Reformasi Katolik
Artikel ini perlu diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. |
Bagian dari seri tentang |
Gereja Katolik |
---|
Ikhtisar |
Portal Katolik |
Kontra-Reformasi (bahasa Latin: Contrareformatio), juga disebut Reformasi Katolik (bahasa Latin: Reformatio Catholica) atau Kebangunan Katolik,[1] adalah periode kebangkitan Katolik yang diawali sebagai tanggapan terhadap Reformasi Protestan, bermula dari Konsili Trento (1545–1563) dan berakhir pada penutupan Perang Tiga Puluh Tahun (1648). Kontra-Reformasi merupakan suatu upaya komprehensif yang mencakupi lima elemen utama:
- Pembelaan reaksioner atas praktik sakramental Katolik
- Rekonfigurasi struktural atau gerejawi
- Tarekat-tarekat religius
- Gerakan-gerakan kerohanian
- Dimensi-dimensi politik
Reformasi-reformasi yang terjadi misalnya pendirian seminari-seminari untuk pelatihan para imam secara tepat dalam kehidupan rohani dan tradisi-tradisi teologis Gereja, pembaruan kehidupan membiara dengan mengembalikan tarekat-tarekat kepada landasan-landasan kerohanian mereka, serta gerakan-gerakan kerohanian baru yang berfokus pada kehidupan devosional dan relasi pribadi dengan Kristus, termasuk para mistikus Spanyol dan aliran spiritualitas Perancis.[2]
Periode ini juga menyangkut aktivitas-aktivitas politik yang mencakup Inkuisisi Roma. Salah satu penekanan utama Kontra-Reformasi adalah misi untuk menjangkau bagian-bagian dunia yang pernah menjadi koloni yang dominan Katolik dan juga adanya upaya untuk mengubah kembali wilayah-wilayah seperti Swedia dan Inggris yang pernah menjadi wilayah-wilayah dominan Katolik, namun telah didominasi Protestan pada masa Reformasi Protestan.[2]
Fokus dari berbagai teolog Kontra-Reformasi sebatas pembelaan posisi-posisi doktrinal seperti sakramen-sakramen dan praktik-praktik kesalehan yang ditentang oleh para reformis Protestan,[3] hingga berlangsungnya Konsili Vatikan II pada 1962–1965. Salah satu dari antara "momen-momen paling dramatis" dalam konsili tersebut adalah intervensi dari Uskup Belgia Emil de Smedt. Saat berlangsungnya diskusi tentang hakikat Gereja, sang uskup menyerukan untuk diakhirinya "klerikalisme, legalisme, dan triumfalisme" yang pernah menjadi karakteristik Gereja pada abad-abad sebelumnya.[4]
Para pendahulu
Abad ke-14, ke-15, dan ke-16 merupakan suatu periode kebangunan rohani di Eropa, yang menempatkan pertanyaan seputar keselamatan sebagai titik sentral. Gerakan pembaruan ini menjadi dikenal dengan sebutan Reformasi Katolik. Beberapa teolog[siapa?] menelusuri kembali ke masa-masa awal Kekristenan dan mempertanyakan spiritualitas mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan meluas ke sebagian besar Eropa Barat pada abad ke-15 dan ke-16, sementara para kritikus sekuler[siapa?] turut menelaah praktik keagamaan, perilaku klerikal, dan posisi-posisi doktrinal Gereja. Terdapat sejumlah gerakan pemikiran yang bervariasi, namun gagasan-gagasan reformasi dan pembaruan dipimpin oleh kalangan klerus.[butuh rujukan]
Reformasi-reformasi yang diputuskan pada Konsili Lateran V (1512–1517) hanya menimbulkan sedikit pengaruh.[butuh rujukan] Beberapa posisi doktrinal bergerak semakin menjauh dari posisi resmi Gereja,[butuh rujukan] sehingga mengarah pada perpecahan dengan Roma dan pembentukan denominasi-denominasi Protestan. Kendati demikian, kalangan-kalangan konservatif maupun reformis masih tetap bertahan di dalam Gereja Katolik, bahkan ketika Reformasi Protestan menyebar. Kalangan Protestan secara definitif keluar dari Gereja Katolik pada tahun 1520-an. Kedua posisi dogmatis yang berbeda di dalam Gereja Katolik diperkukuh pada tahun 1560-an. Reformasi Katolik menjadi dikenal dengan istilah Kontra-Reformasi, yang didefinisikan sebagai reaksi terhadap Protestanisme alih-alih sebagai gerakan reformasi. Sejarawan Henri Daniel-Rops mengatakan:
