Abdurrahman Wahid
Dr. (H.C.) K.H. Abdurrahman Wahid, Lc. (/ˌɑːbdʊəˈrɑːxmɑːn wɑːˈhiːd/ ⓘ; dilahirkan dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil;[1][2] 7 September 1940 – 30 Desember 2009), atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur (ⓘ), adalah seorang politikus Indonesia dan pemimpin agama Islam yang menjabat sebagai presiden Indonesia ke-4, dari pemilu tahun 1999 hingga pemakzulannya pada tahun 2001. Selain sebagai pemimpin organisasi Nahdlatul Ulama, ia juga merupakan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia adalah putra Menteri Agama Wahid Hasyim, dan cucu dari pendiri Nahdatul Ulama, Hasyim Asy'ari. Ia menderita gangguan penglihatan yang disebabkan oleh glaukoma; Ia mengalami kebutaan total pada mata kirinya dan mata kanannya buta sebagian. Ia merupakan presiden Indonesia pertama dan satu-satunya (sejauh ini) yang memiliki disabilitas fisik.
Abdurrahman Wahid | |
---|---|
Presiden Indonesia ke-4 | |
Masa jabatan 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001 | |
Wakil Presiden | Megawati Soekarnoputri |
Ketua Umum PBNU | |
Masa jabatan 1984–1999 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Abdurrahman ad-Dakhil 7 September 1940 Jombang, Hindia Belanda |
Meninggal | 30 Desember 2009 Jakarta, Indonesia | (umur 69)
Sebab kematian | Penyakit jantung koroner |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | PKB |
Suami/istri | |
Anak |
|
Orang tua |
|
Profesi | Ulama Politikus |
Tanda tangan | |
Situs web | www |
Penghargaan | |
Sunting kotak info • L • B |
| ||
---|---|---|
Presiden Indonesia Kebijakan
|
||
Abdurrahman Wahid berperan penting dalam mencabut larangan perayaan Tahun Baru Imlek. Hingga tahun 1998, perayaan Tahun Baru Imlek oleh keluarga Tionghoa dibatasi secara khusus hanya di dalam rumah. Pembatasan ini dilakukan pemerintah Orde Baru melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang ditandatangani Presiden Soeharto. Pada tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang membatalkan instruksi sebelumnya.[3] Wahid juga menjadikan Konfusianisme sebagai agama resmi keenam di Indonesia pada tahun 2000 dan melindungi hak-hak minoritas di Indonesia. Alhasil, ia diberi gelar “Bapak Pluralisme”.[4]
Julukan populernya 'Gus Dur' berasal dari Gus, sebuah kehormatan umum untuk putra kyai, dan dari kependekan dari bagus dari bahasa Jawa[5]; dan Dur yang merupakan kependekan dari namanya, Abdurrahman.
Masa muda
Abdurrahman Wahid merupakan anak dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Ia lahir pada tanggal 4 Syakban 1359 Hijirah. Dalam kalender Masehi, Abdurrahman Wahid lahir pada tanggal 7 September 1940. Kisah tentang tanggal lahir beliau terbilang cukup unik. Meski Gus Dur lahir pada tanggal 7 September, sejumlah orang masih merayakan hari ulang tahun Gus Dur pada 4 Agustus.[6] Tempat kelahirannya di pesantren milik kakek dari pihak ibunya yang bernama Bisri Syansuri. Pesantren ini terletak di Denanyar Jombang, Jawa Timur.[7]
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk".[8] Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".[8]
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Gus Dur lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.[9] Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa.[10] Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[11][12]
Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[12] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Prancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.[12]
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Gus Dur pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Gus Dur juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya.[13] Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Gus Dur berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada K.H. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.[14]
Pendidikan di luar negeri
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.[15]
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; ia suka menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton pertandingan sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa; ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas.[16]
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor Jenderal Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Gus Dur, yang ditugaskan menulis laporan.[17]
Gus Dur mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu dirinya.[18] Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar.[18] Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad.[19] Gus Dur pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Gus Dur dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Gus Dur ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui.[20] dari Belanda, Gus Dur pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Awal karier
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah Prisma dan Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Gus Dur juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Gus Dur merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Gus Dur memilih batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah dan surat kabar. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Gus Dur tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada tahun 1977, Gus Dur bergabung ke Universitas Hasyim Asy'ari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam dan universitas ingin agar Gus Dur mengajar subjek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi. Namun kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan universitas.
