, dan berhasil menerobosnya pada tanggal 28 dan 29 Agustus. Bapaume jatuh tanggal 29 Agustus ke tangan Divisi Selandia Baru Angkatan Darat Ketiga, dan Australia, masih memimpin pergerakan AD Keempat, kembali mampu menekan musuh di Amiens untuk menduduki Peronne dan Mont Saint-Quentin tanggal 31 Agustus. Jauh ke selatan, AD Pertama dan Ketiga Perancis bergerak lambat, sementara AD Kesepuluh, yang sekarang sudah melintasi Ailette dan berada di timur Chemin des Dames, mendekati posisi Alberich di Garis Hindenburg.[122] Sepanjang minggu terakhir Agustus, tekanan di front sepanjang 70-mil (113 km) melawan musuh sangat berat dan tidak berhenti-henti. Dari kesaksian Jerman, "Setiap hari dihabiskan dalam pertempuran berdarah melawan musuh yang selalu menyerbu, dan malam dihabiskan tanpa tidur dalam pergerakan mundur ke garis baru."[120] Bahkan di sebelah utara di Flandria, AD Kedua dan Kelima Britania selama Agustus dan September mampu membuat kemajuan, menawan tentara musuh dan posisi yang sebelumnya mengalahkan mereka.[122]
Tanggal 2 September, Korps Kanada menerobos garis Hindenburg, dengan membuka celah di Posisi Wotan, sehingga memungkinkan Angkatan Darat Ketiga maju dan memberi dampak di seluruh Front Barat. Pada hari yang sama, Oberste Heeresleitung (OHL) tidak punya pilihan lain kecuali mengeluarkan perintah kepada enam pasukan angkatan darat untuk mundur ke Garis Hindenburg di selatan, di belakang Canal du Nord di front AD Pertama Kanada dan kembali ke garis di sebelah timur Lys di utara. Perintah ini tanpa perlawanan berhasil mengembalikan medan perang yang direbut pada April sebelumnya.[123] Menurut Ludendorff, "Kami harus mengakui perlunya tindakan ...menarik seluruh front dari Scarpe ke Vesle."[124]
Dalam nyaris empat minggu pertempuran yang dimulai tanggal 8 Agustus, lebih dari 100.000 personil Jerman ditawan, 75.000 oleh BEF dan sisanya oleh Perancis. Sebagaimana "Hari Kelam Angkatan Darat Jerman", Komando Tinggi Jerman menyadari mereka kalah perang dan melakukan upaya mencapai akhir yang memuaskan. Sehari setelah eprtempuran tersebut, Ludendorff memberitahu Kolonel Mertz, "Kita tidak lagi mampu memenangkan perang, tetapi kita juga tidak boleh kalah." Pada tanggal 11 Agustus, ia mengajukan pengunduran dirinya ke Kaiser dan ditolak dengan balasan, "Saya pikir kita harus mencapai keseimbangan. Kita nyaris mencapai batas kekuatan perlawanan kita. Perang harus diakhiri." Tanggal 13 Agustus di Spa, Hindenburg, Ludendorff, Kanselir, dan Menteri Luar Negeri Hintz setuju bahwa perang tidak dapat diakhiri secara militer, dan pada keesokan harinya Dewan Kekaisaran Jerman memutuskan bahwa kemenangan di medan perang sudah tidak memungkinkan lagi. Austria dan Hongaria memperingatkan bahwa mereka hanya bisa melanjutkan perang sampai Desember, dan Ludendorff menyarankan negosiasi damai secepatnya dan Kaiser menanggapinya dengan memerintahkan Hintz meminta mediasi Ratu Belanda. Pangeran Rupprecht memperingatkan Pangeran Max dari Baden: "Situasi militer kita cepat sekali memburuk sampai-sampai saya tidak lagi yakin kita bisa bertahan selama musim dingin; bisa saja sebuah bencana datang lebih cepat." Pada tanggal 10 September, Hindenburg menyarankan perdamaian kepada Kaisar Charles dari Austria dan Jerman meminta mediasi dari Belanda. Tanggal 14 September, Austria mengirimkan catatan kepada semua pihak terlibat dan pihak netral yang menyarankan pertemuan diskusi damai di daerah netral dan keesokan harinya Jerman membuat tawaran damai dengan Belgia. Kedua tawaran damai ditolak dan pada tanggal 24 September OHL memberitahu para pemimpin negara di Berlin bahwa pembicaraan gencatan senjata sudah tidak terelakkan lagi.[122]
Pada bulan September, Jerman terus melancarkan serangan pertahanan belakang dan berbagai serangan balasan di daerah-daerah yang hilang, tetapi hanya sedikit yang berhasil, namun sementara saja. Kota, desa, perbukitan, dan parit yang diperebutkan di Garis Hindenburg terus jatuh ke tangan Sekutu, dengan BEF sendiri menawan 30.441 tentara pada minggu terakhir September. Pergerakan kecil ke timur kelak menyusul kemenangan Angkatan Darat Ketiga di Ivincourt tanggal 12 September, Angkatan Darat Keempat di Epheny tanggal 18 September, dan pencaplokan Essigny-le-Grand oleh Perancis keesokan harinya. Pada tanggal 24 September, serangan akhir oleh Britania dan Perancis di front sepanjang 4-mil (6,4 km) terjadi 2 mil (3,2 km) dari St. Quentin.[122] Dengan pos luas dan garis pertahanan awal Posisi Siegfried dan Alberich berhasil dimusnahkan, Jerman saat ini sepenuhnya bertahan di Garis Hindenburg. Dengan posisi Wotan di garis itu telah diterobos dan posisi Siegfried terancam dibelokkan dari utara, sudah saatnya Sekutu menyerbu sisa bentangan garis tersebut.
Serangan di Garis Hindenburg dimulai tanggal 26 September dan melibatkan tentara A.S. Tentara Amerika yang masih baru mengalami masalah dengan suplai untuk pasukan besar di daerah yang tidak bersahabat.[125] Minggu selanjutnya, pasukan gabungan Perancis dan Amerika merangsek ke Champagne pada Pertempuran Blanc Mont Ridge, mengusir Jerman dari posisi komandonya, dan maju mendekati perbatasan Belgia.[126] Kota Belgia terakhir yang dibebaskan sebelum gencatan senjata adalah Ghent, yang dipertahankan Jerman sebagai patokan tempur sampai Sekutu melibatkan artileri.[127][128] Pasukan Jerman harus memperpendek frontnya dan memakai perbatasan Belanda sebagai patokan serangan pertahanan belakang.
Saat Bulgaria menandatangani gencatan senjata terpisah tanggal 29 September, Sekutu berhasil menguasai Serbia dan Yunani. Ludendorff, setelah mengalami tekanan berbulan-bulan, menderita depresi. Sudah jelas bahwa Jerman tidak mampu lagi membuat pertahanan yang berhasil.[129][130]
Sementara itu, berita tentang kekalahan militer Jerman yang sudah dekat menyebar ke seluruh angkatan bersenjata Jerman. Ancaman desersi semakin besar. Laksamana Reinhard Scheer dan Ludendorff memutuskan melancarkan usaha terakhir untuk mengembalikan "kebanggaan" Angkatan Laut Jerman. Tahu bahwa pemerintahan Pangeran Maximilian dari Baden akan memveto tindakan apapun, Ludendorff memutuskan untuk tidak memberitahunya. Sayangnya, berita tentang serangan lanjutan diketahui para marinir di Kiel. Banyak yang menolak menjadi bagian dari serangan laut yang dirasa bersifat bunuh diri dan mereka memberontak dan ditahan. Ludendorff disalahkan dan Kaiser memecatnya pada tanggal 26 Oktober. Keruntuhan Balkan berarti Jerman akan kehilangan suplai minyak dan makanan utamanya. Cadangannya sudah habis, bahkan saat tentara A.S. terus tiba dengan jumlah 10.000 orang per hari.[131]
Menderita lebih dari 6 juta korban, Jerman mencari perdamaian. Pangeran Maximilian dari Baden memimpin pemerintahan baru sebagai Kanselir Jerman untuk bernegosiasi dengan Sekutu. Negosiasi telegraf dengan Presiden Wilson segera dimulai dengan harapan ia akan memberi permintaan yang lebih baik daripada Britania dan Perancis. Harapan tersebut sia-sia karena Wilson malah meminta Kaiser mengundurkan diri. Tidak ada perlawanan ketika Philipp Scheidemann dari Partai Demokrat Sosial menyatakan Jerman sebagai negara republik pada tanggal 9 November. Kekaisaran Jerman tidak berdiri lagi dan Jerman baru telah didirikan dengan nama Republik Weimar.[132]
Gencatan senjata dan penyerahan diri
Keruntuhan Blok Sentral terjadi cepat. Bulgaria merupakan negara pertama yang menandatangani gencatan senjata pada tanggal 29 September 1918 di Saloniki.[134] Tanggal 30 Oktober, Kesultanan Utsmaniyah menyerah di Moudros (Gencatan Senjata Mudros).[134]
Tanggal 24 Oktober, Italia memulai pergerakan yang berhasil menguasai kembali teritori yang hilang setelah Pertempuran Caporetto. peristiwa ini memuncak pada Pertempuran Vittorio Veneto, yang menandai akhir dari Angkatan Darat Austria-Hongaria sebagai sebuah pasukan perang yang efektif. Serangan ini juga mendorong disintegrasi Kekaisaran Austria-Hongaria. Selama minggu terakhir Oktober, deklarasi kemerdekaan dibuat di Budapest, Praha, dan Zagreb. Tanggal 29 Oktober, otoritas kekaisaran meminta gencatan senjata dengan Italia. Tetapi Italia terus bergerak maju, mencapai Trento, Udine, dan Trieste.. Tanggal 3 November, Austria-Hongaria mengirimkan bendera putih untuk meminta gencatan senjata. Persyaratan yang disampaikan melalui telegraf oleh pemimpin Sekutu di Paris dikirim ke komandan Austria dan diterima. Gencatan senjata dengan Austria ditandatangani di Villa Giusti, dekat Padova, tanggal 3 November. Austria dan Hongaria menandatangani gencatan senjata terpisah setelah penggulingan Monarki Habsburg.
Setelah pecahnya Revolusi Jerman 1918–1919, sebuah republik diproklamasikan tanggal 9 November. Kaiser mengungsi ke Belanda.
Tanggal 11 November pukul 05:00, gencatan senjata dengan Jerman ditandatangani di sebuah gerbong kereta di Compiègne. Pukul 11:00 tanggal 11 November 1918 — "jam sebelas hari sebelas bulan sebelas" — gencatan senjata diberlakukan. Selama enam jam antara penandatanganan gencatan senjata tersebut dan penerapannya, pasukan yang saling berperang di Front Barat mulai menarik diri dari posisi mereka, tetapi terus bertempur di sejumlah wilayah front karena para komandan ingin mencaplok wilayah sebelum perang berakhir. Prajurit Kanada George Lawrence Price ditembak seorang penembak jitu Jerman pada pukul 10:57 dan tewas pukul 10:58.[135] Prajurit Amerika Serikat Henry Gunther gugur 60 detik sebelum gencatan senjata diterapkan saat sedang berlari menyerbu tentara Jerman yang terkejut dan tahu bahwa gencatan senjata sudah dekat.[136] Prajurit Britania terakhir yang gugur adalah George Edwin Ellison. Korban terakhir dalam perang ini adalah seorang Jerman, Letnan Thomas, yang setelah pukul 11:00 sedang berjalan menyusuri garis depan untuk memberitahu tentara Amerika Serikat yang belum diberitahu tentang gencatan senjata bahwa mereka akan mengosongkan bangunan di belakang mereka.[137] Pendudukan Rhineland terjadi setelah gencatan senjata. Pasukan pendudukan terdiri dari pasukan Amerika Serikat, Belgia, Britania, dan Perancis.
Superioritas Sekutu dan legenda pengkhianatan, November 1918
Pada bulan November 1918, Sekutu memiliki suplai prajurit dan material yang cukup untuk menyerbu Jerman. Namun pada saat gencatan senjata, tidak ada pasukan Sekutu yang melintasi perbatasan Jerman; Front Barat masih 900 mi (1.400 km) jauhnya dari Berlin; dan pasukan Kaiser telah mundur dari medan perang secara baik-baik. Faktor-faktor tersebut memungkinkan Hindenburg dan pemimpin Jerman senior lainnya menyebar berita bahwa pasukan mereka belum benar-benar dikalahkan. Ini berujung pada legenda pengkhianatan,[138][139] yang menyebut kekalahan Jerman bukan karena ketidakmampuannya melanjutkan peperangan (meski hampir satu juta tentara menderita wabah flu 1918 dan tidak bisa berperang), tetapi kegagalan publik merespon "panggilan patriotik"-nya dan dugaan sabotase perang internasional, terutama oleh kaum Yahudi, Sosialis, dan Bolshevik.
Perjanjian Versailles, Juni 1919
Keadaan perang formal antara kedua pihak terus berlanjut selama tujuh bulan selanjutnya sampai penandatanganan Perjanjian Versailles dengan Jerman pada tanggal 28 Juni 1919. Akan tetapi, publik Amerika Serikat menolak ratifikasi perjanjian tersebut, terutama karena Liga Bangsa-Bangsalah perjanjian tersebut dibuat; A.S. tidak mengakhiri secara resmi keikutsertaannya dalam perang sampai Resolusi Knox-Porter ditandatangani tahun 1921. Setelah Perjanjian Versailles, perjanjian dengan Austria, Hongaria, Bulgaria, dan Kesultanan Utsmaniyah ditandatangani. Namun, negosiasi perjanjian terakhir dengan Kesultanan Utsmaniyah diikuti oleh perselisihan (Perang Kemerdekaan Turki), dan perjanjian damai terakhir antara Blok Sekutu dan negara yang segera menjadi Republik Turki baru ditandatangani pada tanggal 24 Juli 1923 di Lausanne.
Sejumlah tugu peringatan perang menyebut akhir perang adalah ketika Perjanjian Versailles ditandatangani tahun 1919, yaitu ketika banyak tentara yang berdinas di luar negeri akhirnya pulang ke negara masing-masing; sebaliknya, banyak peringatan berakhirnya perang terpusat pada gencatan senjata tanggal 11 November 1918. Secara hukum, perjanjian damai formal belum selesai sampai ditandatanganinya perjanjian terakhir, yaitu Perjanjian Lausanne. Sesuai ketentuannya, pasukan Sekutu keluar dari Konstantinopel tanggal 23 Agustus 1923.
Teknologi
Perang Dunia Pertama dimulai sebagai tabrakan teknologi abad ke-20 dan taktik abad ke-19, disertai jatuhnya korban dalam jumlah besar. Tetapi pada akhir 1917, pasukan-pasukan besar, sekarang berjumlah jutaan, telah melakukan modernisasi dan memakai telepon, komunikasi nirkabel,[140] kendaraan lapis baja, tank,[141] dan pesawat terbang. Formasi infanteri disusun ulang, sehingga pasukan 100 orang tidak lagi menjadi unit manuver utama dan digantikan oleh skuat yang terdiri dari kurang lebih 10 tentara, di bawah komando NCO junior.
