Khalifah
Bagian dari seri |
Islam |
---|
Khalifah (bahasa Arab: خَليفة; khalīfah) adalah gelar yang diberikan untuk penerus Nabi Muhammad dalam kepemimpinan umat Islam. Wilayah kewenangan khalifah disebut kekhalifahan atau Khilafah (bahasa Arab: خِلافة; khilāfah). Gelar lain yang juga melekat dengan khalifah adalah amīr al-mu'minīn (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang-orang yang beriman", meski pada keberjalanannya, gelar ini juga disandang oleh pemimpin Muslim selain khalifah.
Sepanjang sejarahnya, peran khalifah dan bentuk kekhalifahan memiliki beragam corak yang sangat dipengaruhi keadaan politik dan keagamaan di masa tersebut. Dilihat dari latar belakang khalifah, kekhalifahan dibagi ke dalam empat periode: Kekhalifahan Rasyidin (632–661), Kekhalifahan Umayyah (661–750), Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 dan 1261–1517), dan Kekhalifahan Utsmaniyah (1517–1924).
Kekhalifahan dimulai seiring diangkatnya Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam tepat setelah meninggalnya Nabi Muhammad pada tahun 632. Abu Bakar dan tiga penerusnya, semuanya sahabat Nabi dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad, dikelompokkan sebagai Khulafaur Rasyidin atau Kekhalifahan Rasyidin. Pemilihan keempat khalifah pertama ini didasarkan melalui musyawarah dan kepantasan pribadi calon sehingga Kekhalifahan Rasyidin kerap dipandang sebagai bentuk awal demokrasi Islam.
Setelah perang saudara pertama di penghujung masa Kekhalifahan Rasyidin, Hasan bin 'Ali menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Mu'awiyah yang kemudian mengubah bentuk kekhalifahan menjadi monarki-dinasti, menandai dimulainya masa Kekhalifahan Umayyah. Berpusat di Damaskus, Bani Umayyah memegang tampuk kekhalifahan selama hampir seabad sebelum akhirnya digulingkan kelompok Abbasiyah yang mendirikan kekhalifahan-dinasti mereka sendiri mulai tahun 750. Berbeda dengan masa Khulafaur Rasyidin atau Umayyah, khalifah pada masa Abbasiyah tidak lagi memimpin secara langsung seluruh wilayah dunia Islam dan wilayah kekuasaannya hanya berkisar di kawasan Mesopotamia. Beberapa kepala negara Muslim (bergelar amir atau sultan) memimpin wilayah kekuasaan mereka secara mandiri tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan dan kepala negara Muslim yang lain memberikan ketundukkan mereka secara simbolis kepada khalifah. Berbeda dengan Umayyah yang sangat bercorak Arab, Abbasiyah yang berpusat di kawasan Mesopotamia memberikan corak Persia yang kental pada kekhalifahan.
Fungsi khalifah sebagai kepala negara lenyap seiring jatuhnya Baghdad oleh Mongol pada 1258. Keturunan Abbasiyah yang tersisa melanjutkan tampuk kekhalifahan di Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan Kesultanan Mamluk. Tanpa wilayah kekuasaan dan kekuatan politik yang memadai, khalifah hanya berperan sebagai pemersatu umat Islam secara simbolis sehingga khalifah pada periode ini dikenal sebagai "khalifah bayangan."
Setelah Kesultanan Mamluk ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmani pada 1517, pemimpin Utsmani mengambil gelar khalifah untuk mereka sendiri. Gelar khalifah terbatas hanya sebagai pemimpin simbolis dunia Islam setelah 1258 dan hal itu tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuasaan karena kedudukan mereka sebagai sultan dan padisyah (kaisar), bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, para penguasa Utsmani terbilang sangat jarang menggunakan gelar khalifah (pemimpin umat Islam) mereka dalam perpolitikan dalam dan luar negeri dan lebih sering menggunakan status mereka sebagai sultan dan padisyah (kepala negara Utsmani). Gelar khalifah mulai digunakan penguasa Utsmani pada saat Perjanjian Küçük Kaynarca, untuk menegaskan kedudukannya sebagai pelindung umat Islam di Rusia. Sultan Abdul Hamid II merupakan penguasa Utsmani yang paling sering menggunakan gelar khalifah dalam upayanya menggalang persatuan di dunia Islam untuk menghadapi imperialisme Barat.
Pada November 1922, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan Kesultanan Utsmani dan sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Meski begitu, Mustafa Kemal (Atatürk) belum berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan masyarakat, juga karena kekhalifahan adalah lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia, berbeda dengan Kesultanan Utsmani yang merupakan sebatas negara. Majelis Agung Nasional Turki kemudian mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah Abdul Mejid II pada 19 November 1922. Abdul Mejid II merupakan satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan. Namun karena khawatir Abdul Mejid II akan menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk campur tangan dalam urusan dalam dan luar negeri Turki sebagaimana yang dilakukan para Sultan Utsmani terdahulu, Majelis Agung Nasional Turki akhirnya membubarkan kekhalifahan pada 3 Maret 1924, menjadikan Abdul Mejid II sebagai khalifah terakhir. Negara-negara Muslim mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki dan terdapat beberapa pertemuan para tokoh Muslim terkait keberlangsungan kekhalifahan, tetapi tidak ada kesepakatan bersama yang dapat dicapai.
Khalifah berbeda dengan sultan. Bila khalifah merupakan pemimpin seluruh umat Islam (baik secara hierarkis atau hanya sekadar simbolis), sultan merupakan kepala dari suatu negara Muslim tertentu dan bukan pemimpin umat Muslim secara keseluruhan. Kedua gelar ini kerap disamakan di masa-masa sekarang, sangat mungkin lantaran penguasa Utsmani (negara adidaya Muslim terakhir pada milenium kedua) memegang kedua gelar ini secara bersamaan. Penguasa Utsmani merupakan seorang sultan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara Utsmaniyah dan sebagai khalifah dalam artian pemimpin simbolis seluruh umat Islam.
Etimologi
Kata "khalifah" (bahasa Arab: خَليفة; khalīfah) bermakna "penerus" atau "perwakilan." Dalam Al-Qur'an disebutkan,
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.'"
— [Qur'an Al-Baqarah:030]
"Wahai Dawud, sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah."
Dalam konteks khusus, khalifah adalah pengganti atau penerus Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Kepemimpinan umat ini memiliki dimensi duniawi dan agama, sehingga pada dasarnya, khalifah adalah pemimpin dan pembimbing umat Islam dalam urusan administratif kenegaraan ataupun moral dan agama. Secara tradisi, khalifah sendiri merupakan kependekan dari Khalīfat Rasūl Allāh (penerus utusan Allah).
Khalifah utama
Khulafaur Rasyidin
Segera setelah Nabi Muhammad mangkat pada 632, Abu Bakar diangkat sebagai pemimpin umat Islam di Masjid Nabawi. Dikenal dengan sebutan Ash-Shiddiq (bahasa Arab: اَلـصِّـدِّيْـق, "Tepercaya"), Abu Bakar termasuk salah satu pemeluk Islam awal dan melalui putrinya, 'Aisyah, dia juga merupakan mertua Nabi. Masa kekuasaannya yang singkat dikerahkan untuk menumpas pemberontakan dari berbagai suku Arab yang merasa tidak punya tanggung jawab kesetiaan lagi pada pihak Madinah sepeninggal Nabi Muhammad.[1] Abu Bakar sangat menjaga agar kebijakan yang dia ambil tidak berbeda dengan Nabi Muhammad.
Setelah Abu Bakar mangkat pada 634 dengan meninggalkan keadaan kekhalifahan yang mulai stabil, 'Umar bin Khattab diangkat sebagai khalifah kedua. Sebagaimana Abu Bakar, 'Umar juga merupakan ayah mertua Nabi melalui Hafshah. Di masanya, 'Umar melakukan berbagai pembaharuan dan perluasan. Tapal batas kekhalifahan meluas keluar dari semenanjung Arabia, mengakhiri riwayat Kekaisaran Sasaniyah dan mengambil alih dua pertiga wilayah Kekaisaran Romawi Timur.[2] Segala capaiannya menjadikan 'Umar sebagai salah satu khalifah paling berpengaruh sepanjang sejarah.[3]
'Utsman bin 'Affan meneruskan tampuk kekhalifahan sepeninggal 'Umar dan berbeda dengan pendahulunya, 'Utsman lebih memberikan kekuasaan otonomi yang lebih longgar pada bawahannya. Hal ini menjadikan perluasan wilayah kekhalifahan dapat dilangsungkan secara lebih mandiri, sehingga dapat mencapai wilayah yang lebih jauh. Pada masanya, kekhalifahan sudah mencapai sebagian wilayah Khorasan Raya (kawasan Asia Tengah) di batas timur.[4] Di masanya, masyarakat menjadi lebih makmur dalam masalah ekonomi dan menikmati kebebasan yang lebih besar di bidang politik. Namun 'Utsman juga dikritik karena lebih mendahulukan keluarga besarnya untuk mengisi berbagai kedudukan penting, menjadikan munculnya gelombang demonstrasi besar-besaran yang berujung pada pengepungan rumahnya pada tahun 656. 'Utsman yang tidak ingin menjadi penyebab perang saudara menolak bantuan militer dari kerabat dan pihak lain, menjadikannya terbunuh di akhir pengepungan.[5]
'Ali mewarisi kedudukan khalifah setelahnya. Masa kekuasaannya merupakan salah satu masa-masa tersulit dalam sejarah Islam lantaran pada saat inilah terjadi perang saudara Islam pertama yang berawal dari terbunuhnya 'Utsman. 'Ali dibunuh kelompok Khawarij[6][7][8] dan putranya, Hasan, diangkat menjadi khalifah berikutnya pada 661. Namun beberapa bulan setelahnya, Hasan menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada Mu'awiyah[9][10] demi menghindari perang saudara lebih lanjut.[11]
Di wilayah yang dulu dikuasai Kekaisaran Sasaniyah dan Romawi, khalifah menurunkan pajak dan memberikan kelonggaran otonomi melalui gubernur pilihan mereka. Berkebalikan dengan Romawi, khalifah memberikan kebebasan beragama yang lebih luas dan memberikan masyarakat non-Muslim hak otonomi untuk mengatur urusan mereka sendiri. Segala kebijakan ini mengangkat moral dan kepercayaan masyarakat yang selama ini terbebani dengan pajak tinggi dan segala kekacauan yang diakibatkan Perang Romawi-Persia yang berturut-turut.[12]
Kerap dipandang sebagai bentuk ideal kekhalifahan oleh banyak umat Islam, khalifah pada masa ini memegang peran sebagai pemimpin umat Islam dalam urusan dunia dan agama. Tidak hanya dalam urusan kenegaraan, para khalifah juga merupakan pengambil keputusan dalam berbagai urusan yang berkaitan dengan ibadah. Kekhalifahan sendiri cenderung berwujud negara kesatuan pada masa ini dan para gubernur secara hierarkis berada di bawah khalifah.
