Reformasi Protestan

Perpecahan abad ke-16 dalam Kekristenan Barat

Reformasi Protestan atau Reformasi Gereja (juga disebut Reformasi Eropa[1]) adalah sebuah gerakan besar dalam Kekristenan Barat di Eropa pada abad ke-16 yang menimbulkan tantangan agama dan politik terhadap Gereja Katolik Roma dan khususnya terhadap otoritas kepausan, yang timbul dari apa yang dianggap sebagai kesalahan, penyalahgunaan, dan ketidaksesuaian dalam Gereja Katolik. Reformasi adalah awal dari Protestanisme, dan perpecahan Gereja Barat menjadi Protestan dan Gereja Katolik Roma. Reformasi juga dianggap sebagai salah satu peristiwa yang menandai akhir dari Abad Pertengahan dan permulaan dari periode modern awal di Eropa.[2] Gerakan ini umumnya dianggap telah dimulai dengan publikasi 95 Tesis oleh Luther pada 1517, dan berlangsung sampai berakhirnya Perang Tiga Puluh Tahun melalui Perdamaian Westfalen pada 1648.

Martin Luther di Sidang Worms, tempat ia menolak untuk menarik kembali karya-karyanya yang dipandang sesat oleh Gereja Katolik (lukisan dari Anton von Werner, 1877, Staatsgalerie Stuttgart).

Meskipun sebelum Luther telah ada upaya-upaya awal yang signifikan untuk melakukan reformasi Gereja Katolik – seperti yang dilakukan oleh Jan Hus, Peter Waldo (Pierre Vaudès), dan John Wycliffe – Martin Luther secara luas diakui telah memulai Reformasi Protestan dengan 95 Tesis. Luther mengawali dengan mengkritik penjualan indulgensi, bersikeras bahwa Sri Paus tidak memiliki otoritas atas purgatorium dan bahwa ajaran Katolik mengenai jasa orang-orang kudus tidak memiliki landasan di dalam Alkitab. Bagaimanapun, posisi Protestan kelak memadukan perubahan-perubahan doktrin seperti ketergantungan sepenuhnya pada Alkitab sebagai satu sumber keyakinan yang benar (sola scriptura) serta keyakinan bahwa iman dalam Yesus, dan bukan perbuatan-perbuatan baik, adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh pengampunan Allah atas dosa (sola fide). Motivasi utama di balik perubahan-perubahan tersebut bersifat teologis, kendati banyak faktor lain yang berperan, termasuk bangkitnya nasionalisme, Skisma Barat yang mengikis kepercayaan pada Kepausan, dugaan korupsi Kuria Roma, dampak dari humanisme, dan pembelajaran baru Renaisans yang mempertanyakan banyak pemikiran dalam tradisi.

Gerakan awal di dalam wilayah Jerman beragam rupa, dan impuls-impuls reformasi lainnya timbul secara tersendiri di luar kepemimpinan Luther. Tersebarluasnya mesin cetak Gutenberg menjadi sarana penyebaran materi-materi keagamaan secara cepat dalam bahasa vernakular (lingua franca). Kelompok-kelompok terbesar gerakan ini yaitu Lutheran dan Calvinis. Gereja-gereja Lutheran kebanyakan didirikan di Jerman, Baltik, dan Skandinavia, sedangan gereja-gereja Reformed didirikan di Swiss, Hungaria, Prancis, Belanda, dan Skotlandia. Gerakan baru ini memberikan pengaruh definitif pada Gereja Inggris setelah tahun 1547 di bawah pemerintahan Edward VI and Elizabeth I, kendati Gereja Inggris telah berdiri sendiri di bawah pemerintahan Henry VIII pada tahun 1530-an awal.

Terdapat juga gerakan-gerakan reformasi di seluruh Eropa daratan yang dikenal sebagai Reformasi Radikal, yang menimbulkan gerakan-gerakan Anabaptis, Moravia, dan Pietistik lainnya. Selain membentuk komunitas-komunitas di luar otorisasi negara, para Reformis Radikal sering kali menerapkan perubahan doktrin yang lebih ekstrem, misalnya penolakan terhadap prinsip-prinsip hasil Konsili Nicea dan Konsili Kalsedon yang berlangsung pada Abad Kuno Akhir.

Gereja Katolik menanggapi dengan suatu gerakan yang disebut Kontra-Reformasi, diprakarsai oleh Konsili Trente. Banyak upaya dalam menghadapi Protestanisme dilakukan oleh kalangan Yesuit, suatu tarekat baru kala itu yang terorganisasi dengan baik. Secara umum, Eropa Utara, dengan pengecualian sebagian besar wilayah Irlandia, berada di bawah pengaruh Protestanisme. Eropa Selatan tetap Katolik, sedangkan Eropa Tengah merupakan lokasi konflik yang sengit, imbas dari serangkaian perang agama di Eropa yang berpuncak pada Perang Tiga Puluh Tahun, sehingga mengakibatkan daerah ini hancur.

Situasi keagamaan di Eropa

Reformasi Protestan lahir sebagai sebuah upaya untuk mereformasi Gereja Katolik, diprakarsai oleh beberapa umat Katolik Eropa Barat yang menentang hal-hal yang menurut anggapan mereka adalah doktrin-doktrin palsu dan malapraktik gerejawi — khususnya ajaran dan penjualan indulgensi, serta simoni, jual-beli jabatan rohaniwan — yang menurut para reformator merupakan bukti kerusakan sistemik hierarki Gereja, termasuk Sri Paus.

Para pendahulu Martin Luther mencakup John Wycliffe dan Jan Hus, yang juga mencoba mereformasi Gereja Katolik. Reformasi Protestan berawal pada 31 Oktober 1517, di Wittenberg, Saxonia, tatkala Martin Luther memakukan Sembilan Puluh Lima Tesis mengenai Kuasa dan Efikasi Indulgensi pada daun pintu Gereja Semua Orang Kudus (yang berfungsi sebagai papan-pengumuman universitas pada masa itu),[3] tesis-tesis tersebut memperdebatkan dan mengkritisi Gereja dan Sri Paus, tetapi berkonsentrasi pada penjualan indulgensi-indulgensi dan kebijakan-kebijakan doktrinal mengenai Purgatorium, Penghakiman Khusus, Mariologi (devosi pada Maria, ibunda Yesus), perantaraan doa dan devosi pada orang-orang kudus, sebagian besar sakramen, keharusan selibat bagi rohaniwan, termasuk monastisisme, dan otoritas Sri Paus. Selain Luther, Ulrich Zwingli pada saat yang bersamaan memulai reformasi di Swiss yang sepenuhnya independen dari Luther.

Akan tetapi selanjutnya para reformator berselisih paham dan memecah-belah pergerakan mereka menurut perbedaan-perbedaan doktrinal — pertama-tama antara Luther dan Zwingli, kemudian antara Luther dan John Calvin — akibatnya terbentuklah denominasi-denominasi Protestan yang berbeda-beda dan saling bersaing, seperti Lutheran, Reformed, Puritan, dan Presbiterian. Sebab, proses, dan akibat reformasi agama berbeda-beda di tempat-tempat lain; Anglikanisme muncul di Inggris dengan Reformasi Inggris, dan banyak denominasi Protestan yang muncul dari denominasi-denominasi Jerman. Para reformator turut mempercepat laju Kontra Reformasi dari Gereja Katolik. Reformasi Protestan disebut pula Reformasi Jerman atau Revolusi Protestan.

Asal

Para disiden

Setelah Arianisme—sebuah doktrin Kristologis yang dikutuk sebagai bidat dalam konsili-konsili umum abad ke-4—menghilang pada akhir abad ke-7, tidak ada perselisihan besar yang mengancam kesatuan teologis Gereja Barat. Konflik antara para peminat agama dan perwakilan dari Gereja resmi dapat mengarah pada perkembangan kelompok-kelompok non-konformis, tetapi kebanyakan dari mereka bubar setelah pendirinya meninggal dunia.[catatan 1] Kaum Waldens merupakan pengecualian yang penting. Mereka telah mendirikan organisasi gerejawi mereka sendiri pada saat pendiri mereka, Peter Waldo (wafat ca 1205), meninggal dunia. Mereka menolak monopoli pelayanan publik oleh para pendeta dan mengizinkan semua anggota komunitas mereka yang terlatih, baik pria maupun wanita, untuk berkhotbah. Mereka menganggap baptisan, pernikahan dan perjamuan kudus sebagai sakramen-sakramen, dan menentang pemberian indulgensi. Berbeda dengan kaum Kathar yang lebih radikal di Occitania, kaum Waldensian selamat dari perang salib terhadap bidat dan investigasi yang dilakukan oleh para komisaris yang ditunjuk secara khusus yang dikenal sebagai inkuisitor, tetapi mereka harus mencari perlindungan di pegunungan Piedmonte dan tempat-tempat terpencil lainnya.[5]

 
Pembakaran Jan Hus di Konstanz (dari Riwayat Konsili Konstanz oleh Ulrich dari Richenthal)

