Paleontologi

cabang ilmu sosial | Sains yang mencakup pembelajaran ihwal masa praaksara, fosil, dan evolusi
(Dialihkan dari Paleontologis)

Paleontologi (Bahasa Inggris: Paleontology (/ˌpliɒnˈtɒləi, ˌpæli-, -ən-/), juga dapat dieja sebagai palaeontology[a] atau palæontology) adalah ilmu yang mempelajari kehidupan praaksara. Paleontologi mencakup studi fosil untuk menentukan evolusi suatu organisme dan interaksinya dengan organisme lain beserta lingkungannya (paleoekologi). Pengamatan paleontologi telah didokumentasikan sejak abad ke 5 sebelum masehi. Ilmu paleontologi berkembang pada abad ke-18 ketika Georges Cuvier melakukan penelitian anatomi komparatif, dan berkembang secara cepat pada abad ke 19. Istilah paleontologi sendiri berasal dari bahasa Yunani, παλαιός, palaios, "tua, kuno", ὄν, on (gen. ontos), "makhluk hidup" dan λόγος, logos, "ucapan, pemikiran, ilmu".[1]

Paleontologi merupakan ilmu yang sangat berkaitan dengan biologi dan geologi, tetapi berbeda dengan arkeologi karena paleontologi tidak memasukkan kebudayaan manusia modern di dalam studinya. Paleontologi kini mendayagunakan berbagai metode ilmiah dalam sains, mencakup biokimia, matematika, dan teknik. Penggunaan berbagai metode ini memungkinkan paleontologi untuk menemukan sejarah evolusioner kehidupan, yaitu ketika bumi menjadi mampu mendukung terciptanya kehidupan, hampir 4 miliar tahun yang lalu.[2] Dengan pengetahuan yang terus meningkat, paleontologi kini memiliki subdivisi yang terspesialisasi, beberapa fokus pada jenis fosil tertentu, yang lain mempelajari sejarah lingkungan dalam paleoekologi, dan yang lain mempelajari iklim purba dalam paleoklimatologi.


Fosil tubuh dan fosil jejak adalah jenis-jenis bukti utama mengenai kehidupan purbakala. Sementara itu, bukti geokimia membantu untuk mempelajari evolusi kehidupan sebelum organisme berevolusi cukup besar untuk meninggalkan fosil tubuh. Memperkirakan usai dari bukti-bukti tersebut merupakan hal yang penting, namun sulit: terkadang batu yang bersebalahan memungkinkan penanggalan radiometrik, yang memberi waktu absolut yang akurat hingga 0.5%, namun paleontolog lebih sering mengandalkan penanggalan relatif dengan menyusun dan memahami "potongan puzzle" dari biostratigrafi (susunan lapisan batuan dari yang paling muda hingga paling tua) setempat. Mengklasifikasikan organisme purba juga sulit, karena banyak dari mereka tidak cocok dengan baik pada metode Taksonomi Linnaeus, membuat paleontolog umumnya lebih sering menggunakan kladistika. Filogenetika molekuler belakangan ini juga digunakan untuk menentukan usia kapan suatu spesies muncul dan berpisah dengan membandingkan kesamaan DNA pada genom hewan. Namun ada kontroversi mengenai keandalan dari jam molekuler, karena estimasinya yang beragam.

Ringkasan sunting

Definisi paling sederhana dari "paleontologi" adalah "studi mengenai kehidupan kuno".[3] Cabang ilmu ini mencari informasi mengenai beberapa aspek organisme-organisme di masa lampau: "asal-usul dan identitasnya, lingkungan dan evolusinya, dan apa yang mereka dapat memberitahu kita mengenai masa lalu organik dan anorganik Bumi".[4]