Nahdlatul Ulama
Awal keterlibatan
Latar belakang keluarga Gus Dur segera berarti. Ia diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur sebagai intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasihat Agama NU. Namun, Gus Dur akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga.[21] Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan Penasihat Agama, Gus Dur menjadikan dirinya sebagai reforman NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Gus Dur menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya.[22] Namun, Gus Dur selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jenderal Benny Moerdani.
Mereformasi NU
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasihat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan kepemimpinan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Gus Dur mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusional. Dengan himbauan Gus Dur, Idham membatalkan kemundurannya dan Gus Dur bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya.[23]
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respons NU terhadap isu tersebut. Gus Dur berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara.[24] Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Gus Dur juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.
Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama
Reformasi Gus Dur membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Gus Dur sebagai ketua baru NU. Gus Dur menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut, dengan Anwar Nurris selaku sekjen PBNU. Namun, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota Gus Dur sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggi NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham Chalid. Gus Dur sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan diumumkan hari itu. Namun, Panitia Munas, yang bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda kepada para peserta Munas.[25]
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan Gus Dur terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila.[26] Pada tahun 1987, Gus Dur menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun ia disukai oleh rezim, Gus Dur mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia.[27] Hal ini merenggangkan hubungan Gus Dur dengan pemerintah, tetapi saat itu Suharto masih mendapat dukungan politik dari NU.
Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekuler.[28] Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks muslim.[29] Gus Dur pernah pula menghadapi kritik bahwa ia mengharapkan mengubah salam muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekuler "selamat pagi".[30]
Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru
Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Intelektual muslim. Organisasi ini didukung oleh Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di dalamnya terdapat intelektual muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat.[31] Pada tahun 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.
Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Gus Dur merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.[32] Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.[33]
Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi.[34] Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto. Wahid menasihati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya dan harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markas PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi.
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur.[35] Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Juli 1997 merupakan awal dari Krisis Finansial Asia. Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, tetapi ia terkena stroke pada Januari 1998. Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti. Pada tanggal 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto. Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi yang ia usulkan. Sembilan pemimpin tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki pendirian yang lebih moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti untuk melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya.[36] Hal tersebut tidak disukai Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.
Reformasi
Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur
Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru. Di bawah rezim Soeharto, hanya terdapat tiga partai politik: Golkar, PPP dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai terbentuk, dengan yang paling penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan Amien dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) bentukan Megawati. Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasihat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang.
Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR
Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati diperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki kursi mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim.[37] Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden.[38] Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.[39]
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jenderal Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Kepresidenan
1999
Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang korup.[40]
Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok.[41]
Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional,Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet melakukan korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat.[40] Beberapa menduga bahwa pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya atas pendekatan Gus Dur dengan Israel.[42]
Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.[43]
2000
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi Timor Leste. Pada bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Prancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.[44]
Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta Jenderal Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.[45]
Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan memintanya mundur. Pada April 2000, Gus Dur memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang diberikan Wahid adalah bahwa keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan bukti yang kuat.[46] Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.
Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan akan melanggar persetujuan.[47] Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut.[48]
Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia.[49] Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti.[50]
Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali harus menurut pada tekanan.[51]
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad, tetapi mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh senjata TNI.[52]
Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (Bulog) melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang.[53] Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan sebagian tugas.[54] Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas tersebut. Pada awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur mengumumkan kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati menunjukan ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet. Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak terdapat anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia.[55] Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur, sementara Akbar menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151 anggota DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.[56]
2001 dan akhir kekuasaan
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi hari libur fakultatif.[57][58] Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji.[59] Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia.
Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.[60] Pertemuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR di mana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan.[61] Namun, demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga mati.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.[62] Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan,[63] yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001.[64] Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan.[65] Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan maklumat yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar[66] sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun maklumat tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri.[67] Abdurrahman Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, tetapi akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.[68]
Aktivitas setelah kepresidenan
Perpecahan pada tubuh PKB
Sebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak hadir sebagai lambang solidaritas. Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB, bersikeras hadir karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada tanggal 15 Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai sebelum akhirnya mencabut keanggotaan Matori pada bulan November.[69] Pada tanggal 14 Januari 2002, Matori mengadakan Munas Khusus yang dihadiri oleh pendukungnya di PKB. Munas tersebut memilihnya kembali sebagai ketua PKB. Gus Dur membalasnya dengan mengadakan Munasnya sendiri pada tanggal 17 Januari, sehari setelah Munas Matori selesai[70] Musyawarah Nasional memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Dewan Penasihat dan Alwi Shihab sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih dikenal sebagai PKB Kuningan sementara PKB Matori dikenal sebagai PKB Batutulis.
Pemilihan umum 2004
Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004, di mana rakyat akan memilih secara langsung, PKB memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak memasukkannya sebagai calon. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Untuk pemilihan kedua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur menyatakan golput.
Oposisi terhadap pemerintahan SBY
Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai pencabutan subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.
Kehidupan pribadi
Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny juga aktif berpolitik di Partai Kebangkitan Bangsa dan saat ini adalah direktur The Wahid Institute. Gus Dur juga dikenal memiliki banyak sahabat dekat diantaranya adalah : KH. Said Aqil Siroj, KH. Yahya Cholil Staquf, Bisri Effendy, KH A Mustofa Bisri, dll.
Kematian
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga sering kali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke. Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Ia meninggal dunia pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya sejak lama. Sebelum kematiannya sendiri, ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) secara rutin. Menurut adiknya yaitu Salahuddin Wahid, Gus Dur meninggal dunia akibat sumbatan pada arteri.[71] Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.[72]
Penghargaan
Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership.[73]
Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiesenthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM.[74][75] Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru.[74] Wahid juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.[74] Pada 21 Juli 2010, meskipun telah meninggal, ia memperoleh Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010.[76] Penghargaan ini diserahkan langsung kepada Sinta Nuriyah, istri Gus Dur.
Tasrif Award-AJI
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006.[77] Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu.[78] Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post membantah dan mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan pers.[78]
Doktor kehormatan
Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lembaga pendidikan:
- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)[79]
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)[79]
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Prancis (2000)[79]
- Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)[80]
- Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)[79]
- Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)[79]
- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)[81]
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)[79]
- Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)
Warisan
Ketika Gus Dur pertama kali berkuasa di Indonesia, terdapat kekhawatiran mengenai arah kebijakan luar negeri Indonesia. Namun kenyataannya, kebijakan luar negeri Gus Dur lebih "ortodoks" dibandingkan retorikanya sebelumnya. Indonesia berhasil mendapatkan jaminan dari dunia internasional akan keutuhan wilayahnya. ASEAN juga tetap menjadi pusat pandangan kebijakan luar negeri Jakarta. Persoalan Timor Timur masih menjadi isu krusial antara Indonesia dan sejumlah negara Barat. Amerika Serikat, khususnya, enggan mendorong Indonesia terlalu jauh karena diyakini bahwa kepresidenan Gus Dur adalah alternatif yang paling tidak diinginkan dalam kebijakan dalam dan luar negeri.[82]
Selama pemerintahannya, Gus Dur dikenal dengan kontroversi dan pemikirannya yang visioner. Pengaruhnya terhadap Reformasi Indonesia mencakup pembebasan pers yang lebih besar, hal ini ditandai dengan pembubaran Kementerian Penerangan pada 1999.[83] Ia cenderung membela hak-hak minoritas dan selalu mengambil keputusan yang dinilai tidak menentu. Pada masa pemerintahannya, orang Tionghoa diperbolehkan merayakan Imlek dan dianggap membebaskan orang Tionghoa dari penindasan yang telah mereka rasakan sejak lama.[84] Karena itulah, ia juga dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa.[12] Sebagai seorang ulama, ia dihormati tidak hanya oleh pengikutnya, namun juga dari penganut agama lain bahkan ateis. Foto dirinya melambaikan tangan kepada para pendukungnya di beranda Istana Merdeka pasca dimakzulkan adalah salah satu foto paling fenomenal sepanjang sejarah Indonesia.[85]
Pada Agustus 2021, Menko Polhukam, Mahfud MD, memberikan pernyataan terkait pemakzulan Gus Dur. Dalam pernyataan Mahfud yang disampaikannya di saluran YouTube Nahdlatul Ulama, disebutkan bahwa pemakzulan Wahid adalah inkonstitusional dan merupakan tindakan melawan hukum.[86] Mahfud MD menyatakan bahwa pemakzulan Gus Dur pada tahun 2001 tidak sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.III Tahun 1978 tentang Kedudukan dan Tata Kerja Badan Tertinggi Negara. Lembaga dengan/atau Lembaga Tinggi Negeri.[87][88] Mahfud juga mengutarakan, pemakzulan Gus Dur melalui Sidang Khusus MPR mempunyai perkara yang berbeda antara nota I, II, dan III.[89]
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ "Dari Abdurrahman Addakhil Menjadi Gus Dur". Surya Online. 31 December 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 January 2010. Diakses tanggal 31 December 2009.