Skisma Barat yang menggemparkan ini memperkuat keinginan umum untuk terjadinya reformatio Gereja. Teolog Oxford, John Wycliffe (wafat 1384)[catatan 2] mengkritik dengan tajam praktik-praktik tradisional, seperti ziarah dan doa-doa kepada orang-orang kudus. Ia menganggap Gereja sebagai komunitas eksklusif umat beriman yang dipilih oleh Allah untuk keselamatan, dengan menyatakan bahwa mereka berutang rasa hormat hanya kepada para imam yang menunjukkan kepemimpinan moral. Wycliffe menolak supremasi kepausan, dan menjelang akhir hidupnya juga menyerang doktrin transubstansiasi. Ia memprakarsai terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Inggris yang diselesaikan oleh para pengikutnya. Dikenal sebagai kaum Lollardy, para pengikut Wycliffe mengambil posisi yang lebih radikal, menuntut agar Gereja melepaskan sumbangan dan meninggalkan selibasi klerus. Mereka menghadapi penganiayaan serius setelah Parlemen Inggris mengeluarkan undang-undang melawan bidat yang memerintahkan eksekusi mereka dengan cara dibakar. Meskipun demikian, komunitas Lollard bertahan di Anglia Timur, Kent, lembah Sungai Thames dan Midlands.[7][8][9]

Teologi Wycliffe, khususnya ajarannya tentang para imam yang berdosa memiliki dampak yang nyata pada akademisi Praha, Jan Hus (wafat 1415). Seorang pengkhotbah yang populer di Kapel Betlehem, ia berkhotbah menentang kekayaan dan kekuasaan duniawi kaum klerus. Setelah menerbitkan risalahnya Tentang Gereja (De ecclesia), ia dipanggil ke Konstanz untuk mempertahankan pandangannya di hadapan konsili ekumenis. Meskipun Sigismund dari Luksemburg telah memberinya jaminan keamanan, Hus dijatuhi hukuman mati atas tuduhan bidat dan dibakar di tiang pancang pada tanggal 6 Juli 1415. Eksekusinya menyebabkan gerakan nasional di Bohemia meskipun para pengikutnya terbagi menjadi sayap moderat dan radikal. Kaum Husite moderat, terutama para bangsawan dan akademisi Ceko, dikenal sebagai Utraquist karena mereka menawarkan anggur sakramental kepada umat awam selama Misa, dengan menyatakan bahwa perjamuan kudus diberikan secara sub utraque specie ("dalam kedua jenis"). Kaum radikal, terutama para anggota serikat pekerja dan petani, mendirikan sebuah kota baru, Tábor, di mana mereka menyatukan harta benda mereka. Selanjutnya dikenal sebagai Taborit, kaum radikal mengambil alih kepemimpinan gerakan Husite selama perang salib yang diproklamasikan kepausan terhadap Bohemia, tetapi semangat misionaris milenarian mereka mencegah mereka untuk mengkonsolidasikan posisi mereka.[10][11]

Dari tahun 1435, seorang Utraquist Jan Rokycana (wafat 1471) memegang jabatan Uskup Agung Praha, dan dari tahun 1458, seorang Utraquist George dari Poděbrady (wafat 1471) memerintah sebagai raja. Meskipun tidak satu pun dari mereka diakui oleh kepausan, kekuasaan mereka mengkonsolidasikan posisi dominan kaum Utraquist di Bohemia.[12] Pada saat itu, hampir secara keseluruhan hanya komunitas-komunitas yang berbahasa Jerman dan beberapa kota kerajaan yang bebas tetap setia kepada kepausan. Kaum Husite moderat dibedakan dari kaum Katolik terutama dalam hal administrasi perjamuan dalam kedua jenisnya dan penggunaan bahasa sehari-hari Ceko dalam liturgi. Kaum Husite yang lebih radikal mendirikan gereja mereka sendiri yang dikenal sebagai Persatuan Saudara-saudara Bohemia di bawah bimbingan rohani penulis Petr Chelčický (wafat tahun 1460). Mereka menolak doktrin transubstansiasi dan gagasan tentang kelas imam yang terpisah, serta mengutuk segala bentuk kekerasan dan pengambilan sumpah. Karena tidak ada uskup agung baru yang terpilih setelah kematian Rokycana, para imam Utraquist dikirim ke kota Katolik Venesia yang toleran untuk ditahbiskan. Tidak adanya hierarki di gereja lokal memperkuat kontrol aristokrasi dan para pemimpin kota atas para pendeta Bohemia.[13]

Para sejarawan biasanya menyebut Wycliffe dan Hus sebagai "Pendahulu Reformasi". Penekanan kedua reformator ini pada studi Alkitab sebagai satu-satunya sumber teologi sering disebut sebagai contoh awal dari ide sola scriptura ("hanya oleh Kitab Suci") yang menjadi salah satu prinsip dasar Reformasi. Pada kenyataannya, para teolog skolastik terkemuka telah yakin bahwa Alkitab telah merangkum semua pengetahuan yang diperlukan untuk keselamatan sebelum gerakan-gerakan disiden pada akhir abad pertengahan dimulai.[catatan 3][14] Para teolog yang terkait dengan Ordo Agustinian seperti Gregorius dari Rimini (wafat 1358) memberikan penekanan khusus pada studi Alkitab dan jarang sekali mengutip sumber-sumber iman yang lain.[15]

Humanisme

 
Potret Erasmus dari Rotterdam oleh Hans Holbein Muda (wafat 1543)

Abad Pertengahan Akhir menyaksikan perkembangan gerakan intelektual baru yang dikenal sebagai Humanisme. Slogan kaum Humanis, ad fontes! ("kembali ke sumbernya!") menunjukkan antusiasme mereka terhadap teks-teks klasik dan kritik tekstual.[16] Bangkitnya Kesultanan Utsmaniyah menyebabkan imigrasi besar-besaran para cendekiawan Bizantium ke Eropa Barat, dan banyak di antara mereka yang membawa manuskrip Yunani yang berisi karya-karya kuno yang sebelumnya tidak diketahui oleh para sarjana Barat. Termasuk di antaranya adalah karya-karya filosofis dari filsuf Yunani, Plato (wafat 347/348 SM) dan kumpulan risalah tentang berbagai topik yang dikenal dengan nama Corpus Hermeticum. Penemuan kembali Plato dan gagasannya tentang realitas ultimat yang berada di luar realitas yang terlihat menimbulkan tantangan serius bagi skolastisisme abad pertengahan dan definisi-definisinya yang ketat. Beberapa risalah dalam Corpus Hermeticum membahas ide-ide Gnostik yang berusaha menyelaraskan Platonisme dengan agama Kristen. Kritik tekstual mempertanyakan kredibilitas beberapa teks fundamental doktrin Katolik. Sarjana Humanis Nicolas dari Cusa (wafat 1464), Lorenzo Valla (wafat 1457), dan Reginald Pecock (wafat 1461) membuktikan bahwa salah satu dokumen dasar otoritas kepausan, Donasi Konstantinus yang konon berasal dari abad ke-4, sebenarnya merupakan pemalsuan pada abad pertengahan. Juan Luis Vives (wafat 1540) tidak menyembunyikan penghinaannya terhadap koleksi hagiografi populer yang dikenal sebagai Legenda Emas, dengan menggambarkannya sebagai sebuah buku yang "ditulis oleh orang-orang yang memiliki mulut besi dan hati timah."[17]

Diselesaikan oleh Jerome (wafat 420) pada awal abad ke-5, Vulgata memuat versi Septuaginta dari Perjanjian Lama yang mencakup kitab-kitab yang tidak memiliki teks paralel dalam bahasa Ibrani. Karena salinan-salinan yang berbeda dari Vulgata mungkin mengandung frasa yang sedikit berbeda, para ahli menggunakan naskah-naskah Ibrani, Yunani, dan Siria untuk mengembalikan kata-kata yang otentik. Sebuah versi poliglot dari Alkitab yang lengkap diterbitkan di bawah naungan Kardinal Jiménez di Spanyol pada tahun 1517.[18] Studi sistematis terhadap Alkitab mengungkapkan bahwa Jerome terkadang salah menafsirkan sumber-sumber penerjemahannya.[catatan 4][19] Valla adalah sarjana pertama yang menunjukkan bahwa terjemahan Jerome yang salah menjadi dasar dari beberapa ide yang dikembangkan oleh teolog terkenal seperti Aquinas.[20] Humanis Belanda yang terpelajar, Erasmus (wafat tahun 1536), menyelesaikan sebuah edisi kritis dari Perjanjian Baru, dan terjemahan bahasa Latin barunya menantang dasar kitab suci untuk beberapa dogma dan praktik-praktik Katolik. Terjemahannya mengancam konsep perbendaharaan jasa orang kudus dengan memilih kata sifat gratiosa ("murah hati") dan bukannya gratia plena ("penuh rahmat") untuk menyebut Perawan Maria dalam teks Latin Salam Maria. Erasmus juga menyerang penafsiran alegoris dari teks-teks Alkitab. Sebagai contoh, ia menolak bahwa referensi tentang ketaatan Yesus kepada orang tuanya dalam Injil Lukas dapat ditafsirkan bahwa Yesus masih berhutang ketaatan kepada ibunya, sehingga secara tidak langsung menantang kepercayaan akan perantaraan Perawan Maria.[21]