Artileri juga mengalami revolusi. Tahun 1914, meriam diposisikan di garis depan dan ditembakkan langsung ke target. Tahun 1917, tembakan tidak langsung dengan senjata (disertai mortir dan bahkan senjata mesin) biasa dilakukan, memakai teknik baru mencari dan mengukur, terutama pesawat dan telepon lapangan yang sering diabaikan. Misi kontra-baterai biasa dilakukan dan deteksi suara dipakai untuk melacak keberadaan baterai musuh.
Jerman jauh lebih maju daripada Sekutu dalam memanfaatkan tembakan berat tidak langsung. Angkatan Darat Jerman memakai howitzer 150 dan 210 mm pada tahun 1914, sementara senjata Perancis dan Britania hanya 75 dan 105 mm. Britania memiliki howiter 6 inci (152 mm), tetapi sangat berat sehingga harus dirombak dulu dan disusun di medan tempur. Jerman juga memakai senjata Austria 305 mm dan 420 mm, dan sejak awal perang sudah memiliki cadangan berbagai kaliber Minenwerfer yang ideal dipakai untuk peperangan parit.[142]
Banyak pertempuran melibatkan peperangan parit yang memakan korban ratusan tentara untuk setiap yard yang diperebutkan. Sebagian besar pertempuran paling mematikan sepanjang sejarah terjadi pada Perang Dunia Pertama, seperti Ypres, Marne, Cambrai, Somme, Verdun, dan Gallipoli. Jerman memakai proses Haber fiksasi nitrogen untuk menyediakan suplai bubuk mesiu yang tetap untuk pasukan-pasukannya, meski terjadi blokade laut oleh Britania.[143] Artileri mengakibatkan jumlah korban paling banyak[144] dan mengonsumsi banyak sekali peledak. Sejumlah besar luka kepala akibat ledakan granat dan fragmentasi mendorong negara-negara terlibat mengembangkan helm baja modern, dipimpin oleh Perancis yang memperkenalkan helm Adrian pada tahun 1915. Perkembangan ini diikuti oleh helm Brodie yang dipakai tentara Imperium Britania dan A.S., dan pada tahun 1916 oleh Stahlhelm Jerman dengan perbaikan desain yang masih dipakai sampai sekarang.
"Gas! Gas! Quick, boys!... Fitting the clumsy helmets just in time; But someone still was yelling out and stumbling, And flound'ring like a man in fire or lime... Dim, through the misty panes and thick green light, As under a green sea, I saw him drowning."- Wilfred Owen, DULCE ET DECORUM EST, 1917[145] |
Pemakaian bahan kimia yang luas adalah fitur berbeda dalam konflik ini. Gas yang dipakai meliputi klorin, gas mustar, dan fosgin. Sedikit korban perang yang jatuh akibat gas,[146] karena pertahanan efektif terhadap serangan gas segera diciptakan, seperti masker gas. Pemakaian peperangan kimia dan pengeboman strategis berskala kecil tidak diizinkan oleh Konvensi Den Haaf 1907, dan keduanya terbukti tidak begitu efektif,[147] meski berhasil menangkap perhatian publik.[148]
Senjata darat terkuat adalah senjata kereta api yang berbobot ratusan ton per unitnya. Senjata ini diberi nama Big Bertha, meski pemilik namanya bukanlah sebuah senjata kereta api. Jerman mengembangkan Paris Gun yang mampu mengebom Paris dari jarak 100 kilometer (62 mi), meski granatnya relatif ringan dengan berat 94 kilogram (210 lb). Saat Sekutu juga mempunyai senjata kereta, model Jerman jauh lebih maju dan canggih daripada Sekutu.
Penerbangan
Pesawat bersayap tetap pertama dipakai secara militer oleh Italia di Libya tanggal 23 Oktober 1911 pada Perang Italia-Turki untuk keperluan mata-mata, dan pada tahun berikutnya diikuti oleh penjatuhan granat dan fotografi udara. Tahun 1914, pemanfaatan militer mereka tampak jelas. Pesawat awalnya dipakai untuk mata-mata dan serangan darat. Untuk menembak jatuh pesawat musuh, senjata antipesawat dan pesawat tempur dikembangkan. Pengebom strategis diciptakan, terutama oleh Jerman dan Britania, meski Jerman juga memakai Zeppelin.[150] Menjelang akhir konflik, kapal angkut pesawat dipakai untuk pertama kalinya, dengan HMS Furious meluncurkan Sopwith Camels dalam sebuah serangan untuk menghancurkan hangar Zeppelin di Tondern tahun 1918.[151]
Balon pemantau berawak, melayang jauh di atas parit, dipakai sebagai platform mata-mata stasioner, melaporkan pergerakan musuh dan mengarahkan artileri. Balon umumnya diawaki dua orang, dilengkapi parasut,[152] sehingga jika terjadi serangan udara musuh, awak balon dapat terjun dengan selamat. Pada masa itu, parasut begitu berat untuk dipakai pilot pesawat (bersama keluaran tenaga marginalnya), dan versi parasut kecil belum dikembangkan sampai akhir perang; parasut juga ditolak para pemimpin Britania yang khawatir akan menciptakan sifat pengecut.[153]
Diakui atas kegunaannya sebagai platform pemantau, balon menjadi target penting pesawat musuh. Untuk mempertahankannya dari serangan udara, balon-balon sangat dilindungi oleh senjata antipesawat dan dipatroli oleh pesawat teman; untuk menyerang musuh, senjata tidak umum seperti roket udara-ke-udara dipakai. Karena itu nilai mata-mata lampu suar dan balon berkontribusi terhadap pengembangan pertempuran udara antara semua jenis pesawat, dan menciptakan kebuntuan parit, karena mustahil memindahkan sejumlah besar tentara tanpa terdeteksi. Jerman melakukan serangan udara di Inggris sepanjang tahun 1915 dan 1916 dengan kapal udara, berharap menjatuhkan moral Britania dan mengakibatkan pesawat dialihkan dari garis depan, dan pada akhirnya menciptakan kepanikan yang mendorong pengalihan beberapa skadron pesawat tempur dari Perancis.[150][153]
Pemutakhiran teknologi laut
Jerman mengirimkan kapal-U (kapal selam) setelah perang dimulai. Berada di antara peperangan kapal selam terbatas dan tanpa batas di Atlantik, Kaiserliche Marine memakai kapal-kapal ini untuk memutus rantai suplai penting Kepulauan Britania Raya. Kematian pelaut dagang Britania dan kehebatan kapal-U mendorong pengembangan ranjau bawah air (1916), hidropon (sonar pasif, 1917), lampu suar, kapal selam pemburu (HMS R-1, 1917), senjata antikapal selam, dan hidropon celup (dua perlengkapan terakhir tidak digunakan lagi pada tahun 1918).[154] Untuk memperluas operasi mereka, Jerman merancang kapal selam suplai pada tahun 1916. Kebanyakan kapal selam ditinggalkan pada masa antarperang sampai Perang Dunia II memunculkan lagi kebutuhan akan kapal selam.
Pemutakhiran teknologi peperangan darat
Parit, senjata mesin, mata-mata udara, kawat berduri, dan artileri modern dengan granat fragmentasi membantu menciptakan kebuntuan di lini pertempuran Perang Dunia I. Britania dan Perancis mencari solusi dengan menciptakan tank dan peperangan mekanis. Tank pertama Britania dipakai pada Pertempuran Somme tanggal 15 September 1916. Ketergantungan mekanis adalah suatu masalah, tetapi uji coba membuktikan keandalannya. Dalam satu tahun, Britania melibatkan ratusan tank dalam pertempuran dan tank-tank tersebut menunjukkan kebolehan mereka pada Pertempuran Cambrai bulan November 1917 dengan menerobos Garis Hindenburg, sementara tim senjata gabungan menangkap 8.000 tentara musuh dan 100 senjata. Perancis memperkenalkan tank pertama dengan meriam berputar, Renault FT-A7, yang menjadi perlengkapan perang yang paling menentukan kemenangan. Konflik ini juga mendorong diperkenalkannya senjata otomatis ringan dan senjata submesin, seperti Lewis Gun, bedil otomatis Browning, dan Bergmann MP18.
Penyembur api dan angkutan subterania
Senjata baru lainnya, penyembur api, pertama dipakai oleh pasukan Jerman dan kemudian diadopsi oleh pasukan lain. Meski tidak bernilai taktis tinggi, penyembur api adalah senjata kuat dengan kemampuan demoralisasi yang mengakibatkan teror di medan tempur. Ini adalah senjata berbahaya karena bobotnya yang berat membuat operatornya mudah menjadi target musuh.
Rel kereta parit berevolusi untuk pengiriman sejumlah besar makanan, air, dan amunisi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tentara-tentara di daerah tempat sistem transportasi konvensional telah dihancurkan. Mesin pembakaran dalam dan sistem traksi yang diperbarui untuk mobil dan truk/lori akhirnya membuat rel kereta parit kedaluwarsa.
Kejahatan perang
Genosida dan pembersihan etnis
Pembersihan etnis populasi Armenia di Kesultanan Utsmaniyah, termasuk deportasi dan eksekusi massal, saat tahun-tahun terakhir Kesultanan Utsmaniyah tergolong genosida.[155] Utsmaniyah memandang seluruh populasi Armenia sebagai musuh[156] yang memilih berpihak pada Rusia sejak awal perang.[157] Pada awal 1915, sejumlah warga Armenia bergabung dengan pasukan Rusia, dan pemerintah Utsmaniyah menggunakan alasan ini sebagai dasar pengesahan Hukum Tehcir (Hukum Deportasi). Hukum ini membolehkan deportasi penduduk Armenia dari provinsi-provinsi timur Kesultanan ke Suriah antara 1915 dan 1917. Jumlah pasti korban tewas tidak diketahui. Meski Balakian memberi kisaran antara 250.000 sampai 1,5 juta orang Armenia,[158] International Association of Genocide Scholars memperkirakan lebih dari 1 juta jiwa.[155][159] Pemerintah Turki dari dulu tetap menolak tuduhan genosida dengan berpendapat bahwa mereka yang tewas adalah korban peperangan antaretnis, kelaparan, atau wabah selama Perang Dunia Pertama.[160] Kelompok etnis lain yang juga diserang Kesultanan Utsmaniyah pada saat itu termasuk bangsa Assyria dan Yunani, dan sejumlah sarjana menganggap peristiwa tersebut merupakan bagian dari kebijakan pemusnahan yang sama.[161][162][163]
Kekaisaran Rusia
Banyak pogrom terjadi seiring Revolusi 1917 Rusia dan Perang Saudara Rusia. 60.000–200.000 warga sipil Yahudi tewas dalam kekerasan yang terjadi di seluruh wilayah bekas Kekaisaran Rusia.[165]
"Pemerkosaan Belgia"
Para penyerbu Jerman menganggap perlawanan apapun—seperti menyabotase rel kereta—sebagai tindakan ilegal dan imoral, dan menembak pelanggar dan membakar bangunan sebagai balasannya. Selain itu, mereka cenderung menganggap sebagian besar warga sipil sebagai "franc-tireurs" berpotensial, dan menangkap dan kadang membunuh tahanan dari kalangan warga sipil. Pasukan Jerman mengeksekusi lebih dari 6.500 warga sipil Perancis dan Belgia antara Agustus dan November 1914, biasanya dalam penembakan warga sipil berskala besar nyaris acak yang diperintahkan oleh perwira junior Jerman. Angkatan Darat Jerman menghancurkan 15.000-20.000 bangunan—termasuk perpustakaan universitas di Louvain—dan menciptakan gelombang pengungsi sebesar satu juta orang. Lebih dari separuh resimen Jerman di Belgia terlibat dalam insiden-insiden besar.[166] Ribuan pekerja dikirim ke Jerman untuk bekerja di pabrik. Propaganda Britania yang mendramatisir "Pemerkosaan Belgia" menarik banyak perhatian di Amerika Serikat, sementara Berlin menyatakan tindakan tersebut sah dan perlu karena ancaman para "franc-tireurs" (gerilya) seperti yang terjadi di Perancis tahun 1870.[167] Britania dan Perancis membesar-besarkan laporan tersebut dan menyebarluaskannya di dalam negeri dan Amerika Serikat, tempat mereka memainkan peran besar dalam menghapus dukungan untuk Jerman.[168][169]
Pengalaman tentara
Tentara Britania awalnya merupakan relawan, namun pada akhirnya menjadi wajib militer. Imperial War Museum di Britania telah mengoleksi lebih dari 2.500 tekaman kesaksian pribadi tentara, dan sejumlah transkrip pilihan yang disunting oleh penulis militer Max Arthur telah diterbitkan. Museum ini percaya bahwa sejarawan belum memanfaatkan penuh material-material ini, dan museum ini berhasil memiliki arsip lengkap rekaman untuk para penulis dan peneliti.[170] Veteran yang selamat dan pulang cenderung hanya bisa mendiskusikan pengalaman mereka dengan sesama rekannya. Mereka berkumpul dan membentuk "asosiasi veteran" atau "Legiun".
Tawanan perang
Sekitar 8 juta tentara menyerah dan ditahan di kamp tawanan perang selama Perang Dunia I. Semua negara berjanji mengikuti Konvensi Den Haag mengenai perlakuan baik tawanan perang. Tingkat keselamatan tawanan perang umumnya lebih tinggi daripada rekan mereka di garis depan.[171] Penyerahan diri individu cenderung tidak biasa; pasukan dalam jumlah besar yang biasanya menyerah secara massal. Pada Pertempuran Tannenberg 92.000 tentara Rusia menyerah. Saat garnisun Kaunas yang dikepung menyerah tahun 1915, sekitar 20.000 tentara Rusia menyerah. Lebih dari setengah kerugian Rusia (sebagai perbandingan terhadap mereka yang ditangkap, terluka, atau gugur) memiliki status tawanan; untuk Austria-Hongaria 32%, Italia 26%, Perancis 12%, Jerman 9%; Britania 7%. Tawanan dari pasukan Sekutu berjumlah 1,4 juta orang (tidak termasuk Rusia, yang 2,5-3,5 juta tentaranya ditawan). Dari Blok Sentral, sekitar 3,3 juta tentara menjadi tawanan perang.[172]
Jerman menahan 2,5 juta tentara; Rusia menahan 2,9 juta tentara; sementara Britania dan Perancis sekitar 720.000 tentara. Kebanyakan di antara mereka ditangkap tepat sebelum gencatan senjata. A.S. menahan 48.000 tentara. Saat-saat paling berbahaya adalah tindakan penyerahan diri, ketika tentara yang pasrah kadang ditembaki begitu saja.[173][174] Setelah tawanan tiba di kamp, kondisi pada umumnya memuaskan (dan lebih baik daripada Perang Dunia II), berkat upaya Palang Merah Internasional dan inspeksi oleh negara-negara netral. Akan tetapi, di Rusia lebih buruk lagi: kelaparan biasa terjadi di kalangan tawanan dan warga sipil; sekitar 15–20% dari seluruh tawanan di Rusia meninggal. Di Jerman, makanan langka, tetapi hanya 5% yang meninggal.[175][176][177]
Kesultanan Utsmaniyah sering memperlakukan tahanan perang dengan buruk.[178] Sekitar 11.800 tentara Imperium Britania, kebanyakan India, ditawan setelah Pengepungan Kut di Mesopotamia pada bulan April 1916; 4.250 orang meninggal dalam penjara.[179] Meski banyak yang sedang dalam kondisi buruk saat ditangkap, para perwira Utsmaniyah memaksa mereka berjalan sejauh 1.100 kilometer (684 mi) ke Anatolia. Seorang korban selamat mengatakan, "Kami digiring seperti hewan liar; keluar dari sana artinya mati."[180] Para korban selamat kemudian dipaksa membangun rel kereta api melintasi Pegunungan Taurus.