Bagaimanapun, kendati lazim, istilah [Kontra-Reformasi] menyesatkan: tidak dapat diterapkan dengan benar secara logis maupun kronologis pada gairah yang mendadak tersebut, seakan-akan dari sesosok raksasa yang terkejut, untuk upaya peremajaan dan reorganisasi seperti demikian, yang dalam waktu tiga puluh tahun memberikan Gereja suatu penampilan yang sama sekali baru. ... Yang disebut 'kontra-reformasi' itu tidak dimulai dengan Konsili Trento, lama setelah Luther; asal mula dan pencapaian-pencapaian awalnya jauh lebih dahulu daripada ketenaran Wittenberg. Reformasi itu dilakukan bukan dengan cara menanggapi 'para reformis', namun dalam ketaatan pada tuntutan-tuntutan dan prinsip-prinsip yang merupakan bagian dari tradisi Gereja yang tidak dapat diubah serta bersumber dari loyalitas-loyalitas paling mendasar yang dimiliki Gereja.[5]
Tarekat-tarekat regular melakukan upaya-upaya pertama mereka untuk reformasi pada abad ke-14. 'Bulla Benediktin' tahun 1336 membarui tarekat Benediktin dan Sistersien. Pada tahun 1523, Pertapa-Pertapa Kamaldolesi dari Monte Corona (Er. Cam.) diakui sebagai suatu kongregasi tersendiri para rahib. Pada tahun 1435, Santo Fransiskus dari Paola mendirikan Para Pertapa Miskin dari Santo Fransiskus dari Assisi, yang kemudian menjadi Frater-Frater Minimi (O.M.). Pada tahun 1526, Matteo da Bascio mengusulkan pembaruan aturan hidup Fransiskan kepada kemurnian asalinya sehingga melahirkan tarekat Kapusin (O.F.M.Cap.), yang memperoleh pengakuan dari paus pada tahun 1619.[6] Tarekat atau ordo ini dikenal baik oleh kaum awam dan memainkan peranan penting dalam pewartaan publik. Untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan baru akan evangelisasi, kaum klerus membentuk kongregasi-kongregasi religius, mengikrarkan kaul-kaul khusus tetapi tanpa kewajiban untuk membantu dalam suatu pelayanan religius di biara. Klerus regular ini mengajar, melakukan pewartaan, dan menerima pengakuan, namun berada di bawah wewenang seorang uskup secara langsung serta tidak terkait dengan wilayah atau paroki tertentu layaknya seorang vikaris ataupun kanonik.[6]
Di Italia, kongregasi pertama klerus regular adalah Teatin (C.R.), yang dibentuk pada tahun 1524 oleh Kayetanus dan Kardinal Carafa. Pendirian itu diikuti dengan pendirian Imam-Imam Somaski (C.R.S.) pada tahun 1528, Barnabit pada tahun 1530, Ursulin (O.S.U.) pada tahun 1535, Yesuit (S.J.) yang diakui secara kanonis pada tahun 1540, Klerus Regular dari Bunda Allah dari Lucca (O.M.D.) pada tahun 1583, Kamilian (M.I.) pada tahun 1584, Imam-Imam Adorno (C.R.M.) pada tahun 1588, dan Piaris (S. P.) pada tahun 1621. Pada tahun 1524,[butuh klarifikasi] sejumlah imam di kota Roma mulai menjalani kehidupan dalam suatu komunitas yang berpusat pada Filipus Neri. Mereka melembagakan diri sebagai Oratorian (C.O.) dan mendapat pengakuan kepausan sebagai suatu kongregasi pada tahun 1575. Mereka memanfaatkan musik dan nyanyian untuk menarik perhatian umat.[7]
Konsili Trento
Paus Paulus III (1534–1549) dianggap sebagai paus Kontra-Reformasi yang pertama,[2] dan ia juga memprakarsai Konsili Trento (Konsili Trente, 1545–1563), suatu komisi para kardinal yang ditugaskan untuk melakukan reformasi institusional, membahas isu-isu kontroversial seperti para uskup dan imam yang korup, indulgensi, serta penyalahgunaan finansial lainnya.
