Keanekaragaman hayati

variasi dan variabilitas bentuk kehidupan
(Dialihkan dari Keragaman hayati)

Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah variasi dan variabilitas kehidupan di Bumi. Keanekaragaman hayati biasanya merupakan ukuran variasi pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem.[1] Biodiversitas daratan (terestrial) biasanya lebih besar di sekitar khatulistiwa,[2] akibat iklim yang hangat dan produktivitas primer (aliran energi) yang tinggi.[3] Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata di Bumi, dan paling bervariasi di daerah tropis.[4] Meskipun ekosistem hutan tropis hanya mencakup 10 persen dari permukaan Bumi, tetapi ekosistem ini memiliki sekitar 90 persen spesies yang ada di dunia.[5] Keanekaragaman hayati laut biasanya tertinggi di sepanjang pantai Samudra Pasifik bagian barat, tempat suhu permukaan laut paling tinggi, dan di pita lintang tengah di semua lautan. Keanekaragaman spesies juga dipengaruhi gradien lintang.[6] Keanekaragaman hayati umumnya cenderung mengelompok di titik panas,[7] dan telah meningkat seiring waktu,[8][9] tetapi kemungkinan akan melambat di masa depan.[10]

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang paling beragam.
Hutan hujan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Ini adalah Sungai Gambia di Taman Nasional Niokolo-Koba, Senegal.

Perubahan lingkungan yang cepat biasanya menyebabkan kepunahan massal.[11][12][13] Lebih dari 99,9 persen dari semua spesies yang pernah hidup di Bumi, yang berjumlah lebih dari lima miliar spesies,[14] diperkirakan telah punah.[15][16] Perkiraan jumlah spesies Bumi saat ini berkisar antara 10 juta hingga 14 juta;[17] sekitar 1,2 juta spesies telah dicatat, tetapi lebih dari 86 persen di antaranya belum dideskripsikan.[18] Pada Mei 2016, para ilmuwan melaporkan bahwa diperkirakan ada 1 triliun spesies yang berada di Bumi saat ini, dan hanya seperseribu dari satu persen yang telah dideskripsikan.[19] Jumlah total pasangan basa DNA di Bumi diperkirakan 5,0 x 1037 dengan berat 50 miliar ton.[20] Sebagai perbandingan, total massa biosfer diperkirakan sebanyak 4 TtC (triliun ton karbon).[21] Pada Juli 2016, para ilmuwan mengidentifikasi satu set yang terdiri atas 355 gen dari leluhur universal terakhir (LUCA) dari semua organisme yang hidup di Bumi.[22]

Usia Bumi diperkirakan sekitar 4,54 miliar tahun.[23][24][25] Bukti yang tak terbantahkan tentang awal kehidupan di Bumi paling tidak berasal dari 3,5 miliar tahun yang lalu,[26][27][28] yaitu selama era Eoarkean setelah kerak geologis mulai mengeras, setelah sebelumnya meleleh pada eon Hadean. Ada fosil tikar mikrob yang ditemukan di batupasir berumur 3,48 miliar tahun di Australia Barat.[29][30][31] Bukti fisik awal lain dari zat biogenik adalah grafit pada batuan metasedimentari berumur 3,7 miliar tahun yang ditemukan di Greenland Barat.[32] Pada tahun 2015, "sisa-sisa kehidupan biotik" ditemukan di batuan berumur 4,1 miliar tahun di Australia bagian barat.[33][34] Menurut salah satu peneliti, "Jika kehidupan muncul relatif cepat di Bumi .. maka ia bisa menjadi hal yang umum di alam semesta."[33]

Sejak kehidupan dimulai di Bumi, lima kepunahan massal besar dan beberapa peristiwa kecil telah menurunkan keanekaragaman hayati secara besar dan mendadak. Eon Fanerozoikum (540 juta tahun terakhir) ditandai dengan pertumbuhan keanekaragaman hayati yang cepat melalui letusan Kambrium, sebuah periode ketika mayoritas filum organisme multiseluler pertama kali muncul.[35] Selama 400 juta tahun berikutnya terjadi beberapa kali kepunahan massal, yaitu hilangnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran. Pada periode Karbon, hancurnya hutan hujan menyebabkan hilangnya kehidupan tumbuhan dan hewan.[36] Peristiwa kepunahan Perm–Trias yang berlangsung 251 juta tahun lalu merupakan kepunahan terburuk; organisme vertebrata memerlukan waktu 30 juta tahun untuk kembali pulih dari peristiwa ini.[37] Kepunahan terakhir, yaitu peristiwa kepunahan Kapur–Paleogen yang terjadi 65 juta tahun lalu, lebih menarik perhatian dibandingkan peristiwa kepunahan lainnya karena mengakibatkan kepunahan dinosaurus non-avian.[38]

Sejak munculnya manusia, pengurangan keanekaragaman hayati dan hilangnya keanekaragaman genetik terus berlangsung. Peristiwa ini dinamakan kepunahan Holosen, yaitu pengurangan yang terutama diakibatkan oleh manusia, terutama penghancuran habitat.[39] Sebaliknya, keanekaragaman hayati memberi pengaruh positif terhadap kesehatan manusia melalui berbagai cara, walaupun beberapa dampak negatifnya sedang dipelajari.[40]

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan periode tahun 2011–2020 sebagai Dekade Keanekaragaman Hayati PBB,[41] dan periode 2021–2030 sebagai Dekade Restorasi Ekosistem PBB.[42] Menurut Laporan Penilaian Global tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem pada tahun 2019 oleh IPBES, 25% spesies tumbuhan dan hewan terancam punah akibat aktivitas manusia.[43][44][45]

Etimologi

sunting
  • 1916 – Istilah keanekaragaman biologis (biological diversity) pertama kali digunakan oleh J. Arthur Harris pada makalahnya yang berjudul "The Variable Desert" dalam jurnal Scientific American, JSTOR 6182: "Pernyataan dasar bahwa wilayah tersebut memiliki flora yang kaya akan genus dan spesies serta keragaman asal geografis atau afinitas yang sepenuhnya tidak memadai sebagai deskripsi keanekaragaman biologis yang sebenarnya."[a]
  • 1975 – Istilah keanekaragaman alami (natural diversity) diperkenalkan (oleh Divisi Sains dari Konservasi Alam pada studi tahun 1975, "Preservasi Keanekaragaman Alami")[b][butuh rujukan]
  • 1980 – Thomas Lovejoy memperkenalkan istilah keanekaragaman biologis (biological diversity) pada komunitas ilmiah melalui buku.[46] Istilah ini dengan cepat digunakan secara umum.[47]
  • 1985 – Berdasarkan Edward O. Wilson, penyingkatan istilah menjadi biodiversitas (biodiversity) dilakukan oleh W. G. Rosen: Forum Nasional tentang Biodiversitas ... dibentuk oleh Walter G. Rosen ... Dr. Rosen mewakili NRC/NAS sepanjang tahap perencanaan proyek. Lebih jauh, ia memperkenalkan istilah "biodiversitas".[c][48]
  • 1985 – Istilah "biodiversitas" muncul dalam artikel, "Rencana Baru untuk Mengonservasi Biota Bumi" oleh Laura Tangley.[49]
  • 1988 – Istilah biodiversitas pertama kali muncul dalam publikasi.[50][51]
  • Saat ini – Istilah biodiversitas telah digunakan secara luas.

Definisi

sunting

Istilah "keanekaragaman hayati" paling banyak dipakai untuk menggantikan istilah yang sudah lebih dahulu didefinisikan dengan jelas, yaitu keanekaragaman spesies dan kekayaan spesies.[52] Ahli biologi sering kali mendefinisikan keanekaragaman hayati sebagai "keseluruhan gen, spesies, dan ekosistem di suatu wilayah".[53][54] Keuntungan dari definisi ini yaitu menggambarkan sebagian besar keadaan dan menyajikan pandangan terpadu tentang jenis keanekaragaman hayati tradisional yang telah diidentifikasi sebelumnya:

  • keanekaragaman taksonomi (biasanya diukur pada tingkat keanekaragaman spesies)
  • keanekaragaman ekologis (sering dilihat dari perspektif keanekaragaman ekosistem)
  • keanekaragaman morfologi (yang berasal dari keanekaragaman genetik dan keanekaragaman molekuler[55])
  • keanekaragaman fungsional (yang merupakan ukuran jumlah spesies yang berbeda secara fungsional dalam suatu populasi, misalnya cara makan yang berbeda, pergerakan yang berbeda, predator vs mangsa, dll.[56]) Konstruksi bertingkat ini konsisten dengan Datman dan Lovejoy.

Definisi eksplisit yang konsisten dengan interpretasi ini pertama kali dituliskan dalam makalah Bruce A. Wilcox yang ditugaskan oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN) dalam Konferensi Taman Nasional Dunia 1982. Definisi Wilcox yaitu "Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman bentuk kehidupan ... pada semua tingkat sistem biologis (yaitu, molekuler, organisme, populasi, spesies, dan ekosistem) ...".[57] Pada tahun 1984, Wilcox kembali mendefisikan keanekaragaman hayati secara genetis sebagai keanekaragaman alel, gen, dan organisme, yang mempelajari proses seperti mutasi dan transfer gen yang mendorong terjadinya evolusi.[57]

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1992 mendefinisikan "keanekaragaman hayati" sebagai "variabilitas di antara organisme hidup dari semua sumber, termasuk, antara lain, ekosistem darat, ekosistem laut dan perairan lainnya, serta kompleks ekologis di tempat mereka menjadi bagiannya: termasuk keanekaragaman dalam spesies, di antara spesies, dan ekosistem".[58] Definisi ini digunakan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB.[58] Sementara itu, definisi Gaston dan Spicer dalam buku mereka "Biodiversity: an Introduction" adalah "variasi kehidupan di semua tingkatan organisasi biologis".[59]

Distribusi

sunting
 
Distribusi spesies vertebrata darat yang masih hidup. Keanekaragaman tertinggi ditunjukkan dengan warna merah di wilayah ekuator dan semakin menurun ke arah kutub (berwarna biru) (Mannion 2014).[60]

Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata. Sifatnya sangat beragam di seluruh penjuru Bumi, serta di dalam kawasan tertentu. Beberapa faktor memengaruhi keanekaragaman semua makhluk hidup (biota), misalnya suhu, curah hujan, ketinggian, tanah, geografi, dan keberadaan spesies lain. Studi tentang distribusi spasial organisme, spesies, dan ekosistem, adalah ilmu biogeografi.

Tingkat keanekaragaman secara konsisten lebih tinggi di daerah tropis dan di beberapa wilayah lokal lainnya, seperti Wilayah Tanjung Floristik, dan umumnya lebih rendah di wilayah kutub. Hutan hujan yang sejak lama memiliki iklim basah, seperti Taman Nasional Yasuní di Ekuador, memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.[61][62]

Keanekaragaman hayati darat diperkirakan 25 kali lebih besar dibandingkan keanekaragaman hayati lautan.[63] Metode baru yang digunakan pada tahun 2011, memperkirakan keseluruhan jumlah spesies di Bumi sebesar 8,7 juta, dengan 2,1 juta di antaranya diperkirakan hidup di lautan.[64] Namun, perkiraan ini tampaknya kurang mewakili keanekaragaman mikroorganisme.

Gradien lintang

sunting

Secara umum, keanekaragaman hayati semakin meningkat dari daerah kutub ke daerah tropis. Dengan demikian, lokasi yang garis lintangnya lebih rendah memiliki lebih banyak spesies dibandingkan daerah yang garis lintangnya lebih tinggi. Hal ini sering disebut sebagai gradien lintang dalam keanekaragaman spesies. Beberapa faktor ekologis mungkin berkontribusi pada gradien ini, tetapi faktor utamanya adalah suhu rata-rata yang di ekuator yang tinggi dibandingkan dengan kutub.[65][66][67]

Meskipun keanekaragaman hayati darat semakin menurun dari garis khatulistiwa ke kutub,[68] beberapa penelitian menyimpulkan bahwa sifat ini tidak diverifikasi dalam ekosistem perairan, terutama dalam ekosistem laut.[69] Distribusi parasit secara latitudinal tampaknya tidak mengikuti aturan ini.[70]

Pada tahun 2016, hipotesis alternatif ("keanekaragaman hayati fraktal") diusulkan untuk menjelaskan gradien lintang keanekaragaman hayati.[71] Dalam studi ini, ukuran kumpulan spesies dan sifat fraktal ekosistem digabungkan untuk memperjelas beberapa pola umum gradien ini. Hipotesis ini mempertimbangkan suhu, kelembaban, dan produksi primer bersih (NPP) sebagai variabel utama ceruk ekosistem dan sebagai poros dari hipervolume ekologis. Dengan cara ini, dimungkinkan untuk membangun hipervolume fraktal, yang dimensi fraktalnya naik menjadi tiga, yang bergerak ke arah khatulistiwa.

Titik panas

sunting

Titik panas keanekaragaman hayati adalah wilayah dengan spesies endemik tingkat tinggi yang telah mengalami pengrusakan habitat yang luar biasa.[72] Istilah titik panas (hotspot) diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Norman Myers.[73][74][75][76] Meskipun titik panas tersebar di seluruh dunia, kebanyakan di antaranya merupakan kawasan hutan dan sebagian besar terletak di daerah tropis.

Hutan Atlantik Brasil dianggap sebagai salah satu titik panas, yang berisi sekitar 20.000 spesies tumbuhan, 1.350 vertebrata, dan jutaan serangga, sekitar setengahnya tidak ditemukan di tempat lain.[77][butuh rujukan] Pulau Madagaskar dan India juga sangat terkenal. Kolombia dicirikan oleh keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan tingkat spesies tertinggi berdasarkan satuan luas di seluruh dunia dan memiliki jumlah endemik terbesar (spesies yang secara alami tidak ditemukan di tempat lain) di negara mana pun. Sekitar 10% dari spesies organisme di Bumi dapat ditemukan di Kolombia, termasuk lebih dari 1.900 spesies burung, lebih banyak daripada di Eropa dan Amerika Utara, Kolombia memiliki 10% spesies mamalia dunia, 14% spesies amfibi, dan 18% dari spesies burung di dunia.[78] Hutan kering Madagaskar dan hutan hujan dataran rendah memiliki rasio endemisme yang tinggi.[79][butuh rujukan] Karena pulau ini terpisah dari daratan Afrika 66 juta tahun yang lalu, banyak spesies dan ekosistemnya yang berevolusi secara mandiri.[80] Dengan 17.000 pulau, Indonesia memiliki luas 1.354.555 mil persegi (1.904.560 km2) dan memiliki 10% dari tumbuhan berbunga di dunia, 12% dari [[mamalia, serta 17% dari reptil, amfibi, dan burung.[81] Banyak daerah dengan keanekaragaman hayati dan/atau endemisme yang tinggi muncul dari habitat khusus yang memerlukan adaptasi yang tidak biasa, misalnya, lingkungan pegunungan Alpen di pegunungan tinggi, atau rawa gambut Eropa Utara.[butuh rujukan] Sulit untuk mengukur perbedaan keanekaragaman hayati secara akurat. Bias seleksi di antara para peneliti dapat menimbulkan penelitian empiris yang bias untuk perkiraan modern mengenai keanekaragaman hayati.

Evolusi

sunting
 
Keanekaragaman fosil laut yang tampak selama Fanerozoikum.[82]

Kronologi

sunting

Keanekaragaman hayati merupakan hasil dari evolusi selama 3,5 miliar tahun. Asal-usul kehidupan belum dipastikan oleh sains, tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa kehidupan mungkin telah ada hanya beberapa ratus juta tahun setelah Bumi terbentuk. Hingga sekitar 2,5 miliar tahun yang lalu, semua kehidupan terdiri dari mikroorganisme, yaitu arkea, bakteri, serta protozoa dan protista bersel tunggal.