- ^ Handayani, Primastuti (31 December 2009). "Obituary: Why fuss?!". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 April 2010. Diakses tanggal 31 December 2009.
- ^ "Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000 - Wikisource bahasa Indonesia".
- ^ "Daftar Julukan 6 Presiden RI, Apa Julukan Jokowi? Halaman all". 18 April 2022.
- ^ Geertz, Clifford; Fred Inglis (2010). Life Among the Anthros and Other Essays. Princeton University Press. hlm. 115. ISBN 978-0-691-14358-3.
- ^ Duanto AS, Edmundus. "Hari Lahir Gus Dur 4 Agustus atau 7 September? Dari Ibunda Lupa Tanggal sampai Ganti Nama 'Wahid'". Tribunjambi.com. Diakses tanggal 2023-06-01.
- ^ Barton 2002a, hlm. 37.
- ^ a b Latar belakang keluarga Gus Dur Diarsipkan 2008-06-05 di Wayback Machine., GusDur.net
- ^ Barton 2002a, hlm. 38-40.
- ^ Zhiwang, Huang. "Gus Dur Dan Silsilah Tionghoa". Budaya Tionghoa. Archived from the original on 2011-07-19. Diakses tanggal 14 Oktober 2018.
- ^ "Jangan Malu Jadi Tionghoa, Gus Dur Mengaku Keturuan". Surya Online. Diakses tanggal 19 Juni 2008.[pranala nonaktif permanen]
- ^ a b c d Qurtuby, Sumanto. "Gus Dur, Tionghoa, Indonesia". Merdeka.com. Suara Merdeka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-02-17. Diakses tanggal 19 Juni 2008.
- ^ Barton 2002a, hlm. 49.
- ^ Barton 2002b, hlm. 92.
- ^ Barton 2002b, hlm. 88.
- ^ Barton 2002a, hlm. 88.
- ^ Barton 2002a, hlm. 89.
- ^ a b Barton 2002b, hlm. 99.
- ^ Barton 2002b, hlm. 102.
- ^ Barton 2002b, hlm. 111.
- ^ Barton 2002a, hlm. 112.
- ^ Barton 2002a, hlm. 133-134.
- ^ Barton 2002a, hlm. 136.
- ^ Barton, halaman 138
- ^ Barton 2002a, hlm. 143.
- ^ Barton 2002a, hlm. 153-154.
- ^ Barton 2002b, hlm. 188-189.
- ^ Barton, halaman 162
- ^ Barton, halaman 165-166
- ^ Barton 2002b, hlm. 189.
- ^ Barton 2002a, hlm. 183.
- ^ Barton, halaman 187
- ^ Barton 2002a, hlm. 198.
- ^ Barton 2002a, hlm. 203.
- ^ Barton 2002a, hlm. 221-222.
- ^ Barton 2002a, hlm. 243.
- ^ Barton 2002a, hlm. 275.
