Kitab Ayub

Revisi sejak 25 Desember 2019 08.53 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Kitab Ayub (bahasa Ibrani: איוב, Modern Iyyov Tiberias ʾIyyôḇ; bahasa Arab: أيّوب, ʾAyyūb; bahasa Inggris: Book of Job) adalah salah satu kitab dalam Tanakh) yang juga merupakan bagian dari Perjanjian Lama. Kitab ini merupakan yang pertama dalam kumpulan kitab-kitab syair (= nyanyian atau puisi). Nama Ayub atau Yob ("Yobe") berarti Bekerja dalam bahasa Ibrani.

Kitab ini adalah salah satu kitab yang paling rumit ditelaah di dalam Alkitab. Berbagai eksegesis atas Kitab Ayub menggambarkan upaya-upaya untuk menerangkan kehadiran kuasa jahat sementara Allah yang baik juga ada. Dalam bahasa Yunani, penjelasan ini dikenal dengan istilah teodisi). Ayub menggambarkan upaya untuk mengajarkan agar orang hidup dengan benar, tetapi pada saat yang sama juga melukiskan dengan sinis gambaran tentang hidup yang benar itu. Di tengah-tengah keadaan itu, kitab ini memberikan tanggapan terhadap upaya untuk menjelaskan kehadiran kuasa jahat. Para pakar berbeda pendapat tentang apa tujuan sebenarnya dari puisi yang kini ada di tangan kita dalam bentuk Kitab Ayub. Segelintir orang bahkan mengatakan bahwa kitab ini merupakan satire terhadap mereka yang berusaha menjunjung agama dengan cara yang puritan.

Ringkasan isi

Ayub adalah orang yang berbudi baik dan mempunyai kekayaan yang luar biasa, yang kemudian mengalami musibah hebat. Ia kehilangan semua anaknya dan segala harta bendanya, lalu dihinggapi penyakit kulit yang menjijikkan. Dalam tiga rangkaian percakapan yang bersajak, si penulis menggambarkan bagaimana teman-teman Ayub, dan Ayub sendiri menanggapi malapetaka itu. Pokok yang penting dalam percakapan-percakapan itu ialah yang menyinggung caranya Allah memperlakukan manusia. Pada bagian terakhir, Allah sendiri menyatakan diri-Nya kepada Ayub.

Teman-teman Ayub menjelaskan penderitaan Ayub itu menurut ajaran agama yang tradisional. Pada sangka mereka, Allah selalu mengganjar orang yang baik dan menghukum orang yang jahat. Jadi, penderitaan Ayub hanya dapat berarti bahwa ia telah berbuat dosa. Tetapi bagi Ayub pendapat itu terlalu dangkal; tidak sepantasnya ia mendapat hukuman yang sekejam itu, sebab ia seorang yang sangat baik dan jujur. Ia tidak dapat mengerti mengapa Allah membiarkan orang seperti dirinya mengalami begitu banyak bencana, dan dengan berani ia menantang Allah. Ayub tidak kehilangan kepercayaannya kepada Allah, tetapi ia sungguh-sungguh ingin supaya dibenarkan oleh Allah dan supaya mendapat kembali kehormatannya sebagai orang yang baik.

Allah tidak memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Ayub, tetapi Allah menanggapi kepercayaan Ayub dengan memberinya banyak contoh mengenai kuasa dan hikmat-Nya. Contoh-contoh itu dilukiskan dengan puisi. Kemudian dengan penuh rendah hati, Ayub mengakui kebijaksanaan dan keagungan Allah, lalu menyesali kata-katanya yang keras dan penuh kemarahan itu.

Bagian terakhir dari kisah ini, yang ditulis dengan bahasa biasa, menuturkan bagaimana Ayub dikembalikan kepada keadaannya semula, dengan kekayaan yang jauh melebihi kekayaannya sebelum itu. Allah memarahi teman-teman Ayub karena mereka tidak dapat memahami arti kesengsaraan Ayub. Hanya Ayublah yang sungguh-sungguh menyadari bahwa Allah lebih besar daripada yang telah diajarkan oleh agama yang tradisional itu.