Sejarah keanekaragaman hayati pada Eon Fanerozoikum (540 juta tahun terakhir), dimulai dengan pertumbuhan yang cepat melalui letusan Kambrium, yaitu periode ketika hampir setiap filum organisme multiseluler pertama kali muncul. Selama kurang lebih 400 juta tahun berikutnya, keanekaragaman invertebrata menunjukkan sedikit peningkatan tren secara keseluruhan, sementara keanekaragaman vertebrata menunjukkan tren peningkatan eksponensial secara keseluruhan.[83] Peningkatan dramatis dalam keanekaragaman ini juga diikuti dengan hilangnya keanekaragaman besar secara berkala yang digolongkan sebagai peristiwa kepunahan massal.[83] Kerugian yang signifikan terjadi ketika hutan hujan mengalami kerusakan pada periode Karbon.[36] Kepunahan yang terburuk adalah peristiwa kepunahan Perm-Trias, 251 juta tahun yang lalu. Organisme vertebrata membutuhkan waktu 30 juta tahun untuk kembali pulih dari peristiwa ini.[37]

Catatan fosil menunjukkan bahwa beberapa juta tahun terakhir memiliki keanekaragaman hayati terbesar sepanjang sejarah.[83] Namun, tidak semua ilmuwan mendukung pandangan ini, karena ada ketidakpastian mengenai seberapa kuat rekaman fosil tersebut mengalami bias akibat ketersediaan dan pelestarian fosil yang lebih besar pada periode geologi baru-baru ini. Beberapa ilmuwan percaya bahwa dengan melakukan koreksi atas pengambilan sampel artefak, keanekaragaman hayati modern mungkin tidak jauh berbeda dari keanekaragaman hayati 300 juta tahun yang lalu,[84] sedangkan peneliti lain menganggap catatan fosil telah cukup mencerminkan diversifikasi kehidupan.[83] Perkiraan keanekaragaman spesies makroskopis global saat ini berkisar dari 2 juta hingga 100 juta, dengan perkiraan terbaik sekitar 9 juta,[64] sebagian besar di antaranya merupakan artropoda.[85] Keragaman tampaknya terus meningkat tanpa adanya seleksi alam.[86]

Diversifikasi

sunting

Keberadaan daya dukung global, yang membatasi jumlah kehidupan yang dapat hidup sekaligus pada satu waktu, masih diperdebatkan. Timbul pula pertanyaan seperti apakah batas tersebut juga akan membatasi jumlah spesies. Catatan kehidupan di laut menunjukkan pola pertumbuhan logistik, sementara kehidupan di darat (serangga, tanaman, dan tetrapoda) menunjukkan peningkatan keanekaragaman yang eksponensial. Seperti yang dinyatakan dalam sebuah penelitian bahwa, "Tetrapoda belum menginvasi 64 persen area yang berpotensi layak huni dan bisa jadi bahwa tanpa pengaruh manusia, keanekaragaman hayati dan taksonomi tetrapoda akan terus meningkat secara eksponensial sampai mengisi sebagian besar atau semua area ekologis yang ada."[83] Selain itu, keanekaragaman juga terlihat terus meningkat dari waktu ke waktu, terutama setelah kepunahan massal.[87]

Di sisi lain, perubahan selama Eon Fanerozoikum berkorelasi jauh lebih baik dengan model hiperbolik (model yang banyak digunakan dalam biologi populasi, demografi dan sosiologi makro, serta keanekaragaman hayati fosil) dibandingkan dengan model eksponensial dan logistik. Model logistik menyiratkan bahwa perubahan dalam keanekaragaman dipandu oleh umpan balik positif tingkat pertama (lebih banyak leluhur, lebih banyak keturunan) dan/atau umpan balik negatif yang timbul dari keterbatasan sumber daya. Model hiperbolik menyiratkan umpan balik positif tingkat kedua. Perbedaan dalam kekuatan umpan balik tingkat kedua akibat intensitas persaingan antarspesies mungkin menjelaskan rediversifikasi Ammonoidea yang lebih cepat dibandingkan dengan Bivalvia setelah kepunahan Permian akhir.[88] Model hiperbolik pertumbuhan populasi dunia muncul dari umpan balik positif tingkat kedua antara ukuran populasi dan laju pertumbuhan teknologi.[89] Karakter hiperbolik dari pertumbuhan keanekaragaman hayati dapat juga dijelaskan dengan umpan balik antara keragaman dan kompleksitas struktur komunitas. Kesamaan antara kurva keanekaragaman hayati dan populasi manusia mungkin berasal dari fakta bahwa keduanya berasal dari campur tangan tren hiperbolik dengan dinamika siklus dan stokastik.[89][90]

Namun, sebagian besar ahli biologi sepakat bahwa periode sejak kemunculan manusia adalah bagian dari kepunahan massal baru, yang disebut peristiwa kepunahan Holosen, yang terutama disebabkan oleh dampak yang ditimbulkan manusia terhadap lingkungan.[91] Tingkat kepunahan saat ini dipandang cukup untuk menghilangkan sebagian besar spesies di planet Bumi dalam 100 tahun.[92]

Spesies baru ditemukan secara rutin (rata-rata antara 5–10.000 spesies baru setiap tahun, kebanyakan merupakan serangga) dan banyak di antara mereka yang belum diklasifikasikan (diperkirakan bahwa hampir 90% dari semua artropoda belum diklasifikasikan).[85] Sebagian besar keanekaragaman terestrial ditemukan di hutan tropis dan secara umum, wilayah daratan memiliki lebih banyak spesies dibandingkan lautan; sekitar 8,7 juta spesies mungkin ada di Bumi dan sekitar 2,1 juta di antaranya hidup di lautan.[64]

Manfaat untuk manusia

sunting

Keseimbangan bukti

sunting
 
Musim panas lapangan di Belgia (Hamois). Bunga-bunga berwarna biru adalah cyanus Centaurea dan yang merah adalah Papaver rhoeas.

"Jasa ekosistem adalah rangkaian manfaat yang disediakan ekosistem bagi umat manusia."[93] Spesies alami, atau biota, merupakan penjaga semua ekosistem. Seolah-olah dunia alami adalah rekening bank yang besar dari aset modal yang mampu membayar dividen seumur hidup tanpa batas waktu, tetapi hanya jika modalnya dipertahankan.[94]

Manfaat ini meliputi tiga bentuk layanan:

  1. Layanan penyediaan yang melibatkan produksi sumber daya terbarukan (misalnya makanan, kayu, air tawar)[93]
  2. Layanan pengatur yang mengurangi perubahan lingkungan (misalnya peraturan iklim, pengendalian hama atau penyakit)[93]
  3. Layanan budaya yang mewakili nilai dan kenikmatan manusia (misalnya estetika lanskap, warisan budaya, rekreasi luar ruangan, dan signifikansi spiritual).[95]

Ada banyak klaim tentang efek keanekaragaman hayati terhadap layanan ekosistem ini, terutama layanan penyediaan dan pengaturan. Survei mendalam melalui tinjauan sejawat dilakukan untuk mengevaluasi 36 klaim tentang efek keanekaragaman hayati terhadap layanan ekosistem. Hasilnya, 14 klaim tersebut divalidasi, 6 klaim bercampur antara didukung atau tidak didukung, 3 klaim tidak benar, dan 13 klaim kekurangan cukup bukti untuk mendapatkan kesimpulan definitif.[93]

Pertanian

sunting
 
Hutan hujan Amazon di Amerika Selatan

Keanekaragaman pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama yaitu keanekaragaman intraspesifik, yang mencakup variasi genetik dalam satu spesies, seperti kentang (Solanum tuberosum) yang terdiri dari berbagai bentuk dan jenis (misalnya di AS yang membandingkan kentang cokelat muda dengan kentang baru atau kentang ungu, semua kentang tersebut berbeda, tetapi merupakan bagian dari spesies yang sama, S. tuberosum). Kategori kedua disebut keanekaragaman interspesifik dan mengacu pada jumlah dan jenis spesies yang berbeda. Contoh keanekaragaman yaitu berbagai tumbuhan berbeda yang ditanam oleh petani sayuran kecil, misalnya kentang, wortel, paprika, selada, dan sebagainya.

Keanekaragaman pertanian juga dapat dibagi menjadi keanekaragaman yang 'direncanakan' atau keanekaragaman 'terkait'. Pengelompokan ini merupakan klasifikasi fungsional dan bukan sifat intrinsik kehidupan. Keanekaragaman yang direncanakan misalnya tumbuhan yang didukung, ditanam, atau dibesarkan oleh petani (misalnya tanaman, simbion, dan hewan ternak), yang dapat dibedakan dengan keanekaragaman 'terkait' yang muncul dari tumbuhan tanpa diatur (misalnya herbivora serta spesies gulma dan patogen).[96]

Pengendalian keanekaragaman hayati terkait merupakan salah satu tantangan besar yang dihadapi petani. Pada pertanaman tunggal (monokultur), pendekatan yang diambil untuk memberantas keanekaragaman terkait umumnya menggunakan pestisida yang merusak secara biologis, peralatan mekanis dan teknik rekayasa transgenik, kemudian rotasi tanaman. Meskipun sebagian petani pertanaman campuran (polikultur) menggunakan teknik yang sama, mereka juga menggunakan strategi pengendalian hama terpadu serta strategi yang lebih padat karya, tetapi umumnya kurang bergantung pada modal, bioteknologi, dan energi.

Keanekaragaman interspesifik juga menentukan sebagian variasi makanan kita. Keanekaragaman intraspesifik, berupa variasi alel dalam satu spesies, juga menawarkan kita pilihan untuk memilih diet. Jika pertanaman tunggal mengalami kegagalan panen, kita mengandalkan keanekaragaman pertanian untuk menanam kembali lahan dengan tumbuhan baru. Jika tanaman gandum dihancurkan oleh hama, kita mungkin menanam varietas gandum yang lebih kuat pada tahun berikutnya, dengan mengandalkan keanekaragaman intraspesifik. Kita juga dapat meninggalkan produksi gandum di daerah tersebut dan menanam spesies lain yang berbeda, tergantung pada keanekaragaman interspesifik. Bahkan, masyarakat agraris yang terutama menanam secara monokultur, pada titik tertentu tetap bergantung pada keanekaragaman hayati.

  • Wabah Kelaparan Besar Irlandia tahun 1846 akibat matinya tanaman kentang merupakan faktor utama dalam kematian satu juta orang dan emigrasi jutaan lainnya. Hal ini diakibatkan oleh penanaman kentang yang hanya dua varietas, yang keduanya rentan terhadap penyakit busuk daun, akibat Phytophthora infestans, yang tiba pada tahun 1845.[96]
  • Ketika rice grassy stunt virus melanda sawah dari Indonesia hingga India pada 1970-an, sebanyak 6.273 varietas diuji ketahanannya. Hanya satu varietas yang tahan, yaitu varietas India dan telah dikenal di dunia ilmu pengetahuan sejak 1966. Varietas ini membentuk hibrida dengan varietas lainnya yang sekarang banyak ditanam.[97]
  • Ketika karat kopi akibat Hemileia vastatrix yang menyerang perkebunan kopi di Sri Lanka, Brasil, dan Amerika Tengah pada tahun 1970, varietas yang tahan ditemukan di Etiopia.[98] Penyakit itu sendiri merupakan bentuk keanekaragaman hayati.

Pertanaman tunggal adalah faktor yang berkontribusi terhadap bencana pertanian, termasuk runtuhnya industri anggur Eropa pada akhir abad ke-19, dan epidemi penyakit busuk daun pada jagung di Amerika Serikat bagian selatan pada tahun 1970.[99]

Meskipun sekitar 80 persen dari pasokan makanan manusia berasal dari 20 jenis tumbuhan saja,[butuh rujukan][100] manusia menggunakan setidaknya 40.000 spesies.[butuh rujukan] Banyak orang tergantung pada spesies ini untuk makanan, tempat tinggal, dan pakaian.[butuh rujukan][100] Keanekaragaman hayati yang masih hidup menyediakan sumber daya untuk meningkatkan variasi makanan dan produk lainnya yang cocok untuk digunakan manusia, meski laju kepunahan memperkecil potensi tersebut.[92]

Kesehatan manusia

sunting
 
Keanekaragaman kanopi hutan di Pulau Barro Colorado, Panama, menghasilkan tampilan buah yang berbeda.

Relevansi keanekaragaman hayati terhadap kesehatan manusia menjadi isu politik internasional, ketika bukti ilmiah menunjukkan implikasi kesehatan dunia akibat hilangnya keanekaragaman hayati.[101][102][103] Masalah ini terkait erat dengan isu perubahan iklim,[104] karena banyak risiko kesehatan—yang mengantisipasi perubahan iklim—dikaitkan dengan perubahan keanekaragaman hayati (misalnya perubahan populasi dan distribusi vektor penyakit, kelangkaan air bersih, dampak terhadap keanekaragaman hayati pertanian dan sumber makanan, dan lain-lain). Spesies yang paling mungkin hilang adalah mereka menjadi penyangga melawan penularan penyakit infeksi, sementara spesies yang bertahan cenderung merupakan spesies yang meningkatkan penularan penyakit, seperti pada kasus infeksi virus West Nile, penyakit Lyme, dan infeksi Hantavirus, menurut sebuah penelitian di Universitas Cornell.[105]

Meningkatnya permintaan dan kurangnya ketersediaan air minum di planet ini merupakan tantangan tambahan bagi masa depan kesehatan manusia. Sebagian masalahnya terletak pada keberhasilan pemasok air untuk meningkatkan suplai, dan kegagalan kelompok penggerak pelestarian sumber daya air.[106] Meskipun distribusi air bersih meningkat, di beberapa bagian dunia tetap tidak setara. Menurut WHO pada 2008, hanya 71% populasi dunia yang dapat mengakses air bersih yang bisa diminum.[107]

Sebagian masalah kesehatan dipengaruhi oleh keanekaragaman hayati, seperti keamanan dan ketahanan pangan, penyakit menular, ilmu dan sumber daya kedokteran, serta kesehatan sosial dan psikologis.[108] Keanekaragaman hayati juga diketahui berperan penting dalam mengurangi risiko bencana dan dalam upaya pemulihan pascabencana.[109][110]

Keanekaragaman hayati memberi dukungan penting dalam penemuan obat dan ketersediaan sumber daya obat.[111][112] Sebagianobat berasal dari sumber biologi (baik secara langsung atau tidak langsung): setidaknya 50% senyawa farmasi di pasar AS berasal dari tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, sementara sekitar 80% populasi dunia berrgantung pada obat-obatan dari alam (yang digunakan baik dalam praktik medis modern maupun tradisional) untuk kesehatan primer.[102] Hanya sebagian kecil spesies liar yang telah diteliti untuk mengetahui potensi medisnya. Keanekaragaman hayati merupakan hal penting untuk kemajuan seluruh bidang bionik. Analisis pasar dan ilmu pengetahuan keanekaragaman hayati menunjukkan bahwa penurunan keluaran dari sektor farmasi sejak pertengahan 1980-an dapat dikaitkan dengan perpindahan dari eksplorasi produk alami (pencarian hayati) menjadi pendekatan genomik dan kimia sintetis, karena nilai dari produk farmasi yang belum ditemukan mungkin tidak memberikan insentif yang cukup tinggi bagi perusahaan di pasar bebas untuk mencarinya akibat tingginya biaya riset dan pengembangan;[113] sementara itu, produk alami memiliki sejarah panjang dalam mendukung inovasi dalam bidang ekonomi dan kesehatan yang signifikan.[114][115] Ekosistem laut sangat penting,[116] walaupun pencarian hayati yang tidak sesuai dapat meningkatkan hilangnya keanekaragaman hayati serta melanggar hukum masyarakat dan negara tempat sumber tersebut diambil.[117][118][119]

Bisnis dan industri

sunting
 
Traktor dan kereta gandengnya yang digunakan dalam produksi pertanian.

Banyak bahan baku industri diambil langsung dari sumber biologis, termasuk bahan bangunan, serat, pewarna, karet, dan minyak. Keanekaragaman hayati juga penting untuk keamanan sumber daya seperti air, kayu, kertas, serat, dan makanan.[120][121][122] Akibatnya, hilangnya keanekaragaman hayati merupakan faktor risiko yang signifikan dalam pengembangan bisnis dan ancaman bagi keberlanjutan ekonomi jangka panjang.[123][124]

Kenyamanan, budaya dan nilai estetika

sunting

Keanekaragaman hayati memperkaya kegiatan rekreasi seperti mendaki, mengamati burung, atau mempelajari sejarah alam. Keanekaragaman hayati mengilhami musisi, pelukis, pemahat, sastrawan, dan seniman lainnya. Banyak kebudayaan melihat diri mereka sebagai bagian integral dari alam yang mengharuskan mereka untuk menghormati makhluk hidup lainnya.

Kegiatan populer seperti berkebun, memelihara ikan, dan mengumpulkan spesimen sangat tergantung pada keanekaragaman hayati. Jumlah spesies terlibat dalam kegiatan tersebut mencapai puluhan ribu, meskipun sebagian besar tidak diperdagangkan.

Hubungan yang cukup kompleks dan kurang dipahami terjadi antara habitat alam asli dari hewan dan tumbuhan ini (yang sering kali bersifat eksotik) dengan kolektor, pemasok, peternak, dan pelaku budi daya komersial, serta orang-orang yang mempromosikan pemahaman dan kenikmatan mereka. Masyarakat umum memberi respons yang baik terhadap paparan organisme langka dan tidak biasa, yang mencerminkan nilai yang melekat pada mereka.

Secara filosofis dapat dikatakan bahwa keanekaragaman hayati memiliki nilai estetika dan spiritual yang intrinsik untuk umat manusia itu sendiri. Gagasan ini dapat digunakan sebagai penyeimbang terhadap anggapan bahwa hutan tropis dan ekologi alam lain hanya layak dikonservasi karena manfaat yang mereka berikan.[125]

Layanan ekologi

sunting
 
Pendakian di Eagle Creek, Oregon, AS.