Ilmu sejarah sunting

 
Persiapan fosil Europasaurus holgeri

William Whewell (1794–1866) mengklasifikasikan paleontologi sebagai salah satu ilmu sejarah, bersamaan dengan arkeologi, geologi, astronomi, kosmologi, filologi dan sejarah itu sendiri:[5] Paleontologi bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena di masa lalu untuk merekontruksi penyebab-penyebabnya.[6] Oleh karena itu, ilmu inin memiliki tiga elemen utama: deskripsi fenomena-fenomena di masa lalu; mengembangkan sebuah teori umum mengenai penyebab berbagai jenis perubahan; dan mengaplikasikan teori-teori tersebut untuk suatu fakta yang spesifik.[7] Saat mencoba menjelaskan masa lalu, paleontolog dan ahli ilmu sejarah lainnya biasanya membangun satu atau lebih hipotesis mengenai penyebab-penyebabnya, lalu mencari sebuah "tembakan berasap" ("smoking gun"), yaitu sebuah bukti yang mendukung suatu hipotesis dengan kuat daripada hipotesis lainnya.[8] Terkadang, peneliti menemukan "tembakan berasap" ini secara keberuntungan yang tidak disengaha saat penelitian mengenai hal yang lain. Sebagai contoh, penemuan iridum, sebuah logam yang biasanya berasal dari luar Bumi, pada lapisan perbatasan Kapur-Paleogen oleh Luis dan Walter Alvarez pada 1980 membuat tumbukan asteroid menjadi penjelasan Peristiwa kepunahan Kapur–Paleogen yang paling disukai (meski masih terdapat debat yang berlangung mengenai kontribusi dari vulkanisme).[6]

Sebuah pendekatan komplementer untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, yaitu sains percobaan,[9] disebut-sebut[oleh siapa?] bekerja dengan melaksanakan eksperimen untuk membantah hipotesis-hipotesis mengani cara kerja dan penyebab sebuah fenomena alami. Pendekatan ini tidak bisa membuktikan sebuah hipotesis, karena beberapa eksperimen yang dilakukan belakangan dapat membantahnya, namun penumpukan kegagalan untuk membantah biasanya dapat menjadi bukti kuat untuk mendukung suatu hipotesis yang lainnya. Namun, saat dihadapkan dengan fenomena yang sama sekali tidak terduga, seperti pada bukti pertama radiasi tak terlihat, ahli ilmu percobaan biasanya menggunakan pendekatan yang sama dengan ahli ilmu sejarah: membangun serangkaian hipotesis mengenai penyebab, lalu menjadi "tembakan berasap"nya.[6]

Ilmu yang berhubungan sunting

Paleontologi berada diantara biologi dan geologi karena ilmu ini berfokus kepada catatan mengenai kehidupan di masa lalu, namun sumber bukti utamanya adalah fosil pada bebatuan.[10][11] Karena alasan sejarah, paleontologi merupakan bagian dari departemen geologi pada banyak universitas: pada abad ke-19 dan awal abad ke20, departemen-departemen geologi menemukan kepentingan bukti fosil untuk menanggali bebatuan, sementara departemen-departemen biologi kurang tertarik.[12]

 
Seorang paleontolog yang bekerja di Monumen Nasional John Day Fossil Beds

<onlyinclude>

Paleontologi juga memiliki aspek yang bertumpang tindih dengan arkeologi, yang sebagian besar mempelajari dan bekerja dengan objek-objek yang dibuat oleh manusia dan dengan sisa-sisa manusia, sementara paleontologi tertarik mengnai karakteristik-karakteristik dan evolusi manusia sebagai sebuah spesies. Saat menangani bukti-bukti mengenai manusia, paleontolog dan arkeolog dapat bekerjasama. Sebagai contoh, paleontolog dapat mengidentifikasi fosil-fosil hewan atau tumbuhan disekitar sebuah situs arkeologi, untuk mengetahui orang-orang yang pernah hidup disana, dan apa yang mereka makan; atau mereka dapat menganalisa iklim pada waktu saat orang-orang disana pernah tinggal.[13]

Selain itu, paleontologi biasa "meminjam" teknik-teknik atau keahlian dari bidang lainnya, termasuk biologi, osteologi, ekologi, kimia, fisika dan matematika.[14] Sebagai contoh, tanda geokimia pada bebatuan dapat membantu mengungkap kapan kehidupan pertamakali muncul di Bumi,[15] sementara analisis rasio isotop karbon dapat membantu mengidentifikasi perubahan iklim dan bahkan membantu menjelaskan transisi-transisi besar seperti Peristiwa kepunahan Perm–Trias.[16] Sebuah disiplin ilmu yang relatif baru, filogenetika molekuler, membandingkan DNA dan RNA pada organisme moderen untuk merekonstruksi ulang "pohon keluarga" leluhur-leliuhur evolusioner mereka. Cabang itu juga telah digunakan untuk memperkirakan waktu letak perkembangan-perkembangan evolusioner penting terjadi, meski pendekatan ini kontroversial karena ketidakyakinan mengenai keandalan "jam molekuler".[17] Teknik-teknik dari keinsinyuran juga telah digunakan untuk menganalisa bagaimana tubuh organisme kuno bekerja, seperti dalam memperkirakan kecepatan berlari dan kekuatan gigitan Tyrannosaurus,[18][19] atau mekanika terbang Microraptor.[20] Mempelajari detail-detail internal fosil menggunakan mikrotomografi sinar-X juga telah menjadi hal yang relatif lumrah pada paleontologi.[21][22] Paleontologi, biologi, arkeologi dan paleoneurobiologi bersatu untuk mempelajari cetakan endokranial spesies-spesies yang berkerabat dengan manusia untuk mengklarifikasi evolusi otak manusia.[23]