Pengarang

Ada berbagai-bagai pendapat tentang pengarang kitab ini. Dua tradisi Talmud mengatakan bahwa Ayub hidup pada masa Abraham atau Yakub. Lewi ben Laḥma mengatakan bahwa Ayub hidup pada masa Musa, dan Musa adalah penulis Kitab Ayub. Yang lainnya berpendapat bahwa Ayub sendirilah yang menulis kitab ini, atau Elihu, atau Yesaya. Dari bukti-bukti internal, seperti misalnya kesamaan perasaan dan bahasa dengan apa yang ditemukan dalam Kitab Mazmur dan Amsal (lihat Mazmur 88 dan 89), maraknya gagasan tentang "hikmat," dan gaya serta sifat komposisinya, diduga bahwa kitab ini telah ditulis pada masa Raja Daud dan Raja Salomo. Namun, sebagian orang menempatkannya pada masa pembuangan Babel. Tradisi Talmud memperlakukan kisah Ayub sebagai sebuah perumpamaan.

Sebaliknya, pengkajian sekuler tentang teksnya secara umum menyimpulkan bahwa, meskipun ciri-ciri kuno bertahan dalam cerita ini, seperti misalnya "dewan sorgawi" (Ayub 1:6 dst). Meskipun kisah Ayub dikenal oleh Yehezkiel, bentuk Kitab Ayub yang sekarang ini diperkirakan baru dibakukan pada abad ke-4 SM. Kisah Ayub tampaknya berasal dari negeri Edom, yang tetap dipertahankan sebagai latar belakangnya. Potongan-potongan dari Ayub ditemukan di antara Naskah Laut Mati, dan Ayub tetap menonjol dalam legenda Haggadah. Bandingkan dengan Perjanjian Ayub dalam bahasa Yunani di antara kitab-kitab apokrif. Para sarjana sekuler percaya bahwa bagian pengantar dan penutup dari kitab ini, yang merupakan kerangkanya, disusun untuk menempatkan puisi sentralnya ke dalam bentuk prosa "kitab rakyat," seperti yang diungkapkan oleh para penyusun Jewish Encyclopedia (Ensiklopedia Yahudi). Di dalam prolog dan epilog, nama Allah adalah Yahweh, sebuah nama yang bahkan digunakan oleh orang-orang Edom. Para pakar sekuler sepakat bahwa puisi sentralnya berasal dari sumber yang lain.

Waktu penulisan

Ada 2 topik dalam penentuan waktu dalam Kitab Ayub: waktu terjadinya kisah ini dan waktu penulisan kitab.[1]

Waktu terjadinya

Sejumlah faktor menunjukkan bahwa cerita ini mungkin sekali terjadi pada abad ke-20 sampai ke-18 SM, yaitu pada zaman Abraham:[1]

  • Tidak ada penyebutan tentang "Israel" maupun hukum Taurat
  • Usia Ayub yang panjang: lebih dari 140 tahun (42:16)
  • Ayub bertindak sebagai imam untuk keluarganya (1:5), suatu hal yang dilarang menurut hukum Taurat.
  • Kekayaan Ayub diukur dengan ternak (1:3)

Muncul juga tafsiran bahwa Ayub hidup sezaman dengan Nuh karena namanya turut disebutkan dalam kitab Yehezkiel 14:14. Adapun Daniel dalam ayat tersebut diduga bukanlah Daniel yang hidup pada zaman pembuangan ke Babel.

Waktu disusunnya

Sejumlah bukti mengarah kepada masa pemerintahan Salomo, yaitu zaman keemasan sastra Israel:[2]

Sumber Naskah

 
Kitab Ayub lengkap pada Kodeks Leningrad, salinan Teks Masoret yang dibuat tahun 1008.

Struktur naratif

Tema utama kitab ini pencobaan terhadap Ayub, kejadiannya, sifatnya, penanggungannya, dan persoalan yang muncul. Kitab Ayub memiliki struktur yang cukup sederhana, terdiri atas:

  • Ayub 1-2: Pendahuluan/pengantar historis, ditulis dalam bentuk prosa
  • Ayub 3:1-42:6: Kontroversi dan pemecahannya, ditulis dalam bentuk puisi
Berisi perkataan-perkataan Ayub, Elifas, Bildad, dan Zofar dalam tiga babak pembicaraan, kemudian Elihu, dan dialog antara Yahweh dan Ayub.

Ratapan Ayub dalam kitab ini menyatakan nasib yang lebih buruk daripada maut: keputusasaan Ayub dan sikap Allah yang diam.[4] Putaran yang pertama mengawali kontroversinya (ps. 4-14); yang kedua adalah perkembangan kontroversinya (15-21); dan yang ketiga adalah puncaknya (22-27). Ayub menempatkan Allah sebagai terdakwa dalam sumpahnya bahwa ia tidak bersalah (Ayub 27-31). Hal ini diikuti oleh penyelesaian kontrovesinya melalui kata-kata Elihu dan sabda Yahweh, yang diikuti oleh pengakuan Ayub yang penuh dengan kerendahan hati (42:1-6). Ayub mengakui kesalahan dan kebodohannya sendiri. Sebagian orang menafsirkan kata-kata Elihu sebagai klimaks yang palsu karena ia mengulangi argumen-argumen sahabat-sahabat Ayub yang dikecam oleh Allah (Ayub 42:7-8). Pertobatan Ayub kontroversial dan dapat menyiratkan perubahan alur tuntutannya terhadap Allah dan bukan sebuah pengakuan moral tentang dosanya.

  • Ayub 42:7-15: Penutup/kesimpulan historis, ditulis dalam bentuk prosa.[5]

Ada dugaan bahwa pengantar dan bagian-bagian penutup dari kitab ini disusun oleh pengarang yang berbeda dengan isi utama kitab ini, tetapi tidak dapat dibuktikan pasti.

Babak-babak pembicaraan

Dialog dalam pasal 3-31 secara umum merupakan 3 babak pembicaraan antara Ayub, Elifas, Bildad, dan Zofar dengan struktur sebagai berikut:

Babak ke-1
Ayub (Pasal 3)
Elifas (4-5)
Ayub (6-7)
Bildad (8)
Ayub (9-10)
Zofar (11)

Babak ke-2
Ayub (Pasal (12-14)
Elifas (15)
Ayub (16-17)
Bildad (18)
Ayub (19)
Zofar (20)
Ayub (21)

Babak ke-3
Elifas Pasal (22)
Ayub (23-24
Bildad (25:1-5)
Ayub (26; 27-28; (29-31)[5]

Dalam babak ke-3, tampaknya Zofar tidak berbicara, dan perkataan Bildad jauh lebih singkat dari sebelumnya.[5]

Interpolasi dan tambahan

Dalam bentuk yang sudah tersunting dari Kitab Ayub yang ada sekarang ini, diduga termasuk berbagai interpolasi (perubahan) telah dilakukan terhadap teks dari puisi sentralnya. Yang paling jelas interpolasi-interpolasi ini ada dua jenis: "teks paralel" yaitu perkembangan-perkembangan paralel dari bagian-bagian yang berpadanan di dalam teks dasarnya, dan ucapan-ucapan Elihu (pasal-pasal 32-37), yang terdiri atas sebuah polemik terhadap gagasan-gagasan yang diungkapkan di tempat-tempat lain dalam puisi ini, dan dan karena itu muncul sebagai interpolasi interpretatif. Ucapan-ucapan Elihu (yang namanya tidak disebutkan di dalam prolog ataupun epilog) dianggap berlawanan dengan ajaran-ajaran dasariah dari puisi sentral dalam Ayub. Menurut ajaran-ajaran ini, orang yang benar tidak akan mengalami penderitaan, karena penderitaan adalah hukuman atas suatu dosa tertentu yang pernah dilakukan. Namun, Elihu menyimpulkan bahwa penderitaan dapat ditimpakan bagi orang yang benar sebagai perlindungan terhadap dosa yang lebih besar, dan demi moral yang lebih baik lagi.

Masalah yang diperdebatkan di antara para ahli adalah identitas antara koreksi dan revisi dari ucapan-ucapan Ayub, yang dilakukan dengan maksud mengharmonisasikannya dengan doktrin pembalasan yang tradisional. Sebuah contoh yang baik tentang hal ini adalah terjemahan dari baris terakhir dari kata-kata Ayub (42:6). Menurut terjemahan-terjemahan yang tradisional, Ayub mengatakan, "Karena itu aku membenci (atau mengecam) diriku, dan bertobat dalam debu dan abu." Namun, terjemahan yang lebih akurat (dari bahasa Ibrani aslinya) berbunyi, "Karena itu aku mengecam, tetapi bertobat dalam debu dan abu." Hal ini membuat Ayub tidak membenci dirinya sendiri, melainkan debu dan abu, yang merujuk kepada apa yang dipahami sebagai absurditas jagad raya.

Eksegesis Kitab Ayub

Eksegesis umumnya berkaitan dengan pertanyaan, "Apakah kemalangan selalu merupakan hukuman ilahi atas suatu kesalahan?" Ketiga sahabat Ayub berpendapat demikian, sambil menyatakan bahwa kemalangan-kemalangan Ayub adalah bukti bahwa ia pernah melakukan suatu dosa tertentu dan karena itulah ia dijatuhi hukuman. Sahabat-sahabatnya juga mengajukan posisi yang serupa, bahwa nasib baik selalu merupakan ganjaran ilahi atas perbuatan yang positif, dan bahwa bila Ayub mau membuang apa yang dianggap sebagai dosa-dosanya, dengan segera ia akan kembali bernasib baik.

Sebagai jawabannya, Ayub menegaskan bahwa dirinya adalah orang yang benar, dan bahwa karena itu kemalangannya bukanlah hukuman atas apapun juga. Hal ini membangkitkan kemungkinan bahwa Allah bertindak sewenang-wenang. Karena itulah istri Ayub mendesaknya agar ia mengutuki Allah, dan mati. Sebaliknya, Ayub menjawab dengan tenang: "TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" Puncak dari kitab ini terjadi ketika Allah menjawab Ayub, bukan dengan penjelasan untuk penderitaan Ayub melainkan dengan pertanyaan: Di manakah Ayub berada ketika Allah menciptakan dunia? (38:4)

Perbandingan teologi Iblis dengan sahabat Ayub[1]

Iblis Para sahabat
JIKA Ayub diberkati Allah, MAKA ia akan takut akan Allah. JIKA Ayub takut akan Allah, MAKA ia akan diberkati.
atau atau
JIKA Ayub tidak diberkati Allah, MAKA ia akan mengutuki Allah. JIKA Ayub tidak setia kepada Allah, MAKA ia akan dihukum.
Iblis menuduh Allah menyogok pengikut-Nya untuk setia kepada-Nya. Sahabat-sahabat hanya melihat satu hubungan antara kesetiaan dengan berkat, atau ketidak setiaan dengan hukuman.

Jawaban Allah sendiri dapat ditafsirkan dalam berbagai cara. Sebagian orang memandangnya sebagai upaya untuk membuat Ayub rendah hati. Namun Ayub dihiburkan oleh penampakan Allah, dan kenyataan bahwa ia 'telah memandang Allah dan hidup' (42:5), menunjukkan bahwa si pengarang kitab ini lebih peduli tentang apakah Allah hadir atau tidak hadir di dalam kehidupan manusia, daripada persoalan tentang apakah Allah itu adil atau tidak. Pasal 28 menolak usaha-usaha untuk menyelami hikmat ilahi.

Tantangan Allah kepada Ayub[1]

Tantangan Allah Reaksi Ayub
Pertama, kebodohan Ayub (38:1-40:2)
• Ayub tidak hadir waktu dunia diciptakan
• Ayub tidak dapat menjelaskan peristiwa alam
Ayub mengakui kebodohannya dan menjadi diam (40:3-5)
Kedua, kelemahan Ayub (40:6-41:34)
• Ayub tidak dapat mengubah jalan Allah
• Ayub tidak dapat menguasai kekuatan alam
Ayub mengakui kepongahannya dan bertobat (42:2-6)

Penempatan cerita ini di dalam kerangkanya (prolog dan epilog) semakin memperumit kitab ini: dalam bagian pengantarnya Allah, dalam sebuah percakapan dengan Iblis, mengizinkan Iblis menimpakan penderitaan kepada Ayub dan keluarganya. Kesimpulan yang ditambahkan menggambarkan bahwa Allah memulihkan kekayaan Ayub, memberikan kepadanya anak-anak yang baru, dan kemungkinan pula memulihkan kesehatannya, meskipun hal ini tidak disiratkan atau dinyatakan dengan eksplisit. Hal ini menunjukkan bahwa iman orang yang benar memang diberikan ganjaran yang positif.

Iblis di dalam Kitab Ayub?

Nama Iblis (satan) dianggap muncul dalam prolog berbentuk prosa dari Kitab Ayub, tetapi sebenarnya kata yang dipakai, "ha-satan", itu mempunyai konotasi yang berarti "penuduh" atau "lawan," sebagai makhluk yang terpisah. Ia digambarkan sebagai salah satu makhluk sorgawi atau "anak-anak Allah" di hadapan TUHAN. Ia menjawab pertanyaan TUHAN tentang apa yang baru saja dilakukannya, dengan kata-kata: "Dari perjalanan mengelilingi dan menjelajah bumi." (1:7). Baik pertanyaan maupun jawabannya, serta dialog yang muncul kemudian, menggambarkan ha-satan sebagai anggota dari dewan ilahi yang mengawasi aktivitas manusia, tetapi dengan maksud mencari dosa-dosa manusia dan muncul sebagai penuduh mereka. Karena itu, ia berfungsi sebagai jaksa penuduh sorgawi, yang hanya melihat kejahatan. Ia bertahan dalam pandangannya yang jahat tentang Ayub bahkan setelah laki-laki dari tanah Uz itu telah berhasil lulus dengan gemilang dalam ujiannya yang pertama dengan menyerah kepada kehendak Allah. Karena itu ha-satan ini menuntut ujian berikutnya, berupa penderitaan fisik (Ayub 2:3-5). "Penuduh" ini menantang Allah dengan mengatakan bahwa iman Ayub hanyalah dibangun berdasarkan kekayaan materi yang telah diberikan kepadanya, dan bahwa imannya akan lenyap begitu semua kekayaannya diambil daripadanya, dan Allah menerima tantangan ini.

Tetapi ingatlah bahwa keseluruhan cerita tentang "sang lawan" ini muncul dalam kisah kerangkanya saja (sangat singkat), dan tidak pernah disebut-sebut di dalam puisi sentralnya sama sekali (yang sangat panjang). Ada yang menduga bahwa kerangka prosa ini ditulis oleh pengarang yang berbeda, dan dari sudut pandangan teologis yang berbeda pula, ketimbang puisi sentralnya.

Referensi

  1. ^ a b c d Nelson's Complete Book of Bible Maps and Charts. Thomas Nelson, Inc. 1996. ISBN 0-7852-1154-3
  2. ^ The Nelson Study Bible. Thomas Nelson, Inc. 1997
  3. ^ Transkrip Naskah Laut Mati
  4. ^ (Indonesia) W. S. Lasor, dkk. 2009, Pengantar Perjanjian Lama 2. Jakarta: Gunung Mulia. Hlm 113.
  5. ^ a b c Coogan, M. A Brief Introduction to the Old Testament: The Hebrew Bible in its Context. (Oxford University Press: Oxford 2009), p.381.

Lihat pula

Pranala luar

Pranala terkait

Kitab Ayub
Didahului oleh:
Amsal
Alkitab Ibrani Diteruskan oleh:
Kidung Agung
Didahului oleh:
Ester
Perjanjian Lama
Protestan
Diteruskan oleh:
Mazmur
Didahului oleh:
2 Makabe
Perjanjian Lama
Katolik Roma
Didahului oleh:
4 Makabe
Perjanjian Lama
Ortodoks Timur