Konsili menegakkan struktur dasar dari Gereja Abad Pertengahan, sistem sakramental, tarekat-tarekat religius, dan doktrinnya. Konsili menolak segala kompromi dengan pihak Protestan, menegaskan kembali prinsip-prinsip dasar dari iman Katolik. Konsili menegakkan dogma keselamatan yang dianugerahkan oleh rahmat melalui iman dan perbuatan-perbuatan dari iman tersebut (bukan iman semata, sebagaimana yang ditekankan oleh pihak Protestan) karena "iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati", seperti yang termaktub dalam Yakobus 2:22-26.
Transubstansiasi, ajaran bahwa roti dan anggur yang dikonsekrasi benar-benar diubah secara substansial menjadi tubuh, darah, jiwa, dan keilahian Kristus, juga ditegaskan kembali bersama dengan ketujuh sakramen Gereja Katolik berdasarkan Tradisi Suci. Praktik-praktik lain yang menimbulkan kemarahan para reformis Protestan, seperti ziarah, penghormatan orang kudus dan relikui, penggunaan gambar dan rupa yang diberkati, serta penghormatan Perawan Maria, mendapat penegasan kembali sebagai praktik-praktik yang terpuji secara rohani.
Dalam Kanon Trento, Konsili secara resmi menerima daftar kitab Perjanjian Lama dalam Vulgata, yang mencakup kitab-kitab deuterokanonika (juga disebut Apokrifa oleh pihak Protestan) dalam kesetaraan dengan 39 kitab yang pada umumnya didapati dalam Teks Masoret. Hal ini menegaskan kembali hasil-hasil dari Konsili Roma dan Konsili Kartago (keduanya diadakan pada abad ke-4 M), yang telah menegaskan Deuterokanon sebagai bagian dari Kitab Suci.[8] Konsili juga menugaskan penyusunan Katekismus Roma, yang berfungsi sebagai pengajaran Gereja yang berwibawa hingga dikeluarkannya Katekismus Gereja Katolik pada tahun 1992.
Sementara landasan-landasan tradisional Gereja ditegaskan kembali, terdapat perubahan-perubahan nyata untuk menanggapi keluhan-keluhan yang secara tidak langsung bersedia diakui oleh para Kontra-Reformis adalah sahih. Di antara kondisi-kondisi yang perlu diperbaiki oleh para reformis Katolik misalnya melebarnya jurang pemisah antara kaum klerus dengan kaum awam: banyak klerikus di paroki-paroki pedesaan yang berpendidikan rendah. Seringkali para imam pedesaan tersebut tidak menguasai bahasa Latin dan tidak memiliki kesempatan untuk menerima pendidikan teologi. Bagaimana mengatasi pendidikan para imam telah menjadi salah satu fokus mendasar dari para reformis humanis di masa lalu.
Para imam paroki dipandang perlu untuk menerima pendidikan yang lebih baik dalam hal teologi dan apologetika, sementara otoritas kepausan berupaya untuk mendidik umat mengenai makna, hakikat serta nilai dari seni dan liturgi, khususnya dalam komunitas-komunitas monastik (pihak Protestan mencela kalau mereka "mengganggu"). Buku-buku catatan dan buku-buku pegangan menjadi lebih lazim digunakan, mendeskripsikan bagaimana seharusnya menjadi imam dan bapa pengakuan yang baik.
Dengan demikian, Konsili Trento berupaya untuk memperbaiki disiplin dan administrasi Gereja. Ekses-ekses duniawi dari Gereja Renaisans yang sekuler, utamanya terlihat dalam era Paus Aleksander VI (1492–1503), semakin meningkat selama era reformasi di bawah kepemimpinan Paus Leo X (1513–1522), yang kampanye pengumpulan dananya untuk pembangunan Basilika Santo Petrus dengan mendukung penggunaan indulgensi menjadi suatu pemicu utama ditulisnya 95 Tesis oleh Martin Luther. Gereja Katolik menanggapi persoalan tersebut dengan suatu kampanye yang penuh semangat untuk melakukan reformasi, yang diilhami oleh gerakan-gerakan reformasi Katolik sebelumnya yang mendahului Konsili Konstanz (1414–1417): humanisme, tradisi-tradisi devosional, legalis, dan observantin.
