Hamengkubuwana IX
Sri Sultan Hamengkubuwana IX (bahasa Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧙꧇; 12 April 1912 – 2 Oktober 1988,[a] lahir dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun) adalah Sultan Yogyakarta kesembilan dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama. Ia merupakan Wakil Presiden Indonesia kedua yang menjabat pada tahun 1973–1978 M. Hamengkubuwana IX juga merupakan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama dan dikenal sebagai Bapak Pandu Pramuka Indonesia.
Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwana IX ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧙꧇ | |||||
---|---|---|---|---|---|
Sultan Yogyakarta ke-9 | |||||
Bertakhta 1940–1988 | |||||
Penobatan | 18 Maret 1940 | ||||
Wakil Presiden Indonesia ke-2 | |||||
Masa jabatan 23 Maret 1973 – 23 Maret 1978 | |||||
Presiden | Soeharto | ||||
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia ke-1 | |||||
Masa jabatan 25 Juli 1966 – 29 Maret 1973 | |||||
Presiden | Soeharto | ||||
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru | |||||
Wakil Perdana Menteri Indonesia ke-5 | |||||
Masa jabatan 6 September 1950 – 27 April 1951 | |||||
Presiden | Soekarno | ||||
Perdana Menteri | Mohammad Natsir | ||||
Masa jabatan (ad interim) 18 Maret 1966 – 27 Maret 1966 Menjabat bersama Johannes Leimena, Adam Malik (a.i.), Idham Chalid, Roeslan Abdulgani | |||||
Perdana Menteri | Soekarno | ||||
Pengganti Petahana | |||||
Masa jabatan 31 Maret 1966 – 25 Juli 1966 Menjabat bersama Johannes Leimena, Adam Malik, Soeharto, Idham Chalid | |||||
Pengganti Jabatan dihapuskan | |||||
Menteri Negara Indonesia | |||||
1948; 1949 | Menteri Negara | ||||
1948–1950 1952–1953 | Menteri Pertahanan | ||||
1964–1966 | Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan | ||||
1966 | Menteri Pariwisata | ||||
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ke-1 | |||||
Masa jabatan 4 Maret 1950 – 2 Oktober 1988 | |||||
Wakil | Paku Alam VIII | ||||
Ketua Kwartir Nasional ke-1 | |||||
Masa jabatan 14 Agustus 1961 – 27 November 1974 | |||||
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru | |||||
Informasi pribadi | |||||
Lahir | Gusti Raden Mas Dorodjatun 12 April 1912 Ngasem, Ngayogyakarta Hadiningrat | ||||
Meninggal | 2 Oktober 1988 Washington, D.C., Amerika Serikat | (umur 76)||||
Pemakaman | |||||
| |||||
Wangsa | Mataram | ||||
Ayah | Sultan Hamengkubuwana VIII | ||||
Ibu | Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara (Raden Ajeng Kustilah) | ||||
Agama | Islam | ||||
Tanda tangan | |||||
Karier militer | |||||
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat | ||||
Masa dinas | 1945–1953 | ||||
Pangkat | Jenderal TNI (Tit.)[1] | ||||
Pertempuran/perang | |||||
Sunting kotak info • L • B |
Kehidupan awal dan pendidikan
Masa kecil
Lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun, Hamengkubuwana IX merupakan anak kesembilan[2] Gusti Pangeran Puruboyo dari permaisurinya, Raden Ajeng Kustilah.[3] Pada tahun 1914, ketika Dorodjatun belum genap tiga tahun, Gusti Pangeran Puruboyo diangkat menjadi Putra Mahkota Yogyakarta.[b] Karena suaminya menjadi Putra Mahkota, Raden Ajeng Kustilah mendapat gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom pada tahun 1915.[5] Meskipun demikian, KRA Adipati Anom tidak sempat menjadi Ratu Yogyakarta. Ia dipulangkan ke rumah ayahnya, KGPA Mangkubumi, sekitar tahun 1918–1919.[6] Monfries serta Roem dkk. menuliskan bahwa penyebab pemulangan ini adalah retaknya hubungan antara KRA Adipati Anom dengan mertuanya;[7] sementara Romo Tirun[c] mengatakan bahwa penyebabnya adalah KRA Adipati Anom merupakan keturunan Untung Suropati yang merupakan musuh Belanda, sehingga kejadian ini bermaksud untuk keamanan KRA Adipati Anom.[8]
Ketika berumur empat tahun, Dorodjatun diperintah ayahnya untuk mulai tinggal terpisah dari keraton.[4] Dorodjatun kecil menangis keras dan terus memeluk salah satu tiang di keraton sebelum dapat dipisahkan.[9] Dorodjatun tinggal bersama keluarga Mulder, orang Belanda yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School dan tinggal di daerah Gondokusuman.[10] Ketika tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie ("Henk kecil") yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda.[11] Nama panggilan ini terus digunakan hingga ia bersekolah dan kuliah di Belanda, serta oleh teman-teman dekatnya tetap digunakan sampai masa tuanya sebagai Hamengkubuwana IX.[12]
Henkie mendapatkan pendidikan pertamanya di taman kanak-kanak Frobel School dan Eerste Europese Lagere School B untuk pendidikan dasarnya. Setahun kemudian ia pindah ke kediaman keluarga Cock dan bersekolah di Neutrale Europese Lagere School hingga lulus pada bulan Juli 1925.[13] Ayahnya diangkat menjadi Hamengkubuwana VIII ketika ia duduk di kelas III sekolah tersebut,[14] yaitu pada bulan Februari 1921.[15] Di sekolah tersebut, Dorodjatun bertemu dan berteman dengan Sultan Hamid II yang dijuluki Mozes saat itu.[16]
Dorodjatun mengenyam pendidikan menengahnya di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang mulai bulan Juli 1925. Ia tinggal di keluarga Voskuil, keluarga seorang sipir penjara di Semarang. Karena iklim Semarang yang cukup panas, Dorodjatun merasa tidak cocok dan kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke HBS Bandoeng pada tahun 1928. Di sana, ia bersama kakaknya, BRM Tinggarto, tinggal bersama dengan seorang tentara militer Belanda, Letnan Kolonel De Boer.[17]
Pendidikan di Belanda
Sebelum menyelesaikan pendidikan menengahnya di HBS Bandung, ayah Dorodjatun dan Tinggarto memerintahkan mereka untuk belajar ke Belanda. Mereka berangkat melalui jalur laut bulan Maret 1930 dengan ditemani oleh keluarga Hofland, keluarga seorang direktur pabrik gula di Gesikan.[18] Mereka berdua bersekolah di Gymnasium atau Lyceum Haarlem, Belanda yang merupakan gabungan dari dua lembaga berbeda, yaitu Hoogere Burgerschool B (HBS-B) dan Stedelijk Gymnasium.[19] Di Haarlem, mereka tinggal di kediaman kepala sekolahnya, Mourik Broekman.[20] Dorodjatun kerap dipanggil Sultan Henk ketika menuntut ilmu di sekolah tersebut.[21] Karena perbedaan kualitas pendidikan dengan Hindia Belanda, Dorodjatun harus turun dua kelas di Haarlem.[22] Dorodjatun bukanlah siswa yang istimewa maupun cemerlang di sana. Meskipun beberapa nilainya tergolong baik, Dorodjatun harus mengulang di beberapa mata pelajaran, terutama hingga dua kali di pelajaran geometri dan trigonometri.[23] Kakaknya, Tinggarto, juga mengalami hal yang sama di Haarlem.[24] Dorodjatun bersama Tinggarto berhasil lulus dari sekolah ini pada tahun 1934.[25]
Dorodjatun dan kakaknya kemudian pindah ke Leiden. Mereka masuk ke perguruan tinggi Rijksuniversiteit Leiden—Universitas Leiden saat ini. Dorodjatun mengambil studi Indologi, studi yang mempelajari administrasi kolonial, etnologi, dan kesusastraan di Hindia Belanda;[26] sementara Tinggarto memilih studi yang lebih populer, yakni di bidang hukum.[27] Belum sempat menyelesaikan tesis untuk gelar doktorandusnya, Dorodjatun bersama saudara-saudaranya yang di luar negeri dipanggil oleh keluarga di Jogja untuk kembali ke Hindia Belanda setelah terjadinya Penyerbuan Jerman ke Polandia tahun 1939.[28] Tesis yang hampir selesai itu dibawa kembali oleh Dorodjatun dalam kepulangannya ke Jawa dalam bentuk manuskrip dan belum pernah dikumpulkan. Naskah itu hilang dan hanya diketahui judulnya saja, yaitu "Kontrak Politik antara Sunan Solo dan Pemerintah Belanda".[29] Hingga akhir hayatnya, Hamengkubuwana IX belum mendapatkan gelar apapun dari universitas karena belum sempat mengikuti wisuda kelulusannya.[30]
Menjadi Sultan Yogyakarta
Pulang ke Hindia Belanda
Setelah tiba di Batavia pada bulan Oktober 1939, GRM Dorodjatun dijemput oleh keluarganya di Pelabuhan Tanjung Priok.[31] Paman-paman yang menjemputnya bersikap hormat serta menggunakan krama inggil untuk menegurnya, bukan ngoko seperti biasanya.[32] Dorodjatun beserta rombongan penjemputnya kemudian pergi menuju Hotel des Indes, tempat ayah dan anggota keluarga lainnya menginap di Batavia.[33]
