Keyakinan dalam Buddhisme

Konsep iman dan komitmen religius dalam Buddhisme
Revisi sejak 3 September 2024 16.13 oleh Faredoka (bicara | kontrib)

Dalam Buddhisme, keyakinan atau iman (Pali: saddhā, Sanskerta: śraddhā) mengacu pada iman kepada Tiga Permata, yaitu Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Keyakinan tidak hanya terhadap suatu tokoh, tetapi juga terkait dengan konsep-konsep dalam ajaran Buddha seperti efikasi karma dan kemungkinan mencapai kecerahan. Keyakinan dipandang sebagai komitmen untuk mempraktikkan ajaran Buddha, seperti bederma (dāna), moralitas (sīla), dan meditasi (bhāvanā) secara berkelanjutan.

Altar di Pusdiklat Buddhis Sikkhādama Santibhūmi, Tangerang, Jawa Barat, Indonesia. Rupang Buddha sebagai simbol Buddha, Dharmacakra di belakang kepala Buddha sebagai simbol Dhamma, dan dua murid teladan-Nya (Sariputta dan Moggallana) di kedua sisi sebagai simbol Saṅgha.
Terjemahan dari
saddhā
Indonesiakeyakinan, iman
Inggrisfaith, confidence
Palisaddhā
Sanskertaśraddhā
Tionghoa(T&S)
(Pinyinxìn)
Jepang
(rōmaji: shin)
Korea믿음
(RR: sin-eum)
Tibetanདད་པ
(Wylie: dad pa
THL: dat pa
)
Bengaliশ্রাদ্ধের
Thaiศรัทธา
(RTGS: satthaa)
Vietnamđức tin
Sinhalaශ්‍රද්ධ
Daftar Istilah Buddhis

Dalam Buddhisme awal dan aliran Theravāda, keyakinan dipusatkan pada iman kepada kecerahan Buddha (tathāgatabodhi-saddhā) atau, secara alternatif, kepada Tiga Permata (ratanattaya-saddhā):[1][2][3][4][5]

  1. Iman kepada Buddha, yaitu meyakini para Buddha masa lalu, Buddha masa kini (Siddhattha Gotama), dan kedatangan bodhisatwa masa depan; juga pencapaian Kebuddhaan-Nya di Nibbāna.
  2. Iman kepada Dhamma, yaitu meyakini ajaran yang disampaikan oleh Buddha.
  3. Iman kepada Saṅgha, yaitu meyakini komunitas rahib yang didirikan oleh Buddha; mereka yang dianggap maju secara spiritual (ariya-saṅgha) atau komunitas konvensional yang berupaya mencapai kecerahan (sammuti-saṅgha).

Pada jenis klasifikasi di atas, iman kepada hukum karma merupakan bagian dari iman kepada Dhamma. Akan tetapi, beberapa bagian kitab suci juga secara spesifik merincikan iman kepada kepemilikan karma (kammassakatā-saddhā), yaitu meyakini bahwa semua makhluk bertanggung jawab atas perbuatan dan akibatnya masing-masing, sebagai dua poin tambahan:

  1. Iman kepada karma (kamma-saddhā), yaitu meyakini adanya perbuatan berkehendak yang secara moral dikategorikan sebagai baik atau buruk.
  2. Iman kepada buah karma (vipāka-saddhā), yaitu meyakini adanya akibat dari perbuatan berkehendak yang secara moral baik atau buruk.

Kitab komentar untuk Abhidhamma Piṭaka milik aliran Theravāda menjelaskan definisi saddhā sebagai suatu faktor mental dalam empat batasan:[6]

  • Karakteristik (lakkhaṇa): meyakini (saddahana) atau memercayai (okappana) objeknya.
  • Fungsi (rasa): untuk menjernihkan (pasādana) hati dari kotoran-kotoran batin atau untuk melompati (pakkhandana) hal-hal sulit.
  • Manifestasi (paccupaṭṭhāna): bebas dari kotoran (akālussiya), atau keputusan/ketetapan hati (adhimutti).
  • Sebab-terdekat (padaṭṭhāna): objek yang pantas untuk memunculkan keyakinan (saddheyyavatthu), yaitu Tiga Permata, atau faktor-faktor Pengarungan Arus (sotāpattiyaṅga).

Keyakinan adalah faktor mental yang memercayai (saddahati) objek. Faktor-mental keyakinan dalam Buddhisme bukanlah kepercayaan yang memerlukan kepatuhan buta (amūlika-saddhā) dengan mengesampingkan fakta, investigasi, dan kebijaksanaan. Seseorang juga tidak akan bisa menyakiti makhluk lain atas dasar keyakinannya.

Secara tradisional, pernyataan iman ditunjukkan dengan pengambilan perlindungan kepada Tiga Permata dalam syair "Tiga Perlindungan" (Tisaraṇa):

Seorang umat awam yang berlindung kepada Tiga Permata disebut upāsaka atau upāsika, sedangkan yang tidak berlindung kepada Tiga Permata disebut titthiya.

Sementara itu, agama Buddha awal secara moral tidak mengecam pemberian persembahan secara damai kepada brahma dan dewa-dewi. Sepanjang sejarah agama Buddha, pemujaan brahma dan dewa-dewi, sering kali berasal dari keyakinan pra-Buddhis dan animis, kemudian disesuaikan menjadi praktik dan kepercayaan Buddhis. Sebagai bagian dari proses itu, brahma dan dewa-dewi tersebut dinyatakan sebagai bawahan dari Tiga Permata, yang masih terus memegang peran utama.

Pada masa berikutnya dalam sejarah agama Buddha, khususnya Buddha Mahāyāna, keyakinan memiliki peran yang jauh lebih penting. Aliran Mahāyāna memperkenalkan bakti kepada para Buddha dan bodhisatwa yang berada di Tanah Murni. Dengan berkembangnya bakti kepada Buddha Amitābha dan agama Buddha aliran Tanah Murni, keyakinan memperoleh peran utama dalam praktik agama Buddha. Agama Buddha aliran Tanah Murni versi Jepang, yang dipimpin oleh Hōnen dan Shinran, bahkan meyakini bahwa satu-satunya praktik yang bermanfaat bagi umat Buddha adalah keyakinan penuh kepercayaan kepada Buddha Amitābha, karena aliran tersebut menganggap selibasi, meditasi, dan praktik Buddhis lainnya sebagai praktik yang tidak lagi mujarab atau bertolak belakang dengan sifat utama keyakinan. Sementara itu, umat Buddha Tanah Murni pada umumnya mengartikan keyakinan sebagai sebuah keadaan yang mirip dengan pencerahan. Dampak keyakinan dalam religiositas umat Buddhis kemudian menjadi sangat penting dalam gerakan-gerakan milenarian di beberapa negara Buddhis, yang terkadang mengakibatkan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan dan perubahan politik penting lainnya.

Dengan demikian, peran keyakinan terus meningkat sepanjang sejarah agama Buddha. Namun, semenjak abad ke-19, modernisme Buddhis di negara-negara seperti Sri Lanka dan Jepang (dan juga di dunia Barat) cenderung memandang rendah dan mengkritik peran keyakinan dalam agama Buddha. Keyakinan dalam agama Buddha masih memiliki peran di Asia dan negara-negara Barat pada zaman modern, tetapi dipahami dan diartikan secara berbeda, dengan nilai-nilai modern dan eklektisisme menjadi lebih penting. Di sisi lain, komunitas Buddha Dalit, khususnya gerakan Nawayana, menafsirkan konsep-konsep Buddhis melalui sudut pandang keadaan politik kaum Dalit, dan dalam gerakan tersebut terdapat ketegangan antara rasionalisme modern dengan praktik kebaktian setempat.

Peran dalam ajaran Buddha

Keyakinan diartikan sebagai kepercayaan bahwa praktik ajaran Buddha akan membuahkan hasil.[7][8] Keyakinan adalah rasa percaya dan berserah diri kepada tokoh-tokoh yang tercerahkan atau mereka yang dianggap sudah maju secara spiritual, seperti para Buddha atau bodhisatwa, atau bahkan biksu atau lama tertentu yang sangat dihormati.[7][9][10] Umat Buddha biasanya mengakui berbagai objek keyakinan, tetapi beberapa penganut secara khusus berbakti kepada satu objek keyakinan tertentu, seperti seorang Buddha tertentu.[7] Namun, agama Buddha tidak pernah memiliki satu wewenang pusat, baik itu dalam bentuk manusia maupun kitab suci. Kitab suci biasanya dijadikan sebagai panduan, dan konsensus yang berkenaan dengan praktik biasanya dibentuk melalui perdebatan dan diskusi.[11]

Berikut adalah beberapa istilah dipakai dalam agama Buddha untuk mengacu kepada keyakinan, dan istilah-istilah ini memiliki aspek kognitif maupun afektif:[8]

  • Śraddhā (Sanskerta; Pali: saddhā; Tionghoa klasik: wen-hsin) yang berarti komitmen atau kepercayaan kepada orang lain, atau bentuk ikrar atau komitmen untuk berpraktik.[7][12] Śraddhā sering kali dipandang sebagai penawar niat buruk dalam pikiran.[13][14] Lawan kata śraddhā adalah āśraddhya, yang merujuk kepada ketiadaan kemampuan untuk mengembangkan keyakinan kepada guru dan ajaran-ajarannya, sehingga tak dapat mengembangkan energi pada perjalanan spiritual.[15] Kata śraddhā berasal dari kata śrat, "memiliki keyakinan", dan dhā, "mempertahankan".[note 1] Dengan demikian, cendekiawan kajian agama Sung-bae Park menyimpulkan bahwa śraddhā berarti "mempertahankan kelangsungan kepercayaan, tetap bertekad kuat, atau menopang kepercayaan, yang berarti berpegang teguh".[17]
  • Prasāda (Sanskerta; Pali: pasāda; Tionghoa klasik: ching-hsin) yang lebih afektif ketimbang śraddhā. Istilah ini digunakan dalam konteks yang berkenaan dengan ritual dan upacara. Istilah tersebut merujuk kepada penerimaan diri secara khusyuk atas berkah dan keagungan objek bakti.[18] Kata prasāda berasal dari awalan pra dan sād, yang artinya "tenggelam, duduk", dan diartikan oleh Park sebagai "duduk dalam kejernihan dan kesejukan".[17] Dengan demikian, prasāda merujuk kepada fokus pikiran sang penganut, komitmennya, dan kualitasnya yang telah mengalami peningkatan.[19]

Keyakinan biasanya dikaitkan dengan Tiga Mestika, yang meliputi Buddha, Dharma (ajarannya), dan Saṅgha (komunitasnya). Oleh sebab itu, keyakinan sering kali menjadikan individu tertentu sebagai objeknya. Walaupun begitu, keyakinan dalam agama Buddha berbeda dengan bakti dalam agama-agama India lainnya (bhakti), karena keyakinan tersebut berhubungan dengan objek-objek impersonal seperti kerja karma dan efikasi dari pelimpahan jasa.[20] Keyakinan tampaknya berfokus pada atau bermuara pada pandangan benar atau pemahaman atas aspek-aspek utama ajaran Buddha, seperti bagaimana sistem kerja hukum karma, kebajikan, dan kelahiran kembali.[21][22][23] Terkait dengan Tiga Mestika, keyakinan berfokus pada dan bersukacita atas karakteristik Buddha, Dharma, dan Saṅgha.[24] Berkaitan dengan hukum karma, keyakinan merujuk kepada anggapan bahwa segala perbuatan memiliki dampak: perbuatan baik menghasilkan dampak baik, dan perbuatan buruk menghasilkan dampak buruk.[25] Dengan demikian, keyakinan memberikan panduan dalam menuju kehidupan kedermawanan, moralitas, dan sifat religius.[26] Keyakinan juga meliputi gagasan seperti keberadaan, ketidakkekalan dan hakikat pengondisian, dan pada akhirnya, pencerahan sempurna Buddha atau Nirwana dan metode praktik menuju Nirwana.[21][22][23] Keyakinan berarti harus percaya bahwa sudah ada orang yang telah mencapai Nirwana dan mereka dapat mengajarkan cara untuk mewujudkan hal yang sama.[27]

Sejarah

Dalam agama Buddha, perihal perkembangan pemahaman keyakinan, ada dua tahapan sejarah, yaitu tahapan agama Buddha awal dan tahapan Buddha aliran Mahāyāna yang berkembang pada periode berikutnya. Beberapa cendekiawan awal abad ke-20, seperti Louis de La Vallée-Poussin, Arthur Berriedale Keith, dan Caroline Rhys Davids, dikritik oleh para cendekiawan dari Sri Lanka karena tak membedakan dengan jelas dua tahapan tersebut.[28][29]