Keanekaragaman hayati mendukung banyak layanan ekosistem:

"Sekarang ada bukti nyata bahwa hilangnya keanekaragaman hayati mengurangi efisiensi pada komunitas ekologis yang menangkap sumber daya biologis penting, menghasilkan biomassa, menguraikan dan mendaur ulang nutrisi penting biologis ... Ada bukti kuat bahwa keanekaragaman hayati meningkatkan stabilitas fungsi ekosistem melalui waktu ... Komunitas yang beragam lebih produktif karena mengandung spesies kunci yang memiliki pengaruh besar terhadap produktivitas dan perbedaan sifat fungsional di antara organisme yang meningkatkan penangkapan jumlah sumber daya... Dampak hilangnya keanekaragaman terhadap proses ekologis mungkin cukup besar untuk menyaingi dampak dari banyak pendorong global perubahan lingkungan lainnya... Mempertahankan berbagai proses ekosistem di berbagai tempat dan waktu membutuhkan tingkat keanekaragaman hayati yang lebih tinggi dibandingkan proses tunggal di satu tempat dan waktu."[93]

Keanekaragaman hayati berperan dalam mengatur kimiawi atmosfer dan persediaan air kita, serta terlibat secara langsung dalam pemurnian air, daur ulang nutren, dan penyediaan tanah yang subur. Eksperimen dengan lingkungan terkendali menunjukkan bahwa manusia tidak dapat membangun ekosistem untuk mendukung kebutuhan manusia dengan mudah;[126] misalnya penyerbukan serangga tidak dapat ditiru, meskipun telah ada upaya untuk menciptakan penyerbuk buatan menggunakan pesawat tanpa awak.[127] Kegiatan ekonomi penyerbukan saja mewakili antara $ 2,1–14,6 miliar pada tahun 2003.[128]

Jumlah spesies

sunting
 
Jumlah temuan dan perkiraan spesies di darat dan laut.

Menurut penelitian Mora dan rekannya, jumlah spesies darat diperkirakan sekitar 8,7 juta, sementara jumlah spesies laut jauh lebih rendah, diperkirakan 2,2 juta. Para penulis menyampaikan bahwa perkiraan ini paling diyakini untuk organisme eukariota dan kemungkinan mewakili batas bawah keanekaragaman prokariota.[129] Perkiraan lain termasuk:

  • 220.000 tumbuhan berpembuluh, yang jumlahnya diperkirakan menggunakan metode hubungan spesies-area.[130]
  • 0,7–1 juta spesies laut.[131]
  • 10–30 juta serangga;[132] (dari sekitar 0,9 juta yang kita kenal sekarang)[133]
  • 5–10 juta bakteri.[134]
  • 1,5–3 juta fungi, perkiraan berdasarkan data dari daerah tropis, situs nontropis jangka panjang dan studi molekuler mengungkapkan spesiasi samar.[135] Sekitar 0,075 juta spesies fungi didokumentasikan pada tahun 2001.[136]
  • 1 juta tungau.[137]
  • Jumlah spesies mikroorganisme tidak diketahui secara pasti, tetapi Ekspedisi Pengambilan Sampel Lautan Global secara dramatis meningkatkan perkiraan keanekaragaman genetik dengan mengidentifikasi sejumlah besar gen baru dari sampel plankton yang hidup di dekat permukaan di berbagai lokasi laut, yang diawali pada periode 2004–2006..[138] Temuan ini pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan signifikan dalam cara sains mendefinisikan spesies dan kategori taksonomi lainnya.[139][140]

Karena tingkat kepunahan meningkat, banyak spesies yang masih ada dapat punah sebelum dideskripsikan.[141] Tidak mengherankan, pada filum hewan, kelompok yang paling banyak dipelajari adalah burung dan mamalia, sedangkan ikan dan artropoda adalah kelompok hewan yang paling sedikit dipelajari.[142]

Laju kehilangan spesies

sunting

Kita tidak lagi harus membenarkan keberadaan hutan tropis lembab dengan alasan lemah bahwa mereka mungkin memiliki tumbuhan obat-obatan yang menyembuhkan penyakit manusia. Teori Gaia memaksa kita untuk melihat bahwa mereka menawarkan lebih dari hal ini. Dengan kapasitas untuk melakukan evapotranspirasi sejumlah besar uap air, mereka berfungsi untuk menjaga planet ini tetap dingin dengan mengenakan kerai berupa awan putih pemantul. Mengganti mereka dengan lahan pertanian dapat memicu bencana yang berskala global.

— James Lovelock, dalam Biodiversity (E. O. Wilson (Ed))[143]

Pada abad ke-21, penurunan keanekaragaman hayati semakin banyak diamati. Pada tahun 2007, Menteri Lingkungan Federal Jerman Sigmar Gabriel mengutip perkiraan bahwa hingga 30% dari semua spesies akan punah pada tahun 2050.[144] Dari jumlah tersebut, sekitar seperdelapan spesies tumbuhan yang diketahui saat ini terancam punah.[145] Perkiraan kepunahan mencapai 140.000 spesies per tahun (berdasarkan teori spesies-area).[146] Angka ini menunjukkan praktik ekologi yang tidak berkelanjutan karena hanya sedikit spesies yang muncul setiap tahun.[butuh rujukan] Hampir semua ilmuwan mengakui bahwa laju kehilangan spesies pada saat ini lebih besar dibandingkan dengan seluruh periode sejarah manusia, dengan laju kepunahan terjadi ratusan kali lebih tinggi dibandingkan laju kepunahan normal.[145] Pada 2012, beberapa penelitian menunjukkan bahwa 25% dari semua spesies mamalia dapat punah dalam 20 tahun.[147]

Secara absolut, planet ini telah kehilangan 58% keanekaragaman hayati sejak tahun 1970 menurut sebuah studi 2016 oleh Dana Dunia Untuk Alam (WWF).[148] The Living Planet Report 2014 yang diterbitkan WWF mengklaim bahwa "jumlah mamalia, burung, reptil, amfibi, dan ikan di seluruh dunia, rata-rata, sekitar setengah ukurannya pada 40 tahun yang lalu". Dari jumlah tersebut, 39% merupakan angka untuk hilangnya satwa liar darat, 39% untuk satwa liar laut, dan 76% untuk satwa liar air tawar. Keanekaragaman hayati mengalami pukulan terbesar di Amerika Latin, yaitu anjlok sebesar 83 persen. Negara-negara berpenghasilan tinggi menunjukkan peningkatan 10% dalam keanekaragaman hayati, sedangkan negara-negara berpenghasilan rendah mengalami penurunan. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa negara-negara berpenghasilan tinggi menggunakan sumber daya ekologis lima kali lebih banyak dibandingkan negara-negara berpenghasilan rendah. Meskipun demikian, negara-negara kaya melakukan alih daya penipisan sumber daya ke negara-negara miskin, yang menderita kerugian ekosistem terbesar.[149]

Sebuah studi tahun 2017 yang diterbitkan dalam PLOS One menemukan bahwa biomassa kehidupan serangga di Jerman telah menurun tiga perempat dalam 25 tahun terakhir. Dave Goulson dari Universitas Sussex menyatakan bahwa penelitian mereka menunjukkan bahwa manusia "tampaknya membuat bidang tanah luas yang tidak ramah untuk sebagian besar bentuk kehidupan, dan saat ini sedang dalam perjalanan menuju kehancuran total ("Armageddon") ekologis. Jika kita kehilangan serangga maka semuanya akan runtuh."[150]

Ancaman

sunting

Pada tahun 2006, banyak spesies secara resmi diklasifikasikan sebagai spesies langka atau genting atau terancam; para ilmuwan juga memperkirakan bahwa jutaan spesies lainnya memiliki risiko yang belum diakui secara formal. Sekitar 40 persen dari 40.177 spesies yang dinilai menggunakan kriteria Daftar Merah IUCN sekarang terdaftar sebagai terancam punah, totalnya yaitu 16.119.[151]

Jared Diamond menggambarkan "Kuartet Jahat", yaitu pengrusakan habitat, pemburuan berlebihan, spesies pendatang, dan kepunahan sekunder.[152] Edward O. Wilson lebih memilih akronim HIPPO, yang merujuk pada pengrusakan habitat (habitat destruction), spesies invasif (invasive species), polusi, overpopulasi manusia, dan panen berlebih (over-harvesting).[153][154] Klasifikasi yang paling otoritatif yang digunakan saat ini adalah Klasifikasi Ancaman langsung IUCN [155] (versi 2.0 dirilis pada 2016) yang telah diadopsi oleh organisasi konservasi internasional utama seperti The Nature Conservancy AS, World Wildlife Fund, Conservation International, dan BirdLife International.

Ada 11 ancaman langsung utama terhadap konservasi, yaitu:

  1. Pengembangan tempat tinggal dan area komersial (area perumahan dan daerah perkotaan, area komersial dan industri, serta area pariwisata dan rekreasi).
  2. Kegiatan pertanian dan akuakultur.
  3. Pertambangan dan produksi energi.
  4. Transportasi dan layanan koridor.
  5. Penggunaan sumber daya hayati (perburuan, pembunuhan, penebangan, dan kegiatan perikanan).
  6. Intrusi dan aktivitas manusia yang mengubah, menghancurkan, atau mengganggu habitat dan spesies dari kecenderungannya menunjukkan perilaku alami (kegiatan rekreasional, perang, dan aktivitas ilegal).
  7. Modifikasi sistem alami (pengelolaan air, penciptaan api, dan proyek lainnya seperti reklamasi).
  8. Spesies, patogen, dan gen yang invasif dan bermasalah.
  9. Pencemaran.
  10. Kejadian geologis yang merusak (gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor).
  11. Perubahan iklim.

Pengrusakan habitat

sunting
 
Penggundulan hutan dan meningkatnya pembangunan jalan di hutan hujan Amazon menyebabkan kekhawatiran yang signifikan karena meningkatnya perambahan manusia pada daerah liar, meningkatnya ekstraksi sumber daya, dan ancaman lebih lanjut bagi keanekaragaman hayati.

Kerusakan habitat berperan penting dalam kepunahan, terutama terkait dengan kerusakan hutan tropis.[156] Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap hilangnya habitat meliputi overkonsumsi, overpopulasi, berubahnya penggunaan tanah, penggundulan hutan, pencemaran (pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah), dan pemanasan global atau perubahan iklim.[157][158]

Ukuran habitat dan jumlah spesies saling berkaitan secara sistematis. Spesies yang fisiknya lebih besar dan spesies yang tinggal di lintang rendah atau di hutan atau lautan lebih sensitif terhadap pengurangan area habitat.[159] Konversi ke ekosistem standar yang "sederhana" (misalnya pembuatan monokultur setelah penggundulan hutan) secara efektif menghancurkan habitat beragam spesies yang telah menempati lokasi tersebut sebelum konversi. Bahkan bentuk-bentuk pertanian yang paling sederhana pun memengaruhi keanekaragaman, melalui pembersihan atau pengeringan lahan, mencegah gulma dan hama, serta hanya mendorong sejumlah spesies tumbuhan dan hewan tertentu secara terbatas. Di sejumlah negara, hak milik atau lemahnya penegakan hukum dikaitkan dengan penggundulan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Sebuah studi pada 2007 yang dilakukan oleh Yayasan Sains Nasional menemukan bahwa keanekaragaman hayati dan keanekaragaman genetik bersifat kodependen, artinya keanekaragaman di antara spesies membutuhkan keanekaragaman dalam satu spesies, dan sebaliknya. "Jika salah satu tipe dihapus dari sistem, siklusnya dapat rusak dan komunitas menjadi didominasi oleh satu spesies."[160] Saat ini, ekosistem yang paling terancam merupakan ekosistem air tawar, menurut Penilaian Ekosistem Milenium pada 2005, yang dikonfirmasi oleh "Penilaian Keragaman Hewan Air Tawar", yang diselenggarakan oleh platform keanekaragaman hayati, dan Institut Prancis, Institut de recherche pour le développement.[161]

Kepunahan bersama adalah salah satu bentuk kerusakan habitat. Hal ini terjadi ketika kepunahan atau penurunan pada satu spesies menyertai proses serupa pada spesies lainnya, seperti pada tumbuhan dan kumbang.[162]

Sebuah laporan pada 2019 mengungkapkan bahwa lebah dan serangga penyerbuk lainnya telah dihilangkan dari hampir seperempat habitat mereka di Britania Raya. Kecelakaan populasi telah terjadi sejak 1980-an dan memengaruhi keanekaragaman hayati. Peningkatan pertanian industri dan penggunaan pestisida, yang dikombinasikan dengan penyakit, spesies invasif, dan perubahan iklim, mengancam masa depan serangga ini dan pertanian yang mereka dukung.[163]

Spesies pendatang dan invasif

sunting
 
Burung Lophura nycthemera jantan asal dari Asia Timur yang telah diperkenalkan ke beberapa wilayah Eropa karena alasan hias.

Penghalang seperti sungai, laut, samudra, gunung, dan gurun yang besar mendorong keanekaragaman dengan memungkinkan evolusi independen di kedua sisi penghalang tersebut, melalui proses spesiasi alopatrik. Istilah spesies invasif diberikan pada spesies yang menembus penghalang alami yang biasanya membuat mereka terkekang. Tanpa adanya penghalang, spesies tersebut menempati wilayah baru, sering kali menggantikan spesies asli dengan menduduki relung mereka, atau dengan menggunakan sumber daya yang biasanya akan mempertahankan kehidupan spesies asli.

Jumlah spesies invasif telah meningkat setidaknya sejak awal 1900-an. Berbagai spesies semakin banyak dipindahkan oleh manusia (sengaja dan tidak sengaja). Dalam beberapa kasus, spesies yang berpindah mengakibatkan perubahan drastis dan kerusakan pada habitat baru mereka (misalnya kerang zebra dan kumbang Agrilus planipennis di wilayah Danau-Danau Besar dan ikan singa atau lepu di sepanjang pantai Atlantik Amerika Utara). Beberapa bukti menunjukkan bahwa spesies invasif lebih kompetitif di habitat barunya mereka karena mereka lebih sedikit mengalami gangguan oleh patogen.[164] Studi lainnya melaporkan bukti yang membingungkan yang kadang-kadang menunjukkan bahwa komunitas yang kaya spesies memiliki banyak spesies asli dan eksotik secara bersamaan,[165] sementara beberapa studi mengatakan bahwa ekosistem yang beragam lebih tangguh dan tahan terhadap tumbuhan dan hewan invasif.[166] Pertanyaan pentingnya adalah, "Apakah spesies invasif menyebabkan kepunahan?" Banyak penelitian mengutip dampak spesies invasif pada spesies asli,[167] tetapi tidak mengakibatkan kepunahan. Spesies invasif tampaknya meningkatkan keanekaragaman lokal (yaitu keanekaragaman alfa), yang mengurangi pergantian keanekaragaman (yaitu keanekaragaman beta). Keanekaragaman gama secara keseluruhan dapat diturunkan karena spesies akan punah akibat sebab lainnya.[168] Meskipun demikian, bahkan beberapa pendatang yang paling berbahaya (misalnya penyakit elm Belanda, kumbang penggerek abu zamrud, kumbang penggerek kastanye di Amerika Utara) tidak menyebabkan spesies inangnya punah. Kepunahan lokal, penurunan populasi, dan homogenisasi keanekaragaman hayati regional jauh lebih umum ditemukan. Aktivitas manusia sering kali menjadi penyebab spesies invasif melintasi penghalang mereka,[169] yang memindahkan mereka untuk dimakan atau untuk keperluan lainnya. Oleh karena itu, aktivitas manusia memungkinkan spesies untuk bermigrasi ke daerah baru (dan dengan demikian menjadi invasif) terjadi pada skala waktu yang jauh lebih pendek dibandingkan waktu alami yang diperlukan bagi suatu spesies untuk memperluas jangkauannya.

Tidak semua spesies pendatang bersifat invasif, atau semua spesies invasif tidak sengaja didatangkan. Dalam kasus-kasus seperti kerang zebra, invasi saluran air AS terjadi tanpa disengaja. Dalam kasus lain, seperti garangan di Hawaii, perpindahan dilakukan dengan sengaja tetapi tidak efektif (tikus yang nokturnal tidak rentan terhadap garangan yang diurnal). Dalam kasus lain, seperti kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia, perpindahan menghasilkan manfaat ekonomi yang substansial, tetapi manfaat tersebut disertai dengan konsekuensi mahal yang tidak diinginkan.

Pada akhirnya, spesies pendatang mungkin secara tidak sengaja merugikan spesies yang tergantung pada spesies yang digantikannya. Di Belgia, tanaman perdu Prunus spinosa dari Eropa Timur membentuk daun lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya di Eropa Barat sehingga mengganggu kebiasaan makan kupu-kupu Thecla betulae (yang memakan daun). Kedatangan spesies baru sering mengakibatkan spesies endemik dan spesies lokal lainnya tidak dapat bersaing dengan spesies eksotik dan tidak dapat bertahan hidup. Organisme eksotik dapat berupa predator, parasit, atau hanya mengalahkan spesies asli untuk mendapatkan nutrisi, air dan cahaya.