Ketika seorang penguasa swapraja sedang berada di Batavia, umumnya ada banyak agenda kegiatan yang harus dipenuhi. Salah satu acara yang dihadiri keluarga kerajaan bersama Dorodjatun di Batavia adalah undangan santapan malam di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[34] Pada saat bersiap untuk menghadiri undangan tersebut, Dorodjatun disematkan keris Kyai Jaka Piturun oleh ayahnya. Keris ini umumnya diwariskan kepada putra penguasa yang dikehendaki menjadi putra mahkota. Oleh karena itu, penyematan ini menandakan bahwa Dorodjatun adalah pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta.[35]
Setelah menghadiri agenda selama tiga hari di Batavia, keluarga kerajaan beserta Dorodjatun kembali ke Yogyakarta menggunakan Kereta api Eendaagsche Express. Dalam perjalanan, Hamengkubuwana VIII jatuh sakit hingga tak sadarkan diri. Sesampainya di Yogyakarta, Sultan segera dilarikan ke Rumah Sakit Onder de Bogen dan dirawat hingga akhir hayatnya pada 22 Oktober 1939.[36]
Kontrak politik
Sejak abad ke-18, para Penguasa Mataram diharuskan menandatangani kontrak politik baru dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebelum naik takhta. Hal ini juga terjadi ketika Dorodjatun akan naik takhta.[38] Sebelum pejabat Belanda dapat melakukan negosiasi dengan calon Sultan baru, proses suksesi di internal keluarga kerajaan harus diselesaikan terlebih dahulu.[39] Dengan ini, Dorodjatun sebagai putra mahkota kemudian mengumpulkan para saudara dan pamannya untuk bermusyawarah siapa yang akan menjadi Sultan selanjutnya. Kesemua kerabatnya tidak keberatan jika Dorodjatun sebagai Sultan selanjutnya.[40] Banyak penulis dan sejarawan yang mengatakan bahwa secara de facto dari sini Dorodjatun sebenarnya sudah menjadi Sultan Yogyakarta ke-9, tepatnya sekitar tanggal 26 Oktober 1939, dua hari setelah pemakaman ayahnya.[41]
Untuk membuat kontrak baru, Dorodjatun harus bernegosiasi dengan Gubernur Yogyakarta Lucien Adam sebagai perwakilan Pemerintah Hindia Belanda. Lucien Adam merupakan seorang pejabat senior Hindia Belanda dan seorang Javanicus (ahli adat istiadat Jawa).[42] Monfries mencatat bahwa Gubernur Adam ingin segera membentuk hubungan yang baik dengan Dorodjatun dalam laporan-laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia.[37] Mereka berdua pun memiliki satu kesamaan, yaitu pernah mengambil studi di Universitas Leiden, meskipun terpaut umur yang cukup jauh.[43] Adam yang umurnya sudah mendekati 50 tahun merasa harus menjadi seperti figur ayah yang bertanggung jawab bagi Dorodjatun. Keduanya sebenarnya termasuk cukup akrab dan bahkan sering saling meminjam buku bacaan satu sama lain.[37]
Hampir setiap hari Dorodjatun harus berunding dengan Gubernur Lucien Adam sejak awal November 1939 mengenai kontrak politiknya. Perjanjian ini digunakan untuk memperbarui kontrak politik yang ditandatangani pada masa Hamengkubuwana VIII berkuasa dan memiliki isi yang lebih detail.[44] Terdapat dua versi dari proses perundingan ini, yakni dari penuturan Sultan Hamengkubuwana IX yang banyak dikutip penulis biografi dari Indonesia; versi lainnya adalah versi laporan-laporan Gubernur Adam ke Batavia yang banyak dikutip penulis biografi Barat, salah satunya Monfries.[45]
Dituliskan dalam buku Takhta untuk Rakyat, yang membuat perundingan berlangsung alot yaitu topik mengenai jabatan Patih Danurejo yang selain bertanggung jawab kepada Sultan juga menjadi pegawai Belanda, adanya dewan penasihat dari Pemerintah Hindia Belanda, serta prajurit keraton yang diminta agar berada di bawah KNIL.[46] Monfries yang mengutip laporan-laporan Gubernur Adam menuliskan bahwa Gubernur mengalami kesulitan dalam perundingan di bidang anggaran sipil, polisi, hutan, dan jangkauan otoritas hukum Sultan atas rakyat-rakyatnya.[47] Monfries berpendapat bahwa sangat sulit menemukan penjelasan dari bukti-bukti yang ada atas perbedaan yang sangat besar dari versi Hamengkubuwana dengan laporan-laporan Gubernur Adam, bahkan hingga saat ini.[48]
Di lain hal, Gubernur Adam dalam laporannya kepada pemerintah pusat di Batavia mengatakan bahwa Dorodjatun memiliki perilaku yang baik.[49] Ia juga menambahkan bahwa Dorodjatun telah mengubah sistem pembelian di keraton dengan cepat.[49] Rencana kebijakan lain yang disorot oleh Adam adalah reformasi besar-besaran di keraton oleh Dorodjatun, yaitu dalam hal tingkat kekuasaan kepada rakyatnya, pembagian antara kekayaan keraton dan kesultanan yang lebih jelas, dan pengaturan pembayaran kepada anggota keluarganya.[49] Selain itu, Dorodjatun ingin mengurangi jumlah pegawai negeri dan menaikkan gaji mereka, juga mengubah peran tentara dengan menambahkan tugas jaga kepada mereka.[49]
Setelah empat bulan berunding dengan alot, Dorodjatun tiba-tiba menyetujui kontrak politik tersebut secara langsung tanpa adanya penolakan atas isi-isinya sebagaimana yang telah disampaikan dalam perundingan-perundingan tersebut. Ia melakukannya setelah mendapatkan wisik (bisikan) dari almarhum ayahnya yang mendatanginya dalam mimpi.[50]
Wis, Tholé, tekena waé. Landa bakal lunga saka bumi kéné.
(Sudahlah, Nak, tanda tangani saja. Belanda akan pergi dari bumi sini.)— Wisik yang diterima Dorodjatun.[51]
Kegiatan perundingan selesai lebih cepat daripada laporan Gubernur Adam tanggal 18 Februari 1940 yang menyatakan bahwa perundingan mungkin selesai pada bulan April sebelum Grebeg diadakan. Dengan demikian, prosesi upacara penobatan dilaksanakan sebulan lebih cepat daripada pelaksanaan Grebeg.[52] Kontrak politik yang terdiri atas 17 bab dan 59 pasal tersebut kemudian ditandatangani oleh kedua pihak pada tanggal 12 Maret 1940 meskipun dalam surat tertanggal 18 Maret 1940.[53]
Penobatan
GRM Dorodjatun dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada tanggal 18 Maret 1940,[d] sesuai dengan tanggal berlakunya kontrak politik dengan Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Lucien Adam menobatkan GRM Dorodjatun untuk dua gelar sekaligus. Gelar pertama adalah gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram, gelarnya sebagai Putra Mahkota. Setelahnya, dinobatkanlah Sri Sultan Hamengkubuwana IX dengan gelar Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.[55]
Upacara ini dihadiri oleh Sri Paku Alam, KGPAA Mangkunegara, serta dua pangeran dari Solo. Beberapa pejabat senior Belanda seperti H.J. van Mook, Gubernur Semarang, dan Gubernur Solo juga hadir.[56] Dalam upacara ini, Hamengkubuwana IX menyampaikan pidato yang bernada progresif dan teguh pendirian serta menegaskan identitasnya sebagai orang Jawa.[57]
Perang Dunia II
Pendudukan Belanda
Bulan Mei 1940, Panglima Angkatan Laut Kerajaan Belanda akan menghadiri perayaan naik takhta Hamengkubuwana IX di Yogyakarta yang dilaksanakan pada tanggal 8 Mei 1940. Belum sempat sampai di Yogyakarta, Panglima dipanggil kembali ke Belanda. Dua hari setelah perayaan dilangsungkan, Jerman menduduki Belanda.[58] Pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk mengumpulkan dana perang; Gubernur Adam di Yogyakarta mengadakan Komite Dukungan dengan sumbangan sebesar 2.000 gulden dari Hamengkubuwana IX, 3.000 gulden dari Kesultanan, dan 1.500 gulden dari Pakualaman. Meskipun demikian, otoritas Belanda agak kecewa kepada Hamengkubuwana karena hanya sedikit berbicara untuk hal ini, berbeda dengan Paku Alam yang menyatakan dukungannya kepada Gubernur Adam.[59]
Pada bulan April–Mei 1941, Menteri Koloni Charles Walter sempat berkunjung ke Hindia Belanda namun tidak mengunjungi Vorstenlanden meskipun telah didesak oleh pers lokal.[59] Tanggal 6 Desember 1941, Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang setelah Pengeboman Pearl Harbor.[60] Gubernur Adam dalam pertemuannya dengan Gubernur Jenderal di Batavia menyusun rencana apabila Jepang menyerang Hindia Belanda. Monfries mencatat bahwa empat penguasa Vorstenlanden rencananya akan dibawa oleh Belanda untuk mengungsi ke Jakarta atau Bandung;[e] sementara Sultan mengatakan bahwa keempat penguasa akan dibawa oleh Belanda untuk mengungsi ke Australia.[63] Hamengkubuwana menolak ajakan tersebut dan menyatakan akan tetap berada di Yogyakarta.[64] Dalam beberapa catatan dan wawancara, ia juga mengatakan bahwa Belanda memiliki rencana untuk menculiknya dan menjadikannya tawanan, tetapi pergerakan tentara Jepang yang sangat cepat menyebabkan rencana ini gagal.[65]
Apa pun yang akan terjadi, saya tak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib berada di tempat demi keselamatan Keraton dan rakyat.