Melalui tindakan-tindakannya, Konsili menolak pluralisme dari Renaisans sekuler yang sebelumnya telah menodai Gereja: tata kelola tarekat-tarekat religius diperketat, disiplin ditingkatkan, dan paroki diberikan perhatian. Penunjukan uskup karena alasan-alasan politik tidak lagi dibiarkan. Di masa lalu, pemilikan tanah yang besar menyebabkan banyak uskup menjadi "uskup-uskup yang absen", yang terkadang menjadi manajer-manajer properti yang terlatih dalam administrasi. Dengan demikian, Konsili Trento memerangi "absenteisme", yang adalah praktik para uskup tinggal di kota Roma ataupun di tanah-tanah kemilikan daripada di keuskupan-keuskupan mereka. Konsili Trento juga memberikan para uskup kuasa yang lebih besar untuk mengawasi semua aspek kehidupan religius. Para prelat yang penuh semangat, seperti Uskup Agung Milan Karolus Boromeus (1538–1584), yang kelak dikanonisasi sebagai santo, memberikan teladan dengan mengunjungi paroki-paroki terpencil dan menanamkan standar yang tinggi.
Tarekat-tarekat religius
Tarekat-tarekat religius yang baru merupakan salah satu bagian fundamental dari reformasi-reformasi yang dilakukan. Tarekat-tarekat seperti Kapusin, Karmelit Tak Berkasut, Agustinian Tak Berkasut, Feuilan Sistersien, Ursulin, Teatin, Barnabit, Oratorian, dan khususnya Yesuit, berkarya di paroki-paroki pedesaan dan menjadi contoh-contoh pembaruan Katolik.
Tarekat Teatin melakukan pengamatan seputar penyebaran bidah dan memberikan kontribusi dalam regenerasi kaum klerus. Tarekat Kapusin, salah satu cabang tarekat Fransiskan yang dikenal karena pewartaan dan perawatan yang mereka lakukan bagi kaum miskin dan sakit, berkembang dengan pesat. Kelompok-kelompok persaudaraan Kapusin memberi perhatian khusus pada kaum miskin dan menjalani hidup dengan cara yang sangat sederhana. Adanya para anggota tarekat-tarekat yang terlibat aktif dalam perluasan misioner di luar negeri mengekspresikan pandangan bahwa paroki-paroki pedesaan seringkali membutuhkan pemahaman akan iman Kristen sebagaimana halnya pada kaum pagan di Asia dan Amerika.
Tarekat Ursulin berfokus pada tugas khusus mendidik anak-anak perempuan,[9] menjadi tarekat wanita pertama yang mengabdikan diri untuk tujuan tersebut.[10] Pembaktian diri pada karya-karya tradisional belas kasih memperlihatkan contoh penegasan kembali Reformasi Katolik akan makna penting iman dan perbuatan, maupun keselamatan melalui rahmat Allah, serta penolakan terhadap prinsip sola scriptura yang ditekankan oleh mazhab-mazhab Protestan. Mereka dipandang tidak sekadar menjadikan Gereja lebih efektif, namun juga menegaskan kembali premis-premis fundamental dari Gereja Abad Pertengahan.
Tarekat Yesuit dianggap sebagai tarekat Katolik baru yang paling efektif pada periode ini. Sebagai pewaris tradisi-tradisi devosional, observantin, dan legalis, tarekat tersebut mengorganisasi diri seturut karakteristik 'kemiliteran'. Dikatakan bahwa keduniawian Gereja Renaisans tidak mendapat tempat dalam tarekat baru mereka. Latihan Rohani, karya besar dari St. Ignatius pendirinya, menunjukkan penekanan pada karakteristik buku-buku pegangan para reformis Katolik sebelum era Reformasi Protestan, mengingatkan pada praktik-praktik devosional. Para anggota tarekat Yesuit menjadi pewarta, bapa pengakuan dari pangeran dan pemimpin monarki, serta pendidik humanisme.[11]
Tarekat Yesuit berperan serta dalam perluasan Gereja di benua Amerika dan Asia, melalui aktivitas misioner mereka. Biografi St. Ignatius dari Loyola berkontribusi dalam penekanan pada tindakan-tindakan kesalehan populer yang mengalami penurunan pada masa kepemimpinan Paus Aleksander VI dan Paus Leo X. Setelah pulih dari cedera serius yang dialaminya, ia mengikrarkan kaul untuk "hanya melayani Allah dan paus Roma, wakil-Nya di Bumi". Penekanan pada kepemimpinan paus merupakan suatu penegasan kembali akan kepausan abad pertengahan, selagi Konsili Trento menundukkan konsiliarisme, keyakinan bahwa konsili umum Gereja adalah representasi Allah di dunia ini dan bukan paus. Mengakui paus sebagai seorang pemimpin sepenuhnya, tarekat Yesuit memainkan peranannya dalam Gereja Kontra-Reformasi yang selaras dengan Takhta Roma.