Saat ini, beberapa negara telah mengimpor begitu banyak spesies eksotik, terutama tanaman pertanian dan tanaman hias, sehingga fauna atau flora asli mereka mungkin kalah jumlah. Misalnya, pengenalan kudzu dari Asia Tenggara ke Kanada dan Amerika Serikat telah mengancam keanekaragaman hayati di wilayah tertentu.[170]

Pencemaran genetik

sunting

Spesies endemik dapat terancam punah[171] melalui proses pencemaran genetik, yaitu persilangan, introgresi, dan kelebihan genetik yang tidak terkendali. Pencemaran genetik menyebabkan homogenisasi atau penggantian genom lokal sebagai hasil dari keuntungan numerik dan/atau kesesuaian dari suatu spesies pendatang.[172] Persilangan dan introgresi merupakan efek samping dari kedatangan dan invasi. Fenomena ini dapat sangat merugikan spesies langka yang terpapar dengan spesies yang lebih berlimpah. Spesies yang berlimpah dapat kawin silang dengan spesies langka dan membanjiri lungkang gennya. Masalah ini tidak selalu terlihat dari pengamatan morfologis (penampilan luar) saja. Beberapa tingkat aliran gen merupakan adaptasi normal, dan tidak semua konstelasi gen dan genotipe dapat dilestarikan. Namun, persilangan dengan atau tanpa introgresi dapat mengancam keberadaan spesies langka.[173][174]

Eksploitasi berlebihan

sunting

Eksploitasi berlebihan terjadi ketika sumber daya dikonsumsi pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Hal ini terjadi di darat dalam bentuk perburuan dan penebangan kayu yang berlebihan, konservasi tanah yang buruk di bidang pertanian, dan perdagangan satwa liar ilegal. Sekitar 25% perikanan dunia saat ini ditangkap secara berlebihan sampai pada titik ketika biomassa mereka saat ini berada di bawah tingkat yang memaksimalkan keberlangsungan mereka.[175]

Hipotesis perburuan berlebihan, yaitu suatu pola kepunahan hewan besar yang dihubungkan dengan pola migrasi manusia, dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa kepunahan megafauna dapat terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat.[176]

Persilangan, pencemaran/erosi genetik, dan keamanan pangan

sunting
 
Kultivar gandum Yecoro (kanan) peka terhadap salinitas, sedangkan gandum yang dihasilkan dari persilangan hibrida dengan kultivar W4910 (kiri) menunjukkan toleransi yang lebih besar terhadap salinitas tinggi.

Dalam pertanian dan peternakan, Revolusi Hijau memopulerkan penggunaan persilangan konvensional untuk meningkatkan hasil produksi. Sering kali keturunan hasil persilangan berasal dari negara-negara maju dan selanjutnya disilangkan dengan varietas lokal di negara berkembang untuk menciptakan galur berproduksi tinggi yang tahan terhadap iklim dan penyakit setempat. Pemerintah dan industri lokal telah mendorong persilangan. Sebelumnya, lungkang gen yang sangat besar dari keturunan liar dan keturunan asli telah runtuh dan menyebabkan erosi genetik dan pencemaran genetik yang luas. Hal ini mengakibatkan hilangnya keanekaragaman genetik dan keanekaragaman hayati secara keseluruhan.[177]

Organisme termodifikasi secara genetika memiliki materi genetik yang diubah oleh rekayasa genetik. Tanaman rekayasa genetik telah menjadi sumber umum bagi pencemaran genetik, tidak hanya pada varietas liar tetapi juga pada varietas domestik yang berasal dari persilangan klasik.[178][179][180][181][182]

Erosi genetik dan pencemaran genetik berpotensi menghancurkan genotipe unik, sehingga bisa menciptakan ancaman terhadap ketahanan pangan. Penurunan keanekaragaman genetik melemahkan kemampuan tanaman dan ternak untuk disilangkan dalam rangka melawan penyakit dan bertahan hidup dari perubahan iklim.[177]

Perubahan iklim

sunting
 
Beruang kutub di laut es Samudra Arktik, di dekat Kutub Utara. Perubahan iklim mulai memengaruhi populasi beruang.

Pemanasan global merupakan ancaman besar bagi keanekaragaman hayati global.[183][184] Misalnya, terumbu karang—yang menjadi titik panas keanekaragaman hayati—akan hilang pada abad ini jika pemanasan global terus berlanjut dengan laju saat ini.[185][186]

Perubahan iklim terbukti memengaruhi keanekaragaman hayati. Peningkatan karbon dioksida di atmosfer pasti memengaruhi morfologi tumbuhan[187] dan mengasamkan samudra,[188] sementara perubahan suhu memengaruhi jangkauan hidup spesies,[189][190][191] fenologi,[192] dan cuaca,[193] tetapi, untungnya, dampak utama yang diprediksi masih merupakan potensi yang akan muncul di masa depan. Kepunahan besar belum diprediksi, bahkan ketika perubahan iklim secara drastis mengubah biologi banyak spesies.

Pada tahun 2004, sebuah studi kolaboratif internasional di empat benua memperkirakan bahwa 10 persen spesies akan punah pada tahun 2050 karena pemanasan global. "Kita perlu membatasi perubahan iklim atau kita akan berada dalam kesulitan bersama banyak spesies lain, mungkin punah," kata Dr. Lee Hannah, salah satu penulis makalah dan kepala ahli biologi perubahan iklim di Pusat Ilmu Pengetahuan Keanekaragaman Hayati Terapan di Konservasi Internasional.[194]

Sebuah penelitian pada 2015 memperkirakan bahwa hingga 35% karnivora dan ungulata terestrial dunia akan menghadapi risiko kepunahan yang lebih tinggi pada tahun 2050 akibat efek perubahan iklim ditambah penggunaan lahan yang diprediksi dengan skenario laju pembangunan manusia masa kini.[195]

Perubahan iklim telah mengubah waktu ketika kelelawar ekor bebas Brasil (Tadarida brasiliensis) muncul untuk mencari makan menjadi senja hari. Perubahan ini diyakini terkait dengan pengeringan daerah akibat kenaikan suhu. Kemunculan yang lebih awal ini membuat kelelawar menjadi pemangsa yang lebih besar dan meningkatkan persaingan dengan serangga lain yang mencari makan pada waktu senja atau siang hari.[196]

Overpopulasi manusia

sunting

Populasi dunia berjumlah hampir 7,6 miliar pada pertengahan 2017 (kira-kira satu miliar lebih banyak dibandingkan tahun 2005) dan diperkirakan akan mencapai 11,1 miliar pada tahun 2100.[197] Sir David King, mantan kepala penasihat ilmiah untuk pemerintah Inggris, mengatakan pada parlemen: "Sudah jelas bahwa pertumbuhan populasi manusia secara besar-besaran selama abad ke-20 berdampak lebih besar pada keanekaragaman hayati dibandingkan faktor tunggal lainnya."[198][199] Paling tidak sampai pertengahan abad ke-21, hilangnya keanekaragaman hayati murni di seluruh dunia mungkin akan sangat bergantung pada tingkat kelahiran manusia di seluruh dunia.[200] Ahli biologi seperti Paul R. Ehrlich dan Stuart Pimm mencatat bahwa pertumbuhan populasi manusia dan konsumsi berlebihan adalah pendorong utama kepunahan spesies.[201][202][203]

Menurut sebuah studi pada tahun 2014 oleh WWF, populasi manusia global sudah melebihi biokapasitas planet; dibutuhkan 1,5 kali biokapasitas Bumi untuk memenuhi kebutuhan kita saat ini.[204] Laporan lebih lanjut menunjukkan bahwa jika semua orang di planet ini memiliki jejak kaki dari rata-rata penduduk Qatar, kita akan membutuhkan 4,8 Bumi dan jika kita menjalani gaya hidup penduduk AS yang khas, kita akan membutuhkan 3,9 Bumi.[149]

Kepunahan Holosen

sunting

Tingkat penurunan keanekaragaman hayati dalam kepunahan Holosen (kepunahan massal keenam) setara atau melebihi tingkat penuruhan pada lima peristiwa kepunahan massal sebelumnya menurut catatan fosil.[205][206][207][208][209][210][211] Hilangnya keanekaragaman hayati menyebabkan hilangnya modal alami yang menyediakan kebutuhan barang dan layanan pada ekosistem. Dari perspektif metode yang dikenal sebagai Ekonomi Alam, nilai ekonomi dari 17 layanan ekosistem untuk biosfer Bumi (dihitung pada tahun 1997) diperkirakan memiliki nilai US $ 33 triliun (3,3x1013) per tahun.[212]

Pada tahun 2019, Platform Kebijakan-Ilmu Pengetahuan Antar Pemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem menerbitkan Laporan Penilaian Global tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem, sebuah studi terbesar dan paling komprehensif hingga saat ini mengenai keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem. Laporan ini dibuat sebagai ringkasan bagi para pembuat kebijakan. Kesimpulan utamanya yaitu

  1. Selama 50 tahun terakhir, keadaan alam telah memburuk pada tingkat yang semakin cepat dan belum pernah terjadi sebelumnya.
  2. Penggerak utama kemunduran ini adalah perubahan dalam penggunaan lahan dan laut, eksploitasi makhluk hidup, perubahan iklim, polusi, dan spesies invasif. Kelima pendorong ini, pada gilirannya, disebabkan oleh perilaku sosial, dari konsumsi hingga tata kelola.
  3. Kerusakan ekosistem mengacaukan 35 dari 44 target PBB yang dipilih, termasuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Majelis Umum PBB untuk kemiskinan, kelaparan, kesehatan, air, iklim kota, lautan, dan tanah. Hal ini dapat menimbulkan masalah persediaan makanan, air, udara umat manusia.
  4. Untuk mengatasi masalah ini, umat manusia akan membutuhkan perubahan transformatif, termasuk pertanian berkelanjutan, pengurangan konsumsi dan limbah, kuota perikanan, dan pengelolaan air kolaboratif. Pada halaman 8, laporan ini mengusulkan ringkasan "memungkinkan visi tentang kualitas hidup yang baik yang tidak memerlukan konsumsi bahan yang terus meningkat" sebagai salah satu langkah utama. Laporan tersebut menyatakan bahwa "Beberapa jalur dipilih untuk mencapai tujuan yang terkait dengan energi, pertumbuhan ekonomi, industri dan infrastruktur, konsumsi dan produksi berkelanjutan (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 7, 8, 9, dan 12), serta target terkait dengan kemiskinan, ketahanan pangan, dan kota (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 1, 2 ,dan 11), dapat memiliki dampak positif atau negatif yang substansial pada alam dan pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan lainnya".[213][214]

Konservasi

sunting
 
Gambar skematis yang menggambarkan hubungan antara keanekaragaman hayati, layanan ekosistem, kesejahteraan manusia, dan kemiskinan. Ekosistem [215] Ilustrasi ini menunjukkan tindakan konservasi, strategi, dan rencana dapat memengaruhi pendorong krisis keanekaragaman hayati saat ini pada skala lokal, regional, dan global.
 
Penyusutan gletser Aletsch di Pegunungan Alpen Swiss (situasi pada tahun 1979, 1991 dan 2002), akibat pemanasan global.

Biologi konservasi mulai matang pada pertengahan abad ke-20 ketika ahli ekologi, naturalis, dan ilmuwan lain mulai meneliti dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan penurunan keanekaragaman hayati global.[216][217][218]

Etika konservasi menyarankan pengelolaan sumber daya alam untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dalam spesies, ekosistem, proses evolusi, serta budaya manusia dan masyarakat.[206][216][218][219][220]

Biologi konservasi mengalami perubahan terkait rencana strategis yang akan diambil untuk melindungi keanekaragaman hayati.[216][221][222] Melestarikan keanekaragaman hayati global merupakan prioritas dalam rencana konservasi strategis yang dirancang untuk melibatkan kebijakan publik dan isu yang berpengaruh di dalam masyarakat, ekosistem, dan budaya dalam skala lokal, regional dan global.[223] Rencana aksi yang disusun mengidentifikasi cara mempertahankan kesejahteraan manusia menggunakan modal alam, modal pasar, dan layanan ekosistem.[224][225]

Dalam Pedoman Uni Eropa 1999/22/EC, kebun binatang digambarkan memiliki peran dalam pelestarian keanekaragaman hayati hewan liar dengan melakukan penelitian atau berpartisipasi dalam program pemuliaan.

Teknik perlindungan dan pemulihan

sunting

Penghilangan spesies eksotik akan memungkinkan spesies yang telah terdampak negatif oleh mereka untuk memulihkan relung ekologinya kembali. Spesies eksotik yang telah menjadi hama dapat diidentifikasi secara taksonomi (misalnya dengan Sistem Identifikasi Otomatis Digital [DAISY], dengan menggunakan kode batang kehidupan).[226][227] Secara praktis, penghilangan hanya dilakukan pada kelompok individu besar karena pertimbangan biaya ekonomi.

Ketika populasi spesies asli yang tersisa di suatu daerah dapat hidup berkelanjutan dan hidupnya menjadi terjamin, spesies yang "hilang" yang menjadi kandidat untuk reintroduksi (pendatangan kembali) dapat diidentifikasi menggunakan basis daya seperti Encyclopedia of Life dan Fasilitas Informasi Keanekaragaman Hayati Global.

  • Perbankan keanekaragaman hayati menempatkan nilai moneter terhadap keanekaragaman hayati. Salah satu contohnya adalah Kerangka Kerja Pengelolaan Vegetasi Asli Australia.
  • Bank gen merupakan kumpulan spesimen dan materi genetik. Beberapa bank bermaksud untuk memperkenalkan kembali spesies ke ekosistem (misalnya melalui pembibitan pohon).[228]
  • Pengurangan dan penargetan pestisida yang lebih baik memungkinkan lebih banyak spesies yang mampu bertahan hidup di daerah pertanian dan perkotaan.
  • Pendekatan spesifik lokasi mungkin kurang berguna untuk melindungi spesies yang bermigrasi. Salah satu pendekatan lain adalah membuat koridor satwa liar yang sesuai dengan pergerakan hewan. Batas-batas nasional dan batas lainnya dapat mempersulit pembuatan koridor.

Alokasi sumber daya

sunting

Investasi sumber daya yang difokuskan pada area terbatas dengan potensi keanekaragaman hayati yang lebih tinggi diperkirakan membawa hasil yang lebih besar dan cepat dibandingkan menyebarkan sumber daya secara merata atau berfokus pada area yang keanekaragamannya rendah.[229] Strategi kedua berfokus pada area yang mempertahankan sebagian besar keanekaragaman asli mereka, yang biasanya hanya membutuhkan sedikit restorasi atau bahkan tidak ada. Area ini biasanya merupakan area nonperkotaan dan nonpertanian. Daerah tropis sering kali cocok dengan kedua kriteria tersebut, mengingat keanekaragaman aslinya yang tinggi dan pembangunan yang relatif kurang.[230]

Kawasan perlindungan

sunting

Kawasan perlindungan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan pada hewan liar dan habitatnya yang juga mencakup cagar hutan dan cagar biosfer.[231] Kawasan perlindungan didirikan di seluruh dunia dengan tujuan spesifik untuk melindungi dan melestarikan tumbuhan dan hewan. Beberapa ilmuwan meminta komunitas global untuk menetapkan 30 persen dari Bumi sebagai kawasan perlindungan pada tahun 2030 dan 50 persen pada tahun 2050, untuk mengurangi hilangnya keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh manusia.[232]

Taman nasional

sunting

Taman nasional adalah area yang dipilih oleh pemerintah atau organisasi swasta untuk melindungi area tersebut secara khusus dari kerusakan atau degradasi dengan tujuan konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap. Taman nasional biasanya dimiliki dan dikelola oleh pemerintah nasional atau negara bagian. Jumlah pengunjungnya dibatasi, terutama untuk memasuki area rapuh tertentu. Para pengunjung hanya diizinkan masuk untuk tujuan belajar, budaya, dan rekreasi. Operasi kehutanan, penggembalaan hewan, dan perburuan hewan diatur, sementara eksploitasi habitat atau satwa liar dilarang.

Cagar alam dan suaka margasatwa

sunting

Cagar alam dan suaka margasatwa (wildlife sanctuaries) hanya bertujuan untuk mengonservasi spesies dan memiliki karakteristik:

  1. Batas-batasnya tidak dibatasi oleh peraturan suatu negara.
  2. Pembunuhan, perburuan, atau penangkapan spesies apa pun dilarang kecuali oleh atau di bawah kendali otoritas tertinggi di departemen yang bertanggung jawab atas pengelolaan suaka.
  3. Kepemilikan pribadi dapat diizinkan.
  4. Kegiatan kehutanan dan penggunaan lainnya juga bisa diizinkan.