— [66]
Pendudukan Jepang
Tanggal 5 Maret 1942, Yogyakarta diduduki oleh Jepang.[67] Tentara Jepang yang datang kemudian menyerahkan kekuasaan di Yogyakarta kepada Gubernur Adam untuk sementara.[68] Gubernur Adam dan Sultan Hamengkubuwana selalu aktif memberikan pesan publik agar tidak terjadi kepanikan di masyarakat.[69] Setelah keadaan Yogyakarta lebih tenang, Sultan dan Patih mengunjungi beberapa daerah kekuasaannya. Sultan menyimpulkan bahwa rakyat tetap tenang dan tidak terlalu terganggu dengan keadaan perang.[70] Hamengkubuwana yang mudah mengadaptasikan pemerintahannya dengan tentara Jepang, ditambah Gubernur Adam dan Patih Danurejo yang sangat aktif dalam mengumumkan dan mengimplementasikan sebagian besar isi dekret pemerintahan militer Jepang, membuat atmosfer pendudukan di Yogyakarta terasa lebih damai.[71] Terlepas dari itu, Lucien Adam diturunkan jabatannya menjadi residen pada akhir bulan Maret dan diasingkan secara tiba-tiba pada tanggal 21 April oleh tentara Jepang.[72]
Sultan Hamengkubuwana IX diberi otonomi untuk menjalankan pemerintahan di daerahnya di bawah Pemerintah Kolonial Jepang. Jabatan Pepatih Dalem yang sebelumnya harus bertanggung jawab kepada Sultan dan Pemerintah Kolonial Belanda kini hanya bertanggung jawab kepada Sultan saja.[73] Pada tanggal 1 Agustus 1942, Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang di Jakarta menjadikan Yogyakarta sebuah Kooti atau Kochi,[74] sementara Hamengkubuwana IX menjadi Koo (penguasa) wilayah tersebut.[75] Jepang menganggap Sunan Pakubuwana sebagai primus inter pares di antara keempat penguasa Vorstenlanden, sehingga ketika ada undangan pertemuan dengan petinggi tentara Jepang maka Sunan sering mewakili keempat penguasa tersebut. Jika Sunan dan Sultan bersama-sama hadir, Sunan mewakili Surakarta dan Mangkunegaran, sementara Sultan mewakili Yogyakarta dan Pakualaman. Bulan September 1944, Pakubuwana XI jatuh sakit, Hamengkubuwana IX menggantikannya menjadi perwakilan di antara para penguasa Vorstenlanden. Peran ini kemudian diambil kembali oleh Pakubuwana XII ketika naik takhta menggantikan ayahnya yang mangkat.[76]
Di tengah banyaknya pengambilan penduduk menjadi romusa, banyak catatan mengatakan bahwa Sultan mampu mencegahnya dengan memanipulasi data statistik produktivitas pertanian dan peternakan.[77] Sultan mengajukan pembangunan sebuah kanal irigasi yang menghubungkan Kali Progo dan Kali Opak agar pengairan sawah dapat dilakukan sepanjang tahun yang sebelumnya masih bersistem tadah hujan. Usulan ini diterima oleh pihak Jepang.[78] Monfries mencatat bahwa pemerintah kolonial hingga membantu pendanaan pembangunannya sebanyak 1 juta gulden.[79] Pembangunan saluran irigasi ini kemudian dijadikan alasan agar tidak banyak romusa yang diambil dari Yogyakarta sehingga masyarakat lebih difokuskan di sini.[80] Saluran irigasi ini kemudian dinamakan Selokan Mataram dan dalam bahasa Jepang dinamakan Gunsei Hasuiro atau Gunsei Yosuiro (Kanal Yosuiro).[81] Pembangunan ini dinilai berhasil yang ditandai dengan meningkatnya produktivitas pertanian sehingga sumbangan bahan pangan kepada tentara Jepang juga meningkat.[82] Meskipun telah berhasil mengurangi jumlah romusa yang diambil kolonial, Romo Tirun mengungkapkan bahwa tetap ada penduduk yang diambil menjadi romusa, tetapi jika dibandingkan dengan daerah lain maka jumlah di Yogyakarta lebih sedikit.[83] Klaim ini dibantah oleh Monfries yang menuliskan bahwa walaupun memang jumlahnya lebih kecil daripada keseluruhan Jawa, laporan tahun 1944 mengatakan bahwa jumlah romusa yang dikirim malah melebihi jumlah yang diminta Jepang.[84]
Di masa pendudukan Jepang ini, Hamengkubuwana IX melakukan beberapa reformasi di Kesultanan. Akhir bulan Juli 1942, Sultan mengganti nama-nama institusi pemerintahan daerah yang sebelumnya berbahasa Belanda menjadi bahasa Jawa.[85] Pada tahun 1944, Sultan membuat layanan publik dapat diakses dari kelas dan kelompok masyarakat manapun sehingga banyak pegawai negeri yang diterima dari kalangan biasa, membentuk komite daerah untuk membantu para panewu (camat), juga mengeluarkan instruksi agar pelatihan pegawai negeri dilakukan lebih intensif.[86] Selain itu ia menghapus distrik dan menjadikan kapanewon (kecamatan) sebagai institusi administratif terbawah, juga menghapus pengadilan khusus bagi bangsawan. Selo Soemardjan mencatat bahwa sebagian besar reformasi-reformasi itu adalah uji coba, sehingga tidak semuanya berjalan dengan sukses.[87]
Akhir tahun 1944, kesehatan Patih Danurejo yang merupakan sepupu ayah Sultan mulai menurun. Pada tanggal 17 Juli 1945, Patih Danurejo mengundurkan diri dengan alasan umur yang sudah lanjut dan telah mengabdi selama 12 tahun di jabatan tersebut. Hamengkubuwana IX mengambil alih tugas-tugasnya sejak 1 Agustus 1945 dan berkantor di Kepatihan, tempat para patih bekerja. Meskipun dalam dekret pembentukan Kooti dijelaskan bahwa Pemerintahan Tentara Jepang harus menunjuk seorang Somutyokan (Patih), pemerintah saat itu tidak mempermasalahkan kejadian ini. Sejak saat itu, jabatan Patih Danurejo dihapuskan dan bisa dibilang Kesultanan Yogyakarta bersistem monarki absolut karena Sultan sendiri yang menjalankan pemerintahan di dalamnya.[87]
Revolusi Nasional Indonesia
Bergabung dengan Indonesia
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VIII mengirimkan telegram ucapan selamat kepada Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat atas kemerdekaan Indonesia.[88] Pada tanggal 20 Agustus 1945,[f] dikirimkan lagi telegram oleh Hamengkubuwana IX sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta[90] dan menegaskan bahwa Yogyakarta "sanggup berdiri di belakang pimpinan" yang juga diikuti oleh Sri Paku Alam VIII.[91] Peristiwa ini menjadikan Yogyakarta sebagai kerajaan di Indonesia pertama yang bergabung dengan Republik Indonesia.[92] Pada 5 September 1945, Sultan mengeluarkan amanat posisi Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan Sultan sebagai pemimpinnya yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Paku Alam VIII menyatakan amanat juga setelahnya atas Kadipaten Pakualaman dan menjadi wakil pemimpin Yogyakarta.[93] Amanat ini diterima dengan baik oleh pemerintah pusat yang ditandai dengan tibanya Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis di Yogyakarta sebagai perwakilan pemerintah pusat untuk menyerahkan piagam penetapan kedudukan Yogyakarta. Piagam ini ditandatangani Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945, sehari setelah telegram dari Yogyakarta tiba, dan menandakan bahwa Yogyakarta telah menjadi bagian Indonesia.[94]
Awal masa Revolusi Nasional
Dengan banyaknya laskar pemuda setelah kemerdekaan, termasuk di Yogyakarta, Hamengkubuwana meminta para pemuda melapor kepadanya di kantornya (Kepatihan) agar lebih mudah mengorganisasikan mereka.[95] Ia kemudian membentuk Laskar Rakyat Mataram, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tentara Rakyat Mataram, dari laskar-laskar ini.[95] Sri Sultan menjadi panglimanya sementara Selo Soemardjan menjadi kepala stafnya.[96] Setelahnya, Hamengkubuwana diterima menjadi perwira kehormatan senior dari Tentara Keamanan Rakyat, menjadi anggota dewan tertinggi tentara bersama tiga penguasa Catur Sagotra yang lain, serta menerima pangkat jenderal kehormatan bulan November 1945.[95]
Bulan November 1945, pada saat Pertempuran Surabaya terjadi, Sri Sultan melawat ke Surabaya. Ia bertemu dengan Gubernur Soerjo di Mojokerto sebelum tiba di pinggiran Kota Surabaya. Sultan mengatakan kepada wartawan bahwa pertempuran ini menunjukkan kekejaman Inggris serta kebijakan diplomasi bukanlah hal yang tepat. Terdapat cerita terkenal dari kunjungan ini, yaitu ketika Sultan mencapai daerah sekitar Madiun, ia dicegat sekelompok warok yang menanyakan, "Mana Dorodjatun?" Sultan menjawab, "Saya Suyono," dan lolos.[97]
Yogyakarta menjadi ibu kota negara
Pada 3 Januari 1946, sidang kabinet memutuskan ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta.[98] Pemindahan ini pada awalnya merupakan tawaran Sri Sultan dalam sebuah surat yang dikirimkan melalui kurir ke Jakarta.[99] Sore tanggal 4 Januari 1946, Soekarno, Mohammad Hatta, dan para pejabat negara kala itu berangkat dengan perjalanan kereta luar biasa ke Yogya.[100] Kedatangan mereka di Stasiun Tugu disambut oleh Sultan Hamengkubuwana sendiri.[101]