Di Rusia, saat para tawanan dari Legiun Ceko Angkatan Darat Austria-Hongaria dibebaskan tahun 1917, mereka mempersenjatai diri kembali dan sempat menjadi kekuatan militer dan diplomatik pada Perang Saudara Rusia.
Meski tawanan Sekutu di Blok Sentral langsung dikirim pulang setelah akhir perang, perlakuan yang sama tidak diberikan kepada tawanan Blok Sentral di negara Sekutu dan Rusia. Kebanyakan dari tawanan Blok Sentral tersebut dijadikan pekerja paksa, misalnya di Perancis sampai tahun 1920. Mereka baru dibebaskan setelah Palang Merah mendekati Dewan Agung Sekutu berkali-kali.[181] Tawanan Jerman masih ditahan di Rusia sampai tahun 1924.[182]
Atase militer dan koresponden perang
Pemantai militer dan sipil dari setiap kekuatan besar mengikuti dengan saksama jalannya perang. Banyak yang mampu melaporkan suatu peristiwa dari sudut pandang yang mirip dengan posisi "tempelan" di dalam daratan dan pasukan laut musuh. Para atase militer dan pemantau lain ini mempersiapkan kesaksian langsung mengenai perang disertai tulisan analitis.
Misalnya, mantan Kapten Angkatan Darat A.S. Granville Fortescue mengikuti perkembangan Kampanye Gallipoli dari sudut pandang tempelan di dalam wilayah pertahanan Turki; dan laporannya diteruskan melalui sensor Tukri sebelum dicetak di London dan New York.[183] Akan tetapi, peran pemantau ini diabaikan ketika A.S. memasuki kancah perang, sementara Fortescue langsung mendaftar ulang masuk militer dan terluka di Hutan Argonne pada Ofensif Meuse-Argonne, September 1918.[184]
Narasi perang oleh pemantau secara mendalam dan artikel jurnal profesional yang lebih sempit segera ditulis setelah perang; dan laporan pascaperang ini umumnya mengilustrasikan kehancuran medan tempur dalam konflik ini. Ini bukan pertama kalinya taktik posisi parit untuk infanteri yang dipersenjatai senjata mesin dan artileri menjadi sangat penting. Perang Rusia-Jepang juga dipantau secara saksama oleh atase militer, koresponden perang, dan pemantau lain; tetapi, dari sudut pandang abad ke-21, tampak jelas bahwa serangkaian pelajaran taktik diabaikan atau tidak dipakai dalam persiapan perang di Eropa dan seluruh Perang Besar.[185]
Dukungan dan penentangan perang
Dukungan
Di Balkan, nasionalis Yugoslav seperti pemimpin Ante Trumbić di Balkan sangat mendukung perang ini dan memimpikan bebasnya bangsa Yugoslav dari Austria-Hongaria dan kekuatan asing lainnya, serta pembentukan Yugoslavia merdeka.[186] Komite Yugoslav didirikan di Paris tanggal 30 April 1915, namun kemudian memindahkan kantornya ke London; Trumbić memimpin Komite ini.[186]
Di Timur Tengah, nasionalisme Arab berkobar di teritori-teritori Utsmaniyah sebagai respon atas naiknya nasionalisme Turki sepanjang perang. Para pemimpin nasionalis Arab menyuarakan pembentukan negara pan-Arab.[187] Pada tahun 1916, Pemberontakan Arab terjadi di teritori Timur Tengah milik Utsmaniyah demi mencapai kemerdekaan.[187]
Nasionalisme Italia didorong oleh pecahnya perang dan awalnya sangat didukung oleh berbagai faksi politik. Salah satu pendukung perang nasionalis Italia yang paling tekrenal adalah Gabriele d'Annunzio, yang mempromosikan iredentisme Italia dan membantu meyakinkan publik Italia untuk mendukung intervensi perang.[188] Partai Liberal Italia di bawah kepemimpinan Paolo Boselli mempromosikan intervensi perang di sisi Sekutu dan memanfaatkan Dante Aligheri Society untuk mempromosikan nasionalisme Italia.[189]
Sejumlah partai sosialis awalnya mendukugn perang ketika pecah bulan Agustus 1914.[190] Tetapi sosialis Eropa terbagi di sisi nasional, dengan konsep kelas konflik yang dipegang oleh sosialis radikal seperti kaum Marxis dan sindikalis yang muncul akibat dukungan patriotik mereka terhadap perang.[191] Setelah perang dimulai, sosialis Austria, Britania, Jerman, Perancis, dan Rusia mengikuti arus nasionalis yang bangkit dengan mendukung intervensi perang oleh negara mereka .[192]
Para sosialis Italia terbagi menjadi pendukung perang dan penentangnya; beberapa di antaranya adalah pendukung perang yang militan, termasuk Benito Mussolini dan Leonida Bissolati.[193] Akan tetapi, Partai Sosialis Italia memutuskan menentang perang setelah para pengunjuk rasa anti-militer tewas dan mengakibatkan mogok massal bernama Minggu Merah.[194] Partai Sosialis Italia membersihkan dirinya dari anggota-anggota nasionalis pro-perang, termasuk Mussolini.[194] Mussolini, seorang sindikalis yang mendukung perang atas dasar klaim iredentis wilayah berpopulasi Italia di Austria-Hongaria, membentuk organisasi pro-intervensionis Il Popolo d'Italia dan Fasci Riviluzionario d'Azione Internazionalista ("Fasci Revolusi untuk Aksi Internaisonal") pada bulan Oktober 1914 yang kelak berkembang menjadi Fasci di Combattimento tahun 1919, asal usul fasisme.[195] Nasionalisme Mussolini memungkinkan dirinya menggalang dana dari Ansaldo (firma senjata) dan perusahaan lain untuk membentuk Il Popolo d'Italia untuk meyakinkan para sosialis dan revolusionis agar mendukung perang.[196]
Pada bulan April 1918, Kongres Bangsa Terindas Roma mengadakan pertemuan, termasuk perwakilan bangsa Cekoslovak, Italia, Polandia, Transylvania, dan Yugoslav yang meminta Sekutu mendukung penentuan nasib sendiri nasional untuk orang-orang yang tinggal di dalam Austria-Hongaria.[190]
Penentangan
Serikat dagang dan gerakan sosialis sudah lama menenetang sebuah perang yang menurut mereka berarti bahwa pekerja akan membunuh pekerja lain demi kepentingan kapitalisme. Setelah perang dideklarasikan, rupanya banyak sosialis dan serikat dagang yang malah membantu pemerintah mereka. Di antara pengecualian tersebut adalah kaum Bolshevik, Partai Sosialis Amerika, dan Partai Sosialis Italia, dan individu seperti Karl Liebknecht, Rosa Luxemburg, dan para pengikutnya di Jerman. Ada pula sejumlah kecul kelompok antiperang di Britania dan Perancis.
Benediktus XV, terpilih sebagai Paus kurang dari tiga bulan setelah Perang Dunia I, menjadikan perang dan segala akibatnya fokus utama tugas kepausan pertamanya. Berbeda dengan pendahulunya,[197] lima hari pasca-pemilihannya, ia berbicara tentang tugas dia untuk melakukan sebisanya untuk menciptakan perdamaian. Ensiklik pertamanya, Ad Beatissimi Apostolorum, dibacakan tanggal 1 November 1914, membicarakan masalah ini. Dipandang sebagai tokoh bias yang berpihak pada satu sisi dan dibenci karena melemahkan moral nasional, Benediktus XV melihat kemampuan dan posisinya yang unik sebagai duta perdamaian religius diabaikan oleh negara-negara yang terlibat.
Perjanjian London 1915 antara Italia dan Entente Tiga meliputi persyaratan rahasia yaitu Sekutu setuju dengan Italia untuk mengabaikan panggilan Paus agar berdamai dengan Blok Sentral. Akibatnya, penerbitan Nota Perdamaian Agustus 1917 tujuh poin usulan Benediktus diabaikan oleh semua pihak, kecuali Austria-Hongaria.[198]
Di Britania, tahun 1914, kamp tahunan Public Schools Officers' Training Corps diadakan di Tidworth Pennings, dekat Salisbury Plain. Kepala Angkatan Darat Britania Raya Lord Kitchener bermaksud meninjau kadetnya, tetapi pecahnya perang menggagalkan tugas tersebut. Jenderal Horace Smith-Dorrien menggantikannya. Ia membuat terkejut dua per tiga ribu kadet dengan mengatakan (mengutip Donald Christopher Smith, seorang kadeta Bermuda yang hadir), "bahwa perang harus dihindari dengan nyaris segala cara, bahwa perang tidak menyelesaikan apa-apa, bahwa seluruh Eropa dan lainna akan berantakan, dan bahwa jumlah korban tewas akan sangat besar sehingga seluruh populasi akan menyusut drastis. Akibat keteledoran kita, saya, dan banyak di antara kita, merasa hampir malu terhadap seorang Jenderal Britania yang mengeluarkan sentimen yang memuramkan dan tidak patriotik ini, tetapi selama empat tahun berikutnya, di antara kita yang selamat dari pembantaian ini—mungkin tidak lebih dari seperempat—belajar tnetang betapa benar perkiraan Jenderal dan betapa berani ia menyatakannya."[199] Mengeluarkan perkataan sentimen seperti ini tidak menghancurkan karier Smith-Dorien atau bahkan mencegahnya melakukan tugasnya pada Perang Dunia I sebaik-baiknya.
Banyak negara memenjarakan orang-orang yang berbicara menentang konflik ini. Mereka mencakup Eugene Debs di Amerika Serikat dan Bertrand Russell di Britania. Di A.S., Undang-Undang Spionase 1917 dan Undang-Undang Penghasutan 1918 menjadikan penolakan perekrutan militer atau membuat pernyataan apapun yang dirasa "tidak loyal" suatu tindak kejahatan. Penerbitan yang kritis terhadap pemerintahan ditarik dari sirkulasi oleh sensor pos,[102] dan banyak yang lama dipenjara akibat pernyataan mereka yang dianggap tidak patriotik.
Sejumlah kaum nasionalis menentang intervensi, terutama di dalam negara-negara yang tidak disukai nasionalis. Meski sebagian besar penduduk Irlandia mau ikut berperang tahun 1914 dan 1915, sebagian kecil nasionalis Irlandia maju menolak ikut serta dalam perang.[200] Perang terjadi meski muncul krisis Pemerintahan Dalam Negeri di Irlandia yang muncul kembali tahun 1912, dan pada Juli 1914 muncul kemungkinan serius akan pecahnya perang sipil di Irlandia.[201] Para nasionalis dan Marxis Irlandia berusaha mengejar kemerdekaan Irlandia yang berujung pada Pemberontakan Paskah tahun 1916, dengan Jerman mengirimkan 20.000 senjata bedil ke Irlandia untuk menciptakan kerusuhan di Britania Raya.[201] Pemerintah Britania Raya memberlakukan darurat militer di Irlandia sebagai tanggapan terhadap Pemberontakan Paskah, meski setelah ancaman revolusi berkurang para pihak berwenang mencoba menenangkan perasaan kaum nasionalis.[202]
Penolakan lain berasal dari para penentang bernurani – separuh sosialis, separuh religius – yang menolak berperang. Di Britania, 16.000 orang meminta status penentang bernurani.[203] Sebagian dari mereka, terutama aktivis perdamaian paling terkenal Stephen Henry Hobhouse, menolak dinas militer dan alternatif.[204] Banyak yang dipenjara bertahun-tahun, termasuk pengurungan sendiri dan diet roti dan air. Bahkan setelah perang, di Britania banyak iklan pekerjaan diberi tanda "Kecuali penentang bernurani".
Pemberontakan Asia Tengah pecah pada musim panas 1916, ketika pemerintah Kekaisaran Rusia mengakhiri pengecualian Muslim dari dinas militer.[205]
Tahun 1917, serangkaian pemberontakan di tubuh AD Perancis berujung pada eksekusi lusinan tentara dan penahanan sejumlah besar tentara lainnya.
Di Milan bulan Mei 1917, kaum revolusi Bolshevik menyusun dan mengadakan pemberontakan yang menuntut berakhirnya perang, dan berupaya menutup pabrik-pabrik dan menghentikan operasi transportasi umum.[206] Pasukan Italia terpaksa memasuki Milan dengan tank dan senjata mesin untuk menghadapi kaum Bolshevik dan anarkis, yang bertempur habis-habisan sampai 23 Mei ketika Angkatan Darat berhasil mengambil alih kota. Hampir 50 orang (termasuk tiga tentara Italia) tewas dan lebih dari 800 orang ditahan.[206]
Krisis Wajib Militer 1917 di Kanada terjadi ketika Perdana Menteri Robert Borden yang konservatif memerintahkan dinas militer wajib atas keberatan warga Quebec berbahasa Perancis.[207] Dari 625.000 tentara Kanada yang bertugas, 60.000 di antaranya gugur dan 173.000 lainnya luka-luka.[208]
Tahun 1917, Kaisar Charles I dari Austria secara rahasia memasuki negosiasi damai dengan negara-negara Sekutu, dengan saudara tirinya Sixtus sebagai penengah, tanpa sepengetahuan sekutunya, Jerman. Sayangnya ia gagal akibat pemberontakan Italia.[209]
Bulan September 1917, tentara Rusia di Perancis mulai mempertanyakan mengapa mereka berperang untuk Perancis dan akhirnya memberontak.[210] Di Rusia, penolakan perang mendorong para tentara mendirikan komite revolusinya sendiri, yang membantu memulai Revolusi Oktober 1917, dengan tuntutan "roti, tanah, dan perdamaian". Kaum Bolshevik menyetujui perjanjian damai dengan Jerman berupa Perjanjian Brest-Litovsk meski berada dalam kondisi buruk.
Di Jerman Utara, Revolusi Jerman 1918–1919 terjadi pada akhir Oktober 1918. Pasukan Angkatan Laut Jerman menolak berlayar untuk operasi berskala besar terakhir dalam perang yang mereka lihat sama saja seperti bunuh diri; peristiwa ini memulai pemberontakan. pemberontakan pelayar yang kemudian terjadi di pelabuhan Wilhelmshaven dan Kiel menyebar ke seluruh Jerman dalam hitungan hari dan berujung pada proklamasi republik tanggal 9 November 1918 dan sesaat setelah itu pengunduran diri Kaiser Wilhelm II.
Wajib militer
Setelah perang ini perlahan berubah menjadi perang atrisi, wajib militer diberlakukan di sejumlah negara. Masalah ini menjadi heboh di Kanada dan Australia. Di Kanada, wajib militer memunculkan celah politik antara warga Perancis Kanada, yang percaya kesetiaan mereka hanya untuk Kanada dan bukan Imperium Britania, dan warga Inggris mayoritas, yang memandang perang sebagai sebuah tugas bagi Britania maupun Kanada. Perdana Menteri Robert Borden mengesahkan Undang-Undang Dinas Militer, sehingga mencetuskan Krisis Wajib Militer 1917. Di Australia, kampanye pro-wajib militer oleh Perdana Menteri Billy Hughes mengakibatkan perpecahan di tubuh Partai Buruh Australia, sehingga Hughes membentuk Partai Nasionalis Australia pada tahun 1917 untuk mempromosikan peraturan ini. Meski begitu, gerakan buruh, Gereja Katolik, dan ekspatriat nasionalis Irlandia berhasil menentang peraturan Hughes, yang kemudian ditolak di dua plebisit.