Politik: Belanda
Ketika pihak Kalvinis menguasai berbagai wilayah Belanda dalam Pemberontakan Belanda, pihak Katolik yang dipimpin oleh Felipe II dari Spanyol mengadakan perlawanan. Sang raja mengutus Alessandro Farnese sebagai Gubernur Jenderal Belanda Spanyol dari tahun 1578 sampai 1592.
Farnese memperoleh keberhasilan dalam kampanye militer tahun 1578–1592 yang dipimpinnya untuk mengatasi Pemberontakan Belanda, merebut kota-kota utama di selatan Spanyol – Belgia dan mengembalikan kendali atas kota-kota itu kepada Spanyol Katolik.[12] Ia memanfaatkan perpecahan yang terjadi dalam jajaran lawan-lawannya antara kaum Flandria yang berbahasa Belanda dengan kaum Walonia yang berbahasa Perancis, menggunakan persuasi untuk mengambil keuntungan dari perpecahan tersebut dan menimbulkan perselisihan yang semakin meningkat. Dengan demikian ia dapat mengembalikan loyalitas provinsi-provinsi Walonia kepada sang raja. Melalui perjanjian Arras tahun 1579, ia mengamankan dukungan dari 'Malcontents', sebutan bagi para bangsawan Katolik di wilayah selatan.
Tujuh provinsi utara beserta Flandria dan Brabant, yang dikuasai oleh pihak Kalvinis, menanggapi dengan Uni Utrecht dan memutuskan untuk tetap bersatu guna melawan Spanyol. Farnese mengamankan basisnya di Hainaut dan Artois, kemudian bergerak melawan Brabant dan Flandria. Kota demi kota dapat dikuasainya: Tournai, Maastricht, Breda, Brugge dan Gent membuka gerbang baginya.
Farnese akhirnya melakungan pengepungan atas pelabuhan besar Antwerpen. Kota itu terbuka menuju ke laut, dikelilingi dengan benteng yang kuat, dan dipertahankan dengan baik di bawah kepemimpinan Marnix van St. Aldegonde. Farnese memotong semua akses ke laut dengan membangun sebuah jembatan kapal yang melintasi Sungai Schelde. Kota tersebut menyerah pada 1585, dan dikatakan bahwa sekitar 60.000 warga Antwerpen (60% dari populasi sebelum pengepungan) bermigrasi ke wilayah utara. Semua wilayah Belanda bagian selatan kembali berada di bawah kendali Spanyol.
Dalam perang yang utamanya meliputi pengepungan-pengepungan dan bukan pertempuran-pertempuran, Farnese memperlihatkan ketabahan hatinya. Strateginya adalah menawarkan syarat-syarat yang dipandang murah hati agar lawannya menyerah: tidak ada pembunuhan massal ataupun penjarahan; hak istimewa perkotaan yang bersejarah tetap dipertahankan; terdapat amnesti dan pengampunan penuh; persekutuan kembali dengan Gereja Katolik dilakukan secara bertahap.[13]
Sementara itu, para pengungsi Katolik dari Utara berkumpul kembali di Cologne (Köln) dan Douai serta mengembangkan suatu identitas Tridentin yang lebih bersemangat juang. Mereka menjadi kekuatan-kekuatan yang memobilisasi Kontra-Reformasi umum di Selatan, dengan demikian memfasilitasi kemunculan negara Belgia pada akhirnya.[14]
Gerakan-gerakan kerohanian
Pertempuran Lepanto | |
---|---|
Seniman | Paolo Veronese |
Tahun | 1571 |
Medium | Minyak di atas kanvas |
Ukuran | 169 cm × 137 cm (67 in × 54 in) |
Lokasi | Gallerie dell'Accademia, Venesia, Italia |