Untuk kebutuhan pemerintahan RI, banyak gedung di Yogyakarta dijadikan kantor-kantor pemerintah. Salah satunya adalah Gedung Agung menjadi kantor presiden yang hingga saat ini masih menjadi Istana Presiden Indonesia.[102] Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Sultan Hamengkubuwana membantu pendanaan operasional pemerintahan RI.[103]
Selama Yogyakarta menjadi ibu kota, Hamengkubuwana memulai beberapa reformasi. Ia menetapkan seluruh bisnis resmi dilakukan dengan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Jawa.[104] Ia memberikan sebagian keraton untuk digunakan Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menghibahkan lahan di Bulaksumur yang menjadi kampus UGM saat ini.[105] Ia dinilai berhasil mengantisipasi adanya revolusi—seperti yang terjadi di Surakarta dan sebagian besar Sumatra—di Yogyakarta yang dikhawatirkan akan melengserkan dirinya.[106]
Awal karier di kabinet
Hamengkubuwana ditunjuk menjadi Menteri Negara di Kabinet Sjahrir III, pertama kalinya ia masuk ke dalam jajaran kabinet. Kala itu, ia ditugasi dalam urusan mengenai daerah istimewa di Indonesia. Dalam jabatan tersebut, ia memberi saran dan mencoba memecahkan masalah yang terjadi di daerah-daerah istimewa yang lain. Ia mengunjungi Surakarta setelah terjadinya pergolakan antarpihak pemerintahan di sana pada bulan Oktober 1946. Ia juga mengunjungi beberapa kota di Sumatra bulan Maret 1946 untuk melihat keadaan pemimpin adat dan keluarga mereka yang ditahan oleh revolusionis di sana. Bulan April 1947, ia kembali lagi ke Sumatra mengunjung Pematang Siantar, Bukittinggi, dan Medan. Ia mencoba menyelesaikan masalah revolusi sosial Sumatra, yang disebutkan Monfries sebagai "usaha yang hampir mustahil". Dalam kunjungannya ke Pematang Siantar, Hamengkubuwana sempat menegaskan bahwa Perundingan Linggarjati tidak menjamin kemerdekaan sepenuhnya, menekankan bahwa perlu adanya kesatuan antara tentara, pemerintah, dan masyarakat.[107]
Pada tahun 1948, Hamengkubuwana ditunjuk menjadi Menteri Negara Koordinator Keamanan dalam Kabinet Hatta I. Hatta pada awalnya menginginkannya menjadi Menteri Pertahanan, tetapi ia menolak sehingga Hatta yang mengisi jabatan itu.[108][g] Bulan September 1948, terjadi Pemberontakan PKI di Madiun. Sri Sultan kemudian berdiskusi dengan Soekarno dan mengutus Nasution ke Madiun. Nasution menganggap pemberontakan tersebut harus cepat ditumpaskan, ia khawatir komandan-komandan lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur akan bergabung dengan pemberontak. Pada pertemuan kabinet setelahnya, Soedirman diberikan kuasa "untuk mengambil tindakan yang diperlukan demi menjaga negara". Soedirman menempatkan Nasution dalam komando strategis operasi itu. Hamengkubuwana membuat siaran agar rakyat mendukung Soekarno dan pemerintahan Hatta, menegaskan bahwa pemerintahan ini dibentuk untuk membangun negara dan pihak komunis hanya ingin menghancurkannya. Hamengkubuwana, Gubernur Soerjo, dan Kepala Kepolisian Provinsi Jawa Timur lantas pergi ke Madiun. Hamengkubuwana jauh di depan meninggalkan mobil Gubernur Soerjo dan Kepala Kepolisian yang kemudian diketahui terbunuh di Walikukun. Hamengkubuwana mengatakan bahwa ia dilaporkan hal tersebut oleh seorang kurir setengah jam setelah melewati daerah tersebut, kontras dengan klaim Nasution yang menyebutkan bahwa pembunuhan tersebut baru diketahui olehnya dua hari setelah jasad mereka ditemukan.[110]
Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan, Hamengkubuwana mengusulkan bentuk pemerintahan baru di Surakarta. Ia secara terbuka menyamakan Surakarta sebagai "Barat yang Liar" (The Wild West). Ia melapor kepada Hatta bahwa pendekatan terbaik untuk menyelesaikan masalah di sana adalah dengan menggunakan organ administratif yang masih layak dengan tetap memasukkan para pangeran agar kalangan monarki tidak menjadi "kekuatan antirevolusioner". Ia mengusulkan Daerah Istimewa Surakarta dengan identitasnya sendiri tetapi dipandu undang-undang yang diberlakukan di Jawa Tengah. Struktur pemerintahan yang ada adalah daerah tersebut akan dipimpin seorang gubernur yang dipilih Presiden; dibantu tujuh orang dewan pemerintahan: lima orang dipilih badan legislatif daerah, satu dipilih Sunan Surakarta, dan satu dipilih Adipati Mangkunegara; dan juga dibantu oleh Dewan Penasihat yang terdiri atas Sunan dan Adipati. Keputusan ini dianggap lumayan memuaskan Republiken yang antifeodal tanpa menghilangkan pengaruh monarki demi menarik sentimen lokal karena penggabungan Surakarta ke Jawa Tengah yang belum begitu umum bagi rakyat Surakarta.[111]
Agresi Militer II
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi militernya.[112] Aksi militer ini diawali dengan penyerbuan Lapangan Terbang Maguwo. Tentara Belanda mulai menyebar ke Yogyakarta dan mengepung kota.[113] Soekarno segera melaksanakan sidang kabinet darurat. Sebelum sidang dimulai, Soekarno memberi tahu Sultan bahwa ia tetap akan keluar kota untuk menghindari penangkapan Belanda.[114] Perdana Menteri Mohammad Hatta sedang berada di Kaliurang untuk bertemu dengan Komisi Tiga Negara; karena tak kunjung datang di Gedung Agung, Sultan diminta Soekarno untuk menjemputnya. Hamengkubuwana ditemani dengan Sjahrir berangkat ke Kaliurang, singgah sebentar di Kepatihan untuk memerintahkan persiapan pengungsian sementara bagi pemimpin pemerintahan di Gunungkidul, dan di tengah perjalanan menjumpai Hatta yang telah berjalan ke kota. Mereka kembali ke Yogyakarta dan ketika tiba di Gedung Agung, sidang telah selesai diputuskan. Soekarno memutuskan untuk tidak jadi keluar kota, membiarkan dirinya ditangkap oleh Belanda,[115] dan kekuasaan diberikan kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi.[116] Syafruddin diberitahukan keputusan ini melalui siaran radio, tetapi ia tak mengetahuinya. Meskipun demikian, Syafruddin telah berinisiasi membentuk pemerintahan serupa di sana, sehingga keputusan ini telah dilaksanakan meskipun tanpa konsultasi dengan pemerintah pusat.[117]
Pengepungan Yogyakarta
Siang hari tanggal 19 Desember 1948, Tentara Belanda telah sampai di tengah kota Jogja.[117] Sultan memerintahkan untuk menutup seluruh gerbang keraton agar tidak ada mata-mata Belanda yang masuk. Ia tidak menerima tamu kecuali rakyat yang telah mengungsi di keraton sebelum perintah penutupan gerbang dikeluarkan.[118] Hamengkubuwana sempat bertemu dengan Kolonel van Langen dan Westerhof, seorang pejabat Belanda, yang menunjukkannya sebuah peta Yogyakarta yang telah diberi tanda-tanda tertentu. Peta tersebut memiliki arti bahwa Sultan bebas bergerak tetapi hanya di dalam area keraton.[119][h] Satu persatu pemimpin negara diasingkan. Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim diberangkatkan ke Berastagi[120] sebelum kemudian disatukan kembali bersama Hatta, Mohamad Roem, Ali Sastroamidjojo, dan Assaat di Bangka.[121] Beberapa pemimpin negara yang selamat dapat meloloskan diri keluar kota maupun hidup dalam penyamaran.[120]
Bulan Januari 1949, Sultan dan Paku Alam VIII mengundurkan diri dari jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.[122] Hal ini dimaksudkan agar urusan keamanan diserahkan kepada tentara Belanda.[123] Selain itu, karena tidak lagi mengemban tanggung jawab pemerintah daerah, mereka tidak dapat melakukan apa pun untuk bekerja sama dengan Belanda, membuktikan bahwa rumor mereka bekerja sama dengan Belanda adalah salah.[124] Belanda yang menyadari masih kuatnya pengaruh Sultan terhadap rakyatnya berusaha untuk merangkulnya.[125] Letnan Gubernur Jenderal van Mook kemudian digantikan oleh Komisaris Tinggi Beel.[126] Utusan-utusan Belanda dari kalangan bangsa Indonesia seperti Hussein Jayadiningrat dan Sultan Hamid II, juga pejabat-pejabat Belanda seperti Residen E.M. Stok, Dr. Berkhuis, dan Kolonel van Langen yang satu persatu datang ke keraton semuanya ditolak.[127] Menteri Koloni Maan Sassen merencanakan sebuah negara bagian baru di Jawa Tengah yang mungkin akan dipimpin oleh Sultan.[126]