Wajib militer diterapkan untuk setiap pria yang mampu secara fisik di Britania, enam dari sepuluh juta orang yang layak. Dari jumlah tersebut, sekitar 750.000 orang gugur dan 1.700.000 lainnya luka-luka. Kebanyakan korban tewas adalah pemuda yang belum menikah; akan tetapi, 160.000 istri kehilangan suaminya dan 300.000 anak kehilangan ayahnya.[211]
Dampak
Dampak kesehatan dan ekonomi
Belum ada perang yang berhasil mengubah peta Eropa secara dramatis. Empat kekaisaran menghilang: Jerman, Austria-Hongaria, Utsmaniyah, dan Rusia. Empat dinasti, bersama aristokrasi kunonya, jatuh setelah perang: Hohenzollern, Habsburg, Romanov, dan Utsmaniyah. Belgia dan Serbia hancur parah, seperti halnya Perancis, dengan 1,4 juta tentara gugur,[212] tidak termasuk korban lainnya. Jerman dan Rusia juga terkena dampak serupa.[213]
Perang ini memberi konsekuensi ekonomi mendalam. Dari 60 juta tentara Eropa yang dimobilisasi mulai tahun 1914 sampai 1918, 8 juta di antaranya gugur, 7 juta cacat permanen, dan 15 juta luka parah. Jerman kehilangan 15,1% populasi pria aktifnya, Austria-Hongaria 17,1%, dan Perancis 10,5%.[214] Sekitar 750.000 warga sipil Jerman tewas akibat kelaparan yang disebabkan oleh blokade Britania selama perang.[215] Pada akhir perang, kelaparan telah menewaskan sekitar 100.000 orang di Lebanon.[216] Perkiraan terbaik untuk jumlah korban tewas akibat kelaparan Rusia 1921 adalah 5 juta sampai 10 juta orang.[217] Pada tahun 1922, terdapat 4,5 juta sampai 7 juta anak tanpa rumah di Rusia akibat satu dasawarsa kehancuran sejak Perang Dunia I, Perang Saudara Rusia, dan kelaparan 1920–1922.[218] Sejumlah penduduk Rusia anti-Soviet mengungsi ke negara lain setelah Revolusi; pada tahun 1930-an, kota Harbin di Cina utara menampung 100.000 warga Rusia.[219] Ribuan lainnya pindah ke Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat.
Di Australia, dampak perang terhadap ekonomi tidak terlalu parah. Perdana Menteri Hughes menulis surat untuk Perdana Menteri Britania Raya Lloyd George, "Anda telah meyakinkan kami bahwa Anda tidak bisa mendapatkan persyaratan yang lebih baik. Saya sangat menyesalkan hal tersebut, dan sekarang berharap bahwa ada suatu cara untuk menetapkan perjanjian permintaan biaya perbaikan setara dengan pengorbanan luar biasa yang dilakukan Imperium Britania dan para Sekutunya."[220] Australia menerima perbaikan perang senilai ₤5.571.720, tetapi biaya perang Australia secara langsung berjumlah ₤376.993.052, dan pada pertengahan 1930-an biaya pensiun, hadiah perang, bunga, dan dana tenggelam berjumlah ₤831.280.947.[220] Dari sekitar 416.000 tentara Australia yang berdinas, 60.000 di antaranya gugur dan 152.000 lainnya luka-luka.[221]
Wabah menyebar pada masa-masa perang yang kacau. Pada tahun 1914 saja, wabah tipus yang dibawa kutu menewaskan 200.000 orang di Serbia.[222] Mulai tahun 1918 sampai 1922, Rusia mengalami 25 juta infeksi dan 3 juta kematian akibat wabah tipus.[223] Sementara sebelum Perang Dunia I Rusia memiliki 3,5 juta kasus malaria, negara ini memiliki lebih dari 13 juta kasus pada tahun 1923.[224] Selain itu, wabah influenza besar menyebar ke seluruh dunia. Secara keseluruhan, pandemi flu 1918 menewaskan sedikitnya 50 juta orang.[225][226]
Lobi oleh Chaim Weizmann dan kekhawatiran bahwa penduduk Yahudi Amerika akan memaksa AS mendukung Jerman berakhir dengan Deklarasi Balfour 1917 oleh pemerintah Britania yang menetapkan pendirian tanah air Yahudi di Palestina.[227] Lebih dari 1.172.000 tentara Yahudi berdinas di pasukan Sekutu dan Sentral pada Perang Dunia I, termasuk 275.000 di Austria-Hongaria dan 450.000 di Kekaisaran Rusia.[228]
Gangguan sosial dan kekerasan luas pada Revolusi 1917 dan Perang Saudara Rusia mengakibatkan terjadinya 2.000 pogrom di bekas Kekaisaran Rusia, kebanyakan di Ukraina.[229] Sekitar 60.000–200.000 warga sipil Yahudi tewas dalam kekerasan ini.[230]
Setelah Perang Dunia I, Yunani berperang melawan kaum nasionalis Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal, sebuah perang yang berakhir dengan pertukaran penduduk besar-besaran antar kedua negara di bawah Perjanjian Lausanne.[231] Menurut berbagai sumber,[232] sekian ratus ribu Yunani Pontik tewas pada masa-masa perang tersebut.[233]
Perjanjian damai dan batas negara
Setelah perang, Konferensi Perdamaian Paris memberlakukan beberapa perjanjian damai terhadap Blok Sentral. Perjanjian Versailles 1919 secara resmi mengakhiri perang ini. Ditandatangani di Titik ke-14 Wilson, Perjanjian Versailles juga mencetuskan berdirinya Liga Bangsa-Bangsa pada tanggal 28 Juni 1919.[234][235]
Dalam penandatanganan perjanjian, Jerman mengaku bertanggung jawab atas perang ini dan setuju membayar perbaikan perang dalam jumlah besar dan memberikan sejumlah teritori ke pihak pemenang. "Tesis Rasa Bersalah" menjadi penjelasan kontroversial mengenai peristiwa-peristiwa terakhir di kalangan analis Britania dan Amerika Serikat Perjanjian Versailles menimblkan ketidakpuasan luar biasa di Jerman, yang dieksploitasi gerakan nasionalis, terutama Nazi, dengan teori konspirasi yang mereka sebut Dolchstosslegende (legenda pengkhianatan). Republik Weimar kehilangan jajahan kolonialnya dan dibebani tuduhan bersalah atas perang, serta membayar perbaikan akibat perang. Tidak mampu membayar dengan ekspor (akibat kehilangan teritori dan resesi pascaperang),[236] Jerman membayar dengan meminjam dari Amerika Serikat. Inflasi berkelanjutan tahun 1920-an berkontribusi pada keruntuhan ekonomi Republik Weimar, dan pembayaran perbaikan tertunda tahun 1931 setelah Kejatuhan Pasar Saham 1929 dan permulaan Depresi Besar di seluruh dunia.
Austria-Hongaria terbagi menjadi beberapa negara pengganti, termasuk Austria, Hongaria, Cekoslovakia, dan Yugoslavia, meski tidak sepenuhnya berada dalam perbatasan etnis. Transylvania dipindahkan dari Hongaria ke Rumania Raya. Rinciannya tercantum dalam Perjanjian Saint-Germain dan Perjanjian Trianon. Sebagai hasil dari Perjanjian Trianon, 3,3 juta warga Hongaria berada di bawah pemerintahan asing. Meski penduduk Hongaria membentuk 54% populasi Kerajaan Hongaria pra-perang, hanya 32% teritorinya yang disisakan untuk Hongaria. Antara 1920 dan 1924, 354.000 warga Hongaria keluar dari bekas teritori Hongaria yang dikuasai Rumania, Cekoslovakia, dan Yugoslavia.
Kekaisaran Rusia, yang telah menarik diri dari Perang Dunia I pada tahun 1917 setelah Revolusi Oktober, kehilangan sebagian besar wilayah baratnya dan negara-negara merdeka Estonia, Finlandia, Latvia, Lithuania, dan Polandia berdiri di sana. Bessarabia kembali bergabung dengan Rumania Raya karena sudah menjadi teritori Rumania selama lebih dari seribu tahun.[237]
Kesultanan Utsmaniyah pecah, dan sebagian besar teritori non-Anatolianya diberikan ke berbagai negara Sekutu dalam bentuk protektort. Turki sendiri disusun ulang menjadi Republik Turki. Kesultanan Utsmaniyah dipecah-pecah oleh Perjanjian Sèvres tahun 1920. Perjanjian ini tidak pernah diratifikasi oleh Sultan dan ditolak oleh gerakan republikan Turki, sehingga memunculkan Perang Kemerdekaan Turki dan berakhir dengan Perjanjian Lausanne tahun 1923.
Warisan
..."Strange, friend," I said, "Here is no cause to mourn."
"None," said the other, "Save the undone years"... |
— Wilfred Owen, Strange Meeting, 1918[145] |
Upaya tentatif pertama untuk memahami makna dan konsekuensi peperangan modern dimulai pada tahap-tahap awal perang, dan proses ini terus berlanjut selama dan setelah akhir perang.
Tugu peringatan
Tugu peringatan dibangun di ribuan desa dan kota. Dekat dengan medan tempur, mereka yang dimakamkan di lahan pemakaman buatan perlahan dipindahkan ke pemakaman resmi yang dirawat oleh organisasi-organisasi seperti Commonwealth War Graves Commission, American Battle Monuments Commission, German War Graves Commission, dan Le Souvenir français. Banyak di antara pemakaman yang memiliki monumen pusat yang dipersembahkan kepada korban hilang atau tidak dikenal, seperti tugu Menin Gate dan Thiepval Memorial to the Missing of the Somme.
Pada tanggal 3 Mei 1915, selama Pertempuran Ypres Kedua, Letnan Alexis Helmer gugur. Di samping makamnya, temannya, John McCrae, M.D., dari Guelph, Ontario, Kanada, menulis sebuah puisi terkenal berjudul In Flanders Fields sebagai penghormatan untuk semua orang yang tewas dalam Perang Besar. Diterbitkan di majalah Punch tanggal 8 Desember 1915, puisi ini masih dibacakan sampai sekarang, terutama pada Hari Gencatan Senjata dan Hari Peringatan.[238][239]
Liberty Memorial di Kansas City, Missouri, adalah sebuah tugu peringatan Amerika Serikat yang dipersembahkan kepada semua warga negara A.S. yang berdinas di Perang Dunia I. Situs Liberty Memorial diresmikan tanggal 1 November 1921. Pada hari itu, para komandan tertinggi Sekutu berbicara di hadapan 100.000 orang. Itulah satu-satunya masa dalam sejarah ketika para pemimpin tersebut berkumpul di satu tempat. Tokoh-tokoh yang hadir meliputi Letnan Jenderal Baron Jacques dari Belgia; Jenderal Armando Diaz dari Italia; Marsekal Ferdinand Foch dari Perancis; Jenderal Pershing dari Amerika Serikat; dan Laksamana D. R. Beatty dari Britania Raya. Setelah tiga tahun pembangunan, Liberty Memorial rampung dan Presiden Calvin Coolidge menyampaikan pidato khusus di hadapan 150.000 orang pada tahun 1926.
Liberty Memorial juga merupakan rumah bagi The National World War I Museum, satu-satunya museum khusus Perang Dunia I di Amerika Serikat.
Ingatan budaya
Perang Dunia Pertama memberi pengaruh besar terhadap ingatan sosial. Perang ini dipandang oleh banyak orang di Britania sebagai tanda akhir zaman stabilitas yang sudah ada sejak zaman Victoria, dan di seluruh Eropa banyak orang menganggapnya sebagai ambang batas.[240] Sejarawan Samuel Hynes menjelaskan:
Generasi pemuda tak bersalah, kepala mereka dipenuhi abstraksi tinggi seperti Kehormatan, Kejayaan dan Inggris, pergi berperang untuk menjadikan dunia ini aman bagi demokrasi. Mereka dibunuh dalam pertempuran bodoh yang dirancang oleh jenderal yang bodoh pula. Mereka yang selamat terkejut, mengalami disilusi dan terpahitkan oleh pengalaman perang mereka, dan melihat bahwa musuh asli mereka bukanlah Jerman, tetapi orang-orang tua di kampung halaman yang telah membohongi mereka. Mereka menolak nilai-nilai masyarakat yang mengirimkan mereka ke perang, dan dalam melakukannya mereka memisahkan generasinya sendiri dari masa lalu dan warisan budayanya.[241]
Ini telah menjadi persepsi paling umum mengenai Perang Dunia Pertama, dimunculkan oleh seni, sinema, puisi, dan cerita-cerita yang diterbitkan sesudahnya. Film seperti All Quiet on the Western Front, Paths of Glory, dan King & Country telah menciptakan pemikiran ini, sementara film masa perang seperti Camrades, Flanders Poppies, dan Shoulder Arms menunjukkan bahwa pandangan perang paling kontemporer secara keseluruhan jauh lebih positif.[242] Sama pula, karya seni Paul Nash, John Nash, Christopher Nevison, dan Henry Tonks di Britania melukiskan pandangan negatif mengenai konflik bersamaan dengan persepsi yang tumbuh, sementara seniman masa perang yang terkenal seperti Muirhead Bone melukiskan interpretasi yang lebih damai dan menenangkan yang kemudian ditolak karena tidak akurat.[241] Sejumlah sejarawan seperti John Terriane, Niall Ferguson, dan Gary Sheffield telah menantang segala interpretasi ini sebagai pandangan parsial dan polemik:
Keyakinan-keyakinan ini tidak dibagi sepenuhnya karena mereka hanya memberikan interpretasi akurat mengenai peristiwa pada zaman perang. Dengan segala hormat, perang justru lebih rumit daripada perkataan mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, sejarawan telah berpendapat persuasif terhadap hampir setiap klise populer mengenai Perang Dunia Pertama. Sudah ditunjukkan bahwa, meski kerugiannya luar biasa, dampak terbesar mereka terbatas secara sosial dan geografis. Keragaman emosi selain horor yang dialami para tentara di dalam dan luar garis depan, termasuk persaudaraan, kebosanan, dan bahkan kenikmatan, telah diakui. Perang sekarang tidak dipandang sebagai "pertempuran omong kosong', namun sebagai perang pemikiran, sebuah perjuangan antara militerisme agresif dan kurang lebih demokrasi liberal. Sudah diketahui bahwa jenderal-jenderal Britania adalah para pria yang mampu menghadapi tantangan sulit, dan bahwa di bawah komando merekalah Angkatan Darat Britania memainkan peran penting dalam kekalahan Jerman tahun 1918: sebuah kemenangan besar yang terlupakan.[242]
Meski para sejarawan menganggap segala persepsi perang sebagai "mitos",[241][243] itu hal yang biasa.[butuh rujukan] Persepsi tersebut secara dinamis berubah sesuai pengaruh kontemporer, berefleksi pada persepsi perang tahun 1950-an sebagai 'tidak bertujuan' setelah Perang Dunia Kedua yang kontras dan konflik besar pada masa-masa konflik kelas tahun 1960-an.[242] Sebagian besar tambahan terhadap kebalikannya sering ditolak.[242]
Trauma sosial
Trauma sosial yang diakibatkan oleh jumlah korban tidak terduga terbentuk dalam berbagai cara, yang selalu menjadi subjek perdebatan sejarah selanjutnya.[244] Sejumlah orang[siapa?] terbakar oleh nasionalisme dan segala akibatnya, dan mulai mengupayakan terciptanya dunia internasionalis, mendukung organisasi-organisasi seperti Liga Bangsa-Bangsa. Pasifisme semakin populer. Pihak lain memberi reaksi bertentangan, merasa bahwa hanya kekuatan dan militer yang mampu menangani dunia yang kacau dan tidak manusiawi ini. Pandangan anti-modernis merupakan hasil dari berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Pengalaman perang mengakibatkan trauma kolektif yang dirasakan oleh sebagian besar negara terlibat. Optimisme la belle époque hancur, dan mereka yang berperang disebut sebagai Generasi Hilang.[245] Selama bertahun-tahun pascaperang, orang-orang meratapi korban tewas, hilang, dan cacat.[246] Banyak tentara pulang dengan trauma luar biasa, mengalami guncangan pertempuran (juga disebut neurastenia, sebuah keadaan yang terkait dengan gangguan tekanan pascatrauma).[247] Tentara lain pulang dengan sedikit dampak pascaperang; akan tetapi, diamnya mereka mengenai perang berkontribusi pada status mitologi yang terus berkembang mengenai konflik ini.[244] Di Britania Raya, mobilisasi massal, jumlah korban tinggi, dan runtuhnya zaman Edward membuat masyarakat sangat puas. Meski banyak pihak terlibat tidak berbagi pengalaman dalam pertempuran atau menghabiskan banyak waktu di garis depan, atau memiliki ingatan positif mengenai jasa mereka, gambaran penderitaan dan trauma menjadi persepsi yang terus-menerus dikembangkan.[244] Sejarawan seperti Dan Todman, Paul Fussell, dan Samuel Heyns menerbitkan banyak karya tulis sejak 1990-an yang berpendapat bahwa persepsi perang yang umum faktanya salah.[244]
Ketidakpuasan di Jerman
Munculnya Nazisme dan fasisme meliputi kebangkitan spirit nasionalis dan penolakan berbagai perubahan pascaperang. Sama pula, popularitas legenda pengkhianatan (Jerman: Dolchstoßlegende) adalah wasiat terhadap keadaan psikologis Jerman yang kalah dan penolakan tanggung jawab atas konflik ini. Teori konspirasi pengkhianatan ini menjadi umum dan penduduk Jerman melihat diri mereka sebagai korban. Penerimaan rakyat Jerman terhadap Dolchstoßlegende' memainkan peran penting dalam kemunculan Nazisme. Rasa disilusi dan sinisisme dibesar-besarkan disertai pertumbuhan nihilisme. Banyak pihak percaya perang ini mengawali akhir dunia karena korban yang tinggi dari kalangan pria, pembubaran pemerintahan dan kekaisaran, dan jatuhnya kapitalisme dan imperialisme.