Hutan lindung

sunting

Hutan memainkan peran penting untuk menyimpan berbagai spesies flora dan fauna, termasuk spesies endemik. Spesies tumbuhan dan hewan yang terbatas pada wilayah geografis tertentu disebut spesies endemik. Pada hutan yang dilindungi, hak untuk melakukan beberapa kegiatan seperti berburu dan merumput kadang-kadang diberikan kepada masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan, yang mempertahankan mata pencaharian mereka sebagian atau seluruhnya dari sumber daya hutan atau produknya. Hutan yang tidak diklasifikasikan memiliki karakteristik berupa hutan besar yang tidak dapat diakses, banyak di antaranya yang tidak dihuni, dan dinilai kurang penting secara ekologis dan ekonomis.

Kebun binatang

sunting

Di kebun binatang, hewan hidup dipelihara untuk tujuan rekreasi, pendidikan, dan konservasi. Kebun binatang modern memiliki layanan kedokteran hewan, memberikan peluang bagi spesies terancam untuk berkembang biak di penangkaran, dan biasanya membangun lingkungan yang mensimulasikan habitat asli hewan dalam lingkungan perawatan mereka. Kebun binatang memainkan peran utama dalam membangun kesadaran masyarakat tentang perlunya melestarikan alam.

Kebun botani

sunting

Di kebun botani atau kebun raya, tumbuhan ditanam dan dipajang terutama untuk tujuan ilmiah dan pendidikan. Mereka terdiri dari koleksi tanaman hidup yang ditanam di luar ruangan atau di bawah kaca pada rumah kaca dan konservatori. Kebun botani juga dapat mencakup koleksi tumbuhan kering atau herbarium dan fasilitas seperti ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, museum, dan penanaman eksperimental atau penelitian.

Status hukum

sunting
 
Sejumlah besar usaha dilakukan untuk melestarikan karakteristik alami Air Terjun Hopetoun, Australia sambil terus memungkinkan akses pengunjung.

Internasional

sunting

Kesepakatan global seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati, memberikan "hak nasional yang berdaulat atas sumber daya hayati" (bukan properti). Perjanjian tersebut mengikat suatu negara untuk "melestarikan keanekaragaman hayati", "mengembangkan sumber daya untuk keberlanjutan", dan "berbagi manfaat" yang dihasilkan dari penggunaannya. Negara dengan keanekaragaman hayati yang memungkinkan untuk melakukan pencarian hayati atau mengumpulkan produk alami, mengharapkan untuk mendapat sebagian manfaat alih-alih membiarkan individu atau lembaga yang menemukan sumber daya tersebut hanya untuk keperluan pribadi mereka. Pencarian hayati dapat menjadi salah satu jenis pembajakan hayati ketika prinsip-prinsip tersebut tidak dihormati.[233]

Prinsip kedaulatan dapat mengandalkan pada apa yang dikenal sebagai Perjanjian Berbagi Akses dan Perjanjian (ABAs). Konvensi Keanekaragaman Hayati menyiratkan persetujuan antara negara sumber dan kolektor, untuk menentukan sumber daya mana yang akan digunakan dan untuk apa, serta untuk menciptakan perjanjian yang adil mengenai pembagian keuntungan.

Uni Eropa

sunting

Pada bulan Mei 2020, Uni Eropa (UE) menerbitkan Strategi Keanekaragaman Hayati untuk tahun 2030. Strategi ini merupakan bagian penting dari strategi mitigasi perubahan iklim Uni Eropa. Dari 25% anggaran Eropa yang akan digunakan untuk memerangi perubahan iklim, sebagian besar akan digunakan untuk mengembalikan keanekaragaman hayati dan solusi berbasis alam.

Strategi Keanekaragaman Hayati UE untuk tahun 2030 mencakup target berikutnya:

  • Melindungi 30% wilayah laut dan 30% wilayah daratan, terutama hutan berumur tua.
  • Menanam 3 miliar pohon pada tahun 2030.
  • Mengembalikan setidaknya 25.000 kilometer sungai, sehingga mereka akan mengalir bebas.
  • Mengurangi penggunaan pestisida hingga 50% pada tahun 2030.
  • Meningkatkan pertanian organik. Dalam program EU terkait, yaitu dari Sawah ke Garpu Fork disebutkan bahwa targetnya adalah membuat 25% pertanian UE menjadi organik pada tahun 2030.[234]
  • Meningkatkan keanekaragaman hayati di bidang pertanian.
  • Memberikan € 20 miliar per tahun untuk masalah ini dan menjadikannya bagian dari praktik bisnis.

Menurut halaman strategi tersebut, sekitar setengah dari PDB global bergantung pada alam. Di Eropa, banyak unsur ekonomi yang menghasilkan triliunan € per tahun, tergantung pada alam. Manfaat Natura 2000 saja di Eropa berkisar antara € 200 hingga € 300 miliar per tahun.[235]

Hukum tingkat nasional

sunting

Keanekaragaman hayati dipertimbangkan dalam beberapa keputusan politik dan hukum:

  • Hubungan antara hukum dan ekosistem telah ada sejak zaman kuno dan berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati. Hal ini terkait dengan hak milik pribadi dan publik. Hukum dapat menentukan perlindungan bagi ekosistem yang terancam, serta berbagai hak dan kewajiban masyarakat (misalnya hak memancing dan berburu).[butuh rujukan]
  • Hukum yang mengatur spesies muncul belakangan. Hukum ini mengatur spesies apa saja yang harus dilindungi karena mereka mungkin terancam punah. Undang-Undang Spesies Terancam AS adalah contoh dari usaha untuk mengatasi permasalahan "hukum dan spesies".
  • Hukum yang mengatur lungkang gen baru muncul sekitar seabad terakhir.[butuh rujukan] Domestikasi dan pemuliaan tanaman bukanlah hal baru, tetapi kemajuan dalam rekayasa genetik menyebabkan diciptakannya hukum yang lebih ketat yang di antaranya mengatur distribusi organisme termodifikasi secara genetik, paten gen, dan paten proses.[236] Pemerintah masih belum memutuskan dengan pasti apakah akan berfokus pada, misalnya, gen, genom, atau organisme dan spesies.[butuh rujukan]

Akan tetapi, keseragaman standar hukum yang mengatur penggunaan keanekaragaman hayati belum tercapai. Bosselman berpendapat bahwa keanekaragaman hayati tidak boleh digunakan sebagai standar hukum dan mengklaim bahwa masih ada area ketidakpastian ilmiah yang menyebabkan tidak efisiennya administrasi dan meningkatkan litigasi meningkat tanpa mempromosikan tujuan pelestarian.[237]

India meloloskan Undang-Undang Keanekaragaman Hayati pada tahun 2002 untuk mengonservasi keanekaragaman hayati di India. Undang-undang ini juga mencakup mekanisme pembagian manfaat secara adil dari penggunaan sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional.

Batas analitikal

sunting

Hubungan antara taksonomi dan ukuran

sunting

Dari semua spesies yang telah dideskripsikan, kurang dari 1% yang telah diteliti lebih lanjut dari sekadar mencatat keberadaan mereka.[238] Sebagian besar spesies Bumi merupakan mikrob. Fisika keanekaragaman hayati kontemporer dianggap "terpaku tegas pada dunia yang terlihat [makroskopik]".[239] Sebagai contoh, kehidupan mikrob secara metabolik dan lingkungan lebih beragam dibandingkan kehidupan multiseluler (misalnya pada ekstremofil). "Pada pohon kehidupan, didasarkan pada analisis subunit kecil RNA ribosom, kehidupan yang terlihat oleh mata hanya meliputi ranting kecil yang hampir tak terlihat. Hubungan terbalik antara ukuran makhluk hidup dan populasinya berulang lebih tinggi pada tangga evolusi "pada perkiraan pertama, semua spesies multiseluler di Bumi adalah serangga".[240] Tingkat kepunahan serangga yang tinggi mendukung hipotesis kepunahan Holosen.[241][242]

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ "The bare statement that the region contains a flora rich in genera and species and of diverse geographic origin or affinity is entirely inadequate as a description of its real biological diversity."
  2. ^ "The Preservation of Natural Diversity."
  3. ^ "The National Forum on BioDiversity ... was conceived by Walter G. Rosen ... Dr. Rosen represented the NRC/NAS throughout the planning stages of the project. Furthermore, he introduced the term biodiversity".