- ^ Barton, halaman 281
- ^ Conceicao, J.F. (2005). Indonesia's Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books. hlm. 9. ISBN 981-05-2307-6.
- ^ a b Barton, halaman 290
- ^ Barton 2002a, hlm. 288-290.
- ^ Conceicao, J.F (2005). Indonesia's Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books. hlm. 15. ISBN 981-05-2307-6.
- ^ Barton, halaman 293
- ^ Barton 2002a, hlm. 294, 297-298, 308.
- ^ Conceicao, J.F (2005). Indonesia's Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books. hlm. 18. ISBN 981-05-2307-6.
- ^ Barton 2002a, hlm. 302.
- ^ Conceicao, J.F (2005). Indonesia's Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books. hlm. 30–31. ISBN 981-05-2307-6.
- ^ ryi/wis/sal (14 April 2000). "Dari Secangkir Kopi ke Hawa Nafsu". Kompas.com. Kompas. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-08-18. Diakses tanggal 30 Desember 2006.
- ^ "Wahid's Move on Trade Stirs Up Nationalism Among Muslims". New York Times. 12 November 1999. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-10. Diakses tanggal 25 Juni 2009.
- ^ "Palestinian Ambassador Should Be Replaced". Jakarta Post. 20 Oktober 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-21. Diakses tanggal 25 Juni 2009.
- ^ Conceicao, J.F (2005). Indonesia's Six Years of Living Dangerously. Singapore: Horizon Books. hlm. 21. ISBN 981-05-2307-6.
- ^ Barton 2002a, hlm. 306.
- ^ Barton 2002a, hlm. 304.
- ^ Barton 2002a, hlm. 320.
- ^ Barton 2002a, hlm. 340.
- ^ Barton 2002a, hlm. 345.
- ^ "Imlek Dijadikan Hari Libur Fakultatif". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-04. Diakses tanggal 2021-05-04.
- ^ Chang, Yau Hoon (April 2004). "How to be Chinese". Inside Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-28. Diakses tanggal 2006-12-31.
- ^ Barton 2002a, hlm. 352.
- ^ Barton 2002a, hlm. 348.
- ^ Barton 2002a, hlm. 351-352.
- ^ "Yusril Ihza Minta Gus Dur Mundur", Gatra, 2 Februari 2001, diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-24, diakses tanggal 5 Oktober 2009
- ^ "Presiden: Dia Memenuhi Tiga Kriteria", Tempo Interaktif, 17 Maret 2001, diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-22, diakses tanggal 5 Oktober 2009
- ^ "Gus Dur Copot Lima Anggota Kabinetnya", Gatra, 1 Juni 2001, diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-23, diakses tanggal 5 Oktober 2009
- ^ Barton 2002a, hlm. 363.
- ^ "MPR/DPR dan Golkar Dibekukan dan Pemilu Dipercepat", Tempo Interaktif, 23 Juli 2001, diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-04-02, diakses tanggal 5 Oktober 2009
- ^ "Megawati Resmi Menjadi Presiden Indonesia", Tempo Interaktif, 23 Juli 2001, diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-21, diakses tanggal 5 Oktober 2009
- ^ "Kepergian Abdurrahman Diiringi Massa Pendukung", Liputan 6, 27 Juli 2001, diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-01-02, diakses tanggal 5 Oktober 2009
- ^ "Tempo Interaktif: Matori dipecat dari PKB". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-30. Diakses tanggal 2009-10-02.
- ^ "UTAMA". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-10-20. Diakses tanggal 2009-10-02.
- ^ Ninik Karmini. Former Indonesian president Wahid dies at 69 Diarsipkan 2010-01-02 di Wayback Machine.. yahoonews dari AP edisi 30-12-2009.
- ^ Syaiful Anri. Kesehatan Gus Dur Ambruk di Jombang Diarsipkan 2009-12-31 di Wayback Machine.. Liputan 6 Online edisi 30 Desember 2009.
- ^ "Ramon Magsaysay Award Foundation". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-04-02. Diakses tanggal 2009-12-26.
- ^ a b c "Gus Dur Raih Tiga Penghargaan Internasional". Okezone.com. Okezone. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-08. Diakses tanggal 19 Juni 2008.