Gerakan komunis dan sosialis di seluruh dunia mengumpulkan kekuatan dari teroi ini dan menikmati popularitas baru. Perasaan-perasaan ini lebih lantang diteriakkan di daerah-daerah yang langsung terkena dampak perang. Dari ketidakpuasan Jerman terhadap Perjanjian Versailles yang masih kontroversial, Adolf Hitler berhasil memperoleh popularitas dan kekuasaan.[248][249] Perang Dunia II juga merupakan kelanjutan perebutan kekuasan yang tidak pernah selesai sepenuhnya oleh Perang Dunia Pertama; faktanya, sudah biasa bagi Jerman pada tahun 1930-an dan 1940-an untuk menjustifikasi tindakan agresi internasional karena persepsi ketidakadilan yang diberlakukan oleh para pemenang Perang Dunia Pertama.[250][251][252] Sejarawan Amerika Serikat William Rubinstein menulis bahwa:
"'Zaman Totalitarianisme' mencakup hampir semua contoh genosida terkenal dalam sejarah modern, dipimpin oleh Holocaust Yahudi, tetapi juga terdiri dari pembunuhan dan pemusnahan massal di dunia Komunis, pembunuhan massal lain oleh Jerman Nazi dan sekutunya, serta genosida Armenia tahun 1915. Semua pembantaian ini memiliki asal usul yang sama, kejatuhan struktur elit dan mode pemerintahan normal di sebagian besar Eropa tengah, timur, dan selatan akibat Perang Dunia Pertama, yang tanpanya tentu saja Komunisme atau Fasisme tidak akan muncul kecuali dalam pikiran para penghasut dan orang sinting".[253]
Pendirian negara modern Israel dan akar dari Konflik Israel-Palestina yang terus berlanjut dapat ditemukan pada dinamika kekuatan yang tidak stabil di Timur Tengah akibat Perang Dunia I.[254] Sebelum perang berakhir, Kesultanan Utsmaniyah berhasil mempertahankan pertahanan dan stabilitas di seluruh Timur Tengah.[255] Dengan jatuhnya pemerintahan Utsmaniyah, kekosongan kekuasaan terjadi dan klaim wilayah dan kebangsaan saling bermunculan.[256] Perbatasan politik yang ditetapkan oleh para pemenang Perang Dunia Pertama segera diberlakukan, kadang baru setelah konsultasi dengan penduduk setempat. Dalam beberapa kasus, hal ini menjadi masalah dalam perjuangan identitas nasional abad ke-21.[257][258] Sementara bubarnya Kesultanan Utsmaniyah pada akhir Perang Dunia I menentukan dalam kontribusi terhadap situasi politik modern di Timur Tengah, termasuk konflik Arab-Israel,[259][260][261] berakhirnya kekuasaan Utsmaniyah juga menciptakan sengketa yang belum diketahui terhadap perairan dan sumber daya alam lain.[262]
Pandangan di Amerika Serikat
Intervensi A.S. dalam perang ini, termasuk pemerintahan Wilson sendiri, semakin sangat tidak populer. Ini tampak dari penolakan Senat A.S. terhadap Perjanjian Versailles dan keanggotaan di Liga Bangsa-Bangsa. Pada masa antarperang, sebuah konsensus disepakati bahwa intervensi A.S. adalah suatu kesalahan, dan Kongres mengesahkan beberapa hukum dalam upaya melindungi netralitas A.S. pada konflik-konflik selanjutnya. Pemungutan suara tahun 1937 dan bulan-bulan pertama Perang Dunia II menunjukkan bahwa hampir 60% responden menyatakan intervensi pada PDI adalah kesalahan, dan hanya 28% yang menentang pandangan tersebut. Tetapi pada periode antara kejatuhan Perancis dan serangan Pearl Harbor, opini publik berubah total dan untuk pertama kalinya mayoritas responden menolak pandangan bahwa Perang Dunia I adalah suatu kesalahan.[263]
Identitas nasional baru
Polandia lahir kembali sebagai sebuah negara merdeka setelah lebih dari satu abad. Sebagai "bangsa Entente kecil" dan negara dengan korban terbanyak per kapita,[264][265][266] Kerajaan Serbia dan dinastinya menjadi tulang belakang negara multinasional baru, Kerajaan Serbia, Kroasia, dan Slovenia (kelak bernama Yugoslavia). Cekoslovakia, menggabungkan Kerajaan Bohemia dengan sebagian Kerajaan Hongaria, dan menjadi satu bangsa baru. Rusia menjadi Uni Soviet dan kehilangan Finlandia, Estonia, Lituania, dan Latvia, yang menjadi negara-negara merdeka. Kesultanan Utsmaniyah langsung digantikan oleh Turki dan beberapa negara lain di Timur Tengah.
Di Imperium Britania, perang ini melepaskan bentuk baru nasionalisme. Di Australia dan Selandia Baru, Pertempuran Gallipoli semakin terkenal sebagai "Baptisme Perjuangan" negara-negara tersebut. Inilah perang besar pertama yang melibatkan negara-negara yang baru berdiri, serta untuk pertama kalinya tentara Australia berperang sebagai penduduk Australia, bukan subjek dari Kerajaan Britania Raya. Hari Anzac memperingati Korps Angkatan Darat Australia dan Selandia Baru dan merayakan momen-momen menentukan tersebut.[267][268]
Setelah Pertempuran Vimy Ridge, tempat divisi Kanada berperang bersama untuk pertama kalinya sebagai satu korps tunggal, warga Kanada mulai menyebut diri mereka sebagia bangsa yang "ditempa dari api".[269] Berhasil di medan tempur yang sama tempat "negara induk" gagal sebelumnya, Kanada untuk pertama kalinya dihormati secara internasional atas keberhasilan mereka sendiri. Kanada memasuki perang dengan status Dominion Imperium Britania dan tetap seperti itu, meski kelak bangkit dengan rasa kemerdekaan yang lebih besar.[270][271] Ketika Britania menyatakan perang pada tahun 1914, jajahan-jajahannya otomatis juga ikut perang; pada akhirnya, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Afrika Selatan menjadi penandatangan Perjanjian Versailles yang terpisah dari Britania.[272]
Dampak ekonomi
Salah satu dampak paling dramatis setelah perang adalah perluasan kekuasaan pemerintah dan tanggung jawab di Britania, Perancis, Amerika Serikat, dan Jajahan Imperium Britania. Untuk memanfaatkan semua kekuatan masyarakat mereka, pemerintah membentuk kementerian dan kekuasaan baru. Pajak baru ditetapkan dan hukum disahkan, semuanya dirancang untuk menunjang usaha perang; banyak yang masih ada sampai sekarang. Perang ini juga membatasi kemampuan sejumlah bekas pemerintahan yang besar dan terbirokratisasi, seperti Austria-Hongaria dan Jerman; akan tetapi, analisis apapun mengenai dampak jangka panjang tidak berlaku akibat kekalahan negara-negara tersebut.
Produk domestik bruto (PDB) naik di tiga negara Sekutu (Britania, Italia, dan A.S.), tetapi turun di Perancis dan Rusia, Belanda netral, dan tiga negara Sentral utama. Penurunan PDB di Austria, Rusia, Perancis, dan Kesultanan Utsmaniyah mencapai 30 sampai 40%. Di Austria, misalnya, banyak babi dipotong, sehingga tidak ada lagi daging pada akhir perang.
Di semua negara, pangsa pemerintah di PDB meningkat, melampaui 50% di Jerman dan Perancis dan nyaris mencapai level tersebut di Britania. Untuk membayar pembelian di Amerika Serikat, Britania melakukan investasi besar-besaran di industri rel kereta api Amerika Serikat dan mulai meminjam uang dalam jumlah besar dari Wall Street. Presiden Wilson berada di ambang pemotongan pinjaman pada akhir 1916, tetapi mengizinkan peningkatan besar pinjaman pemerintah A.S. kepada negara Sekutu. Setelah 1919, A.S. meminta pembayaran pinjaman tersebut. Pembayaran ini sebagian didanai oleh dana perbaikan Jerman, yang sebaliknya, dibantu oleh pinjaman Amerika Serikat ke Jerman. Sistem melingkar ini kolaps tahun 1931 dan pinjaman-pinjaman tersebut tidak pernah terbayarkan. Tahun 1934, Britania berutang senilai US$4,4 miliar[275] dalam bentuk utang Perang Dunia I.[276]
Dampak makro dan mikroekonomi terjadi setelah perang. Banyak keluarga berubah setelah kaum pria pergi berperang. Setelah kematian atau ketiadaan pencari nafkah utama, wanita terpaksa bekerja dalam jumlah besar. Pada saat yang sama, industri ingin mengganti buruh-buruh yang hilang karena ikut berperang. Hal ini membantu perjuangan untuk menuntut pemberian hak suara untuk wanita.[277]
Perang Dunia I terus meningkatkan ketidakseimbangan jenis kelamin, sehingga memunculkan fenomena wanita berlebih. Kematian hampir satu juta pria selama perang memperlebar celah gender sebanyak satu juta orang; dari 670.000 sampai 1.700.000 orang. Jumlah wanita belum menikah yang mencari kemapanan ekonomi tumbuh pesar. Selain itu, demobilisasi dan kemerosotan ekonomi setelah perang mengakibatkan tingginya pengangguran. Perang meningkatkan jumlah pekerja wanita, akan tetapi kembalinya pria yang terdemobilisasi menggantikan banyak wanita dari pekerjaannya, disertai penutupan berbagai pabrik masa perang. Karena itu wanita yang bekerja selama perang akhirnya terpaksa berjuang mencari pekerjaan dan wanita yang mendekati usia kerja tidak mendapat kesempatan.
Di Britania, penjatahan akhirnya diberlakukan pada awal 1918 untuk daging, gula, dan lemak (mentega dan oleo), namun bukan roti. Sistem baru ini berjalan lancar. Sejak 1914 sampai 1918, keanggotaan serikat dagang berlipat dari empat juta orang menjadi delapan juta orang. Mogok kerja semakin sering terjadi pada tahun 1917–1918 karena serikat-serikat tersebut tidak puas terhadap harga, pengendalian alkohol, sengketa gaji, kelelahan akibat kerja berlebihan dan bekerja pada hari Minggu, dan rumah yang tidak layak.
Britania mencari bantuan ke koloni-koloninya dalam memperoleh material perang penting yang persediannya semakin langka di sumber-sumber tradisional. Para geolog seperti Albert Ernest Kitson ditugaskan mencari sumber mineral berharga baru di koloni Afrika. Kitson menemukan deposit mangan baru di Gold Coast yang dipakai untuk pembuatan munisi.[278]
Artikel 231 Perjanjian Versailles (klausa "rasa bersalah perang") menyatakan Jerman dan sekutunya bertanggung jawab atas semua "kehilangan dan kerusakan" yang diderita Sekutu sepanjang perang dan memberi dasar untuk perbaikan pascaperang. Total perbaikan yang dituntut senilai 132 miliar mark emas, lebih dari total emas atau valuta asing Jerman. Masalah ekonomi yang mencuat dari pembayaran tersebut, dan kekesalan Jerman atas posisi mereka, biasanya dianggap sebagai salah satu faktor penting yang mendorong berakhirnya Republik Weimar dan awal dari kediktatoran Adolf Hitler. Setelha kekalahan Jerman pada Perang Dunia II, pembayaran perbaikan tidak dilanjutkan. Jerman selesai membayar perbaikan pascaperang pada bulan Oktober 2010.[279]
Lihat pula
- Perang Saudara Eropa
- Daftar veteran Perang Dunia I yang selamat menurut negara
- Daftar tokoh yang terkait dengan Perang Dunia I
- Daftar veteran Perang Dunia I yang selamat
- Daftar perang dan bencana manusia menurut jumlah korban
- Daftar perang
- Daftar topik Perang Dunia I
- Singkatan medali Perang Dunia I
- Daftar invasi
Media
Catatan kaki
- ^ a b Tucker & Roberts 2005, hlm. 273
- ^ "British Army statistics of the Great War". 1914-1918.net. Diakses tanggal 13 December 2011.