Wangsa Umayyah
Setelah Hasan bin 'Ali turun takhta pada 661, Mu'awiyah berkuasa sebagai khalifah. Penetapan putranya sebagai putra mahkota membuat bentuk kekhalifahan berubah menjadi monarki dinasti yang kedudukan kepala negaranya diwariskan hanya di antara keluarga besar penguasa sebelumnya, dan dari sinilah Wangsa Umayyah lahir.[13] Secara silsilah, khalifah dari Wangsa Umayyah terbagi menjadi dua:
- Kelompok Sufyani, yakni yang merupakan keturunan dari Abu Sufyan bin Harb. Ada tiga orang khalifah yang berasal dari garis Sufyani.
- Kelompok Marwani, merujuk kepada Marwan bin al-Hakam dan keturunannya. Ada sebelas orang khalifah yang berasal dari garis Marwani.
Abu Sufyan dan Al-Hakam (ayah Marwan) adalah cucu dari Umayyah bin 'Abd asy-Syams dan dari sini nama Bani Umayyah ditetapkan.
Wangsa Umayyah melanjutkan perluasan wilayah kekhalifahan, meliputi kawasan Transoxiana, Sindh, Arab Maghrib, dan Al-Andalusia, menjadikan kekhalifahan saat itu sebagai salah satu kekaisaran terbesar di dunia yang pernah ada, baik dari segi luas wilayah maupun populasi, dengan luas mencakup 11,100,000 km2 dengan penduduk sekitar 33 juta jiwa.[14]
Pada masa Umayyah, bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi dari kekhalifahan yang terdiri dari penduduk multi-etnis tersebut. Perpindahan agama besar-besaran menjadi mualaf juga terjadi pada masa Umayyah. Pembangunan banyak bangunan Muslim bersejarah juga dibangun pada masa ini, seperti Kubah Shakhrah di kompleks Masjid Al Aqsha dan Masjid Agung Umayyah.[15] Umayyah juga memberikan kebebasan beragama pada umat non-Muslim dan meskipun mereka tidak bisa menempati hierarki teratas lembaga-lembaga penting, banyak yang menjadi pejabat tinggi di pemerintahan, menjadikan sebagian kalangan Muslim menilai bahwa Wangsa Umayyah terlalu sekuler.[16] Umayyah juga mampu menyerap dan menghidupkan berbagai kebudayaan asli dari bangsa-bangsa yang telah tergabung dalam naungan kekhalifahan, salah satunya tercermin dari arsitektur.[17] Masjid Agung Umayyah sebelumnya merupakan katedral Kristen yang dipersembahkan untuk Yohanes Pembaptis (Yahya dalam Islam) yang awalnya merupakan kuil Romawi untuk pemujaan Dewa Yupiter.[18][19]
Terlepas dari segala capaiannya, Umayyah dikritik karena sangat menganakemaskan Muslim Arab dibandingkan Muslim dari etnis lain yang jumlahnya semakin besar. Pembunuhan Husain dalam Pertempuran Karbala pada 680 oleh pihak Umayyah menjadikan perpecahan antara Sunni dan Syiah semakin nyata.[20] Perang saudara juga melanda kekhalifahan mulai tahun 744, menjadikan kendali Wangsa Umayyah atas negara melemah. Gelombang non-Arab yang menjadi mualaf juga mengubah keadaan dalam negeri kekhalifahan karena banyak dari mereka yang lebih terdidik dari bangsa Arab sendiri, sehingga mengubah keadaan politik dalam kekhalifahan.[21] Pada akhirnya, pendukung Bani Hasyim dan garis keturunan 'Ali berhasil meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada 750. Banyak anggota Wangsa Umayyah yang dibunuh setelahnya, di antaranya adalah Marwan bin Muhammad yang merupakan khalifah terakhir dari Wangsa Umayyah di Syam. Di antara anggota Wangsa Umayyah yang selamat adalah 'Abdurrahman ad-Dakhil yang mengungsi ke Al-Andalus dan berkuasa di sana.
Pada masa Umayyah, dimensi keagamaan dalam gelar khalifah memudar seiring menurunnya akhlak dan keagamaan dari sebagian khalifah. Ibnu Katsir menyebutkan kepribadian Khalifah Yazid yang suka mabuk-mabukan.[22] Dari semua khalifah dari Wangsa Umayyah, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dikenal yang paling saleh dan kerap dipandang sebagai khulafaur rasyidin kelima. Meski begitu, peran khalifah sebagai kepala negara dari seluruh dunia Islam masih terjaga.
Wangsa Abbasyiah
Wangsa Abbasiyah memegang tampuk kekhalifahan setelah kekuasaan Umayyah di Syam runtuh pada 750. Keluarga besar ini merupakan keturunan dari 'Abbas bin 'Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad. Berpusat di kawasan Mesopotamia, Abbasiyah mengadopsi secara besar-besaran kebudayaan Persia ke dalam tubuh kekhalifahan.[23]
Pada keberjalanannya, wilayah kekuasaan khalifah pada masa Abbasiyah perlahan semakin menyusut hingga hanya di sekitar Mesopotamia. Banyak pihak mendirikan dinasti mereka sendiri dan menguasai suatu bagian dari dunia Islam seperti Wangsa Idrisiyyah yang menguasai Maroko, Aghlabiyyah yang memerintah di Ifriqiya, Dinasti Thuluniyah di Mesir dan Palestina, Bani Buwaih di Iran, Dinasti Samaniyah di Transoxiana, dan Seljuk yang menguasai wilayah yang sangat luas di kawasan Timur Tengah, Kaukasus, dan Asia Tengah. Sebagian dari penguasa dinasti ini menggunakan gelar amir atau bahkan syahansyah (raja diraja), gelar penguasa Persia pra-Islam. Pada masa ini mulai muncul gelar sultan yang mulai digunakan untuk kepala negara Muslim dan mulai menggeser penggunaan gelar amir. Meski banyak dari dinasti baru ini menguasai wilayah yang jauh lebih luas dari khalifah sendiri dan memerintah secara mandiri tanpa campur tangan khalifah, tetapi para amir dan sultan ini tetap mengakui kedaulatan khalifah atas mereka secara simbolis dan khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan.
Salah satu hal paling menonjol pada masa kekuasaan Abbasiyah adalah dukungan besar mereka pada ilmu pengetahuan, salah satunya adalah pembangunan Baitul Hikmah, tempat penerjemahan, pengumpulan, penggabungan, dan pengembangan ilmu dari kebudayaan Romawi kuno, Tiongkok, Persia, India, Mesir, Afrika Utara, Yunani, dan Romawi Timur. Tidak hanya menjadi jantung kekuasaan dan pemerintahan, Baghdad, dan dunia Islam secara umum, juga menjelma menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, pendidikan, dan kesehatan pada masa yang dikenal dengan zaman keemasan Islam.[24] Pada berbagai bidang - matematika, astronomi, alkimia, kedokteran, optik, dan sebagainya - ilmuwan kekhalifahan berada pada garda terdepan dalam kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu.[25] Tidak hanya Muslim, ilmuwan dari kalangan non-Muslim juga turut memberi sumbangsih besar pada perkembangan ini.
Sastra dan literatur juga menjadi salah satu perhatian pada masa ini. Salah satu fiksi dari dunia Islam yang terkenal hingga saat ini, Seribu Satu Malam, yang merupakan kumpulan hikayat dan legenda, utamanya dikumpulkan pada masa Abbasiyah. Epik ini diyakini mulai terbentuk pada abad kesepuluh dan mencapai bentuk akhirnya pada abad keempat belas, jumlah dan jenis ceritanya berbeda-beda antara satu manuskrip dengan yang lain.[26] Syair Arab juga mencapai puncaknya pada masa ini. Salah satu syair terkenal dalam masalah percintaan adalah Layla dan Majnun.[27] Berbeda pada masa kekhalifahan sebelumnya, peran perempuan dalam ranah publik memudar di zaman Abbasiyah.[28] Budaya Persia pra-Islam, utamanya di kalangan atas, sangat ketat dalam melakukan pemisahan dunia laki-laki dan perempuan. Perempuan kalangan atas hidup dipingit dalam harem sebagai lambang kesucian dan tingginya status sosial keluarga yang bersangkutan.[29][30] Norma tersebut kemudian diadopsi Abbasiyah dan diikuti banyak umat Muslim pada masa-masa berikutnya.[30]
Berbeda pada masa sebelumnya, kekhalifahan sudah tidak bisa dikatakan sebagai negara kesatuan lagi. Banyak dinasti baru bermunculan dan pemimpin mereka berkuasa secara berdaulat tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, mereka masih memberikan ketundukkan mereka kepada khalifah meski hanya sebatas formalitas. Khalifah sendiri masih memiliki peran sebagai kepala negara sebagai penguasa di kawasan Mesopotamia. Peran khalifah sebagai kepala negara baru benar-benar lenyap setelah Hulagu Khan menduduki Baghdad pada 1258 dan membunuh Khalifah 'Abdullah Al-Musta'shim. Setelah peristiwa tersebut, dunia Islam mengalami kekosongan dari kepemimpinan khalifah selama sekitar tiga tahun. Dari naiknya Wangsa Abbasiyah setelah penggulingan Umayyah sampai jatuhnya Baghdad, terdapat 37 khalifah.
Bani Abbasiyah di Kairo
Setelah jatuhnya Baghdad, anggota Wangsa Abbasiyah yang selamat melarikan diri ke Mesir yang saat itu dikuasai Kesultanan Mamluk dan melanjutkan tampuk kekhalifahan di sana mulai tahun 1261. Namun berbeda saat masih di Baghdad, khalifah pada masa ini sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan. Khalifah hanya mengurus permasalahan upacara dan keagamaan, sementara kekuatan politiknya sangat terbatas. Peran khalifah sebagai pemimpin umat Islam yang tadinya memiliki kekuatan politik sebagai kepala negara bergeser menjadi sepenuhnya hanya sekadar simbol. Hal ini mejadikan khalifah sering terombang-ambing saat terjadi guncangan di pemerintahan Mesir. Tidak hanya mampu menunjuk khalifah baru yang dikehendaki, Sultan Mamluk bahkan mampu menggulingkan khalifah yang masih bertakhta saat terjadi perselisihan. Keadaan tersebut membuat khalifah pada periode ini sering disebut sebagai "khalifah bayangan".
Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1517 saat Kesultanan Utsmani yang berpusat di Konstantinopel menduduki Mesir, mengakhiri riwayat Mamluk. Khalifah saat itu, Muhammad Al-Mutawakkil, kemudian menyerahkan gelar khalifah kepada Sultan Utsmani, Selim I, menandai berakhirnya peran Wangsa Abbasiyah dan Quraisy sebagai khalifah. Dari tahun 1261 sampai penaklukkan Mesir oleh Utsmani, terdapat 17 khalifah. Di antara mereka, tiga khalifah menjabat sebanyak dua kali dan seorang khalifah menjabat sebanyak tiga kali. Secara keseluruhan, Wangsa Abbasiyah menyandang gelar khalifah selama hampir tujuh setengah abad, menjadikannya sebagai dinasti terlama yang memegang peran sebagai pemimpin dunia Islam ini sepanjang sejarah kekhalifahan.