Referensi

sunting
  1. ^ "What is biodiversity?" (PDF). United Nations Environment Programme, World Conservation Monitoring Centre. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-08-29. Diakses tanggal 2020-05-23. 
  2. ^ Gaston, Kevin J. (11 May 2000). "Global patterns in biodiversity". Nature. 405 (6783): 220–227. doi:10.1038/35012228. PMID 10821282. 
  3. ^ Field, Richard; Hawkins, Bradford A.; Cornell, Howard V.; Currie, David J.; Diniz-Filho, J. (1 January 2009). Alexandre F.; Guégan, Jean-François; Kaufman, Dawn M.; Kerr, Jeremy T.; Mittelbach, Gary G.; Oberdorff, Thierry; O’Brien, Eileen M.; Turner, John R. G. "Spatial species-richness gradients across scales: a meta-analysis". Journal of Biogeography. 36 (1): 132–147. doi:10.1111/j.1365-2699.2008.01963.x. 
  4. ^ Gaston, Kevin J.; Spicer, John I. (2013-04-22). Biodiversity: An Introduction (dalam bahasa Inggris). John Wiley & Sons. ISBN 978-1-118-68491-7. 
  5. ^ Young, Anthony. "Global Environmental Outlook 3 (GEO-3): Past, Present and Future Perspectives." The Geographical Journal, vol. 169, 2003, p. 120.
  6. ^ Tittensor, Derek P.; Mora, Camilo; Jetz, Walter; Lotze, Heike K.; Ricard, Daniel; Berghe, Edward Vanden; Worm, Boris (28 July 2010). "Global patterns and predictors of marine biodiversity across taxa". Nature. 466 (7310): 1098–1101. Bibcode:2010Natur.466.1098T. doi:10.1038/nature09329. PMID 20668450. 
  7. ^ Myers, Norman; Mittermeier, Russell A.; Mittermeier, Cristina G.; Da Fonseca, Gustavo A. B.; Kent, Jennifer (24 February 2000). "Biodiversity hotspots for conservation priorities". Nature. 403 (6772): 853–858. Bibcode:2000Natur.403..853M. doi:10.1038/35002501. PMID 10706275. 
  8. ^ McPeek, Mark A.; Brown, Jonathan M. (1 April 2007). "Clade Age and Not Diversification Rate Explains Species Richness among Animal Taxa". The American Naturalist. 169 (4): E97–E106. doi:10.1086/512135. PMID 17427118. 
  9. ^ Peters, Shanan. "Sepkoski's Online Genus Database". University of Wisconsin-Madison. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-08. Diakses tanggal 10 April 2013. 
  10. ^ Rabosky, Daniel L. (1 August 2009). "Ecological limits and diversification rate: alternative paradigms to explain the variation in species richness among clades and regions". Ecology Letters. 12 (8): 735–743. doi:10.1111/j.1461-0248.2009.01333.x. PMID 19558515. 
  11. ^ Charles Cockell; Christian Koeberl & Iain Gilmour (18 May 2006). Biological Processes Associated with Impact Events (edisi ke-1). Springer Science & Business Media. hlm. 197–219. Bibcode:2006bpai.book.....C. ISBN 978-3-540-25736-3. 
  12. ^ Algeo, T. J.; Scheckler, S. E. (29 January 1998). "Terrestrial-marine teleconnections in the Devonian: links between the evolution of land plants, weathering processes, and marine anoxic events". Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. 353 (1365): 113–130. doi:10.1098/rstb.1998.0195. PMC 1692181 . 
  13. ^ Bond, David P.G.; Wignall, Paul B. (1 June 2008). "The role of sea-level change and marine anoxia in the Frasnian–Famennian (Late Devonian) mass extinction" (PDF). Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology. 263 (3–4): 107–118. doi:10.1016/j.palaeo.2008.02.015. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-08-29. Diakses tanggal 2020-05-23. 
  14. ^ Kunin, W.E.; Gaston, Kevin, ed. (31 December 1996). The Biology of Rarity: Causes and consequences of rare—common differences. ISBN 978-0-412-63380-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-03. Diakses tanggal 26 May 2015. 
  15. ^ Stearns, Beverly Peterson; Stearns, S. C.; Stearns, Stephen C. (2000). Watching, from the Edge of Extinction. Yale University Press. hlm. preface x. ISBN 978-0-300-08469-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-18. Diakses tanggal 30 May 2017. 
  16. ^ Novacek, Michael J. (8 November 2014). "Prehistory's Brilliant Future". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-12-29. Diakses tanggal 25 December 2014. 
  17. ^ G. Miller; Scott Spoolman (2012). Environmental Science – Biodiversity Is a Crucial Part of the Earth's Natural Capital. Cengage Learning. hlm. 62. ISBN 978-1-133-70787-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-13. Diakses tanggal 27 December 2014. 
  18. ^ Mora, C.; Tittensor, D.P.; Adl, S.; Simpson, A.G.; Worm, B. (23 August 2011). "How many species are there on Earth and in the ocean?". PLOS Biology. 9 (8): e1001127. doi:10.1371/journal.pbio.1001127. PMC 3160336 . PMID 21886479. 
  19. ^ Staff (2 May 2016). "Researchers find that Earth may be home to 1 trillion species". National Science Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-04. Diakses tanggal 6 May 2016. 
  20. ^ Nuwer, Rachel (18 July 2015). "Counting All the DNA on Earth". The New York Times. New York: The New York Times Company. ISSN 0362-4331. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-07-18. Diakses tanggal 18 July 2015. 
  21. ^ "The Biosphere: Diversity of Life". Aspen Global Change Institute. Basalt, CO. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-09-02. Diakses tanggal 19 July 2015. 
  22. ^ Wade, Nicholas (25 July 2016). "Meet Luca, the Ancestor of All Living Things". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-07-28. Diakses tanggal 25 July 2016. 
  23. ^ "Age of the Earth". U.S. Geological Survey. 1997. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 December 2005. Diakses tanggal 10 January 2006. 
  24. ^ Dalrymple, G. Brent (2001). "The age of the Earth in the twentieth century: a problem (mostly) solved". Special Publications, Geological Society of London. 190 (1): 205–221. Bibcode:2001GSLSP.190..205D. doi:10.1144/GSL.SP.2001.190.01.14. 
  25. ^ Manhesa, Gérard; Allègre, Claude J.; Dupréa, Bernard & Hamelin, Bruno (1980). "Lead isotope study of basic-ultrabasic layered complexes: Speculations about the age of the earth and primitive mantle characteristics". Earth and Planetary Science Letters. 47 (3): 370–382. Bibcode:1980E&PSL..47..370M. doi:10.1016/0012-821X(80)90024-2. 
  26. ^ Schopf, J. William; Kudryavtsev, Anatoliy B.; Czaja, Andrew D.; Tripathi, Abhishek B. (5 October 2007). "Evidence of Archean life: Stromatolites and microfossils". Precambrian Research. Earliest Evidence of Life on Earth. 158 (3–4): 141–155. Bibcode:2007PreR..158..141S. doi:10.1016/j.precamres.2007.04.009. 
  27. ^ Schopf, J. William (29 June 2006). "Fossil evidence of Archaean life". Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences (dalam bahasa Inggris). 361 (1470): 869–885. doi:10.1098/rstb.2006.1834. ISSN 0962-8436. PMC 1578735 . PMID 16754604. 
  28. ^ Hamilton Raven, Peter; Brooks Johnson, George (2002). Biology. McGraw-Hill Education. hlm. 68. ISBN 978-0-07-112261-0. Diakses tanggal 7 July 2013. 
  29. ^ Borenstein, Seth (13 November 2013). "Oldest fossil found: Meet your microbial mom". AP News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-29. Diakses tanggal 2020-05-23. 
  30. ^ Pearlman, Jonathan (13 November 2013). "'Oldest signs of life on Earth found' – Scientists discover potentially oldest signs of life on Earth – 3.5 billion-year-old microbe traces in rocks in Australia". The Telegraph. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-28. Diakses tanggal 15 December 2014. 
  31. ^ Noffke, Nora; Christian, Daniel; Wacey, David; Hazen, Robert M. (8 November 2013). "Microbially Induced Sedimentary Structures Recording an Ancient Ecosystem in the ca. 3.48 Billion-Year-Old Dresser Formation, Pilbara, Western Australia". Astrobiology. 13 (12): 1103–1124. Bibcode:2013AsBio..13.1103N. doi:10.1089/ast.2013.1030. PMC 3870916 . PMID 24205812. 
  32. ^ Ohtomo, Yoko; Kakegawa, Takeshi; Ishida, Akizumi; Nagase, Toshiro; Rosing, Minik T. (8 December 2013). "Evidence for biogenic graphite in early Archaean Isua metasedimentary rocks". Nature Geoscience. 7 (1): 25–28. Bibcode:2014NatGe...7...25O. doi:10.1038/ngeo2025. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-23. Diakses tanggal 2020-05-23. 
  33. ^ a b Borenstein, Seth (19 October 2011). "Hints of life on what was thought to be desolate early Earth". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-23. Diakses tanggal 2020-05-23. 
  34. ^ Bell, Elizabeth A.; Boehnike, Patrick; Harrison, T. Mark; et al. (24 November 2015). "Potentially biogenic carbon preserved in a 4.1 billion-year-old zircon" (PDF). Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 112 (47): 14518–14521. Bibcode:2015PNAS..11214518B. doi:10.1073/pnas.1517557112. ISSN 1091-6490. PMC 4664351 . PMID 26483481. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-11-06. Diakses tanggal 2020-05-23. 
  35. ^ "The Cambrian Period". University of California Museum of Paleontology. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 May 2012. Diakses tanggal 17 May 2012. 
  36. ^ a b Sahney, S.; Benton, M.J. & Falcon-Lang, H.J. (2010). "Rainforest collapse triggered Pennsylvanian tetrapod diversification in Euramerica". Geology. 38 (12): 1079–1082. Bibcode:2010Geo....38.1079S. doi:10.1130/G31182.1. 
  37. ^ a b Sahney, S. & Benton, M.J. (2008). "Recovery from the most profound mass extinction of all time". Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences. 275 (1636): 759–765. doi:10.1098/rspb.2007.1370. PMC 2596898 . PMID 18198148. 
  38. ^ "Cretaceous-Tertiary mass extinction videos, news and facts". BBC Nature. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 June 2017. Diakses tanggal 5 June 2017. 
  39. ^ Vignieri, S. (25 July 2014). "Vanishing fauna (Special issue)". Science. 345 (6195): 392–412. doi:10.1126/science.345.6195.392. PMID 25061199. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-20. Diakses tanggal 2020-05-24. 
  40. ^ Sala, Osvaldo E.; Meyerson, Laura A.; Parmesan, Camille (26 January 2009). Biodiversity change and human health: from ecosystem services to spread of disease. Island Press. hlm. 3–5. ISBN 978-1-59726-497-6. Diakses tanggal 28 June 2011. 
  41. ^ "United Nations Decade on Biodiversity | United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization". www.unesco.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-09. Diakses tanggal 11 August 2017. 
  42. ^ "New UN Decade on Ecosystem Restoration to inspire bold UN Environment Assembly decisions". 6 March 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-12-07. Diakses tanggal 2020-05-24. 
  43. ^ Staff (6 May 2019). "Media Release: Nature's Dangerous Decline 'Unprecedented'; Species Extinction Rates 'Accelerating'". Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-14. Diakses tanggal 9 May 2019. 
  44. ^ Watts, Jonathan (6 May 2019). "Human society under urgent threat from loss of Earth's natural life". The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-14. Diakses tanggal 9 May 2019. 
  45. ^ Plumer, Brad (6 May 2019). "Humans Are Speeding Extinction and Altering the Natural World at an 'Unprecedented' Pace". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-14. Diakses tanggal 9 May 2019. 
  46. ^ Soulé, Michael E.; Wilcox, Bruce A. (1980). Conservation biology: an evolutionary-ecological perspective. Sunder*land, Mass: Sinauer Associates. ISBN 978-0-87893-800-1. 
  47. ^ "Robert E. Jenkins". Nature.org. 18 August 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 September 2012. Diakses tanggal 24 September 2011. 
  48. ^ Wilson, E. O. (1988). Biodiversity. National Academy Press. hlm. vi. doi:10.17226/989. ISBN 978-0-309-03739-6. PMID 25032475. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-24. Diakses tanggal 2020-05-24. 
  49. ^ Tangley, Laura (1985). "A New Plan to Conserve the Earth's Biota". BioScience. 35 (6): 334–336+341. doi:10.1093/bioscience/35.6.334. JSTOR 1309899. 
  50. ^ Wilson, E.O. (1 January 1988). Biodiversity. National Academies Press. ISBN 978-0-309-03739-6.  online edition Diarsipkan 13 September 2006 di Wayback Machine.
  51. ^ Global Biodiversity Assessment: Summary for Policy-makers. Cambridge University Press. 1995. ISBN 978-0-521-56481-6.  Annex 6, Glossary. Used as source by "Biodiversity", Glossary of terms related to the CBD Diarsipkan 2011-09-10 di Wayback Machine., Belgian Clearing-House Mechanism. Retrieved 26 April 2006.
  52. ^ Walker, Brian H. (1992). "Biodiversity and Ecological Redundancy". Conservation Biology (dalam bahasa Inggris). 6 (1): 18–23. doi:10.1046/j.1523-1739.1992.610018.x. ISSN 1523-1739. 
  53. ^ Tor-Björn Larsson (2001). Biodiversity evaluation tools for European forests. Wiley-Blackwell. hlm. 178. ISBN 978-87-16-16434-6. Diakses tanggal 28 June 2011. 
  54. ^ Davis. Intro To Env Engg (Sie), 4E. McGraw-Hill Education (India) Pvt Ltd. hlm. 4. ISBN 978-0-07-067117-1. Diakses tanggal 28 June 2011. 
  55. ^ Campbell, AK (2003). "Save those molecules: molecular biodiversity and life". Journal of Applied Ecology. 40 (2): 193–203. doi:10.1046/j.1365-2664.2003.00803.x. 
  56. ^ Lefcheck, Jon (20 October 2014). "What is functional diversity, and why do we care?". sample(ECOLOGY). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-20. Diakses tanggal 22 December 2015. 
  57. ^ a b Wilcox, Bruce A. 1984. In situ conservation of genetic resources: determinants of minimum area requirements. In National Parks, Conservation and Development, Proceedings of the World Congress on National Parks, J.A. McNeely and K.R. Miller, Smithsonian Institution Press, pp. 18–30.
  58. ^ a b D. L. Hawksworth (1996). Biodiversity: measurement and estimation. Philosophical Transactions of the Royal Society of London. Series B, Biological Sciences. 345. Springer. hlm. 6. doi:10.1098/rstb.1994.0081. ISBN 978-0-412-75220-9. PMID 7972355. Diakses tanggal 28 June 2011. 
  59. ^ Gaston, Kevin J.; Spicer, John I. (13 February 2004). Biodiversity: An Introduction. Wiley. ISBN 978-1-4051-1857-6. 
  60. ^ Mannion, Philip D. (1 Maret 2014). "Patterns in Palaeontology: The latitudinal biodiversity gradient". Palaeontology Online. 4 (Article 3): 1–8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-24. Diakses tanggal 2020-10-07. 
  61. ^ "A Durable Yet Vulnerable Eden in Amazonia". Dot Earth blog, New York Times. 20 January 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-03. Diakses tanggal 2 February 2013. 
  62. ^ Margot S. Bass; Matt Finer; Clinton N. Jenkins; Holger Kreft; Diego F. Cisneros-Heredia; Shawn F. McCracken; Nigel C. A. Pitman; Peter H. English; Kelly Swing; Gorky Villa; Anthony Di Fiore; Christian C. Voigt; Thomas H. Kunz (2010). "Global Conservation Significance of Ecuador's Yasuní National Park". PLOS ONE. 5 (1): e8767. Bibcode:2010PLoSO...5.8767B. doi:10.1371/journal.pone.0008767. PMC 2808245 . PMID 20098736. 
  63. ^ Benton M. J. (2001). "Biodiversity on land and in the sea". Geological Journal. 36 (3–4): 211–230. doi:10.1002/gj.877. 
  64. ^ a b c Mora, C.; et al. (2011). "How Many Species Are There on Earth and in the Ocean?". PLOS Biology. 9 (8): e1001127. doi:10.1371/journal.pbio.1001127. PMC 3160336 . PMID 21886479. 
  65. ^ Mora C & Robertson DR (2005). "Causes of latitudinal gradients in species richness: a test with fishes of the Tropical Eastern Pacific" (PDF). Ecology. 86 (7): 1771–1792. doi:10.1890/04-0883. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2020-05-27. 
  66. ^ Currie, D. J.; Mittelbach, G. G.; Cornell, H. V.; Kaufman, D. M.; Kerr, J. T.; Oberdorff, T. (2004). "A critical review of species-energy theory". Ecology Letters. 7 (12): 1121–1134. doi:10.1111/j.1461-0248.2004.00671.x. 
  67. ^ Allen A. P.; Gillooly J. F.; Savage V. M.; Brown J. H. (2006). "Kinetic effects of temperature on rates of genetic divergence and speciation". PNAS. 103 (24): 9130–9135. Bibcode:2006PNAS..103.9130A. doi:10.1073/pnas.0603587103. PMC 1474011 . PMID 16754845. 
  68. ^ Hillebrand H (2004). "On the generality of the latitudinal diversity gradient" (PDF). The American Naturalist. 163 (2): 192–211. doi:10.1086/381004. PMID 14970922. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-09-22. Diakses tanggal 2020-05-27. 
  69. ^ Karakassis, Ioannis; Moustakas, Aristides (September 2005). "How diverse is aquatic biodiversity research?". Aquatic Ecology. 39 (3): 367–375. doi:10.1007/s10452-005-6041-y. 
  70. ^ Morand, Serge; Krasnov, Boris R. (1 September 2010). The Biogeography of Host-Parasite Interactions. Oxford University Press. hlm. 93–94. ISBN 978-0-19-956135-3. Diakses tanggal 28 June 2011. 
  71. ^ Cazzolla Gatti, R (2016). "The fractal nature of the latitudinal biodiversity gradient". Biologia. 71 (6): 669–672. doi:10.1515/biolog-2016-0077. 
  72. ^ Biodiversity A-Z. "Biodiversity Hotspots". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-11-13. Diakses tanggal 2020-05-27. 
  73. ^ Myers N (1988). "Threatened biotas: 'hot spots' in tropical forests". Environmentalist. 8 (3): 187–208. doi:10.1007/BF02240252. PMID 12322582. 
  74. ^ Myers N (1990). "The biodiversity challenge: expanded hot-spots analysis" (PDF). Environmentalist. 10 (4): 243–256. CiteSeerX 10.1.1.468.8666 . doi:10.1007/BF02239720. PMID 12322583. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-09-09. Diakses tanggal 2020-05-27. 
  75. ^ Tittensor D.; et al. (2011). "Global patterns and predictors of marine biodiversity across taxa" (PDF). Nature. 466 (7310): 1098–1101. Bibcode:2010Natur.466.1098T. doi:10.1038/nature09329. PMID 20668450. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-08-31. Diakses tanggal 2020-05-27. 
  76. ^ McKee, Jeffrey K. (December 2004). Sparing Nature: The Conflict Between Human Population Growth and Earth's Biodiversity. Rutgers University Press. hlm. 108. ISBN 978-0-8135-3558-6. Diakses tanggal 28 June 2011. 
  77. ^ Galindo-Leal, Carlos (2003). The Atlantic Forest of South America: Biodiversity Status, Threats, and Outlook. Washington: Island Press. hlm. 35. ISBN 978-1-55963-988-0. 
  78. ^ "Colombia in the World". Alexander von Humboldt Institute for Research on Biological Resources. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 October 2013. Diakses tanggal 30 December 2013. 
  79. ^ godfrey, laurie. "isolation and biodiversity". pbs.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-20. Diakses tanggal 22 October 2017. 
  80. ^ "Madagascar – A World Apart: Eden Evolution". www.pbs.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-20. Diakses tanggal 6 June 2019. 
  81. ^ Normile, Dennis (10 September 2010). "Saving Forests to Save Biodiversity". Science. 329 (5997): 1278–1280. Bibcode:2010Sci...329.1278N. doi:10.1126/science.329.5997.1278. PMID 20829464. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-16. Diakses tanggal 28 December 2010. 