- ^ "Terima Penghargaan, Gus Dur Terbang ke Amerika Serikat". detik.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-07-02. Diakses tanggal 19 Juni 2008.
- ^ "Penghargaan Spesial Buat Gus Dur". Liputan6.com. Liputan 6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-07-23. Diakses tanggal 22 Juli 2010.
- ^ Gus Dur dan Gadis Arivia Raih Tasrif Award-AJI 2006 Diarsipkan 2006-08-20 di Wayback Machine., detik.com
- ^ a b "Tasrif Award Buat Gus Dur Menuai Protes". KapanLagi.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-05. Diakses tanggal 19 Juni 2008.
- ^ a b c d e f "Islam dan Demokrasi". Rijal Mumazziq Z. Surabaya Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-11-20. Diakses tanggal 22 November 2009.
- ^ "President Wahid van Indonesie krijgt eredoctoraat van de Universiteit Twente". Persberichten Universiteit Twente. Archived from the original on 2007-11-16. Diakses tanggal 14 Oktober 2018.
- ^ "Terima Doktor HC dari Universitas Israel". Merdeka.com. Suara Merdeka. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-09-13. Diakses tanggal 26 Juni 2003.
- ^ Smith, Anthony L. (2000). "Indonesia's Foreign Policy under Abdurrahman Wahid: Radical or Status Quo State?". Contemporary Southeast Asia. 22 (3): 498–526. ISSN 0129-797X.
- ^ Fawthrop, Tom (2010-01-03). "Abdurrahman Wahid obituary". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2024-01-11.
- ^ "Father of Chinese Indonesians: How Gus Dur Revives Imlek". Jakarta Globe. Diakses tanggal 2024-01-11.
- ^ Post, The Jakarta. "Impeaching Gus Dur, a blind but visionary president - Opinion". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-01-11.
- ^ "Mahfud: Pemakzulan Gus Dur Tidak Sah dari Hukum Tata Negara". CNN Indonesia. CNN. 22 August 2021. Diakses tanggal 30 October 2021.
- ^ Faisal Aristama (3 September 2021). "Penulis Buku "Menjerat Gus Dur": Mahfud MD Benar, Pemakzulan Gus Dur Inkonstitusional". RMOL.id. Jaringan Media Siber Indonesia. Diakses tanggal 30 October 2021.
- ^ "Mahfud: Pelengseran Gus Dur Tidak Sah dari Sudut Hukum Tata Negara". Kompas.com. Gramedia. 23 August 2021. Diakses tanggal 30 October 2021.
- ^ "Mahfud Ungkit Lengsernya Gus Dur Tak Sah Menurut Hukum Tata Negara". IDN TIMES. IDN Media Company. 23 August 2021. Diakses tanggal 30 October 2021.
Daftar pustaka
- Barton, Greg (2002a). Abdurrahman Wahid: Muslim Democrat, Indonesian President. Singapore: UNSW Press. ISBN 0-86840-405-5.
- Barton, Greg (2002b). Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS. ISBN 978-979-3381-25-1.
Pranala luar
- (Indonesia) Situs web resmi Abdurrahman Wahid Diarsipkan 2007-11-10 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Wahid Institute
- (Indonesia) Kepustakaan Presiden-presiden Republik Indonesia - Biografi dan seputar Abdurrahman Wahid Diarsipkan 2012-07-29 di Wayback Machine.
- (Indonesia) Ensiklopedi Tokoh Indonesia Diarsipkan 2012-04-29 di Wayback Machine.
- (Inggris) Yayasan LibForAll
- (Spanyol) CIDOB: Biografías Líderes Políticos: Abdurrahman Wahid Diarsipkan 2008-10-13 di Wayback Machine.
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Bacharuddin Jusuf Habibie |
Presiden Indonesia 1999–2001 |
Diteruskan oleh: Megawati Soekarnoputri |
Jabatan organisasi Islam | ||
Didahului oleh: K.H. Idham Chalid |
Ketua Umum Tanfidziyah PBNU 1984–1999 |
Diteruskan oleh: K.H. Hasyim Muzadi |