Buddhisme awal

Dalam teks-teks agama Buddha awal, seperti teks-teks dalam bahasa Pāli, saddhā biasanya diterjemahkan sebagai "keyakinan", tetapi dengan makna tambahan yang berbeda ketimbang istilah Inggris-nya.[30] Istilah tersebut terkadang juga diterjemahkan menjadi "kepercayaan", dalam hal kepercayaan akan doktrin.[23][31] Menurut cendekiawan John Bishop, keyakinan dalam agama Buddha awal pada dasarnya "religius tanpa nuansa teistik".[32] Keyakinan Buddha awal tidaklah menjadikan Tuhan sebagai pusat dari agama.[33] Berlawanan dengan Brahmanisme Weda, yang mendahului agama Buddha, gagasan keyakinan dalam agama Buddha lebih berkaitan dengan ajaran-ajaran yang dipelajari dan dipraktikkan, ketimbang berfokus pada dewa-dewi.[34] Hal ini bukan berarti bahwa pendekatan realitas menurut agama Buddha tak dipengaruhi oleh tradisi lain: pada saat agama Buddha berkembang, beberapa komunitas agama India sudah mengajarkan pendekatan kritis dalam memahami kebenaran.[35]

Keyakinan bukan sekadar komitmen batin atas sejumlah prinsip,[36] tetapi juga memiliki sifat afektif.[8][37] Para cendekiawan dalam agama Buddha awal membedakan antara keyakinan sebagai kebahagiaan dan keyakinan sebagai ketenangan, memperluas pikiran menuju tingkat yang lebih tinggi;[37] dan keyakinan sebagai sebuah energi yang memproduksi kepercayaan diri, wajib menghadapi cobaan dan pengendalian diri.[8][38] Karena keyakinan membantu mengurangi kebingungan, ini menginspirasi dan memberikan energi kepada penganutnya.[39]

Seorang penganut Buddha berkeyakinan kepada Tiga Mestika, yang meliputi Buddha, Dharma dan Saṅgha, serta kedisiplinan. Namun, dalam teks agama Buddha awal, keyakinan bukan berarti bermusuhan atau menyangkal keberadaan dewa-dewi lainnya. Meskipun Buddha menolak pengurbanan hewan, ia sendiri tidaklah menentang persembahan damai kepada dewa-dewi, tetapi menganggap hal tersebut kurang bermanfaat bila dibandingkan dengan persembahan amal kepada saṅgha biksu.[40][36] Oleh sebab itu, segala hal memiliki kodratnya tersendiri terkait dengan kemanfaatannya, dan perilaku moral lebih dihargai dibandingkan upacara atau ritual.[41]

Keyakinan adalah konsekuensi dari ketidakkekekalan dan pemahaman benar atas penderitaan (dukkha). Refleksi tentang penderitaan dan ketidakkekekalan menuntun para penganut merasakan takut dan agitasi (Pali: saṃvega), yang memotivasi mereka untuk mengambil perlindungan kepada Tiga Mestika dan menumbuhkan keyakinan sebagai sebuah hasil.[42] Kemudian, keyakinan pada gilirannya mengantarkan kepada beberapa kualitas mental penting lainnya sepanjang jalan menuju Nirwana, seperti sukacita, konsentrasi, dan kebijaksanaan.[43] Namun, hanya berbekal keyakinan saja tak pernah dianggap cukup untuk mencapai Nirwana.[44][45]

 
Saṅgha dideskripsikan sebagai "ladang kasih", karena umat Buddha memberikan persembahan kepada mereka sebagai pembuahan karma tertentu.[46]

Umat Buddha awam laki-laki dan perempuan yang berbudi luhur disebut upāsaka atau upāsika. Untuk menjadi umat Buddha, tak ada ritual formal yang diwajibkan.[47][48] Beberapa ayat dalam Kitab Pāli, serta para ahli tafsir pada masa berikutnya seperti Buddhaghosa, menyatakan bahwa umat awam Buddhis dapat mencapai surga hanya dengan memperkuat keyakinan mereka dan kasih sayang kepada Buddha, demikian juga dalam ayat lainnya, menyatakan bahwa keyakinan disandingkan dengan kebajikan lainnya, seperti moralitas, sebagai penyebab yang menuntun penganutnya terlahir ke surga.[49][50] Terlepas dari semua itu, keyakinan adalah bagian penting dari cara pandang umat awam Buddhis, karena keyakinan diwujudkan dalam bentuk kebiasaan bertemu dengan saṅgha, menyimak ajarannya, dan yang terpenting, memberikan dana kepada saṅgha. Saddhā dalam kehidupan awam berkaitan erat dengan dāna (kedermawanan): Pemberian tulus adalah pemberian spritual yang paling penting.[51]

Keyakinan termasuk dalam daftar kebajikan untuk umat awam, sehingga dideskripsikan sebagai kualitas progresif untuk para umat Buddha, karena umat yang baru masuk agama Buddha memiliki ciri-ciri "hijau dalam bakti".[52] Sehingga, terdapat berbagai daftar kebajikan yang mana keyakinan diikutsertakan,[53][49] dan tradisi Buddhis awal lainnya juga menekankan betapa pentingnya peranan keyakinan, seperti tradisi Sarwāstiwāda.[8] Selain itu, agama Buddha awal mendeskripsikan keyakinan sebagai kualitas berpengaruh dalam pemasuk arus, sebuah keadaan yang mendahului pencerahan.[54][55] Dalam deskripsi standar dari mereka yang meninggalkan rumah (menerima penahbisan biksu), keyakinan disebut sebagai motivasi penting. Disamping peran tersebut, beberapa pakar Indologi seperti André Bareau dan Lily De Silva meyakini bahwa agama Buddha awal tak memegang nilai yang sama dengan kepercayaan seperti dalam beberapa agama lain, seperti Kristen. Bareau berpendapat bahwa "agama Buddha tak memiliki keyakinan murni sebagai padanannya dalam agama Kristen, ... Pandangan tentang kepercayaan membuta, keyakinan absolut akan firman seorang master, secara terang-terangan berbertolak belakang dengan semangat agama Buddha awal."[56][57] Namun, penerjemah Caroline Rhys Davids tak sepakat dengan pernyataan tersebut, dengan menyatakan bahwa "keyakinan sama pentingnya bagi semua penganut agama karena itulah yang disebut sebagai penganut agama".[58][59] Indologis Richard Gombrich berpendapat bahwa agama Buddha tak menentukan percaya akan seseorang atau sesuatu sampai taraf berlawanan dengan penalaran. Selain itu, Gombrich meyakini bahwa Buddha tak berniat untuk membuat sebuah agama yang berfokus pada bakti kepada dirinya, meskipun ia mengakui bahwa bakti semacam itu telah dimulai saat Buddha masih hidup.[60][61] Gombrich menyatakan bahwa ada banyak catatan dalam naskah-naskah awal yang menjelaskan betapa pentingya pengaruh keyakinan tersebut,[62] namun ia juga berpendapat bahwa "perkembangan seremoni dan liturgi Buddhis benar-benar sebuah konsekuensi tanpa disengaja secara keseluruhan kotbah dari Buddha".[63]

Mengambil perlindungan

 
Dalam Kitab Pāli, biksu Buddha memberikan peran signifikan dalam mempromosikan dan menegakkan keyakinan di kalangan kaum awam.[64][65]

Sejak agama Buddha awal, para penganut menyatakan keyakinannya melalui mengambil perlindungan, yang terdiri dari tiga lapisan. Dalam hal ini berpusat pada otoritas Buddha sebagai sosok yang telah tercerahkan sepenuhnya, dengan menempatkan peran Buddha sebagai guru umat manusia dan para dewā (makhluk surgawi). Perlinungan ini juga mencakup para Buddha dari masa lampau, dan Buddha yang belum hadir di dunia ini. Kedua, mengambil perlindungan dengan cara menghormati kebenaran dan efikasi ajaran spiritual Buddha, yang mencakup karakteristik fenomena (Pali: saṅkhāra) seperti ketidakkekalan (Pali: anicca) fenomena, dan jalan menuju pembebasan.[66][67] Mengambil perlindungan terakhir yaitu dengan menerima komunitas para praktisi yang telah berkembang secara spiritual (saṅgha), yang kebanyakan didefinisikan sebagai komunitas monastik, selain itu juga meliputi kaum awam dan bahkan para dewā dengan anggapan bahwa mereka sudah hampir atau sepenuhnya mencapai pencerahan.[46][68] Agama Buddha awal tak mengikutsertakan elemen bodhisatwa dalam Tiga Perlindungan, karena para bodhisatwa dianggap masih berada dalam perjalanan menuju pencerahan.[69]

Teks-teks awal mendeksripsikan saṅgha sebagai "ladang kebajikan", karena penganut Buddha awal memberikan persembahan kepada mereka sehingga bisa mendatangkan karma baik.[46] Para penganut awam mendukung dan menghormati saṅgha, mereka yakin dengan cara demikian akan menghasilkan kebajikan dan membawa mereka semakin dekat dengan pencerahan.[70] Sementara itu, biksu Buddhis memberikan peran signifikan dalam meningkatkan dan mempertahankan keyakinan umat awam. Meskipun ada banyakcontoh dalam kitab suci menyebutkan perilaku baik para monastik, tetapi ada juga kasus para biksu berperilaku buruk. Kasus biksu berperilaku buruk ditanggapi dengan hati-hati sebagaimana reaksi dari para umat, hal demikian disebutkan dalam kitab suci. Saat Buddha mulai menetapkan aturan baru dalam peraturan monastik untuk menangani perilaku buruk monastiknya, Beliau menyatakan bahwa perilaku demikian hendaknya dihentikan, karena tak akan "menyakinkan umat lain" dan "umat sendiri akan menjauh". Beliau mengharapkan para biksu, biksuni dan samanera-samaneri untuk hidup bukan hanya demi memberikan manfaat untuk diri sendiri saja, tetapi juga menopang keyakinan masyarakat. Di sisi lain, tugas menginspirasi keyakinan umat bukanlah demi menyuburkan kemunafikan atau hal yang tidak sepantasnya, sebagai contohnya, monastik yang tidak menjalankan tugas sebagai monastik malahan berprofesi lain, atau memberikan oleh-oleh kepada umat awam dengan harapan untuk meminta bantuannya.[64][65]

Dengan demikian, mengambil perlindungan merupakan sebuah bentuk aspirasi untuk menjadikan Tiga Mestika sebagai pedoman inti kehidupan. Mengambil perlindungan dilakukan lewat formula singkat, seseorang menyebutkan Buddha, Dharma dan Saṅgha sebagai perlindungan.[71][68] Pada naskah-naskah Buddhis awal, mengambil perlindungan adalah sebuah pernyataan tekad untuk mengikuti petunjuk dari Buddha, tetapi bukan berarti melepaskan tanggung jawab.[67]

Secara tradisional, pernyataan iman ditunjukkan dengan pengambilan perlindungan kepada Tiga Permata dalam syair "Tiga Perlindungan" (Tisaraṇa):[72][73][74]

Melalui verifikasi

 
Stūpa Buddha di Kesariya, Bihar, India, didirikan untuk menghormati Kalāma Sutta

Keyakinan dapat menuntun para praktisi untuk memegang teguh perlindungan kepada Tiga Mestika, hal ini juga yang membukakan jalan menuju pengalaman spiritual baru yang belum pernah mereka ketahui. Ini adalah aspek bakti atau aspek mistis dari keyakinan. Namun, ada juga aspek rasional, makna perlindungan berakar pada verifikasi pribadi.[11] Dalam Kalāma Sutta, Buddha menegaskan bahwa Ia tidak setuju dengan prinsip seseorang mengikuti otoritas suci, tradisi, doktrin logika, atau demi menghormati seorang guru.[75] Pengetahuan yang datang dari sumber seperti itu berdasarkan pada kesombongan, kebencian dan delusi dan para buddhis harus menyerap pengetahuan demikian secara berimbang dan jangan percaya begitu saja. Namun, ajaran seperti itu juga perlu dipertanyakan. Mereka perlu mencari tahu apakah ajaran itu benar melalui verifikasi pribadi atas kebenaran spiritual, membedakan apa saja yang menuntun kepada kebahagiaan dan memberikan manfaat, dan apa saja yang sebaliknya.[76][77][note 2] Setelah memberikan contoh melalui pendekatan seperti itu, Buddha menyatakan bahwa praktik yang mengurangi kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin akan bermanfaat bagi para praktisi, terlepas dari apakah retribusi karma dan kelahiran kembali itu ada atau tiada.[78] Dengan demikian, pengalaman pribadi dan penilaian sangat ditekankan apabila berkenaan dengan apakah seseorang berkenan menerima Buddha dan agama Buddha. Seseorang seharusnya juga mendengarkan arahan dari para bijaksana.[49]