Gerakan-gerakan religius baru mendorong keterlibatan kaum awam yang lebih dalam dalam praktik-praktik keagamaan. Saudara-Saudara Hidup Bersama menghalangi para anggotanya untuk menerima pentahbisan imam dan sering kali menempatkan rumah mereka dan rumah suster-suster mereka di bawah perlindungan pemerintah kota.[22] Mereka terkait erat dengan devotio moderna, sebuah metode spiritualitas Katolik yang baru dengan penekanan khusus pada pendidikan kaum awam.[catatan 5][24] Seorang pemimpin gerakan ini, Wessel Gansfort (wafat tahun 1489) dari Belanda, menyerang penyalahgunaan indulgensi[25] dan menyatakan bahwa seorang profesor studi Alkitab dapat lebih memahami Kitab Suci dibandingkan dengan para klerus yang tidak terlatih.[26] Dengan menyebarnya pembuatan kertas dari kain dan mesin cetak dengan jenis huruf lepas di Eropa sejak abad ke-15, buku-buku dapat dibeli dengan harga yang terjangkau sehingga meningkatkan kemampuan membaca kaum awam.[catatan 6] Permintaan akan sastra keagamaan menjadi sangat tinggi.[28] Seorang penemu asal Jerman, Johannes Gutenberg (wafat tahun 1468), pertama kali menerbitkan Vulgata versi dua jilid pada awal tahun 1450-an; kemudian diterbitkan ulang beberapa kali, menjadikan teks Alkitab dalam bahasa Latin sebagai buku yang paling banyak diterbitkan pada abad tersebut.[29] Alkitab juga diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari: Terjemahan Alkitab dalam bahasa Jerman Tinggi dan Rendah, Italia, Belanda, Spanyol, Ceko, dan Katalan diterbitkan antara tahun 1466 dan 1492; di Prancis, versi ringkas Alkitab dalam bahasa Prancis mendapatkan popularitas pada tahun 1470-an.[30] Dengan mempelajari Alkitab mereka, orang awam dapat sampai pada kesimpulan bahwa mempertahankan organisasi Gereja tidak diperlukan untuk keselamatan mereka. Pada tahun 1515, beberapa di antara mereka mulai menentang khotbah-khotbah pendeta mereka dengan menyatakan bahwa "Dalam buku saya ini berbeda dari apa yang dikatakan oleh pendeta."[31]

Upaya-upaya reformasi yang gagal

 
Portret Leo X oleh Raphael (wafat 1520)

Perlunya reformasi Gereja in capite et membris ("di kepala dan di anggota tubuh") sering didiskusikan dalam konsili-konsili ekumenis sejak akhir abad ke-13. Dengan munculnya gerakan konsiliarisme pada awal abad ke-15, gagasan ini berubah menjadi sebuah tuntutan untuk mengganti otoritas kepausan dengan sebuah kontrol kolektif atas Gereja Katolik. Namun, sebagian besar pemangku kepentingan—paus, uskup, dan raja—lebih memilih status quo karena mereka tidak ingin kehilangan hak-hak istimewa dan pendapatan mereka.[32] Sistem dispensasi kepausan menjadi penghalang utama bagi penerapan langkah-langkah reformis karena Takhta Suci secara teratur memberikan kekebalan bagi mereka yang tidak ingin melaksanakannya.[33] Gerakan pembaharuan di kalangan klerus biasa memiliki beberapa keberhasilan yang signifikan dengan menyebarnya apa yang disebut "jemaat-jemaat dengan ketaatan yang ketat". Ini adalah komunitas-komunitas biara yang kembali kepada interpretasi ketat dari aturan biara ordo mereka.[catatan 7] Para uskup reformis mencoba mendisiplinkan para rohaniwan mereka melalui kunjungan kanonik secara teratur ke paroki-paroki lokal dan dengan mengeluarkan nasihat kepada para rohaniwan yang tidak taat.[catatan 8] Upaya-upaya ini pada umumnya gagal karena mereka tidak dapat mengatasi perlawanan dari lembaga-lembaga otonom seperti kapitel-kapitel katedral. Mereka juga tidak dapat menggunakan otoritas yang nyata terhadap para klerus non-residen yang telah menerima bantuan dari Tahta Suci. Setelah kegagalan konsili, sebagian besar klerus reformis menahan diri untuk tidak menuntut perubahan struktural; sebaliknya, mereka mengkritik kegagalan moral para klerus yang sebagian besar mengulangi frasa yang dipinjam dari karya-karya para reformis abad ke-12 dan ke-13.[catatan 9][37]

Menjelang Reformasi, Konsili Lateran V adalah kesempatan terakhir ketika upaya untuk memkperkenalkan reformasi yang luas dari atas dapat tercapai. Konsili ini diadakan oleh Paus Julius II pada tahun 1512 sebagai tanggapan atas upaya raja Prancis Louis XI (memerintah 1498-1515) untuk menghidupkan kembali konsiliarisme dengan dukungan sekelompok kardinal. Para uskup yang berkumpul membahas risalah yang kompleks tentang perlunya reformasi, tetapi mereka gagal memperkenalkan perubahan mendasar. Konsili ini tidak membuat keputusan-keputusan penting dan dibubarkan pada tahun 1517.[38]

Permulaan

95 Tesis

 
Portret Martin Luther (1529) oleh Lucas Cranach Tua

Paus Leo X (memerintah 1513-1521) memutuskan untuk menyelesaikan pembangunan Basilika Santo Petrus yang baru di Roma. Karena penjualan sertifikat indulgensi kepausan telah menjadi metode penggalangan dana yang mapan, ia melalui bulla kepausan Sacrosanctis mengumumkan indulgensi baru dan menghentikan penjualan indulgensi sebelumnya pada tahun 1515. Atas saran dari bankir Jakob Fugger (wafat 1525), ia menunjuk uskup pluralis Jerman, Albrecht dari Brandenburg[catatan 10] (wafat 1545) untuk mengawasi kampanye penjualan tersebut di Jerman. Biarawan Dominikan Johann Tetzel (wafat 1519), seorang tokoh terkemuka dalam kampanye tersebut, menerapkan metode pemasaran yang luar biasa agresif. Salah satu slogannya yang terkenal menyatakan bahwa "Begitu koin masuk ke dalam kotak berdenting, sebuah jiwa dari api penyucian ke surga keluar."[catatan 11][40][41] Kampanye yang vulgar ini mengejutkan sebagian besar umat yang berpikiran serius. Friedrich yang Bijak, Elektor Sachsen (memerintah 1486-1525), melarang kampanye tersebut karena Albrecht adalah saingannya, dan penangguhan indulgensi lainnya membuatnya kehilangan sebagian besar pendapatan yang telah ia habiskan untuk kolekssi relikui di Wittenberg.[catatan 12][25]

Martin Luther (wafat 1546), seorang profesor teologi di Universitas Wittenberg yang baru saja didirikan di Sachsen, termasuk di antara mereka yang marah dengan kampanye Tetzel.[41][43] Terlahir dari keluarga kelas menengah, Luther memasuki biara Agustinian di Erfurt setelah badai petir yang dahsyat mengingatkannya akan risiko kematian mendadak dan penghukuman kekal. Meskipun ia mengikuti interpretasi ketat dari aturan-aturan kaum Agustinian, kegelisahannya akan keberdosaannya tidak kunjung reda.[44] Sepanjang hidupnya, ia menderita sakit kepala, sakit telinga, pingsan, dan masalah pencernaan. Dalam retrospeksi, ia menyatakan bahwa gejala-gejala ini—yang ia gambarkan sebagai "pencobaan"—membuktikan bahwa Iblis sedang memeranginya.[45] Ia memulai ceramahnya mengenai teks-teks Alkitab di Universitas Wittenberg pada tahun 1513.[44] Studi-studinya terhadap karya-karya teolog Romawi Akhir, Agustinus dari Hippo (wafat 430), khususnya Tentang Roh dan Surat (De spiritu et littera) meyakinkannya bahwa mereka yang dipilih Allah sebagai umat pilihan-Nya menerima karunia iman yang terlepas dari perbuatan-perbuatan dosa mereka.[46] Ia dengan tajam mengecam gagasan skolastik tentang pembenaran di hadapan Allah melalui usaha manusia dalam Disputatio contra scholasticam theologiae, yang diterbitkan pada bulan September 1517.[47] Ia menyatakan bahwa "kita tidak dibenarkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang benar; tetapi saat kita sudah dibenarkan, kita melakukan perbuatan-perbuatan yang benar."[48]

Luther tentang pergumulan orang Kristen terhadap Allah

Orang-orang Kristen harus didorong untuk sungguh-sungguh mencari jalan untuk mengikuti Kristus, Kepala mereka, melalui hukuman, kematian, neraka. Dan biarlah mereka lebih yakin untuk masuk surga melalui banyak penderitaan daripada melalui jaminan damai sejahtera yang palsu.

Martin Luther, 95 Tesis[49]

Pada tanggal 31 Oktober 1517, Luther menulis surat kepada Albrecht dari Brandenburg, yang menyatakan bahwa para klerus yang mengkhotbahkan indulgensi Santo Petrus telah menipu umat. Ia telah menyelesaikan sebuah makalah diskusi, yang dikenal sebagai 95 Tesis, dan juga mengirimkannya kepada uskup agung.[catatan 13] Dalam dokumen ini, ia menyerang konsep Purgatorium, dan mempertanyakan efisiensi indulgensi untuk orang mati. Di sisi lain, ia menyatakan "Jika ... indulgensi dikhotbahkan sesuai dengan semangat dan niat paus, semua ... keraguan akan dengan mudah diselesaikan".[51] Rekan-rekannya sesama akademisi menerima makalah diskusi tersebut secara pribadi. Edisi cetak pertamanya diterbitkan kemungkinan besar tanpa persetujuannya di Leipzig, Magdeburg, Nuremberg, dan Basel pada bulan November.[48] Uskup Agung Albrecht memerintahkan para teolog di Universitas Mainz untuk memeriksa tesis-tesis Luther, dan meneruskannya kepada Kuria Roma untuk dihakimi. Tetzel, serta teolog Konrad Wimpina (wafat 1531) dan Johann Eck (wafat 1543), adalah orang pertama yang mengkritik Luther di depan umum, dengan mengaitkan beberapa tesisnya dengan Hussitisme.[52] Terlibat secara mendalam dalam politik Italia, Paus Leo X (memerintah 1513-1521) tetap tidak tertarik dengan kasus Luther. Dia menggambarkannya sebagai "pertengkaran di antara para biarawan" yang mengacu pada perseteruan terkenal antara kaum Agustinian dan Dominikan.[41][53]

Teologi yang baru

 
Halaman judul dari bulla kepausan Exsurge Domine diterbitkan "melawan kesalahan-kesalahan Luther dan pengikut-pengikutnya"

Seperti yang ditulis oleh sejarawan Lyndal Roper, "Reformasi berlangsung melalui serangkaian perdebatan dan argumen."[54] Pada awalnya, pandangan-pandangan Luther menyebar melalui perdebatan di dalam Ordo Agustinian. Rekan-rekannya sesama biarawan cenderung bersimpati kepadanya terutama setelah sikap memusuhi dari kaum Dominikan menjadi jelas. Luther memaparkan pandangannya di depan umum pada pertemuan jemaat Agustinus di Heidelberg pada tanggal 26 April 1518.[55] Di sini ia menjelaskan "teologi Salib" tentang Allah yang penuh kasih yang telah menjadi lemah dan bodoh untuk menyelamatkan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, yang kontras dengan "teologi kemuliaan" skolastik yang merayakan pengetahuan dan tindakan manusia.[53] Dengan pidatonya yang tegas dan penuh semangat, Luther meyakinkan banyak orang yang hadir dalam pertemuan tersebut yang berkontribusi pada penerimaan yang baik atas gagasan-gagasannya di barat daya Jerman. Sejarawan Thomas Kaufmann mencatat bahwa para mahasiswa merupakan "agen-agen bergerak yang efektif dalam penyebaran ide-ide Reformasi."[56]

Paus Leo menunjuk ahli hukum Girolamo Ghinucci (wafat 1541) dan teolog Dominikan Sylvester Mazzolini (wafat 1527) untuk memeriksa ajaran Luther.[57] Mazzolini mempublikasikan sebuah tanggapan terhadap tesis-tesis Luther yang berjudul Dialog Melawan Tesis-tesis Arogan dari Martin Luther Mengenai Kekuasaan Paus. Dia berpendapat bahwa Luther telah mempertanyakan otoritas kepausan dengan menyerang indulgensi. Pendekatan Mazzolini pada awalnya membuat Luther takut, tetapi ia segera menyadari bahwa hanya reformasi fundamental yang dapat mengakhiri penjualan indulgensi yang ia anggap sebagai sebuah penyalahgunaan.[58] Paus Leo tidak mengekskomunikasi Luther karena ia tidak ingin mengasingkan pelindung Luther, Friedrich yang Bijak. Sebaliknya, ia menunjuk Jenderal Dominikan Kardinal Thomas Cajetan (wafat 1534) untuk meyakinkan Luther agar menarik kembali beberapa tesisnya, tetapi Luther menolak dengan keras kepala selama pertemuan mereka di Augsburg pada bulan Oktober 1518.[48] Sejarawan Berndt Hamm berpendapat bahwa interogasi Luther oleh Cajetan merupakan "titik historis di mana pertentangan antara Reformasi dan Katolik pertama kali muncul", karena Cajetan takut bahwa orang-orang percaya yang berpikir bahwa mereka telah ditakdirkan untuk diselamatkan tidak akan lagi menaati para pendeta.[59][60]

Luther pertama kali menyatakan simpatinya terhadap Jan Hus dalam sebuah disputasi di Leipzig pada bulan Juni 1519.[61] Di sini ia juga menyatakan bahwa konsili-konsili ekumenis dan kepausan dapat melakukan kesalahan dalam perkara iman.[62] Teologinya dengan cepat berkembang pada periode berikutnya. Dalam risalahnya yang berjudul Tentang Pembuangan Babilonia Gereja (De captivitate Babylonica ecclesiae), ia menyimpulkan bahwa hanya baptisan dan perjamuan kudus yang dapat dianggap sebagai sakramen karena ritus-ritus sakral Katolik lainnya tidak memiliki dasar Alkitabiah. Ia menyatakan bahwa para imam tidak dapat dipandang sebagai peran khusus, tetapi hanya sebagai pelayan masyarakat, sehingga mereka disebut sebagai 'minister' yang berasal dari kata Latin yang berarti pelayan. Manifesto Jermannya, Kepada Bangsawan Kristen Bangsa Jerman (An den christlichen Adel deutscher Nation), mengaitkan kepausan dengan Antikristus, dan menggambarkan Gereja resmi sebagai "rumah bordil terburuk dari antara semua rumah bordil" yang mengacu pada sejumlah besar uang tunai yang mengalir dari Jerman ke Kuria Romawi dalam bentuk bayaran.[63][64] Luther juga menolak dasar-dasar Alkitab untuk selibasi klerus, dan pernyataannya dirasakan sebagai hal yang memerdekakan bagi banyak imam yang merasa bersalah karena melanggar sumpah kesucian mereka.[65] Studinya Tentang Kebebasan Seorang Kristen (De Libertate Christiana) menggabungkan pemikirannya mengenai kebebasan internal orang percaya dengan kewajiban mereka untuk peduli terhadap sesama mereka, meskipun ia menolak ajaran tradisional mengenai perbuatan baik.[66] Karya ini merupakan contoh karakteristik dari antusiasme Luther terhadap paradoks.[catatan 14][67]

Kasus Luther dibuka kembali di Roma. Cajetan, Eck dan para pejabat kepausan lainnya menyusun sebuah bulla kepausan yang mengutuk Luther dan 41 tesisnya. Diterbitkan pada tanggal 15 Juni 1520, bulla yang berjudul Exsurge Domine memberikan masa tenggang selama 60 hari kepada Luther untuk menarik kembali pernyataan-pernyataannya sebelum ekskomunikasi diberlakukan.[68] Bulla tersebut menyebabkan amarah yang meluas di Jerman dan di banyak tempat salinannya dihancurkan. Nunsius kepausan Girolamo Aleandro (wafat tahun 1542) memerintahkan pembakaran buku-buku Luther di Louvain dan Liège. Menanggapi hal ini, Luther dan para pengikutnya membakar salinan Exsurge Domine bersama dengan karya-karya para teolog skolastik, dan salinan Corpus Juris Canonici—dokumen dasar hukum gerejawi abad pertengahan—di tepi sungai Elbe di Wittenberg pada tanggal 10 Desember. Para mahasiswa merayakan pembakaran bulla kepausan dengan sebuah parade di mana mereka juga membakar tiara kepausan. Luther memanfaatkan radikalisme mereka tetapi juga berusaha untuk menjaga jarak yang aman dari mereka: selebaran yang dicetak tentang peristiwa tersebut menekankan bahwa tidak ada profesor yang menghadiri parade para mahasiswa. Bulla kepausan mengenai ekskomunikasi Luther yang disebut Decet Romanum Pontificem diterbitkan pada tanggal 3 Januari 1521.[69][70]

Kaisar Romawi Suci yang baru terpilih, Karl V (memerintah 1519-1556), ingin mencabut perlindungan hukum Luther di Dewan Worms, tetapi ia tidak dapat membuat keputusan sendirian.[71] Kekaisaran Romawi Suci merupakan sebuah konfederasi yang longgar dari kerajaan-kerajaan, keuskupan-keuskupan, kota-kota kekaisaran merdeka, serta negara-negara sekuler dan gerejawi lainnya.[72] Dipilih oleh tujuh pangeran, Kaisar Romawi Suci adalah penguasa nominal konfederasi, tetapi otoritas yang sebenarnya berada di tangan Dewan Kekaisaran di mana wilayah-wilayah kekaisaran berkumpul.[73] Friedrich yang Bijak mengajukan veto terhadap usulan kaisar mengenai pelarangan kekaisaran terhadap Luther, dan Luther dipanggil ke Worms untuk membela kasusnya di Dewan pada bulan April 1521. Di sini ia diperingatkan untuk menarik kembali tulisannya, namun ia menolak dengan menyatakan bahwa hanya argumen dari Alkitab yang dapat meyakinkannya bahwa tulisannya mengandung kesalahan. Untuk menyelamatkan nyawa Luther dan juga untuk menyembunyikan keterlibatannya, Frederick yang Bijaksana mengatur penculikan Luther pada tanggal 4 Mei. Luther dibawa ke istana milik Friedrich di Wartburg.[71] Selama penahanannya, Luther menyelesaikan penerjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman Hulu. Sejarawan Diarmaid MacCulloch menggambarkan terjemahan Luther sebagai "pencapaian luar biasa yang telah membentuk bahasa Jerman sejak saat itu", dan menambahkan bahwa "bakat Luther adalah menangkap emosi dengan frasa-frasa yang tiba-tiba dan mendesak". Luther juga menggubah lagu-lagu himne religius yang pertama kali diterbitkan dalam bentuk kumpulan pada tahun 1524.[74]

Penyebaran

 
Cukil kayu oleh Lucas Cranach Tua dari Kesengsaraan Kristus dan Antikristus menggambarkan Kristus mengenakan mahkota duri dan dihina (di bagian kiri) dan paus dimahkotai dengan tiara dan dipuja-puja uskup dan biarawan (di bagian kanan)

Roper berpendapat bahwa "alasan terpenting mengapa Luther tidak mengalami nasib yang sama dengan Hus adalah teknologi: media cetak yang baru". Luther menerbitkan pandangan-pandangannya dalam serangkaian risalah pendek namun tajam yang mendapatkan popularitas yang tak terduga: ia bertanggung jawab atas sekitar seperlima dari seluruh karya yang dicetak di Jerman pada sepertiga pertama abad ke-16.[catatan 15][76] Berbeda dengan kebanyakan negara Eropa, percetakan di Jerman tidak terkonsentrasi di beberapa pusat kota, melainkan tersebar di banyak tempat sehingga tidak dapat dikontrol oleh pemerintah pusat.[77]Analisis statistik menunjukkan korelasi positif yang signifikan antara keberadaan percetakan di suatu kota di Jerman dengan penerimaan Reformasi.[catatan 16][79] Kota-kota dengan pasar percetakan yang kompetitif bahkan lebih mungkin untuk menerima teologi baru.[80]

Luther bekerja sama dengan seniman Lucas Cranach Tua (wafat 1553) yang memiliki kepekaan tinggi dalam memvisualisasikan pesan Luther dan para pengikutnya. Cranach menghasilkan potret ideal Luther yang menjadi contoh bagi gambar-gambar populer selanjutnya yang dicetak di sampul buku dan diletakkan di atas medali yang dibuat untuk dijual.[81] Cukilan-cukilan kayu Cranach bersama dengan penjelasan para pengkhotbah keliling membantu orang-orang yang sebagian besar buta huruf untuk memahami ajaran Luther.[82] Pamflet-pamflet tersebut dibawa dari satu tempat ke tempat lain, umumnya oleh para pengembara seperti para pedagang keliling.[83] Salinan cetak dari 95 Tesis telah sampai ke Spanyol, Prancis, dan Italia pada tahun 1519.[84]

Kaum awam mulai mendiskusikan dan mempertanyakan berbagai aspek agama resmi baik secara pribadi maupun di depan umum di seluruh Jerman.[85] Pada awalnya, kota-kota di Jerman yang otonom menjadi pusat utama gerakan reformasi.[86] Reformasi menyebar melalui kegiatan para pengkhotbah yang antusias seperti Johannes Oecolampadius (wafat 1531) dan Konrad Kürsner (wafat 1556) di Basel, Sebastian Hofmeister (wafat 1533) di Schaffhausen, serta Matthäus Zell (wafat 1548) dan Martin Bucer (wafat 1551) di Strasbourg.[87] Disebut "Injili" (Evangelisch) karena keteguhan mereka untuk mengajar sesuai dengan Injil, atau Evangelion,[88] para pengkhotbah reformasi dengan cepat meyakinkan sejumlah orang awam bahwa banyak praktik-praktik mapan dari Gereja tradisional tidak memiliki preseden di dalam Alkitab. Mereka membaca cuplikan dari terjemahan Perjanjian Baru Luther, menawarkan perjamuan kudus kepada kaum awam dalam kedua jenis,[89] dan menentang monopoli Gereja resmi, yang beresonansi dengan anti-klerikalisme yang populer.[90] Bukanlah hal yang aneh jika para pendukung mereka menyerang para pendeta, biarawan, dan gedung-gedung gerejawi.[91] Di beberapa kota seperti Strassbourg dan Ulm, para magistrat kota secara aktif mendukung para reformator, sementara di kota-kota Liga Hansa, kelas menengah yang makmur tetapi secara politis hampir tidak berdaya memaksakan perubahan dalam kehidupan gereja.[92] Kota-kota yang terletak lebih dekat dengan pusat-pusat ideologi terpenting Reformasi—Wittenberg dan Basel—lebih mungkin menerima gagasan-gagasannya dibandingkan kota-kota lain. Hal ini mengindikasikan pentingnya jaringan mahasiswa,[93] atau menunjukkan bahwa kedekatan dengan tetangga yang telah menolak agama Katolik meningkatkan kemungkinan untuk juga meninggalkan sistem gerejawi tradisional.[94] Daerah-daerah yang miskin tetapi memiliki potensi ekonomi yang besar lebih cenderung mengikuti teologi Luther.[95]

Luther tentang pendidikan

"Tuan-tuan yang terhormat, jika kita harus mengeluarkan begitu banyak uang setiap tahun untuk senapan, jalanan, jembatan, bendungan, dan hal-hal serupa yang tak terhitung jumlahnya demi mengamankan kedamaian dan kemakmuran sesaat dari sebuah kota, mengapa kita tidak mengeluarkan lebih banyak lagi untuk para pemuda yang terabaikan - setidaknya cukup untuk melibatkan satu atau dua orang yang kompeten untuk mengajar di sekolah-sekolah?"

Martin Luther, Kepada Para Anggota Dewan di Semua Kota di Jerman Agar Mereka Mendirikan dan Memelihara Sekolah-Sekolah Kristen (1524)[96]

Sosiolog Steven Pfaff menggarisbawahi bahwa "reformasi gerejawi dan liturgi bukanlah sekadar persoalan agama ... karena jenis reformasi yang dituntut oleh kaum Injili tidak dapat diakomodasikan dalam lembaga-lembaga yang sudah ada, adat istiadat yang berlaku, atau hukum yang sudah ditetapkan." Para reformator mengusir para penentang utama mereka, membubarkan biara-biara, mendapatkan kendali dari magistrat kota untuk mengangkat para pendeta, dan mendirikan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru.[97] Meskipun Luther mengecam para pengemis, ia menyatakan bahwa umat beriman "harus memberikan kasih dan dukungan kepada Kristus bagi mereka yang membutuhkan". Dewan kota Injili biasanya melarang pengemis tetapi membentuk peti bersama untuk pengentasan kemiskinan dengan mengambil alih harta benda lembaga gerejawi yang dibubarkan. Dana tersebut digunakan untuk pinjaman berbunga rendah dan hadiah kepada orang miskin untuk memulai bisnis baru, dan juga untuk dukungan harian bagi anak yatim piatu, orang tua dan orang sakit. Berbeda dengan pepatah populer Jerman pada akhir abad pertengahan yang mengatakan bahwa "orang yang terpelajar itu bodoh", Luther yakin bahwa hanya orang yang terpelajar yang dapat secara efektif melayani Tuhan dan masyarakat. Di bawah naungannya, sekolah-sekolah umum dan perpustakaan dibuka di banyak kota yang menawarkan pendidikan kepada lebih banyak anak daripada sekolah-sekolah biara dan katedral tradisional.[98]

Perlawanan dan penindasan

[[Berkas:Treasury_of_St._Ursula,_Cologne,_the_Rhine,_Germany-LCCN2002714088.jpg|al=A golden shrine in a large room|kiri|jmpl|Perbendaharaan Santa Ursula di Basilika Santa Ursula, Köln. Kultus populernya berkontribusi pada perlawanan warga kota terhadap penyebaran gerakan Injili di Köln. Perlawanan terhadap khotbah-khotbah Injili cukup signifikan di beberapa wilayah Kekaisaran Romawi Suci, seperti Flanders, Rheinland, Bayern, dan Austria.[99] Di sana pemujaan terhadap orang-orang kudus setempat sangat kuat, dan analisis statistik mengindikasikan bahwa kota-kota di mana tempat pemujaan orang-orang kudus setempat menjadi pusat kultus komunal yang kuat, lebih kecil kemungkinannya untuk menerima Reformasi.[catatan 17][101] Demikian juga, kota-kota yang memiliki keuskupan atau biara-biara lebih mungkin untuk menolak penyebaran gerakan Injili.[102][103] Sebagian besar perwakilan dari generasi yang lebih tua dari para sarjana Humanis tidak pernah menerima ide-ide Reformasi. Beberapa di antara mereka berpendapat bahwa perdebatan akademis mengenai teologi tidak dapat membuat orang Kristen menjadi lebih baik. Yang lainnya, seperti Konrad Peutinger (wafat 1547), khawatir bahwa orang awam tidak akan mematuhi otoritas agama jika mereka mengetahui adanya pertengkaran para teolog. Erasmus menganggap gagasan dan paradoks Luther sebagai spekulasi, dan menyatakan bahwa "antusiasme Luther yang tidak terkendali membawanya melampaui apa yang benar". Jacob van Hoogstraaten (wafat 1527) menolak teologi keselamatan Luther dengan membandingkannya "seakan-akan Kristus mengambil pengantin perempuan yang paling kotor dan tidak peduli dengan kebersihannya".[104]

Karya-karya Luther dibakar di sebagian besar negara Eropa setelah ekskomunikasinya.[105] Kaisar Karl V bertekad untuk membela kepentingan Gereja Katolik. Otoritasnya sangat terbatas di luar wilayah kekuasaan Habsburg,[106] tetapi ia bertanggung jawab atas eksekusi para martir Injili pertama, yaitu biarawan Augustinian Jan van Essen dan Hendrik Vos yang dibakar di tiang pancang di Brussel (di Belanda Habsburg) pada tanggal 1 Juli 1523.[107][108] Ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa Tengah semakin meningkat, menghalangi upaya Karl untuk memerangi para pendukung Reformasi: Utsman merebut Beograd pada tahun 1521, memberikan kekalahan telak bagi tentara Hungaria pada tahun 1526, dan mengepung Wina untuk pertama kalinya pada tahun 1529.[109][110]

Raja Inggris Henry VIII (memerintah 1509-1547) adalah raja pertama yang mengecam teologi Luther secara terbuka. Terinspirasi oleh Uskup Rochester yang sangat anti-Lutheran, John Fisher (wafat tahun 1535), Henry menunjuk sebuah tim teolog untuk menyusun sebuah risalah sebagai tanggapan atas serangan Luther terhadap dogma Katolik. Diterbitkan dengan nama Henry, Pembelaan atas Tujuh Sakramen mempertahankan daftar sakramen tradisional. Paus menganugerahi Henry dengan gelar Pembela Iman (Fidei defensor) dan menawarkan indulgensi kepada semua orang yang membaca risalah tersebut.[105][111] Di Prancis, para teolog di Sorbonne menyatakan Luther sebagai musuh Katolik yang "memuntahkan doktrin wabah penyakit". Guillaume Briçonnet (wafat 1534), uskup Meaux, mengecam Luther tetapi mempekerjakan para pendeta yang berpikiran reformasi seperti Jacques Lefèvre d'Étaples (wafat 1536) dan Guillaume Farel (wafat 1565) untuk memperbaharui kehidupan religius di keuskupannya. Raja Prancis Francis I (memerintah 1515-1547) tidak menganiaya para teolog reformasi, namun banyak dari mereka yang dipaksa mengasingkan diri setelah Francis ditangkap dalam Pertempuran Pavia pada tahun 1525.[112]

Inkuisisi Spanyol secara efektif mencegah penyebaran literatur Injili di negara itu, dan menekan gerakan spiritual Alumbrados ("Illuminis") yang memberikan penekanan khusus pada iman pribadi. Terjemahan-terjemahan Italia dari karya-karya Luther didistribusikan di bawah tanah, terkadang menggunakan nama Erasmus. Dikenal sebagai Spirituali, beberapa sarjana dan klerus Italia seperti bangsawan Venesia Kardinal Gasparo Contarini (wafat 1542) dan seorang kanon Agustinian Petrus Martir Vermigli (wafat 1562) mengemukakan gagasan-gagasan yang mirip dengan teologi keselamatan Luther, namun mereka tidak memutuskan hubungan dengan Gereja resmi.[113][114] Korespondensi antara Luther dan perwakilan dari Persaudaraan Bohemia mengungkapkan bahwa teologi mereka tidak cocok meskipun pemimpin Persaudaraan Bohemia, Lukas dari Praha (wafat pada tahun 1528), menekankan kesamaan pandangan mereka tentang pembenaran. Raja Louis dari Bohemia dan Hungaria (memerintah 1516-1526) memerintahkan penganiayaan terhadap para pengkhotbah Injili di wilayah kekuasaannya. Sebaliknya, istrinya, Maria dari Austria (wafat 1558) bersimpati kepada para reformator, tetapi ia dilarang mempekerjakan pendeta Injili Paulus Speratus (wafat 1551) sebagai pendeta istananya.[115]

Radikalisasi

Selama Luther tidak ada, rekan-rekan kerjanya mengambil alih kepemimpinan di Wittenberg. Philipp Melanchthon (wafat 1560) mengkonsolidasikan pemikiran Luther ke dalam sebuah karya teologis yang runtut berjudul Loci communes ("Tempat-tempat Umum") yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1521. Andreas Karlstadt (wafat 1541) lebih radikal. Pada Hari Natal 1521, ia memimpin perjamuan kudus dengan mengenakan pakaian biasa dan bukannya jubah imam; keesokan harinya ia mengumumkan pertunangannya dengan seorang gadis bangsawan berusia lima belas tahun, Anna von Mochau. Pernikahan mereka kemudian menjadi preseden bagi para imam lain yang sering menikah dengan persetujuan jemaat di paroki mereka. Karlstadt menyatakan bahwa semua gambar religius adalah contoh dari "tipu daya setan", yang menyebabkan penghancuran massal gambar dan patung di gereja-gereja setempat. Para antusias agama berbondong-bondong datang ke Wittenberg dari daerah-daerah sekitarnya. Di antara mereka, yang disebut sebagai nabi-nabi Zwickau, yang telah dipengaruhi oleh pengkhotbah radikal Thomas Müntzer (wafat tahun 1525), mengklaim bahwa mereka menerima wahyu dari Allah.[116][117] Mereka menolak konsep transubstansiasi dan menyatakan bahwa baptisan bayi tidak memiliki dasar-dasar yang Alkitabiah. Luther memandang baptisan bayi sebagai tanda dari menjadi bagian dalam Gereja Kristen, dan bersikeras dengan gagasan transubstansiasi,[catatan 18] dan membela seni religius sebagai bukti keindahan Ciptaan. Untuk mengakhiri anarki, Friedrich yang Bijak melepaskan Luther pada bulan Maret. Luther menyebut para nabi Zwickau sebagai Schwärmer ("fanatik"), dan berhasil menyingkirkan mereka dari Wittenberg. Ia menikahi mantan biarawati Katharina von Bora (wafat tahun 1552).[119]

Meskipun Luther mengecam penggunaan kekerasan, beberapa pengikutnya siap mengangkat senjata. Franz von Sickingen (wafat 1523), seorang ksatria kekaisaran dari Rheinland, membentuk aliansi dengan rekan-rekannya untuk melawan Richard von Greiffenklau zu Vollrads, Uskup Agung-Elektor Trier (memerintah tahun 1511-1531), dengan menyatakan bahwa mereka ingin memimpin rakyat dari uskup agung "kepada hukum ringan yang injili, dan kebebasan Kristiani". Mereka menyerang keuskupan agung tetapi gagal dalam pengepungan Trier. Sickingen terluka parah selama pengepungan kastilnya sendiri oleh pasukan Greiffenklau dan sekutunya.[120]

Luther bukanlah satu-satunya penentang teologi tradisional. Pendeta Humanis Swiss, Huldrych Zwingli (wafat tahun 1531), menyatakan bahwa ia "mulai mengkhotbahkan Injil Kristus pada tahun 1516, jauh sebelum ada orang di wilayah kami yang pernah mendengar tentang Luther". Sama seperti Luther, Zwingli menolak otoritas kepausan dan konsili-konsili ekumenis, dan menganggap Alkitab sebagai satu-satunya sumber teologi. Ia menjadi terkenal karena "Peristiwa Sosis" ketika dia menghadiri acara makan sosis di Zürich selama masa Prapaskah 1522, yang melanggar aturan puasa. Ia menikah secara diam-diam dan, bersama dengan sepuluh pendeta lainnya, mendekati uskup Constance untuk mengizinkan pernikahan klerus meskipun mereka tahu bahwa uskup tidak punya pilihan selain menolak permohonan mereka.[121] Para magistrat kota setempat membela Zwingli melawan uskup, dan dengan dukungan mereka, ia memperkenalkan perubahan radikal lebih lanjut dalam kehidupan gerejawi Zürich. Pada tahun 1524, semua gambar disingkirkan dari gereja-gereja, dan puasa serta selibasi klerus dihapuskan. Dua tahun kemudian, sebuah kebaktian komuni berbahasa Jerman menggantikan liturgi Misa dalam bahasa Latin.[122] Kerja sama yang erat antara para rohaniwan reformasi dan para magistrat kota menghasilkan pembentukan dua institusi baru yang akan diadopsi di kota-kota lain. Prophezei adalah sekolah teologi umum di mana para sarjana, pendeta, dan orang awam mendengarkan ceramah dari Alkitab; Pengadilan Perkawinan dan Moral adalah pengadilan hukum yang terdiri dari dua orang awam dan dua orang pendeta yang memiliki yurisdiksi dalam urusan pernikahan tetapi juga bertindak sebagai polisi moral.[123]

Zwingli tidak berpikir bahwa dewan kota dapat memutuskan perdebatan teologis, tetapi ia memperkenalkan langkah-langkah reformasi dengan persetujuan dewan kota karena ia ingin menjaga ketertiban umum. Pendekatan yang berhati-hati ini membuat marah para reformator yang lebih radikal seperti Conrad Grebel (wafat tahun 1526). Sebagai putra seorang bangsawan Zürich, ia menikahi seorang gadis kelahiran kelas bawah yang membuatnya berselisih dengan keluarganya. Ia dan para pengikutnya yakin bahwa Gereja harus dibebaskan dari negara. Mereka meringkas teologi mereka dalam sebuah surat kepada Müntzer pada tanggal 5 September 1524. Mereka menolak baptisan bayi, dan mengidentifikasi Gereja sebagai sebuah komunitas eksklusif yang terdiri dari mereka yang menjalani kehidupan yang benar.[124]

Segera setelah Luther kembali ke Wittenberg, Karlstadt melepaskan jabatan akademisnya dan pindah ke Orlamünde. Dengan dukungan umat paroki setempat, ia memberhentikan baptisan bayi dan menolak transubstansiasi. Meskipun Karlstadt mengecam semua tindakan kekerasan, Luther mengaitkannya dengan Müntzer yang para pendukungnya telah menghancurkan sebuah kapel di Allstedt. Luther melakukan perjalanan mengunjungi banyak paroki di sepanjang sungai Saale untuk mencegah mereka memperkenalkan reformasi yang radikal, tetapi kaum radikal menyambutnya dengan caci maki dan lemparan batu di banyak tempat. Luther ingin mendapatkan pemecatan Karlstadt di Orlamünde, namun jemaat menolaknya, mengacu pada kata-kata Luther tentang hak jemaat untuk secara bebas memilih pendeta mereka. Karlstadt menyebut Luther sebagai "penyeleweng dari Kitab Suci", dan merangkum pandangannya tentang perjamuan kudus dalam serangkaian publikasi yang menggambarkannya sebagai sebuah tindakan simbolis. Ia diusir dari Sachsen pada bulan September 1524, tetapi ia terus mempertahankan teologinya dalam risalah-risalahnya.[125]

Karena kekurangan penghuni dan penurunan pendapatan, para tuan tanah mulai membatasi hak-hak petani yang tinggal di perkebunan mereka yang menyebabkan pemberontakan petani di banyak tempat di Eropa Tengah sejak pertengahan abad ke-15. Kaum tani menuntut pembatalan tugas-tugas baru dan pemulihan aturan lama yang memungkinkan mereka mengakses sungai, hutan, dan sumber daya alam lainnya secara bebas. Wilayah-wilayah gerejawi sangat rentan: Keuskupan Agung Salzburg menghadapi pemberontakan pada tahun 1462, 1478, dan 1504, Biara Ochsenhausen antara tahun 1496 dan 1502, dan Biara Berchtesgaden pada tahun 1506. Pemberontakan sering kali berakhir dengan kompromi, seperti perjanjian antara petani dan Biara Ochsenhausen pada tahun 1502 yang diperantarai oleh Liga Swabia yang berpengaruh.[126]

Meskipun Perang Petani Jerman pada tahun 1524-1525 dimulai sebagai protes pajak dan anti-korupsi seperti yang tercermin dalam Dua Belas Artikel, pemimpinnya, Thomas Müntzer, memberikan ciri khas reformasi yang radikal. Perang ini melanda wilayah Bayern, Thuringia, dan Swabia. Di antara para pejuang adalah Kompeni Hitam dari Florian Geier, seorang ksatria dari Giebelstadt yang telah bergabung dengan para petani dalam kemarahan umum terhadap hierarki Katolik.[127] Menanggapi laporan-laporan tentang kehancuran dan kekerasan, Luther mengecam pemberontakan tersebut dalam tulisan-tulisan seperti Melawan Gerombolan Petani yang Pembunuh dan Pencuri; Zwingli dan Melanchthon juga tidak menyetujui pemberontakan tersebut.[128][129] Sekitar 100.000 petani terbunuh hingga akhir perang.[130]

Reformasi Radikal

Meskipun terdapat keragaman yang signifikan di antara para Reformator Radikal awal, beberapa "pola yang berulang" muncul di antara banyak kelompok Anabaptis. Banyak dari pola-pola ini diabadikan dalam Pengakuan Iman Schleitheim (1527) dan mencakup baptisan orang percaya (atau dewasa), pandangan memorial mengenai Perjamuan Kudus, kepercayaan bahwa Kitab Suci adalah otoritas terakhir dalam hal iman dan praktik, penekanan pada Perjanjian Baru dan Khotbah di Bukit, penafsiran Kitab Suci dalam komunitas, pemisahan dari dunia dan teologi dua kerajaan, pasifisme dan non-resistansi, kepemilikan komunal dan berbagi secara ekonomi, kepercayaan akan kebebasan kehendak, tidak bersumpah, "sikap mengalah" (Gelassenheit) kepada komunitas seseorang dan kepada Tuhan, larangan (yaitu, menjauhi), keselamatan melalui divinisasi (Vergöttung) dan kehidupan yang etis, dan pemuridan (Nachfolge Christi).[131]

Literasi

[[File:Lutherbibel.jpg|thumb|right|Terjemahan bahasa Jerman Hulu Baru dari Alkitab Kristen oleh reformator Protestan Martin Luther (1534).[132] Popularitas Alkitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Hulu oleh Luther membantu membangun bahasa Jerman Hulu Standar modern.[132]]]

Reformasi Protestan merupakan keberhasilan bagi literasi dan mesin cetak yang baru.[133][catatan 19][102][135] Terjemahan Alkitab oleh Luther ke dalam bahasa Jerman Hulu (Perjanjian Baru diterbitkan pada tahun 1522; Perjanjian Lama diterbitkan dalam beberapa bagian dan selesai pada tahun 1534) juga menentukan bagi bahasa Jerman dan evolusinya dari bahasa Jerman Hulu Baru Awal ke bahasa Jerman Standar Modern.[132] Terjemahan Alkitab oleh Luther mendorong perkembangan bentuk-bentuk bahasa non-lokal dan membuat semua penuturnya mengenal bentuk-bentuk bahasa Jerman dari luar daerah mereka.[136] Penerbitan Alkitab Luther merupakan momen yang menentukan dalam penyebaran literasi di Jerman modern awal,[132] dan juga mendorong percetakan dan distribusi buku-buku dan pamflet keagamaan. Sejak tahun 1517 dan seterusnya, pamflet-pamflet keagamaan membanjiri Jerman dan sebagian besar wilayah Eropa.[137][catatan 20]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Salah satu peminatnya, Henry dari Lausanne (wafat ca 1148) mendorong para pelacur untuk bertobat dari dosa-dosa mereka di Prancis, tetapi ia menentang pengakuan dosa, dan menyerang kekayaan para pendeta. Meskipun seruannya untuk reformasi Gereja menarik banyak rakyat jelata, gerakannya dengan cepat hancur ketika ia meninggal dunia.[4]
  2. ^ Digambarkan sebagai "bintang petang skolastisisme dan bintang pagi Reformasi" oleh para penulis biografinya, Wycliffe juga merupakan seorang filsuf terkemuka.[6]
  3. ^ Contohnya, dalam karyanya Ordinatio, Duns Scotus(wafat 1308) menulis bahwa "teologi tidak membahas apa pun kecuali apa yang terkandung di dalam Kitab Suci, dan apa yang bisa disimpulkan dari hal tersebut."
  4. ^ Teks Vulgata dari Keluaran 34 adalah kasus yang terkenal tentang kesalahan terjemahan Jerome: teks Ibrani menulis wajah Musa yang bersinar saat menceritakan pewahyuan Sepuluh Perintah Allah, sedangkan Jerome menggambarkan Musa mengenakan sepasang tanduk karena ia salah sebuah mengartikan kata fungsi dalam bahasa Ibrani.[19]
  5. ^ Prinsip-prinsip "devosi baru" ini dirangkum oleh penulis mistik Kristen Thomas à Kempis (wafat 1471) dalam literatur renungan Kristen De Imitatione Christi.[23]
  6. ^ Harga buku-buku tersebut turun sekitar 85 persen setelah mesin cetak mulai menyebar.[27]
  7. ^ Contoh yang baik adalah jemaat Benediktin yang dimulai dengan reformasi kehidupan biara di Biara Santa Giustina di Padua di bawah naungan bangsawan Venesia, Ludovico Barbo (wafat 1443). Pada tahun 1505, kongregasi ini mencakup hampir 50 biara, dan berpengaruh pada reformasi biara-biara selanjutnya, seperti Biara Fontevraud dan Biara Marmoutier di Prancis.[34]
  8. ^ Uskup Agung Antoninus dari Firenze (wafat 1459) bahkan menyiksa para pendeta untuk membuktikan pelanggaran moral mereka.[35]
  9. ^ Beberapa contohnya antara lain adalah imam Inggris John Colet (wafat 1519) yang mengutuk rekan-rekannya yang bukan pendeta, dan uskup Prancis Guillaume Briçonnet (wafat 1534) yang mengkritik ketamakan, hedonisme, dan karierisme para uskup.[36]
  10. ^ Sebagai anggota Wangsa Hohenzollern, Albrecht memerintah Keuskupan Agung Mainz dan Keuskupan Agung Magdeburg serta Keuskupan Halberstadt. Ia telah meminjam uang dari Fugger untuk membayar biaya kepada Kuria Romawi atas pengangkatannya sebagai uskup di Mainz, dan bagiannya dalam pendapatan dari penjualan indulgensi memungkinkannya untuk melunasi pinjaman tersebut.[39]
  11. ^ Tetzel diduga menjual surat indulgensi untuk dosa di masa depan kepada seorang bangsawan yang kemudian merampoknya dengan mengatakan bahwa ini adalah dosa di masa depan yang telah ia bayarkan kepada Tetzel.[40]
  12. ^ Friedrich membangun kembali Gereja Seluruh Orang Kudus, Wittenberg untuk menyimpan koleksinya yang berjumlah hampir 20.000 relikui. Koleksi ini diperkirakan termasuk jerami dari kandang Kelahiran Yesus, mayat dari Pembantaian anak-anak di Betlehem, dan tetesan air susu ibu Bunda Maria.[42]
  13. ^ Ia mungkin menempelkan salinan 95 Tesis di pintu gereja kastil di Wittenberg karena tesis-tesis akademis biasa diterbitkan dengan cara ini.[48][50]
  14. ^ Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa "Seorang Kristen adalah tuan yang bebas sepenuhnya dari semua, tidak tunduk kepada siapa pun. Seorang Kristen adalah hamba yang berbakti secara mutlak kepada semua orang, tunduk kepada semua orang."[67]
  15. ^ Antara tahun 1517 dan 1520, Luther menyelesaikan 30 risalah, dan lebih dari 300.000 eksemplarnya terjual.[75]
  16. ^ Menurut analisis ekonometrika oleh ekonom Jared Rubin, "kehadiran mesin cetak sebelum tahun 1500 meningkatkan probabilitas sebuah kota untuk menjadi Protestan pada tahun 1530 sebanyak 52,1 persen, Protestan pada tahun 1560 sebanyak 43,6 persen, dan Protestan pada tahun 1600 sebanyak 28,7 persen."[78]
  17. ^ Pfaff menunjukkan dalam sebuah penelitian bahwa keberadaan tempat suci lokal di sebuah kota melipatgandakan kemungkinan untuk menentang Reformasi.[100]
  18. ^ Luther membandingkan kehadiran jasmani Tubuh dan Darah Kristus dalam Perjamuan Kudus dengan pemanasan sepotong besi yang mengubah ciri-ciri fisiknya.[118]
  19. ^ Pada akhirnya, meskipun penekanan Reformasi pada kaum Protestan untuk membaca Kitab Suci merupakan salah satu faktor dalam perkembangan literasi, dampak percetakan itu sendiri, ketersediaan karya-karya cetak yang lebih luas dengan harga yang lebih murah, dan meningkatnya fokus pada pendidikan dan pembelajaran sebagai faktor kunci untuk mendapatkan jabatan yang menguntungkan, juga merupakan faktor yang berkontribusi signifikan.[134]
  20. ^ Pada dekade pertama Reformasi, pesan Luther menjadi sebuah gerakan, dan produksi pamflet-pamflet keagamaan di Jerman mencapai puncaknya.[138]

Referensi

  1. ^ Armstrong, Alstair (2002). European Reformation: 1500–1610 (Heinemann Advanced History): 1500–55. Heinemann Educational. ISBN 0-435-32710-0. 
  2. ^ Davies Europe hlm. 291–293
  3. ^ (Inggris) Simon, Edith (1966). Great Ages of Man: The Reformation. Time-Life Books. hlm. 120–121. ISBN 0662278208. 
  4. ^ Hamilton 2003, hlm. 130.
  5. ^ Hamilton 2003, hlm. 3, 129–135.
  6. ^ Michael 2003, hlm. 343.
  7. ^ Marshall 2009, hlm. 4.
  8. ^ Hamilton 2003, hlm. 135–136.
  9. ^ Cameron 2012, hlm. 81.
  10. ^ Wickham 2016, hlm. 246–247.
  11. ^ Cameron 2012, hlm. 76–77.
  12. ^ Cameron 2012, hlm. 77.
  13. ^ MacCulloch 2003, hlm. 36–37.
  14. ^ MacGrath 2004, hlm. 137–138.
  15. ^ MacGrath 2004, hlm. 144–145.
  16. ^ Kaufmann 2023, hlm. 48–50.
  17. ^ MacCulloch 2003, hlm. 75–79.
  18. ^ Hamilton 2003, hlm. 27–28.
  19. ^ a b MacCulloch 2003, hlm. 79.
  20. ^ MacGrath 2004, hlm. 128.
  21. ^ MacCulloch 2003, hlm. 95–97.
  22. ^ MacCulloch 2003, hlm. 22.
  23. ^ MacGrath 2004, hlm. 22–23.
  24. ^ MacGrath 2004, hlm. 22.
  25. ^ a b MacCulloch 2003, hlm. 119.
  26. ^ Gordon 2022, hlm. 18.
  27. ^ Rubin 2014, hlm. 6.
  28. ^ MacCulloch 2003, hlm. 68–70.
  29. ^ Gordon 2022, hlm. 8, 18, 29.
  30. ^ MacCulloch 2003, hlm. 70–71.
  31. ^ Gordon 2022, hlm. 30.
  32. ^ Cameron 2012, hlm. 44–45.
  33. ^ Hamilton 2003, hlm. 39.
  34. ^ Cameron 2012, hlm. 47–48.
  35. ^ Cameron 2012, hlm. 50.
  36. ^ Cameron 2012, hlm. 52–53.
  37. ^ Cameron 2012, hlm. 47–53.
  38. ^ MacCulloch 2003, hlm. 84–85.
  39. ^ MacCulloch 2003, hlm. 117.
  40. ^ a b Lindberg 2021, hlm. 71.
  41. ^ a b c Marshall 2009, hlm. 15.
  42. ^ Cameron 2012, hlm. 15.
  43. ^ Kolb 2006, hlm. 41.
  44. ^ a b Kolb 2006, hlm. 40–41.
  45. ^ Roper 2022, hlm. 56–57.
  46. ^ MacCulloch 2003, hlm. 114, 116.
  47. ^ Kaufmann 2023, hlm. 70.
  48. ^ a b c d Cameron 2012, hlm. 102.
  49. ^ MacCulloch 2003, hlm. 120.
  50. ^ Roper 2022, hlm. 52.
  51. ^ Kaufmann 2023, hlm. 75.
  52. ^ Kaufmann 2023, hlm. 75–79.
  53. ^ a b MacCulloch 2003, hlm. 121.
  54. ^ Roper 2022, hlm. 58.
  55. ^ Kaufmann 2023, hlm. 77–79.
  56. ^ Kaufmann 2023, hlm. 77-79.
  57. ^ Cameron 2012, hlm. 103.
  58. ^ Lindberg 2021, hlm. 72–75.
  59. ^ Hamm 1999, hlm. 75–76.
  60. ^ Lindberg 2021, hlm. 79.
  61. ^ Cameron 2012, hlm. 103–104.
  62. ^ Lindberg 2021, hlm. 82.
  63. ^ Kaufmann 2023, hlm. 82–84.
  64. ^ Roper 2022, hlm. 60–62.
  65. ^ Lindberg 2021, hlm. 93.
  66. ^ Kaufmann 2023, hlm. 84–85.
  67. ^ a b MacCulloch 2003, hlm. 126–127.
  68. ^ Cameron 2012, hlm. 104.
  69. ^ Lindberg 2021, hlm. 82–83.
  70. ^ Roper 2022, hlm. 62.
  71. ^ a b Cameron 2012, hlm. 105.
  72. ^ Cantoni 2012, hlm. 502–503.
  73. ^ Marshall 2009, hlm. 12.
  74. ^ MacCulloch 2003, hlm. 128–129.
  75. ^ Rubin 2014, hlm. 7.
  76. ^ Roper 2022, hlm. 68–69.
  77. ^ Marshall 2009, hlm. 17.
  78. ^ Rubin 2014, hlm. 26.
  79. ^ Becker, Pfaff & Rubin 2016, hlm. 18.
  80. ^ Dittmar & Seabold 2015, hlm. 21.
  81. ^ Roper 2022, hlm. 69–71.
  82. ^ Becker, Pfaff & Rubin 2016, hlm. 205.
  83. ^ Kim & Pfaff 2012, hlm. 205.
  84. ^ Cantoni 2012, hlm. 19.
  85. ^ Kaufmann 2023, hlm. 92–93.
  86. ^ Pfaff 2013, hlm. 190.
  87. ^ Cameron 2012, hlm. 111–112.
  88. ^ Pfaff 2013, hlm. 189.
  89. ^ Kaufmann 2023, hlm. 95–96.
  90. ^ Becker, Pfaff & Rubin 2016, hlm. 9.
  91. ^ Kaufmann 2023, hlm. 96.
  92. ^ Rubin 2014, hlm. 9.
  93. ^ Kim & Pfaff 2012, hlm. 206.
  94. ^ Cantoni 2012, hlm. 20.
  95. ^ Curuk & Smulders 2016, hlm. 24, 38–40.
  96. ^ Lindberg 2021, hlm. 123.
  97. ^ Pfaff 2013, hlm. 191.
  98. ^ Lindberg 2021, hlm. 113–124.
  99. ^ Becker, Pfaff & Rubin 2016, hlm. 21.
  100. ^ Pfaff 2013, hlm. 202.
  101. ^ Pfaff 2013, hlm. 214.
  102. ^ a b Rubin, "Printing and Protestants" Review of Economics and Statistics hlm. 270–286
  103. ^ Curuk & Smulders 2016.
  104. ^ Cameron 2012, hlm. 132–134.
  105. ^ a b MacCulloch 2003, hlm. 131.
  106. ^ Becker, Pfaff & Rubin 2016, hlm. 15.
  107. ^ MacCulloch 2003, hlm. 130.
  108. ^ Kaufmann 2023, hlm. 138.
  109. ^ Iyigun 2008, hlm. 4, 27.
  110. ^ Becker, Pfaff & Rubin 2016, hlm. 19.
  111. ^ Kaufmann 2023, hlm. 142.
  112. ^ Lindberg 2021, hlm. 260–262.
  113. ^ Kaufmann 2023, hlm. 146–147.
  114. ^ Cameron 2012, hlm. 135–136.
  115. ^ Kaufmann 2023, hlm. 150–152.
  116. ^ MacCulloch 2003, hlm. 135–138.
  117. ^ Kaufmann 2023, hlm. 93–95.
  118. ^ MacCulloch 2003, hlm. 139-140.
  119. ^ MacCulloch 2003, hlm. 138–140.
  120. ^ Kaufmann 2023, hlm. 93.
  121. ^ Cameron 2012, hlm. 110.
  122. ^ Marshall 2009, hlm. 18.
  123. ^ Kaufmann 2023, hlm. 105.
  124. ^ Lindberg 2021, hlm. 198–201.
  125. ^ Lindberg 2021, hlm. 131–134.
  126. ^ Cameron 2012, hlm. 204–205.
  127. ^ Whaley, hlm. 222–23, 226
  128. ^ Whaley, hlm. 222–223
  129. ^ Yarnell III, hlm. 95–96
  130. ^ Whaley, p. 220
  131. ^ Andrew P. Klager, "Ingestion and Gestation: Peacemaking, the Lord's Supper, and the Theotokos in the Mennonite-Anabaptist and Eastern Orthodox Traditions", Journal of Ecumenical Studies 47, no. 3 (summer 2012): hlm. 441–442.
  132. ^ a b c d Lobenstein-Reichmann, Anja (29 March 2017). "Martin Luther, Bible Translation, and the German Language" . Oxford Research Encyclopedia of Religion. Oxford: Oxford University Press. doi:10.1093/acrefore/9780199340378.013.382. ISBN 9780199340378. 
  133. ^ Euan Cameron (1 March 2012). The European Reformation. OUP Oxford. ISBN 978-0-19-954785-2. [halaman dibutuhkan]
  134. ^ Pettegree Reformation World hlm. 543
  135. ^ "Media, Markets and Institutional Change: Evidence from the Protestant Reformation" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-10-09. 
  136. ^ Birgit Stolt, "Luther's Translation of the Bible." Lutheran Quarterly 28.4 (2014): 373–400.
  137. ^ Edwards Printing, Propaganda, and Martin Luther[halaman dibutuhkan]
  138. ^ Pettegree and Hall "Reformasi dan Buku Jurnal Historis hlm. 786

Sumber

Pranala luar