Sultan dibujuk dengan tawaran daerah kekuasaan di Kedu dan Banyumas, tambahan wilayah di Jawa Timur, kemudian seluruh Jawa dan Madura sebagai "Super Wali Negara",[128] dan bahkan sebagai Deputi Gubernur Jenderal Hindia Timur.[129] Tak hanya itu, Sultan juga ditawari saham perusahaan kereta api hingga sejumlah besar uang.[130] Meskipun demikian, utusan-utusan tersebut hanya dapat bertemu saudara Hamengkubuwana seperti Prabuningrat, Mudaningrat, dan Bintoro dengan alasan bahwa ia sedang sakit. Mereka menerima utusan-utusan tersebut tetapi tidak memberikan jawaban atau balasan atas tawaran yang ada.[128] Tak peduli dengan itu, Kabinet Belanda masih tetap berharap Hamengkubuwana akan memihak kepada mereka.[131]
Serangan Umum 1 Maret 1949
Karena kondisi perang yang berkepanjangan, Sultan memandang rakyatnya makin menderita dan melihat semangat para pejuang makin memudar.[132] Dewan Keamanan PBB memutuskan resolusi atas Indonesia pada 28 Januari 1949.[133] Hamengkubuwana mengetahui bahwa pada awal bulan Maret, sebuah rapat DK PBB mengenai Indonesia akan diadakan kembali. Ia mengambil kesempatan ini dengan mengusulkan kepada Jenderal Soedirman sebuah serangan agar dunia tahu bahwa Republik Indonesia masih ada. Soedirman menyetujuinya dan menyarankan Sultan berbicara dengan komandan setempat, Letkol Soeharto.[134] Pada 14 Februari 1949,[i] Letkol Soeharto bertemu dengan Sultan.[136] Ia menyamar sebagai seorang abdi dalem.[137] Pertemuan yang membahas rencana Serangan Umum 1 Maret ini,[136] diadakan di tempat tinggal Prabuningrat, kakak Sultan.[138]
Tanggal 22 Februari 1949, kompleks Kepatihan, kantor Sultan, dijarah oleh tentara Belanda.[139] Mereka membawa beberapa dokumen, termasuk naskah tesis Sultan yang belum sempat dikumpulkan,[140] dan menemukan beberapa instruksi rahasia.[141] Oleh karenanya, para pejabat Belanda mulai tidak sabar. Mereka mulai berencana memecat dan menggantikan Sultan. Menteri Luar Negeri Belanda van Maarseveen setuju bahwa Komisaris Tinggi Beel dapat "menduduki keraton dan menggantikan Sultan" jika situasinya memburuk. Beberapa sumber mencatat bahwa beberapa anggota keluarga Sultan sempat terbujuk, tetapi tidak berlangsung lama.[142]
Pada 1 Maret 1949 pukul enam pagi, ditandai dengan bunyi sirene berakhirnya jam malam yang ditetapkan Belanda, pasukan Indonesia menyerang Yogyakarta secara serentak. Setelah serangan berlangsung selama enam jam, pasukan berhasil menduduki tempat-tempat yang telah direncanakan, kemudian dikomando untuk menarik diri dan kembali ke pangkalan masing-masing. Ketika bala bantuan Belanda datang dari Magelang, para pejuang sudah menarik diri.[143] Sore harinya,[j] Kolonel van Langen dan Residen Stok datang, menuduh bahwa ada tembakan dari dalam keraton selama Serangan Umum, dan memberi tahu bahwa Jenderal Meijer, Komandan Jenderal Jawa Tengah, akan datang menemui Sultan.[145]
Keesokan harinya, 2 Maret 1949,[k] Jenderal Meijer datang. Sultan ditemani Prabuningrat menerima mereka dengan pakaian sederhana,[146] untuk menunjukkan keterpaksaannya, hingga taraf sesuatu yang tidak sopan untuk menerima tamu dalam adat Jawa.[147] Di sini terjadi salah satu kutipan yang terkemuka, yakni, "Saya tidak meminta Tuan-Tuan datang ke Yogya."[148] Selain itu, Sultan bahkan telah menyiapkan satu tas penuh pakaian, karena menduga akan ditangkap,[147] dan akan turun takhta apabila berbagai provokasi Belanda makin menjadi-jadi.[149] Namun, Sultan meminta agar ia "ditinggalkan dalam kedamaian" dan bila Belanda akan mengacak-acak keraton, "Lebih baik saya mati dulu!"[149][l] Rombongan tersebut akhirnya meninggalkan keraton dengan tenang dan sopan.[140]
Penyerahan kedaulatan Indonesia
Tanggal 3 Maret 1949, Majelis Permusyawaratan Federal (BFO) mengeluarkan resolusi yang menyerukan pemulangan pemimpin-pemimpin Republik dari pengasingan.[151] Pada 23 Maret, DK PBB mengeluarkan Resolusi Kanada,[133] yang dinilai berkekuatan lemah, tetapi memperkuat resolusi bulan Januari.[152] Perundingan Roem-Roijen dimulai pada pertengahan April 1949;[133] mencapai kesepakatan Persetujuan Roem-Roijen yang ditandatangani pada 7 Mei 1949.[153] Hamengkubuwana membuka kembali kantor-kantor Kesultanan pada pertengahan bulan Mei.[154] Tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta dimulai dari Bantul tanggal 24 Juni, kemudian dari Kota Yogyakarta pada 29 Juni, hingga dari DIY sepenuhnya pada 30 Juni 1949; kekuasaan atas Yogyakarta dikembalikan kepada Hamengkubuwana.[155] Pada 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta tiba di Yogyakarta dari Bangka.[156] Syafruddin Prawiranegara mengembalikan kekuasaan dari PDRI kepada Presiden Soekarno pada 13 Juli.[157]
Tanggal 24 Juli 1949, dibentuk susunan delegasi Konferensi Meja Bundar.[157] Persetujuan mengenai penyerahan kedaulatan Indonesia ditandatangani di Den Haag pada 2 November 1949.[158] Di Amsterdam, dilakukan upacara penyerahan kedaulatan dilakukan di Istana Dam oleh Ratu Juliana dengan Moh. Hatta; Di Jakarta, upacara serupa dilakukan di Istana Koningsplein oleh A.H.J. Lovink dengan Hamengkubuwana.[159] Upacara dilanjutkan dengan penurunan Bendera Belanda dan penaikan Bendera Indonesia di Istana Koningsplein. Karena teriakan "merdeka" yang bersahutan di sana, Istana Koningsplein atau Istana Gambir kemudian mulai disebut sebagai Istana Merdeka.[160]
Karier di kabinet
Sejak 1946 ia pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Sukarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 ia diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, ia menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.
Kepramukaan
Sejak usia muda Hamengkubuwana IX telah aktif dalam organisasi pendidikan kepanduan. Menjelang tahun 1960-an, Hamengkubuwana IX telah menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan). Pada tahun 1961, ketika berbagai organisasi kepanduan di Indonesia berusaha disatukan dalam satu wadah, Sri Sultan Hamengkubuwana IX memiliki peran penting di dalamnya. Presiden RI saat itu, Sukarno, berulang kali berkonsultasi dengan Sri Sultan tentang penyatuan organisasi kepanduan, pendirian Gerakan Pramuka, dan pengembangannya.
Pada tanggal 9 Maret 1961, Presiden Sukarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Panitia ini beranggotakan Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Prof. Prijono (Menteri P dan K), Dr.A. Azis Saleh (Menteri Pertanian), dan Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa). Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka dan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961.
Pada tanggal 14 Agustus 1961, yang kemudian dikenal sebagai Hari Pramuka, selain dilakukan penganugerahan Panji Kepramukaan dan defile, juga dilakukan pelantikan Mapinas (Majelis Pimpinan Nasional), Kwarnas dan Kwarnari Gerakan Pramuka. Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjabat sebagai Ketua Kwarnas sekaligus Wakil Ketua I Mapinas (Ketua Mapinas adalah Presiden RI).
Sri Sultan bahkan menjabat sebagai Ketua Kwarnas (Kwartir Nasional) Gerakan Pramuka hingga empat periode berturut-turut, yakni pada masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Sehingga selain menjadi Ketua Kwarnas yang pertama kali, Hamengkubuwana IX pun menjadi Ketua Kwarnas terlama kedua, yang menjabat selama 13 tahun (4 periode) setelah Letjen. Mashudi yang menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama 15 tahun (3 periode).
Keberhasilan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam membangun Gerakan Pramuka dalam masa peralihan dari “kepanduan” ke “kepramukaan”, mendapat pujian bukan saja dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Dia bahkan akhirnya mendapatkan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973. Bronze Wolf Award merupakan penghargaan tertinggi dan satu-satunya dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) kepada orang-orang yang berjasa besar dalam pengembangan kepramukaan.
Atas jasa tersebutlah, Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka pada tahun 1988 yang berlangsung di Dili (Ibu kota Provinsi Timor Timur, sekarang negara Timor Leste), mengukuhkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Pengangkatan ini tertuang dalam Surat Keputusan nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka.