Wangsa Utsmaniyah
Sebelum menjadi sebuah kekaisaran lintas benua, Utsmani awalnya adalah sebuah kadipaten kecil di kawasan Anatolia yang merupakan bawahan Kesultanan Seljuk. Saat Seljuk di ambang keruntuhan, kadipaten-kadipaten di Anatolia memerdekakan diri, termasuk kadipaten yang berada di bawah pimpinan Osman. Perlahan kadipaten yang dipimpin Osman dan keturunannya meluaskan wilayah dan menyatukan kadipaten yang lain, juga mulai meluaskan wilayahnya ke kawasan Balkan. Anak keturunannya menggunakan nama Osman untuk nama dinasti dan negara mereka yang semakin berkembang ini, yang kemudian dieja menjadi Utsman atau Utsmaniyah di Indonesia dan Ottoman di Barat.
Seiring menguatnya Kesultanan Utsmaniyah, para pemimpin mereka mulai mengklaim gelar khalifah untuk diri mereka sendiri, meski saat itu Wangsa Abbasiyah yang berada di Mesir masih memegang gelar ini dari generasi ke generasi. Klaim Utsmani atas kepemimpinan dunia Islam semakin menguat saat di bawah kepemimpinan Selim I, mereka menaklukkan Kesultanan Mamluk yang menguasai Mesir, Syam, dan Hijaz pada 1517. Wangsa Abbasiyah yang sejak tahun 1261 hidup dalam perlindungan Mamluk kemudian menyerahkan kedudukan mereka sebagai khalifah kepada pihak Utsmani, menjadikan Selim secara resmi sebagai khalifah pertama dari Wangsa Utsmani dan non-Arab.
Semenjak jatuhnya Baghdad, khalifah kehilangan fungsinya sebagai kepala negara dan hanya berperan sebagai pemimpin dunia Islam secara simbolis. Keadaan itu sebenarnya tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuatan politik atas kedudukan mereka sebagai sultan dan padisyah, bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, penguasa Utsmani sangat jarang menggunakan gelar khalifah pada percaturan politik di dalam dan luar negeri.
Di masa-masa selanjutnya, status penguasa Utsmani sebagai sultan melemah seiring bergesernya kendali pemerintahan di tangan wazir agung (perdana menteri) dan tokoh-tokoh terkemuka lain, tetapi fungsi khalifah justru makin berkembang. Gelar khalifah mulai digunakan saat Perjanjian Küçük Kaynarca (1774) yang dilakukan antara pihak Kesultanan Utsmani yang saat itu dipimpin Sultan Abdul Hamid I (berkuasa 1773 – 1789) dan Kekaisaran Rusia yang dipimpin Maharani Yekaterina II. Atas kemenangan Rusia atas Utsmani pada Perang Kozludzha, Utsmani dipaksa mengakui kedaulatan Kekhanan Krimea yang awalnya merupakan bawahan Utsmani dalam Perjanjian Küçük Kaynarca. Meski secara politik kehilangan Krimea, Abdul Hamid I menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk menegaskan kepemimpinan keagamaannya atas Muslim Krimea. Yekaterina sendiri juga mengklaim sebagai pelindung umat Kristen Ortodoks di wilayah Utsmani pada perjanjian ini.[31] Dari perjanjian ini, status khalifah yang merupakan pemimpin dunia Islam mulai berkembang dari yang hanya sekadar simbol menjadi sebuah gelar yang memiliki kekuatan politik.
Di antara semua penguasa Utsmani, Sultan Abdul Hamid II (berkuasa 1876 – 1909) adalah yang paling sering menggunakan kedudukannya sebagai khalifah. Melalui statusnya sebagai khalifah, Abdul Hamid II berusaha menyatukan masyarakatnya yang multi-etnis atas dasar agama sebagai reaksi atas keadaan Utsmani yang semakin melemah dan terpecah,[32] juga menghimpun kekuatan dari seluruh dunia Islam untuk bersatu dalam melawan imperialisme Barat. Upayanya ini mengancam negara-negara Eropa, yakni Austria melalui Muslim Albania, Rusia melalui Tatar dan Kurdi, Prancis melalui Muslim Maroko, dan Britania Raya melalui Muslim India.[33] Upaya ini membuahkan hasil dalam beberapa hal. Setelah kemenangan Utsmani pada Perang Yunani-Turki, banyak umat Muslim memandang ini sebagai kemenangan Muslim. Pemberontakan dan penolakan penjajahan bangsa Eropa dilaporkan di surat kabar di berbagai wilayah Muslim.[33][34]
Meski berupaya menyatukan dunia Islam, atas permintaan duta Amerika untuk Utsmani Oscar Straus, Abdul Hamid II sepakat untuk menulis surat kepada Suku Suluk di Kesultanan Sulu agar mereka tidak melakukan perlawanan kepada Amerika. Hal ini menjadikan Muslim Sulu mengakui kedaulatan Amerika atas mereka.[35][35][36]
Terlepas dari segala hasil yang dicapai, upaya Abdul Hamid II dalam menyatukan masyarakat dengan identitas Islam tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini karena besarnya jumlah populasi non-Muslim dan pengaruh Eropa atas Utsmani.[37] Setelah Abdul Hamid II digulingkan pada 1909, baik status Sultan Utsmani maupun khalifah kehilangan kekuatan politiknya.
Khalifah lain
Sebagai posisi pemimpin dunia Islam, idealnya hanya ada satu khalifah dalam satu masa. Namun sejarah menyaksikan bahwa dalam beberapa kurun waktu, terdapat beberapa pihak yang mengklaim gelar khalifah selain khalifah utama. Beberapa alasan yang mendasarinya adalah reaksi penolakan atas kebijakan tertentu dari khalifah, kekuatan khalifah utama yang semakin memudar, atau pihak-pihak terkait merasa telah memiliki pengaruh yang cukup besar sehingga dipandang sebagai pemimpin dunia Islam. Mereka ini tidak dimasukkan ke dalam daftar khalifah utama atas dasar mereka klaim mereka sebagai khalifah tidak tersambung dengan khalifah sebelumnya.
Pernyataan pihak-pihak lain ini sebagai khalifah tidak berarti bahwa mereka menyatakan diri sejajar dengan khalifah utama. Khalifah adalah posisi untuk pemimpin dunia Islam dan harusnya hanya ada satu khalifah pada satu masa. Saat pihak ini menyatakan dirinya sebagai khalifah, mereka menyatakan kepemimpinan atas seluruh umat Islam (terlepas wilayah kekuasaan mereka secara de facto) dan sekaligus memandang pihak lain sebagai khalifah yang tidak sah.[38]
'Abdullah bin Zubair
'Abdullah bin Zubair adalah salah satu pihak awal yang melakukan pernyataan diri sebagai khalifah dan menjadi khalifah paralel saat Wangsa Umayyah di Damaskus juga masih menyandang gelar ini. Ayahnya adalah Zubair bin Awwam, keponakan Khadijah binti Khuwailid dari jalur ayah dan sepupu Nabi Muhammad dari jalur ibu. Ibunya adalah Asma', putri Khalifah Abu Bakar dan kakak ipar Nabi Muhammad.
'Abdullah bin Zubair pada awalnya menolak kesetiaan kepada khalifah setelah Mu'awiyah bin Abu Sufyan melantik putranya sendiri, Yazid, sebagai putra mahkota. Setelah Yazid mangkat setelah tiga tahun berkuasa dan kekuasaan diwariskan kepada putranya, Mu'awiyah II, 'Abdullah bin Zubair menyatakan dirinya sebagai amirul-mu'minin, salah satu gelar lain untuk khalifah.[39][40] Kedudukannya sebagai khalifah diakui oleh masyarakat Hijaz, Yaman, Mesir, dan Iraq. Kekuasaan 'Abdullah bin Zubair berakhir saat Khalifah 'Abdul Malik bin Marwan mengutus Al-Hajjaj bin Yusuf untuk menundukkannya. Al-Hajjaj mengepung Makkah selama sekitar enam bulan dan banyak dari para pengikut 'Abdullah bin Zubair menyerah pada masa ini. 'Abdullah bin Zubair tetap menolak untuk menyerah dan melanjutkan perlawanan sampai dia terbunuh pada Oktober atau November 692.[39][41]
Wangsa Fatimiyah
Wangsa Fatimiyah adalah dinasti beraliran Syi'ah Ismailiyah yang menyatakan diri sebagai keturunan putri bungsu Nabi Muhammad, Fatimah az-Zahra. Mereka mengklaim gelar khalifah mulai tahun 909 dan menjadi khalifah pesaing dari Wangsa Abbasiyah yang bertakhta di Mesopotamia. Pada masa puncaknya, Fatimiyah menguasai kawasan Afrika Utara, Sisilia, Syam, dan Hijaz. Fatimiyah awalnya berkuasa di kawasan Tunisia dan kemudian memindahkan ibu kotanya di Kairo setelah Mesir ditaklukkan pada 969.[42]
Fatimiyah membentuk tentara berlandas etnis yang terbukti membawa keberhasilan di medan perang, tetapi tidak dalam ranah politik dalam negeri. Perselisihan antar kelompok militer menjadikan kekuasaan dinasti ini merosot dengan cepat pada akhir abad kesebelas dan abad kedua belas. Shalahuddin mengakhiri kekuasaan dinasti ini pada 1171, mendirikan dinasti Al-Ayyubi yang menyatakan kesetiaan pada Wangsa Abbasiyah.[43] Terdapat empat belas khalifah dari Wangsa Fatimiyah dan mereka berkuasa dalam rentang waktu lebih dari dua setengah abad.
Khalifah di Kordoba
Semenanjung Iberia, juga dikenal dengan Al-Andalusia, telah menjadi bagian dari kekhalifahan pada masa Umayyah. Setelah kekuasaan Umayyah di Syam runtuh pada 750, 'Abdurrahman ad-Dakhil pergi ke semenanjung Iberia dan menjadi penguasa di sana setelah menggulingkan penguasa sebelumnya, memerintah kawasan Iberia dari kota Kordoba. Meski moyangnya telah menyandang gelar khalifah selama hampir seabad saat berkuasa di Syam, anggota Wangsa Umayyah yang berkuasa di Iberia awalnya hanya menyandang gelar "amir" (setara dengan 'adipati') dan mengakui klaim pihak Abbasiyah sebagai pemimpin seluruh umat Islam,[44] meski perselisihan di antara kedua belah pihak masih berlanjut.