  82. ^ Rosing, M.; Bird, D.; Sleep, N.; Bjerrum, C. (2010). "No climate paradox under the faint early Sun". Nature. 464 (7289): 744–747. Bibcode:2010Natur.464..744R. doi:10.1038/nature08955. PMID 20360739. 
  83. ^ a b c d e Sahney, S.; Benton, M.J.; Ferry, Paul (2010). "Links between global taxonomic diversity, ecological diversity and the expansion of vertebrates on land". Biology Letters. 6 (4): 544–547. doi:10.1098/rsbl.2009.1024. PMC 2936204 . PMID 20106856. 
  84. ^ Alroy, J; Marshall, CR; Bambach, RK; Bezusko, K; Foote, M; Fursich, FT; Hansen, TA; Holland, SM; et al. (2001). "Effects of sampling standardization on estimates of Phanerozoic marine diversification". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 98 (11): 6261–6266. Bibcode:2001PNAS...98.6261A. doi:10.1073/pnas.111144698. PMC 33456 . PMID 11353852. 
  85. ^ a b "Mapping the web of life". Unep.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 July 2010. Diakses tanggal 21 June 2009. 
  86. ^ Okasha, S. (2010). "Does diversity always grow?". Nature. 466 (7304): 318. Bibcode:2010Natur.466..318O. doi:10.1038/466318a. 
  87. ^ "Stanford researchers discover that animal functional diversity started poor, became richer over time". biox.stanford.edu. 11 March 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-11. Diakses tanggal 2020-05-29. 
  88. ^ Hautmann, Michael; Bagherpour, Borhan; Brosse, Morgane; Frisk, Åsa; Hofmann, Richard; Baud, Aymon; Nützel, Alexander; Goudemand, Nicolas; Bucher, Hugo; Brayard, Arnaud (2015). "Competition in slow motion: the unusual case of benthic marine communities in the wake of the end-Permian mass extinction". Palaeontology. 58 (5): 871–901. doi:10.1111/pala.12186. 
  89. ^ a b Markov, AV; Korotaev, AV (2008). "Hyperbolic growth of marine and continental biodiversity through the phanerozoic and community evolution". Journal of General Biology. 69 (3): 175–194. PMID 18677962. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-12-25. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  90. ^ Markov, A; Korotayev, A (2007). "Phanerozoic marine biodiversity follows a hyperbolic trend". Palaeoworld. 16 (4): 311–318. doi:10.1016/j.palwor.2007.01.002. 
  91. ^ National Survey Reveals Biodiversity Crisis Diarsipkan 7 June 2007 di Wayback Machine. American Museum of Natural History
  92. ^ a b Wilson, Edward O. (1 January 2002). The Future of Life. Alfred A. Knopf. ISBN 978-0-679-45078-8. 
  93. ^ a b c d e Cardinale, Bradley; et al. (2012). "Biodiversity loss and its impact on humanity" (PDF). Nature. 486 (7401): 59–67. Bibcode:2012Natur.486...59C. doi:10.1038/nature11148. PMID 22678280. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-09-21. Diakses tanggal 2020-05-31. 
  94. ^ Wright, Richard T., and Bernard J. Nebel. Environmental Science : toward a Sustainable Future. Eighth ed., Upper Saddle River, N.J., Pearson Education, 2002.
  95. ^ Daniel, T. C.; et al. (21 May 2012). "Contributions of cultural services to the ecosystem services agenda". Proceedings of the National Academy of Sciences. 109 (23): 8812–8819. Bibcode:2012PNAS..109.8812D. doi:10.1073/pnas.1114773109. PMC 3384142 . PMID 22615401. 
  96. ^ a b Vandermeer, John H. (2011). The Ecology of Agroecosystems. Jones & Bartlett Learning. ISBN 978-0-7637-7153-9. 
  97. ^ "Rice Grassy Stunt Virus". Lumrix.net. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 July 2011. Diakses tanggal 21 June 2009. 
  98. ^ Wahl, GM; Robert de Saint Vincent B; Derose, ML (1984). "Effect of chromosomal position on amplification of transfected genes in animal cells". Nature. 307 (5951): 516–520. Bibcode:1984Natur.307..516W. doi:10.1038/307516a0. PMID 6694743. 
  99. ^ "Southern Corn Leaf Blight". Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 August 2011. Diakses tanggal 13 November 2007. 
  100. ^ a b Aswathanarayana, Uppugunduri (2012). Natural Resources – Technology, Economics & Policy. Leiden, Netherlands: CRC Press. hlm. 370. ISBN 978-0-203-12399-7. 
  101. ^ World Health Organization(WHO) and Secretariat of the Convention on Biological Diversity (2015) Connecting Global Priorities: Biodiversity and Human Health, a State of Knowledge Review Diarsipkan 2015-06-04 di Wayback Machine.. See also Website of the Secretariat of the Convention on Biological Diversity on biodiversity and health Diarsipkan 2022-10-20 di Wayback Machine.. Other relevant resources include Reports of the 1st and 2nd International Conferences on Health and Biodiversity. Diarsipkan 7 January 2009 di Wayback Machine. See also: Website of the UN COHAB Initiative Diarsipkan 4 February 2009 di Wayback Machine.
  102. ^ a b Chivian, Eric, ed. (15 May 2008). Sustaining Life: How Human Health Depends on Biodiversity. OUP US. ISBN 978-0-19-517509-7. 
  103. ^ Corvalán, Carlos; Hales, Simon; Anthony J. McMichael (2005). Ecosystems and Human Well-being: Health Synthesis. World Health Organization. hlm. 28. ISBN 978-92-4-156309-3. 
  104. ^ (2009) "Climate Change and Biological Diversity" Diarsipkan 2021-10-06 di Wayback Machine. Convention on Biological Diversity Retrieved 5 November 2009
  105. ^ Ramanujan, Krishna (2 December 2010). "Study: Loss of species is bad for your health". Cornell Chronicle. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-03-03. Diakses tanggal 20 July 2011. 
  106. ^ The World Bank (30 June 2010). Water and Development: An Evaluation of World Bank Support, 1997–2007. World Bank Publications. hlm. 79. ISBN 978-0-8213-8394-0. 
  107. ^ "Drinking-water". World Health Organization. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-05-31. Diakses tanggal 2020-05-31. 
  108. ^ Gaston, Kevin J.; Warren, Philip H.; Devine-Wright, Patrick; Irvine, Katherine N.; Fuller, Richard A. (2007). "Psychological benefits of greenspace increase with biodiversity". Biology Letters. 3 (4): 390–394. doi:10.1098/rsbl.2007.0149. PMC 2390667 . PMID 17504734. 
  109. ^ "COHAB Initiative: Biodiversity and Human Health – the issues". Cohabnet.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 September 2008. Diakses tanggal 21 June 2009. 
  110. ^ "World Wildlife Fund (WWF): "Arguments for Protection" website". Wwf.panda.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-09. Diakses tanggal 24 September 2011. 
  111. ^ Mendelsohn, Robert; Balick, Michael J. (1 April 1995). "The value of undiscovered pharmaceuticals in tropical forests". Economic Botany. 49 (2): 223–228. doi:10.1007/BF02862929. 
  112. ^ (2006) "Molecular Pharming" GMO Compass Retrieved 5 November 2009, GMOcompass.org Diarsipkan 8 February 2008 di Wayback Machine.
  113. ^ Mendelsohn, Robert; Balick, Michael J. (1 July 1997). "Notes on economic plants". Economic Botany. 51 (3): 328. doi:10.1007/BF02862103. 
  114. ^ Harvey, Alan L. (1 October 2008). "Natural products in drug discovery". Drug Discovery Today. 13 (19–20): 894–901. doi:10.1016/j.drudis.2008.07.004. PMID 18691670. 
  115. ^ Hawkins E.S., Reich; Reich, MR (1992). "Japanese-originated pharmaceutical products in the United States from 1960 to 1989: an assessment of innovation". Clin Pharmacol Ther. 51 (1): 1–11. doi:10.1038/clpt.1992.1. PMID 1732073. 
  116. ^ Roopesh, J.; et al. (10 February 2008). "Marine organisms: Potential Source for Drug Discovery" (PDF). Current Science. 94 (3): 292. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 11 October 2011. 
  117. ^ Dhillion, SS; Svarstad, H; Amundsen, C; Bugge, HC (2002). "Bioprospecting: Effects on environment and development". Ambio. 31 (6): 491–493. doi:10.1639/0044-7447(2002)031[0491:beoead]2.0.co;2. JSTOR 4315292. PMID 12436849. 
  118. ^ Cole, A. (16 July 2005). "Looking for new compounds in sea is endangering ecosystem". BMJ. 330 (7504): 1350. doi:10.1136/bmj.330.7504.1350-d. PMC 558324 . PMID 15947392. 
  119. ^ "COHAB Initiative – on Natural Products and Medicinal Resources". Cohabnet.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 October 2017. Diakses tanggal 21 June 2009. 
  120. ^ IUCN, WRI, World Business Council for Sustainable Development, Earthwatch Inst. 2007 Business and Ecosystems: Ecosystem Challenges and Business Implications
  121. ^ Millennium Ecosystem Assessment 2005 Ecosystems and Human Well-being: Opportunities and Challenges for Business and Industry Diarsipkan 2022-10-06 di Wayback Machine.
  122. ^ "Business and Biodiversity webpage of the U.N. Convention on Biological Diversity". Cbd.int. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-01. Diakses tanggal 21 June 2009. 
  123. ^ WRI Corporate Ecosystem Services Review. Diarsipkan 2021-04-13 di Wayback Machine. See also: Examples of Ecosystem-Service Based Risks, Opportunities and Strategies Diarsipkan 1 April 2009 di Wayback Machine.
  124. ^ Corporate Biodiversity Accounting. Diarsipkan 2022-10-20 di Wayback Machine. See also: Making the Natural Capital Declaration Accountable. Diarsipkan 2015-01-12 di Wayback Machine.
  125. ^ Tribot, A.; Mouquet, N.; Villeger, S.; Raymond, M.; Hoff, F.; Boissery, P.; Holon, F.; Deter, J. (2016). "Taxonomic and functional diversity increase the aesthetic value of coralligenous reefs" (PDF). Scientific Reports. 6: 34229. Bibcode:2016NatSR...634229T. doi:10.1038/srep34229. PMC 5039688 . PMID 27677850. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-08-01. Diakses tanggal 2020-05-31. 
  126. ^ Broad, William (19 November 1996). "Paradise Lost: Biosphere Retooled as Atmospheric Nightmare". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-20. Diakses tanggal 10 April 2013. 
  127. ^ Ponti, Crystal (3 March 2017). "Rise of the Robot Bees: Tiny Drones Turned into Artificial Pollinators". NPR. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-20. Diakses tanggal 18 January 2018. 
  128. ^ LOSEY, JOHN E.; VAUGHAN, MACE (1 January 2006). "The Economic Value of Ecological Services Provided by Insects". BioScience. 56 (4): 311. doi:10.1641/0006-3568(2006)56[311:TEVOES]2.0.CO;2. 
  129. ^ Mora, Camilo; Tittensor, Derek P.; Adl, Sina; Simpson, Alastair G. B.; Worm, Boris; Mace, Georgina M. (23 August 2011). "How Many Species Are There on Earth and in the Ocean?". PLOS Biology. 9 (8): e1001127. doi:10.1371/journal.pbio.1001127. PMC 3160336 . PMID 21886479. 
  130. ^ Wilson, J. Bastow; Peet, Robert K.; Dengler, Jürgen; Pärtel, Meelis (1 August 2012). "Plant species richness: the world records". Journal of Vegetation Science. 23 (4): 796–802. doi:10.1111/j.1654-1103.2012.01400.x. 
  131. ^ Appeltans, W.; Ahyong, S. T.; Anderson, G; Angel, M. V.; Artois, T.; and 118 others (2012). "The Magnitude of Global Marine Species Diversity". Current Biology. 22 (23): 2189–2202. doi:10.1016/j.cub.2012.09.036. PMID 23159596. 
  132. ^ "Numbers of Insects (Species and Individuals)". Smithsonian Institution. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-11. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  133. ^ Galus, Christine (5 March 2007). "Protection de la biodiversité : un inventaire difficile". Le Monde (dalam bahasa French). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-20. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  134. ^ Proceedings of the National Academy of Sciences, Census of Marine Life (CoML) News.BBC.co.uk Diarsipkan 2022-11-04 di Wayback Machine.
  135. ^ Hawksworth, D. L. (24 July 2012). "Global species numbers of fungi: are tropical studies and molecular approaches contributing to a more robust estimate?". Biodiversity and Conservation. 21 (9): 2425–2433. doi:10.1007/s10531-012-0335-x. 
  136. ^ Hawksworth, D (2001). "The magnitude of fungal diversity: The 1.5 million species estimate revisited". Mycological Research. 105 (12): 1422–1432. doi:10.1017/S0953756201004725. 
  137. ^ "Acari at University of Michigan Museum of Zoology Web Page". Insects.ummz.lsa.umich.edu. 10 November 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-09-17. Diakses tanggal 21 June 2009. 
  138. ^ "Fact Sheet – Expedition Overview" (PDF). J. Craig Venter Institute. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 29 June 2010. Diakses tanggal 29 August 2010. 
  139. ^ Mirsky, Steve (21 March 2007). "Naturally Speaking: Finding Nature's Treasure Trove with the Global Ocean Sampling Expedition". Scientific American. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-12-31. Diakses tanggal 4 May 2011. 
  140. ^ "Article collections published by the Public Library of Science". PLoS Collections. doi:10.1371/issue.pcol.v06.i02 (tidak aktif 2020-05-25). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-12. Diakses tanggal 24 September 2011. 
  141. ^ McKie, Robin (25 September 2005). "Discovery of new species and extermination at high rate". The Guardian. London. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-20. Diakses tanggal 2020-05-31. 
  142. ^ Bautista, L.M.; Pantoja, J.C. (2005). "What species should we study next?" (PDF). Bull. Br. Ecol. Soc. 36 (4): 27–28. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-12-20. Diakses tanggal 2020-05-31. 
  143. ^ Richard E. Leakey; Roger Lewin (4 November 1996). The sixth extinction: biodiversity and its survival. Phoenix. hlm. 137–142. ISBN 978-1-85799-473-5. Diakses tanggal 27 June 2011. 
  144. ^ Gabriel, Sigmar (9 March 2007). "30% of all species lost by 2050". BBC News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-11-04. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  145. ^ a b Reid, Walter V. (1995). "Reversing the loss of biodiversity: An overview of international measures". Arid Lands Newsletter. Ag.arizona.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-06-27. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  146. ^ Pimm, S. L.; Russell, G. J.; Gittleman, J. L.; Brooks, T. M. (1995). "The Future of Biodiversity" (PDF). Science. 269 (5222): 347–350. Bibcode:1995Sci...269..347P. doi:10.1126/science.269.5222.347. PMID 17841251. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-07-15. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  147. ^ "Researches find threat from biodiversity loss equals climate change threat". Winnipeg Free Press. 7 June 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-06-14. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  148. ^ World Wildlife Fund
  149. ^ a b Living Planet Report 2014 (PDF), World Wildlife Fund, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 6 October 2014, diakses tanggal 4 October 2014 
  150. ^ Editor, Damian Carrington Environment (18 October 2017). "Warning of 'ecological Armageddon' after dramatic plunge in insect numbers". The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-11. Diakses tanggal 2020-06-01. 
  151. ^ Lovett, Richard A. (2 May 2006). "Endangered Species List Expands to 16,000". National Geographic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 August 2017. 
  152. ^ Moulton, Michael P.; Sanderson, James (1 September 1998). Wildlife Issues in a Changing World. CRC-Press. ISBN 978-1-56670-351-2. 
  153. ^ Chen, Jim (2003). "Across the Apocalypse on Horseback: Imperfect Legal Responses to Biodiversity Loss". The Jurisdynamics of Environmental Protection: Change and the Pragmatic Voice in Environmental Law. Environmental Law Institute. hlm. 197. ISBN 978-1-58576-071-8. 
  154. ^ "Hippo dilemma". Windows on the Wild. New Africa Books. 2005. ISBN 978-1-86928-380-3. 
  155. ^ "IUCN's Classification of Direct Threats (v2.0)". CMP-OpenStandards.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-23. Diakses tanggal 22 February 2019. 
  156. ^ Ehrlich, Paul R.; Ehrlich, Anne H. (1983). Extinction: The Causes and Consequences of the Disappearance of Species. Ballantine Books. ISBN 978-0-345-33094-9. 
  157. ^ Mac Nally, Ralph; Bennett, Andrew F.; Thomson, James R.; Radford, James Q.; Unmack, Guy; Horrocks, Gregory; Vesk, Peter A. (July 2009). "Collapse of an avifauna: climate change appears to exacerbate habitat loss and degradation". Diversity and Distributions (dalam bahasa Inggris). 15 (4): 720–730. doi:10.1111/j.1472-4642.2009.00578.x. 
  158. ^ Nogué, Sandra; Rull, Valentí; Vegas-Vilarrúbia, Teresa (2009-02-24). "Modeling biodiversity loss by global warming on Pantepui, northern South America: projected upward migration and potential habitat loss". Climatic Change. 94 (1–2): 77–85. Bibcode:2009ClCh...94...77N. doi:10.1007/s10584-009-9554-x. ISSN 0165-0009. 
  159. ^ Drakare, Stina; Lennon, Jack J.; Hillebrand, Helmut (2006). "The imprint of the geographical, evolutionary and ecological context on species-area relationships". Ecology Letters. 9 (2): 215–227. doi:10.1111/j.1461-0248.2005.00848.x. PMID 16958886. 
  160. ^ "Study: Loss Of Genetic Diversity Threatens Species Diversity". Enn.com. 2007-09-26. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-21. Diakses tanggal 2009-06-21. 
  161. ^ Ilmu Koneksi 22 Diarsipkan 2019-04-02 di Wayback Machine. (Juli 2008)
  162. ^ Koh L. P., Dunn R. R., Sodhi N. S., Colwell R. K., Proctor H. C., Smith V. S. (2004). "Species Coextinctions and the Biodiversity Crisis" (PDF). Science. 305 (5690): 1632–4. Bibcode:2004Sci...305.1632K. doi:10.1126/science.1101101. PMID 15361627. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-03-26. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  163. ^ "Bees and other pollinating insects have disappeared from quarter of UK habitats, scientists say". The Independent. 2019-03-26. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-28. Diakses tanggal 2020-06-01. 
  164. ^ Torchin, Mark E.; Lafferty, Kevin D.; Dobson, Andrew P.; McKenzie, Valerie J.; Kuris, Armand M. (6 February 2003). "Introduced species and their missing parasites". Nature. 421 (6923): 628–630. Bibcode:2003Natur.421..628T. doi:10.1038/nature01346. PMID 12571595. 
  165. ^ Levine, Jonathan M.; D'Antonio, Carla M. (1 October 1999). "Elton Revisited: A Review of Evidence Linking Diversity and Invasibility". Oikos. 87 (1): 15. doi:10.2307/3546992. JSTOR 3546992. 
  166. ^ Levine, J. M. (5 May 2000). "Species Diversity and Biological Invasions: Relating Local Process to Community Pattern". Science. 288 (5467): 852–854. Bibcode:2000Sci...288..852L. doi:10.1126/science.288.5467.852. PMID 10797006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-11. Diakses tanggal 2020-06-01. 
  167. ^ GUREVITCH, J; PADILLA, D (1 September 2004). "Are invasive species a major cause of extinctions?". Trends in Ecology & Evolution. 19 (9): 470–474. doi:10.1016/j.tree.2004.07.005. PMID 16701309. 