Kematian
Rabu, 14 September 1988, Sri Sultan Hamengkubuwana IX bersama KRA Norma Nindyakirana berangkat ke Tokyo, Jepang dari Jakarta, sebelum lanjut ke Washington, D.C., Amerika Serikat. Sultan menyaksikan Pagelaran Kesenian Mataram di Tokyo bersama dengan Prof. Emil Salim. Selama berada di Jepang, Sultan sempat berkunjung ke Kyoto ditemani oleh Pangeran Mangkubumi.[161] Sultan bersama KRA Nindyakirana kemudian berangkat ke Washington dari Jepang pada 27 September.[162]
Di Washington, Sultan bersama KRA Nindyakirana menginap di Hotel Embassy Row, tepat di depan KBRI Washington.[163] Pada 28 September, Sultan menjalankan pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Walter Reed. Ia juga menjadwalkan pemeriksaan kesehatan mata di Boston pada tanggal 3 Oktober. Sore hari Minggu, 2 Oktober 1988 waktu setempat, Sri Sultan diketahui muntah-muntah di hotel tempatnya menginap. 15 menit kemudian ambulans datang; Sultan dilarikan ke unit gawat darurat George Washington University Hospital. Tidak ada pengantar yang dapat masuk ke tempat perawatan gawat darurat Sultan. Pada pukul 20.05 waktu setempat, tim dokter menyatakan Hamengkubuwana IX telah meninggal dunia.[162]
Kabar meninggalnya Hamengkubuwana IX disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono kepada Presiden Soeharto pukul 07.00 WIB di kediaman Presiden di Jalan Cendana. Presiden Soeharto memutuskan untuk melakukan upacara pemakaman kenegaraan dan menetapkan masa berkabung selama seminggu. Beberapa saat kemudian, datang Duta Besar Amerika Serikat Paul Wolfowitz menyampaikan surat belasungkawa Presiden Ronald Reagan. Ia juga menyampaikan bahwa AS telah menyiapkan pesawat Air Force Two untuk menerbangkan jenazah Sultan hingga ke Jakarta. Soeharto berterima kasih atas bantuan AS, tetapi ia ingin pesawat Indonesia yang menjemput jenazah Sultan. Pada akhirnya disepakati Air Force Two akan terbang dari Pangkalan Udara Bersama Andrew, Maryland ke Pangkalan Udara Hickam, Honolulu. Pesawat Garuda Indonesia DC-10 kemudian membawa jenazah dari Honolulu ke Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.[164]
Kamis, 6 Oktober 1988, jenazah telah sampai di Jakarta. Dilakukan upacara penerimaan dengan inspektur upacara Jenderal Benny Moerdani. Setelah disemayamkan sebentar di Kantor Perwakilan DIY di Jakarta, jenazah dilepas oleh Wakil Presiden Soedharmono dan diterbangkan ke Bandara Adisutjipto dengan pesawat Hercules milik TNI AU.[165]
Pemakaman
Jumat, 7 Oktober 1988, jenazah Sultan telah sampai di Yogyakarta dan disemayamkan di Bangsal Kencono, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada pukul 10.30 WIB, dilaksanakan pernikahan massal empat putra Sultan yang sebenarnya akan dilaksanakan pada 5 November. Pangeran Pakuningrat, Cakraningrat, Candraningrat, dan Yudhaningrat dinikahkan oleh Penghulu Keraton di depan peti jenazah Sultan. Keraton dibuka pada pukul 14.00 hingga keesokan harinya pukul 06.00 dan langsung diramaikan oleh masyarakat yang berkumpul untuk menyaksikan.[166]
Prosesi pemakaman Hamengkubuwana IX dimulai pada Sabtu, 8 Oktober 1988. Jenazah dilepas dari gerbang Magangan oleh Presiden Soeharto, Pangeran Purubojo (kakak Sultan), dan Pangeran Mangkubumi (putra sulung Sultan). Iring-iringan pembawa jenazah dipimpin oleh Pangeran Yudhaningrat. Di belakang kereta pembawa jenazah, kuda kesayangan Sultan dibiarkan berjalan beriringan tanpa penunggang. Sesuai dengan tradisi, kereta Kyai Rata Pralaya yang membawa jenazah Sultan-Sultan Yogyakarta dilewatkan di antara dua beringin kembar di Alun-Alun Selatan dan di bawah Gerbang Nirbaya keluar dari kompleks keraton.[167]
Pada pukul 15.00, iring-iringan tiba di Astana Imogiri, pemakaman kerajaan Wangsa Mataram. Jenazah lalu disalatkan di Masjid Pajimatan sebelum dibawa dan dimakamkan di Astana Saptorenggo, tempat makam Sultan yang telah disiapkan sebelumnya. Pemakaman Sultan dihadiri oleh Ketua BPK Jenderal M. Jusuf; Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut; Kapolri; serta Duta Besar AS Paul Wolfowitz dan Duta Besar Australia Bill Morrisson.[168]
Peninggalan
Seni dan budaya
Meskipun sibuk di bidang pemerintahan, Hamengkubuwana IX juga peduli akan seni dan budaya di Yogyakarta.[2] Ia mewariskan Tari Golek Menak yang terinspirasi dari cerita wayang golek dan Serat Menak yang bersumber kepada Hikayat Amir Hamzah.[169] Ia juga mewariskan Tari Bedhaya Sapta[m] yang dimainkan oleh tujuh orang tidak seperti pada umumnya yang dimainkan sembilan orang.[170] Selain itu, ada pula Bedhaya Sangaskara[n] atau Bedhaya Manten yang dimainkan enam orang pada saat pernikahan putra putrinya.[171] Tari Bedhaya Arya Penangsang dan Bedhaya Damarwulan juga diciptakan olehnya.[172]
Selain menekuni bidang tari, Sultan juga menekuni bidang fotografi.[173] Ada dua kamera yang senantiasa dipakainya yang kini disimpan di Museum Hamengkubuwana IX, Keraton Yogyakarta. Beberapa hasil potret Hamengkubuwana IX adalah ketika Mohammad Hatta bersalaman dengan pemain sepak bola asal Mozambik, pada tahun 1955. Di tahun yang sama, Ia juga sempat memotret atlet kejuaraan atletik Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) di Stadion Ikada, Jakarta. Pada tahun 1972, Sultan juga sempat mengabadikan Candi Borobudur sebelum dipugar.[174][175]
Kehidupan pribadi
Silsilah
- Anak kesembilan dari Sultan Hamengkubuwana VIII dan permaisuri Raden Ajeng Kustilah/Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara/Kanjeng Ratu Alit.
Istri | Anak | Mantu |
---|---|---|
BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama, putri R.B. Suryokusumo, buyut HB VI (1940) | BRM Murtyanta/GBPH Adi Kusuma/GBPH Hadikusuma | Dr. Sri Hardani |
BRM Kaswara/GBPH Hadisurya | Andinidevi | |
BRA Gusti Sri Murhanjati/GKR Anom | Kolonel Budi Permana/KPH Adibrata | |
BRA Sri Murdiyatun/GBRAy Murdakusuma | KRT Murdakusuma | |
BRA Dra. Sri Murywati/GBRAy Dra. Darmakusuma | KRT Ir Suyono Darmakusuma | |
RA Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy Adipati Anom, putri Raden Wedana Purwowinoto, buyut HB III (1943) | BRM Herjuna Darpita/KGPH Mangkubumi, SH/KGPAA Mangkubumi/Sri Sultan Hamengkubuwana X | Tatiek Drajad Suprihastuti/BRA Mangkubumi/GKR Hemas |
BRM Sumyandana/GBPH Joyokusumo | Hj. Nuraida | |
BRM Ibnu Prastawa/KGPH Hadiwinoto | Aryuni Utari | |
BRA Dr Sri Kuswarjanti/GBRAy Dr. Riyakusuma | KRT Riyakusuma | |
KRA Hastungkara/BRA Kusyadinah, putri Raden Panji Trusthajumena, buyut HB VII (1948) | BRM Harumanta/GBPH Prabukusuma, S.Psi | Kuswarini |
BRM Kuslardiyanta | Jeng Yeni | |
BRM Sulaksmana/GBPH Yudhaningrat, MM. | Raden Roro Endang Hermaningrum | |
BRM Abirama/GBPH Candradiningrat | Hery Iswanti | |
BRA Kushandanari | ||
BRA Sri Kusulodewi/ GBRAy Padmokusumo | KRT Padmokusumo Sastronegoro | |
KRA Ciptamurti, putri KPH/BRA Brongtodiningrat, cucu HB VII | BRM Anindita/GBPH Pakuningrat | Nurita Afridiana |
BRM Prasasta/GBPH Cakraningrat | Lakhsmi Indra Suharjana | |
BRM Arianta/GBPH Suryodiningrat | Farida Indah | |
BRM Sarsana/GBPH Suryomataram | ||
BRM Harkomoyo/GBPH Hadinegoro | Iceu Cahyani | |
BRM Swatindra/GBPH Suryonegoro | Rr. Endang Retno Werid Soelasmi Lim | |
Norma Musa/KRA Norma Nindya Kirana, putri Handaru Widharna (1977) |
Penghargaan
Atas jasa-jasanya kepada Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwana IX dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tahun 1990 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53/TK/Tahun 1990.[2]
Tanda kehormatan
Hamengkubuwana IX juga dianugerahi berbagai tanda kehormatan dari dalam maupun luar negeri. Tanda kehormatan tersebut di antaranya:
- Indonesia
- Bintang Republik Indonesia Adipradana[176] – 20 Mei 1967[177]
- Bintang Mahaputera Adipurna[176] – 20 Mei 1967[178]
- Bintang Mahaputera Adipradana[176] – 15 Februari 1961[178]
- Bintang Gerilya[179][176] – 1959[180]
- Bintang Bhayangkara Pratama[176] – 30 Juni 1962[181]
- Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia[176]
- Satyalancana Peringatan Kemerdekaan[176]
- Satyalancana Kesetiaan[176]
- Satyalancana Perang Kemerdekaan I[176]
- Satyalancana Perang Kemerdekaan II[176]
- Luar negeri
- Malaysia
- Seri Setia Mahkota Malaysia (S.S.M. (K)) – 1972[182]
- Jerman
- Salib Agung Orde Jasa Republik Federal Jerman[176]
- Belanda
- Kesatria Salib Agung Orde Singa Belanda[176]
- Panglima Orde Oranye-Nassau[183]
- Thailand
- Selempang Kebesaran Kesatria Orde Gajah Putih[176]
- Jepang
- Selempang Kebesaran Orde Matahari Terbit (1982)[184]
- Britania Raya
- Honorary Knight Grand Cross of the Order of St Michael and St George (1974)
Galeri
-
Sri Sultan Hamengku Buwono IX membacakan sumpah jabatannya sebagai Wakil Presiden RI.
-
Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Presiden Soeharto dalam Rapat Paripurna Pertama Kabinet Pembangunan I di Gedung Bina Graha, Jakarta pada 19 Juni 1968.
-
Sri Sultan Hamengkubuwono IX menerima kunjungan Presiden Bank Dunia Robert McNamara di Jakarta, pada 11 Juni 1968.
-
Sultan Hamengkubuwono IX memakai baju pramuka semasa masih menjadi Ketua Kwarnas.
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ Sultan wafat tanggal 2 Oktober pukul 20:05 waktu Washington, DC atau tanggal 3 Oktober pukul 07:05 Waktu Indonesia Barat.
- ^ Bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra ing Mataram.[4]
- ^ Panggilan KRT H. Jatiningrat, cucu Hamengkubuwana VIII juga sepupu Hamengkubuwana X.
- ^ Bertepatan dengan 8 Sapar tahun Dal 1871 Jawa.[54]
- ^ Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Bandung menjadi tempat pertahanan terakhir mereka.[61] Selain itu, Surabaya juga akan dipertahankan karena pangkalan utama Angkatan Laut berada di sana. Dengan demikian, Jawa Tengah akan dibiarkan kosong tanpa pertahanan karena tentara dikonsentrasikan ke kedua tempat tersebut.[62]
- ^ 21 Agustus 1945 menurut catatan Monfries.[89]
- ^ Latar belakang maupun tanggal pengangkatan Sultan untuk jabatan Menteri Negara Koordinator Keamanan tidak diketahui secara pasti, banyak sumber yang berbeda pernyataannya mengenai hal ini.[109]
- ^ Dengan demikian, Roem dkk. menganggap Sultan telah menjadi tahanan rumah. Diketahui, hal yang sama juga terjadi kepada Paku Alam VIII di Pura Pakualaman.[120]
- ^ Buku Takhta untuk Rakyat menuliskan "...yang berlangsung sekira tanggal 13 Februari".[135]
- ^ Atmakusumah, penyunting buku Takhta untuk Rakyat, berpendapat ini terjadi keesokan harinya.[144]
- ^ Atmakusumah berpendapat bahwa ini terjadi pada 3 Maret 1949.[144]
- ^ Atau yang terkenal dengan kutipan, "Langkahi mayat saya dahulu!"[150]
- ^ Sapta berarti tujuh.
- ^ Kadang ditulis Bedhaya Sanghaskara.[2]
Referensi
- ^ "Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 14 Tahun 1950 Tentang Pemberian Pangkat Militair Titulair Jenderal kepada J.M. Hamengku Buwono IX". Sistem Informasi Kearsipan Nasional. Arsip Nasional Republik Indonesia. 4 Januari 1950. Diakses tanggal 2021-09-29.
- ^ a b c d "Sri Sultan Hamengku Buwono IX". Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Diakses tanggal 2021-09-11.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 7–8; Monfries 2018, hlm. 35; Suyono & Parera 2015, hlm. 35–36.
- ^ a b Roem et al. 2011, hlm. 9; Monfries 2018, hlm. 36; Suyono & Parera 2015, hlm. 36.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 9; Monfries 2018, hlm. 35; Suyono & Parera 2015, hlm. 36.
- ^ Monfries 2018, hlm. 38.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 9; Monfries 2018, hlm. 38.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 36.
- ^ Monfries 2018, hlm. 36–37.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 9; Suyono & Parera 2015, hlm. 34, 36.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 11; Monfries 2018, hlm. 36; Suyono & Parera 2015, hlm. 36.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 13.
- ^ Monfries 2015, hlm. 45–46.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 37.
- ^ Monfries 2018, hlm. 37.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 14–16; Monfries 2018, hlm. 45.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 17–18; Monfries 2018, hlm. 46; Suyono & Parera 2015, hlm. 37–39.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 18; Monfries 2018, hlm. 46.
- ^ Monfries 2018, hlm. 47.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 18; Monfries 2018, hlm. 47; Suyono & Parera 2015, hlm. 41–42.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 41–43.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 18.
- ^ Monfries 2018, hlm. 47–48; Suyono & Parera 2015, hlm. 43.
- ^ Monfries 2018, hlm. 48.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 18; Monfries 2018, hlm. 48; Suyono & Parera 2015, hlm. 43.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 18–21; Soemardjan 1989, hlm. 115; Monfries 2018, hlm. 48–50; Suyono & Parera 2015, hlm. 44–46.
- ^ Monfries 2018, hlm. 50.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 22–23; Monfries 2018, hlm. 59–60; Suyono & Parera 2015, hlm. 59–60.
- ^ Monfries 2018, hlm. 60.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 48–49.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 26–27; Monfries 2018, hlm. 75; Suyono & Parera 2015, hlm. 60.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 26–27; Monfries 2018, hlm. 75; Suyono & Parera 2015, hlm. 61.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 27; Monfries 2018, hlm. 75; Suyono & Parera 2015, hlm. 60.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 27.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 28; Monfries 2018, hlm. 75; Suyono & Parera 2015, hlm. 58–59.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 28–29; Monfries 2018, hlm. 75; Suyono & Parera 2015, hlm. 61–62.
- ^ a b c Monfries 2018, hlm. 88.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 30–31; Monfries 2018, hlm. 86; Suyono & Parera 2015, hlm. 64.
- ^ Monfries 2018, hlm. 89.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 31–32; Monfries 2018, hlm. 89–90; Suyono & Parera 2015, hlm. 62.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 41; Monfries 2018, hlm. 90.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 31; Monfries 2018, hlm. 87; Suyono & Parera, hlm. 67.
- ^ Monfries 2018, hlm. 87.
- ^ Monfries 2018, hlm. 96.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 66.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 35–36; Suyono & Parera 2015, hlm. 66.
- ^ Monfries 2018, hlm. 90; Suyono & Parera 2015, hlm. 66.
- ^ Monfries 2018, hlm. 92, 93, 95–96.
- ^ a b c d Monfries 2018, hlm. 91.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 36–37, 40; Monfries 2018, hlm. 92; Suyono & Parera 2015, hlm. 63–64, 68.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 37; Suyono & Parera 2015, hlm. 63.
- ^ Monfries 2018, hlm. 92, 98.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 37, 40–41; Suyono & Parera 2015, hlm. 68.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 42.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 43, 46.
- ^ Monfries 2018, hlm. 98.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 47; Monfries 2018, hlm. 99–100.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 48.
- ^ a b Monfries 2018, hlm. 102.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 48, 50.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 50; Monfries 2018, hlm. 132.
- ^ Monfries 2018, hlm. 132.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 52–53.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 50; Monfries 2018, hlm. 133.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 52–53; Monfries 2018, hlm. 132–133.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 50.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 54.
- ^ Monfries 2018, hlm. 134.
- ^ Monfries 2018, hlm. 135–136.
- ^ Monfries 2018, hlm. 136.
- ^ Monfries 2018, hlm. 141.
- ^ Monfries 2018, hlm. 142.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 54; Suyono & Parera 2015, hlm. 72.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 55; Monfries 2018, hlm. 137.
- ^ Monfries 2018, hlm. 137.
- ^ Monfries 2018, hlm. 137–138.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 55–56; Monfries 2018, hlm. 148; Suyono & Parera 2015, hlm. 69–70.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 56–57; Monfries 2018, hlm. 145; Suyono & Parera 2015, hlm. 70–72.
- ^ Monfries 2018, hlm. 145.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 57; Monfries 2015, hlm. 146; Suyono & Parera 2015, hlm. 72–73.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 57; Monfries 2018, hlm. 145, 169.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 57.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 73.
- ^ Monfries 2018, hlm. 146.
- ^ Monfries 2018, hlm. 158.
- ^ Monfries 2018, hlm. 158–159.
- ^ a b Monfries 2018, hlm. 159.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 61; Monfries 2018, hlm. 177; Suyono & Parera 2015, hlm. 12–13.