Dalam Canki Sutta, Buddha menekankan bahwa cara seseorang memunculkan keyakinan terdiri dari dua bentuk: keyakinan tulus yang berlandaskan fakta dan tidak keliru atau sia-sia, kosong dan palsu. Sehingga, saat seseorang menganut keyakinan tertentu, mereka tak harus memberikan pernyataan "Hanya ini yang benar, sisanya keliru," namun sebagai gantinya "menyajikan kebenaran" dengan kesadaran "Ini adalah keyakinanku".[79][77][note 3] Sehingga, sutta itu mengkritik wahyu ilahi, tradisi dan laporan lainnya, karena dianggap "keyakinan tak berdasar" dan pengertian tak lengkap dari penyerapan pengetahuan atau kebenaran spiritual.[49][80] Namun dalam Sandaka Sutta, Buddha juga mengkritik cara memahami kebenaran hanya lewat akal budi dan logika saja.[79][80] Sebagai gantinya, pengetahuan intiuitif langsung dan personal diharuskan untuk mencapai kebenaran, kemudian pengetahuan itu tak dipengaruhi oleh sikap bias.[81][82] Jadi, kepercayaan dan keyakinan saja tidak mencukupi untuk memperoleh kebenaran, walaupun berkaitan dengan spiritual, para penganut agama lain menyebutnya sebagai keyakinan. Buddha tidak setuju dengan tradisi yang menuntut kepercayaan buta terhadap kitab suci atau guru.[28][82] Dalam satu wejangan, Buddha ditanya hal apa yang menjadi landasan keabsahan ajarannya, ia menjawab bahwa ia tak menggunakan tradisi, keyakinan, dan penalaran sebagai landasan keabsahan ajarannya, tetapi cenderung menggunakan pengalaman pribadi sebagai sumber otoritasnya.[83]

 
Buddha menyatakan dalam beberapa catatan, termasuk Vimaṁsaka Sutta, bahwa para muridnya harus menyelidikan dirinya sendiri apakah ia benar-benar tercerahkan dan bertindak murni, dengan mengamatinya selama jangka panjang.[84][85]

Kesimpulannya, umat Buddha wajib memverifikasi kebenaran dan moralitas lewat pengalaman pribadi. Ini kemudian berujung pada penerimaan sementara, yang disebut "mempertahankan kebenaran". Keyakinan berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya dengan sikap terbuka atas kehendak untuk mempelajari dan berusaha, memfamiliarisasikan diri sendiri dengan ajaran. Meskipun verifikasi pribadi dari keyakinan seseorang mendalam, secara mutlak berubah dari "mempertahankan" menjadi "menemukan" kebenaran.[49][77] Proses verifikasi melibatkan berbagai pengalaman pada umumnya, selain itu juga pengalaman yoga dari pelatihan batin.[86] Selain itu, Buddha menyebutkan kriteria untuk ajarannya sendiri: Dia sendiri memiliki kualifikasi untuk mengajarkan Dharmanya karena dia sendiri telah memverifikasinya, tetapi tak mempelajarinya dari orang lain atau diperoleh dari logika.[87] Buddha menyatakan dalam beberapa wejangan, termasuk Vimaṁsaka Sutta, bahwa para muridnya harus menyelidikinya, termasuk menyelidiki Buddha, cari tahu apakah dia sudah tercerahkan atau tindak tanduknya sudah murni, dengan cara mengamatinya dalam kurun waktu panjang.[84][85] Beberapa orang yang dideskripsikan dalam kanon Pali menyebutkan bahwa ada orang yang mengamati Buddha dengan sedemikian rupa sehingga dia bisa memunculkan keyakinan kokoh.[84] Hal ini bukan berarti Buddha tidak menerima sikap penghormatan dari orang lain kepada dirinya: Buddha mengajarkan tata cara bakti bisa membantu pikiran praktisi awam menjadi bersemangat, dan membantu mereka sepanjang jalan agar bisa memperoleh kelahiran yang lebih baik dan pencerahan.[88] Oleh karena itu, bakti merupakan topik bagi praktisi serius yang berminat untuk mendalaminya.[89]

Langkah awal

Keyakinan merupakan kepercayaan kepada Buddha sebagai guru spiritual dan menerima ajaran-ajaran Buddha di tahap awal. Keyakinan dianggap bermanfaat besar bagi praktisi pemula dari ajaran Buddha.[11][38] Dalam Cula-hatthipadopama Sutta, Buddha mendeskripsikan jalan menuuju pencerahan dimulai dari memiliki keyakinan kepadanya, namun tetap mempraktikkan kebajikan, meditasi, dan kebijaksanaan, semua itu berujung pada pencerahan. Dengan demikian, keyakinan ditahap awal mendukung kepercayaan diri untuk meneruskan perjalanan menuju tujuan akhir,[90] dan untuk alasan ini pula, dalam ajaran Buddha awal, keyakinan biasanya disebutkan sebagai kualitas pertama dalam nilai kebajikan progresif.[52]

Selain saddhā, istilah lainnya yaitu pasāda, dan sinonim-sinonim terkaitnya pasanna dan pasidati, terkadang juga diterjemahkan menjadi 'keyakinan', tetapi memberi nilai yang lebih tinggi daripada saddhā. Saddhā menjadi semakin mendalam ketika seseorang semakin maju dalam perjalanan spiritualnya, dan teks-teks awal terkadang menyebutnya sebagai pasāda,[91][92][93] dan terkadang sebagai bhakti.[26] Pasāda adalah keyakinan dan kecenderungan tertarik kepada seorang guru, tetapi dibarengi oleh kejernihan batin, kedamaian hati, dan pengertian..[93] Sang murid yang berlatih mulai mengembangkan dan menstabilkan keyakinannya berlandaskan kewawasan spiritual.[38][94] Semua ini menuntun keyakinan menjadi "tak tergoyahkan".[95][96]

Dengan demikian, keyakinan saja belumlah cukup untuk mencapai keselamatan, tetap itu hanyalah langkah pertama menuju kebijaksanaan dan pencerahan..[97] Beberapa ajaran dalam agama Buddha awal menyebut keyakinan sebagai langkah awal, sementara kebijaksanaan disebutkan sebagai yang terakhir.[98][99] Pada tahap akhir jalan praktik Buddhis, untuk menuju arahat, seorang praktisi secara keseluruhan mengganti keyakinan dengan kebijaksanaan. Pada titik tersebut, arahat tak lagi mengandalkan keyakinan,[100][101][45] walaupun sudah tiba pada tahap tersebut, kadang-kadang bentuk keyakinan komplet juga pernah dijelaskan.[102] Sehingga, Buddha memuji sebagian besar muridnya karena kebijaksanaannya bukan keyakinannya. Pengecualian pada Bhant Vakkali, ia dipuji oleh buddha sebagai "Dia yang tertinggi dalam keyakinan diantara orang lain", Buddha juga mengajarkan muridnya agar fokus pada ajarannya, bukan pada sosok Buddha.[38][101][45] Tampaknya Buddha juga menegur muridnya, Bhante Ānanda melalui cara yang serupa.[103]

Dalam Kitab Pali menjelaskan beberapa pendekatan berbeda berkenaan dengan keyakinan. Saat mengembangkan keyakinan kepada seseorang atau kepada Buddha, upaya ini memberikan manfaat kecil apalagi terlalu berlebihan berkaitan dengan fitur tidak signifikan seperti tampak fisik, lalu tidak terlalu fokus pada ajaran Buddha. Pendekatan keyakinan seperti ini mengarahkan kepada perasaan sayang dan marah dan juga ada kekurangan lainnya. Hal demikian merupakan penghalang dalam menyusuri jejak Buddha dan pencapaian pencerahan, serupa dengan kasus Vakkali. Keyakinan dan bakti perlu berjalan bersama-sama dengan dibarengi dengan Ekuanimitas.[104][105][106]

Theravāda

Pada umumnya, praktik-pratik dalam aliran Theravāda serupa dengan praktik-praktik dalam Buddhisme Awal. Akan tetapi, aliran Theravāda juga secara khusus membahas tentang keyakinan dalam kitab-kitab komentarnya.

Formula

Menurut aliran Theravāda, keyakinan dipusatkan pada iman kepada kecerahan Buddha (tathāgatabodhi-saddhā) atau, secara alternatif, kepada Tiga Permata (ratanattaya-saddhā):[1][2][3][4][5]

  1. Iman kepada Buddha, yaitu meyakini para Buddha masa lalu, Buddha masa kini (Siddhattha Gotama), dan kedatangan bodhisatwa masa depan; juga pencapaian Kebuddhaan-Nya di Nibbāna.
  2. Iman kepada Dhamma, yaitu meyakini ajaran yang disampaikan oleh Buddha.
  3. Iman kepada Saṅgha, yaitu meyakini komunitas rahib yang didirikan oleh Buddha; mereka yang dianggap maju secara spiritual (ariya-saṅgha) atau komunitas konvensional yang berupaya mencapai kecerahan (sammuti-saṅgha).

Pada jenis klasifikasi di atas, iman kepada hukum karma merupakan bagian dari iman kepada Dhamma. Akan tetapi, beberapa bagian kitab suci juga secara spesifik merincikan iman kepada kepemilikan karma (kammassakatā-saddhā), yaitu meyakini bahwa semua makhluk bertanggung jawab atas perbuatan dan akibatnya masing-masing, sebagai dua poin tambahan:

  1. Iman kepada karma (kamma-saddhā), yaitu meyakini adanya perbuatan berkehendak yang secara moral dikategorikan sebagai baik atau buruk.
  2. Iman kepada buah karma (vipāka-saddhā), yaitu meyakini adanya akibat dari perbuatan berkehendak yang secara moral baik atau buruk.

Definisi

Kitab komentar untuk Abhidhamma Piṭaka milik aliran Theravāda menjelaskan definisi saddhā sebagai suatu faktor mental dalam empat batasan:[6]

  • Karakteristik (lakkhaṇa): meyakini (saddahana) atau memercayai (okappana) objeknya.
  • Fungsi (rasa): untuk menjernihkan (pasādana) hati dari kotoran-kotoran batin atau untuk melompati (pakkhandana) hal-hal sulit.
  • Manifestasi (paccupaṭṭhāna): bebas dari kotoran (akālussiya), atau keputusan/ketetapan hati (adhimutti).
  • Sebab-terdekat (padaṭṭhāna): objek yang pantas untuk memunculkan keyakinan (saddheyyavatthu), yaitu Tiga Permata, atau faktor-faktor Pengarungan Arus (sotāpattiyaṅga).