  168. ^ Sax, Dov F.; Gaines, Steven D.; Brown, James H. (1 December 2002). "Species Invasions Exceed Extinctions on Islands Worldwide: A Comparative Study of Plants and Birds". The American Naturalist. 160 (6): 766–783. doi:10.1086/343877. PMID 18707464. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-11. Diakses tanggal 2020-06-01. 
  169. ^ Jude, David auth., ed. by M. Munawar (1995). The lake Huron ecosystem: ecology, fisheries and management. Amsterdam: S.P.B. Academic Publishing. ISBN 978-90-5103-117-1. 
  170. ^ "Are invasive plants a threat to native biodiversity? It depends on the spatial scale". ScienceDaily. 11 April 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-20. Diakses tanggal 2020-06-01. 
  171. ^ Mooney, H. A.; Cleland, EE (2001). "The evolutionary impact of invasive species". Proceedings of the National Academy of Sciences. 98 (10): 5446–5451. Bibcode:2001PNAS...98.5446M. doi:10.1073/pnas.091093398. PMC 33232 . PMID 11344292. 
  172. ^ "Glossary: definitions from the following publication: Aubry, C., R. Shoal and V. Erickson. 2005. Grass cultivars: their origins, development, and use on national forests and grasslands in the Pacific Northwest. USDA Forest Service. 44 pages, plus appendices.; Native Seed Network (NSN), Institute for Applied Ecology, Corvallis, OR". Nativeseednetwork.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 February 2006. Diakses tanggal 21 June 2009. 
  173. ^ Rhymer, Judith M.; Simberloff, Daniel (1996). "Extinction by Hybridization and Introgression". Annual Review of Ecology and Systematics. 27: 83–109. doi:10.1146/annurev.ecolsys.27.1.83. JSTOR 2097230. 
  174. ^ Potts, Bradley M.; Barbour, Robert C.; Hingston, Andrew B. (2001). Genetic Pollution from Farm Forestry Using Eucalypt Species and Hydrids: A Report for the RIRDC/L & WA/FWPRDC Joint Venture Agroforestry Program. RIRDC. ISBN 978-0-642-58336-9. ISSN 1440-6845.  RIRDC.gov.au RIRDC Publication No 01/114; RIRDC Project No CPF – 3A Diarsipkan 5 January 2016 di Wayback Machine.; Australian Government, Rural Industrial Research and Development Corporation
  175. ^ Grafton, R. Q.; Kompas, T.; Hilborn, R. W. (2007). "Economics of Overexploitation Revisited". Science. 318 (5856): 1601. Bibcode:2007Sci...318.1601G. doi:10.1126/science.1146017. PMID 18063793. 
  176. ^ Burney, D. A.; Flannery, T. F. (July 2005). "Fifty millennia of catastrophic extinctions after human contact" (PDF). Trends in Ecology & Evolution. 20 (7): 395–401. doi:10.1016/j.tree.2005.04.022. PMID 16701402. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 10 June 2010. 
  177. ^ a b "Genetic Pollution: The Great Genetic Scandal"; Diarsipkan 18 May 2009 di Wayback Machine.
  178. ^ Pollan, Michael (9 December 2001). "The year in ideas: A TO Z.; Genetic Pollution; By Michael Pollan, The New York Times, December 9, 2001". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-17. Diakses tanggal 21 June 2009. 
  179. ^ Ellstrand, Norman C. (2003). Dangerous Liaisons? When Cultivated Plants Mate with Their Wild Relatives. Nature Biotechnology. 22. The Johns Hopkins University Press. hlm. 29–30. doi:10.1038/nbt0104-29. ISBN 978-0-8018-7405-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-02-20. Diakses tanggal 2012-07-12.  Reviewed in Strauss, Steven H; DiFazio, Stephen P (2004). "Hybrids abounding". Nature Biotechnology. 22 (1): 29–30. doi:10.1038/nbt0104-29. 
  180. ^ Zaid, A. (1999). "Genetic pollution: Uncontrolled spread of genetic information". Glossary of Biotechnology and Genetic Engineering. Food and Agriculture Organization of the United Nations. ISBN 978-92-5-104369-1. Diakses tanggal 21 June 2009. 
  181. ^ "Genetic pollution: Uncontrolled escape of genetic information (frequently referring to products of genetic engineering) into the genomes of organisms in the environment where those genes never existed before". Searchable Biotechnology Dictionary. University of Minnesota. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 February 2008. 
  182. ^ "The many facets of pollution". Bologna University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-04-09. Diakses tanggal 18 May 2012. 
  183. ^ "Climate change and biodiversity" (PDF). Intergovernmental Panel on Climate Change. 2005. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 5 February 2018. Diakses tanggal 12 June 2012. 
  184. ^ Kannan, R.; James, D. A. (2009). "Effects of climate change on global biodiversity: a review of key literature" (PDF). Tropical Ecology. 50 (1): 31–39. ISSN 0564-3295. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-04-15. Diakses tanggal 21 May 2014. 
  185. ^ "Climate change, reefs and the Coral Triangle". wwf.panda.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-02. Diakses tanggal 9 November 2015. 
  186. ^ Aldred, Jessica (2 July 2014). "Caribbean coral reefs 'will be lost within 20 years' without protection". the Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-20. Diakses tanggal 9 November 2015. 
  187. ^ Ainsworth, Elizabeth A.; Long, Stephen P. (18 November 2004). "What have we learned from 15 years of free-air CO2 enrichment (FACE)? A meta-analytic review of the responses of photosynthesis, canopy properties and plant production to rising CO2". New Phytologist. 165 (2): 351–372. doi:10.1111/j.1469-8137.2004.01224.x. PMID 15720649. 
  188. ^ Doney, Scott C.; Fabry, Victoria J.; Feely, Richard A.; Kleypas, Joan A. (1 January 2009). "Ocean Acidification: The Other CO Problem". Annual Review of Marine Science. 1 (1): 169–192. Bibcode:2009ARMS....1..169D. doi:10.1146/annurev.marine.010908.163834. PMID 21141034. 
  189. ^ Loarie, Scott R.; Duffy, Philip B.; Hamilton, Healy; Asner, Gregory P.; Field, Christopher B.; Ackerly, David D. (24 December 2009). "The velocity of climate change". Nature. 462 (7276): 1052–1055. Bibcode:2009Natur.462.1052L. doi:10.1038/nature08649. PMID 20033047. 
  190. ^ Walther, Gian-Reto; Roques, Alain; Hulme, Philip E.; Sykes, Martin T.; Pyšek, Petr (1 December 2009). Kühn, Ingolf; Zobel, Martin; Bacher, Sven; Botta-Dukát, Zoltán; Bugmann, Harald. "Alien species in a warmer world: risks and opportunities" (PDF). Trends in Ecology & Evolution. 24 (12): 686–693. doi:10.1016/j.tree.2009.06.008. PMID 19712994. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-10-20. Diakses tanggal 2020-06-02. 
  191. ^ Lovejoy, Thomas E.; Hannah, Lee Jay (2005). Climate Change and Biodiversity. Revue Scientifique et Technique (International Office of Epizootics). 27. New Haven: Yale University Press. hlm. 41–55. ISBN 978-0-300-10425-7. PMID 18819663. 
  192. ^ Hegland, Stein Joar; Nielsen, Anders; Lázaro, Amparo; Bjerknes, Anne-Line; Totland, Ørjan (1 February 2009). "How does climate warming affect plant-pollinator interactions?". Ecology Letters. 12 (2): 184–195. doi:10.1111/j.1461-0248.2008.01269.x. PMID 19049509. 
  193. ^ Min, Seung-Ki; Xuebin Zhang; Francis W. Zwiers; Gabriele C. Hegerl (17 February 2011). "Human contribution to more-intense precipitation extremes". Nature. 470 (7334): 378–381. Bibcode:2011Natur.470..378M. doi:10.1038/nature09763. PMID 21331039. 
  194. ^ Brown, Paul (8 January 2004). "An unnatural disaster". The Guardian. London. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-20. Diakses tanggal 21 June 2009. 
  195. ^ Visconti, Piero; et al. (February 2015). "Projecting global biodiversity indicators under future development scenarios". Conservation Letters. 9: 5–13. doi:10.1111/conl.12159. 
  196. ^ Frick, W. F.|Stepanian, P. M., Kelly |J. F., Howard |K. W., Kuster |C. M. |Kunz T. H. |& Chilson |P. B. (2 August 2012) |Climate and Weather Impact Timing of Emergence of Bats |Retrieved from https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0042737 Diarsipkan 2020-06-11 di Wayback Machine.
  197. ^ "World Population Prospects 2017" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 12 June 2018. 
  198. ^ "Citizens arrest Diarsipkan 2016-09-27 di Wayback Machine.". The Guardian. 11 July 2007.
  199. ^ "Population Bomb Author's Fix For Next Extinction: Educate Women Diarsipkan 2013-11-10 di Wayback Machine.". Scientific American. 12 August 2008.
  200. ^ Dumont, E. (2012). "Estimated impact of global population growth on future wilderness extent" (PDF). Earth System Dynamics Discussions. 3 (1): 433–452. Bibcode:2012ESDD....3..433D. doi:10.5194/esdd-3-433-2012. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-11-22. Diakses tanggal 2020-06-02. 
  201. ^ Pimm, S. L.; Jenkins, C. N.; Abell, R.; Brooks, T. M.; Gittleman, J. L.; Joppa, L. N.; Raven, P. H.; Roberts, C. M.; Sexton, J. O. (30 May 2014). "The biodiversity of species and their rates of extinction, distribution, and protection" (PDF). Science. 344 (6187): 1246752. doi:10.1126/science.1246752. PMID 24876501. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2020-01-07. Diakses tanggal 15 December 2016. The overarching driver of species extinction is human population growth and increasing per capita consumption. 
  202. ^ Sutter, John D. (12 December 2016). "How to stop the sixth mass extinction". CNN. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-12. Diakses tanggal 1 January 2017. 
  203. ^ Graham, Chris (11 July 2017). "Earth undergoing sixth 'mass extinction' as humans spur 'biological annihilation' of wildlife". The Telegraph. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-11. Diakses tanggal 25 July 2017. 
  204. ^ Carrington, Damian (30 September 2014). "Earth has lost half of its wildlife in the past 40 years, says WWF". The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-09-04. Diakses tanggal 20 January 2017. 
  205. ^ Dirzo, Rodolfo; Hillary S. Young; Mauro Galetti; Gerardo Ceballos; Nick J. B. Isaac; Ben Collen (2014). "Defaunation in the Anthropocene" (PDF). Science. 345 (6195): 401–406. Bibcode:2014Sci...345..401D. doi:10.1126/science.1251817. PMID 25061202. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-05-11. Diakses tanggal 2020-06-02. In the past 500 years, humans have triggered a wave of extinction, threat, and local population declines that may be comparable in both rate and magnitude with the five previous mass extinctions of Earth’s history. 
  206. ^ a b Wake D. B., Vredenburg V. T. (2008). "Are we in the midst of the sixth mass extinction? A view from the world of amphibians". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 105: 11466–11473. Bibcode:2008PNAS..10511466W. doi:10.1073/pnas.0801921105. PMC 2556420 . PMID 18695221. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-19. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  207. ^ Koh, LP; Dunn, RR; Sodhi, NS; Colwell, RK; Proctor, HC; Smith, VS (2004). "Species coextinctions and the biodiversity crisis". Science. 305 (5690): 1632–1634. Bibcode:2004Sci...305.1632K. doi:10.1126/science.1101101. PMID 15361627. [pranala nonaktif]
  208. ^ McCallum M. L. (2007). "Amphibian Decline or Extinction? Current Declines Dwarf Background Extinction Rate" (PDF). Journal of Herpetology. 41 (3): 483–491. doi:10.1670/0022-1511(2007)41[483:ADOECD]2.0.CO;2. ISSN 0022-1511. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 17 December 2008. 
  209. ^ Jackson, J. B. C. (2008). "Colloquium Paper: Ecological extinction and evolution in the brave new ocean". Proceedings of the National Academy of Sciences. 105: 11458–11465. Bibcode:2008PNAS..10511458J. doi:10.1073/pnas.0802812105. PMC 2556419 . PMID 18695220. 
  210. ^ Dunn R. R. (2005). "Modern Insect Extinctions, the Neglected Majority" (PDF). Conservation Biology. 19 (4): 1030–1036. doi:10.1111/j.1523-1739.2005.00078.x. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 8 July 2009. 
  211. ^ Ceballos, Gerardo; Ehrlich, Paul R.; Barnosky, Anthony D.; García, Andrés; Pringle, Robert M.; Palmer, Todd M. (2015). "Accelerated modern human–induced species losses: Entering the sixth mass extinction". Science Advances. 1 (5): e1400253. Bibcode:2015SciA....1E0253C. doi:10.1126/sciadv.1400253. PMC 4640606 . PMID 26601195. 
  212. ^ Costanza, R.; d'Arge, R.; de Groot, R.; Farberk, S.; Grasso, M.; Hannon, B.; Limburg, Karin; Naeem, Shahid; et al. (1997). "The value of the world's ecosystem services and natural capital" (PDF). Nature. 387 (6630): 253–260. Bibcode:1997Natur.387..253C. doi:10.1038/387253a0. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 26 December 2009. 
  213. ^ Summary for policymakers of the global assessment report on biodiversity and ecosystem services of the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (PDF). the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services. 6 May 2019. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2019-05-14. Diakses tanggal 10 May 2019. 
  214. ^ Deutsche Welle, Deutsche (6 May 2019). "Why Biodiversity Loss Hurts Humans as Much as Climate Change Does". Ecowatch. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-17. Diakses tanggal 10 May 2019. 
  215. ^ Millennium Assessment (2005). Ekosistem dan Kesejahteraan Manusia: Sintesis Keanekaragaman Hayati. World Resources Institute, Washington, DC. [249] [250]
  216. ^ a b c Soule M. E.; Soule, Michael E. (1986). "What is conservation biology?". BioScience. 35 (11): 727–734. doi:10.2307/1310054. JSTOR 1310054. 
  217. ^ P. Davis (1996). Museum dan Lingkungan Alam. Leicester University Press.
  218. ^ a b F. van Dyke (2008). Biologi Konservasi: Yayasan, Konsep, Aplikasi, ed 2. Springer Verlag. hal 478. ISBN 978-1-4020-6890-4 (hc).
  219. ^ Hunter, ML (1996) Dasar-dasar Biologi Konservasi. Blackwell Science Inc, Cambridge, Massachusetts. ISBN 0-86542-371-7.
  220. ^ BW Bowen (1999). "Melestarikan gen, spesies, atau ekosistem? Menyembuhkan patah yayasan kebijakan konservasi ". Ekologi Molekuler, 8: S5-S10.
  221. ^ ME Soule (ed.) (1986). Biologi Konservasi: Ilmu kelangkaan dan keanekaragaman. Sinauer Associates Inc
  222. ^ Margules C. R., Pressey R. L. (2000). "Systematic conservation planning" (PDF). Nature. 405 (6783): 243–253. doi:10.1038/35012251. PMID 10821285. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-02-05. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  223. ^ Contoh: Gascon, C., Collins, JP, Moore, RD, Gereja, DR, McKay, JE dan Mendelson, JR III (eds) (2007). Konservasi Amfibi Rencana Aksi. IUCN / SSC Amfibi Specialist Group. Gland, Swiss dan Cambridge, Inggris. 64pp. Amphibians.org Diarsipkan 2007-07-04 di Wayback Machine., lihat juga Milleniumassesment.org Diarsipkan 2019-10-14 di Wayback Machine., Europa.eu Diarsipkan 2009-02-12 di Wayback Machine.
  224. ^ Luck, Gary W.; Daily, Gretchen C.; Ehrlich, Paul R. (2003). "Population diversity and ecosystem services" (PDF). Trends in Ecology & Evolution. 18 (7): 331–336. doi:10.1016/S0169-5347(03)00100-9. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2006-02-19. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  225. ^ "Millenniumassessment.org". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-08-13. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  226. ^ "Barcode of Life". Barcoding.si.edu. 2010-05-26. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-11-22. Diakses tanggal 2011-09-24. 
  227. ^ "Pemberantasan hewan eksotis (unta) di Australia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-01. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  228. ^ "Belgium creating 45 "seed gardens"; gene banks with intent to reintroduction". Hbvl.be. 2011-09-08. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-20. Diakses tanggal 2011-09-24. 
  229. ^ Conservationists Use Triage to Determine which Species to Save and Not; Like battlefield medics, conservationists are being forced to explicitly apply triage to determine which creatures to save and which to let go Diarsipkan 2013-11-02 di Wayback Machine. 23 July 2012 Scientific American.
  230. ^ Jones-Walters, L.; Mulder, I. (2009). "Valuing nature: The economics of biodiversity" (PDF). Journal for Nature Conservation. 17 (4): 245–247. doi:10.1016/j.jnc.2009.06.001. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-07-02. Diakses tanggal 2020-06-03. 
  231. ^ Mulongoy, Kalemani Jo; Chape, Stuart (2004). Protected Areas and Biodiversity: An Overview of Key Issues (PDF). Montreal, Canada and Cambridge, UK: CBD Secretariat and UNEP-WCMC. hlm. 15 and 25. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-09-22. Diakses tanggal 2020-06-06. 
  232. ^ Baillie, Jonathan; Ya-Ping, Zhang (14 September 2018). "Space for nature". Science. 361 (6407): 1051. Bibcode:2018Sci...361.1051B. doi:10.1126/science.aau1397. PMID 30213888. 
  233. ^ Shiva, Vandana (January 2007). "Bioprospecting as Sophisticated Biopiracy". Signs: Journal of Women in Culture and Society (dalam bahasa Inggris). 32 (2): 307–313. doi:10.1086/508502. ISSN 0097-9740. 
  234. ^ "From Farm to Fork". European Commission website. European Union. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-07. Diakses tanggal 26 May 2020. 
  235. ^ "EU Biodiversity Strategy for 2030". European Commission website. European Union. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-26. Diakses tanggal 25 May 2020. 
  236. ^ "Gene Patenting". Ornl.gov. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-10. Diakses tanggal 21 June 2009. 
  237. ^ "Fred Bosselman, A Dozen Biodiversity Puzzles, 12 N.Y.U. Environmental Law Journal 364 (2004)" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 20 July 2011. Diakses tanggal 24 September 2011. 
  238. ^ Wilson Edward O (2000). "On the Future of Conservation Biology". Conservation Biology. 14 (1): 1–3. doi:10.1046/j.1523-1739.2000.00000-e1.x. 
  239. ^ Nee S (2004). "More than meets the eye". Nature. 429 (6994): 804–805. Bibcode:2004Natur.429..804N. doi:10.1038/429804a. PMID 15215837. 
  240. ^ Stork, Nigel E. (2007). "Biodiversity: World of insects". Nature. 448 (7154): 657–658. Bibcode:2007Natur.448..657S. doi:10.1038/448657a. PMID 17687315. 
  241. ^ Thomas J. A.; Telfer M. G.; Roy D. B.; Preston C. D.; Greenwood J. J. D.; Asher J.; Fox R.; Clarke R. T.; Lawton J. H. (2004). "Comparative Losses of British Butterflies, Birds, and Plants and the Global Extinction Crisis". Science. 303 (5665): 1879–1881. Bibcode:2004Sci...303.1879T. doi:10.1126/science.1095046. PMID 15031508. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-18. Diakses tanggal 2012-07-12. 
  242. ^ Dunn, Robert R. (2005). "Modern Insect Extinctions, the Neglected Majority". Conservation Biology. 19 (4): 1030–1036. doi:10.1111/j.1523-1739.2005.00078.x. 

Bacaan lebih lanjut

sunting

Pranala luar

sunting

Dokumen

sunting

Perkakas

sunting

Sumber lain

sunting