Paleontologi bahkan juga berkontribusi untuk astrobiologi, yaitu ilmu yang mempelajari kemungkinan kehidupan untuk tinggal di planet lainnya, dengan cara mengembangkan model mengenai bagaimana kehidupan dapat muncul dan dengan memberi teknik-teknik untuk mendeteksi bukti kehidupan.[24]

Subdivisi sunting

 
Analisis menggunakan teknik-teknik keinsinyuran menunjukkan bahwa Tyrannosaurus memiliki gigitan yang kuat, namun mempertanyakan mengenai kemampuan berlarinya.

Seiring pengetahuan mengenai ilmu ini bertambah, paleontologi telah mengembangkan subdivisi-subdivisi yang terspesialisasi.[25] Paleontologi vertebrata berfokus pada fosil-fosil dari ikan terawal sampai leluhur mamalia moderen. Paleontologi invertebrata menangani fosil-fosil seperti moluska, artropoda, cacing annelida dan echinodermata. Paleobotani mempelajari fosil-fosil tumbuhan, alga dan jamur. Palinologi, studi mengenai serbuk sari dan spora yang dihasilkan oleh tumbuhan darat dan protista, meliputi paleontologi dan botani, karena cabang ini menangani organisme hidup dan juga fosil. Mikropaleontologi mempelajari segala jenis organisme fosil mikroskopis.[26]

Bukannya berfokus pada organisme-organisme individual, paleoekologi mempelajari hubungan-hubungan antara organisme-organisme kuno yang berbeda, seperti mempelajari rantai makanan mereka, dan hubungan dua-jalur antara mereka dan lingkungan mereka.[27] Sebagai contoh, perkembangan fotosintesis oksigenik pada bakteri menyebabkan oksigenasi atmosfer dan meningkatkan produktifitas dan keanekaragaman ekosistem secara drastis.[28] Secara bersamaan, hal-hal tersebut mengarah ke evolusi sel-sel eukaryotik kompleks, yang nantinya akan melahirkan semua organisme multisel yang akan datang.[29]

Paleoklimatologi, meski terkadang dianggap sebagai bagian dari paleoekologi,[26] lebih berfokus kepada sejarah iklim Bumi dan mekanisme-mekanisme yang telah mengubahnya[30] – yang terkadang mencakup perkembangan evolusioner, seperti pada saat penyebaran cepat tumbuhan daratan pada periode Devon mengambil lebih banyak karbon dioksida dari atmosfer, mengurangi gas rumah kaca dan akhirnya mengarah ke peristiwa zaman es pada periode Karbon[31]

Biostratigrafi, penggunaan fosil untuk mengurutkan waktu kronologis pembentukan batuan, sangat berguna untuk paleontolog dan geolog.[32] Biogeografi juga berhubungan dengan geologi, dan mempelajari distribusi spasial organisme dan menjelaskan bagaimana geografi Bumi telah berubah seiring waktu.

Sumber bukti sunting

Fosil tubuh sunting

 
Spesimen Marrella ini menggambarkan seberapa jelas dan mendetail fosil-fosil dari sebuah lagerstätte (spesimen ini berasal dari lagerstätte Batu Burgess).