Mahāyāna

 
Buddha Gautama dengan adegan-adegan dari legenda Awadāna

Dalam periode kaisar Ashoka (abad ke-3 sampai ke-2 SM), umat Buddha banyak menitikberatkan pada keyakinan, karena Ashoka membantu mengembangkan agama Buddha sebagai agama populer untuk menyatukan kekuasaanya. Tren baru ini berujung pada peningkatan pemujaan stūpa dan bertambah banyaknya sastra berlandaskan keyakinan yaitu Awadāna.[107][108] Pada abad ke-2 SM, Buddha semakin lumrah digambarkan dalam bentuk lukisan, dan ada peralihan penekanan pada bakti emosional dalam agama India. Ini menuntun pada perspektif baru dalam agama Buddha, seperti yang dirangkum oleh Peter Harvey, seorang cendekiawan studi agama Buddha, dia menyatakan bawah "welas asih, keyakinan, dan kebijaksanaan". Perspektif tersebut membuka jalan lahirnya Aliran Mahāyāna.[109][110]

Pada umumnya, peran keyakinan dalam Mahāyāna mirip dengan Theravāda[92][111]—keyakinan merupakan bagian tak terhindarkan dari praktik Mahāyāna maupun Theravāda.[78] Bahkan dalam aliran Theravāda saat ini, yang bermula dari teks Pāli, keyakinan masih merupakan bagian penting dalam masyarakat Buddhis tradisional. Penganut aliran Theravāda memandang keyakinan kepada Tiga Mestika sebagai unsur protektif dalam kehidupan sehari-hari, khususnya saat dipadukan dengan etika Buddhis.[112] Namun, dengan kebangkitan aliran Mahāyāna, kedalaman dan rangkaian ajaran tentang keyakinan semakin intensif. Sejumlah besar bodhisatwa menjadi fokus bakti dan keyakinan, memberikan nuansa "teistik" kepada aliran Mahāyāna.[113][114] Dalam agama Buddha awal, ada beberapa sumber tulisan yang menyatakan bahwa Buddha dan makhluk tercerahkan lainnya yang memiliki alam di luar batas dunia. Kemudian, penganut Theravāda meyakini bahwa Maitreya, Buddha masa depan, menunggu mereka di surga dan secara hari demi hari mereka semakin menghormati Maitreya. Selain itu, penganut Mahāyāna membawa gagasan tersebut lebih lanjut.[115][116] Setelah Buddha mangkat, ada sebuah perasaan menyesal dari komunitas pengikut Buddha, mereka merasa Buddha sudah tiada lagi di dunia ini, dan ada keinginan untuk "bertemu" dengan Buddha (Sanskerta: darśana) dan menerima kekuatannya.[117][118] Penganut Mahāyāna memperluas pengertian Tiga Mestika dengan mengikutsertakan para Buddha yang berdiam di surga, dan yang kemudian disebut sebagai Buddha sambhogakāya ('perwujudan dari kesenangan Dharma').[118][119] Seiring dengan penekanan pada para Buddha di tanah murni, Buddha yang bermanifestasi setiap waktu dan tempat, kondisi ini membuat peranan Buddha Gautama semakin kabur dalam keyakinan Buddhis.[120][121] Buddha Tanah Murni banyak memfokuskan keyakinannya ke Buddha di alam tersebut, khususnya Buddha Amitābha.[122][123]

Dimulai dari bakti kepada para Buddha di tanah murni,[122][123] sosok-sosok bodhisatwa tingkat tinggi, yang merupakan gagasan-gagasan Mahāyāna, secara bertahap menjadi fokus dari ibadah dan kultus ekstensif.[124] Semenjak abad ke-6, penggambaran para bodhisatwa dalam ikonografi buddhis menjadi suatu hal yang lumrah,[122] seperti bodhisatwa Awalokiteśwara yang mewakili welas asih, dan Manjusri manifestasi dari kebijaksanaan.[125] Catatan tentang para bodhisatwa akan perbuatan baik mereka sering kali meliputi tindakan-tindakan dengan pengorbanan besar, dan para penulis tampaknya mengartikan catatan tersebut lebih condong pada praktik bakti ketimbang sebagai panutan.[126]

Berdasarkan itulah, pada abad ke-12 dan ke-13, agama Buddha di Jepang mulai terjadi pergeseran dari tujuan akhir pencapaian pencerahan berubah menjadi praktik yang berkaitan dengan hakikat Buddha universal dan tanah murni tempat para Buddha bersemayam.[127] Seiring dengan perkembangan sistem pemikiran Mādhyamaka, Buddha Sakyamuni tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya tokoh sejarah, dan gagasan persatuan esensial dalam seluruh makhluk hidup menjadi bagian intrinsik dari teori dan praktik Buddha.[128] Perkembangan tersebut berujung pada gerakan bakti dari agama Buddha aliran Tanah Murni, sementara dalam agama Buddha aliran Zen bertujuan menemukan Hakikat Buddha dalam dirinya sendiri.[129]

Istilah untuk keyakinan yang umum dipakai dalam Buddha Mahāyāna adalah Xin (Tionghoa) dan shin (Jepang): istilah-istilah tersebut dapat merujuk kepada rasa percaya, selain juga penerimaan tanpa dipertanyakan atas objek bakti seseorang. Istilah itu juga dipakai tradisi Chan atau Zen, yang mana berkaitan dengan keyakinan terhadap Hakikat Buddha (tathāgatagarbha) yang terbenam dalam pikiran seseorang, dan Hakikat Buddha akan muncul ketika seseorang berhasil menghentikan kebiasaan-kebiasaan pikiran.[18][130][8] Sehingga, aliran Chan atau Zen menganggap keyakinan sebagai salah satu dari Tiga Esensial dalam praktik meditasi, bersama dengan ketekunan dan keraguan.[131][132] Di sisi lain, aliran Tanah Murni membedakan antara aspek pikiran yaitu kepercayaan, dan aspek yang disadarkan oleh praktik bakti dan kerendahan hati kepada Buddha Amitābha, yang disebut sebagai xinji (Tionghoa) atau shinjin (Jepang); dan sukacita dan keyakinan karena dapat bertemu dengan Buddha Amitābha, yang disebut sebagai xinfa (Tionghoa) atau shingyō (Jepang).[130][133][134] Tradisi Tanah Murni mendeskripsikan bahwa bangkitnya keyakinan merupakan pengalaman transendental melampaui waktu, mirip dengan keadaan yang mendahului pencerahan.[135] Ajaran dari Master Tanah Murni yaitu Shinran menyatakan bahwa pengalaman keyakinan itu disebut "Cahaya Terang" (Jepang: kōmyō), melibatkan perasaan sepenuh hati pada tekad dan kebijaksanaan Buddha Amitabha yang mampu menyelamatkannya, juga mengandalkan sepenuhnya kepada Amitabha karena para penganut sama sekali tidak berdaya.[136][137]

Terlepas dari betapa pentingnya perkembangan yang terjadi pada kemunculan Buddha Mahāyāna, jika disebutkan bahwa tiada pergerakan tentang bakti sebelum Mahayana maka itu pernyataan terlalu dangkal. Bakti telah ditemukan dalam teks dan praktik yang bersamaan dengan periode ketika teks Abhidhamma mulai dikompilasi, bahkan sebelum kemunculan Mahāyāna.[138] Lebih jauh lagi, tradisi Theravada dikemudian hari mulai menekankan pada hagiografi tentang Buddha dan bodhisatwa lebih banyak lagi, dan banyak catatan menyebutkan bahwa Buddha memainkan peranan utama dalam pencerahan banyak orang.[139]

Aliran Tiantai, Tendai, dan Nichiren

 
Fragmen abad kelima dari manuskrip Sutra Teratai Sansekerta dari Rouran, Wei Utara, yang diangkat dari Hetian, provinsi Xinjiang. Disimpan di Museum Mausoleum Raja Nanyue.

Sūtra Teratai merupakan satu dari sekian teks (Sanskerta: sūtra) yang disanjung tinggi di Asia Tenggara,[140] teks ini banyak mengetengahkan konsep ideal keyakinan.[141] Di abad pertengahan Tiongkok dan Jepang, ada banyak legenda ajaib yang berkenaan dengan Sutra Teratai, legenda tersebut juga yang membuat sutra ini semakin populer. Para cendekiawan berpendapat bahwa dalam sutra ini menekankan pada cara pandang bahwa Buddha sebagai seorang ayah, cara pandang demikianlah yang membantu sutra tersebut menjadi populer.[142]

Sūtra Teratai ditulis pada abad pertama dan kedua Masehi. Di bagian dari "pengkultusan dari buku itu", penganut Mahāyāna menggantikan bagian pemujaan relik dan stupa menjadi pemujaan kepada Dharma sebagai perwakilan dari sutra. Mereka menyanjung dan memuja Sutra Teratai sebagaimana mereka memuja Sutra Mahāyāna lainnya, setara dengan pemujaan kepada stupa sebelum lahirnya aliran Mahāyāna. Di antara semua sutra, mereka paling menyanjung tinggi Sutra Teratai. Sutra Teratai menjelaskan tentang berbagai bentuk bakti seperti menerima dan menjaga, membaca, melafalkan, mengajarkan dan mentranskripkan, dan juga berbagai cara untuk menyanjung tinggi sutra itu. Dalam beberapa salinan, mereka menggambarkan setiap huruf laksana Buddha, lalu ditempatkan di dalam stupa.[143][144][145]

Walaupun implikasi teoretis dari Sutra Teratai dipengaruhi oleh cendekiawan tradisional, praktik yang berkenaan dengan bakti dalam sutra tersebut semakin memberikan pengaruh kepada sutra itu sendiri.[146] Aliran Tiantai Tiongkok (abad ke-6) dan bentuk Jepang-nya pada masa berikutnya adalah Tendai, semakin mengedepankan pemujaan terhadap Sūtra Teratai, dengan memadukan bakti terhadap Buddha Amitābha.[147][148] Aliran-aliran tesebut meyakini bahwa sūtra tersebut merupakan ajaran tertinggi di antara semua ajaran Buddha, dan menuntun menuju pencerahan dalam kehidupan saat ini.[149] Beberapa aliran dari periode Kamakura (abad ke-12 sampai ke-14) bahkan menganggap Sutra Teratai merupakan satu-satunya kendaraan atau jalur Dharma (Ekayāna), lalu Nichiren (1222-1282) menyakini bahwa hanya praktik ini yang bisa menuntun masyarakat ke Tanah Buddha ideal.[150]

Nichiren menyampaikan bahwa keyakinan dalam dan pemujaan sutra atas alasan tersebut di atas, ia mengkritik keras aliran dan tipe pemujaan berbeda.[151][152] Ia menganggap sutra itu sebagai prediksi atas misi dari pergerakannya,[153][154] Nichiren yakin bahwa melalui bakti terhadap sutra itu maka Tanah Murni di bumi bisa direalisasikan, sebuah tanah yang merupakan penggambaran dari pencerahan ideal dalam aliran Māhayāna.[155][156] Ia mengajarkan bahwa pemujaan kepada sutra ini akan menuntun seorang praktisi bermanunggal dengan Buddha primordial, ia menyakini bahwa Buddha Primordial merupakan manifestasi dari semua Buddha.[146] Nichiren menyatakan bahwa melalui pelantunan judul sutra itu hanya berlandaskan "keyakinan" saja.[157] Walaupun memiliki kekuatan bakti kuat kepada Sutra Teratai, Nichiren tidak begitu menekankan pada studi atas sutra itu, ia percaya bahwa hanya melafalkan judul sutra itu saja merupakan cara praktik paling efektif bagi banya orang yang hidup di "masa kemunduran".[158] (Lihat § Buddhisme Tanah Murni, di bawah.)

Saat ini, lebih dari empat puluh organisasi meneruskan tradisi Nichiren, beberapa diantaranya adalah organisasi awam.[159]

Aliran Tanah Murni

 
Buddha Amitābha

Tampaknya sutra dari aliran "Tanah Murni" yang menjadi keyakinan dan bakti menjadi hal paling penting tertinggi dalam konteks soteriologi. Ketika bakti kepada emanasi para Buddha di tanah murni mulai berkembang dalam Mahāyāna, gagasan yang berkembang menyatakan bahwa para Buddha tersebut dapat menciptakan 'Setra Buddha' Sanskerta: buddha-kṣetra), atau Tanah-Tanah Murni (Sanskerta: sukhāwatī).[110] Dalam Aliran Tanah Murni, ini adalah keyakinan seseorang dalam welas kasih dari Buddha Amitābha,[160] didukung dengan kombinasi permintaan tulus untuk memasuki Tanah Murni-Nya yang dijelaskan bahwa akan merealisasi pembebasan di sana. Aliran Tanah Murni tersebut mempersiapkan para penganutnya untuk merealisasi pencerahan dan Nirwana.[161][162] Aliran Tanah Murni memiliki beberapa perbedaan dengan agama Buddha pada umumnya pada masa itu, yang mana pada zaman itu pada umumnya agama Buddha mengandalkan upaya pribadi dan teknik pengendalian diri.[163]

Penganut Mahāyāna menganggap Amitābha (Sanskerta, 'terang tanpa batas') sebagai salah satu emanasi Buddha.[110][164] Sūtra Sukhāvatīvyūha Panjang mendeskripsikan Buddha Amitābha sebagai seorang biksu yang berpraktik di bawah bimbingan seorang Buddha pada masa sebelumnya, berkomitmen untuk menciptakan sebuah area melalui kekuatan spiritualnya. Melalui area ideal tersebut, Amitabha akan dengan mudah menuntun banyak makhluk merealisasikan pencerahan final.[165] Dengan demikian Ia bertekad seketika mencapai pencerahan sebagai seorang Buddha, melalui penjapaan namanya saja akan cukup untuk terlahir ke Tanah Murni itu.[166] Praktik bakti kepada Amitabha tersebar di Jepang, Korea, Tiongkok, dan Tibet, yang mana tradisi ini awalnya berkembang di India pada permulaan Era Masehi.[164][167] Inti dari Aliran Tanah Murni adalah gagasan bahwa manusia masa sekarang hidup dalam Zaman Kemunduran Dharma (Tionghoa: mofa, Jepang: mappō), tahap akhir dari periode Buddha saat ini.[161][162] Umat Buddha penganut Aliran Tanah Murni meyakini bahwa pada periode ini, kemampuan rata-rata orang sangat terbatas dalam meraih pembebasan. Mereka perlu mengandalkan kekuatan eksternal (Buddha Amitābha) untuk mencapai pembebasan, dan menunda perealisasian Nirwana pada kehidupan lain (yaitu merealisasi Nirwana pada kelahiran kembali ke Tanah Murni).[161][162] Kepercayaan serupa ini terjadi barangkali disebabkan oleh kekerasan, konflik sipil, kelaparan, kebakaran dan kehancuran institusi monastik.[168] Namun, gagasan tentang mengandalkan kekuatan ekstenal bisa saja juga merupakan konsekuensi dari ajaran Mahāyāna tentang hakikat Buddha, yang mana konsep tersebut membedakan antara yang belum tercerahkan dan pencapaian Buddha yang lebih tinggi.[169]

 
Lukisan pendeta dan penulis Tionghoa Shandao

Aliran Tanah Murni berdiri sebagai sebuah institusi oleh Master Huiyuan (334–416 Masehi) di Gunung Lu dengan pendirian Sekte Teratai Putih.[118] Shandao (613–681) mulai menekankan pada penjapaan mantra-mantra untuk menyanjung Buddha Amitābha (Tionghoa: nianfo; Jepang: nembutsu), dipadukan dengan beberapa praktik lainnya.[170][135] Tampaknya sejak awal, aliran ini sudah menimbulkan paradoks dalam keyakinan terhadap Tanah Murni, dua gagasan itu dibabarkan secara simultan: di satu sisi, para master dari aliran Tanah Murni mengajarkan bahwa para bodhisatwa yang menciptakan Tanah Murni-nya sendiri merupakan contoh dari upaya mereka sendiri dalam menggunakan jasa kebajikan sebagai energi untuk menciptakan Tanah Murni, menginspirasi pengikutnya untuk meneladani contoh itu. Di sisi lain, para praktisi diajarkan hanya perlu membangkitkan bakti kepada para Buddha di Tanah Murni, utamanya Amitābha, yang akan datang menyelamatkan mereka, gagasan inilah yang banyak diikuti.[171] Gagasan yang kedua yang berhasil menyebar di Jepang. Ternyata di Jepang juga banyak perdebatan besar tentang penekanan seperti apa yang diberikan kepada upaya-upaya aktif dari penganut di satu sisi, dan sikap pasif terhadap Buddha Amitābha dan tekadnya di sisi lain.[172][173][note 4]

Aliran Tanah Murni sekarang masih menjadi salah satu aliran paling populer di Asia Timur, dan dipraktikkan oleh sebagian besar biksu Asia Timur.[175][176][177] Pada 1990an, generasi lama dari masyarakat Tiongkok masih memakai mantra Amitābha dalam salam sehari-hari.[178]

Jepang

Cendekiawan aliran Tendai, Master Genshin (942–1017), pendeta Tendai Hōnen (1133–1212) dan muridnya, Shinran (1173–1262) menerapkan ajaran Shandao di Jepang, membentuk aliran Tanah Murni sebagai aliran terpisah untuk pertama kalinya.[179][180][168] Mereka meyakini dan mengajarkan bahwa mendatas ulang nembutsu dengan penuh kewawasan (mindfully) akan mendorong seseorang masuk ke Tanah Murni Barat.[181][182] Meskipun Hōnen awalnya menyatakan bahwa menjapa mantra itu berulang-ulang akan membuat keselamatannya semakin pasti, Kemudian Shinran menyatakan bahkan hanya satu kalimat saja sudah cukup bisa menyelamatkan seseorang (Jepang: ichinengi).[note 5] Repetisi berikutnya akan menjadi ekspresi penghormatan kepada Buddha Amitābha, yang juga dilakukan untuk rutinitas dan praktik spiritual lainnya. Pengertian mendalam tentang ajaran Buddha, menerapkan etika dan meditasi tidak dibutuhkan, demikian kesimpulan Shinran,[184][185] kadang praktik sejenis meditasi dianggap kontraproduktif dengan praktik mengandalkan Buddha Amitābha.[186]

Konsep keyakinan yang diadopsi oleh Shinran berasal dari Shandao:[187] mula-mula, kepercayaan tulus pada sosok Buddha Amitābha; kedua, kepercayaan mendalam atas tekad Buddha Amitābha, dan menyadari bahwa kemampuan diri sendiri yang masih lemah, dan terakhir, keinginan kuat untuk mendedikasikan tumpukan kebajikan dari berbuat kebajikan agar bisa terlahir ke Tanah Murni yang merupakan tempat Amitābha Buddha bersemayam. Tiga kepercayaan itu juga dikenal sebagai 'hati tanpa bentuk' (Jepang: isshin).[188][189] Lebih jauh lagi, Shinran mengajarkan bahwa dengan membangkitkan keyakinan penuh seperti itu membuat seseorang setara dengan Maitreya (Buddha akan datang), karena sudah bisa dipastikan bahwa pencerahan yang akan mereka cara sudah tidak bisa mundur lagi.[190][191]

Shinran menganut ajaran Hōnen sampai titik ekstrem: dia yakin bahwa dirinya akan jatuh ke dalam neraka tanpa bantuan Buddha Amitābha, bakti dan kepercayaan akan tekadnya Buddha Amitābha adalah jalan tunggal menuju pembebasan.[192][193] Walaupun Hōnen juga pada umumnya menitikberatkan praktik bakti kepada Buddha Amitābha, ia tak melakukannya secara eksklusif berlebihan: sementara itu, Shinran hanya mengajarkan bakti tunggal kepada Buddha Amitābha.[194] Kemudian, Buddha Tanah Murni pimpinan Shinran berfokus pada serangkaian praktik tertentu, kontras dengan beberapa praktik aliran Tendai. Karakteristik agama Buddha di Jepang pada periode tersebut merupakan kondisi selektif dari keyakinan: para guru Tanah Murni Jepang seperti Shinran mengajarkan bahwa Tanah Murni adalah satu-satunya bentuk agama Buddha yang merupakan jalan yang benar; bentuk agama Buddha lainnya dikritik karena tak efektif untuk Zaman Kemunduran Dharma. (Kelanjutan dari 'selektif agama Buddha', Jepang:senchaku bukkyō, juga berdampak pada aliran Nichiren.[195][196]) Ketiga, walaupun pada perkembangan awal agama Buddha menitikberatkan pada pelepasan sang aku yang tidak nyata melalui mempraktikkan Dharma, pada aliran Tanah Murni berikutnya diperdalam lagi melalui pernyataan bahwa setiap manusia perlu meletakkan semua "kekuatan diri" dan mengizinkan kekuatan penyembuhan Amitābha agar mereka bisa mencapai pembebasan.[197][198] Kekuatan ini bahkan diyakini melampaui hukum karma. Selain itu, meskipun Honen mengajarkan bahwa keyakinan dapat dibangun dengan praktik nembutsu, Shinran menyatakan bahwa keyakinan dibutuhkan sebagai kebutuhan awal, dan tak dapat dibangun melalui praktik.[199] Karakteristik keempat dari gerakan tersebut adalah hakikat demokratisnya:[168][179] dalam beberapa pasal, Shinran menyatakan bahwa orang yang "jahat" memiliki banyak kesempatan untuk mencapai Tanah Murni sebagai orang yang "baik", sebuah gagasan yang mirip dengan konsep "keselamatan pendosa" dari agama Kristen.[200][note 6]

Ordo-ordo Buddhis lama sangat menentang gerakan tersebut, karena memulai sebuah aliran baru, menyingkirkan ajaran-ajaran Buddha, dan memelintir Buddha Gautama. Saat kaisar merasa bahwa ada beberapa monastik Honen bertindak tak pantas, Hōnen dicekal pada sebuah provinsi terpencil selama empat tahun.[202][203][204] Saat Shinran mulai mengajarkan tentang ketidaksetujuannya terhadap praktik selibat, menyatakan bahwa ini mengindikasikan kurangnya kepercayaan terhadap Buddha Amitābha, ia juga dicekal.[202][205] Selain Shinran, para pendeta lain yang menunjung keyakinan dalam tafsiran-tafsiran mereka juga dicekal, karena ajaran mereka sering kali tak diterima otoritas aristokrat yang berkuasa.[173]

Pada abad ke-15, Rennyo (1415–99), seorang murid dari Shinran, pendiri kedua dari aliran Jōdo Shinshu pimpinan Shinran, berniat untuk mereformasi aliran tersebut. Ia menentang gagasan Shinran bahwa moralitas tak dibutuhkan untuk memasuki Tanah Murni dan bertemu dengan Buddha Amitābha. Ia meyakini bahwa moralitas harus bergandengan tangan dengan keyakinan, dan merupakan cara untuk mengekspresikan rasa terima kasih mendalam kepada Amitābha.[206][207] Jōdo Shinshu masih menjadi sekte Buddha terbesar dan paling populer di Jepang pada saat ini,[208][209][210] yang hadir sebagai tradisi Nishi Hongwanji dan Higashi Hongwanji.[211][212]

Aliran Zen

 
Lukisan Dōgen, seorang guru Zen Jepang

Seperti Jōdo Shinshu, beberapa aliran Zen bermunculan sebagai reaksi atas aliran Tendai. Sebagaimana aliran Tanah Murni, keyakinan juga memainkan peran dalam aliran tersebut, terutama dalam Sōtō Zen. Bentuk Zen tersebut, yang juga disebut sebagai "Zen petani" karena popularitasnya di kalangan pertanian, dikembangkan oleh Dōgen (1200–53). Selain berfokus pada praktik meditasi yang umum dalam aliran Zen, Dōgen memimpin kebangkitan peminatan dalam kajian sūtra-sūtra, apa pun yang ia ajarkan akan menginspirasi pemahaman yang berlandaskan keyakinan. Terinspirasi oleh aliran Chan dari Tiongkok, Dōgen berniat kembali ke kehidupan yang sederhana seperti teladan yang dilakoni oleh Buddha dalam sūtra-sūtra. Ia juga meyakini bahwa meditasi duduk bukanlah satu-satunya jalan menuju pencerahan, tetapi juga cara untuk mewujudkan hakikat Buddha dari internal. Para Praktisi harus memiliki keyakinan bahwa hakikat Buddha sudah ada dalam masing-masing orang, berdasarkan pada yang diajarkan oleh Dōgen meskipun dia tidak meyakininya bahwa hakikat Buddha sebagai jiwa yang kekal.[213] Dōgen meyakini bahwa pencerahan itu memungkinkan dalam kehidupan ini—bahkan kehidupan sekuler—dan ia tak meyakini gagasan Zaman Kemerosotan Dharma.[214]

Awalokiteśwara

 
Patung Awalokiteśwara, dengan lima Buddha Kelestial di tepi atas luar

Dalam agama Buddha yang menyebar di Asia Timur, terdapat fokus kuat terhadap pemujaan Bodhisatwa Awalokiteśwara. Pemujaannya bermula di perbatasan utara India, tetapi ia dihormati karena sifat welas asihnya di beberapa negara, seperti Tiongkok, Tibet, Jepang, Sri Lanka dan belahan Asia Tenggara lainnya, dan berbagai tingkat masyarakat.[215][216]

Teks yang disebut Sūtra Awalokiteśwara menyatakan bahwa Awalokiteśwara akan membantu siapapun yang menyebut namanya dengan penuh keyakinan, memenuhi berbagai jenis harapan, dan membangkitkan sifat welas asih Buddha setiap orang.[217][218] Awalokiteśwara berkaitan erat dengan Buddha Amitābha, saat ia diyakini berada di Tanah Murni yang sama, dan akan datang untuk menyelamatkan mereka yang menyebut nama Buddha Amitābha.[219][220] Berfokus pada manfaat keduniawian dan keselamatan, bakti kepada Awalokiteśwara dipromosikan melalui penyebaran Sūtra Teratai, terdapat satu bab tentang Awalokiteśwara,[146][220][221] serta melalui sūtra-sūtra Kesempurnaan Kebijaksanaan.[222] Para pengikut Awalokiteśwara sering kali menggambarkannya sebagai seorang perempuan, dan dalam bentuk perempuannya, ia dikenal sebagai Guanyin di Tiongkok, bermula dari sebuah asosiasi dengan Istadewata Tārā.[217][218][223] Saat ini, Awalokiteśwara dan bentuk perempuannya Guanyin adalah salah satu figur yang paling banyak digambarkan dalam agama Buddha, dan Guanyin juga dipuja oleh penganut Taoisme.[224]