Namun setelah Fatimiyah yang mengklaim gelar khalifah mulai mengancam kekuasaan Umayyah di Al-Andalus, keturunan 'Abdurrahman ad-Dakhil, 'Abdurrahman III, menyatakan dirinya sebagai khalifah pada 16 Januari 929.[45] Hal ini menjadikan terdapat tiga pihak yang mengklaim gelar khalifah: Abbasiyah di Baghdad, Fatimiyah yang berpusat di Mesir, dan penguasa di Kordoba. Tak hanya dalam masalah kekuasaan, Kordoba juga menjadi pesaing Baghdad terkait perannya sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya.[46][47] Pada masa Al-Hakam II, perpustakaan istana memiliki 500.000 volume buku. Sebagai perbandingan, Biara Santo Gallen di Swiss hanya memiliki 100 volume.[48] Universitas di Kordoba juga menjadi yang paling terkenal di dunia kala itu, didatangi murid Muslim ataupun Kristen dari segala penjuru Eropa Barat. Universitas ini melahirkan seratus lima puluh penulis. Universitas dan perpustakaan lain juga tersebar di kawasan Iberia pada masa ini.[49]
Pada keberjalanannya, kekuasaan Wangsa Umayyah di Andalusia semakin melemah, menjadikan Wangsa Hammud, sebuah dinasti Muslim Arab-Berber, mampu merebut tampuk kekhalifahan selama beberapa waktu.[48] Umayyah dapat mengambil kembali status khalifah, tetapi negara tersebut sudah sangat melemah dengan beberapa wilayah telah lepas dari kendali khalifah. Penggulingan Hisyam III pada 1031 menjadi akhir dari riwayat khalifah di Kordoba. Setelahnya, wilayah yang dulu dikuasai khalifah terpecah menjadi negara-negara kecil yang disebut taifa.[50] Meski khalifah di Kordoba hanya bertahan selama sekitar satu abad, kekuasaan umat Muslim di Andalusia masih berlanjut sampai Wangsa Nasrid penguasa Granada dikalahkan pihak Katolik Spanyol pada 1492.
Keruntuhan kekhalifahan
Setelah Abdul Hamid II digulingkan pada 1909, dua sultan penerusnya hampir kehilangan kekuatan politik sepenuhnya dan hanya berperan sebagai lambang kepala negara semata tanpa kekuasaan yang nyata. Kesultanan Utsmaniyah kehilangan sebagian besar wilayahnya setelah kalah dalam Perang Dunia I, menjadikan hanya menguasai kawasan Anatolia dan ujung tenggara Balkan. Istanbul (Konstantinopel) dikuasai Britania Raya setelahnya, menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor pemerintahan dengan paksa.
Kekalahan Utsmani menimbulkan reaksi yang disebut Gerakan Khilafat sebagai bentuk kekhawatiran akan kesatuan umat Islam. Meski gerakan ini didengungkan di berbagai belahan dunia Islam, kegiatannya paling banyak dilangsungkan di India sehingga juga disebut Gerakan Muslim India. Sebagai pemenang perang, pihak Eropa menjanjikan untuk melindungi status penguasa Utsmani sebagai khalifah, tetapi Perjanjian Sèvres yang ditandatangani pada 1920 menjadikan kawasan Iraq, Syam, dan Mesir diserahkan pada negara-negara Eropa.
Pada 1 November 1922, Majelis Agung Nasional Turki secara resmi membubarkan Kesultanan Utsmani. Sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Setelah pembubaran Utsmani, Republik Turki yang berasaskan sekuler didirikan dengan Mustafa Kemal sebagai presiden pertamanya.
Meski demikian, Mustafa Kemal tidak berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan rakyat. Meski sudah kehilangan peran politiknya sejak lama, khalifah tetap dipandang sebagai lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia. Pembubaran kesultanan juga lebih mudah lantaran keberlangsungan kekhalifahan saat itu menyenangkan para pendukung kesultanan. Pada 17 November 1922, Majelis Agung Nasional Turki mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah Abdul Mejid II. Hal ini menjadikan Abdul Mejid II sebagai satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan.
Hal tersebut menjadikan keadaan di Turki terbelah dengan pemerintahan republik yang baru di satu sisi dan pemerintahan Islam yang dikepalai khalifah di sisi lain. Khalifah memiliki perbendaharaan pribadi dan pelayanan pribadi, termasuk personel militer. Abdul Mejid II juga menerima duta asing, juga turut serta dalam upacara dan perayaan resmi.[51] Mustafa Kemal mengkhawatirkan bahwa Abdul Mejid II nantinya akan memegang kendali urusan negara selayaknya seorang sultan.[52]
Dalam keadaan seperti ini, Maulana Mohammad Ali dan Maulana Syaukat Ali yang merupakan pemimpin Gerakan Khilafat menyebarkan pamflet yang menyerukan rakyat Turki untuk mendukung kekhalifahan demi kepentingan Islam. Oleh pihak republik, hal ini dipandang sebagai campur tangan pihak asing yang dapat membahayakan keamanan negara. Hal ini menjadi pembenaran Mustafa Kemal untuk mengakhiri kekhalifahan. Pada 3 Maret 1924, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan kekhalifahan dan mengasingkan Abdul Mejid II beserta para pangeran dan putri Wangsa Utsmaniyah dari Republik Turki.[53][54]
Pasca pembubaran kekhalifahan
Banyak pihak mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki secara sepihak.[55] Syarif Makkah, Husain bin Ali, mengklaim gelar khalifah untuk dirinya sendiri. Mantan Sultan Mehmed VI memberi dukungan melalui telegram kepada Husain,[56] tetapi pengakuannya tidak diterima oleh semua umat Muslim. Setelah Husain turun takhta, putranya tidak melanjutkan klaim ayahnya sebagai khalifah.[57]
Pada Mei 1926, diselenggarakan pertemuan di Kairo terkait upaya untuk kembali menegakkan kekhalifahan, tetapi banyak negara Muslim yang tidak hadir dan tidak ada tindakan nyata setelah pertemuan tersebut.[55] Dua konferensi Islam juga diselenggarakan di Makkah (1926) dan Yerusalem (1927), tetapi tidak mencapai kesepakatan.[55]
Pada perkembangan selanjutnya, gelar Amir al-Mukmin disandang oleh Raja Maroko dan Mullah Mohammed Omar, pemimpin rezim Taliban di Afganistan, tetapi kebanyakan Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Saat ini banyak pecahan negara-negara muslim yang membentuk Organisasi Konferensi Islam atau OKI, sebuah organisasi internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan negara-negara mayoritas Muslim.
Peran dan kedudukan khalifah
Kebanyakan akademisi menyetujui bahwa Nabi Muhammad tidak secara langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah mengenai pihak yang paling berhak menggantikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam dan batasan kekuasaan yang dimilikinya.
Pengganti Nabi Muhammad
Fred M. Donner dalam bukunya The Early Islamic Conquests (1981) berpendapat bahwa kebiasaan bangsa Arab ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (bani dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam syuro atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki keterkaitan silsilah dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
Hingga pada tiba saatnya Nabi Muhammad meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan umat Islam hingga saat ini apa yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum Muslim. Namun dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum Muslim yang hadir dalam musyawarah saat itu meyakini bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah penerus kepemimpinan umat Islam karena sebelum Nabi Muhammad meninggal, ia dipercaya untuk menggantikan posisi sebagai imam shalat. Pada akhirnya, Abu Bakar pun terpilih menjadi khalifah pertama dalam sejarah Islam.
Namun beberapa kalangan dari kaum Muslim Makkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa Nabi Muhammad telah memberikan banyak tanda yang menunjukan bahwa Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantunya, sebagai pengganti dirinya dan semua khalifah yang diangkat sebelum 'Ali dipandang sebagai khalifah yang tidak sah. Hal inilah yang memicu munculnya kaum Syiah belakangan pada masa kekhalifahan Muawiyah, lebih tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir.
Kekuasaan
"Siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad" bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi umat Islam saat itu; tetapi juga menetapkan seberapa besar kekuasaan pengganti sang nabi. Berbeda dengan Nabi Muhammad, tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi Al-Quran, dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadits dan kekuasaannya pun dibatasi keduanya.
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam Al-Quran. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's Caliph, menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.[butuh rujukan] Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran spiritual para ulama.[butuh rujukan] Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan pandangan yang berlebihan kepada para imam, tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua ilmuwan setuju akan hal ini.
Kebanyakan Muslim Sunni saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat khalifah pertama sebagai Khulafaur Rasyidin, Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada hukum yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan syariat.
Karakter kepemimpinan
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini didasarkan pada hadis yang berbunyi:
"It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did well."
Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu di mana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.[58]
Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah pada hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif.
Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:
"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia."
Landasan agama
Al-Qur'an
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."
— [Qur'an An-Nur:055]
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
— [Qur'an An-Nisa’:059]
Hadits
Nabi Muhammad bersabda,
"Bani Israil, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku. Yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya". Para sahabat bertanya; "Apa yang Anda perintahkan kepada kami?". Nabi Muhammad menjawab: "Penuihilah bai'at kepada khalifah yang pertama (lebih dahulu diangkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang pemerintahan mereka". (H.R. Bukhari) [59]
"Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya ." (H.R. Muslim) [60]
"Kekhalifahan di ummatku selama tiga puluh tahun kemudian setelah itu kerajaan." (H.R. Tirmidzi) [61] [62]
“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yg Allah kehendaki Allah mengangkat atau menghilangkan kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yg sangat kuat selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan [kejam] selama yg Allah kehendaki kemudian Allah mengangkat bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (H.R. Ahmad) [63] [64]
Ijma’ Sahabat
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan pemimpin tampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi Muhammad dan mendahulukan pengangkatan seorang pemimpin. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Muhammad ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Muhammad. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Muhammad sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat pemimpin daripada menguburkan jenazah.
Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menyampaikan bahwa dia tidak mau dipanggil sebagai khalifatullah dan lebih memilih jika dipanggil sebagai khalifatur-rasul.[65] [66]
Ada satu riwayat dari Umar bin Khattab pernah menanyakan kepada Salman, “Saya ini seorang Raja atau Khalifah?” Salman manjawab, “Jika engkau mengambil (hasil) dari bumi kaum Muslimin satu dirham atau lebih, lalu engkau pergunakan tidak pada tempatnya (berbuat zalim), maka sesungguhnya engkau adalah raja bukan Khalifah”. Mendengar jawaban itu Umar bin Khattab menangis. [66]
Dalil Dari Kaidah Syar’iyah
Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya."[butuh rujukan] Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam.