- ^ Jumlah untuk Imperium Britania
- ^ Jumlah untuk Perancis Metropolitan dan koloninya
- ^ Willmott 2003, hlm. 10–11
- ^ a b c d Willmott 2003, hlm. 15
- ^ Keegan 1988, hlm. 8
- ^ Bade & Brown 2003, hlm. 167–168
- ^ Willmott 2003, hlm. 307
- ^ a b c d Taylor 1998, hlm. 80–93
- ^ Djokić 2003, hlm. 24
- ^ Evans 2004, hlm. 12
- ^ Martel 2003, hlm. xii ff
- ^ Keegan 1988, hlm. 7
- ^ Keegan 1988, hlm. 11
- ^ See "great, adj., adv., and n." in Oxford English Dictionary (Second edition, 1989; online version March 2012)
- ^ Baldwin, Elbert Francis. The World War: How It Looks to the Nations Involved and What It Means to Us (New York: MacMillan Company, 1914). This book covers the war up to 20 November 1914.
- ^ Shapiro 2006, hlm. 329 citing a wire service report in The Indianapolis Star, 20 September 1914
- ^ a b Keegan 1998, hlm. 52
- ^ a b Willmott 2003, hlm. 21
- ^ Prior 1999, hlm. 18
- ^ Fromkin 2004, hlm. 94
- ^ a b Keegan 1998, hlm. 48–49
- ^ Willmott 2003, hlm. 2–23
- ^ Willmott 2003, hlm. 26
- ^ Willmott 2003, hlm. 27
- ^ Strachan 2003, hlm. 68
- ^ Willmott 2003, hlm. 29
- ^ "Daily Mirror Headlines: The Declaration of War, Published 4 August 1914". BBC. Diakses tanggal 9 February 2010.
- ^ Strachan 2003, hlm. 292–296, 343–354
- ^ Farwell 1989, hlm. 353
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 172
- ^ John R. Schindler, "Disaster on the Drina: The Austro-Hungarian Army in Serbia, 1914," War In History (April 2002) 9#2 pp 159–195 [1]
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 376–8
- ^ Keegan 1968, hlm. 224–232
- ^ Falls 1960, hlm. 79–80
- ^ Raudzens 1990, hlm. 424
- ^ Michael Duffy (22 August 2009). "Weapons of War: Poison Gas". Firstworldwar.com. Diakses tanggal 5 July 2012.
- ^ Raudzens 1990, hlm. 421–423
- ^ Goodspeed 1985, hlm. 199 (footnote)
- ^ Love 1996
- ^ Perry 1988, hlm. 27
- ^ Duffy
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 1221
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 854
- ^ Heer 2009, hlm. 223–4
- ^ Goodspeed 1985, hlm. 226
- ^ Ludendorff 1919, hlm. 480
- ^ a b c Terraine 1963
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.> (2007), "Vimy Ridge, Canadian National Memorial", Australians on the Western Front 1914–1918, New South Wales Department of Veteran's Affairs and Board of Studies
- ^ Winegard
- ^ Taylor 2007, hlm. 39–47
- ^ Keene 2006, hlm. 5
- ^ Halpern 1995, hlm. 293
- ^ Zieger 2001, hlm. 50
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 619–24
- ^ a b c d Sheffield, Garry, "The First Battle of the Atlantic", World Wars In Depth, BBC, diakses tanggal 11 November 2009
- ^ Gilbert 2004, hlm. 306
- ^ von der Porten 1969
- ^ Jones 2001, hlm. 80
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, "Nova Scotia House of Assembly Committee on Veterans' Affairs", Hansard, diakses tanggal 30 October 2007
- ^ Roger Chickering, Stig Förster, Bernd Greiner, German Historical Institute (Washington, D.C.) (2005). "A world at total war: global conflict and the politics of destruction, 1937–1945". Cambridge University Press. p.73. ISBN 0-521-83432-5
- ^ Price
- ^ "The Balkan Wars and World War I". Library of Congress Country Studies.
- ^ Neiberg 2005, hlm. 54–55
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 1075–6
- ^ Neiberg 2005, hlm. 108–10
- ^ Tucker, Wood & Murphy 1999, hlm. 120
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, Robert A. Doughty (2005), Pyrrhic victory: French strategy and operations in the Great War, Harvard University Press, hlm. 491, ISBN 978-0-674-01880-8, diakses tanggal 3 October 2010
- ^ a b "The Balkan Front of the World War (in Russian)". militera.lib.ru. Diakses tanggal 27 September 2010.
- ^ The Treaty of Alliance Between Germany and Turkey 2 August 1914, Yale University
- ^ Fromkin 2001, hlm. 119
- ^ a b Hinterhoff 1984, hlm. 499–503
- ^ Sachar, hlm. 122–138
- ^ Gilbert 1994
- ^ Page
- ^ Giuseppe Praga, Franco Luxardo. History of Dalmatia. Giardini, 1993. Pp. 281.
- ^ a b Paul O'Brien. Mussolini in the First World War: the Journalist, the Soldier, the Fascist. Oxford, England, UK; New York, New York, USA: Berg, 2005. Pp. 17.
- ^ Hickey 2003, hlm. 60–65
- ^ Tucker 2005, hlm. 585–9
- ^ "The Battle of Marasti (July 1917)". WorldWar2.ro. 22 July 1917. Diakses tanggal 8 May 2011.
- ^ Cyril Falls, The Great War, p. 285
- ^ Béla, Köpeczi, Erdély története, Akadémiai Kiadó
- ^ Béla, Köpeczi, History of Transylvania, Akadémiai Kiadó, ISBN 84-8371-020-X
- ^ Erlikman, Vadim (2004), Poteri narodonaseleniia v XX veke : spravochnik, Moscow, ISBN 5-93165-107-1
- ^ Brown 1994, hlm. 197–198
- ^ Brown 1994, hlm. 201–203
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, Participants from the Indian subcontinent in the First World War, Memorial Gates Trust, diakses tanggal 12 December 2008
- ^ Tucker 2005, hlm. 715
- ^ Meyer 2006, hlm. 152–4, 161, 163, 175, 182
- ^ a b Smele
- ^ Schindler 2003
- ^ Wheeler-Bennett 1956
- ^ Mawdsley 2008, hlm. 54–55
- ^ Kernek 1970, hlm. 721–766
- ^ Stracham (1998), p. 61
- ^ Lyons 1999, hlm. 243
- ^ Marshall, 292.
- ^ Heyman 1997, hlm. 146–147
- ^ Brands 1997, hlm. 756
- ^ Tuchman 1966
- ^ a b Karp 1979
- ^ "Woodrow Wilson Urges Congress to Declare War on Germany" (Wikisource)
- ^ "Selective Service System: History and Records". Sss.gov. Diakses tanggal 27 July 2010.
- ^ Wilgus, hlm. 52
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, Teaching With Documents: Photographs of the 369th Infantry and African Americans during World War I, U.S. National Archives and Records Administration, diakses tanggal 29 October 2009
- ^ Millett & Murray 1988, hlm. 143
- ^ Kurlander 2006
- ^ Shanafelt 1985, hlm. 125–30
- ^ Westwell 2004
- ^ Posen 1984, hlm. 190&191
- ^ Gray 1991, hlm. 86
- ^ a b Moon 1996, hlm. 495–196
- ^ Rickard 2007
- ^ Hovannisian, Richard G. (1967), Armenia on the Road to Independence, 1918, Berkeley: University of California Press, ISBN 0-520-00574-0
- ^ See Hovannisian, Richard G. (1971), The Republic of Armenia: The First Year, 1918–1919, Berkeley: University of California Press, hlm. 1–39, ISBN 0-520-01805-2
- ^ a b <Please add first missing authors to populate metadata.>, The Battle of Amiens: 8 August 1918, Australian War Memorial, diakses tanggal 12 December 2008
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, Amiens Map, Australian War Memorial, diarsipkan dari versi asli tanggal 17 June 2007, diakses tanggal 24 October 2009 (archived 17 June 2007)
- ^ Rickard 2001
- ^ a b c d Pitt 2003
- ^ Maurice 1918
- ^ a b c d Gray & Argyle 1990
- ^ Nicholson 1962
- ^ Ludendorff 1919
- ^ Jenkins 2009, hlm. 215
- ^ McLellan, hlm. 49
- ^ Gibbs 1918b
- ^ Gibbs 1918a
- ^ Stevenson 2004, hlm. 380
- ^ Hull 2006, hlm. 307–10
- ^ Stevenson 2004, hlm. 383
- ^ Stevenson 2004
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, Clairière de l'Armistice (dalam bahasa French), Ville de Compiègne, diakses tanggal 3 December 2008
- ^ a b "1918 Timeline". League of Nations Photo Archive. Diakses tanggal 20 November 2009.
- ^ Lindsay, Robert, "The Last Hours", 28th (Northwest) Battalion Headquarters, diakses tanggal 20 November 2009
- ^ Gunther, Henry (29, 2008), [[BBC News|BBC Magazine]], diakses tanggal 6 December 2012 Konflik URL–wikilink (bantuan)
- ^ Tomas (15 February 2010), 11 Facts about the End of the Great War, diakses tanggal 6 December 2012
- ^ Baker 2006
- ^ Chickering 2004, hlm. 185–188
- ^ Hartcup 1988, hlm. 154
- ^ Hartcup 1988, hlm. 82–86
- ^ Mosier 2001, hlm. 42–48
- ^ Harcup 1988
- ^ Raudzens, hlm. 421
- ^ a b Wilfred Owen: poems, (Faber and Faber, 2004)
- ^ Raudzens
- ^ Heller 1984
- ^ Postwar pulp novels on future "gas wars" included Reginald Glossop's 1932 novel Ghastly Dew and Neil Bell's 1931 novel The Gas War of 1940.
- ^ Eric Lawson, Jane Lawson (2002). "The First Air Campaign: August 1914– November 1918". Da Capo Press. p.123. ISBN 0-306-81213-4
- ^ a b Cross 1991
- ^ Cross 1991, hlm. 56–57
- ^ Winter 1983
- ^ a b Johnson 2001
- ^ Price 1980
- ^ a b International Association of Genocide Scholars (13 June 2005). "Open Letter to the Prime Minister of Turkey Recep Tayyip Erdoğan". Genocide Watch (via archive.org). Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 October 2007.
- ^ Lewy 2005, hlm. 57
- ^ Ferguson 2006, hlm. 177
- ^ Balakian 2003, hlm. 195–196
- ^ Israel Charny, Gregory Stanton (7 March 2007), (PDF), International Association of Genocide Scholars http://www.genocidescholars.org/sites/default/files/document%09%5Bcurrent-page%3A1%5D/documents/US%20Congress_%20Armenian%20Resolution.pdf Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - ^ Fromkin 1989, hlm. 212–215
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, Resolution on genocides committed by the Ottoman empire (PDF), International Association of Genocide Scholars[pranala nonaktif]
- ^ Gaunt, David. Massacres, Resistance, Protectors: Muslim-Christian Relations in Eastern Anatolia during World War I. Piscataway, New Jersey: Gorgias Press, 2006.
- ^ Schaller, Dominik J; Zimmerer, Jürgen (2008), "Late Ottoman genocides: the dissolution of the Ottoman Empire and Young Turkish population and extermination policies – introduction", Journal of Genocide Research, 10 (1): 7–14, doi:10.1080/14623520801950820.
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.> (1918), "Twenty-Five", Ambassador Morgenthau's Story, BYU
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, "Pogroms", Encyclopaedia Judaica, Jewish Virtual Library, diakses tanggal 17 November 2009
- ^ John Horne and Alan Kramer, German Atrocities, 1914: A History of Denial (Yale U.P. 2001) ch 1–2, esp. p. 76
- ^ Horne and Kramer, German Atrocities, 1914: A History of Denial ch 3–4 show there were no "franc-tireurs" in Belgium.
- ^ Horne and Kramer, German Atrocities, 1914: A History of Denial ch 5–8
- ^ Keegan 1998, hlm. 82–83
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, Forgotten Voices of the Great War, Imperial War Museum, diakses tanggal 30 March 2008
- ^ Phillimore & Bellot 1919, hlm. 4–64
- ^ Ferguson 1999, hlm. 368–9
- ^ Blair 2005
- ^ Cook 2006, hlm. 637&-665
- ^ Speed 1990
- ^ Ferguson 1999
- ^ Morton 1992
- ^ Bass 2002, hlm. 107
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, The Mesopotamia campaign, British National Archives, diakses tanggal 10 March 2007
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, "Prisoners of Turkey: Men of Kut Driven along like beasts", Stolen Years: Australian Prisoners of War, Australian War Memorial, diakses tanggal 10 December 2008
- ^ "ICRC in WWI: overview of activities". Icrc.org. Diakses tanggal 15 June 2010.
- ^ "GERMANY: Notes, Sep. 1, 1924". Time. 1 September 1924. Diakses tanggal 15 June 2010.
- ^ Fortescue 28 October 1915, hlm. 1
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, Granville Roland Fortescue, Arlington National Cemetery, diakses tanggal 17 November 2009
- ^ Sisemore 2003
- ^ a b Tucker & Roberts 2005, hlm. 1189
- ^ a b Tucker & Roberts 2005, hlm. 117
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 335
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 219
- ^ a b Tucker & Roberts 2005, hlm. 1001
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 1069
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 884
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 209
- ^ a b Tucker & Roberts 2005, hlm. 596
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 826
- ^ Dennis Mack Smith. 1997. Modern Italy; A Political History. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Pp. 284.
- ^ Roger Aubert (1981), "Chapter 37: The Outbreak of World War I", History of the Church, 9, London: Burns & Oates, hlm. 521, ISBN 0-86012-091-0
- ^ "Who's Who — Pope Benedict XV". firstworldwar.com. 22 August 2009.
- ^ "Merely For the Record": The Memoirs of Donald Christopher Smith 1894–1980. By Donald Christopher Smith. Edited by John William Cox, Jr. Bermuda.
- ^ Pennell, Catriona (2012), A Kingdom United: Popular Responses to the Outbreak of the First World War in Britain and Ireland, Oxford: Oxford University Press, ISBN 978-0199590582
- ^ a b Tucker & Roberts 2005, hlm. 584
- ^ O'Halpin, Eunan, The decline of the union: British government in Ireland, 1892–1920, (Dublin, 1987)
- ^ Lehmann 1999, hlm. 62
- ^ Brock, Peter, These Strange Criminals: An Anthology of Prison Memoirs by Conscientious Objectors to Military Service from the Great War to the Cold War, p. 14, Toronto: University of Toronto Press, 2004, ISBN 0-8020-8707-8
- ^ Uzbeks. Based on the Country Studies Series by Federal Research Division of the Library of Congress.
- ^ a b Seton-Watson, Christopher. 1967. Italy from Liberalism to Fascism: 1870 to 1925. London: Methuen & Co. Ltd. Pp. 471
- ^ "The Conscription Crisis". CBC.ca.
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, "World War I", Encyclopædia Britannica Online, Encyclopædia Britannica, diakses tanggal 5 December 2009.
- ^ "Charles (I) (emperor of Austria)". "Encyclopædia Britannica."
- ^ Cockfield 1997, hlm. 171–237
- ^ Havighurst 1985, hlm. 131
- ^ "France's oldest WWI veteran dies", BBC News, 20 January 2008.
- ^ Spencer Tucker (2005), Encyclopedia of World War I, ABC-CLIO, p. 273. ISBN 1-85109-420-2
- ^ Kitchen 2000, hlm. 22
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, "Lebensmittelversorgung", LeMO: Lebendiges virtuelles Museum Online (dalam bahasa German), German Historical Museum, ISBN 3-515-04805-7, diakses tanggal 12 November 2009,
Die miserable Versorgung mit Lebensmitteln erreichte 1916/17 im "Kohlrübenwinter" einen dramatischen Höhepunkt. Während des Ersten Weltkriegs starben in Deutschland rund 750.000 Menschen an Unterernährung und an deren Folgen.