Reformasi Katolik tidak dilihat sebagai suatu gerakan yang sekadar berorientasi pada politik dan kebijakan Gereja, tetapi juga sebagai gerakan yang melibatkan tokoh-tokoh besar seperti St. Ignatius dari Loyola, St. Teresa dari Ávila, St. Yohanes dari Salib, St. Fransiskus dari Sales, dan St. Filipus Neri, yang kesemuanya memperkaya spiritualitas dari Gereja Katolik. Santa Teresa dari Avila dan Santo Yohanes dari Salib adalah para pembaru dan mistikus Spanyol dari Ordo Karmel, yang karya pelayanannya berfokus pada konversi batin menuju Kristus, pendalaman doa, dan penyerahan diri kepada kehendak Allah. Teresa menerima tugas dari bapa pengakuannya untuk menulis tentang jalan menuju kesempurnaan dalam cinta dan persatuan dengan Kristus. Karya-karya tulisnya yang dipublikasikan, terutama autobiografinya yang terbit dengan judul Riwayat Hidup St. Teresa (judul buku dalam terjemahan Indonesia), dikatakan menghasilkan banyak pengaruh. Thomas Merton menyebut St. Yohanes dari Salib sebagai yang terbesar di antara semua teolog mistik.[15]
Klarifikasi seputar kata "mistik" atau "mistis" dianggap perlu. Ketika seseorang memikirkan definisinya ataupun hakikat dari "mistisisme", kesalahpahaman yang lazim terjadi yaitu apabila seseorang ingin menjai seorang mistikus maka ia harus mengasingkan diri secara fisik dari dunia luar untuk mendapatkan pengalaman demikian. Kendati pengasingan semacam itu dapat menjadi satu-satunya karya kerasulan yang di dalamnya sejumlah orang dipanggil untuk menjalani suatu kehidupan doa, terdapat orang-orang lain yang terpanggil untuk melakukan karya kerasulan ganda. Yohanes dari Salib melayani sebagai pembimbing rohani sekaligus bapa pengakuan di dalam batas-batas komunitas tertutup, yang giat dibentuknya bersama dengan Teresa dari Ávila, namun ia juga secara harfiah membantu membangun sejumlah biara itu. Ignatius dari Loyola dan Fransiskus dari Sales terpanggil untuk melakukan karya kerasulan atau spiritualitas yang lebih aktif, tetapi panggilan mereka tidak dipandang sebagai "lawan" dari Teresa dan Yohanes sebagaimana dipaparkan sebelumnya. "Melihat Allah dalam segala hal" adalah satu ungkapan khas Ignatius dan salah satu tema utama dalam Latihan Rohani karyanya.[16]
Spiritualitas Filipus Neri, yang tinggal di Roma pada saat bersamaan dengan Ignatius, juga berorientasi pada praktik aktif, namun sama sekali berbeda dengan pendekatan tarekat Yesuit yang didirikan Ignatius. Kata Filipus, "Jika saya mengalami suatu persoalan yang sebenarnya, saya merenungkan apa yang akan dilakukan Ignatius ... dan kemudian saya melakukan apa yang benar-benar kebalikannya." Sebagai pengakuan atas kontribusi bersama mereka pada pembaruan spiritual dalam reformasi Katolik, Ignatius dari Loyola, Filipus Neri, dan Teresa dari Ávila dikanonisasi pada hari yang sama, 12 Maret 1622.
Perawan Maria memainkan satu peranan yang semakin penting dalam devosi Katolik. Kemenangan di Pertempuran Lepanto pada 1571 dipandang berkat perantaraan Perawan Maria, dan mengindikasikan awal mula dari suatu pembaruan yang intens atas devosi-devosi Marian.[17] Selama dan setelah Reformasi Katolik, praktik kesalehan Marian mengalami pertumbuhan yang tak terduga dengan dihasilkannya lebih dari 500 halaman tulisan mariologis sepanjang abad ke-17 saja.[18] Francisco Suárez, seorang imam Yesuit, menjadi teolog pertama yang menggunakan metode Thomis dalam Mariologi. Kontributor terkenal lainnya bagi spiritualitas Marian misalnya St. Laurensius dari Brindisi, St. Robertus Bellarminus, dan St. Fransiskus dari Sales.