Pendapat Para Ulama
Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyatakan,
"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya."[67]
Imam Asy-Syaukani menuliskan,
"Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’."[68]
Ibnu Hazm mengatakan,
"Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."[69]
Beberapa tulisan ulama yang menilai wajibnya keberadaan khilafah di antaranya Imam Al Mawardi dalam Al Ahkamush Shulthaniyah, hlm. 5; Abu Ya’la Al Farraa’ dalam Al Ahkamush Shulthaniyah, hlm.19; Ibnu Taimiyah dalam As Siyasah Asy Syar’iyah, hlm.161; Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa, jilid 28, hlm. 62; Imam Al Ghazali dalam Al Iqtishaad fil I’tiqad, hlm. 97; Ibnu Khaldun dalam Al Muqaddimah, hlm. 167; Imam Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi, juz 1, hlm.264; Ibnu Hajar Al Haitsami dalam Ash Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 17; Ibnu Hajar A1 Asqallany dalam Fathul Bari, juz 13, hlm. 176; Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim, juz 12, hlm. 205; Dr. Dhiya’uddin Ar Rais dalam Al Islam Wal Khilafah, hlm.99; Abdurrahman Abdul Khaliq dalam Asy Syura, hlm.26; Abdul Qadir Audah dalam Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hlm. 124; Dr. Mahmud Al Khalidi dalam Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hlm. 248; dan Sulaiman Ad Diji dalam Al Imamah Al ‘Uzhma, hlm. 75; Muhammad Abduh dalam Al Islam Wan Nashraniyah, hlm. 61.
Sedangkan beberapa karya ulama dan tokoh Islam yang menyatakan ketidakwajiban khalifah di antaranya adalah Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, dan Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholish Madjid.
Daftar Khalifah
Berikut ini adalah daftar khalifah. Seluruh tahun sesuai dengan tahun Masehi.
- Khalifah utama
Khalifah utama merujuk pada para khalifah yang garis kepemimpinannya tersambung dengan khalifah sebelumnya hingga Abu Bakar, khalifah pertama. Pada umumnya, khalifah utama ini diakui oleh hampir semua dunia Islam. Ketersambungan kepemimpinan ini setidaknya terdapat beberapa macam:
- Penunjukkan. Seorang khalifah menunjuk seseorang untuk menjadi penerusnya. Hal ini seperti yang dilakukan Abu Bakar kepada 'Umar bin Khattab, Mu'awiyah kepada Yazid, dan Sulaiman bin 'Abdul Malik kepada 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Dalam cara ini, seseorang yang telah ditunjuk akan menjadi khalifah setelah khalifah lama mangkat.
- Pengangkatan. Seorang khalifah baru diangkat oleh dewan musyawarah, majelis negara, atau pihak berwenang lain yang merupakan bagian dari pemerintahan khalifah sebelumnya. Bila tidak, tokoh berpengaruh yang semula berada di luar lingkaran dalam khalifah lama dapat menunjuk seseorang calon dan disetujui para pemuka dari anggota pemerintahan khalifah sebelumnya. Contoh kasusnya adalah pengangkatan 'Ali bin Abi Thalib dan Marwan bin al-Hakam.
- Pewarisan. Metode ini biasanya dilakukan dalam sistem monarki dinasti yang menunjuk anggota keluarga besar penguasa lama sebagai penerus. Sistem pewarisan ini tidak harus menurunkan jabatan yang bersangkutan dari orang tua kepada anak, tapi bisa juga kepada kerabat lain yang masih dipandang sebagai satu keluarga besar dengan penguasa lama. Di masa Abbasiyah sendiri, tampuk kekhalifahan sering diwariskan dari penguasa lama ke saudaranya, sepupunya, atau keponakannya.
- Penyerahan. Seorang khalifah lama menyerahkan kedudukannya kepada orang yang dia tunjuk. Berbeda dengan metode penunjukkan, penyerahan berarti khalifah lama masih hidup dan turun takhta sehingga khalifah baru dilantik saat pendahulunya masih hidup dalam keadaan sudah bukan merupakan khalifah lagi. Hal ini pernah dilakukan Hasan bin 'Ali yang menyerahkan kedudukannya kepada Mu'awiyah dan Muhammad al-Mutawakkil III kepada Selim I.
- Penggulingan. Khalifah baru mendapat kedudukannya setelah menggulingkan khalifah sebelumnya. Hal ini terjadi pada Wangsa Abbasiyah yang menggulingkan Wangsa Umayyah.
Selain lima metode tersebut, ada juga beberapa kasus khusus.
- Pemilihan 'Utsman menjadi khalifah merupakan gabungan dari metode penunjukkan dan pengangkatan. Di ranjang kematian, 'Umar menunjuk enam orang untuk memilih salah satu di antara mereka menjadi khalifah.
- Wangsa Abbasiyah mulai abad kesembilan secara praktik menggunakan gabungan pewarisan dan pengangkatan. Khalifah harus merupakan keluarga Abbasiyah, tapi para tokoh militer berpengaruh kerap campur tangan secara terbuka. Pada masa-masa Khalifah Abbasiyah kehilangan sebagian besar pengaruhnya, para pemuka militer ini bahkan memiliki kekuatan untuk menurunkan khalifah yang sudah dipandang tidak layak.
Kekhalifahan dimulai sejak Abu Bakar dilantik menjadi khalifah pada 632 dan pembubaran kekhalifahan pada 3 Maret 1924. Sesuai latar belakang masing-masing khalifah, kekhalifahan dibagi menjadi beberapa masa.
- Khulafaur Rasyidin
- Wangsa Umayyah
- Wangsa Abbasiyah
- Wangsa Utsmaniyah
Khulafaur Rasyidin (632–661)
# | Nama Berkuasa |
Kaligrafi | Rentang usia | Catatan |
---|---|---|---|---|
1 | 'Abdullah Abu Bakar أبو بكر 8 Juni 632 (11 H) – 22 Agustus 634 (13 H) (2 tahun, 76 hari) |
573 – 22 Agustus 634 |
| |
2 | ʿUmar bin Khattab عمر بن الخطاب 23 Agustus 634 (13 H) – 3 November 644 (23 H) (10 tahun, 73 hari) |
584 – 3 November 644 |
| |
3 | 'Utsman bin 'Affan عثمان بن عفان 11 November 644 (23 H) – 20 Juni 656 (35 H) (11 tahun, 223 hari) |
579 – 20 Juni 656 |
| |
4 | 'Ali bin Abi Thalib علي بن أبي طالب 20 Juni 656 (35 H) – 29 Januari 661 (40 H) (4 tahun, 224 hari) |
15 September 601 – 29 Januari 661 |
|
Khalifah Hasan bin 'Ali (661)
# | Nama Berkuasa |
Kaligrafi | Rentang usia | Catatan |
---|---|---|---|---|
5 | Ḥasan bin 'Ali الحسن بن علي 661 (enam atau tujuh bulan) |
1 Desember 624 – 1 April 670 |
|
Wangsa Umayyah (661–750)
Secara silsilah, khalifah dari Wangsa Umayyah dibagi menjadi dua:
- Kelompok Sufyani, yakni yang merupakan keturunan dari Abu Sufyan bin Harb. Ada tiga orang khalifah yang berasal dari garis Sufyani.
- Kelompok Marwani, merujuk kepada Marwan bin al-Hakam dan keturunannya. Ada sebelas orang khalifah yang berasal dari garis Marwani.
Abu Sufyan dan Al-Hakam (ayah Marwan) adalah cucu dari Umayyah bin 'Abd asy-Syams dan dari sini nama Bani Umayyah ditetapkan.
# | Nama Berkuasa |
Kaligrafi | Rentang usia | Catatan |
---|---|---|---|---|
6 | Mu'awiyah bin Abu Sufyan معاوية بن أبي سفيان 661 – 26 April 680 (60 H) |
602 – 26 April 680 |
| |
7 | Yazid bin Mu'awiyah زيد بن معاوية 26 April 680 – 11 November 683 (3 tahun, 200 hari) |
647 – 11 November 683 |
| |
8 | Mu'awiyah bin Yazid معاوية بن يزيد 11 November 683 – 684 |
sekitar 664 – sekitar 684 |
| |
9 | Marwan bin al-Hakam مروان بن الحكم Juni 684 – 12 April 685 |
623 atau 626 – April 685 |
| |
10 | 'Abdul Malik bin Marwan عبد الملك ابن مروان 12 April 685 – 8 Oktober 705 (20 tahun, 180 hari) |
646 – 8 Oktober 705 |
| |
11 | Al-Walid bin 'Abdul Malik الوليد بن عبد الملك 8 Oktober 705 – 23 Februari 715 (9 tahun, 139 hari) |
668 – 23 Februari 715 |
| |
12 | Sulaiman bin 'Abdul Malik سليمان بن عبد الملك 23 Februari 715 – 22 September 717 (2 tahun, 212 hari) |
674 – 22 September 717 |
| |
13 | 'Umar bin 'Abdul 'Aziz عمر بن عبد العزيز 22 September 717 – 5 Februari 720 (2 tahun, 137 hari) |
2 November 682 – 4 Februari 720 |
| |
14 | Yazid bin 'Abdul Malik يزيد بن عبد الملك 5 Februari 720 – 26 Januari 724 (3 tahun, 356 hari) |
687 – 26 Januari 724 |
| |
15 | Hisyam bin 'Abdul Malik هشام بن عبد الملك 26 Januari 724 – 6 Februari 743 (19 tahun, 12 hari) |
691 – 6 Februari 743 |
| |
16 | Al-Walid bin Yazid الوليد بن يزيد 6 Februari 743 – 17 April 744 (1 tahun, 72 hari) |
Berkas:(أمير المؤمنين أبي العباس الوليد بن يزيد الأموي القرشي العبشمي (رحمه الله.png | 709 – 17 April 744 |
|
17 | Yazid bin Al-Walid bin 'Abdul Malik يزيد بن الوليد 17 April 744 – 4 Oktober 744 (171 hari) |
701 – 4 Oktober 744 |
| |
18 | Ibrahim bin Al-Walid bin 'Abdul Malik ابراهيم ابن الوليد 4 Oktober 744 – 4 Desember 744 (62 hari) |
mangkat 25 Januari 750 |
| |
19 | Marwan bin Muhammad مروان بن محمد 4 Desember 744 – 25 Januari 750 (5 tahun, 53 hari) |
mangkat 6 Agustus 750 |
Wangsa Abbasiyah (750-1258, 1261–1517)
Wangsa Abbasiyah adalah keluarga besar yang merupakan keturunan dari 'Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi Muhammad. Silsilah dari ayah dari dua khalifah Bani Abbasiyah pertama adalah Muhammad bin 'Ali bin 'Abdullah bin 'Abbas. Masa Kekhalifahan Bani Abbasiyah dibagi ke dalam dua periode. Periode pertama adalah sebelum jatuhnya Baghdad pada 1258 dan periode kedua adalah setelah penaklukan Baghdad.
Periode pertama (750-1258)
Pada masa ini, khalifah tidak lagi memiliki kendali langsung atas semua wilayah negara Islam. Gelar sultan mulai digunakan untuk merujuk pada penguasa Muslim yang menguasai wilayah tertentu di dunia Islam, berbeda dengan khalifah yang merupakan pemimpin seluruh dunia Islam. Namun dalam praktiknya, daerah kekuasaan beberapa sultan lebih luas daripada wilayah yang dipimpin langsung oleh khalifah. Meski sepenuhnya mandiri dari campur tangan khalifah dalam memerintah wilayah kekuasaannya, para sultan ini tetap menyatakan ketundukannya kepada khalifah meski hanya secara simbolis. Terdapat 37 khalifah pada masa ini, terhitung dari 'Abdullah as-Saffah naik takhta sampai terbunuhnya 'Abdullah al-Musta'shim pada 1258 saat Baghdad jatuh ke tangan Mongol.