- ^ Saadi
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, "Food as a Weapon", Hoover Digest, Hoover Institution
- ^ Ball 1996, hlm. 16, 211
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.> (January 1995), The Russians are coming (Russian influence in Harbin, Manchuria, China; economic relations), The Economist (US), diakses tanggal 17 November 2009 [pranala nonaktif]
- ^ a b Souter 2000, hlm. 354
- ^ Tucker, Spencer (2005). Encyclopedia of World War I. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO. hlm. 273. ISBN 1-85109-420-2. Diakses tanggal 7 May 2010.
- ^ Tschanz
- ^ Conlon
- ^ William Hay Taliaferro, Medicine and the War,(1972), p.65. ISBN 0-8369-2629-3
- ^ Knobler 2005
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, Influenza Report, diakses tanggal 17 November 2009
- ^ "Balfour Declaration" (United Kingdom 1917), Encyclopædia Britannica.
- ^ "The Jewish Agency for Israel Timeline"
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, "Pogroms", Encyclopaedia Judaica, diakses tanggal 17 November 2009
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, "Jewish Modern and Contemporary Periods (ca. 1700–1917)", Jewish Virtual Library, diakses tanggal 17 November 2009
- ^ "The Diaspora Welcomes the Pope", Der Spiegel Online. 28 November 2006.
- ^ R. J. Rummel, "The Holocaust in Comparative and Historical Perspective," 1998, Idea Journal of Social Issues, Vol.3 no.2
- ^ Chris Hedges, "A Few Words in Greek Tell of a Homeland Lost", The New York Times, 17 September 2000
- ^ Magliveras 1999, hlm. 8–12
- ^ Northedge 1986, hlm. 35–36
- ^ Keynes 1920
- ^ Clark 1927
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, John McCrae, Historica
- ^ Evans David, "John McCrae", Canadian Encyclopedia
- ^ Mark David Sheftall, Altered Memories of the Great War: Divergent Narratives of Britain, Australia, New Zealand, and Canada (2010)
- ^ a b c Hynes, Samuel Lynn (1991), A war imagined: the First World War and English culture, Atheneum, hlm. i–xii, ISBN 978-0-689-12128-9
- ^ a b c d Todman, Daniel (2005), The Great War: myth and memory, Hambledon and London, hlm. 153–221, ISBN 978-1-85285-459-1
- ^ Fussell, Paul (2000), The Great War and modern memory, Oxford University Press, hlm. 1–78, ISBN 978-0-19-513332-5, diakses tanggal 18 May 2010
- ^ a b c d Todman, D. The Great War, Myth and Memory, p. xi–xv.
- ^ Roden
- ^ Wohl 1979
- ^ Tucker & Roberts 2005, hlm. 108–1086
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, The Ending of World War One, and the Legacy of Peace, BBC
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, The Rise of Hitler, diakses tanggal 12 November 2009
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, "World War II", Britannica Online Encyclopedia, Encyclopædia Britannica Inc., diarsipkan dari versi asli tanggal 4 July 2008, diakses tanggal 12 November 2009
- ^ Baker, Kevin (June 2006), "Stabbed in the Back! The past and future of a right-wing myth", Harper's Magazine
- ^ Chickering 2004
- ^ Rubinstein, W. D. (2004). Genocide: a history. Pearson Education. p.7. ISBN 0-582-50601-8
- ^ Economist 2005
- ^ Hooker 1996
- ^ Muller 2008
- ^ Kaplan 1993
- ^ Salibi 1993
- ^ Evans 2005
- ^ Israeli Foreign Ministry
- ^ Gelvin 2005
- ^ Isaac & Hosh 1992
- ^ "1941 Gallup poll". Google. Diakses tanggal 15 June 2010.
- ^ "Appeals to Americans to Pray for Serbians". The New York Times. 27 July 1918.
- ^ "Serbia Restored". The New York Times. 5 November 1918.
- ^ Simpson, Matt (22 August 2009). "The Minor Powers During World War One – Serbia". firstworldwar.com.
- ^ "'ANZAC Day' in London; King, Queen, and General Birdwood at Services in Abbey". The New York Times. 26 April 1916.
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, The ANZAC Day tradition, Australian War Memorial, diakses tanggal 2 May 2008
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, Vimy Ridge, Canadian War Museum, diakses tanggal 22 October 2008
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.>, The War's Impact on Canada, Canadian War Museum, diakses tanggal 22 October 2008
- ^ <Please add first missing authors to populate metadata.> (9 May 2008), Canada's last WW1 vet gets his citizenship back, CBC News, diarsipkan dari versi asli tanggal 11 May 2008
- ^ Documenting Democracy. Retrieved 31 March 2012
- ^ 1012 dalam hal ini – lihat Skala panjang dan pendek
- ^ "Germany in the Era of Hyperinflation". Spiegel Online. 14 August 2009.
- ^ 109 dalam hal ini – lihat Skala panjang dan pendek
- ^ "What's a little debt between friends?". BBC News. 10 May 2006.
- ^ Noakes, Lucy (2006), Women in the British Army: war and the gentle sex, 1907–1948, Abingdon, England: Routledge, hlm. 48, ISBN 0-415-39056-7
- ^ Green 1938, hlm. CXXVI
- ^ "Germany finishes paying WWI reparations, ending century of 'guilt'". Christian Science Monitor. 4 October 2010.
Referensi
- For a comprehensive bibliography see List of books about World War I
- <Please add first missing authors to populate metadata.> (1938), American Armies and Battlefields in Europe: A History, Guide, and Reference Book, U.S. Government Printing Office, OCLC 59803706
- <Please add first missing authors to populate metadata.> (1993), Army Art of World War I, United States Army Center of Military History: Smithsonian Institution, National Museum of American History, OCLC 28608539
- Asghar, Syed Birjees (12 June 2005), A Famous Uprising, Dawn Group, diarsipkan dari versi asli tanggal 3 August 2007, diakses tanggal 2 November 2007
- Ashworth, Tony (2000) [1980], Trench warfare, 1914–18 : the live and let live system, London: Pan, ISBN 0-330-48068-5, OCLC 247360122
- Bade, Klaus J; Brown, Allison (tr.) (2003), Migration in European History, The making of Europe, Oxford: Blackwell, ISBN 0-631-18939-4, OCLC 52695573 (translated from the German)
- Baker, Kevin (June 2006), "Stabbed in the Back! The past and future of a right-wing myth", Harper's Magazine
- Balakian, Peter (2003), The Burning Tigris: The Armenian Genocide and America's Response, New York: HarperCollins, ISBN 978-0-06-019840-4, OCLC 56822108
- Ball, Alan M (1996), And Now My Soul Is Hardened: Abandoned Children in Soviet Russia, 1918–1930, Berkeley: University of California Press, ISBN 978-0-520-20694-6, reviewed in Hegarty, Thomas J (1998), "And Now My Soul Is Hardened: Abandoned Children in Soviet Russia, 1918–1930", Canadian Slavonic Papers [pranala nonaktif]
- Bass, Gary Jonathan (2002), Stay the Hand of Vengeance: The Politics of War Crimes Tribunals, Princeton, New Jersey: Princeton University Press, hlm. 424pp, ISBN 0-691-09278-8, OCLC 248021790
- Blair, Dale (2005), No Quarter: Unlawful Killing and Surrender in the Australian War Experience, 1915–1918, Charnwood, Australia: Ginninderra Press, ISBN 1-74027-291-9, OCLC 62514621
- Brands, Henry William (1997), T. R.: The Last Romantic, New York: Basic Books, ISBN 0-465-06958-4, OCLC 36954615
- Brown, Judith M. (1994), Modern India: The Origins of an Asian Democracy, Oxford and New York: Oxford University Press. Pp. xiii, 474, ISBN 0-19-873113-2.
- Chickering, Rodger (2004), Imperial Germany and the Great War, 1914–1918, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 0-521-83908-4, OCLC 55523473
- Clark, Charles Upson (1927), Bessarabia, Russia and Roumania on the Black Sea, New York: Dodd, Mead, OCLC 150789848
- Cockfield, Jamie H (1997), With snow on their boots : The tragic odyssey of the Russian Expeditionary Force in France during World War 1, Palgrave Macmillan, ISBN 0-312-22082-0
- Conlon, Joseph M, The historical impact of epidemic typhus (PDF), Montana State University, diakses tanggal 21 April 2009
- Cook, Tim (2006), "The politics of surrender: Canadian soldiers and the killing of prisoners in the First World War", The Journal of Military History, 70 (3): 637–665, doi:10.1353/jmh.2006.0158
- Cross, Wilbur L (1991), Zeppelins of World War I, New York: Paragon Press, ISBN 978-1-55778-382-0, OCLC 22860189
- Djokić, Dejan (2003), Yugoslavism : histories of a failed idea, 1918–1992, London: Hurst, OCLC 51093251
- Dignan, Don K (1971), "The Hindu Conspiracy in Anglo-American Relations during World War I", The Pacific Historical Review, University of California Press, 40 (1): 57–76, ISSN 0030-8684, JSTOR 3637829
- Doughty, Robert A. (2005), Pyrrhic victory: French strategy and operations in the Great War, Harvard University Press, ISBN 978-0-674-01880-8
- Duffy, Michael, Somme, First World War.com, ISBN 0-297-84689-2, diakses tanggal 25 February 2007
- Evans, David (2004), The First World War, Teach yourself, London: Hodder Arnold, ISBN 0-340-88489-4, OCLC 224332259
- Evans, Leslie (27 May 2005), Future of Iraq, Israel-Palestine Conflict, and Central Asia Weighed at International Conference, UCLA International Institute, diakses tanggal 30 December 2008
- Falls, Cyril Bentham (1960), The First World War, London: Longmans, ISBN 1-84342-272-7, OCLC 460327352
- Farwell, Byron (1989), The Great War in Africa, 1914–1918, W.W. Norton, ISBN 978-0-393-30564-7
- Ferguson, Niall (1999), The Pity of War, New York: Basic Books, hlm. 563pp, ISBN 0-465-05711-X, OCLC 41124439
- Ferguson, Niall (2006), The War of the World: Twentieth-Century Conflict and the Descent of the West, New York: Penguin Press, ISBN 1-59420-100-5
- Findley, Carter Vaughn; Rothney, J.A. (2006), Twentieth Century World (edisi ke-6th), Boston: Houghton Mifflin
- Fortescue, Granville Roland (28 October 1915), "London in Gloom over Gallipoli; Captain Fortescue in Book and Ashmead-Bartlett in Lecture Declare Campaign Lost. Say Allies Can't Advance; Attack on Allied Diplomacy in Correspondent's Doleful Talk Passed by Censor", New York Times
- Fraser, Thomas G (1977), "Germany and Indian Revolution, 1914–18", Journal of Contemporary History, Sage Publications, 12 (2): 255–272, doi:10.1177/002200947701200203, ISSN 0022-0094
- Fromkin, David (2001), A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the Modern Middle East, New York: Owl Books, hlm. 119, ISBN 0-8050-6884-8, OCLC 53814831
- Fromkin, David (2004), Europe's Last Summer: Who Started the Great War in 1914?, New York: Alfred A. Knopf, ISBN 0-375-41156-9, OCLC 53937943
- Gelvin, James L (2005), The Israel-Palestine Conflict: One Hundred Years of War, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 0-521-85289-7, OCLC 59879560
- Gibbs, Phillip (26 October 1918 published 30 October 1918), "Fall of Ghent Near, German Flank in Peril", New York Times
- Gibbs, Phillip (15 November 1918), "Ghent Burghers Hail Liberators" (PDF), New York Times
- Gray, Randal; Argyle, Christopher (1990), Chronicle of the First World War, New York: Facts on File, ISBN 978-0-8160-2595-4, OCLC 19398100
- Gilbert, Martin (2004), The First World War: A Complete History, Clearwater, Florida: Owl Books, hlm. 306, ISBN 0-8050-7617-4, OCLC 34792651
- Goodspeed, Donald James (1985), The German Wars 1914–1945, New York: Random House; Bonanza, ISBN 978-0-517-46790-9
- Gray, Randal (1991), Kaiserschlacht 1918: the final German offensive, Osprey, ISBN 978-1-85532-157-1
- Green, John Frederick Norman (1938), "Obituary: Albert Ernest Kitson", Geological Society Quarterly Journal, Geological Society, 94
- Haber, Lutz Fritz (1986), The Poisonous Cloud: Chemical Warfare in the First World War, Oxford: Clarendon, ISBN 0-19-858142-4, OCLC 12051072
- Halpern, Paul G (1995), A Naval History of World War I, New York: Routledge, ISBN 1-85728-498-4, OCLC 60281302
- Harrach, Franz, "Archduke Franz Ferdinand's Assassination, 28 June 1914: Memoir of Count Franz von Harrach", Primary Documents, First World War.com
- Hartcup, Guy (1988), The War of Invention; Scientific Developments, 1914–18, Brassey's Defence Publishers, ISBN 0-08-033591-8
- Havighurst, Alfred F (1985), Britain in transition: the twentieth century (edisi ke-4), University of Chicago Press, ISBN 978-0-226-31971-1
- Heer, Germany (2009), German and Austrian Tactical Studies, ISBN 978-1-110-76516-4
- Heller, Charles E (1984), Chemical warfare in World War I : the American experience, 1917–1918, Fort Leavenworth, Kansas: Combat Studies Institute, OCLC 123244486
- Herbert, Edwin (2003), Small Wars and Skirmishes 1902–1918: Early Twentieth-century Colonial Campaigns in Africa, Asia and the Americas, Nottingham: Foundry Books Publications, ISBN 1-901543-05-6
- Heyman, Neil M (1997), World War I, Guides to historic events of the twentieth century, Westport, Connecticut: Greenwood Press, ISBN 0-313-29880-7, OCLC 36292837
- Hickey, Michael (2003), The Mediterranean Front 1914–1923, The First World War, 4, New York: Routledge, hlm. 60–65, ISBN 0-415-96844-5, OCLC 52375688
- Hinterhoff, Eugene (1984), Young, Peter, ed., "The Campaign in Armenia", Marshall Cavendish Illustrated Encyclopedia of World War I, New York: Marshall Cavendish, ii, ISBN 0-86307-181-3
- Hooker, Richard (1996), The Ottomans, Washington State University, diakses tanggal 30 December 2008[pranala nonaktif]
- Hoover, Herbert; Wilson, Woodrow (1958), Ordeal of Woodrow Wilson, New York: McGraw-Hill, ISBN 0-943875-41-2, OCLC 254607345
- Hughes, Thomas L (2002), "The German Mission to Afghanistan, 1915–1916", German Studies Review, German Studies Association, 25 (3): 447–476, doi:10.2307/1432596, ISSN 0149-7952, JSTOR 1432596
- Hull, Isabel Virginia (2006), Absolute destruction: military culture and the practices of war in Imperial Germany, Cornell University Press, ISBN 978-0-8014-7293-0
- Isaac, Jad; Hosh, Leonardo (7–9 May 1992), Roots of the Water Conflict in the Middle East, University of Waterloo, diarsipkan dari versi asli tanggal 28 September 2006
- Jenkins, Burris A (2009), Facing the Hindenburg Line, BiblioBazaar, ISBN 978-1-110-81238-7
- Johnson, Douglas Wilson (1921), Battlefields of the World War, Western and Southern Fronts, New York: Oxford University Press, ISBN 1-4326-3739-8, OCLC 688071
- Johnson, James Edgar (2001), Full Circle: The Story of Air Fighting, London: Cassell, ISBN 0-304-35860-6, OCLC 45991828
- Jones, Howard (2001), Crucible of Power: A History of U.S. Foreign Relations Since 1897, Wilmington, Delaware: Scholarly Resources Books, ISBN 0-8420-2918-4, OCLC 46640675
- Kaplan, Robert D (1993), "Syria: Identity Crisis", The Atlantic, diakses tanggal 30 December 2008
- Karp, Walter (1979), The Politics of War (edisi ke-1st), ISBN 0-06-012265-X, OCLC 4593327, Wilson's maneuvering U.S. into war
- Keegan, John (1998), The First World War, Hutchinson, ISBN 0-09-180178-8, general military history
- Keene, Jennifer D (2006), World War I, Westport, Connecticut: Greenwood Press, hlm. 5, ISBN 0-313-33181-2, OCLC 70883191
- Kennedy, David M (2004), Over here: the First World War and American society, Oxford University Press, ISBN 978-0-19-517399-4
- Kernek, Sterling (December 1970), "The British Government's Reactions to President Wilson's 'Peace' Note of December 1916", The Historical Journal, 13 (4): 721–766, doi:10.1017/S0018246X00009481, JSTOR 2637713
- Keynes, John Maynard (1920), The Economic Consequences of the Peace, New York: Harcourt, Brace and Howe, ISBN 0-521-22095-5, OCLC 213487540
- Kitchen, Martin (2000) [1980], Europe Between the Wars, New York: Longman, ISBN 0-582-41869-0, OCLC 247285240
- Knobler, Stacey L, ed. (2005), The Threat of Pandemic Influenza: Are We Ready? Workshop Summary, Washington DC: National Academies Press, ISBN 0-309-09504-2, OCLC 57422232
- Kurlander, Eric (2006), Steffen Bruendel. Volksgemeinschaft oder Volksstaat: Die "Ideen von 1914" und die Neuordnung Deutschlands im Ersten Weltkrieg (Book review), H-net, diakses tanggal 17 November 2009
- <Please add first missing authors to populate metadata.> (1999), Lehmann, Hartmut; van der Veer, Peter, ed., Nation and religion: perspectives on Europe and Asia, Princeton, New Jersey: Princeton University Press, ISBN 0-691-01232-6, OCLC 39727826
- Lewy, Guenter (2005), The Armenian Massacres in Ottoman Turkey: A Disputed Genocide, Salt Lake City, Utah: University of Utah Press, ISBN 0-87480-849-9, OCLC 61262401
- Love, Dave (May 1996), "The Second Battle of Ypres, April 1915", Sabretasche, 26 (4)
- Lyons, Michael J (1999), World War I: A Short History (edisi ke-2nd), Prentice Hall, ISBN 0-13-020551-6
- Ludendorff, Erich (1919), My War Memories, 1914–1918, OCLC 60104290 also published by Harper as "Ludendorff's Own Story, August 1914 – November 1918: The Great War from the Siege of Liege to the Signing of the Armistice as Viewed from the Grand Headquarters of the German Army" OCLC 561160 (original title Meine Kriegserinnerungen, 1914–1918)
- Magliveras, Konstantinos D (1999), Exclusion from Participation in International Organisations: The Law and Practice behind Member States' Expulsion and Suspension of Membership, Martinus Nijhoff Publishers, ISBN 90-411-1239-1
- Maurice, Frederick Barton (18 August 1918), "Foe's reserves now only 16 divisions; Allies' Counteroffensive has reduced them from 60, Gen. Maurice says Ludendorff in dilemma; he must choose between giving up offensive projects and shortening his line", New York Times
- Martel, Gordon (2003), The Origins of the First World War, Pearson Longman, Harlow
- Mawdsley, Evan (2008), The Russian Civil War (edisi ke-Edinburgh), Birlinn location, ISBN 1-84341-041-9
- McDermott, T. P., USA's Boy Scouts and World War I Liberty Loan Bonds (PDF)
- McLellan, Edwin N, The United States Marine Corps in the World War
- Meyer, Gerald J (2006), A World Undone: The Story of the Great War 1914 to 1918, Random House, ISBN 978-0-553-80354-9
- Millett, Allan Reed; Murray, Williamson (1988), Military Effectiveness, Boston: Allen Unwin, ISBN 0-04-445053-2, OCLC 220072268
- Moon, John Ellis van Courtland (1996), "United States Chemical Warfare Policy in World War II: A Captive of Coalition Policy?", The Journal of Military History, Society for Military History, 60 (3): 495–511, doi:10.2307/2944522, JSTOR 2944522
- Morton, Desmond; Granatstein, Jack L (1989), Marching to Armageddon: Canadians and the Great War 1914–1919, ISBN 0-88619-209-9, OCLC 21449019
- Morton, Desmond (1992), Silent Battle: Canadian Prisoners of War in Germany, 1914–1919, Toronto: Lester Publishing, ISBN 1-895555-17-5, OCLC 29565680
- Mosier, John (2001), "Germany and the Development of Combined Arms Tactics", Myth of the Great War: How the Germans Won the Battles and How the Americans Saved the Allies, New York: Harper Collins, ISBN 0-06-019676-9
- Muller, Jerry Z (2008), "Us and Them – The Enduring Power of Ethnic Nationalism", Foreign Affairs, Council on Foreign Relations, diakses tanggal 30 December 2008
- Neiberg, Michael S (2005), Fighting the Great War: A Global History, Cambridge, Mass: Harvard University Press, ISBN 0-674-01696-3, OCLC 56592292
- Nicholson, Gerald WL (1962), Canadian Expeditionary Force, 1914–1919: Official History of the Canadian Army in the First World War (edisi ke-1st), Ottawa: Queens Printer and Controller of Stationary, OCLC 2317262
- Northedge, FS (1986), The League of Nations: Its Life and Times, 1920–1946, New York: Holmes & Meier, ISBN 0-7185-1316-9
- Page, Thomas Nelson, Italy and the World War, Brigham Young University, Chapter XI cites "Cf. articles signed XXX in La Revue de Deux Mondes, 1 and 15 March 1920"
- Perry, Frederick W (1988), The Commonwealth armies: manpower and organisation in two world wars, Manchester University Press, ISBN 978-0-7190-2595-2
- Phillimore, George Grenville; Bellot, Hugh HL (1919), "Treatment of Prisoners of War", Transactions of the Grotius Society, 5: 47–64, OCLC 43267276
- Pitt, Barrie (2003), 1918: The Last Act, Barnsley: Pen and Sword, ISBN 0-85052-974-3, OCLC 56468232
- Price, Alfred (1980), Aircraft versus Submarine: the Evolution of the Anti-submarine Aircraft, 1912 to 1980, London: Jane's Publishing, ISBN 0-7106-0008-9, OCLC 10324173 Deals with technical developments, including the first dipping hydrophones
- Prior, Robin (1999), The First World War, London: Cassell, ISBN 0-304-35256-X
- Raudzens, George (October 1990), "War-Winning Weapons: The Measurement of Technological Determinism in Military History", The Journal of Military History, Society for Military History, 54 (4): 403–434, doi:10.2307/1986064, JSTOR 1986064
- Repington, Charles à Court (1920), The First World War, 1914–1918, 2, London: Constable, ISBN 1-113-19764-1
- Rickard, J (5 March 2001), "Erich von Ludendorff, 1865–1937, German General", Military History Encyclopedia on the Web, HistoryOfWar.org, diakses tanggal 6 February 2008
- Rickard, J (27 August 2007), The Ludendorff Offensives, 21 March-18 July 1918
- Roden, Mike, "The Lost Generation – myth and reality", Aftermath – when the boys came home, diakses tanggal 6 November 2009
- Ross, Stewart Halsey (1996), Propaganda for War: How the United States was Conditioned to Fight the Great War of 1914–1918, Jefferson, North Carolina: McFarland, ISBN 0-7864-0111-7, OCLC 185807544
- Saadi, Abdul-Ilah, Dreaming of Greater Syria, Al Jazeera, diakses tanggal 17 November 2009
- Sachar, Howard Morley (1970), The emergence of the Middle East, 1914–1924, Allen Lane, ISBN 0-7139-0158-6, OCLC 153103197
- Safire, William (2008), Safire's Political Dictionary, Oxford University Press, ISBN 978-0-19-534334-2
- Salibi, Kamal Suleiman (1993), "How it all began – A concise history of Lebanon", A House of Many Mansions – the history of Lebanon reconsidered, I.B. Tauris, ISBN 1-85043-091-8, OCLC 224705916
- Schindler, J (2003), "Steamrollered in Galicia: The Austro-Hungarian Army and the Brusilov Offensive, 1916", War in History, 10 (1): 27–59, doi:10.1191/0968344503wh260oa
- Shanafelt, Gary W (1985), The secret enemy: Austria-Hungary and the German alliance, 1914–1918, East European Monographs, ISBN 978-0-88033-080-0
- Shapiro, Fred R; Epstein, Joseph (2006), The Yale Book of Quotations, Yale University Press, ISBN 0-300-10798-6
- Sheffield, G (2001). Forgotten Victory: The First World War: Myths and Realities (edisi ke-2002). London: Headline Book Publishing. ISBN 0-74727-157-7.
- Souter, Gavin (2000). Lion & Kangaroo: the initiation of Australia. Melbourne: Text Publishing. OCLC 222801639.
- Singh, Jaspal, History of the Ghadar Movement, panjab.org.uk, diakses tanggal 31 October 2007
- Sisemore, James D (2003), The Russo-Japanese War, Lessons Not Learned, U.S. Army Command and General Staff College
- Smele, Jonathan, "War and Revolution in Russia 1914–1921", World Wars in-depth, BBC, diarsipkan dari versi asli tanggal 9 November 2011, diakses tanggal 12 November 2009
- Speed, Richard B, III (1990), Prisoners, Diplomats and the Great War: A Study in the Diplomacy of Captivity, New York: Greenwood Press, ISBN 0-313-26729-4, OCLC 20694547
- Stevenson, David (1996), Armaments and the Coming of War: Europe, 1904–1914, New York: Oxford University Press, ISBN 0-19-820208-3, OCLC 33079190
- Stevenson, David (2004), Cataclysm: The First World War As Political Tragedy, New York: Basic Books, hlm. 560pp, ISBN 0-465-08184-3, OCLC 54001282, major reinterpretation
- Stevenson, David (2005), The First World War and International Politics, Oxford: Clarendon, ISBN 0-19-820281-4, OCLC 248297941
- Gilbert, Martin (1994), First World War, Stoddart Publishing, ISBN 978-0-7737-2848-6
- Strachan, Hew (2004), The First World War: Volume I: To Arms, New York: Viking, ISBN 0-670-03295-6, OCLC 53075929: the major scholarly synthesis. Thorough coverage of 1914
- Strachan, Hew (1998), The Oxford Illustrated History of the First World War, New York: Oxford University Press, ISBN 0-19-820614-3
- Stumpp, Karl; Weins, Herbert; Smith, Ingeborg W (trans) (1997), A People on the Move: Germans in Russia and in the Former Soviet Union: 1763–1997, North Dakota State University Libraries
- Swietochowski, Tadeusz (2004), Russian Azerbaijan, 1905–1920: The Shaping of a National Identity in a Muslim Community, 42, Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-52245-8 , reviewed at JSTOR 1866737
- Taylor, Alan John Percivale (1963), The First World War: An Illustrated History, Hamish Hamilton, ISBN 0-39-950260-2, OCLC 2054370
- Taylor, Alan John Percivale (1998), The First World War and its aftermath, 1914–1919, London: Folio Society, OCLC 49988231
- Taylor, John M (Summer 2007), "Audacious Cruise of the Emden", The Quarterly Journal of Military History, 19 (4): 38–47, doi:10.1353/jmh.2007.0331, ISSN 0899-3718
- Terraine, John (1963), Ordeal of Victory, Philadelphia: J. B. Lippincott, hlm. 508pp, ISBN 0-09-068120-7, OCLC 1345833
- Tschanz, David W, Typhus fever on the Eastern front in World War I, Montana State University, diakses tanggal 12 November 2009
- Tuchman, Barbara Wertheim (1962), The Guns of August, New York: Macmillan, ISBN 978-0-02-620310-4, OCLC 192333, tells of the opening diplomatic and military manoeuvres
- Tuchman, Barbara Wertheim (1966), The Zimmerman Telegram (edisi ke-2nd), New York: Macmillan, ISBN 0-02-620320-0, OCLC 233392415
- Tucker, Spencer C (1999), European Powers in the First World War: An Encyclopedia, ISBN 0-8153-3351-X, OCLC 40417794
- Tucker, Spencer C; Roberts, Priscilla Mary (2005), Encyclopedia of World War I, Santa Barbara: ABC-Clio, ISBN 1-85109-420-2, OCLC 61247250
- Tucker, Spencer C; Wood, Laura Matysek; Murphy, Justin D (1999), The European powers in the First World War: an encyclopedia, Taylor & Francis, ISBN 978-0-8153-3351-7
- von der Porten, Edward P (1969), German Navy in World War II, New York: T. Y. Crowell, ISBN 0-213-17961-X, OCLC 164543865
- Westwell, Ian (2004), World War I Day by Day, St. Paul, Minnesota: MBI Publishing, hlm. 192pp, ISBN 0-7603-1937-5, OCLC 57533366
- Wilgus, William John (1931), Transporting the A. E. F. in Western Europe, 1917–1919, New York: Columbia University Press, OCLC 1161730
- Willmott, H.P. (2003), World War I, New York: Dorling Kindersley, ISBN 0-7894-9627-5, OCLC 52541937
- Winegard, Timothy, "Here at Vimy: A Retrospective – The 90th Anniversary of the Battle of Vimy Ridge", Canadian Military Journal, 8 (2)
- Winter, Denis (1983), The First of the Few: Fighter Pilots of the First World War, Penguin, ISBN 978-0-14-005256-5
- Wohl, Robert (1979), The Generation of 1914 (edisi ke-3), Harvard University Press, ISBN 978-0-674-34466-2
- Zieger, Robert H (2001), America's Great War: World War I and the American experience, Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield, hlm. 50, ISBN 0-8476-9645-6
- <Please add first missing authors to populate metadata.> (28 July 2005), "Country Briefings: Israel", The Economist, diakses tanggal 30 December 2008
- Israeli Foreign Ministry, Ottoman Rule, Jewish Virtual Library, diakses tanggal 30 December 2008
Pranala luar
- The Heritage of the Great War / First World War. Graphic color photos, pictures and music
- A multimedia history of World War I
- British Pathé Online film archive containing extensive coverage of World War I
- The Heritage of the Great War, Netherlands
- The World War I Document Archive Wiki, Brigham Young University
- Maps of Europe covering the history of World War I at omniatlas.com
- The Great War Association – World War One Reenacting
- Your Family History of World War I - Europeana 1914-1918(Crowd-sourcing project)
- EFG1914 - Film digitisation project on First World War