Fosil-fosil tubuh organisme biasanya menjadi jenis bukti yang paling informatif. Salah satu jenis fosil yang paling sering dijumpai adalah fosil kayu, tulang, dan cangkang.[33] Fosilisasi adalah sebuah peristiwa yang langka, dan kebanyakan fosil telah hancur karena erosi atau metamorfisme sebelum mereka ditemukan dan digali oleh ilmuwan. Oleh karena itu catatan fosil sangat tidak lengkap. Semakin jauh mengintip ke masa lampau, semakin tak lengkap pula catatan fosilnya. Meski begitu, catatan fosil biasanya cukup untuk mengilustrasikan pola-pola sejarah kehidupan secar luas.[34] Catatan fosil juga memiliki beberapa bisa: lingkungan-lingkungan yang berbeda yang dapat lebih sesuai untuk proses pengawetan berbagai jenis organisme atau bagian-bagian tubuh organisme.[35] Selain itu, bagian organisme yang terawetkan biasanya adalah bagian-bagian yang termineralisasi, seperti cangkang moluska atau tulang. Karena kebanyakan spesies hewan memiliki tubuh halus, mereka sudah hancur dan membusuk sebelum terfosilisasi. Oleh karena itu, meski sekarang terdapat lebih dari 30 filum hewan yang masih hidup, dua pertiganya tidak pernah ditemukan fosilnya.[36]

Terkadang, kondisi-kondisi lingkungan yang tak biasa dapat mengawetkan jaringan lunak.[37] "Lagerstätte" (jamak: lagerstätten) ini memungkinkan paleontolog untuk mempelajari anatomi dalam hewan, yang pada sedimen lain hanya diwakili oleh cangkang, rusuk, cakar, atau lainnya (itupun kalau hewan tersebut terawetkan sama sekali). Meski begitu, bahkan lagerstätten sekalipun mewakili sebuah potret kehidupan yang tidak lengkap pada masa itu. Kebanyakan organisme yang hidup pada masa waktu itu barangkali tidak terwakili karena lagerstätten hanya terbatas pada segelintir jenis lingkungan, seperti pada saat organisme-organisme bertubuh lunak dapat terawetkan dengan cepat karena peristiwa-peristiwa seperti longsor lumpur; dan peristiwa-peristiwa istimewa yang menyebabkan penguburan dengan cepat, yang menyulitkan peneliti untuk mempelajari lingkungan asli hewan disana hidup.[38] Kurangnya catatan fosil berarti organisme-organisme diharapkan untuk telah hidup jauh sebelum dan setelah mereka ditemukan di catatan fosil – suatu hal yang dikenal sebagai Efek Signor–Lipps.[39]

Fosil jejak sunting

 
Fosil jejak asal Kambrium, Rusophycus, yang dibuat oleh seekor trilobit.
 
Climactichnites — Fosil jejak Kambrium (lebar 10-12 cm) yang dihasilkan oleh seekor hewan besar mirip res-res poh di sedimen dataran lumpur di Wisconsin masa kini.

Fosil jejak sebagian besar terdiri dari jejak kaki dan galian, namun juga mencakup koprolit (fosil tinja) dan tanda-tanda bekas makan.[33][40] Fosil jejak signifikan terkhususnya karena mereka mewakili sebuah sumber data yang tidak terbatas pada hewan dengan bagian-bagian keras termineralisasi yang mudah terfosilisasi, dan mereka mewakili perilaku suatu organisme. Selain itu, kebanyakan fosil jejak berasal dari waktu yang jauh lebih awal daripada fosil tubuh hewan-hewan yang dianggap telah mampu untuk menghasilkannya.[41] Meski mencocokan sebuah fosil jejak kepada pembuatnya tidak mungkin, fosil jejak, contohnya, dapat menyediakan bukti fisik terawal kemunculan hewan yang lumayan kompleks (setara dengan cacing tanah).[40]

Pengamatan geokimia sunting

Pengamatan-pengamatan geokimia dapat membantu menentukan tingkat aktifitas biologis dalam skala global pada suatu periode, atau afinitas fosil-fosil tertentu. Sebagai contoh, ciri geokimiawi batuan dapat mengungkap kapan kehidupan pertamakali muncul di Bumi,[42] dan dapat memberi bukti keberadaan sel-sel eukaryota, yang nantinya akan mengarah ke semua organisme multisel.[43] Analisis perbandingan isotop karbon dapat membantu menjelaskan transisi-transisi besar pada sejarah Bumi, seperti pada Peristiwa kepunahan Perm–Trias.[44]