# | Nama Berkuasa |
Gambar | Rentang usia | Catatan |
---|---|---|---|---|
20 | 'Abdullah As-Saffah عبد الله السفاح 25 Januari 750 – 10 Juni 754 (4 tahun, 137 hari) |
721 – 10 Juni 754 |
| |
21 | 'Abdullah Al-Manshur عبد الله المنصور 10 Juni 754 – 6 Oktober 775 (21 tahun, 119 hari) |
714 – 6 Oktober 775 |
| |
22 | Muhammad Al-Mahdi محمد المهدي 6 Oktober 775 – 24 Juli 785 (9 tahun, 262 hari) |
744 atau 745 – 24 Juli 785 |
| |
23 | Musa Al-Hadi موسى الهادي 24 Juli 785 – 14 September 786 (1 tahun, 83 hari) |
26 April 764 – 14 September 786 |
| |
24 | Harun Ar-Rasyid هَارُون الرَشِيد 14 September 786 – 24 Maret 809 (22 tahun, 192 hari) |
17 Maret 766 – 24 Maret 809 |
| |
25 | Muhammad Al-Amin محمد الأمين 24 Maret 809 – 27 September 813 (4 tahun, 188 hari) |
787 – 27 September 813 |
| |
26 | 'Abdullah Al-Ma'mun عبد الله المأمون 27 September 813 – 7 Agustus 833 (19 tahun, 315 hari) |
14 September 786 – 7 Agustus 833 |
| |
27 | Muhammad Al-Mu'tashim Billah محمد المعتصم بالله 9 Agustus 833 – 5 Januari 842 (8 tahun, 150 hari) |
Oktober 796 – 5 Januari 842 |
| |
28 | Harun Al-Watsiq Billah هارون الواثق باللہ 5 Januari 842 – 10 Agustus 847 (5 tahun, 218 hari) |
18 April 812 – 10 Agustus 847 |
| |
29 | Ja'far Al-Mutawakkil 'Alallah جعفر المتوكل على الله 10 Agustus 847 – 11 Desember 861 (14 tahun, 124 hari) |
31 Maret 822 – 11 Desember 861 |
| |
30 | Muhammad Al-Muntashir Billah محمد المنتصر بالله 11 Desember 861 – 7 Juni 862 (179 hari) |
November 837 – 7 Juni 862 |
| |
31 | Ahmad Al-Musta'in Billah أحمد المستعين بالله 8 Juni 862 – Januari 866 (sekitar 3 tahun 7 bulan) |
834/836 – 866 |
| |
32 | Muhammad Al-Mu'tazz Billah محمد المعتز بالله 25 Januari 866 – 13 Juli 869 (3 tahun, 170 hari) |
847 – Juli/Agustus 869 |
| |
33 | Muhammad Al-Muhtadi Billah محمد المهتدي بالله 21 Juli 869 – 17 Juni 870 (332 hari) |
833 – 21 Juni 870 |
| |
34 | Ahmad Al-Mu'tamid 'Alallah أحمد المعتمد على الله 19 Juni 870 – 15 Oktober 892 (22 tahun, 119 hari) |
sekitar 842 – 15 Oktober 892 |
| |
35 | Ahmad Al-Mu'tadhid Billah أحمد المعتضد بالله 15 Oktober 892 – 5 April 902 (9 tahun, 173 hari) |
857 – 5 April 902 |
| |
36 | 'Ali Al-Muktafi Billah علي المكتفي بالله 5 April 902 - 13 Agustus 908 (6 tahun, 131 hari) |
877 – 13 Agustus 908 |
| |
37 | Ja'far Al-Muqtadir Billah جعفر المقتدر بالله 13 Agustus 908 – 31 Oktober 932 (24 tahun, 80 hari) |
13 November 895 – 31 Oktober 932 |
| |
38 | Muhammad Al-Qahir Billah محمد القاهر بالله 31 Oktober 932 – 19 April 934 (1 tahun, 171 hari) |
899 – 950 |
| |
39 | Muhammad Ar-Radhi Billah محمد الراضي بالله 24 April 934 – 12 Desember 940 (6 tahun, 233 hari) |
Desember 909 – 12 Desember 940 |
| |
40 | Ibrahim Al-Muttaqi Lillah إبراهيم المتقي لله 15 Desember 940 – 26 Agustus 944 (3 tahun, 256 hari) |
908 – Juli 968 |
| |
41 | 'Abdullah Al-Mustakfi Billah عبد الله المستكفي بالله 26 Agustus 944 – 28 Januari 946 (1 tahun, 156 hari) |
905 – September/Oktober 949 |
| |
42 | Fadhl Al-Muthi' Lillah فضل المطيع لله 28 Januari 946 – 4 Agustus 974 (28 tahun, 189 hari) |
914 – September/Oktober 974 |
| |
43 | 'Abdul Karim Ath-Tha'i Lillah عبد الكريم الطائع لله 4 Agustus 974 – 30 Oktober 991 (17 tahun, 88 hari) |
932 – 3 Agustus 1003 |
| |
44 | Ahmad Al-Qadir Billah أحمد القادر بالله 1 November 991 – 29 November 1031 (40 tahun, 31 hari) |
947 – 29 November 1031 |
| |
45 | 'Abdullah Al-Qa'im Bi Amrillah عبد الله القائم بأمر الله 29 November 1031 – 2 April 1075 (43 tahun, 125 hari) |
1001 – 2 April 1075 |
| |
46 | 'Abdullah Al-Muqtadi Bi Amrillah عبد الله المقتدي بأمر الله 2 April 1075 – 3 Februari 1094 (18 tahun, 308 hari) |
1056 – 3 Februari 1094 |
| |
47 | Ahmad Al-Mustazh'hir Billah أحمد المستظهر بالله 3 Februari 1094 – 6 Agustus 1118 (24 tahun, 185 hari) |
April/Mei 1078 – 6 Agustus 1118 |
| |
48 | Al-Fadhl Al-Mustarsyid Billah الفضل المسترشد بالله 6 Agustus 1118 – 29 Agustus 1135 (17 tahun, 24 hari) |
April/Mei 1092 – 29 Agustus 1135 |
| |
49 | Manshur Ar-Rasyid Billah منصور الراشد بالله 29 Agustus 1135 – 17 Agustus 1136 (355 hari) |
1109 – 6 Juni 1138 |
| |
50 | Muhammad Al-Muqtafi Li Amrillah محمد المقتفي لأمر الله 17 Agustus 1136 – 12 Maret 1160 (23 tahun, 209 hari) |
9 Maret 1096 – 12 Maret 1160 |
| |
51 | Yusuf Al-Mustanjid Billah يوسف المستنجد بالله 12 Maret 1160 – 20 Desember 1170 (10 tahun, 284 hari) |
1124 – 20 Desember 1170 |
| |
52 | Hasan Al-Mustadhi' Bi Amrillah حسن المستضيء بأمر الله 20 Desember 1170 – 30 Maret 1180 (9 tahun, 102 hari) |
1124 – 30 Maret 1180 |
| |
53 | Ahmad An-Nashir Li Dinillah أحمد الناصر لدين الله 30 Maret 1180 – 5 Oktober 1225 (45 tahun, 190 hari) |
6 Agustus 1158 – 5 Oktober 1225 |
| |
54 | Muhammad Azh-Zhahir Bi Amrillah محمد الظاهر بأمر الله 5 Oktober 1225 – 10 Juli 1226 (279 hari) |
1176 – 10 Juli 1226 |
| |
55 | Manshur Al-Mustanshir Billah منصور المستنصر بالله 10 Juli 1226 – 5 Desember 1242 (16 tahun, 149 hari) |
17 Februari 1192 – 5 Desember 1242 |
| |
56 | 'Abdullah Al-Musta'shim Billah عبد الله المستعصم بالله 5 Desember 1242 – 20 Februari 1258 (15 tahun, 78 hari) |
1213 – 20 Februari 1258 |
|
Periode kedua (1261–1517)
Setelah Baghdad runtuh, Wangsa Abbasiyah mengungsi ke Mesir yang saat itu dikuasai Kesultanan Mamluk dan melanjutkan tampuk kekhalifahan di sana. Berbeda saat sebelum kejatuhan Baghdad, Khalifah Abbasiyah di Mesir sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan dan hanya berperan sebagai simbol pemersatu dunia Islam. Kekurangan dalam memiliki kekuatan politik menjadikan khalifah pada masa ini kerap terombang-ambing saat terjadi pergolakan di pemerintahan Mesir, membuat khalifah pada periode ini juga disebut dengan "khalifah bayangan." Sultan Mamluk bahkan mampu menunjuk khalifah yang baru atau menggulingkan khalifah yang sedang berkuasa.
Terdapat 17 khalifah pada periode ini. Di antara mereka, tiga khalifah menjabat sebanyak dua kali dan seorang khalifah menjabat sebanyak tiga kali. Periode kedua Wangsa Abbasiyah berakhir setelah Kesultanan Mamluk ditaklukan oleh Kesultanan Utsmaniyah pada 1517.