- ^ Monfries 2018, hlm. 178.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 61; Monfries 2018, hlm. 178; Suyono & Parera 2015, hlm. 13.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 61; Suyono & Parera 2015, hlm. 13.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 13.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 61–62; Monfries 2018, hlm. 183; Suyono & Parera 2015, hlm. 15–16.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 62; Monfries 2018, hlm. 183.
- ^ a b c Monfries 2018, hlm. 187.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 67; Monfries 2018, hlm. 187.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 97; Monfries 2018, hlm. 188; Suyono & Parera 2015, hlm. 5.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 65.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 19.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 65–66; Suyono & Parera 2015, hlm. 18–19.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 66; Monfries 2018, hlm. 191; Suyono & Parera 2015, hlm. 20.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 20.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 75–77.
- ^ Monfries 2018, hlm. 198–199.
- ^ Monfries 2018, hlm. 199; Suyono & Parera 2015, hlm. 20.
- ^ Monfries 2018, hlm. 199.
- ^ Monfries 2018, hlm. 197–198.
- ^ Monfries 2018, hlm. 205.
- ^ Monfries 2018, hlm. 223.
- ^ Monfries 2018, hlm. 206–207.
- ^ Monfries 2018, hlm. 208.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 67; Monfries 2018, hlm. 225; Suyono & Parera 2015, hlm. 21.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 67.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 68–69.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 69–70; Monfries 2018, hlm. 225–226.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 70; Suyono & Parera 2015, hlm. 21.
- ^ a b Roem et al. 2011, hlm. 70.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 70; Monfries 2018, hlm. 227–228.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 70–71.
- ^ a b c Roem et al. 2011, hlm. 71.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 71; Monfries 2018, hlm. 225.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 72; Monfries 2018, hlm. 228, 231.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 72.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 72; Monfries 2018, hlm. 232–233.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 73.
- ^ a b Monfries 2018, hlm. 230.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 73–74; Monfries 2018, hlm. 228.
- ^ a b Roem et al. 2011, hlm. 74.
- ^ Monfries 2018, hlm. 233.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 74; Monfries 2018, hlm. 233–234.
- ^ Monfries 2018, hlm. 231.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 79.
- ^ a b c Roem et al. 2011, hlm. 93.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 80; Monfries 2018, hlm. 236–237; Suyono & Parera 2015, hlm. 6, 78–80.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 80.
- ^ a b Roem et al. 2011, hlm. 80; Monfries 2018, hlm. 236–237; Suyono & Parera 2015, hlm. 76–77.
- ^ Monfries 2018, hlm. 236; Suyono & Parera 2015, hlm. 76–77.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 76–77.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 84; Monfries 2018, hlm. 234–235.
- ^ a b Roem et al. 2011, hlm. 84.
- ^ Monfries 2018, hlm. 234.
- ^ Monfries 2018, hlm. 235–236.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 80–81; Monfries 2018, hlm. 237.
- ^ a b Roem et al. 2011, hlm. 91.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 82.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 83; Monfries 2018, hlm. 237.
- ^ a b Monfries 2018, hlm. 237.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 87; Monfries 2018, hlm. 237.
- ^ a b Roem et al. 2011, hlm. 90; Monfries 2018, hlm. 237.
- ^ Monfries 2018, hlm. 238; Suyono & Parera 2015, hlm. 6.
- ^ Monfries 2018, hlm. 241.
- ^ Monfries 2018, hlm. 242.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 94; Monfries 2018, hlm. 246.
- ^ Monfries 2018, hlm. 248.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 94; Doel 2001, hlm. 344; Monfries 2018, hlm. 249–250.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 94; Monfries 2018, hlm. 250.
- ^ a b Roem et al. 2011, hlm. 94.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 28.
- ^ Doel 2001, hlm. 351; Suyono & Parera 2015, hlm. 26–27.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 27–28.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 333.
- ^ a b Roem et al. 2011, hlm. 335.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 335; Suyono & Parera 2015, hlm. 2.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 335–336.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 337–338.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 339–340.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 340–341.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 341–342.
- ^ "Tari Golek Menak". Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. 9 Oktober 2018. Diakses tanggal 2021-09-12.
- ^ "Bedhaya Sapta". Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. 18 Oktober 2020. Diakses tanggal 2021-09-12.
- ^ "Bedhaya : Wiwaha Sangaskara, Sang Amurwabhumi, Bedhaya Kakung, Bedhaya Madiun". Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 4 Maret 2014. Diakses tanggal 2021-09-12.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 159.
- ^ "Sejarah Dokumentasi Visual Keraton Yogyakarta". Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Diakses tanggal 2021-09-13.
- ^ "Sejeli Mata Kamera" . Majalah Tempo. 17 Agustus 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-13. Diakses tanggal 2021-09-13.
- ^ Suyono & Parera 2015, hlm. 164–166.
- ^ a b c d e f g h i j k l m Roem et al. 2011, hlm. 435.
- ^ "Daftar WNI yang Menerima Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Tahun 1959–sekarang" (PDF). Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-09-12.
- ^ a b "Daftar Warga Negara Republik Indonesia yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Tahun 1959 s.d. 2003" (PDF). Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. Diakses tanggal 2021-09-12.
- ^ "Bintang Gerilya dari Pemerintah yang diberikan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX". Sistem Informasi Kearsipan Statis. Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses tanggal 2021-09-12.
- ^ "Keputusan Presiden Nomor 176 Tahun 1959". Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional. Diakses tanggal 2022-01-05.
- ^ "Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1962" (PDF). Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional. Diakses tanggal 2022-01-05.
- ^ "Senarai Penuh Penerima Darjah Kebesaran, Bintang dan Pingat Persekutuan Tahun 1972" (PDF). Bahagian Istiadat dan Urusetia Persidangan Antarabangsa. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-10-16. Diakses tanggal 2021-09-12.
- ^ Roem et al. 2011, hlm. 394.
- ^ "Sri Sultan Hamengku Buwono IX". datatempo.co. Diakses tanggal 2022-01-31.
Daftar pustaka
- Hughes, John (2002) [1968]. The End of Sukarno: A Coup That Misfired: A Purge That Ran Wild (edisi ke-3). Singapore: Archipelago Press. ISBN 981-4068-65-9. OCLC 52567484.
- Roem, Mohamad; Lubis, Mochtar; Mochtar, Kustiniyati; Maimoen, S. (2011) [1982]. Atmakusumah, ed. Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-2267-67-9. OCLC 729721382. Baca di iPusnas
- Soemardjan, Selo (1989). "In Memoriam: Hamengkubuwono IX, Sultan of Yogyakarta, 1912–1988" (PDF). Indonesia. Cornell University Southeast Asia Program. 47: 115–117.
- Doel, H.W. van den (2001). Afscheid Van Indië: De Val Van Het Nederlandse Imperium In Azië. Amsterdam: Prometheus. ISBN 978-904-4600-43-8.
- Elson, Robert (2001). Suharto: A Political History. Cambridge: Press Syndicate of the University of Cambridge. ISBN 0-521-77326-1.
- Monfries, John (2018) [2015]. Ditulis di Singapura. Raja di Negara Republik: Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX dari Yogyakarta. Diterjemahkan oleh Hasanah, Uswatun. Yogyakarta: Biography. ISBN 978-602-5638-18-3.
- Suyono, Seno Joko; Parera, Philipus (2015). Hamengku Buwono IX: Pengorbanan Sang Pembela Republik. Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa. Jakarta: KPG. ISBN 978-602-6208-38-5. OCLC 1239329972.
Bacaan lanjutan
- Inilah Mati yang Paling Hidup: Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 1912–1988. Jakarta: Biro Informasi dan Data, Centre for Strategic and International Studies. 1988.
- Monfries, John (2008). "The Sultan and the Revolution". Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde. Brill. 164 (2): 269–297. ISSN 2213-4379. JSTOR 27868484.
- Pour, Julius (2009). Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-454-6.
Pranala luar
- (Indonesia) Sri Sultan HB IX di tokoh.id
- (Indonesia) "Bangsawan yang Demokratis" di tokoh.id
- (Indonesia) Profil Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwana IX di Kepustakaan Presiden-Presiden RI
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Jabatan lowong Terakhir dijabat oleh Mohammad Hatta
|
Wakil Presiden Indonesia 1973–1978 |
Diteruskan oleh: Adam Malik |
Didahului oleh: Lucien Adam |
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta 1945–1988 |
Diteruskan oleh: Sri Paku Alam VIII |
Jabatan menteri baru | Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia 1966–1973 |
Diteruskan oleh: Widjojo Nitisastro |
Didahului oleh: Soebandrio |
Wakil Perdana Menteri Indonesia 1966 |
Jabatan dihapuskan |
Didahului oleh: R. Mas Sewaka |
Menteri Pertahanan Indonesia 1952–1953 |
Diteruskan oleh: Abdoel Halim |
Didahului oleh: Abdoel Hakim |
Wakil Perdana Menteri Indonesia 1950–1951 |
Diteruskan oleh: Wilopo |
Didahului oleh: Amir Sjarifoeddin |
Menteri Pertahanan Indonesia 1948–1950 |
Diteruskan oleh: Abdoel Halim |
Gelar kebangsawanan | ||
Didahului oleh: Hamengkubuwono VIII |
Raja Kesultanan Yogyakarta 1940–1988 |
Diteruskan oleh: Hamengkubuwono X |
Jabatan lain | ||
Didahului oleh: Jabatan baru |
Ketua Kwartir Nasional 1961–1974 |
Diteruskan oleh: M. Sarbini |