Perkembangan sejarah lain

Dewa-dewi

Dalam agama Buddha, para Buddha dan makhluk tercerahkan merupakan fokus utama penghormatan, berbeda dengan dewa-dewi dalam agama lain. Walaupun demikian, agama Buddha juga mengakui keberadaan dewa-dewi, para Buddha dan makhluk tercerahkan telah terbebas dari samsara (siklus kelahiran dan kematian) oleh karena itulah dianggap berbeda dengan dewa-dewi. Hal demikian bukan berarti para dewa-dewi tidak eksis dalam agama Buddha. Namun, pemujaan para dewa-dewi sering dikaitkan dengan ketakhayulan atau bentuk upaya mahir dalam membimbing mereka yang belum tercerahkan agar memiliki kehidupan lebih baik, dan tak lebih dari itu.[225]

Dalam sejarah penyebaran agama Buddha, hubungan antara agama Buddha dan dewa-dewi lokal adalah aspek kesuksesan yang berpengaruh, tetapi umat Buddha sering kali menolaknya karena gerakan lokal yang bersifat ortodoks. Selain itu, para cendekiawan kurang menaruh perhatian kepada peran dewa-dewi lokal, karena hal tersebut tak disoroti oleh disiplin akademik standar manapun yang mengkaji agama Buddha, seperti kajian Buddha atau antropologi. Meskipun demikian, dewa-dewi memiliki peran dalam kosmologi Buddhis dari masa-masa awal. Namun, tradisi-tradisi Buddhis memandang hal tersebut sebagai bawahan Buddha, dan mengaitkan beberapa cerita dari dewa-dewi tersebut dengan ajaran Buddha dan bahkan menjadi pelindung Buddha. Ketika para guru besar Buddhis mengadopsi kosmologi yang sama, selain menempatkan Buddha di bagian atas sistem tersebut, kosmologi Buddhis mulai berkembang.[226][227] Bagian dari proses tersebut menggambarkan dewa-dewi tersebut secara kasar dan kacau berantakan, karena bertolak belakang dengan prinsip agama Buddha dan para praktisinya—ini mendekati kebenaran, karena para misionaris Buddhis sering kali berasal dari budaya tanpa kekerasan dan lebih tertata rapi. Dengan demikian, dewa-dewi seperti ular (nāga), dewa-dewi mirip burung dan makhluk halus jahat yang sebelumnya menjadi fokus pemujaan-pemujaan pra-Buddhis menjadi pelindung ajaran Buddha.[228] Proses adopsi para dewa-dewi menjadi bagian dari agama Buddha tampaknya terjadi ketika pada umat Buddha atau para biksu tidak sepenuhnya meninggalkan kepercayaan terdahulunya ketika memeluk agama Buddha.[229] Ada suatu masa ketika agama Buddha harus bersaingan dengan pemujaan nāga, kejadian itu masih bisa ditemukan dalam kitab Pali dan beberapa budaya tradisional masyarakat Buddhis, tidak heran jika pemujaan itu diadopsi ke dalam agama Buddha.[230]

Di beberapa negara buddhis seperti Jepang, muncul beberapa perspektif tentang manusia di muka bumi ini merupakan mikrokosmos dari makrokosmik ranah para Buddha. Hal demikian mengizinkan tolerasi lebih lebar bagi tradisi lokal dan kepercayaan leluhur, yang mana tradisi tersebut berkaitan dengan makrokosmos tersebut, oleh karena itulah dianggap bagian dari agama Buddha.[130] Semua perkembangan tersebut membuat agama Buddha memasukkan beberapa dewa-dewi ke dalam sistem keyakinannya, selain setiap dewa diberi tempat dan peran yang merupakan bawahan dari Buddha.[231][232] Bahkan secara eksklusif, Jōdo Shinshu tak menyingkirkan pemujaan dewa-dewi Shinto yang dikenal dengan kami, meskipun aliran tersebut tak mengizinkan pemujaan tersebut.[233] Lebih jauh lagi, banyak ritual di beberapa negara Buddhis dari masa pra-Buddhis juga mendapat tugas selain biksu. Tugas khusus tersebut biasanya dilakukan oleh umat awam, mereka yang menunaikan fungsi tersebut disampaing menunaikan tugas sebagai umat perumah tangga.[234][67]

Agama Buddha tak hanya memasukkan dewa-dewi ke dalam agama, tetapi juga mengadaptasi ajaran-ajarannya sendiri. Menurut cendekiawan kajian agama Donald Swearer, para bodhisatwa, pemujaan relik dan hagiografi para guru Buddhis adalah cara dari agama Buddha untuk mengadaptasi dewa-dewi pra-Buddhis dan kepercayaan animistik, dengan menyelaraskannya ke dalam sistem pemikiran Buddhis. Gerakan-gerakan Buddhis Asia Timur seperti Teratai Putih Tiongkok adalah transformasi dari kepercayaan animistik sejenis itu. Transformasi semacam itu dari kepercayaan pra-Buddhis juga menjelaskan popularitas gerakan-gerakan seperti aliran Tanah Murni Jepang di bawah Hōnen dan Shinran, bahkan meskipun dalam ajaran-ajaran mereka, mereka menentang animisme.[235]

Milenarianisme

Agama Buddha adalah bentuk terkuat dari milenarianisme non-barat.[236] Dalam beberapa tradisi Buddhis ada konsep periode waktu dunia akan berakhir. Konsep figur milenarian yang timbul di dunia pada zaman apokaliptik tersebar dalam beberapa tradisi Buddhis. Dalam agama Buddha, perkembangan dan keruntuhan dunia ini diyakini terjadi dalam siklus-siklus, dan periode kehancuran diyakini berakhir dengan kebangkitan cakrawartin dan pada akhirnya, kedatangan Buddha masa depan yang akan memulai periode kemakmuran baru. Bakti kepada figur Buddha mesianik semacam itu telah menjadi bagian dari hampir setiap tradisi Buddhis.[237] Gerakan milenarian biasanya adalah bentuk kekhasan budaya dari budaya dominan, berseberangan dengan "upaya untuk memegang akal budi dan logika daripada keyakinan", menurut ilmuwan politik, William Miles.[238]

Tradisi-tradisi Asia Timur secara khusus mengasosiasikan berakhirnya dunia ini dengan kedatangan Buddha masa depan, yakni Maitreya. Teks-teks Pāli awal hanya secara singkat menyebutkannya, tetapi Maitreya banyak disebutkan dalam tradisi-tradisi Sanskerta yang berkembang belakangan seperti Mahāsāṃghika. Tiongkok, Myanmar, dan Thailand, menghormati Maitreya sebagai bagian dari gerakan-gerakan milenarian, dan mereka meyakini bahwa Buddha Maitreya akan hadir pada masa-masa penderitaan dan krisis, untuk mengantarkan mereka ke era kebahagiaan yang baru.[237][239] Dari abad ke-14, sektarianisme Teratai Putih berkembang di Tiongkok, yang mencakup keyakinan akan kedatangan Maitreya pada zaman apokalips.[240] Para penganut sekte Teratai Putih mempercayai bahwa keyakinan mereka akan ajaran-ajaran yang benar akan menyelamatkan mereka ketika era dunia baru.[241] Kepercayaan milenarianis Teratai Putih akan menunjang persisten dan selamat sepanjang jalan menuju abad ke-19, saat Tiongkok mengaitkan zaman Maitreya dengan revolusi politik. Namun, abad ke-19 tak menjadi abad pertama yang mana kepercayaan milenarian menimbulkan perubahan politik: pada sebagian besar sejarah Tiongkok, keyakinan dan pemujaan terhadap Buddha Maitreya sering kali menyulut pemberontakan untuk mengubah masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, untuk menunggu Maitreya.[242][243] Beberapa pemberontakan tersebut berujung pada revolusi-revolusi berpengaruh dan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan.[236] Meskipun demikian, keyakinan akan kedatangan era baru Maitreya tak sekadar propaganda politik untuk menyulut pemberontakan, tetapi "mengakar dalam kehidupan pemujaan yang ada secara berkelanjutan" menurut cendekiawan kajian Tiongkok Daniel Overmyer.[244]

Di Jepang, tren-tren milenarian dapat ditemukan dalam gagasan Zaman Kemerosotan Dharma yang banyak berpengaruh dalam aliran Nichiren. Namun, bentuk-bentuk milenarianisme yang lebih kokoh berkembang dari abad ke-19, dengan kebangkitan agama-agama baru.[245]

Perkembangan modern

Modernisme Buddhis

Meskipun pada zaman pra-modern, beberapa aliran agama Buddha tidak terlalu menekankan pada sisi keyakinan dalam praktik,[246] peran keyakinan benar-benar baru dikritik secara besar-besaran pada zaman modern. Pada abad ke-18, Abad Pencerahan, para intelektual barat memandang agama sebagai kerabat budaya, berseberangan dengan kebenaran akal budi tunggal. Pada akhir abad ke-19, pandangan tentang agama tersebut menunjukkan bagaimana dunia Barat merespons agama Buddha. Para penulis Barat seperti Edwin Arnold mulai menghadirkan agama Buddha sebagai jawaban untuk kontradiksi antara sains dan agama, karena agama rasional bukanlah budaya. Saat sains barat dan rasionalisme menyebar ke Asia, para intelektual Asia seperti di Sri Lanka mengembangkan gagasan serupa.[247] Karena ancaman pemerintah kolonial dan agama Kristen, dan kebangkitan kelas menengah perkotaan, pada akhir abad ke-19, agama Buddha di Sri Lanka mulai berubah. Dideskripsikan oleh para cendekiawan saat ini sebagai "modernisme Buddhis" atau "Buddhisme protestan", masyarakat Barat dan Sri Lanka bersama-sama yang berasal dari didikan Inggris mengadvokasikan agama Buddha sebagai filsafat rasional, bebas dari keyakinan dan pemberhalaan buta, menyanjung sains dan gagasan modern.[248][249][250] Mereka memandang praktik tradisional seperti pemujaan relik dan kegiatan bakti lainnya sebagai kesalahan dari sebuah gagasan, bentuk rasional dari agama Buddha,[251][252] sementara itu mengasimilasikan nilai-nilai Victorian dan nilai-nilai modern lainnya dan menyebut mereka sebagai Buddhis tradisional, sering kali tidak mengetahui dari mana asal-usulnya tradisi itu.[253]

 
Daisetsu Teitarō Suzuki, difoto oleh Shigeru Tamura

Di Jepang, dari zaman Meiji, Jepang sangat menyerang agama Buddha sebagai sistem keyakinan asing dan takhayul. Dalam menanggapinya, aliran-aliran Buddha seperti Zen mengembangkan sebuah gerakan yang disebut "agam Buddha Baru" (Jepang: shin bukkyo), yang mengedepankan rasionalisme, modernisme, dan gagasan keprajuritan.[254] Masih di agama Buddha Jepang, pada abad ke-20, tanggapan kritikal terhadap agama Buddha tradisional berkembang, yang dipimpin oleh dua akademisi Hakamaya Noriaki dan Matsumoto Shirō, disebut Buddhisme Kritikal. Aliran pemikiran Noriaki dan Shirō mengkritik gagasan agama Buddha Tiongkok dan Jepang karena merendahkan pemikiran kritis, mempromosikan kepercayaan buta dan kurang mendukung perkembangan masyarakat. Namun, cendekiawan kajian Asia Timur Peter Gregory menyatakan bahwa upaya Buddhis Kritikal untuk menemukan agama Buddha murni tanpa campur tangan secara ironi diikuti dengan kritikal terhadap esensialisme yang sangat sama.[255][256] Cendekiawan lainnya juga menyatakan argumen serupa. Agama Buddha Kritikal mengkritik bahwa kepercayaan membabi buta dan kepercayaan akan hakikat Buddha, namun tidak ada tempat bagi keyakinan: Keyakinan buddhis sebagaimana yang dinyatakan oleh Noriaki adalah kapasitas kritital tanpa kompromi untuk membedakan antara agama Buddha benar dan yang keliru, dan komitmen pada agama Buddha yang benar. Noriaki mengontraskan keyakinan dengan gagasan harmoni Jepang (wa), yang ia percaya bisa saling bergandengan tangan dengan penerimaan non kritikal dari ideal non Buddhis, termasuk kekerasan..[257][258]

Walaupun tren modernisasi di Asia semakin merebak, para cendekiawan juga menemukan bahwa rasionalisme dan kemunculan kembali ajaran dan praktik religius pra modern semakin menurun. Dari tahun 1980an dan setelah itu, mereka juga menemukan bahwa agama Buddha Sri Lanka yaitu sisi bakti religius, praktik magis, memuja dewa-dewi demikian juga kebingungan moralitas telah merebak kemana-mana, sebagai efek dari agama Buddha Protestan menjadi semakin lemah. Richard Gombrich dan antropolog Gananath Obeyesekere telah menyebutkan istilah Agama Buddha pasca-protestan untuk mendeskripsikan tren tersebut.[259][260][261]

Buddhisme abad kedua puluh di dunia Barat

 
Bhikkhu Bodhi

Melalui penyebaran agama Buddha di dunia Barat pada abad ke-20, praktik-praktik kebaktian masih memainkan peran penting di kalangan komunitas etnis Asia, namun tidak begitu berperan dalam komunitas Barat yang "berpindah agama". Pengaruh modernisme Buddhis juga terasa di dunia Barat, ada organisasi-organisasi yang dipimpin oleh awam sering kali menawarkan kursus-kursus meditasi tanpa ada kaitan dengan bakti. Para penulis seperti D. T. Suzuki mendeskripsikan meditasi sebagai praktik trans-kultural dan non-relijius, yang banyak diterapkan di kalangan dunia Barat.[262][note 7] Dengan demikian, di dunia Barat, meditasi Buddhis sekuler lebih diutamakan ketimbang dalam komunitas Buddhis tradisional, dan tanpa ada kaitan dengan keyakinan atau bakti.[263][264] Seperti di Asia modern, aspek-aspek rasional dan intelektual dari agama Buddha banyak diutamakan di dunia Barat, karena agama Buddha sering kali dibandingkan dengan agama Kristen.[265] Pengarang dan guru Buddhis Stephen Batchelor berupaya mendorong bentuk agama Buddha yang ia yakini adalah agama Buddha asli, agama Buddha kuno, sebelum agama Buddha menjadi "terlembagakan sebagai agama".[266]

Berseberangan dengan tipikal tren modernis, beberapa komunitas Buddhis barat juga tampak menunjukkan komitmen besar kepada praktik dan keyakinan mereka, dan untuk itu, akal budi menjadi lebih relijius tradisional ketimbang kebanyakan bentuk spiritualitas Zaman Baru.[267] Lebih jauh lagi, ada beberapa guru Buddhis telah menyuarakan ketidaksetujuan atas interpretasi agama Buddha yang menafikan keyakinan dan bakti, termasuk penerjemah dan biarawan, Biksu Bodhi. Biksu Bodhi menyatakan bahwa banyak kalangan barat yang keliru dalam memahami Kalāma Sutta (Lihat § Verifikasi, di atas), sebagaimana agama Buddha mengajarkan bahwa keyakinan dan pembuktian secara personal seharusnya berjalan bersamaan, lalu keyakinana tidak seharusnya dicampakkan.[268]

Di penghujung abad ke-20 muncul keadaan unik berkaitan dengan agama Buddha di dunia barat: Untuk pertama kali sejak agama Buddha meninggalkan India, sejak itu banyak tradisi Buddhis bisa berkomunikasi dengan satu bahasa. Hal ini meningkatkan eklestisisme antar tradisi berbeda.[269] Lebih jauh lagi, saat penelitian saintifik semakin maju dalam menelaah metode meditasi, para penulis Buddhis terkenal juga merujuk pada bukti-bukti saintifik untuk membuktikan apakah praktik Buddhis sungguh efektif atau tidak, daripada sekadar merujuk pada naskah kitab suci atau otoritas monastik.[270]

Nawayāna

Pada 1956, Dalit (kaum tak berkasta) India dan tokoh ikonik Ambedkar (1891–1956) memimpin perpindahan agama massal ke agama Buddha, memulai gerakan Buddha baru (Nawayāna). Gerakan baru tersebut berujung pada serangkaian perpindahan agama massal, beberapa diantaranya mencapai lebih dari 500,000 orang yang berpindah agama. Dalit yang terpinggirkan akibat sistem kasta India mengambil perlindungan dalam agama Buddha sebagai jalan keluar. Pada 2010an, insiden kekerasan yang dialami para dalit membuat kebangkitan perpindahan agama massal di Gujarat dan negara bagian lainnya. Beberapa orang yang berpindah agama menyatakan bahwa perpindahan agama adalah adalah pilihan politik untuk mereorganisasikan diri mereka sendiri, karena perpindahan agama dapat membantu mereka tak lagi terklasifikasi oleh sistem kasta Hindu.[271]

Para cendekiawan mendeskripsikan sudut pandang Ambedkar tentang agama Buddha sebagai sekuler dan modernis ketimbang relijius, karena ia mengedepankan aspek-aspek ateis dari agama Buddha dan rasionalitas, dan menyangkal hierarki dan soteriologi Hindu.[272][273] Para cendekiawan lainnya menyatakan bahwwa gerakan Ambedkarisme merupakan bentuk kritis terhadap pandangan tradisional, Ambedkar menginterpretasikan ulang tentang berbagai konsep tradisi Hindu daripada menyangkal semuanya. Secara spesifik, cendekiawan Gauri Vishwanathan [de] menyatakan bahwa perpindahan agama Dalit oleh Ambedkar memberikan keyakinan yang lebih sentral, lebih berperan ketimbang sebelumnya. Namun, peneliti lintas budaya Ganguly Debjani menekankan unsur-unsur keagamaan dalam deskripsi Ambedkar tentang kehidupan dan ajaran Buddha, dan menyatakan bahwa Ambedkar mendeifikasi Buddha sebagai "fondasi rasionalitas". Beberapa cendekiawan berpendapat bahwa Buddha dan Ambedkar dihargai oleh para pengikutnya melalui praktik kebaktian tradisional (Sanskerta: bhakti), seperti pengisahan cerita, lagu dan syair, perayaan dan gambar, meskipun Ambedkar menolak praktik semacam itu.[274][275]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Beberapa cendekiawan tak sepakat dengan pengartian tersebut. Selain itu, śraddhā dalam Weda diartikan sebagai "sikap pikiran berdasarkan pada kebenaran".[16]
  2. ^ Catatan tersebut dapat ditemukan di dunia maya di Kalāma Sutta, diterjemahkan oleh Soma Thera
  3. ^ Catatan tersebut dapat ditemukan di: Bhikkhu, Thanissaro. "Canki Sutta: With Canki". Diakses tanggal 2017-05-26. 
  4. ^ Cendekiawan kajian agama Allan A. Andrews menekankan bahwa selain penganut aliran utama Buddha Tanah Murni, aliran-aliran berorientasi monastik juga berdiri. Ini menempatkan visualisasi ketimbang pengutipan kembali nama Buddha Amitābha, dan mendorong pencerahan dalam kehidupan saat ini ketimbang mendatangi Tanah Murni setelah kematian.[174]
  5. ^ Meskipun demikian, dalam beberapa teks, Shinran berpendapat bahwa beberapa kali nembutsu dikutip ulang, entah sekali atau beberapa kali, tak memberikan jawaban lengkap untuk pertanyaan keselamatan.[183]
  6. ^ Namun, bberapa cendekiawan menurunkan peran gerakan-gerakan baru seperti Buddhisme Tanah Murni pada periode Kamakura, dengan alasan bahwa reformasi juga terjadi dalam aliran-aliran Buddhis lama, dan beberapa gerakan baru hanya meraih signifikansi lebih pada masa berikutnya.[201]
  7. ^ Pada kenyataannya, D. T. Suzuki membuat sebuah poin dalam beberapa tulisannya bahwa Zen tak dapat terpisahkan dari agama Buddha.[262]

Kutipan

  1. ^ a b Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  2. ^ a b Kheminda, Ashin (2020-02-01). KAMMA: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94011-0-8. 
  3. ^ a b Wichian, Phurapha Phramaha (2016). "An investigation of the concept of Saddhā in Theravāda Buddhism and its significance in the modern world" (PDF). International Research Journal of Interdisciplinary & Multidisciplinary Studies (IRJIMS). Ph.D. scholar, Centre for Buddhist studies, University of Hyderabad, Hyderabad, India. II (III): 17–20. ISSN 2394-7969. 
  4. ^ a b Medhācitto, Tri Saputra (2022). Aspek Sosiologi dalam Sigālovāda Sutta (PDF). Semarang: Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra. hlm. 46–48. ISBN 978-602-53319-9-2. 
  5. ^ a b Payutto, P. A. (2007). The Buddhist's Tenets: A Starting Point and a Unifying Point—A Convergence for Success and Prosperity (PDF). Nakhon Pathom: Wat Nyanavesakavan. hlm. 10–11. ISBN 9749414381. 
  6. ^ a b Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  7. ^ a b c d Gómez 2004b, hlm. 277.
  8. ^ a b c d e f Buswell & Lopez 2013, Śraddhā.
  9. ^ Kinnard 2004, hlm. 907.
  10. ^ Melton 2010, hlm. 2392.
  11. ^ a b c Nakamura 1997, hlm. 392.
  12. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 388–9.
  13. ^ Buswell & Lopez 2013, Ānanda, Pañcabala, Śraddhā.
  14. ^ Conze 2003, hlm. 14.
  15. ^ Buswell & Lopez 2013, Āśraddhya.
  16. ^ Rotman 2008, Footnotes n.23.
  17. ^ a b Park 1983, hlm. 15.
  18. ^ a b Gómez 2004b, hlm. 278.
  19. ^ Findly 2003, hlm. 200.
  20. ^ Rotman 2008, Seeing and Knowing, Getting and Giving.
  21. ^ a b Buswell & Lopez 2013, Śraddhā, Mūrdhan, Pañcabala, Xinxin.
  22. ^ a b Conze 2003, hlm. 78.
  23. ^ a b c Findly 2003, hlm. 203.
  24. ^ Barua 1931, hlm. 332–3.
  25. ^ Findly 2003, hlm. 205–6.
  26. ^ a b Barua 1931, hlm. 333.
  27. ^ Robinson & Johnson 1997, hlm. 35.
  28. ^ a b Suvimalee 2005, hlm. 601.
  29. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 384–5.
  30. ^ De Silva 2002, hlm. 214.
  31. ^ Gombrich 1995, hlm. 69–70.
  32. ^ Bishop 2016.
  33. ^ Gombrich 1995, hlm. 71.
  34. ^ Findly 1992, hlm. 258.
  35. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 277.
  36. ^ a b Lamotte 1988, hlm. 74–5.
  37. ^ a b Werner 2013, hlm. 45.
  38. ^ a b c d De Silva 2002, hlm. 216.
  39. ^ Barua 1931, hlm. 332.
  40. ^ Giustarini 2006, hlm. 162.
  41. ^ Lamotte 1988, hlm. 81.
  42. ^ Trainor 1989, hlm. 185–6.
  43. ^ Harvey 2013a, hlm. 31, 49.
  44. ^ Thomas 1953, hlm. 258.
  45. ^ a b c Jayatilleke 1963, hlm. 384.
  46. ^ a b c Harvey 2013b, hlm. 246.
  47. ^ Tremblay 2007, hlm. 87.
  48. ^ Lamotte 1988, hlm. 247.
  49. ^ a b c d e De Silva 2002, hlm. 215.
  50. ^ Thomas 1953, hlm. 56, 117.
  51. ^ Findly 2003, hlm. 200, 202.
  52. ^ a b Findly 2003, hlm. 202.
  53. ^ Lamotte 1988, hlm. 74.
  54. ^ Harvey 2013b, hlm. 85, 237.
  55. ^ De Silva 2002.
  56. ^ De Silva 2002, hlm. 214–5.
  57. ^ Ergardt 1977, hlm. 1.
  58. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 383.
  59. ^ Findly 2003, hlm. 201.
  60. ^ Gombrich 2006a, hlm. 119–22.
  61. ^ Gombrich 2009, hlm. 199.
  62. ^ Gombrich 2006a, hlm. 120–22.
  63. ^ Gombrich 2009, hlm. 200.
  64. ^ a b Wijayaratna 1990, hlm. 130–1.
  65. ^ a b Buswell & Lopez 2013, Kuladūșaka.
  66. ^ Harvey 2013b, hlm. 245.
  67. ^ a b c Kariyawasam 1995.
  68. ^ a b Robinson & Johnson 1997, hlm. 43.
  69. ^ Buswell & Lopez 2013, Paramatthasaṅgha.
  70. ^ Werner 2013, hlm. 39.
  71. ^ Irons 2008, hlm. 403.
  72. ^ "SuttaCentral: Saraṇattaya". SuttaCentral (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-22. 
  73. ^ "The Threefold Refuge: tisarana". www.accesstoinsight.org. Diakses tanggal 2024-05-22. 
  74. ^ "Refuge in the Buddha". www.accesstoinsight.org. Diakses tanggal 2024-05-22. 
  75. ^ Suvimalee 2005, hlm. 604.
  76. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 390.
  77. ^ a b c Fuller 2004, hlm. 36.
  78. ^ a b Blakkarly 2014.
  79. ^ a b Suvimalee 2005, hlm. 603.
  80. ^ a b Kalupahana 1976, hlm. 27–8.
  81. ^ Kalupahana 1976, hlm. 27–9.
  82. ^ a b Holder 2013, hlm. 225–6.
  83. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 169–71.
  84. ^ a b c De Silva 2002, hlm. 215–6.
  85. ^ a b Jayatilleke 1963, hlm. 390–3.
  86. ^ Hoffmann 1987, hlm. 409.
  87. ^ Holder 2013, hlm. 227.
  88. ^ Werner 2013, hlm. 43–4.
  89. ^ Tuladhar-Douglas 2005, hlm. 7496.
  90. ^ Suvimalee 2005, hlm. 602–3.
  91. ^ De Silva 2002, hlm. 214, 216.
  92. ^ a b Harvey 2013b, hlm. 31.
  93. ^ a b Trainor 1989, hlm. 187.
  94. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 297.
  95. ^ Suvimalee 2005, hlm. 601–2.
  96. ^ De Silva 2002, hlm. 217.
  97. ^ Findly 1992, hlm. 265.
  98. ^ Harvey 2013b, hlm. 237.
  99. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 396–7.
  100. ^ Barua 1931, hlm. 336.
  101. ^ a b Lamotte 1988, hlm. 49–50.
  102. ^ Hoffmann 1987, hlm. 405, 409.
  103. ^ Findly 1992, hlm. 268–9.
  104. ^ Harvey 2013b, hlm. 28.
  105. ^ Jayatilleke 1963, hlm. 388.
  106. ^ Werner 2013, hlm. 47.
  107. ^ Harvey 2013b, hlm. 103.
  108. ^ Swearer 2010, hlm. 77.
  109. ^ Harvey 2013b, hlm. 103, 105.
  110. ^ a b c Smart 1997, hlm. 282.
  111. ^ Spiro 1982, hlm. 34 n.6.
  112. ^ Spiro 1982, hlm. 15m1.
  113. ^ Harvey 2013b, hlm. 172.
  114. ^ Leaman 2000, hlm. 212.
  115. ^ Reynolds & Hallisey 1987, hlm. 1064.
  116. ^ Conze 2003, hlm. 154.
  117. ^ Getz 2004, hlm. 699.
  118. ^ a b c Barber 2004, hlm. 707.
  119. ^ Smart 1997, hlm. 283–4.
  120. ^ Reynolds & Hallisey 1987, hlm. 1067.
  121. ^ Snellgrove 1987, hlm. 1078–9.
  122. ^ a b c Harvey 2013b, hlm. 175.
  123. ^ a b Leaman 2000, hlm. 215.
  124. ^ Conze 2003, hlm. 150.
  125. ^ Higham 2004, hlm. 210.
  126. ^ Derris 2005, hlm. 1084.
  127. ^ Bielefeldt 2004, hlm. 389–90.
  128. ^ Murti 1955, hlm. 6.
  129. ^ Kiyota 1985, hlm. 222.
  130. ^ a b c Bielefeldt 2004, hlm. 390.
  131. ^ Buswell & Lopez 2013, Sanyao, Zongmen huomen.
  132. ^ Powers 2013, dai funshi ("great resolve").
  133. ^ Gómez 2004b, hlm. 279.
  134. ^ Buswell & Lopez 2013, Xinxin.
  135. ^ a b Harvey 2013b, hlm. 255.
  136. ^ Dobbins 2002, hlm. 29.
  137. ^ Bloom 1987, hlm. 8355.
  138. ^ Schopen 2004, hlm. 496.
  139. ^ Derris 2005, hlm. 1085, 1087.
  140. ^ Shields 2013, hlm. 512.
  141. ^ Shields 2013, hlm. 512, 514.
  142. ^ Shields 2013, hlm. 512, 514–5.
  143. ^ Stone 2004a, hlm. 471, 474.
  144. ^ Buswell & Lopez 2013, Saddharmapuṇḍarīkasūtra.
  145. ^ Gummer 2005, hlm. 1262.
  146. ^ a b c Stone 2004a, hlm. 474.
  147. ^ Harvey 2013b, hlm. 227.
  148. ^ Stone 2004a, hlm. 475.
  149. ^ Stone 2004a, hlm. 475–6.
  150. ^ Shields 2013, hlm. 514, 519, 521.
  151. ^ Harvey 2013b, hlm. 233–4.
  152. ^ Araki 1987, hlm. 1244.
  153. ^ Stone 2004a, hlm. 476.
  154. ^ Irons 2008, hlm. 366.
  155. ^ Stone 2004a, hlm. 477.
  156. ^ Kotatsu 1987, hlm. 7502.
  157. ^ Stone 1998, hlm. 123.
  158. ^ Cabezón 2004, hlm. 757.
  159. ^ Stone 2004b, hlm. 595.
  160. ^ Green 2013, hlm. 122.
  161. ^ a b c Hsieh 2009, hlm. 236–7.
  162. ^ a b c Green 2013, hlm. 123.
  163. ^ Irons 2008, hlm. 394.
  164. ^ a b Gómez 2004a, hlm. 14.
  165. ^ Harvey 2013b, hlm. 173.
  166. ^ Buswell & Lopez 2013, Dharmākara.
  167. ^ Smart 1997, hlm. 284.
  168. ^ a b c Andrews 1987, hlm. 4119.
  169. ^ Williams 2008, hlm. 247.
  170. ^ Getz 2004, hlm. 701.
  171. ^ Getz 2004, hlm. 698–9.
  172. ^ Hirota 2016.
  173. ^ a b Dobbins 2002, hlm. 19.
  174. ^ Andrews 1993.
  175. ^ Hsieh 2009, hlm. 236.
  176. ^ Welch 1967, hlm. 396.
  177. ^ Hudson 2005, hlm. 1293.
  178. ^ Robinson & Johnson 1997, hlm. 198.
  179. ^ a b Abe 1997, hlm. 689.
  180. ^ Barber 2004, hlm. 708.
  181. ^ Harvey 2013b, hlm. 229.
  182. ^ Green 2013, hlm. 121–3.
  183. ^ Buswell & Lopez 2013, Ichinengi.
  184. ^ Green 2013, hlm. 122–3.
  185. ^ Harvey 2013b, hlm. 230, 255.
  186. ^ Hudson 2005, hlm. 1294.
  187. ^ Williams 2008, hlm. 262.
  188. ^ Conze 2003, hlm. 158.
  189. ^ Dobbins 2002, hlm. 34–5.
  190. ^ Dobbins 2002, hlm. 42–3.
  191. ^ Williams 2008, hlm. 264.
  192. ^ Abe 1997, hlm. 692.
  193. ^ Porcu 2008, hlm. 17.
  194. ^ Irons 2008, hlm. 258.
  195. ^ Bielefeldt 2004, hlm. 388–9.
  196. ^ Dobbins 2004a, hlm. 412.
  197. ^ Harvey 2013b, hlm. 230.
  198. ^ Conze 2003, hlm. 159.
  199. ^ Shōto 1987, hlm. 4934–5.
  200. ^ Harvey 2000, hlm. 143.
  201. ^ Dobbins 2004a, hlm. 414.
  202. ^ a b Abe 1997, hlm. 691–2.
  203. ^ Andrews 1987, hlm. 4120.
  204. ^ Buswell & Lopez 2013, namu Amidabutsu.
  205. ^ Dobbins 2004a, hlm. 413.
  206. ^ Harvey 2013b, hlm. 234.
  207. ^ Porcu 2008, hlm. 18.
  208. ^ Green 2013, hlm. 121.
  209. ^ Abe 1997, hlm. 694.
  210. ^ Shōto 1987, hlm. 4933.
  211. ^ Irons 2008, hlm. 268.
  212. ^ Buswell & Lopez 2013, Jodo Shinshu.
  213. ^ Harvey 2013b, hlm. 231–2.
  214. ^ Araki 1987, hlm. 1245.
  215. ^ Higham 2004, hlm. 29.
  216. ^ Birnbaum 1987, hlm. 704.
  217. ^ a b Harvey 2013b, hlm. 250–1, 253.
  218. ^ a b Irons 2008, hlm. 98.
  219. ^ Gómez 2004a, hlm. 15.
  220. ^ a b Birnbaum 1987, hlm. 705.
  221. ^ Ford 2006, hlm. 90.
  222. ^ Powers 2013, Avalokiteśvara.
  223. ^ Snellgrove 1987, hlm. 1079.
  224. ^ Irons 2010, hlm. 2721.
  225. ^ Rambelli 2004, hlm. 465–6.
  226. ^ Glassman 2004.
  227. ^ Rambelli 2004, hlm. 466.
  228. ^ Rambelli 2004, hlm. 467.
  229. ^ Snellgrove 1987, hlm. 1076.
  230. ^ Gombrich 2006b, hlm. 72-5.
  231. ^ Rambelli 2004, hlm. 465–7.
  232. ^ Swearer 1987, hlm. 3154.
  233. ^ Dobbins 2002, hlm. 39, 58.
  234. ^ Rambelli 2004, hlm. 467–8.
  235. ^ Swearer 1987, hlm. 3155–6.
  236. ^ a b Landes 2000, hlm. 463.
  237. ^ a b DuBois 2004, hlm. 537–8.
  238. ^ Miles 2011, hlm. 647.
  239. ^ Lazich 2000, hlm. 66–7.
  240. ^ DuBois 2004, hlm. 537.
  241. ^ Naquin 1976, hlm. 13.
  242. ^ DuBois 2004, hlm. 537, 539.
  243. ^ Lazich 2000, hlm. 67–8.
  244. ^ Overmyer 2013, hlm. 83–4.
  245. ^ Reader 2000, hlm. 350-1.
  246. ^ Buswell & Lopez 2013, Baotang zong.
  247. ^ Robinson & Johnson 1997, hlm. 302.
  248. ^ Baumann 1987, hlm. 1187.
  249. ^ Harvey 2013b, hlm. 378.
  250. ^ Gombrich 2006a, hlm. 196–7.
  251. ^ Trainor 1997, hlm. 19–20.
  252. ^ McMahan 2008, hlm. 65, 69.
  253. ^ Gombrich 2006a, hlm. 191–2.
  254. ^ Ahn 2004, hlm. 924.
  255. ^ Dennis 2005, hlm. 1250.
  256. ^ Gregory 1997.
  257. ^ Swanson 1993, hlm. 133–4.
  258. ^ Williams 2008, hlm. 324 n.61.
  259. ^ Harvey 2013b, hlm. 384.
  260. ^ Cousins 1997, hlm. 188.
  261. ^ Gombirch & 1990 415–7.
  262. ^ a b Robinson & Johnson 1997, hlm. 303.
  263. ^ McMahan 2008, hlm. 5.
  264. ^ Harvey 2013b, hlm. 429, 444.
  265. ^ Baumann 1987, hlm. 1189.
  266. ^ McMahan 2008, hlm. 244.
  267. ^ Phillips 2005, hlm. 228.
  268. ^ McMahan 2008, hlm. 248.
  269. ^ Robinson & Johnson 1997, hlm. 307.
  270. ^ Wilson 2018.
  271. ^ Dore 2016.
  272. ^ Ganguly 2006.
  273. ^ Contursi 1989, hlm. 448.
  274. ^ Ganguly 2006, hlm. 54–7, 59–60.
  275. ^ Gokhale-Tuerner 1980, hlm. 38-9.

Sumber

Pranala luar