Mengklasifikasikan organisme kuno sunting

Penamaan kelompok-kelompok organisme dengan cara yang jelas dan disetujui dengan luas adalah perihal yang penting, karena beberapa pertentangan pada paleontologi telah didasari hanya pada kesalahpahaman penamaan organisme.[45] Taksonomi Linnaeus umumnya digunakan untuk mengklasifikasikan organisme hidup, namun mengalami kesulitan saat menangani organisme-organisme yang baru ditemukan yang sangat berbeda dengan organisme-organisme lainnya yang sudah diketahui. Sebagai contoh: sulit untuk memutuskan tingkat apa pengelompokan tingkat yang lebih tinggi akan ditempatkan (seperti genus, famili atau ordo). Hal ini penting karena peraturan Linnaeus untuk menamai kelompok terhubung dengan peringkat mereka, oleh karena itu bila suatu kelompok dipindahkan ke tingkat yang berbeda, maka kelompok tersebut harus dinamai ulang.[46]

 
Peringat-peringkat pada Taksonomi Linnaeus

Paleontolog biasanya menggunakan pendekatan bedasarkan kladistika, yaitu sebuah cara untuk mencari tahu suatu "pohon keluarga" evolusioner serangkaian organisme.[45] Kladistika bekerja bedasarkan logika bahwa bila kelompok B dan C memiliki lebih banyak kemiripan dengan satu sama lain ketimbang dengan kelompok A, maka B dan C berkerabat lebih dekat dengan satu sama lain ketimbang dengan A. Ciri yang dibandingkan dapat bersifat anatomis, seperti adanya notokorda, atau molekuler, yaitu dengan cara membandingkan deretan rangkaian DNA atau protein. Hasil dari sebuah analisis kladistika yang berhasil adalah sebuah hirarki klad – kelompok-kelompok dengan satu leluhur bersama. Idealnya, suatu "pohon keluarga" hanya memiliki dua cabang dari satu titik ("persimpangan"), namun terkadang hanya terdapat sangat sedikit informasi untuk mencapai hal ini, dan para paleontolog harus puas dengan persimpangan dengan lebih dari dua cabang. Teknik kladistika terkadang dapat keliru, karena beberapa ciri, seperti sayap atau mata kamera, berevolusi lebih dari sekali secara konvergen. Hal ini harus dipertimbangkan saat melaksanakan analisis.[47]

Tetrapoda

Amphibia (Amfibi)

Amniota
Synapsida

Synapsida punah

   

Mamalia

Reptil

Reptil punah

Kadal dan ular

Archosauria

Archosauria
punah

Crocodilia

Dinosaurus
 ? 

Dinosaurus
punah


 ? 

Burung

Contoh kladogram sederhana

    Ciri berdarah panas berevolusi disekitar transisi syinapsida ke mamalia.

 ?  Ciri berdarah panas juga harus berevolusi pada
titik-titik ini – sebuah contoh evolusi konvergen.[47]

Biologi perkembangan evolusioner, biasanya disingkat sebagai "evo-devo", juga membantuk paleontolog untuk menghasilkan "pohon keluarga" organisme kuno dan memahami fosil.[48] Contohnya, perkembangan embrio pada beberapa brakiopoda moderen menyarankan bahwa kelompok hewan ini kemungkinan merupakan keturunan dari hewan halkieriid, yang punah pada periode Kambrium.[49]

Catatan kaki sunting

  1. ^ Diluar Amerika serikat

Referensi sunting

  1. ^ "paleontology". Online Etymology Dictionary. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-03-07. Diakses tanggal 2023-06-06. 
  2. ^ Doolittle, W. Ford; Worm, Boris (February 2000). "Uprooting the tree of life" (PDF). Scientific American. 282 (6): 90–95. Bibcode:2000SciAm.282b..90D. doi:10.1038/scientificamerican0200-90. PMID 10710791. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal July 15, 2011. 
  3. ^ Cowen, R. (2000). History of Life (edisi ke-3rd). Blackwell Science. hlm. xi, 47–50, 61. ISBN 0-632-04444-6. 
  4. ^ Laporte, L.F. (October 1988). "What, after All, Is Paleontology?". PALAIOS. 3 (5): 453. Bibcode:1988Palai...3..453L. doi:10.2307/3514718. JSTOR 3514718. 
  5. ^ Laudan, R. (1992). "What's so Special about the Past?". Dalam Nitecki, M.H.; Nitecki, D.V. History and Evolution. SUNY Press. hlm. 58. ISBN 0-7914-1211-3. To structure my discussion of the historical sciences, I shall borrow a way of analyzing them from the great Victorian philosopher of science, William Whewell [...]. [...] while his analysis of the historical sciences (or as Whewell termed them, the palaetiological sciences) will doubtless need to be modified, it provides a good starting point. Among them he numbered geology, paleontology, cosmogony, philology, and what we would term archaeology and history. 
  6. ^ a b c Cleland, C.E. (September 2002). "Methodological and Epistemic Differences between Historical Science and Experimental Science". Philosophy of Science. 69 (3): 474–96. doi:10.1086/342453. Diarsipkan dari versi asli tanggal October 3, 2008. Diakses tanggal September 17, 2008. 
  7. ^ Laudan, R. (1992). "What's so Special about the Past?". Dalam Nitecki, M.H.; Nitecki, D.V. History and Evolution. SUNY Press. hlm. 58. ISBN 0-7914-1211-3. [Whewell] distinguished three tasks for such a historical science (1837 [...]): ' the Description of the facts and phenomena; – the general Theory of the causes of change appropriate to the case; – and the Application of the theory to the facts.' 
  8. ^ Perreault, Charles (2019). "The Search for Smoking Guns". The Quality of the Archaeological Record. Chicago: University of Chicago Press. hlm. 5. ISBN 978-0226631011. Diakses tanggal January 9, 2020. Historical scientists successfully learn about the past by employing a 'smoking-gun' approach. They start by formulating multiple, mutually exclusive hypotheses and then search for a "smoking gun" that discriminates between these hypotheses [...]. 
  9. ^ "'Historical science' vs. 'experimental science'". National Center for Science Education. October 25, 2019. Diakses tanggal January 9, 2020. Philosophers of science draw a distinction between research directed towards identifying laws and research which seeks to determine how particular historical events occurred. They do not claim, however, that the line between these sorts of science can be drawn neatly, and certainly do not agree that historical claims are any less empirically verifiable than other sorts of claims. [...] 'we can separate their two enterprises by distinguishing means from ends. The astronomer's problem is a historical one because the goal is to infer the properties of a particular object; the astronomer uses laws only as a means. Particle physics, on the other hand, is a nomothetic discipline because the goal is to infer general laws; descriptions of particular objects are only relevant as a means.' 
  10. ^ "paleontology | science". Encyclopædia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal August 24, 2017. Diakses tanggal August 24, 2017. 
  11. ^ McGraw-Hill Encyclopedia of Science & Technology. McGraw-Hill. 2002. hlm. 58. ISBN 0-07-913665-6. 
  12. ^ Laudan, R. (1992). "What's so Special about the Past?". Dalam Nitecki, M.H.; Nitecki, D.V. History and Evolution. SUNY Press. hlm. 57. ISBN 0-7914-1211-3. 
  13. ^ "How does paleontology differ from anthropology and archaeology?". University of California Museum of Paleontology. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 16, 2008. Diakses tanggal September 17, 2008. 
  14. ^ Cowen, R. (2000). History of Life (edisi ke-3rd). Blackwell Science. hlm. xi, 47–50, 61. ISBN 0-632-04444-6. 
  15. ^ Brasier, M.; McLoughlin, N.; Green, O.; Wacey, D. (June 2006). "A fresh look at the fossil evidence for early Archaean cellular life" (PDF). Philosophical Transactions of the Royal Society B. 361 (1470): 887–902. doi:10.1098/rstb.2006.1835. PMC 1578727 . PMID 16754605. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal September 11, 2008. Diakses tanggal August 30, 2008. 
  16. ^ Twitchett R.J.; Looy C.V.; Morante R.; Visscher H.; Wignall P.B. (2001). "Rapid and synchronous collapse of marine and terrestrial ecosystems during the end-Permian biotic crisis". Geology. 29 (4): 351–54. Bibcode:2001Geo....29..351T. doi:10.1130/0091-7613(2001)029<0351:RASCOM>2.0.CO;2. 
  17. ^ Peterson, Kevin J.; Butterfield, N.J. (2005). "Origin of the Eumetazoa: Testing ecological predictions of molecular clocks against the Proterozoic fossil record". Proceedings of the National Academy of Sciences. 102 (27): 9547–52. Bibcode:2005PNAS..102.9547P. doi:10.1073/pnas.0503660102 . PMC 1172262 . PMID 15983372. 
  18. ^ Hutchinson, J.R.; Garcia, M. (February 28, 2002). "Tyrannosaurus was not a fast runner". Nature. 415 (6875): 1018–21. Bibcode:2002Natur.415.1018H. doi:10.1038/4151018a. PMID 11875567.  Summary in press release No Olympian: Analysis hints T. Rex ran slowly, if at all Diarsipkan April 15, 2008, di Wayback Machine.
  19. ^ Meers, M.B. (August 2003). "Maximum bite force and prey size of Tyrannosaurus rex and their relationships to the inference of feeding behavior". Historical Biology. 16 (1): 1–12. doi:10.1080/0891296021000050755. 
  20. ^ "The Four Winged Dinosaur: Wind Tunnel Test". Nova. Diakses tanggal June 5, 2010. 
  21. ^ Garwood, Russell J.; Rahman, Imran A.; Sutton, Mark D. A. (2010). "From clergymen to computers: the advent of virtual palaeontology". Geology Today. 26 (3): 96–100. Bibcode:2010GeolT..26...96G. doi:10.1111/j.1365-2451.2010.00753.x. Diakses tanggal June 16, 2015. 
  22. ^ Mark Sutton; Imran Rahman; Russell Garwood (2013). Techniques for Virtual Palaeontology. Wiley. ISBN 978-1-118-59125-3. 
  23. ^ Bruner, Emiliano (November 2004). "Geometric morphometrics and palaeoneurology: brain shape evolution in the genus Homo". Journal of Human Evolution. 47 (5): 279–303. doi:10.1016/j.jhevol.2004.03.009. PMID 15530349. 
  24. ^ Cady, S.L. (April 1998). "Astrobiology: A New Frontier for 21st Century Paleontologists". PALAIOS. 13 (2): 95–97. Bibcode:1998Palai..13...95C. doi:10.2307/3515482. JSTOR 3515482. PMID 11542813. 
  25. ^ Plotnick, R.E. "A Somewhat Fuzzy Snapshot of Employment in Paleontology in the United States". Palaeontologia Electronica. Coquina Press. 11 (1). ISSN 1094-8074. Diarsipkan dari versi asli tanggal May 18, 2008. Diakses tanggal September 17, 2008. 
  26. ^ a b "What is Paleontology?". University of California Museum of Paleontology. Diarsipkan dari versi asli tanggal August 3, 2008. Diakses tanggal September 17, 2008. 
  27. ^ Kitchell, J.A. (1985). "Evolutionary Paleocology: Recent Contributions to Evolutionary Theory". Paleobiology. 11 (1): 91–104. Bibcode:1985Pbio...11...91K. doi:10.1017/S0094837300011428. Diarsipkan dari versi asli tanggal August 3, 2008. Diakses tanggal September 17, 2008. 
  28. ^ Hoehler, T.M.; Bebout, B.M.; Des Marais, D.J. (July 19, 2001). "The role of microbial mats in the production of reduced gases on the early Earth". Nature. 412 (6844): 324–27. Bibcode:2001Natur.412..324H. doi:10.1038/35085554. PMID 11460161. 
  29. ^ Hedges, S.B.; Blair, J.E; Venturi, M.L.; Shoe, J.L. (January 2004). "A molecular timescale of eukaryote evolution and the rise of complex multicellular life". BMC Evolutionary Biology. 4: 2. doi:10.1186/1471-2148-4-2 . PMC 341452 . PMID 15005799. 
  30. ^ "Paleoclimatology". Ohio State University. Diarsipkan dari versi asli tanggal November 9, 2007. Diakses tanggal September 17, 2008. 
  31. ^ Algeo, T.J.; Scheckler, S.E. (1998). "Terrestrial-marine teleconnections in the Devonian: links between the evolution of land plants, weathering processes, and marine anoxic events". Philosophical Transactions of the Royal Society B. 353 (1365): 113–30. doi:10.1098/rstb.1998.0195. PMC 1692181 . 
  32. ^ "Biostratigraphy: William Smith". Diarsipkan dari versi asli tanggal July 24, 2008. Diakses tanggal September 17, 2008. 
  33. ^ a b "What is paleontology?". University of California Museum of Paleontology. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 16, 2008. Diakses tanggal September 17, 2008. 
  34. ^ Benton M.J.; Wills M.A.; Hitchin R. (2000). "Quality of the fossil record through time" (PDF). Nature. 403 (6769): 534–37. Bibcode:2000Natur.403..534B. doi:10.1038/35000558. PMID 10676959. 
    Non-technical summary Diarsipkan August 9, 2007, di Wayback Machine.
  35. ^ Butterfield, N.J. (2003). "Exceptional Fossil Preservation and the Cambrian Explosion". Integrative and Comparative Biology. 43 (1): 166–77. doi:10.1093/icb/43.1.166 . PMID 21680421. 
  36. ^ Cowen, R. (2000). History of Life (edisi ke-3rd). Blackwell Science. hlm. xi, 47–50, 61. ISBN 0-632-04444-6. 
  37. ^ Anderson, L.A. (2023). "A chemical framework for the preservation of fossil vertebrate cells and soft tissues". Earth-Science Reviews. 240: 104367. Bibcode:2023ESRv..24004367A. doi:10.1016/j.earscirev.2023.104367 . 
  38. ^ Butterfield, N.J. (2001). "Ecology and evolution of Cambrian plankton" (PDF). The Ecology of the Cambrian Radiation. New York: Columbia University Press: 200–16. Diakses tanggal September 27, 2007. [pranala nonaktif permanen]
  39. ^ Signor, P.W. (1982). "Sampling bias, gradual extinction patterns and catastrophes in the fossil record". Geological Implications of Impacts of Large Asteroids and Comets on the Earth. Geological Society of America Special Papers. Boulder, CO: Geological Society of America. 190: 291–96. doi:10.1130/SPE190-p291. ISBN 0-8137-2190-3. A 84–25651 10–42. Diarsipkan dari versi asli tanggal July 28, 2020. Diakses tanggal January 1, 2008. 
  40. ^ a b Fedonkin, M.A.; Gehling, J.G.; Grey, K.; Narbonne, G.M.; Vickers-Rich, P. (2007). The Rise of Animals: Evolution and Diversification of the Kingdom Animalia. JHU Press. hlm. 213–16. ISBN 978-0-8018-8679-9. 
  41. ^ e.g. Seilacher, A. (1994). "How valid is Cruziana Stratigraphy?". International Journal of Earth Sciences. 83 (4): 752–58. Bibcode:1994GeoRu..83..752S. doi:10.1007/BF00251073. 
  42. ^ Brasier, M.; McLoughlin, N.; Green, O.; Wacey, D. (June 2006). "A fresh look at the fossil evidence for early Archaean cellular life" (PDF). Philosophical Transactions of the Royal Society B. 361 (1470): 887–902. doi:10.1098/rstb.2006.1835. PMC 1578727 . PMID 16754605. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal September 11, 2008. Diakses tanggal August 30, 2008. 
  43. ^ Brocks, J.J.; Logan, G.A.; Buick, R.; Summons, R.E. (1999). "Archaean molecular fossils and the rise of eukaryotes". Science. 285 (5430): 1033–36. Bibcode:1999Sci...285.1033B. doi:10.1126/science.285.5430.1033. PMID 10446042. 
  44. ^ Twitchett R.J.; Looy C.V.; Morante R.; Visscher H.; Wignall P.B. (2001). "Rapid and synchronous collapse of marine and terrestrial ecosystems during the end-Permian biotic crisis". Geology. 29 (4): 351–54. Bibcode:2001Geo....29..351T. doi:10.1130/0091-7613(2001)029<0351:RASCOM>2.0.CO;2. 
  45. ^ a b Brochu, C.A; Sumrall, C.D. (July 2001). "Phylogenetic Nomenclature and Paleontology" (PDF). Journal of Paleontology. 75 (4): 754–57. doi:10.1666/0022-3360(2001)075<0754:PNAP>2.0.CO;2. ISSN 0022-3360. JSTOR 1306999. 
  46. ^ Ereshefsky, M. (2001). The Poverty of the Linnaean Hierarchy: A Philosophical Study of Biological Taxonomy. Cambridge University Press. hlm. 5. ISBN 0-521-78170-1. 
  47. ^ a b Cowen, R. (2000). History of Life (edisi ke-3rd). Blackwell Science. hlm. xi, 47–50, 61. ISBN 0-632-04444-6. 
  48. ^ Garwood, Russell J.; Sharma, Prashant P.; Dunlop, Jason A.; Giribet, Gonzalo (2014). "A Paleozoic Stem Group to Mite Harvestmen Revealed through Integration of Phylogenetics and Development". Current Biology. 24 (9): 1017–23. doi:10.1016/j.cub.2014.03.039 . PMID 24726154. 
  49. ^ Cohen, B.L.; Holmer, L.E.; Luter, C. (2003). "The brachiopod fold: a neglected body plan hypothesis". Palaeontology. 46 (1): 59–65. Bibcode:2003Palgy..46...59C. doi:10.1111/1475-4983.00287 . 

Pranala luar sunting