# | Nama Berkuasa |
Rentang usia | Catatan |
---|---|---|---|
57 | Ahmad Al-Mustanshir Billah II أحمد المسنتصر بالله الثاني 13 Juni 1261 – 28 November 1261 (169 hari) |
Mangkat 28 November 1261 |
|
58 | Ahmad Al-Hakim Bi Amrillah أحمد الحاكم بأمر الله 21 November 1262 – 19 Januari 1302 (39 tahun, 60 hari) |
Mangkat 19 Januari 1302 |
|
59 | Sulaiman Al-Mustakfi Billah II سليمان المستكفي بالله الثاني 20 Januari 1302 – Februari 1340 (sekitar 38 tahun) |
Mangkat Februari 1340 |
|
60 | Ibrahim Al-Watsiq Billah II إبراهيم الواثق بالله الثاني Februari 1340 – 16 Juni 1341 |
Mangkat setelah 1341 |
|
61 | Ahmad Al-Hakim Bi Amrillah II أحمد الحاكم بأمر الله الثاني 16 Juni 1341 – 1352 |
Mangkat 1352 |
|
62 | Abu Bakar Al-Mu'tadhid Billah II أبو بكر المعتضد بالله الثاني 1352 – 1362 |
Mangkat 1362 |
|
63 | Muhammad Al-Mutawakkil 'Alallah محمد المتوكل على الله 1362 – 1377 (periode pertama) |
Mangkat 9 Januari 1406 |
|
64 | Zakariyya Al-Musta'shim Billah II زكريا المستعصم بالله الثاني 1377 (periode pertama) |
Mangkat 1389 |
|
Muhammad Al-Mutawakkil 'Alallah محمد المتوكل على الله 1377 – 1383 (periode kedua) |
| ||
65 | 'Umar Al-Watsiq Billah III عمر الواثق بالله الثالث September 1383 – 13 November 1386 |
Mangkat 13 November 1386 |
|
Zakariyya Al-Musta'shim Billah II زكريا المستعصم بالله الثاني November 1386 – 1389 (periode kedua) |
| ||
Muhammad Al-Mutawakkil 'Alallah محمد المتوكل على الله 1389 – 9 Januari 1406 (periode ketiga) |
| ||
66 | Al-'Abbas Al-Musta'in Billah II العباس المستعين بالله الثاني 22 Januari 1406 – 9 Maret 1414 (8 tahun, 47 hari) |
Mangkat 1430 |
|
67 | Dawud Al-Mu'tadhid Billah III داود المعتضد بالله الثالث 9 Maret 1414 – 23 Juli 1441 (27 tahun, 137 hari) |
Mangkat 23 Juli 1441 |
|
68 | Sulaiman Al-Mustakfi Billah III سليمان المستكفي بالله الثالث 23 Juli 1441 – 29 Januari 1451 (9 tahun, 191 hari) |
Mangkat 29 Januari 1451 |
|
69 | Hamzah Al-Qa'im Bi Amrillah حمزة القائم بأمر الله 1451 – 1455 |
Mangkat 1458 |
|
70 | Yusuf Al-Mustanjid Billah II يوسف المستنجد بالله الثاني 1455 – 7 April 1479 |
Mangkat 7 April 1479 |
|
71 | 'Abdul 'Aziz Al-Mutawakkil 'Alallah II عبد العزيز المتوكل على الله الثاني 8 April 1479 – 27 September 1497 (18 tahun, 173 hari) |
Mangkat 27 September 1497 |
|
72 | Ya'qub Al-Mustamsik Billah يعقوب المستمسك بالله 27 September 1497 – 1508 (periode pertama) |
Mangkat 1521 |
|
73 | Muhammad Al-Mutawakkil 'Alallah III محمد المتوكل على الله الثالث 1508 – 1516 (periode pertama) |
Mangkat 1543 |
|
Ya'qub Al-Mustamsik Billah يعقوب المستمسك بالله 1516 – 1517 (periode kedua) |
| ||
Muhammad Al-Mutawakkil 'Alallah III محمد المتوكل على الله الثالث 1517 (periode kedua) |
|
Kekhalifahan Utsmaniyah (1517–1924)
Sebelum penaklukan Mesir, para penguasa Utsmani menyandang beberapa gelar, di antaranya adalah sultan dan padisyah. Penguasa Utsmani menyandang gelar sultan atas kedudukan mereka sebagai kepala negara Muslim. Padisyah merupakan kaisar atau maharaja dalam bahasa Persia dan penguasa Utsmani menyandang gelar ini untuk menegaskan kedudukan mereka di atas para raja. Penguasa Utsmani resmi menyandang gelar khalifah setelah penaklukan Mesir, meski beberapa penguasa Utsmani sebelumnya sudah mulai mengklaim dirinya sebagai khalifah.
Gelar khalifah kehilangan kekuasaannya sebagai kepala negara sejak jatuhnya Baghdad pada 1258 dan hanya berperan menjadi pemimpin simbolis dunia Islam. Hal itu tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuasaan karena kedudukan mereka sebagai sultan dan padisyah, bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, para penguasa Utsmani terbilang sangat jarang menggunakan gelar khalifah mereka dalam perpolitikan dalam dan luar negeri. Gelar khalifah mulai digunakan penguasa Utsmani pada saat Perjanjian Küçük Kaynarca, untuk menegaskan kedudukannya sebagai pelindung umat Islam di Rusia. Sultan Abdül Hamid II merupakan penguasa Utsmani yang paling sering menggunakan gelar khalifah dalam upayanya menggalang persatuan di dunia Islam untuk menghadapi imperialisme Barat.
Pada November 1922, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan Kesultanan Utsmani dan sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Meski begitu, Mustafa Kemal (Atatürk) belum berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan masyarakat, juga karena kekhalifahan adalah lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia, berbeda dengan Kesultanan Utsmani yang merupakan sebatas negara. Majelis Agung Nasional Turki kemudian mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah Abdül Mejid II pada 19 November 1922. Abdül Mejid II merupakan satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan. Namun karena khawatir Abdül Mejid II akan menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk campur tangan dalam urusan dalam dan luar negeri Turki sebagaimana yang dilakukan para Sultan Utsmani terdahulu, Majelis Agung Nasional Turki akhirnya membubarkan kekhalifahan pada 3 Maret 1924, menjadikan Abdül Mejid II sebagai khalifah terakhir. Negara-negara Muslim mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki dan terdapat beberapa pertemuan para tokoh Muslim terkait keberlangsungan kekhalifahan, tetapi tidak ada kesepakatan bersama yang dapat dicapai.
# | Nama Berkuasa |
Gambar | Tughra | Rentang usia | Catatan |
---|---|---|---|---|---|
74 | Selim I سليم اول 1517 – 22 September 1520 |
1470/1 – 22 September 1520 |
| ||
75 | Süleyman I سليمان اول 30 September 1520 – 6 September 1566 (45 tahun, 342 hari) |
6 November 1494 – 6 September 1566 (umur 71) |
| ||
76 | Selim II سليم ثانى 7 September 1566 – 15 Desember 1574 (8 tahun, 100 hari) |
28 Mei 1524 – 15 Desember 1574 (umur 50) |
| ||
77 | Murad III مراد ثالث 15 Desember 1574 – 16 Januari 1595 (20 tahun, 33 hari) |
4 Juli 1546 – 16 Januari 1595 (umur 48) |
| ||
78 | Mehmed III محمد ثالث 16 Januari 1595 – 22 Desember 1603 (8 tahun, 341 hari) |
26 Mei 1566 – 22 Desember 1603 (umur 37) |
| ||
79 | Ahmed I احمد اول 22 Desember 1603 – 22 November 1617 (13 tahun, 336 hari) |
April 1590 – 22 November 1617 (umur 27) |
| ||
80 | Mustafa I مصطفى اول 22 November 1617 – 26 Februari 1618 (97 hari) (periode pertama) |
24 Juni 1591 – 20 Januari 1639 (umur 47) |
| ||
81 | Osman II عثمان ثانى 26 Februari 1618 – 20 Mei 1622 (4 tahun, 84 hari) |
3 November 1604 – 20 Mei 1622 (umur 17) |
| ||
Mustafa I مصطفى اول 20 Mei 1622 – 10 September 1623 (356 hari) (periode kedua) |
| ||||
82 | Murad IV مراد رابع 10 September 1623 - 8 Februari 1640 (16 tahun, 152 hari) |
27 Juli 1612 – 8 Februari 1640 (umur 27) |
| ||
83 | Ibrahim ابراهيم 9 Februari 1640 – 8 Agustus 1648 (8 tahun, 182 hari) |
5 November 1615 – 18 Agustus 1648 (umur 32) |
| ||
84 | Mehmed IV محمد رابع 8 Agustus 1648 – 8 November 1687 (39 tahun, 93 hari) |
2 Januari 1642 – 6 Januari 1693 (umur 51) |
| ||
85 | Süleyman II سليمان ثانى 8 November 1687 – 22 Juni 1691 (3 tahun, 227 hari) |
15 April 1642 – 22 Juni 1691 (umur 49) |
| ||
86 | Ahmed II احمد ثانى 22 Juni 1691 – 6 Februari 1695 (3 tahun, 230 hari) |
25 Februari 1643 – 6 Februari 1695 (umur 51) |
| ||
87 | Mustafa II مصطفى ثانى 6 Februari 1695 – 22 Agustus 1703 (8 tahun, 198 hari) |
6 Februari 1664 – 30 Desember 1703 (umur 39) |
| ||
88 | Ahmed III احمد ثالث 22 Agustus 1703 – 1 Oktober 1730 (27 tahun, 41 hari) |
30/31 Desember 1673 – 1 Juli 1736 (umur 62) |
| ||
89 | Mahmud I محمود اول 1 Oktober 1730 – 13 Desember 1754 (24 tahun, 74 hari) |
2 Agustus 1696 – 13 Desember 1754 (umur 58) |
| ||
90 | Osman III عثمان ثالث 13 Desember 1754 – 30 Oktober 1757 (2 tahun, 322 hari) |
2/3 Januari 1699 – 30 Oktober 1757 (umur 58) |
| ||
91 | Mustafa III مصطفى ثالث 30 Oktober 1757 – 24 Desember 1773 (16 tahun, 56 hari) |
28 Januari 1717 – 24 Desember 1773 (umur 56) |
| ||
92 | 'Abdül Hamid I عبد الحميد الاول 24 Desember 1773 – 7 April 1789 (15 tahun, 105 hari) |
20 Maret 1725 – 7 April 1789 (umur 64) |
| ||
93 | Selim III سليم ثالث 7 April 1789 – 29 Mei 1807 (18 tahun, 53 hari) |
24 Desember 1761 – 28 Juli 1808 (umur 46) |
| ||
94 | Mustafa IV مصطفى رابع 29 Mei 1807 – 28 Juli 1808 (1 tahun, 61 hari) |
8 September 1779 – 17 November 1808 (umur 29) |
| ||
95 | Mahmud II محمود ثانى 28 Juli 1808 – 1 Juli 1839 (30 tahun, 339 hari) |
20 Juli 1784 – 1 Juli 1839 (umur 54) |
| ||
96 | 'Abdül Mejid I عبد المجيد اول 2 Juli 1839 – 25 Juni 1861 (21 tahun, 360 hari) |
25 April 1823 – 25 Juni 1861 (umur 38) |
| ||
97 | 'Abdül 'Aziz عبد العزيز 25 Juni 1861 – 30 Mei 1876 (14 tahun, 341 hari) |
8 Februari 1830 – 4 Juni 1876 (umur 46) |
| ||
98 | Murad V مراد خامس 30 Mei 1876 – 31 Agustus 1876 (94 hari) |
21 September 1840 – 29 Agustus 1904 (umur 63) |
| ||
99 | 'Abdül Hamid II عبد الحميد ثانی 31 Agustus 1876 – 27 April 1909 (32 tahun, 240 hari) |
21 September 1842 – 10 Februari 1918 (umur 75) |
| ||
100 | Mehmed V محمد خامس 27 April 1909 – 3 Juli 1918 (9 tahun, 68 hari) |
2 November 1844 – 3 Juli 1918 (umur 73) |
| ||
101 | Mehmed VI محمد السادس 4 Juli 1918 – 1 November 1922 (4 tahun, 121 hari) |
– 16 Mei 1926 (umur 65) |
14 Januari 1861
| ||
102 | 'Abdül Mejid II عبد المجید الثانی 19 November 1922 – 3 Maret 1924 (1 tahun, 106 hari) |
29/30 Mei 1868 – 23 Agustus 1944 (umur 76) |
|
Lihat pula
Rujukan
- ^ Gianluca Paolo Parolin, Citizenship in the Arab World: Kin, Religion and Nation-state (Amsterdam University Press, 2009), 52.