Sakramen Tobat ditransformasikan dari pengalaman sosial menjadi pengalaman personal, yakni dari suatu tindakan di hadapan masyarakat umum menjadi suatu pengakuan privat. Penerimaan sakramen tersebut hingga saat ini dilaksanakan secara pribadi, umumnya dalam suatu ruang atau bilik pengakuan. Praktik pelaksanaannya merupakan suatu perubahan dalam penekanannya dari rekonsiliasi dengan Gereja menjadi rekonsiliasi secara langsung dengan Allah, dan dari penekanan pada dosa-dosa sosial permusuhan menjadi dosa-dosa pribadi (yang disebut "dosa-dosa rahasia dalam hati").[19]
Seni Barok
Gereja Katolik berperan sebagai patron seni yang terkemuka di sebagian besar wilayah Eropa. Tujuan dari banyak hasil seni dalam era Kontra-Reformasi, khususnya di Roma dari buah karya Bernini dan di Flandria dari buah karya Peter Paul Rubens, adalah memulihkan sentralitas dan dominansi Katolik. Hal ini merupakan salah satu penggerak dari keberadaan gaya Barok yang timbul di seluruh Eropa pada akhir abad ke-16. Di daerah mayoritas Katolik, arsitektur,[20] seni lukis,[21] dan, pada tingkat yang lebih rendah, musik, merefleksikan tujuan-tujuan dari Kontra-Reformasi.[22]
Konsili Trento menyatakan bahwa arsitektur, seni lukis dan pahat memiliki suatu peranan dalam menyampaikan teologi Katolik. Hasil karya apa saja yang dapat membangkitkan "keinginan daging" tidak dapat diterima di dalam gereja-gereja, sedangkan penggambaran apa saja mengenai pergumulan dan penderitaan Kristus secara eksplisit sangat diharapkan dan pantas. Dalam era ketika beberapa reformis Protestan menghancurkan gambar dan rupa orang kudus serta melabur dinding-dinding, para reformis Katolik menegaskan kembali arti penting dari seni, dengan perhatian secara khusus pada gambar dan rupa Perawan Maria.[23]
Area yang terkena dampak
Kontra-Reformasi dipandang berhasil mengurangi pengaruh Protestanisme di Polandia, Perancis, Italia, Irlandia, dan daratan yang dikuasai Wangsa Habsburg, termasuk Austria, Jerman selatan, Bohemia (sekarang Ceko), Belanda Spanyol (sekarang Belgia), Kroasia, dan Slovenia. Namun dipandang mengalami kegagalan untuk meraih keberhasilan sepenuhnya di Hongaria, tempat minoritas Protestan dengan jumlah yang signifikan berdiam sampai hari ini, kendati umat Katolik masih menjadi mayoritas.
Tokoh-tokoh utama
- Paus Pius III (1503)
- Paus Paulus III (1534-1549)
- Paus Yulius III (1550-55)
- Paus Paulus IV (1555-59)
- Paus Pius IV (1559-65)
- St. Paus Pius V (1566-72)
- Paus Gregorius XIII (1572-85)
- Paus Siktus V (1585-90)
- Felipe II dari Spanyol (1527–1598)
- Péter Pázmány (1570–1637)
- St. Filipus Neri
- St. Ignatius dari Loyola
- St. Teresa dari Avila
- St. Yohanes dari Salib
- St. Fransiskus dari Sales
- St. Karolus Borromeus
Lihat pula
Rujukan
- ^ (Inggris) "Counter Reformation". Encyclopædia Britannica Online.
- ^ a b c (Inggris) "Counter-Reformation". Encyclopædia Britannica, Inc.
- ^ (Inggris) "Counter-Reformation | religious history". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-05-11.
- ^ (Inggris) "Anniversary Thoughts" in America, 7 October 2002.
- ^ (Inggris) Henri Daniel-Rops. "The Catholic Reformation". Taken from the Fall 1993 issue of The Dawson Newsletter. EWTN.
- ^ a b (Prancis) Michel Péronnet, Le XVe siècle, Hachette U, 1981, p 213
- ^ Michel Péronnet, p 214
- ^ Mengikuti Septuaginta, pihak Ortodoks Timur umumnya memasukkan kitab-kitab deuterokanonika dengan beberapa kitab tambahan yang tidak ditemukan dalam Alkitab Katolik, namun kitab-kitab tersebut dipandang sebagai otoritas sekunder. Gereja Inggris dapat menggunakan Alkitab yang menempatkan kitab-kitab deuterokanonika di antara Protokanonika Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tidak dipadukan di antara kitab-kitab Perjanjian Lama yang lain sebagaimana adanya dalam Alkitab Katolik.
- ^ (Inggris) "The Ursulines". Catholic Encyclopedia. Diakses tanggal 8 March 2015.
A religious order founded by St. Angela de Merici for the sole purpose of educating young girls
- ^ (Inggris) Philip Hughes (1957), A Popular History of the Reformation, 1960 reprint, Garden City, New York: Image Books, Ch. 3, "Revival and Reformation, 1495–1530", Sec. iii, "The Italian Saints", p. 86.
- ^ (Inggris) Froom, LeRoy (1950). The Prophetic Faith of our Fathers (Templat:DjVulink and PDF). 1. hlm. 24.
- ^ (Inggris) Bart de Groof, "Alexander Farnese and the Origins of Modern Belgium", Bulletin de l'Institut Historique Belge de Rome (1993) Vol. 63, pp 195–219.
- ^ (Inggris) Violet Soen, "Reconquista and Reconciliation in the Dutch Revolt: The Campaign of Governor-General Alexander Farnese (1578–1592)", Journal of Early Modern History (2012) 16#1 pp 1–22.
- ^ (Inggris) Geert H. Janssen, "The Counter-Reformation of the Refugee: Exile and the Shaping of Catholic Militancy in the Dutch Revolt", Journal of Ecclesiastical History (2012) 63#4 pp 671–692
- ^ (Inggris) "Ascent of Mount Carmel". John of the Cross. Image Books. 1958.
- ^ Ignatius dari Loyola: Latihan Rohani
- ^ (Jerman) Otto Stegmüller: "Barock", Dalam: Lexikon der Marienkunde, Regensburg 1967, 566
- ^ (Latin) A Roskovany, conceptu immacolata ex monumentis omnium seculorum demonstrate III, Budapest 1873
- ^ (Inggris) John Bossy, "The Social History of Confession in the Age of the Reformation", Transactions of the Royal Historical Society (1975) Vol. 25, pp 21-38. in JSTOR
- ^ (Inggris) Hanno-Walter Kruft (996). History of Architectural Theory. Princeton Architectural Press. hlm. 93–107.
- ^ (Inggris) Helen Gardner; Fred S. Kleiner (2010). Gardner's Art Through the Ages: The Western Perspective. Cengage Learning. hlm. 192.
- ^ (Inggris) Arnold Hauser (1999). Social History of Art, Volume 2: Renaissance, Mannerism, Baroque. Psychology Press. hlm. 192.
- ^ (Inggris) Irene Earls, Baroque Art: A Topical Dictionary (1996) pp 76-77
Bacaan lanjutan
- (Inggris) Bireley, Robert. The Refashioning of Catholicism, 1450–1700: A Reassessment of the Counter Reformation (1999) excerpt and text search
- (Inggris) Dickens, A. G. The Counter Reformation (1979) expresses the older view that it was a movement of reactionary conservatism.
- (Inggris) Harline, Craig. "Official Religion: Popular Religion in Recent Historiography of the Catholic Reformation", Archiv für Reformationsgeschichte (1990), Vol. 81, pp 239–262.
- (Inggris) Jones, Martin D. W. The Counter Reformation: Religion and Society in Early Modern Europe (1995), emphasis on historiography
- (Inggris) Jones, Pamela M. and Thomas Worcester, eds. From Rome to Eternity: Catholicism and the Arts in Italy, ca. 1550–1650 (Brill 2002) online
- (Inggris) Mullett, Michael A. "The Catholic Reformation (Routledge 1999) online
- (Inggris) O'Connell, Marvin. Counter-reformation, 1550–1610 (1974)
- (Inggris) Ó hAnnracháin, Tadhg. Catholic Europe, 1592–1648: Centre and Peripheries (2015) DOI:10.1093/acprof:oso/9780199272723.001.0001
- (Inggris) Ogg, David. Europe in the Seventeenth Century (6th ed. 1965). pp 82-117.
- (Inggris) Olin, John C The Catholic Reformation: Savonarola to Ignatius Loyola: Reform in the Church, 1495–1540 (Fordham University Press, 1992) online
- (Inggris) Pollen, John Hungerford. The Counter-Reformation (2011) excerpt and text search
- (Inggris) Soergel, Philip M. Wondrous in His Saints: Counter Reformation Propaganda in Bavaria. Berkeley CA: University of California Press, 1993
- (Inggris) Unger, Rudolph M. Counter-Reformation (2006)
- (Inggris) Wright, A. D. The Counter-reformation: Catholic Europe and the Non-christian World (2nd ed. 2005), advanced
Sumber primer
- (Inggris) Luebke, David, ed. The Counter-Reformation: The Essential Readings (1999) excerpt and text search
Historiografi
- (Inggris) Bradshaw, Brendan. "The Reformation and the Counter-Reformation", History Today (1983) 33#11 pp 42–45.
- (Inggris) Marnef, Guido. "Belgian and Dutch Post-war Historiography on the Protestant and Catholic Reformation in the Netherlands", Archiv für Reformationsgeschichte (2009) Vol. 100, pp 271–292.
- (Inggris) Menchi, Silvana Seidel. "The Age of Reformation and Counter-Reformation in Italian Historiography, 1939–2009", Archiv für Reformationsgeschichte (2009) Vol. 100, pp 193–217.