- ^ Hourani, p. 23.
- ^ Ahmed, Nazeer, Islam in Global History: From the Death of Prophet Muhammad to the First World War, American Institute of Islamic History and Cul, 2001, p. 34. ISBN 0-7388-5963-X.
- ^ Ochsenweld, William; Fisher, Sydney Nettleton (2004). The Middle East: A History (edisi ke-6th). New York: McGraw Hill. ISBN 978-0-07-244233-5.
- ^ The Cambridge History of Islam, ed. P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and Bernard Lewis, Cambridge, 1970
- ^ Lapidus 2002, hlm. 47.
- ^ Holt, Lambton & Lewis 1970, hlm. 70–72.
- ^ Tabatabaei 1979, hlm. 50–75 and 192.
- ^ Donaldson, Dwight M. (1933). The Shi'ite Religion: A History of Islam in Persia and Irak (PDF). Burleigh Press. hlm. 66–78.
- ^ Jafri, Syed Husain Mohammad (2002). The Origins and Early Development of Shi’a Islam; Chapter 6. Oxford University Press. ISBN 978-0195793871.
- ^ Ayati, Dr. Ibrahim. "A Probe into the History of Ashura'". Al-Islam.org. Ahlul Bayt Digital Islamic Library Project.
- ^ John Esposito (1992)
- ^ Cavendish, Marshall (2010). "6". Islamic Beliefs, Practices, and Cultures. hlm. 129. ISBN 978-0-7614-7926-0.
- ^ Blankinship, Khalid Yahya (1994), The End of the Jihad State, the Reign of Hisham Ibn 'Abd-al Malik and the collapse of the Umayyads, State University of New York Press, hlm. 37, ISBN 0-7914-1827-8
- ^ Previté-Orton (1971), pg 236
- ^ "Umayyad dynasty | Islamic history". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-03-26.
- ^ Menocal 2015, hlm. 19
- ^ Burns, 2005, p.88.
- ^ Grafman and Rosen-Ayalon, 1999, p.7.
- ^ "What is the difference between Sunni and Shia Muslims?". The Economist. 28 May 2013.
- ^ Previté-Orton (1971), vol. 1, pg. 239
- ^ Ibn Kathir. Al-Bidāya wa-n-Nihāya, Volume 8. hlm. 235–236.
- ^ Canfield, Robert L. (2002). Turko-Persia in Historical Perspective. Cambridge University Press. hlm. 5. ISBN 9780521522915.
- ^ Gregorian 2003
- ^ Huff 2003, hlm. 48
- ^ Grant & Clute 1999, hlm. 51.
- ^ Clinton 2000, hlm. 15–16
- ^ Ahmed 1992, hlm. 112–15.
- ^ Youshaa Patel (2013). "Seclusion". The Oxford Encyclopedia of Islam and Women. Oxford: Oxford University Press. ((Perlu berlangganan (help)).
- ^ a b Eleanor Abdella Doumato (2009). "Seclusion". Dalam John L. Esposito. The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. Oxford: Oxford University Press. ((Perlu berlangganan (help)).
- ^ The Cambridge History of Islam I: The Central Islamic Lands (dalam bahasa Turki). Cambridge University Press. 1970.
- ^ M.Sükrü Hanioglu, A Brief History of the Late Ottoman Empire, 130.
- ^ a b Takkush, Mohammed Suhail, "The Ottoman's History" pp.489,490
- ^ Lewis.B, "The Emergence of Modern Turkey" Oxford, 1962, p.337
- ^ a b Kemal H. Karpat (2001). The Politicization of Islam: Reconstructing Identity, State, Faith, and Community in the Late Ottoman State. Oxford University Press. hlm. 235. ISBN 978-0-19-513618-0.
- ^ Moshe Yegar (1 January 2002). Between Integration and Secession: The Muslim Communities of the Southern Philippines, Southern Thailand, and Western Burma/Myanmar. Lexington Books. hlm. 397. ISBN 978-0-7391-0356-2.
- ^ Dr. Bayram Kodaman, The Hamidiye Light Cavalry Regiments (Abdullmacid II and Eastern Anatolian Tribes)
- ^ Wasserstein, David (1993). The Caliphate in the West: An Islamic Political Institution in the Iberian Peninsula (snippet view). Oxford: Clarendon Press. hlm. 11. ISBN 978-0-19-820301-8. Diakses tanggal 5 September 2010.
- ^ a b Gibb 1960, p. 55.
- ^ Hawting 1986, p. 47.
- ^ Gibb 1960, p. 54.
- ^ Abbasid Belles Lettres. Cambridge University Press; 30 March 1990. ISBN 978-0-521-24016-1. p. 13.
- ^ Baer, Eva (1983). Metalwork in Medieval Islamic Art. SUNY Press. hlm. xxiii. ISBN 9780791495575.
- ^ O'Callaghan, J. F. (1983). A History of Medieval Spain. Ithaca: Cornell University Press. hlm. 119.
- ^ Barton, 38.
- ^ Barton, 40–41.
- ^ Barton, 42.
- ^ a b Catlos, Brain A. (2014). Infidel Kings and Unholy Wars: Faith, Power, and Violence in the Age of Crusades and Jihad. New York: Farrar, Straus, and Giroux. p. 30.
- ^ Francis Preston Venable, A Short History of Chemistry (1894) p. 21.
- ^ Chejne, Anwar G. (1974). Muslim Spain: Its History and Culture. Minneapolis: The University of Minnesota Press. hlm. 43–49. ISBN 0816606889.
- ^ Mango, Atatürk, 401
- ^ Mango, Atatürk, 403
- ^ Finkel, Caroline (2007). "Osman's Dream: The History of the Ottoman Empire". Basic Books. hlm. 546. ISBN 9780465008506.
- ^ Özoğlu, Hakan (2011). From Caliphate to Secular State: Power Struggle in the Early Turkish Republic (dalam bahasa Inggris). ABC-CLIO. ISBN 9780313379567.
- ^ a b c Majid Khadduri (2006) War and peace in the law of Islam, The Lawbook Exchange, Ltd., ISBN 1-58477-695-1-page 290-291
- ^ Teitelbaum, Joshua (2001). The Rise and Fall of the Hashimite Kingdom of Arabia. C. Hurst & Co. Publishers. ISBN 9781850654605.
- ^ Bosworth 2004, p. 118
- ^ Omar Hossino. Classical Islamic Views on Human Nature, Political Authority, and International Relations, 2006.
- ^ "Hadits Bukhari tentang Para khalifah di Bani Israil".
- ^ "Hadits tentang dua khalifah dalam satu waktu".
- ^ "Teks arab hadits 30 tahun khalifah Rasulullah saw".
- ^ "Terjemah Hadits 30 tahun masa kekhalifahan Rasulullah saw".
- ^ "Teks Arab Hadits tentang Masa-masa Kekhalifahan".
- ^ "Terjemah Hadits tentang masa-masa Kekhalifahan".
- ^ "حديث عبدالله بن أبي مليكة - مجمع الزوائد". dorar.net (dalam bahasa Arab). Diakses tanggal 2021-01-28.
- ^ a b link, Dapatkan; Facebook; Twitter; Pinterest; Email; Lainnya, Aplikasi. "Memahami Arti Khalifah". Diakses tanggal 2021-01-28.
- ^ Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hlm 416
- ^ Nailul Authar, jilid VIII, hlm 265
- ^ Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal, jilid IV, hlm 87
Daftar pustaka
- Ahmed, Leila (1992). Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate. Yale University Press. ISBN 978-0-300-05583-2.
- Arnold, T. W. (1993). "Khalīfa". Dalam Houtsma, M. Th. E.J. Brill's First Encyclopaedia of Islam, 1913–1936. Volume IV. Leiden: BRILL. hlm. 881–885. ISBN 978-90-04-09790-2. Diakses tanggal 2010-07-23.
- Barton, Simon (2004). A History of Spain. New York: Palgrave MacMillan. ISBN 0333632575.
- Burns, Ross (2005), Damascus: A History, London: Routledge, ISBN 0-415-27105-3.
- Clinton, Jerome W. (2000). Talattof, Kamran; Clinton, Jerome W., ed. The Poetry of Nizami Ganjavi: Knowledge, Love, and Rhetoric. Houndmills, UK: Palgrave Macmillan. ISBN 0-3122-2810-4. LCCN 99056710.
- Crone, Patricia, and Martin Hinds. God's Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 1986. ISBN 0-521-32185-9.
- Donner, Fred. The Early Islamic Conquests. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1981. ISBN 0-691-05327-8.
- Gibb, H. A. R. (1960). "ʿAbd Allāh ibn al-Zubayr". Dalam Gibb, H. A. R.; Kramers, J. H.; Lévi-Provençal, E.; Schacht, J.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume I: A–B (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 54–55. OCLC 495469456.
- Grafman, Rafi; Rosen-Ayalon, Myriam (1999). "The Two Great Syrian Umayyad Mosques: Jerusalem and Damascus". Muqarnas. Boston: BRILL. 16: 1–15. doi:10.2307/1523262.
- Grant, John; Clute, John (1999). "The Encyclopedia of Fantasy". Arabian fantasy. New York, NY: St. Martin's Press. ISBN 0-312-19869-8. LCCN 96037472.
- Gregorian, Vartan (2003). Islam: A Mosaic, Not a Monolith. Washington, DC: Brookings Institution Press. hlm. 26–38. ISBN 0-8157-3282-1. LCCN 2003006189.
- Hawting, G. R. (2000) [1986]. The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661-750 (edisi ke-2nd). London and New York: Routledge. ISBN 0-415-24073-5.
- Holt, P.M.; Lambton, Ann K.S.; Lewis, Bernard, ed. (1970). Cambridge History of Islam. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-29135-4.
- Hourani, Albert. A History of the Arab Peoples, Faber and Faber, 1991.
- Huff, Toby E. (2003). The Rise of Early Modern Science: Islam, China, and the West (edisi ke-2nd). Cambridge, UK: Cambridge University Press. ISBN 0-5218-2302-1. LCCN 2002035017.
- Lapidus, Ira (2002). A History of Islamic Societies (edisi ke-2nd). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-77933-3.
- Menocal, Maria Rosa (2015). Surga di Andalusia: Ketika Muslim, Yahudi, dan Nasrani Hidup dalam Harmoni (edisi ke-1st). Penerbit Noura Books (PT Mizan Publika). ISBN 978-602-0989-82-2.
- Previté-Orton, C. W (1971). The Shorter Cambridge Medieval History. Cambridge: Cambridge University Press.
- Mango, Andrew (2002) [1999]. Atatürk: The Biography of the Founder of Modern Turkey (edisi ke-Paperback). Woodstock, NY: Overlook Press, Peter Mayer Publishers, Inc. ISBN 978-1-58567-334-6.
- Tabatabaei, Sayyid Mohammad Hosayn (1979). Shi'ite Islam. Suny press. ISBN 978-0-87395-272-9.| Diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr.