Jerman Nazi
Penyuntingan Artikel oleh pengguna baru atau anonim untuk saat ini tidak diizinkan. Lihat kebijakan pelindungan dan log pelindungan untuk informasi selengkapnya. Jika Anda tidak dapat menyunting Artikel ini dan Anda ingin melakukannya, Anda dapat memohon permintaan penyuntingan, diskusikan perubahan yang ingin dilakukan di halaman pembicaraan, memohon untuk melepaskan pelindungan, masuk, atau buatlah sebuah akun. |
52°31′N 13°24′E / 52.517°N 13.400°E
Reich Jerman (1933–1943) Deutsches Reich Reich Jerman Raya (1943–1945) Großdeutsches Reich | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1933–1945 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Lagu kebangsaan: Das Lied der Deutschen ("Lagu Bangsa Jerman") dan Horst-Wessel-Lied[a] ("Nyanyian Horst Wessel") | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Penguasaan wilayah Jerman pada tingkat terluasnya selama Perang Dunia II (akhir 1942):
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Divisi administratif Jerman, Januari 1944 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ibu kota | Berlin 52°31′N 13°23′E / 52.517°N 13.383°E | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jerman | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pemerintahan | Satu partai Nazi kediktatoran totaliter | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kepala Negara | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 1933–1934 | Paul von Hindenburg (Presiden) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 1934–1945 | Adolf Hitler (Führer) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 1945 | Karl Dönitz (Presiden) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kanselir | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 1933–1945 | Adolf Hitler | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• 1945 | Joseph Goebbels | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Legislatif | Reichstag | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
- Dewan negara | Reichsrat (dihapuskan 1934) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Era Sejarah | Antarperang / Perang Dunia II | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30 Januari 1933 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24 Maret 1933 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12 Maret 1938 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1 September 1939 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30 April 1945 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8 Mei 1945 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23 Mei 1945 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Luas | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1939[c] | 633.786 km2 (244.706 sq mi) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1940[1][b] | 823.505 km2 (317.957 sq mi) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Penduduk | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
79.375.281 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
109.518.183 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Mata uang | Reichsmark (ℛℳ) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kode ISO 3166 | DE | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Jerman Nazi adalah nama umum Jerman antara tahun 1933 dan 1945, ketika Adolf Hitler dan Partai Nazinya (NSDAP) menguasai negara dengan sistem kediktatoran. Di bawah pemerintahan Hitler, Jerman diubah menjadi negara totaliter dan hampir seluruh aspek kehidupan dikendalikan oleh pemerintah. Nama resmi negara ini adalah Deutsches Reich (Reich Jerman) sampai 1943 dan Großdeutsches Reich (Reich Jerman Raya) dari 1943 sampai 1945. Jerman Nazi juga dikenal dengan sebutan Reich Ketiga (Drittes Reich), yang berarti "Kekaisaran Ketiga", dengan Kekaisaran Romawi Suci (800–1806) selaku kekaisaran pertama dan Kekaisaran Jerman (1871–1918) sebagai kekaisaran kedua. Rezim Nazi tumbang setelah Sekutu mengalahkan Jerman pada bulan Mei 1945, mengakhiri Perang Dunia II di Eropa.
Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman oleh Presiden Republik Weimar, Paul von Hindenburg, pada 30 Januari 1933. NSDAP kemudian mulai melenyapkan semua lawan politik dan memperkuat kekuasaannya. Hindenburg wafat pada 2 Agustus 1934 dan Hitler menjadi diktator Jerman dengan menggabungkan jabatan dan kekuasaan Kanselir dan Presiden. Referendum nasional yang diselenggarakan pada 19 Agustus 1934 mengukuhkan Hitler sebagai satu-satunya Führer (pemimpin) Jerman. Seluruh kekuasaan terpusat pada diri Hitler dan titahnya menjadi hukum tertinggi. Pemerintah bukanlah sebuah badan terkoordinasi yang bekerja sama, tetapi sekumpulan faksi yang berjuang untuk memperoleh kekuasaan dan meraih dukungan Hitler. Di tengah-tengah Depresi Hebat, Nazi memulihkan kestabilan ekonomi dan mengakhiri pengangguran massal melalui kebijakan militer dan ekonomi campuran. Dengan defisit pengeluaran, rezim ini mampu menggalakkan pekerjaan umum, termasuk pembangunan Autobahnen (jalan raya). Pulihnya ekonomi Jerman meningkatkan kepopuleran rezim Nazi.
Rasisme, terutama antisemitisme, adalah ideologi utama rezim ini. Bangsa Jerman dianggap oleh Nazi sebagai ras unggul, cabang paling murni dari ras Arya. Diskriminasi dan persekusi terhadap orang Yahudi dan Rom dimulai dengan intens setelah Hitler berkuasa. Kamp konsentrasi pertama didirikan pada bulan Maret 1933. Yahudi dan kelompok lainnya yang tidak dikehendaki dipenjara, dan kaum liberal, sosialis, dan komunis dibunuh, dipenjara, atau diasingkan. Warga negara dan gereja Kristen yang menentang pemerintahan Hitler ditindas, dan banyak pemimpin yang dipenjarakan. Kurikulum pendidikan difokuskan pada biologi rasial, kebijakan kependudukan, dan wajib militer. Kesempatan karier dan pendidikan bagi wanita dibatasi. Rekreasi dan pariwisata diselenggarakan melalui program Kraft durch Freude, dan Olimpiade Musim Panas 1936 dimanfaatkan untuk memamerkan Jerman di panggung internasional. Menteri Propaganda Joseph Goebbels memanfaatkan film, reli massa, dan pidato hipnotis Hitler untuk memengaruhi opini masyarakat. Pemerintah mengendalikan ekspresi artistik, mempromosikan bentuk kesenian tertentu dan melarang atau membatasi seni lainnya.
Rezim Nazi mendominasi negara tetangga melalui ancaman militer pada tahun-tahun menjelang perang. Jerman Nazi menuntut permintaan wilayah yang semakin agresif, mengancam dengan perang jika hal tersebut tidak dipenuhi. Nazi merebut Austria dan hampir seluruh Cekoslowakia pada tahun 1938 dan 1939. Jerman menandatangani pakta nonagresi dengan Uni Soviet, dan menginvasi Polandia pada 1 September 1939, memicu Perang Dunia II di Eropa. Pada awal 1941, Jerman telah menguasai sebagian besar Eropa. Reichskommissariat mengambil kendali atas wilayah yang ditaklukkan dan administrasi Jerman ditegakkan di Polandia. Jerman mengeksploitasi bahan mentah dan tenaga kerja, baik di wilayah yang diduduki maupun di negara sekutunya. Einsatzgruppen membentuk paramiliter skuad kematian di wilayah pendudukannya, yang melakukan pembunuhan massal terhadap jutaan Yahudi dan kelompok lainnya yang dianggap tidak dikehendaki oleh negara. Jutaan lainnya dipenjara, dipekerjakan sampai mati, atau dibunuh di kamp pemusnahan dan kamp konsentrasi Nazi. Genosida ini dikenal dengan Holocaust.
Meskipun invasi Jerman terhadap Uni Soviet pada tahun 1941 berhasil, kebangkitan Soviet dan masuknya Amerika Serikat ke kancah peperangan menyebabkan kekuatan Wehrmacht (angkatan bersenjata Jerman) melemah di Front Timur pada tahun 1943, dan pada akhir 1944, Jerman berhasil didorong mundur ke perbatasan pra-1939. Pengeboman udara berskala besar terhadap Jerman meningkat pada tahun 1944 dan kekuatan Poros dipaksa mundur ke Eropa Timur dan Selatan. Setelah Sekutu menginvasi Prancis, Jerman dikalahkan oleh Uni Soviet di timur dan oleh Sekutu lainnya di barat, dan menyerah pada Mei 1945. Penolakan Hitler untuk mengakui kekalahan menyebabkan kehancuran besar-besaran infrastruktur Jerman dan bertambahnya korban jiwa akibat perang pada bulan-bulan terakhir perang. Sekutu yang memenangkan perang memprakarsai kebijakan denazifikasi dan mengadili pejabat Nazi yang masih hidup atas kejahatan perang dalam peradilan Nuremberg.
Nama
Nama resmi negara ini dalam bahasa Jerman adalah Deutsches Reich dari 1933 sampai 1943 dan Großdeutsches Reich dari 1943 sampai 1945, sedangkan istilah umum yang digunakan adalah "Jerman Nazi" dan "Reich Ketiga". Nama terakhir digunakan oleh propaganda Nazi sebagai Drittes Reich, yang disebutkan pertama kali dalam Das Dritte Reich, buku tahun 1923 karangan Arthur Moeller van den Bruck. Buku ini menjelaskan Kekaisaran Romawi Suci (962–1806) sebagai Reich pertama dan Kekaisaran Jerman (1871–1918) sebagai Reich kedua.[2]
Latar belakang
Jerman dikenal dengan nama Republik Weimar antara tahun 1919 sampai 1933. Bentuk pemerintahannya adalah republik dengan sistem semipresidensial. Republik Weimar menghadapi sejumlah masalah, termasuk hiperinflasi, ekstremisme politik (termasuk kekerasan paramiliter sayap kiri dan kanan), pertikaian dengan pemenang Sekutu dalam Perang Dunia I, dan serangkaian kegagalan membentuk pemerintahan koalisi oleh partai-partai politik yang terpecah.[3] Kemerosotan parah perekonomian Jerman dimulai setelah Perang Dunia I berakhir, terutama akibat pendanaan perbaikan perang yang disyaratkan oleh Perjanjian Versailles 1919. Pemerintah mencetak uang untuk melakukan pendanaan dan membayar utang perang negara, tetapi hiperinflasi yang ditimbulkan menyebabkan kenaikan harga barang-barang konsumsi, kekacauan ekonomi, dan huru-hara pangan.[4] Ketika pemerintah gagal membayar ganti rugi perang pada Januari 1923, tentara Prancis menduduki kawasan industri Jerman di sepanjang Ruhr dan memicu kerusuhan sipil yang meluas.[5]
Partai Buruh Jerman Sosialis Nasional (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei, NSDAP; Partai Nazi) didirikan pada tahun 1920. Partai ini adalah penerus Partai Buruh Jerman (DAP) yang dibentuk setahun sebelumnya, dan menjadi satu dari beberapa partai politik sayap kanan di Jerman.[6] Program kerja partai NSDAP meliputi penggulingan Republik Weimar, penolakan isi Perjanjian Versailles, antisemitisme radikal, dan anti-Bolshevisme.[7] NSDAP menjanjikan pemerintahan pusat yang kuat, memperluas Lebensraum ("ruang hidup") bagi rakyat Jerman, pembentukan masyarakat nasional sesuai ras, dan pembersihan rasial melalui penindasan Yahudi, yang akan dilucuti kewarganegaraan dan hak-hak sipilnya.[8] Nazi mengusulkan pembaruan nasional dan budaya melalui gerakan Völkisch.[9] Partai, terutama organisasi paramiliter Sturmabteilung (SA; Detasemen Badai; Seragam Cokelat), menggunakan kekerasan dalam memperoleh kekuasaan politik, mengacaukan rapat organisasi lawan dan menyerang anggota partai lain (termasuk Yahudi) di jalan-jalan.[10] Kelompok bersenjata sayap kanan seperti itu banyak dijumpai di Bayern, dan ditoleransi oleh kepala daerah sayap kanan simpatetik, Gustav Ritter von Kahr.[11]
Ketika pasar saham di Amerika Serikat tumbang pada 24 Oktober 1929, dampaknya terhadap Jerman sangat parah.[12] Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan beberapa bank besar kolaps. Hitler dan NSDAP memanfaatkan keadaan darurat ini untuk meraih dukungan bagi partai mereka. Nazi berjanji akan memperkuat perekonomian dan menyediakan lapangan kerja.[13] Banyak pemilih yang menganggap NSDAP mampu memulihkan ketertiban, memadamkan kerusuhan sipil, dan meningkatkan reputasi internasional Jerman. Setelah pemilihan umum federal 1932, NSDAP menjadi partai terbesar di Reichstag, meraih 230 kursi dengan 37,4 persen suara rakyat.[14]
Sejarah
Nazi merebut kekuasaan
Meskipun Nazi memenangkan dua pemilihan umum Reichstag tahun 1932, partai ini tidak menang secara mayoritas. Oleh sebab itu, Hitler memimpin pemerintahan koalisi berumur pendek yang dibentuk bersama Partai Rakyat Nasional Jerman.[15] Di bawah tekanan dari para politikus, industrialis, dan pengusaha, Presiden Paul von Hindenburg mengangkat Hitler sebagai Kanselir Jerman pada 30 Januari 1933. Peristiwa ini dikenal dengan Machtergreifung ("pengambilalihan kekuasaan").[16]
Pada malam 27 Februari 1933, gedung Reichstag dibakar. Marinus van der Lubbe, seorang komunis Belanda, dinyatakan bersalah karena menyulut kebakaran. Hitler menyatakan bahwa pembakaran tersebut menandai dimulainya pemberontakan komunis. Dekret Kebakaran Reichstag, yang diberlakukan pada 28 Februari 1933, membatasi sebagian besar kebebasan sipil, termasuk hak untuk berkumpul dan kebebasan pers. Dekret tersebut juga memperbolehkan polisi untuk menahan seseorang tanpa diadili. Undang-undang tersebut disertai dengan kampanye propaganda yang mengarah pada dukungan masyarakat terhadap tindakan tersebut. Penindasan dan kekerasan terhadap komunis oleh SA diberlakukan secara nasional dan 4.000 anggota Partai Komunis Jerman ditangkap.[17]
Pada bulan Maret 1933, Undang-Undang Pemberian Kuasa, amandemen dari Konstitusi Weimar, disahkan di Reichstag dengan suara 94 dari 444.[18] Amandemen ini memungkinkan Hitler dan kabinetnya untuk mengesahkan undang-undang—bahkan undang-undang yang melanggar konstitusi—tanpa persetujuan presiden atau Reichstag.[19] Sesuai ketentuan, RUU mensyaratkan mayoritas dua pertiga suara agar bisa disahkan menjadi UU, sehingga Nazi menggunakan taktik intimidasi serta ketentuan dalam Dekret Kebakaran Reichstag untuk mencegah partisipasi anggota Demokrat Sosial, sedangkan Komunis telah dibekukan.[20][21] Pada tanggal 10 Mei, pemerintah menyita aset Partai Demokrat Sosial, dan membekukan partai tersebut pada 22 Juni.[22] Pada 21 Juni, SA menggeledah kantor Partai Rakyat Nasional Jerman—mantan koalisi NSDAP—dan membubarkannya pada tanggal 29 Juni. Partai-partai politik besar yang tersisa menyusul dibubarkan. Pada tanggal 14 Juli 1933, Jerman menjadi negara satu partai dengan disahkannya undang-undang yang menetapkan NSDAP sebagai satu-satunya partai resmi di Jerman. Pendirian partai-partai baru juga dinyatakan ilegal, dan semua partai politik lainnya yang belum bubar dibekukan.[23] Undang-Undang Pemberian Kuasa kelak berfungsi sebagai landasan hukum kediktatoran yang diciptakan NSDAP.[24] Pemilu lanjutan pada November 1933, 1936, dan 1938 dikendalikan oleh Nazi; hanya anggota NSDAP dan segelintir kandidat independen yang terpilih.[25]
Nazifikasi Jerman
Kabinet Hitler menggunakan ketentuan dalam Dekret Kebakaran Reichstag dan Undang-Undang Pemberian Kuasa untuk memulai proses Gleichschaltung ("koordinasi"), yang menempatkan seluruh aspek kehidupan di bawah kendali partai.[26] Negara bagian yang tidak dikendalikan oleh pemerintah Nazi terpilih atau koalisi pimpinan Nazi dipaksa menyetujui penunjukan Komisaris Reich, yang berkewajiban menggandeng negara bagian tersebut agar sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat. Para Komisaris ini memiliki kuasa untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat pemerintah daerah, parlemen negara bagian, dan hakim. Melalui cara ini, Jerman menjadi negara kesatuan de facto, dengan semua pemerintah negara bagian dikendalikan oleh pemerintah pusat di bawah NSDAP.[27][28] Parlemen negara bagian dan Reichsrat (dewan perwakilan daerah) dihapuskan pada Januari 1934,[29] dan segenap kekuasaan negara bagian dilimpahkan ke pemerintah pusat.[28]
Semua organisasi sipil, termasuk kelompok tani, organisasi sukarelawan, dan klub olahraga, diganti kepemimpinannya dengan simpatisan atau anggota partai Nazi; organisasi sipil ini wajib bergabung dengan NSDAP atau dibubarkan.[30] Pemerintah Nazi merayakan "Hari Buruh Nasional" pada May Day 1933 dan mengundang seluruh perwakilan serikat buruh ke Berlin. Sehari setelahnya, pasukan SA menggempur kantor-kantor serikat buruh di seluruh negeri; semua serikat buruh dipaksa bubar dan para pemimpinnya ditangkap.[31] Undang-Undang Pemulihan Pelayanan Publik Profesional disahkan pada bulan April, yang melarang profesi guru, profesor, hakim, magistrat, dan pejabat pemerintah ditempati oleh Yahudi atau orang-orang yang dicurigai tidak berkomitmen terhadap partai.[32] Ini berarti satu-satunya lembaga nonpolitik yang tidak berada di bawah kendali NSDAP adalah gereja.[33]
Rezim Nazi menghapuskan simbol-simbol Republik Weimar—termasuk bendera triwarna hitam, merah dan emas—dan menciptakan simbolisme baru. Bendera triwarna hitam, putih, dan merah yang dipakai kekaisaran sebelumnya digunakan kembali sebagai satu dari dua bendera resmi Jerman; satu lagi adalah bendera swastika NSDAP, yang menjadi satu-satunya bendera nasional pada tahun 1935. Lagu kebangsaan NSDAP, "Horst-Wessel-Lied" ("Lagu Horst Wessel"), menjadi lagu kebangsaan sekunder.[34]
Jerman masih berada dalam situasi ekonomi yang kacau; sebanyak enam juta warga Jerman menganggur dan neraca perdagangan mengalami defisit parah.[35] Dengan menggunakan pengeluaran defisit, proyek-proyek pekerjaan umum digalakkan sejak tahun 1934, menciptakan 1,7 juta lapangan kerja baru pada akhir tahun tersebut.[35] Upah rata-rata mulai mengalami kenaikan.[36]
Konsolidasi kekuasaan
Pimpinan SA terus menebarkan teror untuk meraih kekuasaan politik dan militer yang lebih besar. Sebagai tanggapan, Hitler memanfaatkan Schutzstaffel (SS) dan Gestapo untuk membersihkan kepemimpinan di SA secara menyeluruh.[37] Hitler menargetkan Stabschef (Kepala Staf) SA Ernst Röhm dan pemimpin SA lainnya, yang ditangkap dan ditembak, bersama dengan sejumlah musuh politik Hitler (seperti Gregor Strasser dan mantan kanselir Kurt von Schleicher).[38] Sebanyak 200 orang dibunuh dari tanggal 30 Juni sampai 2 Juli 1934 dalam peristiwa yang kemudian dikenal dengan Malam Pisau Panjang.[39]
Pada 2 Agustus 1934, Hindenburg meninggal dunia. Sehari sebelumnya, kabinet telah mengesahkan "Undang-Undang Pejabat Negara Tertinggi Reich", yang menyatakan bahwa setelah kematian Hindenburg, jabatan presiden akan dihapuskan dan kekuasaannya digabung dengan kekuasaan kanselir.[40] Dengan demikian, Hitler menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dan secara resmi bergelar Führer und Reichskanzler ("Pemimpin dan Kanselir")—meskipun akhirnya Reichskanzler dihapuskan.[41] Jerman menjadi negara totaliter dengan Hitler sebagai pemimpinnya.[42] Sebagai kepala negara, Hitler menjadi Panglima Tertinggi angkatan bersenjata. Undang-undang baru mengubah sumpah kesetiaan bagi para prajurit sehingga mereka menegaskan kesetiaan kepada Hitler secara pribadi, bukannya kepada panglima atau negara.[43] Pada 19 Agustus 1934, penggabungan kekuasaan presiden dengan kanselir disetujui oleh 90 persen pemilih dalam plebisit.[44]
Kebanyakan warga Jerman merasa lega karena konflik dan perkelahian jalanan pada era Weimar telah berakhir. Mereka dicekoki propaganda yang diatur oleh Menteri Penerangan Umum dan Propaganda, Joseph Goebbels, yang menjanjikan perdamaian dan banyak hal lainnya bagi warga Jerman di negara bersatu yang bebas Marxis tanpa terhalang Perjanjian Versailles.[45] Awalnya, NSDAP memperoleh dan mengesahkan kekuasaannya melalui kegiatan revolusioner, kemudian melalui manipulasi mekanisme hukum, pemanfaatan wewenang kepolisian, dan dengan mengambil alih institusi pemerintah dan negara bagian.[46][47] Kamp konsentrasi Nazi besar pertama, awalnya untuk tahanan politik, dibuka di Dachau pada tahun 1933.[48] Ratusan kamp dengan berbagai ukuran dan fungsi didirikan menjelang akhir perang.[49]
Mulai bulan April 1933, sejumlah langkah yang menentukan status dan hak-hak Yahudi dilembagakan.[50] Langkah-langkah ini memuncak dengan pengesahan Undang-Undang Nuremberg pada tahun 1935, yang melucuti hak-hak dasar Yahudi.[51] Nazi menyita harta benda Yahudi, melarang mereka menikah dengan non-Yahudi, dan tidak diperbolehkan bekerja di bidang hukum, kedokteran, atau pendidikan. Pada akhirnya, Nazi menyatakan bahwa Yahudi tidak dikehendaki untuk berada di antara warga negara dan bangsa Jerman.[52]
Perluasan militer
Pada tahun-tahun awal rezim Nazi, Jerman tidak memiliki sekutu, dan kekuatan militernya secara drastis dilemahkan oleh Perjanjian Versailles. Prancis, Polandia, Italia, dan Uni Soviet memiliki alasan tersendiri untuk menentang berkuasanya Hitler. Polandia mengajak Prancis melakukan perang preventif melawan Jerman pada Maret 1933. Fasis Italia keberatan dengan klaim Jerman terhadap Balkan dan Austria, yang dianggap Benito Mussolini sebagai perluasan pengaruh Italia.[53]
Pada awal Februari 1933, Hitler mengumumkan bahwa mempersenjatai kembali Jerman harus segera dimulai, meskipun awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap Perjanjian Versailles. Pada 17 Mei 1933, Hitler berpidato di hadapan Reichstag, menjabarkan keinginannya untuk mewujudkan perdamaian dunia dan menerima tawaran dari Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt mengenai pelucutan militer, asalkan negara-negara Eropa lainnya juga melakukan hal yang sama.[54] Ketika kekuatan Eropa lainnya enggan menerima tawaran ini, Hitler menarik Jerman keluar dari Konferensi Pelucutan Senjata Dunia dan Liga Bangsa-Bangsa pada bulan Oktober, menyatakan bahwa klausul pelucutan senjata tidak adil jika hanya diberlakukan untuk Jerman.[55] Dalam referendum yang diselenggarakan pada bulan November, 95 persen pemilih mendukung penarikan diri Jerman.[56]
Pada tahun 1934, Hitler memberi tahu para pemimpin militernya bahwa perang di timur harus dimulai pada 1942.[57] Saarland, yang berada di bawah pengawasan Liga Bangsa-Bangsa selama 15 tahun sejak akhir Perang Dunia I, memutuskan pada bulan Januari 1935 untuk menjadi bagian Jerman.[58] Pada bulan Maret 1935, Hitler mengumumkan pembentukan angkatan udara, dan anggota Reichswehr akan ditambah menjadi 550.000 orang.[59] Britania Raya menyetujui pembentukan armada laut Jerman dengan menandatangani Perjanjian Laut Inggris-Jerman pada 18 Juni 1935.[60]
Ketika invasi Italia ke Etiopia hanya diprotes ringan oleh pemerintah Britania dan Prancis, pada 7 Maret 1936 Hitler memanfaatkan Perjanjian Bantuan Bersama Prancis-Soviet sebagai alasan untuk mengerahkan 3.000 tentara Jerman menuju zona demiliterisasi di Rhineland, yang melanggar ketentuan Perjanjian Versailles.[61] Karena wilayah tersebut adalah bagian dari Jerman, pemerintah Britania dan Prancis merasa bahwa upaya untuk menegakkan Perjanjian Versailles tidak sebanding dengan risiko perang yang akan dihadapi.[62] Dalam pemilu satu partai yang diadakan pada 29 Maret, NSDAP meraih 98,9 persen dukungan.[62] Pada tahun 1936, Hitler menandatangani Pakta Anti-Komintern dengan Jepang dan perjanjian nonagresi dengan Mussolini, yang kemudian mengarah ke "Poros Roma-Berlin."[63]
Hitler mengirimkan bantuan dan pasokan militer kepada tentara Nasionalis Jenderal Francisco Franco dalam Perang Saudara Spanyol, yang dimulai pada Juli 1936. Legiun Condor Jerman memasok sejumlah pesawat dan awak, serta kontingen tank. Pesawat Legiun memborbardir kota Guernica pada tahun 1937.[64] Pihak Nasionalis menang pada tahun 1939 dan menjadi sekutu tidak resmi Jerman Nazi.[65]
Austria dan Cekoslowakia
Pada bulan Februari 1938, Hitler menekankan pada Kanselir Austria Kurt Schuschnigg tentang perlunya Jerman mengamankan perbatasannya. Schuschnigg menjadwalkan plebisit terkait kemerdekaan Austria pada 13 Maret, tetapi Hitler mengirim ultimatum pada Schuschnigg pada 11 Maret, menuntut agar ia menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada NSDAP Austria atau diinvasi. Tentara Jerman memasuki Austria pada keesokan harinya dan disambut antusias oleh para penduduk.[66]
Republik Cekoslowakia dihuni oleh banyak orang Jerman, khususnya di Sudetenland. Di bawah tekanan dari kelompok separatis Partai Jerman Sudeten, pemerintah Cekoslowakia menawarkan konsesi ekonomi kepada wilayah tersebut.[67] Hitler memutuskan bahwa ia tidak hanya akan menggabungkan Sudentland ke dalam Reich, tetapi juga akan menghancurkan negara Cekoslowakia sepenuhnya.[68] Nazi melakukan kampanye propaganda guna menggalang dukungan untuk menyerang Cekoslowakia.[69] Para pemimpin militer Jerman menentang rencana tersebut, karena Jerman dirasa belum siap untuk berperang.[70]
Krisis ini menyebabkan Britania Raya, Cekoslowakia, dan Prancis (sekutu Cekoslowakia) bersiap untuk berperang. Dengan maksud untuk menghindari perang, Perdana Menteri Britania Neville Chamberlain mengatur serangkaian pertemuan, yang menghasilkan Perjanjian München yang ditandatangani pada 29 September 1938. Pemerintah Cekoslowakia dipaksa menerima pencaplokan Sudetenland oleh Jerman. Chamberlain disambut dengan sorak-sorai ketika ia mendarat di London, publik menganggap perjanjian tersebut membawa "perdamaian bagi zaman kita".[71] Sementara itu, Polandia merebut sebidang wilayah Cekoslowakia di dekat Cieszyn pada 2 Oktober. Selain itu, sebagai dampak dari Perjanjian München, Hongaria menuntut dan memperoleh wilayah seluas 12.000 kilometer persegi (4.600 sq mi) di sepanjang perbatasan utaranya sesuai dengan Putusan Arbitrase Wina Pertama pada 2 November.[72] Setelah bernegosiasi dengan Presiden Emil Hácha, Hitler merebut bagian Cekoslowakia selebihnya pada 15 Maret 1939 dan membentuk Protektorat Bohemia dan Moravia, sehari setelah pemproklamasian pendirian Republik Slowakia di sebagian Slowakia.[73] Pada hari yang sama, Hongaria menduduki dan mencaplok Carpatho-Ukraina yang baru saja diproklamasikan dan tidak diakui, serta sehamparan wilayah yang dipersengketakan dengan Slowakia.[74][75]
Cadangan devisa Austria dan Ceko dirampas oleh Nazi, demikian juga persediaan bahan baku seperti logam, dan barang jadi seperti senjata dan pesawat terbang, yang dikirim ke Jerman. Konglomerat industri Reichswerke Hermann Göring mengambil kendali atas pengelolaan fasilitas produksi baja dan batu bara di kedua negara tersebut.[76]
Polandia
Pada Januari 1934, Jerman menandatangani perjanjian nonagresi dengan Polandia.[77] Pada bulan Maret 1939, Hitler menuntut pengembalian Kota Bebas Danzig dan Koridor Polandia, sehamparan wilayah yang memisahkan Prusia Timur dengan Jerman. Britania mengumumkan akan membantu Polandia jika diserang. Hitler, yakin bahwa Britania hanya menggertak, memerintahkan rencana invasi akan dilakukan pada bulan September 1939.[78] Pada 23 Mei, Hitler mengungkapkan kepada para jenderalnya mengenai rencana keseluruhannya yang tidak hanya merebut Koridor Polandia tetapi juga memperluas wilayah Jerman ke arah timur dengan menumbalkan Polandia. Ia berharap semoga kali ini akan ada perang.[79]
Jerman menegaskan kembali persekutuannya dengan Italia dan menandatangani perjanjian nonagresi dengan Denmark, Estonia, dan Latvia, serta meresmikan hubungan dagang dengan Rumania, Norwegia, dan Swedia.[80] Menteri Luar Negeri Joachim von Ribbentrop melakukan perundingan dengan Uni Soviet, menghasilkan perjanjian nonagresi Pakta Molotov–Ribbentrop, yang ditandatangani pada bulan Agustus 1939.[81] Perjanjian tersebut juga memuat protokol rahasia yang membagi Polandia dan negara-negara Baltik menjadi wilayah dengan pengaruh Jerman dan Soviet.[82]
Perang Dunia II
Kebijakan luar negeri
Kebijakan luar negeri Jerman pada masa perang meliputi pembentukan pemerintahan bersatu yang dikendalikan secara langsung atau tidak langsung dari Berlin. Jerman bermaksud mendapatkan tentara dari sekutu seperti Italia dan Hongaria serta mendapatkan pekerja dan pasokan pangan dari sekutu seperti Prancis Vichy.[83] Hongaria adalah negara keempat yang bergabung dengan blok Poros setelah menandatangani Pakta Tripartit pada 27 September 1940. Bulgaria menandatangani pakta tersebut pada 17 November. Upaya Jerman untuk menguasai minyak dibuktikan dengan mengalirnya pasokan minyak dari sekutu baru mereka, Rumania, yang menandatangani pakta tersebut pada 23 November, bersama dengan Republik Slowakia.[84][85][86] Pada akhir 1942, terdapat 24 divisi tentara dari Rumania di Front Timur, 10 dari Italia, dan 10 dari Hongaria.[87] Jerman merebut kendali penuh Prancis pada tahun 1942, Italia pada 1943, dan Hongaria pada 1944. Meskipun Jepang adalah sekutu yang kuat, hubungan kedua negara ini tidak dekat, keduanya jarang berkoordinasi atau bekerja sama. Sebagai contoh, Jerman menolak membagikan metode pengolahan minyak dari batu bara kepada Jepang sampai akhir perang.[88]
Pecahnya perang
Jerman menginvasi Polandia dan merebut Kota Bebas Danzig pada 1 September 1939, sehingga memulai Perang Dunia II di Eropa.[89] Dalam rangka menghormati ketentuan perjanjian, Britania Raya dan Prancis menyatakan perang terhadap Jerman dua hari kemudian.[90] Polandia jatuh dengan cepat, sementara Uni Soviet mulai menyerang dari timur pada 17 September.[91] Reinhard Heydrich, kepala Sicherheitspolizei (SiPo; Polisi Keamanan) dan Sicherheitsdienst (SD; Layanan Keamanan), memerintahkan pada 21 September bahwa Yahudi Polandia harus ditangkap dan dikumpulkan di kota-kota dengan jaringan rel kereta yang baik. Awalnya, Yahudi direncanakan dideportasi ke arah timur, atau mungkin ke Madagaskar.[92] Dengan menggunakan daftar yang telah dipersiapkan sebelumnya, sekitar 65.000 intelektual, bangsawan, rohaniwan, dan guru Polandia dibunuh pada akhir 1939 dalam upaya untuk melenyapkan identitas Polandia sebagai sebuah bangsa.[93][94] Tentara Soviet berperang di Finlandia dalam Perang Musim Dingin, dan pasukan Jerman terlibat pertempuran di laut. Tetapi sedikit aksi militer yang terjadi sampai bulan Mei, sehingga periode ini dikenal sebagai "Perang Palsu."[95]
Sejak awal perang, blokade Britania terhadap pengapalan ke Jerman memengaruhi ekonominya. Jerman sangat bergantung pada impor minyak, batu bara, dan gandum.[96] Berkat embargo perdagangan dan pemblokadean, impor ke Jerman turun 80 persen.[97] Untuk mengamankan pengiriman bijih besi dari Swedia ke Jerman, Hitler memerintahkan invasi Denmark dan Norwegia, yang dimulai pada tanggal 9 April. Denmark jatuh sehari kemudian, sedangkan sebagian besar Norwegia berhasil dikuasai pada akhir bulan.[98][99] Pada awal Juni, Jerman telah menduduki seluruh Norwegia.[100]
Penaklukan Eropa
Atas saran dari sejumlah perwira militer seniornya, Hitler memerintahkan serangan terhadap Prancis dan Negara-Negara Dataran Rendah, yang dimulai pada Mei 1940.[101][102] Jerman dengan cepat menaklukkan Luksemburg dan Belanda. Setelah mengakali Sekutu di Belgia dan memaksa evakuasi tentara Britania dan Prancis di Dunkirk,[103] Prancis juga jatuh ke tangan Jerman, yang menyerah tanggal 22 Juni.[104] Kemenangan di Prancis menyebabkan popularitas Hitler meningkat dan memicu demam perang di kalangan warga Jerman.[105] Jerman melanggar ketentuan Konvensi Den Haag dengan mengerahkan perusahaan-perusahaan industri di Belanda, Prancis, dan Belgia untuk memproduksi material perang bagi Jerman.[106]
Nazi menyita ribuan lokomotif dan kereta luncur, stok senjata, dan menguasai bahan baku seperti tembaga, timah, minyak, dan nikel dari Prancis.[107] Pembayaran upah pengerjaannya dibebankan kepada Prancis, Belgia, dan Norwegia.[108] Terhambatnya perdagangan menyebabkan terjadinya penimbunan, pasar gelap, dan ketidakpastian masa depan.[109] Persediaan makanan sangat mengkhawatirkan; produksi turun di sebagian besar wilayah Eropa.[110] Kelaparan dialami oleh negara-negara yang diduduki Jerman.[110]
Tawaran perdamaian Hitler kepada Perdana Menteri Britania Raya yang baru, Winston Churchill, ditolak pada bulan Juli 1940. Laksamana Muda Erich Raeder memberi tahu Hitler pada bulan Juni bahwa keunggulan udara adalah prasyarat bagi keberhasilan menginvasi Britania, sehingga Hitler memerintahkan serangkaian serangan udara terhadap pangkalan udara dan stasiun radar Royal Air Force (RAF), serta serangan udara malam terhadap kota-kota di Britania, termasuk London, Liverpool, dan Manchester. Luftwaffe Jerman gagal melumpuhkan RAF dalam peristiwa yang kemudian dikenal dengan Pertempuran Britania, dan pada akhir Oktober, Hitler menyadari bahwa keunggulan udara ini tidak tercapai. Hitler secara permanen menunda invasi terhadap Britania, rencana yang tidak pernah ditanggapi serius oleh para komandan pasukan Jerman.[111][112][e] Menurut sejarawan Andrew Gordon, alasan utama kegagalan rencana invasi ini adalah keunggulan Royal Navy, bukannya aksi RAF.[113]
Pada bulan Februari 1941, Korps Afrika Jerman tiba di Libya untuk membantu Italia dalam Kampanye Afrika Utara.[114] Pada 6 April, Jerman melancarkan invasi ke Yugoslavia dan Yunani.[115][116] Seluruh Yugoslavia dan sebagian Yunani kemudian dibagi-bagi antara Jerman, Hongaria, Italia, dan Bulgaria.[117][118]
Invasi Uni Soviet
Pada 22 Juni 1941, bertentangan dengan isi Pakta Molotov-Ribbentrop, sekitar 3,8 juta tentara Poros menyerang Uni Soviet.[119] Selain tujuan yang dinyatakan Hitler untuk mewujudkan Lebensraum, serangan berskala besar ini—yang diberi nama sandi Operasi Barbarossa—bertujuan menghancurkan Uni Soviet dan merebut sumber daya alamnya untuk keperluan agresi selanjutnya terhadap kekuatan Barat.[120] Reaksi di kalangan warga Jerman adalah terkejut dan gentar karena banyak yang khawatir mengenai berapa lama lagi perang akan berlangsung atau menduga bahwa Jerman tidak akan memenangkan perang yang terjadi di dua front.[121]
Invasi Jerman berhasil menaklukkan negara-negara luas, termasuk negara-negara Baltik, Belarus, dan Ukraina barat. Setelah kemenangan gemilang Jerman dalam Pertempuran Smolensk pada bulan September 1941, Hitler memerintahkan Satuan Darat Grup Tengah agar berhenti mendekati Moskwa dan untuk sementara waktu mengalihkan kelompok-kelompok Panzernya membantu pengepungan Leningrad dan Kiev.[122] Jeda ini memberi Tentara Merah peluang untuk memobilisasi cadangan tentara baru. Serangan terhadap Moskwa, yang dimulai lagi pada Oktober 1941, berakhir dengan bencana pada bulan Desember.[123] Pada 7 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Empat hari kemudian, Jerman menyatakan perang terhadap Amerika Serikat.[124]
Persediaan pangan sangat sedikit di wilayah-wilayah yang ditaklukkan di Uni Soviet dan Polandia, karena pasukan Jerman telah membakar habis ladang perkebunan di beberapa wilayah, dan sebagian besar sisanya dikirim ke Jerman.[125] Di dalam negeri, ransum dipotong pada tahun 1942. Sebagai pencanang Rencana Empat Tahun, Hermann Göring menuntut peningkatan pengiriman gandum dari Prancis dan ikan dari Norwegia. Panen tahun 1942 berjalan dengan baik, dan persediaan pangan tetap mencukupi di Eropa Barat.[126]
Jerman dan seluruh Eropa hampir sepenuhnya bergantung pada impor minyak asing.[127] Dalam upaya mengatasi krisis minyak, pada bulan Juni 1942 Jerman meluncurkan Fall Blau ("Kasus Biru"), sebuah serangan terhadap ladang minyak di Kaukasus.[128] Tentara Merah melancarkan serangan balasan pada 19 November dan mengepung pasukan Poros, yang terjebak di Stalingrad pada 23 November.[129] Göring meyakinkan Hitler bahwa Angkatan Darat ke-6 dapat dipasok melalui udara, tetapi hal ini mustahil dilakukan.[130] Penolakan Hitler untuk mengizinkan pasukannya mundur menyebabkan gugurnya 200.000 tentara Jerman dan Rumania; dari 91.000 tentara yang menyerah di Stalingrad pada 31 Januari 1943, hanya 6.000 orang yang selamat kembali ke Jerman setelah perang.[131]
Titik balik dan keruntuhan
Kekalahan Jerman terus meningkat setelah peristiwa Stalingrad, yang menyebabkan popularitas Partai Nazi menurun tajam dan memperburuk moral anggotanya.[132] Tentara Soviet terus menghalau Jerman ke arah barat setelah serangan yang gagal dalam Pertempuran Kursk pada musim panas 1943. Pada akhir 1943, Jerman kehilangan sebagian besar penguasaan wilayah timur.[133] Di Mesir, Korps Afrika yang dikomandoi Marsekal Lapangan Erwin Rommel dikalahkan oleh pasukan Britania di bawah komando Marsekal Lapangan Bernard Montgomery pada Oktober 1942.[134] Sekutu mendarat di Sisilia pada bulan Juli 1943 dan di Italia pada bulan September.[135] Sementara itu, armada pengebom Amerika dan Britania yang memiliki pangkalan di Inggris memulai operasi melawan Jerman. Banyak serangan mendadak yang sengaja menyasar warga sipil dalam upaya menggoyahkan moral Jerman.[135] Produksi pesawat udara Jerman dihentikan karena terus merugi, dan tanpa perlindungan udara, kampanye pengeboman Sekutu menjadi semakin dahsyat. Dengan menyasar kilang minyak dan pabrik, Sekutu melumpuhkan upaya perang Jerman pada akhir 1944.[136]
Pada tanggal 6 Juni 1944, pasukan Amerika, Britania, dan Kanada membentuk front di Prancis dan melakukan pendaratan D-Day di Normandia.[137] Pada 20 Juli 1944, Hitler selamat dari percobaan pembunuhan.[138] Ia memerintahkan pembalasan brutal, mengakibatkan sekitar 7.000 penangkapan dan lebih dari 4.900 orang dieksekusi.[139] Serangan Ardennes yang gagal (16 Desember 1944-25 Januari 1945) adalah serangan besar terakhir Jerman di front barat, dan pasukan Soviet memasuki Jerman pada 27 Januari.[140] Penolakan Hitler untuk mengakui kekalahan dan himbauannya bahwa perang harus diperjuangkan hingga prajurit terakhir menyebabkan kematian dan kehancuran yang sia-sia pada bulan-bulan terakhir perang.[141] Melalui Menteri Kehakiman Otto Georg Thierack, Hitler memerintahkan siapa pun yang tidak siap berperang harus diadili di pengadilan militer, dan ribuan orang dihukum mati.[142] Di banyak daerah, warga Jerman menyerah kepada Sekutu yang mendekat meskipun ada himbauan dari pemimpin daerah untuk terus berjuang. Hitler memerintahkan penghancuran sarana transportasi, jembatan, industri, dan infrastruktur lainnya—dekret bumi hangus—tetapi Menteri Persenjataan Albert Speer mencegah agar perintah ini tidak dilaksanakan sepenuhnya.[141]
Selama Pertempuran Berlin (16 April 1945 – 2 Mei 1945), Hitler dan stafnya tinggal di Führerbunker bawah tanah sementara Tentara Merah mendekat.[143] Pada tanggal 30 April, ketika pasukan Soviet berjarak dua blok dari Reichskanzlei, Hitler bersama pasangannya Eva Braun melakukan bunuh diri.[144] Pada tanggal 2 Mei, Jenderal Helmuth Weidling menyerahkan Berlin tanpa syarat kepada Jenderal Soviet Vasily Chuikov.[145] Hitler digantikan oleh Laksamana Agung Karl Dönitz sebagai Presiden Reich dan Goebbels sebagai Kanselir Reich.[146] Goebbels dan istrinya Magda bunuh diri pada hari berikutnya setelah membunuh enam anaknya.[147] Antara 4 dan 8 Mei 1945, sebagian besar tentara Jerman yang tersisa menyerah tanpa syarat. Instrumen Penyerahan Diri Jerman ditandatangani pada 8 Mei, menandai berakhirnya rezim Nazi dan mengakhiri Perang Dunia II di Eropa.[148]
Dukungan rakyat untuk Hitler hampir sepenuhnya hilang ketika perang hampir berakhir.[149] Angka bunuh diri di Jerman meningkat, khususnya di daerah-daerah tempat Tentara Merah menyerbu. Di kalangan prajurit dan anggota partai, bunuh diri dianggap sebagai cara terhormat dan heroik untuk menyerah. Desas-desus dan propaganda mengenai perilaku tak beradab tentara Soviet yang semakin mendekat menyebabkan kepanikan di kalangan warga sipil di Front Timur, terutama wanita, yang takut diperkosa.[150] Lebih dari seribu orang (dari sekitar 16.000 penduduk) memutuskan bunuh diri di Demmin pada tanggal 1 Mei 1945 ketika Angkatan Darat ke-65 Front Belarusia ke-2 menyerbu sebuah penyulingan dan kemudian mengamuk, melakukan pemerkosaan massal, mengeksekusi warga sipil secara biadab, dan membakar bangunan di kota itu. Sejumlah besar kasus bunuh diri juga terjadi di berbagai daerah lainnya, termasuk di Neubrandenburg (600 tewas), Słupsk (1.000 tewas),[151] dan di Berlin, setidaknya 7.057 orang bunuh diri pada tahun 1945.[152]
Korban jiwa Jerman
Perkiraan jumlah korban tewas akibat perang di Jerman antara 5,5 sampai 6,9 juta orang.[153] Penelitian oleh sejarawan Jerman, Rüdiger Overmans, menyebutkan jumlah tentara Jerman yang gugur dan hilang sebanyak 5,3 juta, termasuk 900.000 orang yang mengikuti wajib militer dari luar perbatasan Jerman 1937.[154] Richard Overy memperkirakan pada tahun 2014 bahwa sekitar 353.000 warga sipil tewas dalam serangan udara Sekutu.[155] Kematian warga sipil lainnya meliputi 300.000 warga Jerman (termasuk Yahudi) yang menjadi korban persekusi politik, ras, dan agama oleh rezim Nazi,[156] dan 200.000 warga Jerman dibunuh dalam program eutanasia Nazi.[157] Pengadilan politik bernama Sondergerichte menjatuhkan hukuman mati terhadap sekitar 12.000 anggota perlawanan Jerman, dan pengadilan negeri menghukum mati 40.000 warga Jerman.[158] Pemerkosaan massal terhadap wanita Jerman juga terjadi.[159]
Pada akhir perang, Eropa menampung lebih dari 40 juta pengungsi,[160] perekonomian Jerman ambruk, dan 70 persen infrastruktur industri hancur.[161] Sekitar dua belas sampai empat belas juta warga Jerman melarikan diri atau diusir dari Eropa tengah, timur, dan tenggara.[162] Pemerintah Jerman Barat memperkirakan sebanyak 2,2 juta warga sipil Jerman tewas dalam pelarian dan akibat kerja paksa di Uni Soviet.[163] Angka ini tetap tak terbantahkan sampai tahun 1990-an, ketika beberapa sejarawan menyebutkan jumlah korban jiwa hanya sebanyak 500.000-600.000.[164][165][166] Pada tahun 2006, pemerintah Jerman menegaskan kembali pernyataannya bahwa sebanyak 2-2,5 juta jiwa warga Jerman menjadi korban.[f]
Geografi
Perubahan wilayah
Akibat kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I dan sesuai hasil Perjanjian Versailles, Jerman kehilangan Alsace-Lorraine, Schleswig Utara, dan Memel. Saarland untuk sementara menjadi protektorat Prancis dengan syarat bahwa penduduknya kelak akan memutuskan melalui referendum ke negara mana mereka akan bergabung, dan Polandia menjadi negara terpisah dan diberi akses laut dengan didirikannya Koridor Polandia, yang memisahkan Prusia dari Jerman, sedangkan Danzig menjadi kota bebas.[167]
Jerman kembali menguasai Saarland melalui referendum yang diselenggarakan pada tahun 1935 dan menganeksasi Austria melalui Anschluss pada tahun 1938.[168] Perjanjian München 1938 memberi Jerman kendali atas Sudetenland, dan merebut sebagian Cekoslowakia enam bulan kemudian.[71] Di bawah ancaman invasi laut, Lituania menyerahkan distrik Memel pada bulan Maret 1939.[169]
Antara tahun 1939 dan 1941, tentara Jerman menginvasi Polandia, Denmark, Norwegia, Prancis, Luksemburg, Belanda, Belgia, Yugoslavia, Yunani, dan Uni Soviet.[104] Jerman menganeksasi sebagian Yugoslavia utara pada April 1941,[117][118] sedangkan Mussolini menyerahkan Trieste, Tyrol Selatan, dan Istria kepada Jerman pada tahun 1943.[170]
Wilayah yang diduduki
Beberapa wilayah yang ditaklukkan dijadikan bagian Jerman, sejalan dengan tujuan jangka panjang Hitler untuk mendirikan Reich Jerman Raya. Beberapa wilayah, seperti Alsace-Lorraine, diletakkan di bawah wewenang Gau (distrik daerah). Reichskommissariate (Komisariat Reich), kuasikolonial rezim, didirikan di beberapa negara. Wilayah-wilayah yang berada di bawah administrasi Jerman termasuk Protektorat Bohemia dan Moravia, Reichskommissariat Ostland (mencakup negara-negara Baltik dan Belarus), dan Reichskommissariat Ukraine. Wilayah-wilayah yang ditaklukkan di Belgia dan Prancis berada di bawah kendali Administrasi Militer Belgia dan Prancis Utara.[171] Eupen-Malmedy di Belgia, yang dulunya menjadi bagian Jerman sampai tahun 1919, dianeksasi. Sebagian Polandia digabungkan ke dalam Reich, dan Pemerintahan Umum didirikan di Polandia tengah yang diduduki.[172] Pemerintahan Denmark, Norwegia (Reichskommissariat Norwegen), dan Belanda (Reichskommissariat Niederlande) berada di bawah wewenang pemerintah sipil yang umumnya dikelola oleh penduduk setempat.[171][g] Hitler berkeinginan menggabungkan semua wilayah ini ke dalam pemerintahan Reich.[173] Jerman menduduki Protektorat Italia Albania dan Kegubernuran Italia Montenegro pada tahun 1943,[174] dan membentuk pemerintahan boneka di Serbia yang diduduki pada tahun 1941.[175]
Perubahan pascaperang
Dengan disahkannya Deklarasi Berlin pada 5 Juni 1945 dan kemudian dibentuknya Dewan Kendali Sekutu, empat kekuatan Sekutu mengambil alih pemerintahan sementara Jerman.[176] Dalam Konferensi Potsdam pada bulan Agustus 1945, Sekutu ditugaskan menduduki Jerman dan melakukan denazifikasi. Jerman dipecah menjadi empat zona pendudukan, masing-masingnya diduduki oleh kekuatan Sekutu, yang mengumpulkan pampasan dari tiap zona. Karena sebagian besar kawasan industri berada di zona barat, Uni Soviet menuntut penambahan pampasan.[177] Dewan Kendali Sekutu membubarkan Prusia pada 20 Mei 1947.[178] Bantuan ke Jerman mulai berdatangan dari Amerika Serikat melalui Rencana Marshall pada tahun 1948.[179] Pendudukan Sekutu berlangsung sampai 1949, ketika negara-negara Jerman Timur dan Jerman Barat didirikan. Pada tahun 1970, Jerman menyelesaikan masalah perbatasannya dengan Polandia melalui penandatanganan Perjanjian Warsawa.[180] Jerman tetap terpecah sampai tahun 1990, setelah Sekutu melepaskan semua klaim atas wilayah Jerman melalui Perjanjian Penyelesaian Akhir terhadap Jerman, sedangkan Jerman juga melepaskan klaim terhadap wilayahnya yang hilang selama Perang Dunia II.[181]
Politik
Ideologi
NSDAP adalah partai politik sayap kanan yang muncul pada masa pergolakan sosial dan keuangan yang terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia I. NSDAP awalnya kecil dan terpinggirkan, hanya meraih 2,6% suara federal dalam pemilu 1928, sebelum dimulainya Depresi Hebat pada tahun 1929.[182] Pada 1930, NSDAP meraih 18,3% suara federal, menjadikannya sebagai partai politik terbesar kedua Reichstag.[183] Ketika berada di penjara setelah upaya Beer Hall Putsch yang gagal pada 1923, Hitler menulis Mein Kampf, yang menjabarkan rencananya untuk mengubah masyarakat Jerman menjadi masyarakat satu ras.[184] Ideologi Nazi menyatukan unsur-unsur antisemitisme, kebersihan ras, dan eugenika, dan menggabungkannya dengan pan-Jermanisme dan perluasan wilayah yang bertujuan memperluas Lebensraum (ruang hidup) bagi bangsa Jerman.[185] Rezim ini berusaha mendapatkan wilayah baru dengan menyerang Polandia dan Uni Soviet, bermaksud mendeportasi atau memusnahkan bangsa Yahudi dan Slavia yang tinggal di sana, yang dipandang lebih rendah dari ras unggul Arya dan dianggap bagian dari konspirasi Yahudi-Bolshevik.[186][187] Rezim Nazi meyakini bahwa hanya Jerman yang mampu mengalahkan kekuatan Bolshevisme dan menyelamatkan umat manusia dari penguasaan dunia oleh Yahudi Internasional.[188] Kelompok lainnya yang dianggap tidak layak hidup oleh Nazi meliputi difabel fisik dan mental, bangsa Rom, homoseksual, Saksi Yehuwa, dan penjahat sosial.[189][190]
Dipengaruhi oleh gerakan Völkisch, rezim menentang modernisme budaya dan mendukung pembangunan militer yang luas dengan mengorbankan intelektualisme.[9][191] Kreativitas dan seni dikekang, kecuali bisa dimanfaatkan sebagai media propaganda.[192] Partai menggunakan simbol-simbol seperti Bendera Darah dan ritual seperti reli Partai Nazi untuk menumbuhkan persatuan dan meningkatkan popularitas rezim.[193]
Pemerintahan
Hitler memerintah Jerman secara autokrasi dengan memaksakan Führerprinzip ("prinsip pemimpin"), yang menyerukan kepatuhan mutlak bagi semua bawahan. Ia mengumpamakan struktur pemerintahan sebagai piramida, dengan dirinya sendiri—pemimpin mutlak—berada di puncak. Peringkat partai tidak ditentukan oleh pemilu, dan jabatan diisi melalui pengangkatan oleh pejabat yang berpangkat lebih tinggi.[194] Nazi menggunakan propaganda untuk membangun kultus kepribadian terhadap Hitler.[195] Sejarawan seperti Kershaw menggarisbawahi dampak psikologis keterampilan Hitler sebagai orator.[196] Roger Gill menyatakan: "Pidatonya yang mengharukan menawan pikiran dan hati banyak warga Jerman: ia benar-benar menghipnotis para pendengarnya."[197]
Para pejabat tinggi yang melapor kepada Hitler dan mengikuti kebijakannya akan memiliki kewenangan yang besar.[198] Ia mengharapkan para pejabat "bekerja demi Führer"—untuk mengambil inisiatif dalam mempromosikan kebijakan dan tindakan yang sejalan dengan tujuan partai dan keinginan Hitler, tanpa melibatkan dirinya dalam pengambilan keputusan.[199] Pemerintah adalah kumpulan faksi tidak terorganisir yang dipimpin oleh elite partai, yang berjuang memperoleh kekuasaan dan meraih dukungan Führer.[200] Gaya kepemimpinan Hitler adalah memberi perintah yang bertentangan kepada bawahannya sehingga mereka mengemban tugas dan tanggung jawab yang tumpang tindih.[201] Melalui cara ini, ia bisa menilai kesetiaan, memupuk persaingan dan pertikaian antar bawahannya dalam rangka menguatkan dan memaksimalkan kekuasaannya.[202]
Dekret Reichsstatthalter yang dikeluarkan pada tahun 1933 sampai 1935 menghapuskan Länder (negara bagian) yang ada di Jerman dan menggantinya dengan divisi administratif baru, Gaue, yang diperintah oleh para pemimpin NSDAP (Gauleiters).[203] Perubahan ini tidak sepenuhnya dilaksanakan, karena Länder masih digunakan sebagai divisi administratif untuk beberapa departemen pemerintah seperti pendidikan. Hal ini menimbulkan kekacauan birokrasi yurisdiksi dan tanggung jawab yang saling tumpang tindih, ciri khas dari gaya pemerintahan rezim Nazi.[204]
Aparatur sipil Yahudi diberhentikan dari pekerjaannya pada tahun 1933, kecuali bagi yang ikut dinas militer dalam Perang Dunia I. Anggota NSDAP atau simpatisan partai ditunjuk sebagai pengganti Yahudi.[205] Sebagai bagian dari proses Gleichschaltung, Undang-Undang Pemerintahan Daerah Reich 1935 menghapuskan pemilihan kepala daerah, dan wali kota ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri.[206]
Hukum
Pada bulan Agustus 1934, aparatur sipil dan anggota militer diwajibkan bersumpah setia tanpa syarat kepada Hitler. Undang-undang ini menjadi dasar Führerprinzip, konsep bahwa titah Hitler mematahkan semua undang-undang yang ada.[207] Segala tindakan yang disetujui Hitler—bahkan pembunuhan—menjadi putusan yang sah.[208] Semua undang-undang yang diusulkan oleh menteri kabinet harus disetujui oleh pejabat Wakil Führer Rudolf Hess, yang juga memiliki hak veto untuk menunjuk pejabat tinggi.[209]
Sebagian besar sistem peradilan dan kode hukum Republik Weimar tetap dipakai untuk menangani kejahatan nonpolitik.[210] Pengadilan memutuskan dan melaksanakan hukuman mati jauh lebih banyak daripada sebelum Nazi mengambil alih kekuasaan.[210] Terdakwa yang dihukum karena tiga atau lebih pelanggaran—bahkan pelanggaran kecil—dianggap sebagai pembuat onar dan dipenjara tanpa batas waktu.[211] Para PSK dan pencopet diadili atas perbuatan kriminal dan ancaman bagi masyarakat. Ribuan orang ditangkap dan dipenjara tanpa melalui proses pengadilan.[212]
Jenis pengadilan baru, Volksgerichtshof ("Pengadilan Rakyat"), didirikan pada tahun 1934 untuk menangani kasus-kasus politik.[213] Pengadilan ini menjatuhkan lebih dari 5.000 hukuman mati hingga pembubarannya pada tahun 1945.[214] Hukuman mati dapat dijatuhkan untuk pelanggaran-pelanggaran seperti komunis, mencetak selebaran hasutan, atau membuat lelucon mengenai Hitler atau pejabat Nazi lainnya.[215] Gestapo berperan sebagai polisi penyidik yang bertanggung jawab menegakkan ideologi Sosialis Nasional dengan melacak dan menangkap para pelanggar politik, Yahudi, dan kelompok lainnya yang tidak dikehendaki.[216] Pelanggar politik yang dibebaskan dari penjara sering kali ditangkap kembali oleh Gestapo dan dijebloskan ke kamp konsentrasi.[217]
Nazi menggunakan propaganda untuk menyebarluaskan konsep Rassenschande ("pencemaran ras") dalam rangka membenarkan kebutuhan akan hukum rasial.[218] Pada bulan September 1935, Undang-Undang Nuremberg diberlakukan. Undang-undang ini awalnya melarang hubungan seksual dan perkawinan antara bangsa Arya dan Yahudi, dan kemudian lebih luas lagi dengan menyertakan "Gipsi, Negro atau anak tidak sah mereka."[219] Undang-undang ini juga melarang mempekerjakan wanita Jerman yang berusia di bawah 45 tahun sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Yahudi.[220] Undang-Undang Kewarganegaraan Reich menyatakan bahwa hanya orang-orang "berdarah Jerman atau berdarah terkait" yang berhak menjadi warga negara.[221] Dengan demikian, Yahudi dan non-Arya lainnya dicabut kewarganegaraan Jermannya. Undang-undang ini juga memperbolehkan Nazi menolak kewarganegaraan orang-orang yang tidak mendukung rezim.[221] Ketetapan tambahan dikeluarkan pada bulan November, yang mendefinisikan seseorang dianggap Yahudi jika memiliki tiga leluhur Yahudi, atau dua leluhur jika menganut agama Yahudi sejak lahir.[222]
Militer dan paramiliter
Wehrmacht
Angkatan bersenjata terpadu Jerman dari tahun 1935 sampai 1945 disebut Wehrmacht (pasukan pertahanan). Pasukan ini meliputi Heer (AD), Kriegsmarine (AL), dan Luftwaffe (AU). Sejak 2 Agustus 1934, prajurit angkatan bersenjata diwajibkan bersumpah setia tanpa syarat kepada Hitler secara pribadi. Berbeda dengan sumpah sebelumnya, yang mensyaratkan kesetiaan kepada angkatan dan konstitusi negara, sumpah baru ini mewajibkan prajurit militer untuk mematuhi Hitler, meskipun diperintahkan melakukan sesuatu yang ilegal.[223] Hitler menyatakan prajurit militer wajib menolerir dan menawarkan dukungan logistik kepada Einsatzgruppen—regu pembunuh keliling yang membunuh jutaan nyawa di Eropa Timur—ketika secara taktik diperlukan.[224] Pasukan Wehrmacht juga berpartisipasi langsung dalam Holocaust dengan menembaki warga sipil atau melakukan genosida dengan kedok operasi antipartisan.[225] Simpatisan Partai Nazi menyerukan Yahudi adalah penghasut perjuangan partisan dan oleh sebab itu harus dimusnahkan.[226] Pada 8 Juli 1941, Heydrich mengumumkan bahwa segenap Yahudi di wilayah yang ditaklukkan di Eropa Timur harus dianggap sebagai partisan, dan memberikan perintah untuk menembaki semua lelaki Yahudi yang berusia 15 sampai 45 tahun.[227] Pada bulan Agustus, himbauan ini diperluas mencakup seluruh populasi Yahudi.[228]
Terlepas dari upaya untuk mempersiapkan negara secara militer, situasi perekonomian Jerman tidak mendukung pelaksanaan perang jangka panjang. Strategi baru dikembangkan berdasarkan taktik Blitzkrieg ("perang kilat"), yang menyangkut penggunaan serangan terkoordinasi cepat dengan menghindari titik kuat musuh. Serangan dimulai dengan pemberondongan artileri, diikuti oleh pengeboman dan penggempuran. Kemudian pasukan tank menyerang, dan akhirnya satuan infanteri akan menyerbu masuk untuk mengamankan wilayah yang direbut.[229] Kemenangan Jerman berlanjut sampai pertengahan 1940, tetapi kegagalan melumpuhkan Britania menjadi titik balik kemunduran Jerman dalam peperangan. Keputusan menyerang Uni Soviet dan kekalahan memilukan di Stalingrad menyebabkan kelesuan pasukan Jerman dan akhirnya mengalami kekalahan.[230] Jumlah prajurit yang bertugas di Wehrmacht dari tahun 1935 sampai 1945 sekitar 18,2 juta, 5,3 juta di antaranya gugur.[154]
SA dan SS
Sturmabteilung (SA; Detasemen Badai; Seragam Cokelat), didirikan pada 1921, adalah sayap paramiliter pertama NSDAP; tugas awalnya adalah melindungi para pemimpin Nazi dalam acara rapat dan pertemuan umum.[231] Pasukan ini juga ambil bagian dalam bentrokan jalanan melawan kekuatan partai politik saingan dan melakukan tindak kekerasan terhadap Yahudi dan kelompok lainnya.[232] Di bawah kepemimpinan Ernst Röhm, SA tumbuh pesat pada 1934, memiliki lebih dari setengah juta anggota—termasuk 4,5 juta anggota cadangan—di saat keanggotaan angkatan bersenjata reguler masih dibatasi sampai 100.000 tentara oleh Perjanjian Versailles.[233]
Röhm berhasrat mengambil alih komando angkatan bersenjata dan memikatnya ke dalam jajaran SA.[234] Hindenburg dan Menteri Pertahanan Werner von Blomberg mengancam akan memberlakukan darurat militer jika aktivitas SA tidak dibatasi.[235] Oleh sebab itu, kira-kira satu setengah tahun setelah meraih kekuasaan, Hitler memerintahkan pembunuhan pimpinan SA, termasuk Röhm. Setelah pembersihan pada tahun 1934, SA tidak lagi menjadi kekuatan utama.[39]
Awalnya hanya satuan pengawal kroco yang bernaung di bawah SA, Schutzstaffel (SS; Skuadron Perlindungan) tumbuh menjadi salah satu kelompok bersenjata terbesar dan terkuat di Jerman Nazi.[236] Dikomandoi oleh Reichsführer-SS Heinrich Himmler dari tahun 1929, SS memiliki lebih dari seperempat juta prajurit pada tahun 1938.[237] Himmler awalnya berniat menjadikan SS sebagai regu pengawal elite, garis pertahanan terakhir Hitler.[238] Waffen-SS, satuan militer SS, berevolusi menjadi angkatan bersenjata sekunder. Satuan ini bergantung pada angkatan bersenjata reguler untuk perlengkapan dan persenjataan berat, dan kebanyakan satuan berada di bawah kendali taktis Komando Tinggi Angkatan Bersenjata (OKW).[239][240] Pada akhir 1942, seleksi ketat dan persyaratan rasial tak lagi dibutuhkan dalam proses rekrutmen. Setelah syarat rekrutmen dan wajib militer hanya berpatokan pada perluasan wilayah, Waffen-SS tak bisa lagi mengklaim diri sebagai pasukan tempur elite pada tahun 1943.[241]
SS melakukan banyak kejahatan perang terhadap warga sipil dan tentara sekutu.[242] Sejak 1935, SS memelopori perburuan Yahudi, yang kemudian dijebloskan ke dalam ghetto dan kamp konsentrasi.[243] Ketika Perang Dunia II pecah, satuan Einsatzgruppen SS mengikuti tentara Jerman ke Polandia dan Uni Soviet, dan dari tahun 1941 sampai 1945, satuan ini telah membunuh lebih dari dua juta orang, termasuk 1,3 juta Yahudi.[244] Sepertiga anggota Einsatzgruppen direkrut dari prajurit Waffen-SS.[245][246] SS-Totenkopfverbände (kepala satuan pembunuh) mengelola kamp konsentrasi dan kamp pemusnahan, tempat jutaan orang lainnya tewas.[247][248] Sebanyak 60.000 prajurit Waffen-SS bertugas di kamp Nazi.[249]
Pada tahun 1931, Himmler membentuk badan intelijen SS yang kelak bernama Sicherheitsdienst (SD; Layanan Keamanan) bersama wakilnya, Heydrich. [250] Organisasi ini bertugas melacak dan menangkap komunis dan lawan politik lainnya.[251][252] Himmler memprakarsai dimulainya ekonomi paralel di bawah naungan Kantor Pusat Ekonomi dan Administrasi SS. Departemen induk ini memiliki perusahaan perumahan, pabrik, dan penerbit.[253][254]
Ekonomi
Ekonomi Reich
Pada awalnya, permasalahan ekonomi paling mendesak yang dihadapi Nazi adalah angka pengangguran nasional yang mencapai 30 persen.[255] Ekonom Hjalmar Schacht, Presiden Reichsbank dan Menteri Perekonomian, menciptakan skema pembiayaan defisit pada bulan Mei 1933. Proyek modal didanai dengan penerbitan surat sanggup bayar yang disebut surat Mefo. Ketika surat Mefo dipakai sebagai alat bayar, Reichsbank mencetak uang. Hitler dan tim ekonominya mengharapkan perluasan wilayah akan menyediakan dana untuk membayar utang nasional yang melonjak.[256] Kebijakan Schacht berhasil mengurangi angka pengangguran dengan cepat, yang tercepat dari negara mana pun pada masa Depresi Hebat.[255] Tetapi, pemulihan ekonomi tidak merata; pengurangan jam kerja dan penyediaan kebutuhan pokok tidak seimbang, yang mengarah pada kekecewaan terhadap rezim pada awal 1934.[257]
Pada Oktober 1933, Bengkel Pesawat Junkers diambil alih. Setelah bekerja sama dengan produsen pesawat lain dan di bawah arahan Menteri Penerbangan Göring, produksinya meningkat. Dari 3.200 pekerja yang memproduksi 100 unit pesawat per tahun pada 1932, industri ini berkembang dengan mempekerjakan seperempat juta pekerja yang memproduksi lebih dari 10.000 pesawat sepuluh tahun kemudian.[258]
Birokrasi yang rumit dibuat untuk mengatur impor bahan baku dan barang jadi dengan tujuan meniadakan persaingan asing di pasar Jerman dan dengan demikian meningkatkan neraca pembayaran negara. Nazi mendorong pengembangan industri pengolahan untuk bahan-bahan seperti minyak dan tekstil.[259] Ketika pasar mengalami keberlimpahan dan harga minyak rendah, pada 1933 pemerintah Nazi menyepakati perjanjian bagi hasil dengan IG Farben, menjamin bahwa mereka memperoleh pengembalian modal 5 persen yang diinvestasikan di pabrik pengolahan minyak di Leuna. Perolehan laba yang melebihi jumlah tersebut akan disetorkan kepada Reich. Pada 1936, Farben menyesal menandatangani kesepakatan tersebut, karena kelebihan laba rutin dihasilkan.[260] Dalam upayanya mengamankan pasokan minyak bumi yang memadai pada masa perang, Jerman menekan Rumania untuk menandatangani perjanjian dagang pada bulan Maret 1939.[261]
Proyek pekerjaan umum besar yang dibiayai dengan pengeluaran defisit meliputi pembangunan jaringan Autobahnen (jalan bebas hambatan) dan penyediaan dana bagi program yang diprakarsai pemerintah sebelumnya untuk perbaikan perumahan dan pertanian.[262] Untuk merangsang pertumbuhan industri konstruksi, kredit ditawarkan kepada bisnis swasta dan subsidi disediakan untuk pembelian dan perbaikan rumah.[263] Dengan persyaratan bahwa istri akan berhenti bekerja, pinjaman hingga 1.000 Reichsmark diberikan bagi pasangan muda keturunan Arya yang ingin menikah, dan jumlah yang harus dilunasi dipotong sebesar 25 persen untuk setiap anak yang dilahirkan.[264] Himbauan agar wanita menganggur dicabut pada tahun 1937 karena kurangnya pekerja terampil.[265]
Menginginkan kepemilikan mobil yang meluas sebagai bagian dari Jerman baru, Hitler memerintahkan Ferdinand Porsche merancang KdF-wagen (mobil Kuat dengan Sukacita), dimaksudkan sebagai mobil yang bisa dibeli oleh semua kalangan. Sebuah prototipe ditampilkan dalam Pameran Motor Internasional di Berlin pada 17 Februari 1939. Dengan pecahnya Perang Dunia II, pabrik beralih fungsi memproduksi kendaraan militer. Tidak ada unit yang terjual hingga perang selesai, dan kelak mobil ini dinamai Volkswagen (mobil rakyat).[266]
Enam juta orang menganggur ketika Nazi mengambil alih kekuasaan pada tahun 1933 dan pada 1937, jumlahnya menurun menjadi satu juta.[267] Penurunan ini sebagian akibat dikeluarkannya wanita dari angkatan kerja.[268] Upah riil turun 25 persen antara tahun 1933 dan 1938.[255] Setelah pembubaran serikat buruh pada bulan Mei 1933, anggarannya disita dan para pemimpinnya ditangkap,[269] termasuk mereka yang mencoba bekerja sama dengan NSDAP.[31] Organisasi baru, Serikat Buruh Jerman, didirikan dan berada di bawah naungan fungsionaris NSDAP Robert Ley.[269] Rata-rata jam kerja mingguan adalah 43 jam pada tahun 1933, dan meningkat menjadi 47 jam pada 1939.[270]
Pada awal 1934, tujuan negara bergeser ke arah persenjataan kembali. Pada 1935, pengeluaran militer menghabiskan 73 persen dari total pengeluaran pemerintah.[271] Pada 18 Oktober 1936, Hitler menunjuk Göring sebagai Kepala Rencana Empat Tahun, yang bertujuan mempercepat proses persenjataan kembali.[272] Selain mencanangkan pembangunan kilat pabrik baja, pabrik karet sintetis, dan pabrik lainnya, Göring melembagakan pengendalian harga dan upah serta membatasi penerbitan dividen saham.[255] Pengeluaran besar dianggarkan untuk persenjataan kembali meskipun menimbulkan defisit.[273] Rencana yang diumumkan pada akhir 1938 untuk membangun angkatan laut dan angkatan udara secara besar-besaran tidak dapat diwujudkan, karena Jerman kekurangan anggaran dan sumber daya material untuk membangun satuan yang direncanakan, serta terbatasnya bahan bakar yang diperlukan untuk mengoperasikannya.[274] Dengan diperkenalkannya dinas wajib militer pada tahun 1935, Reichswehr, yang dibatasi sampai 100.000 prajurit sesuai ketentuan Perjanjian Versailles, dikembangkan menjadi 750.000 prajurit yang aktif berdinas pada awal Perang Dunia II, dengan satu juta lebih menjadi prajurit cadangan.[275] Pada Januari 1939, angka pengangguran turun menjadi 301.800 dan turun lagi menjadi 77.500 pada bulan September.[276]
Ekonomi masa perang dan kerja paksa
Ekonomi perang Nazi adalah ekonomi campuran yang menggabungkan pasar bebas dengan perencanaan terpusat. Menurut sejarawan Richard Overy, ekonomi Jerman Nazi berada di tengah-tengah ekonomi komando Uni Soviet dan sistem kapitalis Amerika Serikat.[277]
Pada tahun 1942, setelah kematian Menteri Persenjataan Fritz Todt, Hitler menunjuk Albert Speer sebagai penggantinya.[278] Penjatahan barang-barang konsumsi pada masa perang menyebabkan meningkatnya tabungan pribadi, dana yang pada gilirannya dipinjamkan kepada pemerintah untuk membiayai perang.[279] Pada 1944, peperangan menguras 75 persen produk domestik bruto Jerman, lebih tinggi jika dibandingkan dengan 60 persen di Uni Soviet dan 55 persen di Britania Raya.[280] Speer meningkatkan produksi kebutuhan perang dengan memusatkan perencanaan dan kendali, mengurangi produksi barang-barang konsumsi, dan memanfaatkan kerja paksa dan perbudakan.[281][282] Ekonomi masa perang Jerman pada akhirnya sangat bergantung pada pekerjaan berskala besar oleh pekerja budak. Jerman mengimpor dan memperbudak sekitar 12 juta orang dari 20 negara Eropa untuk bekerja di pabrik dan ladang. Sekitar 75 persen di antaranya berasal dari Eropa Timur.[283] Pekerja ini banyak yang menjadi korban pengeboman Sekutu, karena tidak menerima perlindungan serangan udara yang memadai. Kondisi hidup yang buruk menyebabkan tingginya angka penyakit, cedera, dan kematian, serta maraknya sabotase dan aksi kriminal.[284] Ekonomi masa perang juga bergantung pada perampasan besar-besaran, awalnya melalui penyitaan harta benda Yahudi oleh negara dan kemudian dengan menjarah sumber daya di wilayah yang diduduki.[285]
Pekerja asing yang dibawa ke Jerman digolongkan ke dalam empat klasifikasi: pekerja tamu, internir militer, pekerja sipil, dan pekerja Timur. Setiap kelompok tunduk pada peraturan yang berbeda. Nazi mengeluarkan larangan hubungan seksual antara warga Jerman dan pekerja asing.[286][287]
Pada tahun 1944, lebih dari setengah juta wanita bertugas sebagai regu penolong di angkatan bersenjata Jerman.[288] Jumlah wanita Jerman yang bekerja hanya meningkat sebanyak 271.000 (1,8 persen) dari 1939 sampai 1944.[289] Akibat dikuranginya produksi barang-barang konsumsi, para wanita hengkang dari industri tersebut dan kemudian bekerja di sektor ekonomi perang. Mereka juga melakukan pekerjaan yang sebelumnya dipegang oleh laki-laki, terutama di sektor pertanian dan di toko-toko milik keluarga.[290]
Pengeboman strategis yang sangat dahsyat oleh Sekutu menyasar kilang pengolahan minyak dan bensin, serta sistem transportasi Jerman, terutama jaringan rel dan terusan.[291] Industri persenjataan mulai lumpuh pada September 1944. Pada bulan November, bahan bakar batu bara tidak bisa lagi didistribusikan dan produksi persenjataan baru mustahil dilakukan.[292] Menurut Overy, pengeboman Sekutu menyebabkan ekonomi perang Jerman genting dan memaksa mengalihkan seperempat tenaga kerja dan sektor industrinya ke sumber daya antipesawat, yang berkemungkinan mempersingkat perang.[293]
Eksploitasi keuangan di wilayah taklukan
Selama perang, Nazi melakukan banyak penjarahan di Eropa yang diduduki. Sejarawan dan koresponden perang William L. Shirer menulis: "Jumlah total jarahan [Nazi] tidak akan pernah diketahui; terbukti melampaui kemampuan manusia untuk menghitung secara akurat."[294] Cadangan emas dan harta asing lainnya disita dari bank nasional di negara yang diduduki, sedangkan "biaya pengerjaan" yang besar dibebankan pada negara yang bersangkutan. Pada masa perang, Nazi menghitung biaya pendudukan yang diterimanya sebesar 60 miliar Reichsmark, dengan Prancis membayar sebesar 31,5 miliar. Bank of France terpaksa menyerahkan 4,5 miliar Reichsmark secara "kredit" kepada Jerman, sedangkan 500.000 Reichsmark dibebankan kepada Prancis Vichy oleh Nazi dalam bentuk "imbalan" dan biaya lain-lain. Nazi mengeksploitasi negara-negara taklukan lainnya dengan cara yang sama. Setelah perang, Survei Pengeboman Strategis Amerika Serikat menyimpulkan Jerman telah meraup 104 miliar Reichsmark dalam bentuk biaya pendudukan dan pemindahan kekayaan lainnya dari negara-negara Eropa yang diduduki, termasuk dua pertiga produk domestik bruto Belgia dan Belanda.[294]
Penjarahan Nazi mencakup koleksi seni pribadi dan publik, artefak, logam mulia, buku, dan barang pribadi. Hitler dan Göring secara khusus berhasrat menguasai karya seni rampasan dari negara Eropa yang diduduki Jerman,[295] setelah sebelumnya berencana menyimpan karya seni curian tersebut di galeri Führermuseum (Museum Pemimpin) yang direncanakan,[296] dan untuk koleksi pribadi mereka. Göring, yang menjarah hampir seluruh peninggalan karya seni Polandia dalam kurun enam bulan setelah invasi Jerman, berhasil mengumpulkan koleksi seni bernilai lebih dari 50 juta Reichsmarks.[295] Pada tahun 1940, Gugus Tugas Reichsleiter Rosenberg dibentuk untuk menjarah karya seni dan peninggalan budaya dari koleksi publik dan pribadi, perpustakaan, dan museum di seluruh Eropa. Prancis mengalami penjarahan paling parah. Sekitar 26.000 gerbong kereta berisi harta karun seni, perabotan, dan barang jarahan lainnya dikirim ke Jerman dari Prancis.[297] Pada Januari 1941, Rosenberg memperkirakan harta yang dijarah dari Prancis bernilai lebih dari satu miliar Reichsmarks.[298] Selain itu, tentara Jerman menjarah atau membeli hasil bumi dan pakaian—barang-barang yang semakin sulit didapatkan di Jerman—untuk dikirim ke rumah.[299]
Barang dan bahan baku juga dirampas. Di Prancis, sekitar 9.000.000 ton (8.900.000 ton panjang; 9.900.000 ton pendek) sereal disita selama perang, termasuk 75 persen persediaan gandum. Selain itu, 80 persen cadangan minyak negara dan 74 persen produksi baja Prancis diangkut ke Jerman. Nilai hasil rampasan ini diperkirakan 184,5 miliar franc. Di Polandia, penjarahan bahan baku oleh Nazi telah dimulai sebelum invasi Jerman.[300]
Setelah Operasi Barbarossa, Uni Soviet juga dijarah. Pada tahun 1943 saja, 9.000.000 ton sereal, 2.000.000 ton (2.000.000 ton panjang; 2.200.000 ton pendek) pakan, 3.000.000 ton (3.000.000 ton panjang; 3.300.000 ton pendek) kentang, dan 662.000 ton (652.000 ton panjang; 730.000 ton pendek) daging dikirim ke Jerman. Selama pendudukan Jerman, sekitar 12 juta babi dan 13 juta domba diambil. Nilai penjarahan ini diperkirakan mencapai 4 miliar Reichsmarks. Nilai ini relatif rendah dibanding negara-negara yang diduduki di Eropa Barat, kemungkinan karena pertempuran sengit di Front Timur.[301]
Kebijakan rasial dan eugenika
Rasisme dan antisemitisme
Rasisme dan antisemitisme adalah prinsip dasar NSDAP dan rezim Nazi. Kebijakan rasial Jerman Nazi didasarkan pada kepercayaan terhadap keberadaan ras unggul superior. Nazi mendalilkan adanya konflik rasial antara ras unggul Arya dengan ras-ras inferior, terutama Yahudi, yang dipandang sebagai ras campuran yang menyusup ke kalangan masyarakat dan bertanggung jawab atas pendayagunaan dan penindasan ras Arya.[302]
Persekusi Yahudi
Diskriminasi terhadap Yahudi dimulai segera setelah Hitler meraih kekuasaan. Menyusul serangkaian serangan sebulan penuh oleh anggota SA terhadap tempat usaha dan sinagoge Yahudi, pada 1 April 1933 Hitler mendeklarasikan pemboikotan nasional terhadap bisnis Yahudi.[303] Undang-Undang Pemulihan Pelayanan Publik Profesional yang disahkan pada 7 April memaksa semua pegawai negeri non-Arya untuk pensiun dari profesi kehakiman dan pelayanan publik.[304] Undang-undang serupa merampas hak kalangan profesional dan para praktisi Yahudi lainnya, dan pada 11 April, dikeluarkan dekret yang menyatakan bahwa siapa pun yang memiliki satu orangtua atau leluhur Yahudi dianggap non-Arya.[305] Sebagai bagian dari upaya menghilangkan pengaruh Yahudi dari kehidupan budaya, anggota Liga Pelajar Sosialis Nasional memusnahkan buku-buku yang dianggap non-Jerman, dan pembakaran buku secara nasional diselenggarakan pada tanggal 10 Mei.[306]
Rezim menggunakan kekerasan dan penekanan ekonomi untuk mendorong Yahudi agar secara sukarela meninggalkan Jerman.[307] Usaha Yahudi tidak diberi akses ke pasar, dilarang beriklan, dan tidak diberi peluang ikut proyek pemerintah. Warga Yahudi dilecehkan dan menjadi sasaran kekerasan.[308] Banyak kota memasang rambu-rambu yang melarang masuknya Yahudi.[309]
Pada November 1938, seorang pemuda Yahudi meminta wawancara dengan duta besar Jerman di Paris dan bertemu dengan sekretaris kedutaan, yang ia tembak dan bunuh sebagai bentuk protes atas perlakuan terhadap keluarganya di Jerman. Insiden ini dijadikan dalih oleh NSDAP untuk menghasut peristiwa pogrom terhadap orang Yahudi pada tanggal 9 November 1938. Anggota SA merusak atau menghancurkan rumah peribadatan dan properti Yahudi di seluruh Jerman. Paling tidak 91 Yahudi Jerman dibunuh dalam pogrom ini, yang kemudian disebut Kristallnacht, Malam Kaca Pecah.[310][311] Pembatasan lebih lanjut diberlakukan terhadap Yahudi beberapa bulan berikutnya –mereka dilarang memiliki usaha atau bekerja di toko-toko ritel, mengendarai mobil, pergi ke bioskop, mengunjungi perpustakaan, atau memiliki senjata, dan siswa Yahudi dikeluarkan dari sekolah. Komunitas Yahudi didenda satu miliar mark untuk membayar kerusakan akibat Kristallnacht, dan diberi tahu bahwa setiap pembayaran klaim asuransi akan disita.[312] Pada 1939, sekitar 250.000 dari 437.000 Yahudi Jerman beremigrasi ke Amerika Serikat, Argentina, Britania Raya, Palestina, dan negara lainnya.[313][314] Banyak yang memilih untuk tetap tinggal di benua Eropa. Emigran Yahudi ke Palestina diizinkan membawa harta benda ke sana berdasarkan ketentuan Perjanjian Haavara, tetapi sebagian besar Yahudi yang pindah ke negara lain meninggalkan hampir semua harta mereka di Jerman, yang kemudian disita oleh pemerintah.[314]
Persekusi Rom
Seperti halnya Yahudi, orang Rom menjadi sasaran persekusi sejak awal rezim. Rom dilarang menikah dengan warga Jerman. Mereka dikirim ke kamp konsentrasi mulai tahun 1935 dan banyak yang tewas.[189][190] Setelah invasi Polandia, 2.500 Rom dan Sinti dideportasi dari Jerman ke Pemerintahan Umum, tempat mereka dipenjara di kamp-kamp kerja paksa. Para korban kemungkinan besar dibantai di Bełżec, Sobibor, atau Treblinka. Sedangkan sekitar 5.000 orang Sinti dan Lalleri Austria dideportasi ke Ghetto Łódź pada akhir 1941, dengan setengahnya diperkirakan tewas. Rom yang selamat dari ghetto kemudian dipindahkan ke kamp pemusnahan Chełmno pada awal 1942.[315]
Nazi bermaksud mendeportasi seluruh Rom dari Jerman, dan mengurung mereka di Zigeunerlager (kamp Gipsi). Himmler memerintahkan deportasi orang Rom dari Jerman pada Desember 1942, dengan beberapa pengecualian. Sebanyak 23.000 orang Rom dideportasi ke kamp konsentrasi Auschwitz, 19.000 di antaranya tewas. Di luar Jerman, orang Rom dikerahkan sebagai buruh, dan pada akhirnya dibantai. Di negara-negara Baltik dan Uni Soviet, 30.000 orang Rom dibunuh oleh SS, Tentara Jerman, dan Einsatzgruppen. Di Serbia yang diduduki, 1.000 sampai 12.000 orang Rom dibunuh, sedangkan hampir 25.000 orang Rom yang tinggal di Negara Merdeka Kroasia dibinasakan. Pada akhir perang, diperkirakan jumlah korban jiwa sekitar 220.000, atau sekitar 25 persen dari populasi Rom di Eropa.[315]
Persekusi kelompok lainnya
Action T4 adalah program pembunuhan sistematis terhadap para penderita difabel fisik dan mental serta pasien di rumah sakit jiwa yang terjadi dari tahun 1939 sampai 1941, dan berlanjut hingga akhir perang. Awalnya, para korban ditembak oleh Einsatzgruppen dan satuan lainnya; kamar gas dan van gas bermuatan karbon monoksida digunakan pada awal 1940.[316][317] Di bawah Undang-Undang Pencegahan Penyakit Keturunan yang disahkan pada 14 Juli 1933, sekitar 400.000 pasien menjalani sterilisasi paksa.[318] Lebih dari setengahnya adalah pasien gangguan mental, yang tidak hanya mencakup orang-orang yang mendapat nilai buruk dalam tes inteligensi, tetapi juga orang yang perilakunya menyimpang dari standar yang diharapkan, misalnya penghematan, perilaku seksual, dan kebersihan. Sebagian besar korban berasal dari kelompok mudarat seperti pekerja seks, orang miskin, tunawisma, dan pelaku kriminal.[319] Kelompok lainnya yang dipersekusi dan dibunuh meliputi Saksi Yehuwa, homoseksual, pembangkang, dan anggota oposisi politik dan agama.[190][320]
Generalplan Ost
Peperangan Jerman di Timur didasari oleh pandangan lama Hitler bahwa Yahudi adalah musuh besar bangsa Jerman dan Lebensraum diperlukan untuk perluasan wilayah Jerman. Hitler memusatkan perhatiannya pada Eropa Timur, dengan tujuan menaklukkan Polandia dan Uni Soviet.[186][187] Setelah pendudukan Polandia pada tahun 1939, semua Yahudi yang tinggal di Pemerintahan Umum dikurung di ghetto, dan mereka yang sehat secara fisik diwajibkan melakukan kerja paksa.[321] Pada 1941, Hitler memutuskan untuk menghancurkan negara Polandia sepenuhnya; dalam kurun 15 sampai 20 tahun, Pemerintahan Umum akan terbebas dari etnis Polandia dan dihuni kembali oleh penjajah Jerman.[322] Sekitar 3,8 sampai 4 juta warga Polandia diperbudak,[323] sebagai bagian dari perbudakan 14 juta warga yang dimaksudkan Nazi untuk mendirikan negara dengan memanfaatkan warga negara yang ditaklukkan.[187][324]
Generalplan Ost ("Rencana Umum untuk Timur") mengatur pendeportasian penduduk Eropa Timur yang diduduki dan Uni Soviet ke Siberia, yang akan dimanfaatkan sebagai buruh paksa atau dibantai.[325] Untuk menentukan siapa yang harus dibunuh, Himmler membentuk Volksliste, sistem klasifikasi penduduk yang dianggap berdarah Jerman.[326] Ia memerintahkan warga keturunan Jerman yang menolak diklasifikasikan sebagai etnik Jerman harus dideportasi ke kamp konsentrasi, membawa serta anak-anaknya, atau disuruh bekerja paksa.[327][328] Rencana tersebut juga mencakup penculikan anak-anak yang memiliki sifat Arya-Nordik, yang dianggap berasal dari keturunan Jerman.[329] Tujuan Nazi adalah mengimplementasikan Generalplan Ost setelah penaklukan Uni Soviet, tetapi ketika invasi gagal, Hitler harus mempertimbangkan opsi lain.[325][330] Salah satu sarannya adalah pendeportasian paksa Yahudi ke Polandia, Palestina, atau Madagaskar.[321]
Selain melenyapkan Yahudi, Nazi berencana mengurangi populasi di wilayah yang ditaklukkan sebanyak 30 juta orang dengan cara melaparkan penduduk melalui aksi yang disebut Rencana Kelaparan. Persediaan pangan akan dialihkan untuk tentara dan warga sipil Jerman. Kota-kota dimusnahkan dan tanahnya dibiarkan menjadi hutan atau dimukimkan ulang oleh penjajah Jerman.[331] Bersama-sama, Rencana Kelaparan dan Generalplan Ost akan menyebabkan kelaparan 80 juta penduduk di Uni Soviet.[332] Rencana yang sebagian terwujud ini menyebabkan kematian demosida sekitar 19,3 juta warga sipil dan tawanan perang (POW) di seluruh Uni Soviet dan tempat lainnya di Eropa.[333] Semasa perang, sebanyak 27 juta penduduk Uni Soviet tewas; sekitar sembilan juta di antaranya gugur dalam pertempuran.[334] Satu dari empat penduduk Soviet tewas atau terluka.[335]
Holocaust dan Solusi Akhir
Setelah gagal menyerang Moskwa pada bulan Desember 1941, Hitler memerintahkan seluruh Yahudi di Eropa harus segera dimusnahkan.[336] Pembantaian terhadap warga sipil Yahudi terus berlangsung di wilayah-wilayah pendudukan di Polandia dan Uni Soviet. Rencana pemusnahan seluruh populasi Yahudi Eropa— sebelas juta jiwa—disahkan dalam Konferensi Wannsee pada 20 Januari 1942. Sebagian kecil Yahudi akan dipekerjakan sampai mati dan sisanya akan dibunuh dalam rangka penerapan Solusi Akhir atas Permasalahan Yahudi.[337] Awalnya para korban dibunuh oleh regu tembak Einsatzgruppen kemudian melalui kamar gas stasioner atau van gas, tetapi metode ini terbukti tidak praktis untuk operasi berskala besar.[338][339] Pada 1942, kamp-kamp pemusnahan yang dilengkapi dengan kamar gas didirikan di Auschwitz, Chełmno, Sobibor, Treblinka, dan tempat lainnya.[340] Jumlah keseluruhan Yahudi yang dibunuh diperkirakan 5,5 sampai enam juta,[248] termasuk lebih dari satu juta anak-anak.[341]
Sekutu menerima informasi mengenai pembunuhan dari pemerintah Polandia di pengasingan dan pemimpin Polandia di Warsawa, kebanyakan bersumber dari laporan intelijen bawah tanah di Polandia.[342][343] Warga Jerman mengetahui apa yang terjadi, karena tentara yang kembali dari wilayah pendudukan melaporkan apa yang telah mereka lihat dan lakukan.[344] Menurut sejarawan Richard J. Evans, sebagian besar warga Jerman menentang genosida tersebut.[345][h]
Penindasan etnik Polandia
Warga Polandia dipandang oleh Nazi sebagai non-Arya yang tidak manusiawi, dan selama pendudukan Jerman, 2,7 juta etnik Polandia dibantai.[346] Warga sipil Polandia menjadi sasaran kerja paksa bagi industri Jerman, interniran, pengusiran besar-besaran untuk memberi ruang hidup bagi penjajah Jerman, dan eksekusi massal. Pihak berwenang Jerman terlibat dalam upaya sistematis pemusnahan budaya dan identitas nasional Polandia. Selama operasi AB-Aktion, banyak dosen dan kaum inteligensia Polandia ditangkap, diangkut ke kamp konsentrasi, atau dieksekusi. Pada masa perang, Polandia kehilangan sekitar 39 sampai 45 persen dokter dan dokter gigi, 26 sampai 57 persen pengacara, 15 sampai 30 persen guru, 30 sampai 40 persen ilmuwan dan dosen, dan 18 sampai 28 persen pendeta.[347]
Penyiksaan tawanan perang Soviet
Nazi menahan 5,75 juta tawanan perang Soviet, yang terbanyak dari semua kekuatan Sekutu lainnya. Dari jumlah tersebut, sekitar 3,3 juta dibunuh,[348] dengan 2,8 juta di antaranya dibunuh pada bulan Juni 1941 sampai Januari 1942.[349] Banyak tawanan perang yang tewas kelaparan atau terpaksa melakukan kanibalisme saat ditahan di kandang terbuka di Auschwitz dan di tempat lainnya.[350]
Sejak 1942, tawanan perang Soviet dianggap sebagai sumber perburuhan, dan menerima perlakuan lebih baik agar bisa bekerja.[351] Pada Desember 1944, 750.000 tawanan perang Soviet dipekerjakan, termasuk di pabrik-pabrik persenjataan Jerman (melanggar konvensi Den Haag dan Jenewa), tambang, dan sektor pertanian.[352]
Masyarakat
Pendidikan
Undang-undang antisemitisme yang disahkan pada tahun 1933 mengarah pada pemberhentian semua guru, dosen, dan pejabat Yahudi dari sistem pendidikan. Sebagian besar guru diwajibkan menjadi anggota Nationalsozialistischer Lehrerbund (NSLB; Liga Guru Sosialis Nasional) dan dosen dipaksa bergabung dengan Liga Dosen Sosialis Nasional Jerman.[353][354] Para guru wajib bersumpah setia dan patuh kepada Hitler, dan jika gagal menyesuaikan diri dengan cita-cita partai, akan dilaporkan oleh siswa atau rekan guru dan diberhentikan.[355][356] Kurangnya pendanaan gaji menyebabkan banyak guru berhenti mengajar. Rata-rata jumlah siswa per kelas meningkat dari 37 pada 1927 menjadi 43 pada 1938 karena kekurangan guru.[357]
Kebijakan pendidikan yang sering kali bertentangan dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri Wilhelm Frick, Bernhard Rust dari Kementerian Sains, Pendidikan dan Kebudayaan Reich, dan lembaga-lembaga lain mengenai kurikulum pelajaran dan buku teks yang boleh digunakan di sekolah dasar dan menengah.[358] Buku-buku yang tidak disetujui oleh rezim ditarik dari perpustakaan sekolah.[359] Indoktrinasi pemikiran Sosialis Nasional wajib diajarkan pada Januari 1934.[359] Siswa yang terpilih sebagai calon anggota elite partai diindoktrinasi sejak usia 12 tahun di Sekolah Adolf Hitler untuk pendidikan dasar dan Institut Pendidikan Politik Nasional untuk pendidikan menengah. Indoktrinasi Sosialis Nasional yang terperinci terhadap calon pemangku jabatan elite militer dilaksanakan di Order Castles.[360]
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah berfokus pada biologi rasial, kebijakan kependudukan, budaya, geografi, dan kebugaran jasmani.[361] Kurikulum di sebagian besar mata pelajaran, termasuk biologi, geografi, dan bahkan aritmatika, diubah dengan fokus terhadap ras.[362] Pendidikan militer menjadi komponen utama pendidikan jasmani, dan mata pelajaran fisika berorientasi pada materi kemiliteran, seperti balistik dan aerodinamika.[363][364] Siswa diwajibkan menonton semua film yang disiapkan oleh Kementerian Penerangan Umum dan Propaganda Reich.[359]
Di universitas, penunjukan pejabat tinggi menjadi subjek perebutan kekuasaan antara kementerian pendidikan, dewan universitas, dan Liga Mahasiswa Sosialis Nasional Jerman.[365] Meskipun ada tekanan dari Liga dan kementerian pemerintah, kebanyakan dosen tidak melakukan perubahan pada perkuliahan atau silabus selama periode Nazi.[366] Hal ini umumnya berlaku di universitas-universitas yang berlokasi di wilayah mayoritas Katolik.[367] Pendaftaran di universitas-universitas Jerman menurun dari 104.000 mahasiswa pada tahun 1931 menjadi 41.000 pada 1939, tetapi pendaftaran di sekolah-sekolah kedokteran meningkat tajam karena para dokter Yahudi dipaksa berhenti, sehingga lulusan kedokteran memiliki prospek pekerjaan yang bagus.[368] Sejak 1934, mahasiswa diwajibkan menghadiri sesi pelatihan militer yang dijalankan oleh SA.[369] Mahasiswa tahun pertama juga harus menjalani masa enam bulan di kamp kerja pada Layanan Buruh Reich, dan ditambah sepuluh minggu bagi mahasiswa tahun kedua.[370]
Peran wanita dan keluarga
Wanita menjadi landasan kebijakan sosial Nazi. Nazi menentang gerakan feminisme, mengklaim bahwa itu adalah ciptaan para intelektual Yahudi, dan sebagai gantinya mendorong pembentukan masyarakat patriarkat, dengan wanita Jerman akan mengakui bahwa "dunianya adalah suami, keluarga, anak-anak, dan rumahnya."[268] Kelompok-kelompok feminis dibubarkan atau dipaksa bergabung dengan Liga Wanita Sosialis Nasional, yang mempromosikan kegiatan ibu rumah tangga di seluruh negara. Kursus-kursus pengasuhan anak, menjahit, dan memasak dilaksanakan. Feminis terkemuka, termasuk Anita Augspurg, Lida Gustava Heymann, dan Helene Stöcker, dipaksa tinggal di pengasingan.[371] Liga menerbitkan NS-Frauen-Warte, satu-satunya majalah wanita yang disetujui NSDAP di Jerman Nazi;[372] meskipun memuat beberapa konten propaganda, majalah tersebut hanyalah majalah wanita biasa.[373]
Wanita didorong meninggalkan dunia kerja, dan pembentukan keluarga besar oleh wanita Arya dipromosikan melalui kampanye propaganda. Wanita menerima medali perunggu—dikenal dengan Ehrenkreuz der Deutschen Mutter (Salib Kehormatan Ibu Jerman)—jika melahirkan empat anak, perak untuk enam anak, dan emas untuk delapan anak atau lebih.[371] Keluarga besar menerima subsidi pemerintah untuk membantu pengeluaran. Meskipun langkah-langkah tersebut menyebabkan meningkatnya angka kelahiran, jumlah keluarga yang memiliki empat anak atau lebih menurun lima persen antara tahun 1935 dan 1940.[374] Mengeluarkan wanita dari angkatan kerja tidak berdampak terhadap peningkatan angkatan kerja pria, karena kebanyakan wanita dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, penenun, atau di industri makanan dan minuman—pekerjaan yang tidak diminati oleh pria.[375] Filosofi Nazi mencegah wanita dipekerjakan di pabrik amunisi perang, sehingga buruh asing dipekerjakan di sana. Setelah perang dimulai, budak dipekerjakan secara luas.[376] Pada Januari 1943, Hitler menandatangani dekret yang mewajibkan semua wanita yang berusia di bawah lima puluh tahun bertugas membantu upaya perang.[377] Setelah itu, wanita dikerahkan bekerja pada sektor pertanian dan industri, dan pada September 1944, 14,9 juta wanita bekerja dalam produksi amunisi.[378]
Para pemimpin Nazi mendukung gagasan bahwa pekerjaan rasional dan teoretis tidak cocok bagi sifat wanita, yang menyebabkan wanita enggan meraih pendidikan tinggi.[379] Undang-undang yang disahkan pada April 1933 membatasi jumlah wanita yang diterima di universitas maksimal sepuluh persen dari mahasiswa pria.[380] Jumlah pendaftar wanita di sekolah menengah turun dari 437.000 pada tahun 1926 menjadi 205.000 pada tahun 1937. Jumlah wanita yang terdaftar di sekolah dasar turun dari 128.000 pada 1933 menjadi 51.000 pada 1938. Tetapi, karena pria mengikuti militer pada masa perang, jumlah wanita yang mendaftar sekolah menengah meningkat pada tahun 1944.[381]
Wanita diharapkan menjadi sosok kuat, sehat, dan vital.[382] Wanita petani tangguh yang bekerja di ladang dan melahirkan anak-anak yang kuat dianggap sebagai sosok ideal, dan wanita dipuji jika memiliki tubuh atletis dan kulit kecokelatan karena bekerja di luar rumah.[383] Berbagai organisasi dibentuk untuk menegakkan indoktrinasi nilai-nilai Nazi. Sejak 25 Maret 1939, keanggotaan Pemuda Hitler wajib bagi semua anak yang berusia di atas sepuluh tahun.[384] Jungmädelbund (Liga Anak Perempuan), cabang Pemuda Hitler, adalah organisasi bagi anak perempuan yang berusia antara 10 sampai 14 tahun dan Bund Deutscher Mädel (BDM; Liga Putri Jerman) untuk remaja putri berusia 14 sampai 18 tahun. Program BDM berfokus pada pendidikan jasmani, dengan kegiatan seperti lari, lompat jauh, salto, lompat tali, gerak jalan, dan berenang.[385]
Rezim Nazi mempromosikan kode perilaku liberal mengenai masalah seksual dan bersimpati terhadap wanita yang melahirkan anak di luar nikah.[386] Pergaulan bebas meningkat saat perang berlangsung, serdadu yang belum menikah sering kali menjalin hubungan dengan banyak wanita secara bersamaan. Istri tentara sering terlibat hubungan di luar nikah. Seks terkadang dimanfaatkan sebagai komoditas untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan asing.[387] Pamflet-pamflet disebarkan, menghimbau wanita Jerman agar menghindari hubungan seksual dengan pekerja asing karena berbahaya bagi kemurnian darah mereka.[388]
Dengan persetujuan Hitler, Himmler berniat mewujudkan masyarakat baru rezim Nazi yang mengakomodir kelahiran tidak sah, terutama anak-anak yang memiliki ayah anggota SS, yang diperiksa kemurnian rasnya.[389] Keinginannya adalah setiap keluarga SS memiliki empat sampai enam anak.[389] Asosiasi Lebensborn (Air Mancur Kehidupan), yang didirikan oleh Himmler pada tahun 1935, membangun sejumlah rumah bersalin untuk menampung para ibu tunggal selama masa kehamilan.[390] Kedua orang tua diperiksa kemurnian rasnya sebelum ditampung di sana.[390] Anak-anak yang dilahirkan sering kali diadopsi oleh keluarga SS.[390] Rumah bersalin tersebut juga terbuka bagi istri anggota SS dan NSDAP, yang dengan cepat mengisi lebih dari setengah kamar yang tersedia.[391]
Hukum berlaku yang melarang aborsi kecuali karena alasan medis ditegakkan dengan ketat oleh rezim Nazi. Jumlah aborsi menurun dari 35.000 per tahun pada awal 1930-an menjadi kurang dari 2.000 per tahun pada akhir dasawarsa, tetapi pada 1935, undang-undang baru disahkan, yang memperbolehkan aborsi karena alasan eugenika.[392]
Kesehatan
Jerman menerapkan kebijakan antitembakau yang ketat, dipelopori oleh riset Franz H. Müller pada 1939 mengenai hubungan sebab akibat antara merokok dan kanker paru-paru.[393] Kantor Kesehatan Reich mengambil langkah-langkah untuk membatasi kegiatan merokok, termasuk mengadakan seminar dan menyebar pamflet.[394] Merokok dilarang di tempat kerja, di kereta api, dan di kalangan anggota militer yang sedang bertugas.[395] Instansi pemerintah juga berupaya mengendalikan zat karsinogenik lainnya seperti asbes dan pestisida.[396] Sebagai bagian dari kampanye kesehatan masyarakat, persediaan air dibersihkan, timbal dan merkuri ditarik dari produk konsumen, dan wanita didesak untuk menjalani pemeriksaan rutin kanker payudara.[397]
Asuransi kesehatan didanai pemerintah tersedia bagi warga negara, tetapi Yahudi tidak lagi tercakup mulai tahun 1933. Pada tahun yang sama, dokter Yahudi dilarang merawat pasien yang diasuransikan pemerintah. Pada tahun 1937, dokter Yahudi dilarang merawat pasien non-Yahudi, dan pada 1938, hak mereka untuk berpraktik sebagai dokter dihapus sepenuhnya.[398]
Eksperimen medis, terutama pseudosains, dilakukan pada tahanan kamp konsentrasi sejak tahun 1941.[399] Dokter paling terkenal yang melakukan eksperimen medis adalah SS-Hauptsturmführer Dr. Josef Mengele, dokter kamp di Auschwitz.[400] Sebagian besar korbannya meninggal dunia atau sengaja dibunuh.[401] Tahanan di kamp konsentrasi bisa dibeli oleh perusahaan farmasi untuk pengujian obat-obatan dan eksperimen lainnya.[402]
Pelestarian lingkungan
Masyarakat Nazi menjunjung elemen yang mendukung hak asasi hewan dan banyak warga menggemari kebun binatang dan satwa liar.[403] Pemerintah mengambil beberapa langkah untuk memastikan perlindungan hewan dan lingkungan. Pada tahun 1933, Nazi memberlakukan undang-undang perlindungan hewan yang ketat terkait hewan apa yang boleh digunakan untuk riset medis.[404] Tetapi, undang-undang ini hanya ditegakkan secara longgar, dan meskipun ada larangan pembedahan makhluk hidup, Kementerian Dalam Negeri dengan mudah memberikan izin eksperimen terhadap hewan.[405]
Kantor Kehutanan Reich di bawah kepemimpinan Göring memberlakukan peraturan yang mewajibkan rimbawan menanam berbagai pohon untuk memastikan habitat yang cocok bagi satwa liar, dan Undang-Undang Perlindungan Hewan Reich yang baru disahkan pada tahun 1933.[406] Rezim mengesahkan Akta Perlindungan Alam Reich pada tahun 1935 untuk melindungi bentang alam dari pembangunan ekonomi yang berlebihan. Hal ini memungkinkan pengambilalihan tanah milik swasta untuk mendukung pelestarian alam dan membantu perencanaan jangka panjang.[407] Upaya kurang serius dilakukan untuk mengatasi polusi udara, tetapi hanya sedikit penegakan hukum yang diberlakukan setelah perang dimulai.[408]
Penindasan gereja
Ketika Nazi merebut kekuasaan pada tahun 1933, sekitar 67 persen penduduk Jerman adalah Protestan, 33 persen Katolik Roma, sedangkan Yahudi hanya kurang dari 1 persen.[409][410] Menurut sensus 1939, 54 persen warga Jerman menganut Protestan, 40 persen Katolik Roma, 3,5 persen Gottgläubig (percaya pada Tuhan; gerakan keagamaan Nazi), dan 1,5 persen tidak beragama.[411]
Di bawah proses Gleichschaltung, Hitler berupaya menciptakan Gereja Reich Protestan bersatu dari 28 gereja negara bagian Protestan yang ada di Jerman,[412] dengan tujuan akhir memberantas seluruh gereja-gereja di Jerman.[413] Pro-Nazi Ludwig Müller diangkat sebagai Uskup Reich dan kelompok penekan Kristen Jerman pro-Nazi memperoleh kendali atas gereja baru ini.[414] Kelompok ini menolak Perjanjian Lama karena asal-usulnya dari Yahudi dan menuntut agar Yahudi yang pindah agama dilarang memasuki gereja.[415] Pastor Martin Niemöller menanggapi dengan membentuk Gereja Konfesi, tempat sejumlah pemuka Kristen menentang rezim Nazi.[416] Ketika sinode Gereja Konfesi memprotes kebijakan Nazi mengenai agama pada tahun 1935, 700 pendeta ditangkap.[417] Müller mengundurkan diri dan Hitler menunjuk Hanns Kerrl sebagai Menteri Urusan Gereja, melanjutkan upaya mengendalikan Protestan.[418] Pada tahun 1936, seorang utusan Gereja Konfesi memprotes Hitler terkait persekusi agama dan pelanggaran hak asasi manusia.[417] Ratusan pendeta ditangkap.[418] Gereja terus melakukan perlawanan, dan pada awal 1937, Hitler membuang harapannya untuk menyatukan gereja-gereja Protestan.[417] Niemöller ditangkap pada 1 Juli 1937 dan dipenjara selama tujuh tahun di kamp konsentrasi Sachsenhausen dan Dachau.[419] Universitas-universitas teologi ditutup dan para pendeta dan teolog denominasi Protestan lainnya juga ditangkap.[417]
Persekusi terhadap Gereja Katolik di Jerman terjadi setelah Nazi berkuasa.[421] Hitler bergerak cepat menghapuskan Katolisisme politik, mengumpulkan fungsionaris Partai Pusat Katolik dan Partai Rakyat Bayern yang berhaluan Katolik, beserta semua partai politik non-Nazi lainnya yang aktif pada bulan Juli.[422] Perjanjian Reichskonkordat (Konkordat Reich) dengan Vatikan ditandatangani pada tahun 1933, di tengah maraknya pelecehan berkelanjutan terhadap gereja di Jerman.[318] Perjanjian tersebut mensyaratkan rezim untuk menghormati independensi lembaga-lembaga Katolik dan melarang pendeta terlibat dalam politik.[423] Hitler mengabaikan Konkordat, menutup semua lembaga Katolik yang fungsinya tidak sepenuhnya religius.[424] Klerus, biarawati, dan pemimpin awam menjadi sasaran, lebih dari seribu rohaniwan ditangkap pada tahun-tahun berikutnya, sering kali dengan tuduhan palsu penyelundupan uang atau amoralitas.[425] Beberapa pemimpin Katolik menjadi sasaran pembunuhan dalam tragedi Malam Pisau Panjang 1934.[426][427][428] Kebanyakan persatuan pemuda Katolik menolak membubarkan perkumpulan mereka, dan pemimpin Pemuda Hitler Baldur von Schirach menghimbau anggotanya untuk menyerang remaja Katolik di jalanan.[429] Kampanye-kampanye propaganda menuduh bahwa gereja itu korup, pembatasan diberlakukan pada pertemuan-pertemuan publik dan publikasi Katolik disensor. Sekolah-sekolah Katolik diwajibkan mengurangi jam pelajaran agama dan salib disingkirkan dari gedung-gedung pemerintah.[430]
Paus Pius XI menerbitkan ensiklik "Mit brennender Sorge" ("Dengan Keprihatinan Mendalam") yang diselundupkan ke Jerman untuk Minggu Palma 1937 dan dibacakan di setiap mimbar, yang mengutuk permusuhan sistematis rezim terhadap gereja.[425][431] Sebagai tanggapan, Goebbels menindak keras dan meningkatkan propaganda rezim terhadap umat Katolik. Pendaftaran di sekolah-sekolah denominasi menurun tajam, dan pada tahun 1939, seluruh sekolah Katolik dibubarkan atau diubah menjadi fasilitas umum.[432] Protes Katolik berikutnya antara lain surat pastoral "Perjuangan menentang Kekristenan dan Gereja" yang ditulis oleh para uskup Jerman tanggal 22 Maret 1942.[433] Sekitar 30 persen imam Katolik didisiplinkan oleh polisi selama era Nazi.[434][435] Jaringan keamanan memata-matai kegiatan para uskup dan pendeta, yang sering kali dilecehkan, ditangkap atau dikirim ke kamp konsentrasi—terutama ke barak khusus pendeta di Dachau.[436] Di wilayah Polandia yang diduduki pada tahun 1939, Nazi melancarkan persekusi brutal dan pembubaran Gereja Katolik secara sistematis.[437][438]
Alfred Rosenberg, kepala Kantor Luar Negeri NSDAP dan pemimpin budaya dan pendidikan yang ditunjuk Hitler untuk Jerman Nazi, menganggap Katolik sebagai salah satu musuh besar Nazi. Ia merencanakan "pemusnahan kepercayaan Kristen asing yang diimpor ke Jerman", dan agar Alkitab dan salib Kristen di semua gereja, katedral, dan kapel diganti dengan salinan Mein Kampf dan swastika. Sekte Kristen lainnya juga dijadikan target; Ketua NSDAP-Kanzlei Martin Bormann secara terbuka menyatakan pada tahun 1941, "Sosialis Nasional dan Kekristenan tidak bisa disatukan."[413] Shirer menulis bahwa penentangan terhadap Kristen di dalam tubuh NSDAP begitu mengakar sehingga "Rezim Nazi pada akhirnya bertujuan memberantas Kristen di Jerman, jika bisa, dan mengganti paganisme lama dewa-dewa Jermanik dengan paganisme baru para ekstremis Nazi."[413]
Perlawanan terhadap rezim
Meskipun tidak ada gerakan perlawanan terpadu yang menentang rezim Nazi, tindakan pembangkangan seperti sabotase dan pemogokan kerja kerap terjadi, serta upaya menggulingkan rezim atau membunuh Hitler.[439] Partai-partai Komunis dan Demokrat Sosial yang dilarang aktivitasnya membentuk jaringan perlawanan pada pertengahan 1930-an. Jaringan-jaringan ini tidak berhasil menciptakan kerusuhan dan memulai pemogokan kerja yang tidak berlangsung lama.[440] Carl Friedrich Goerdeler, awalnya mendukung Hitler, berubah pikiran pada tahun 1936 dan kemudian menjadi partisipan dalam plot 20 Juli.[441][442] Jaringan mata-mata Orkestra Merah memberikan informasi kepada Sekutu mengenai kejahatan perang Nazi, membantu merencanakan pelarian dari Jerman, dan membagikan selebaran. Kelompok ini diciduk Gestapo dan lebih dari 50 anggotanya diadili dan dieksekusi pada tahun 1942.[443] Kelompok perlawanan Komunis dan Demokrat Sosial memulai kembali kegiatan perlawanan pada akhir 1942, tetapi tidak mampu melakukan banyak hal kecuali membagikan selebaran. Kedua kelompok tersebut menganggap partai mereka sebagai saingan potensial di Jerman pascaperang, dan kegiatan perlawanan mereka pada umumnya tidak terkoordinasi.[444] Kelompok perlawanan Mawar Putih beroperasi pada tahun 1942-1943, dan kebanyakan anggotanya ditangkap atau dihukum mati, dengan penangkapan terakhir terjadi pada tahun 1944.[445] Kelompok perlawanan sipil lainnya, Lingkaran Kreisau, menjalin koneksi dengan orang dalam militer, dan banyak anggotanya ditangkap setelah plot 20 Juli yang gagal.[446]
Meskipun upaya perlawanan sipil berdampak terhadap opini publik, tentara adalah satu-satunya organisasi yang mampu menggulingkan pemerintah.[447][448] Komplotan perlawanan besar dibentuk pada tahun 1938, yang beranggotakan para eselon militer. Kelompok ini meyakini bahwa Britania Raya akan menyatakan perang terhadap Jerman setelah Hitler berencana menginvasi Cekoslowakia, dan Jerman akan kalah. Kelompok ini berkomplot menggulingkan dan membunuh Hitler. Anggotanya termasuk Generaloberst Ludwig Beck, Generaloberst Walther von Brauchitsch, Generaloberst Franz Halder, Laksamana Wilhelm Canaris, dan Generalleutnant Erwin von Witzleben, yang bergabung dalam konspirasi pimpinan Oberstleutnant Hans Oster dan Mayor Helmuth Groscurth dari Abwehr. Rencana kudeta dibatalkan setelah penandatanganan Perjanjian München pada bulan September 1938.[449] Sejumlah tokoh juga terlibat dalam kudeta yang direncanakan pada tahun 1940, tetapi lagi-lagi para anggotanya berubah pikiran dan mundur, sebagian karena naiknya popularitas rezim setelah kemenangan awal dalam perang.[450][451] Upaya pembunuhan Hitler direncanakan dengan serius pada tahun 1943, ketika Henning von Tresckow bergabung dengan kelompok Oster dan berupaya meledakkan pesawat Hitler pada 1943. Beberapa upaya lebih lanjut dilakukan sebelum kegagalan plot 20 Juli 1944, yang dimotivasi oleh besarnya peluang kekalahan Jerman dalam perang.[452][453] Plot ini merupakan bagian dari Operasi Valkyrie, melibatkan Claus von Stauffenberg, yang memasang bom di ruang konferensi Wolf's Lair di Rastenburg. Hitler, yang selamat dari peristiwa ini, kemudian memerintahkan pembalasan biadab yang mengakibatkan pengeksekusian lebih dari 4.900 orang.[454]
Budaya
Jika pengalaman Reich Ketiga mengajarkan kita sesuatu, itu adalah mencintai mahakarya musik, seni, dan literatur tidak memberi rakyat kekebalan moral atau politik apa pun dalam melawan kekerasan, kekejaman, atau tunduk pada kediktatoran.
Rezim mempromosikan konsep Volksgemeinschaft, komunitas etnik nasional Jerman. Tujuannya adalah membangun masyarakat tanpa kelas yang didasarkan pada kemurnian ras dan kebutuhan untuk mempersiapkan peperangan, penaklukan, dan perjuangan melawan Marxisme.[455][456] Front Buruh Jerman mendirikan organisasi Kraft durch Freude (KdF; Kuat melalui Sukacita) pada tahun 1933. Selain mengambil kendali atas puluhan ribu klub rekreasi yang dikelola secara pribadi, organisasi ini membatasi liburan dan hiburan dengan sangat ketat seperti pesiar, tujuan wisata, dan konser.[457][458]
Reichskulturkammer (Dewan Budaya Reich) dikelola oleh Kementerian Propaganda pada bulan September 1933. Subdewan dibentuk untuk mengendalikan aspek kehidupan budaya seperti film, radio, surat kabar, seni rupa, musik, teater, dan sastra. Anggota profesi ini diwajibkan bergabung dengan serikat pekerja masing-masing. Yahudi dan kelompok yang dianggap tidak dapat diandalkan secara politik dicegah untuk bergiat di bidang seni, dan banyak yang beremigrasi. Buku dan skrip harus disetujui oleh Kementerian Propaganda sebelum dipublikasikan. Standardisasi semakin memburuk ketika rezim berusaha memanfaatkan sektor budaya secara eksklusif sebagai media propaganda.[459]
Radio menjadi populer di Jerman pada tahun 1930-an; lebih dari 70 persen rumah tangga memiliki pesawat radio pada 1939, lebih banyak dari negara mana pun. Pada bulan Juli 1933, staf stasiun radio dibersihkan dari kaum kiri dan kelompok lainnya yang tidak dikehendaki.[460] Propaganda dan pidato menjadi konten siaran radio yang dominan setelah Hitler berkuasa, tetapi seiring berjalannya waktu, Goebbels bersikeras menyiarkan lebih banyak musik agar pendengar tidak beralih ke siaran radio asing untuk mencari hiburan.[461]
Penyensoran
Surat kabar, seperti media lainnya, dikendalikan oleh negara; Dewan Media Reich memberedel atau membeli surat kabar dan penerbit. Pada tahun 1939, lebih dari dua pertiga surat kabar dan majalah dimiliki langsung oleh Kementerian Propaganda.[463] Surat kabar harian NSDAP, Völkischer Beobachter ("Pengamat Etnik"), disunting oleh Rosenberg, yang juga menulis The Myth of the Twentieth Century, sebuah buku teori rasial yang mengagungkan superioritas ras Nordik.[464] Goebbels mengendalikan layanan telegraf dan memerintahkan bahwa semua surat kabar di Jerman hanya boleh menerbitkan konten yang menguntungkan rezim. Di bawah arahan Goebbels, Kementerian Propaganda mengeluarkan dua lusin instruksi setiap minggu mengenai berita apa yang boleh dipublikasikan dan sudut pandang apa yang harus digunakan; surat kabar umumnya mengikuti instruksi ini dengan cermat, terutama mengenai berita apa yang tidak boleh dimuat.[465] Jumlah pembaca surat kabar merosot, sebagian disebabkan oleh menurunnya kualitas konten dan sebagian karena meningkatnya popularitas radio.[466] Propaganda jadi kurang efektif menjelang akhir perang, karena masyarakat bisa memperoleh informasi di luar saluran resmi pemerintah.[467]
Penulis buku berbondong-bondong meninggalkan Jerman dan beberapa penulis menulis materi yang mengkritik rezim ketika berada di pengasingan. Goebbels menyarankan agar penulis yang tersisa berkonsentrasi menulis buku-buku bertema mitos Jerman dan konsep darah dan tanah. Pada akhir 1933, lebih dari seribu buku—sebagian besar dikarang oleh penulis atau tokoh-tokoh Yahudi—dilarang oleh rezim Nazi.[468] Pembakaran buku Nazi terjadi; sembilan belas pembakaran dilakukan secara serentak pada malam 10 Mei 1933.[462] Puluhan ribu buku karangan puluhan tokoh, termasuk Albert Einstein, Sigmund Freud, Helen Keller, Alfred Kerr, Marcel Proust, Erich Maria Remarque, Upton Sinclair, Jakob Wassermann, H. G. Wells, dan Émile Zola dibakar di depan umum. Karya-karya pasifisme dan literatur yang memuat nilai-nilai liberal dan demokratis menjadi sasaran pembakaran, beserta tulisan-tulisan yang mendukung Republik Weimar atau yang ditulis oleh penulis Yahudi.[469]
Arsitektur dan seni
Hitler menaruh minat pribadi terhadap arsitektur dan bekerja sama dengan arsitek negara Paul Troost dan Albert Speer untuk membangun gedung publik dengan gaya neoklasik berdasarkan arsitektur Romawi.[470][471] Speer membangun struktur yang mengesankan seperti lapangan rapat partai Nazi di Nuremberg dan gedung Reichskanzlei baru di Berlin.[472] Rencana Hitler untuk membangun kembali Berlin meliputi pembangunan kubah raksasa yang didasari oleh Pantheon di Roma dan lengkung kemenangan berukuran dua kali lebih tinggi dari Arc de Triomphe di Paris. Tidak satu pun dari struktur ini yang dibangun.[473]
Keyakinan Hitler bahwa seni abstrak, Dadaisme, ekspresionis, dan modern merupakan suatu kemunduran dijadikan dasar kebijakan seni Nazi.[474] Banyak direktur museum seni yang dipecat pada tahun 1933 dan digantikan oleh simpatisan partai.[475] Sekitar 6.500 karya seni modern dikeluarkan dari museum dan diganti dengan karya-karya yang dipilih oleh Nazi.[476] Pameran karya seni afkir, dengan tema "Kemerosotan Seni", diselenggarakan di enam belas kota berbeda pada tahun 1935. Pameran Seni Degenerasi, yang diprakarsai oleh Goebbels, diselenggarakan di München dari bulan Juli sampai November 1937. Pameran ini sangat populer, menarik lebih dari dua juta pengunjung.[477]
Komposer Richard Strauss ditunjuk sebagai presiden Reichsmusikkammer (Dewan Musik Reich) setelah pendiriannya pada November 1933.[478] Senasib dengan seni lainnya, Nazi mengucilkan musikus yang dianggap tidak bisa diterima secara rasial, dan melarang pertunjukan musik yang terlalu modern atau atonal.[479] Jaz dianggap sangat tidak pantas dan musisi jaz asing meninggalkan negara atau diusir.[480] Hitler menyukai musik Richard Wagner, terutama karya-karya yang didasari oleh mitos Jerman dan kisah-kisah heroik, dan menonton Festival Bayreuth setiap tahun dari 1933 sampai 1942.[481]
Film
Film sangat populer di Jerman pada 1930-an dan 1940-an, ditonton oleh lebih dari satu miliar orang pada 1942, 1943, dan 1944.[482][483] Pada 1934, peraturan Jerman yang membatasi mata uang asing membuat film-film Amerika tidak menghasilkan keuntungan di Jerman, sehingga studio-studio film besar menutup cabangnya di negara tersebut. Ekspor film-film Jerman merosot, karena konten antisemitnya membuat film-film tersebut tidak boleh ditayangkan di negara lain. Dua perusahaan film terbesar, Universum Film AG dan Tobis, dibeli oleh Kementerian Propaganda, dan pada 1939 memproduksi sebagian besar film Jerman. Produksi film tidak selalu bersifat propaganda, tetapi pada umumnya memiliki subteks politik dan mengikuti arahan partai terkait tema dan konten. Naskah film terlebih dahulu menjalani proses prasensor.[484]
Triumph of the Will (1935)—mendokumentasikan Reli Nuremberg 1934—dan Olympia (1938)—meliput Olimpiade Musim Panas 1936—karya Leni Riefenstahl memelopori teknik penyuntingan dan pergerakan kamera yang memengaruhi film-film berikutnya. Teknik-teknik baru digunakan, misalnya lensa telefoto dan kamera yang dipasang pada trek. Kedua film tersebut kontroversial, karena nilai estetikanya tidak dapat dipisahkan dari propaganda cita-cita Sosialis Nasional.[485][486]
Warisan
Sekutu memproses pengadilan kejahatan perang Nazi, dimulai dengan peradilan Nuremberg, yang digelar dari November 1945 sampai Oktober 1946, terhadap 23 pejabat tinggi Nazi. Mereka didakwa dengan empat tuduhan—konspirasi melakukan kejahatan, kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan kemanusiaan—yang melanggar hukum internasional mengenai peperangan.[487] Semua terdakwa, kecuali tiga, dinyatakan bersalah dan dua belas di antaranya dijatuhi hukuman mati.[488] Dua belas peradilan Nuremberg lanjutan terhadap 184 terdakwa digelar antara tahun 1946 sampai 1949.[487] Dari tahun 1946 sampai 1949, Sekutu menyelidiki 3.887 kasus, 489 di antaranya diadili. Hasilnya adalah 1.426 orang dijadikan terdakwa; 297 di antaranya dijatuhi hukuman mati dan 279 lainnya di penjara seumur hidup, sisanya menerima hukuman yang lebih ringan. Sekitar 65 persen hukuman mati dilaksanakan.[489] Polandia lebih aktif daripada negara-negara lain dalam menyelidiki kejahatan perang, misalnya menuntut agar 673 dari total 789 staf Auschwitz diadili.[490]
Program politik yang didukung oleh Hitler dan NSDAP menggiring Jerman pada perang dunia, menyisakan Eropa yang luluh lantak dan melarat. Jerman sendiri mengalami kehancuran menyeluruh, yang ditandai dengan Stunde Null (Jam Nol).[491] Banyaknya jumlah warga sipil yang tewas dalam Perang Dunia II belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah perang.[492] Akibatnya, ideologi Nazi dan tindakan rezim secara universal dianggap sangat tidak bermoral.[493] Sejarawan, filsuf, dan politikus sering menggunakan kata "biadab" untuk menggambarkan Hitler dan rezim Nazi.[494] Minat terhadap Jerman Nazi berlanjut di media dan dunia akademik. Menurut Evans, era Nazi "mengerahkan daya tarik yang hampir universal karena rasisme kejamnya berdiri sebagai peringatan bagi seluruh umat manusia",[495] kalangan neo-Nazi baru menikmati nilai kejutan melalui penggunakan simbol atau slogan yang dipakai Nazi. Pengunjukan atau penggunaan simbol Nazi seperti bendera, swastika, atau hormat Nazi adalah ilegal di Jerman dan Austria.[496][497]
Proses denazifikasi, yang diprakarsai oleh Sekutu sebagai cara untuk melenyapkan anggota Partai Nazi, tidak sepenuhnya berhasil, karena besarnya kebutuhan terhadap para ahli di bidang-bidang seperti kedokteran dan teknik. Sementara itu, pengungkapan pandangan Nazi masih terjadi, dan mereka yang mengungkapkan pandangan tersebut sering kali diberhentikan dari pekerjaan.[498] Sejak periode pascaperang sampai tahun 1950-an, masyarakat Jerman menghindari pembicaraan mengenai rezim Nazi atau pengalaman masa perang. Di saat warga negara lain yang menderita kerugian selama perang telah banyak bercerita, warga Jerman tetap diam terkait pengalaman mereka dan menanggung rasa bersalah komunal, meskipun tidak terlibat langsung dalam kejahatan perang.[499]
Persidangan Adolf Eichmann pada tahun 1961 dan ditayangkannya miniseri televisi Holocaust pada 1979 membawa proses Vergangenheitsbewältigung (mengatasi masa lalu) pada banyak warga Jerman.[500][499] Setelah pelajaran tentang Jerman Nazi diperkenalkan ke dalam kurikulum sekolah sejak tahun 1970-an, masyarakat mulai mencari tahu pengalaman anggota keluarga mereka. Mempelajari era Nazi dan keinginan untuk menguji kesalahannya menyebabkan perkembangan demokrasi yang kuat di Jerman, tetapi pemikiran antisemitisme dan neo-Nazi tidak sepenuhnya hilang.[499]
Pada tahun 2017, survei yang dilakukan Yayasan Körber menemukan bahwa 40 persen anak yang berusia 14 tahun di Jerman tidak tahu apa itu Auschwitz.[501] Wartawan Alan Posener mengaitkan "amnesia sejarah yang tumbuh di negara tersebut" sebagian disebabkan oleh kegagalan industri film dan televisi Jerman dalam menggambarkan sejarah negara tersebut secara akurat.[502]
Lihat juga
Referensi
Catatan penjelas
- ^ Pada 12 Juli 1933, Reichsinnenminister Wilhelm Frick, Menteri Dalam Negeri, memerintahkan bahwa Horst-Wessel-Lied dimainkan setelah lagu kebangsaan Das Lied der Deutschen, juga dikenal dengan Deutschland Über Alles.Tümmler 2010, hlm. 63.
- ^ a b Termasuk wilayah yang dianeksasi dan ditaklukkan de facto.
- ^ Pada 1939, sebelum Jerman menguasai dua wilayah terakhir yang telah berada dalam kendalinya sebelum Perjanjian Versailles—Alsace-Lorraine, Danzig dan Koridor Polandia—wilayahnya seluas 633.786 kilometer persegi (244.706 sq mi). Lihat Statistisches Jahrbuch 2006.
- ^ "Die Bevölkerung des Deutschen Reichs nach den Ergebnissen der Volkszählung 1939 (Populasi Jerman menurut sensus 1939.), Berlin 1941" (2).
- ^ Menurut Raeder, "Angkatan Udara kita tidak bisa diandalkan untuk menjaga transportasi kita dari Armada Britania, karena operasi mereka akan bergantung pada cuaca, jika tak ada alasan lain. Tidak dapat diharapkan bahwa untuk periode singkat, Angkatan Udara kita bisa menebus kurangnya supremasi angkatan laut kita."Raeder 2001, hlm. 324–325 Laksamana Agung Karl Dönitz percaya bahwa superioritas udara tidak cukup, dan mengakui, "Kami tidak memiliki kendali atas udara atau laut; kami juga tidak dalam posisi apa pun untuk mendapatkannya."Dönitz 2012, hlm. 114.
- ^ Pada 29 November 2006, Sekretaris Negara di Kementerian Federal Dalam Negeri Christoph Bergner mengatakan sebab data statistik ini tidak cocok karena Haar hanya menyertakan orang-orang yang langsung dibunuh. Angka 2 sampai 2,5 juta juga termasuk warga Jerman yang meninggal karena penyakit, kelaparan, kedinginan, serangan udara dan penyebab lainnya.Koldehoff 2006 Palang Merah Jerman masih menyatakan bahwa jumlah korban jiwa akibat pengusiran adalah 2,2 juta.Kammerer & Kammerer 2005, hlm. 12.
- ^ Lebih banyak distrik, seperti Reichskommissariat Moskowien (Moskwa), Reichskommissariat Kaukasus (Kaukasus) dan Reichskommissariat Turkestan (Turkistan) diusulkan agar berada di bawah kekuasaan Jerman.
- ^ "Namun demikian, bukti yang ada menunjukkan bahwa secara keseluruhan, masyarakat sipil Jerman tidak menyetujui. Kampanye propaganda Goebbel yang dilakukan pada paruh kedua 1941 dan 1943 gagal memengaruhi mereka". Evans 2008, hlm. 561.
Kutipan
- ^ Soldaten-Atlas 1941, hlm. 8.
- ^ Lauryssens 1999, hlm. 102.
- ^ Childers 2017, hlm. 22–23, 35, 48, 124–130, 152, 168–169, 203–204, 225–226.
- ^ Evans 2003, hlm. 103–108.
- ^ Evans 2003, hlm. 186–187.
- ^ Evans 2003, hlm. 170–171.
- ^ Goldhagen 1996, hlm. 85.
- ^ Evans 2003, hlm. 179–180.
- ^ a b Kershaw 2008, hlm. 81.
- ^ Evans 2003, hlm. 180–181.
- ^ Evans 2003, hlm. 181, 189.
- ^ Childers 2017, hlm. 103.
- ^ Shirer 1960, hlm. 136–137.
- ^ Goldhagen 1996, hlm. 87.
- ^ Evans 2003, hlm. 293, 302.
- ^ Shirer 1960, hlm. 183–184.
- ^ Evans 2003, hlm. 329–334.
- ^ Evans 2003, hlm. 354.
- ^ Evans 2003, hlm. 351.
- ^ Shirer 1960, hlm. 196.
- ^ Evans 2003, hlm. 336.
- ^ Evans 2003, hlm. 358–359.
- ^ Shirer 1960, hlm. 201.
- ^ Shirer 1960, hlm. 199.
- ^ Evans 2005, hlm. 109, 637.
- ^ McNab 2009, hlm. 14.
- ^ Bracher 1970, hlm. 281–87.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 200.
- ^ Evans 2005, hlm. 109.
- ^ Koonz 2003, hlm. 73.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 202.
- ^ Shirer 1960, hlm. 268.
- ^ Evans 2005, hlm. 14.
- ^ Cuomo 1995, hlm. 231.
- ^ a b McNab 2009, hlm. 54.
- ^ McNab 2009, hlm. 56.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 309–314.
- ^ Evans 2005, hlm. 31–34.
- ^ a b Kershaw 2008, hlm. 306–313.
- ^ Overy 2005, hlm. 63.
- ^ Evans 2005, hlm. 44.
- ^ Shirer 1960, hlm. 226–227.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 317.
- ^ Shirer 1960, hlm. 230.
- ^ Kershaw 2001, hlm. 50–59.
- ^ Hildebrand 1984, hlm. 20–21.
- ^ Childers 2017, hlm. 248.
- ^ Evans 2003, hlm. 344.
- ^ Evans 2008, map, p. 366.
- ^ Walk 1996, hlm. 1–128.
- ^ Friedländer 2009, hlm. 44–53.
- ^ Childers 2017, hlm. 351–356.
- ^ Shirer 1960, hlm. 209.
- ^ Shirer 1960, hlm. 209–210.
- ^ Evans 2005, hlm. 618.
- ^ Shirer 1960, hlm. 210–212.
- ^ Evans 2005, hlm. 338–339.
- ^ Evans 2005, hlm. 623.
- ^ Kitchen 2006, hlm. 271.
- ^ Evans 2005, hlm. 629.
- ^ Evans 2005, hlm. 633.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 632–637.
- ^ Evans 2005, hlm. 641.
- ^ Shirer 1960, hlm. 297.
- ^ Steiner 2011, hlm. 181–251.
- ^ Evans 2005, hlm. 646–652.
- ^ Evans 2005, hlm. 667.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 417.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 419.
- ^ Evans 2005, hlm. 668–669.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 671–674.
- ^ Evans 2005, hlm. 679–680.
- ^ Evans 2005, hlm. 682–683.
- ^ Kirschbaum 1995, hlm. 190.
- ^ Evans 2005, hlm. 687.
- ^ Mazower 2008, hlm. 264–265.
- ^ Weinberg 2010, hlm. 60.
- ^ Evans 2005, hlm. 689–690.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 486.
- ^ Evans 2005, hlm. 691.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 496.
- ^ Snyder 2010, hlm. 116.
- ^ Mazower 2008, chapter 9.
- ^ Evans 2008, hlm. 151.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 584.
- ^ Shirer 1960, hlm. 803.
- ^ Weinberg 2005, hlm. 414.
- ^ Martin 2005, hlm. 279–80.
- ^ Evans 2005, hlm. 699–701.
- ^ Beevor 2012, hlm. 22, 27–28.
- ^ Beevor 2012, hlm. 32.
- ^ Longerich 2010, hlm. 148–149.
- ^ Longerich 2010, hlm. 144.
- ^ Evans 2008, hlm. 15.
- ^ Beevor 2012, hlm. 40.
- ^ Mazower 2008, hlm. 260.
- ^ Tooze 2006, hlm. 332.
- ^ Beevor 2012, hlm. 73–76.
- ^ Evans 2005, hlm. 120.
- ^ Shirer 1960, hlm. 709.
- ^ Beevor 2012, hlm. 70–71, 79.
- ^ Shirer 1960, hlm. 715–719.
- ^ Shirer 1960, hlm. 731–738.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 696–730.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 562.
- ^ Mazower 2008, hlm. 265.
- ^ Evans 2008, hlm. 333–334.
- ^ Mazower 2008, hlm. 271.
- ^ Mazower 2008, hlm. 272, 279.
- ^ a b Mazower 2008, hlm. 262.
- ^ Shirer 1960, hlm. 753, 774–782.
- ^ Kershaw 2000b, hlm. 301–303, 309–310.
- ^ Harding 2006.
- ^ Evans 2008, hlm. 149.
- ^ Evans 2008, hlm. 153.
- ^ Shirer 1960, hlm. 815–816.
- ^ a b Tomasevich 1975, hlm. 52–53.
- ^ a b Richter 1998, hlm. 616.
- ^ Clark 2012, hlm. 73.
- ^ Evans 2008, hlm. 160–161.
- ^ Evans 2008, hlm. 189–190.
- ^ Stolfi 1982, hlm. 32–34, 36–38.
- ^ Stolfi 1982, hlm. 45–46.
- ^ Shirer 1960, hlm. 900–901.
- ^ Evans 2008, hlm. 43.
- ^ Mazower 2008, hlm. 284–287.
- ^ Mazower 2008, hlm. 290.
- ^ Glantz 1995, hlm. 108–110.
- ^ Melvin 2010, hlm. 282, 285.
- ^ Evans 2008, hlm. 413, 416–417.
- ^ Evans 2008, hlm. 419–420.
- ^ Kershaw 2011, hlm. 208.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1007.
- ^ Evans 2008, hlm. 467.
- ^ a b Evans 2008, hlm. 471.
- ^ Evans 2008, hlm. 461.
- ^ Beevor 2012, hlm. 576–578.
- ^ Beevor 2012, hlm. 604–605.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1072.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1090–1097.
- ^ a b Kershaw 2008, hlm. 910–912.
- ^ Kershaw 2011, hlm. 224–225.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1108.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 954–955.
- ^ Beevor 2002, hlm. 386.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1126.
- ^ Beevor 2002, hlm. 381.
- ^ Beevor 2002, hlm. 400–403.
- ^ Evans 2008, hlm. 714.
- ^ Kershaw 2011, hlm. 355–357.
- ^ Lakotta 2005, hlm. 218–221.
- ^ Goeschel 2009, hlm. 165.
- ^ Hubert 1998, hlm. 272.
- ^ a b Overmans 2000, hlm. Bd. 46.
- ^ Overy 2014, hlm. 306–307.
- ^ Germany Reports 1961, hlm. 62.
- ^ Bundesarchiv, "Euthanasie" im Nationalsozialismus.
- ^ Hoffmann 1996, hlm. xiii.
- ^ Beevor 2002, hlm. 31–32, 409–412.
- ^ Time, 9 July 1979.
- ^ Pilisuk & Rountree 2008, hlm. 136.
- ^ Douglas 2012, hlm. 1.
- ^ Die deutschen Vertreibungsverluste, 1939/50, hlm. 38, 46.
- ^ Overmans 1994, hlm. 51–63.
- ^ Haar 2009, hlm. 363–381.
- ^ Hahn & Hahnova 2010, hlm. 659–726.
- ^ Evans 2003, hlm. 62.
- ^ Evans 2005, hlm. 623, 646–652.
- ^ Shirer 1960, hlm. 461–462.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1005.
- ^ a b Evans 2008, hlm. 373.
- ^ Longerich 2010, hlm. 147.
- ^ Umbreit 2003, hlm. 26.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1006.
- ^ Shirer 1960, hlm. 824, 841.
- ^ Berlin Declaration 1945.
- ^ Hitchcock 2004, hlm. 19–25.
- ^ Clark 2006, hlm. xii.
- ^ Hitchcock 2004, hlm. 145.
- ^ Smith & Davis 2005, hlm. 289–290.
- ^ Boczek 2005, hlm. 134.
- ^ Evans 2005, hlm. 6–9.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 204.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 146–147.
- ^ Evans 2008, hlm. 7.
- ^ a b Bendersky 2007, hlm. 161.
- ^ a b c Gellately 1996, hlm. 270–274.
- ^ Bytwerk 1998.
- ^ a b Longerich 2010, hlm. 49.
- ^ a b c Evans 2008, hlm. 759.
- ^ Evans 2005, hlm. 7, 443.
- ^ Evans 2005, hlm. 210–211.
- ^ Evans 2005, hlm. 121–122.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 170, 172, 181.
- ^ Evans 2005, hlm. 400.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 105–106.
- ^ Gill 2006, hlm. 259.
- ^ Kershaw 2001, hlm. 253.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 320–321.
- ^ McElligott, Kirk & Kershaw 2003, hlm. 6.
- ^ Speer 1971, hlm. 281.
- ^ Manvell & Fraenkel 2007, hlm. 29.
- ^ Evans 2005, hlm. 48–49.
- ^ Freeman 1995, hlm. 6.
- ^ Evans 2005, hlm. 14–15, 49.
- ^ Evans 2005, hlm. 49.
- ^ Evans 2005, hlm. 43–44.
- ^ Evans 2005, hlm. 45.
- ^ Evans 2005, hlm. 46.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 75.
- ^ Evans 2005, hlm. 76.
- ^ Evans 2005, hlm. 79–80.
- ^ Evans 2005, hlm. 68, 70.
- ^ Evans 2008, hlm. 514.
- ^ Evans 2005, hlm. 72.
- ^ Weale 2012, hlm. 154.
- ^ Evans 2005, hlm. 73.
- ^ Evans 2005, hlm. 539, 551.
- ^ Gellately 2001, hlm. 216.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 346.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 544.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 347.
- ^ Evans 2005, hlm. 43–45.
- ^ Longerich 2010, hlm. 146.
- ^ Longerich 2010, hlm. 242–247.
- ^ Kershaw 2000b, hlm. 467.
- ^ Longerich 2010, hlm. 198.
- ^ Longerich 2010, hlm. 207.
- ^ Constable 1988, hlm. 139, 154.
- ^ Evans 2008, hlm. 760–761.
- ^ Weale 2012, hlm. 15–16.
- ^ Weale 2012, hlm. 70, 166.
- ^ Weale 2012, hlm. 88.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 306.
- ^ Tooze 2006, hlm. 67.
- ^ Weale 2012, hlm. 1, 26–29.
- ^ Longerich 2012, hlm. 113, 255.
- ^ Longerich 2012, hlm. 122–123.
- ^ Stein 2002, hlm. 18, 23, 287.
- ^ Weale 2012, hlm. 195.
- ^ Wegner 1990, hlm. 307, 313, 325, 327–331.
- ^ Stein 2002, hlm. 75–76, 276–280.
- ^ Longerich 2012, hlm. 215.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 518–519.
- ^ Bartrop & Jacobs 2014, hlm. 1424.
- ^ Rhodes 2002, hlm. 257.
- ^ Weale 2012, hlm. 116.
- ^ a b Evans 2008, hlm. 318.
- ^ Wiederschein 2015.
- ^ Longerich 2012, hlm. 125.
- ^ Longerich 2012, hlm. 212–213.
- ^ Weale 2012, hlm. 411.
- ^ Sereny 1996, hlm. 323, 329.
- ^ Evans 2008, hlm. 343.
- ^ a b c d DeLong 1997.
- ^ Evans 2005, hlm. 345.
- ^ Tooze 2006, hlm. 97.
- ^ Tooze 2006, hlm. 125–127.
- ^ Tooze 2006, hlm. 131.
- ^ Tooze 2006, hlm. 106, 117–118.
- ^ Tooze 2006, hlm. 308–309.
- ^ Evans 2005, hlm. 322–326, 329.
- ^ Evans 2005, hlm. 320.
- ^ Evans 2005, hlm. 330–331.
- ^ Evans 2005, hlm. 166.
- ^ Evans 2005, hlm. 327–328, 338.
- ^ Evans 2005, hlm. 328, 333.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 331.
- ^ a b Kershaw 2008, hlm. 289.
- ^ McNab 2009, hlm. 54, 71.
- ^ Tooze 2006, hlm. 61–62.
- ^ Evans 2005, hlm. 357–360.
- ^ Evans 2005, hlm. 360.
- ^ Tooze 2006, hlm. 294.
- ^ Evans 2005, hlm. 141–142.
- ^ McNab 2009, hlm. 59.
- ^ Overy 2006, hlm. 252.
- ^ Speer 1971, hlm. 263–264.
- ^ Tooze 2006, hlm. 354–356.
- ^ Evans 2008, hlm. 333.
- ^ Fest 1999, hlm. 142–44, 146–50.
- ^ Speer 1971, hlm. 337.
- ^ Beyer & Schneider.
- ^ Panayi 2005, hlm. 490, 495.
- ^ Hamblet 2008, hlm. 267–268.
- ^ Nazi forced labour 1942.
- ^ Special treatment 1942.
- ^ USHMM, Women in the Third Reich.
- ^ Evans 2008, hlm. 361.
- ^ Evans 2008, hlm. 358–359.
- ^ Davis 1995.
- ^ Speer 1971, hlm. 524–527.
- ^ Overy 2006, hlm. 128–130.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 943.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 945.
- ^ Spotts 2002, hlm. 377–378.
- ^ Manvell 2011, hlm. 283–285.
- ^ Shirer 1960, hlm. 946.
- ^ Evans 2008, hlm. 334.
- ^ Shirer 1960, hlm. 944.
- ^ Shirer 1960, hlm. 943–944.
- ^ Longerich 2010, hlm. 30–32.
- ^ Shirer 1960, hlm. 203.
- ^ Majer 2003, hlm. 92.
- ^ Majer 2003, hlm. 60.
- ^ Longerich 2010, hlm. 38–39.
- ^ Longerich 2010, hlm. 67–69.
- ^ Longerich 2010, hlm. 41.
- ^ Shirer 1960, hlm. 233.
- ^ Kitchen 2006, hlm. 273.
- ^ Longerich 2010, hlm. 112–113.
- ^ Longerich 2010, hlm. 117.
- ^ Longerich 2010, hlm. 127.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 555–558.
- ^ a b USHMM, Genocide of European Roma.
- ^ Longerich 2010, hlm. 138–141.
- ^ Evans 2008, hlm. 75–76.
- ^ a b Kershaw 2008, hlm. 295.
- ^ Longerich 2010, hlm. 47–48.
- ^ Niewyk & Nicosia 2000, hlm. 45.
- ^ a b Kershaw 2000a, hlm. 111.
- ^ Berghahn 1999, hlm. 32.
- ^ Powszechna PWN 2004, hlm. 267.
- ^ Heinemann et al. 2006.
- ^ a b Snyder 2010, hlm. 416.
- ^ Overy 2005, hlm. 544.
- ^ Nicholas 2006, hlm. 247.
- ^ Lukas 2001, hlm. 113.
- ^ Sereny 1999.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 683.
- ^ Snyder 2010, hlm. 162–163, 416.
- ^ Dorland 2009, hlm. 6.
- ^ Rummel 1994, table, p. 112.
- ^ Hosking 2006, hlm. 242.
- ^ Smith 1994, hlm. 204.
- ^ Longerich, Chapter 17 2003.
- ^ Longerich 2012, hlm. 555–556.
- ^ Evans 2008, hlm. 256–257.
- ^ Browning 2005, hlm. 188–190.
- ^ Longerich 2010, hlm. 279–280.
- ^ USHMM, Children during the Holocaust.
- ^ Fleming 2014, hlm. 31–32, 35–36.
- ^ Evans 2008, hlm. 559–560.
- ^ Evans 2008, hlm. 555–556, 560.
- ^ Evans 2008, hlm. 560–561.
- ^ Materski & Szarota 2009, hlm. 9.
- ^ Wrobel 1999.
- ^ Shirer 1960, hlm. 952.
- ^ Goldhagen 1996, hlm. 290.
- ^ Evans 2008, hlm. 295–296.
- ^ Shirer 1960, hlm. 954.
- ^ Shirer 1960, hlm. 951, 954.
- ^ Nakosteen 1965, hlm. 386.
- ^ Pine 2011, hlm. 14–15, 27.
- ^ Shirer 1960, hlm. 249.
- ^ Evans 2005, hlm. 270.
- ^ Evans 2005, hlm. 269.
- ^ Evans 2005, hlm. 263–264, 270.
- ^ a b c Evans 2005, hlm. 264.
- ^ Shirer 1960, hlm. 255.
- ^ Pine 2011, hlm. 13–40.
- ^ Evans 2005, hlm. 263–265.
- ^ Farago 1972, hlm. 65.
- ^ Evans 2005, hlm. 265.
- ^ Evans 2005, hlm. 292.
- ^ Evans 2005, hlm. 302–303.
- ^ Evans 2005, hlm. 305.
- ^ Evans 2005, hlm. 295–297.
- ^ Evans 2005, hlm. 293.
- ^ Evans 2005, hlm. 299.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 516–517.
- ^ Heidelberg University Library.
- ^ Rupp 1978, hlm. 45.
- ^ Evans 2005, hlm. 518–519.
- ^ Evans 2005, hlm. 332–333.
- ^ Evans 2005, hlm. 369.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 749.
- ^ McNab 2009, hlm. 164.
- ^ Stephenson 2001, hlm. 70.
- ^ Evans 2005, hlm. 297.
- ^ Pauley 2003, hlm. 119–137.
- ^ Overy 2005, hlm. 248.
- ^ Rupp 1978, hlm. 45–46.
- ^ Evans 2005, hlm. 272.
- ^ Grunberger 1971, hlm. 278.
- ^ Biddiscombe 2001, hlm. 612, 633.
- ^ Biddiscombe 2001, hlm. 612.
- ^ Rupp 1978, hlm. 124–125.
- ^ a b Longerich 2012, hlm. 370.
- ^ a b c Longerich 2012, hlm. 371.
- ^ Evans 2005, hlm. 521.
- ^ Evans 2005, hlm. 515.
- ^ Proctor 1999, hlm. 196.
- ^ Proctor 1999, hlm. 198.
- ^ Proctor 1999, hlm. 203.
- ^ Evans 2005, hlm. 319.
- ^ Proctor 1999, hlm. 40.
- ^ Busse & Riesberg 2004, hlm. 20.
- ^ Evans 2008, hlm. 611.
- ^ Evans 2008, hlm. 608.
- ^ Evans 2008, hlm. 609–661.
- ^ Evans 2008, hlm. 612.
- ^ DeGregori 2002, hlm. 153.
- ^ Hanauske-Abel 1996, hlm. 10.
- ^ Uekötter 2006, hlm. 56.
- ^ Closmann 2005, hlm. 30–32.
- ^ Closmann 2005, hlm. 18, 30.
- ^ Uekötter 2005, hlm. 113, 118.
- ^ Evans 2005, hlm. 222.
- ^ USHMM, The German Churches and the Nazi State.
- ^ Ericksen & Heschel 1999, hlm. 10.
- ^ Shirer 1960, hlm. 237.
- ^ a b c Shirer 1960, hlm. 240.
- ^ Shirer 1960, hlm. 234–238.
- ^ Evans 2005, hlm. 220–230.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 295–297.
- ^ a b c d Berben 1975, hlm. 140.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 238–239.
- ^ Shirer 1960, hlm. 239.
- ^ Berben 1975, hlm. 276–277.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 332.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 290.
- ^ Evans 2005, hlm. 234–235.
- ^ Gill 1994, hlm. 57.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 234–235.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 315.
- ^ Lewis 2000, hlm. 45.
- ^ Conway 2001, hlm. 92.
- ^ Evans 2005, hlm. 226, 237.
- ^ Evans 2005, hlm. 239–240.
- ^ Evans 2005, hlm. 241–243.
- ^ Evans 2005, hlm. 245–246.
- ^ Fest 1996, hlm. 377.
- ^ Evans 2005, hlm. 244.
- ^ USHMM, Dachau.
- ^ Berben 1975, hlm. 141–142.
- ^ Libionka, The Catholic Church in Poland.
- ^ Davies 2003, hlm. 86, 92.
- ^ Klemperer 1992, hlm. 4–5.
- ^ Cox 2009, hlm. 33–36.
- ^ Shirer 1960, hlm. 372.
- ^ Hoffmann 1988, hlm. 2.
- ^ Evans 2008, hlm. 626–627.
- ^ Evans 2008, hlm. 625–626.
- ^ Evans 2008, hlm. 626–269.
- ^ Evans 2008, hlm. 634, 643.
- ^ Gill 1994, hlm. 2.
- ^ Evans 2008, hlm. 630.
- ^ Evans 2005, hlm. 669–671.
- ^ Shirer 1960, hlm. 659.
- ^ Evans 2008, hlm. 631.
- ^ Evans 2008, hlm. 635.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 816–818.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1048–1072.
- ^ Grunberger 1971, hlm. 18.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 182, 203, 272.
- ^ Evans 2005, hlm. 465–467.
- ^ Shirer 1960, hlm. 265.
- ^ Shirer 1960, hlm. 241–242.
- ^ Evans 2005, hlm. 133–135.
- ^ Evans 2005, hlm. 136.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 16.
- ^ Evans 2005, hlm. 143–144.
- ^ Shirer 1960, hlm. 149.
- ^ Dussel 2010, hlm. 545, 555–557.
- ^ Evans 2005, hlm. 146–147.
- ^ Dussel 2010, hlm. 561.
- ^ Evans 2005, hlm. 152–159.
- ^ Shirer 1960, hlm. 241.
- ^ Scobie 1990, hlm. 92.
- ^ Evans 2005, hlm. 181.
- ^ Speer 1971, hlm. 92, 150–151.
- ^ Speer 1971, hlm. 115–116, 190.
- ^ Evans 2005, hlm. 168.
- ^ Evans 2005, hlm. 169.
- ^ Shirer 1960, hlm. 243–244.
- ^ Evans 2005, hlm. 171, 173.
- ^ Evans 2005, hlm. 187.
- ^ Evans 2005, hlm. 199.
- ^ Evans 2005, hlm. 204.
- ^ Evans 2005, hlm. 199–200.
- ^ Evans 2005, hlm. 130.
- ^ SPIO, Department of Statistics.
- ^ Evans 2005, hlm. 130–132.
- ^ The Daily Telegraph, 2003.
- ^ Evans 2005, hlm. 125–126.
- ^ a b Evans 2008, hlm. 741.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1143.
- ^ Marcuse 2001, hlm. 98.
- ^ Rees 2005, hlm. 295–96.
- ^ Fischer 1995, hlm. 569.
- ^ Murray & Millett 2001, hlm. 554.
- ^ Kershaw 2000a, hlm. 1–6.
- ^ Welch 2001, hlm. 2.
- ^ Evans 2009, hlm. 56.
- ^ Strafgesetzbuch, section 86a.
- ^ Allied Agreement 1945.
- ^ Evans 2008, hlm. 748–749.
- ^ a b c Sontheimer 2005.
- ^ The Economist 2015.
- ^ Goebel 2017.
- ^ Posener 2018.
Daftar pustaka
- "Agreement Between the Governments of the United Kingdom, the United States of America, and the Union of Soviet Socialist Republics, and the Provisional Government of the French Republic on Certain Additional Requirements to be Imposed on Germany". dipublico.com. 20 September 1945.
- Bartrop, Paul R.; Jacobs, Leonard, ed. (2014). Modern Genocide: The Definitive Resource and Document Collection. 1. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO. ISBN 978-1-61069-363-9.
- Beevor, Antony (2002). Berlin: The Downfall 1945. London: Viking-Penguin Books. ISBN 978-0-670-03041-5.
- Beevor, Antony (2012). The Second World War. New York: Little, Brown. ISBN 978-0-316-02374-0.
- Bendersky, Joseph W. (2007). A Concise History of Nazi Germany: 1919–1945. Lanham, MD: Rowman & Littlefield. ISBN 978-0-7425-5363-7.
- Berben, Paul (1975). Dachau 1933–1945: The Official History. London: Norfolk Press. ISBN 978-0-85211-009-6.
- Berghahn, Volker R. (1999). "Germans and Poles, 1871–1945". Dalam Bullivant, Keith; Giles, Geoffrey; Pape, Walter. Germany and Eastern Europe: Cultural Identities and Cultural Differences. Yearbook of European Studies. Amsterdam; Atlanta, GA: Rodopi. ISBN 978-90-420-0688-1.
- Beyer, John C.; Schneider, Stephen A. "Forced Labour under the Third Reich – Part 1" (PDF). Nathan Associates. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 9 May 2013. Diakses tanggal 12 May 2013.
- Biddiscombe, Perry (2001). "Dangerous Liaisons: The Anti-Fraternization Movement in the US Occupation Zones of Germany and Austria, 1945–1948". Journal of Social History. 34 (3): 611–647. doi:10.1353/jsh.2001.0002.
- Boczek, Bolesław Adam (2005). International Law: A Dictionary. Lanham, MD: Scarecrow Press. ISBN 978-0-8108-5078-1.
- Bracher, Karl Dietrich (1970). The German Dictatorship. Diterjemahkan oleh Steinberg, Jean. New York: Penguin Books. ISBN 978-0-14-013724-8.
- Browning, Christopher (2005). The Origins of the Final Solution: The Evolution of Nazi Jewish Policy, September 1939 – March 1942. UK: Arrow. ISBN 978-0-8032-5979-9.
- Busse, Reinhard; Riesberg, Annette (2004). "Health Care Systems in Transition: Germany" (PDF). Copenhagen: WHO Regional Office for Europe on behalf of the European Observatory on Health Systems and Policies. Diakses tanggal 15 May 2013.
- Bytwerk, Randall (1998). "German Propaganda Archive: Goebbels' 1943 Speech on Total War". Calvin College. Diakses tanggal 3 March 2016.
- Childers, Thomas (2017). The Third Reich: A History of Nazi Germany. New York: Simon & Schuster. ISBN 978-1-45165-113-3.
- Clark, Christopher M. (2006). Iron Kingdom: The Rise and Downfall of Prussia, 1600–1947. London: Penguin Group. ISBN 978-0-674-02385-7.
- Clark, Lloyd (2012). Kursk: The Greatest Battle: Eastern Front 1943. London: Headline Review. ISBN 978-0-7553-3639-5.
- Closmann, Charles (2005). "Legalizing a Volksgemeinschaft: Nazi Germany's Reich Nature Protection Law of 1935". Dalam Brüggemeier, Franz-Josef; Cioc, Mark; Zeller, Thomas. How Green Were the Nazis?: Nature, Environment, and Nation in the Third Reich. Athens: Ohio University Press. ISBN 978-0-8214-1646-4.
- Constable, George, ed. (1988). Fists of Steel. The Third Reich. Alexandria, VA: Time-Life Books. ISBN 978-0-8094-6966-6.
- Conway, John S (2001). The Nazi Persecution of the Churches, 1933–1945. Vancouver: Regent College Publishing. ISBN 978-1-57383-080-5.
- Cox, John M. (2009). Circles of Resistance: Jewish, Leftist, and Youth Dissidence in Nazi Germany. New York: Peter Lang. ISBN 978-1-4331-0557-9.
- Cuomo, Glenn R. (1995). National Socialist Cultural Policy. New York: Palgrave MacMillan. ISBN 978-0-312-09094-4.
- Davies, Norman (2003). Rising '44: the Battle for Warsaw. New York: Viking. ISBN 978-0-670-03284-6.
- Davis, Richard G. (1995). "German Rail Yards and Cities: U.S. Bombing Policy 1944–1945". Air Power History. 42 (2): 46–63.
- "Declaration Regarding the Defeat of Germany and the Assumption of Supreme Authority with Respect to Germany and Supplementary Statements". American Journal of International Law. 39 (3): 171–178. July 1945. doi:10.2307/2213921. JSTOR 2213921.
- DeGregori, Thomas R. (2002). Bountiful Harvest: Technology, Food Safety, and the Environment. Washington: Cato Institute. ISBN 978-1-930865-31-0.
- DeLong, J. Bradford (February 1997). "Slouching Towards Utopia?: The Economic History of the Twentieth Century. XV. Nazis and Soviets". econ161.berkeley.edu. University of California at Berkeley. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 May 2008. Diakses tanggal 21 April 2013.
- Dönitz, Karl (2012) [1958]. Memoirs: Ten Years and Twenty Days. London: Frontline. ISBN 978-1-84832-644-6.
- Dorland, Michael (2009). Cadaverland: Inventing a Pathology of Catastrophe for Holocaust Survival: The Limits of Medical Knowledge and Memory in France. Tauber Institute for the Study of European Jewry series. Waltham, Mass: University Press of New England. ISBN 978-1-58465-784-2.
- Douglas, R.M (2012). Orderly and Humane: The Expulsion of the Germans after the Second World War. New Haven: Yale University Press. ISBN 978-0-300-16660-6.
- Dussel, Konrad (2010). "Wie erfolgreich war die nationalsozlalistische Presselenkung?" [How Successful was National Socialist Control of the Daily Press?]. Vierteljahrshefte für Zeitgeschichte (dalam bahasa German). 58 (4): 543–561. doi:10.1524/vfzg.2010.0026. (perlu berlangganan)
- Encyklopedia Powszechna PWN (dalam bahasa Polish). 3. Warsaw: Państwowe Wydawnictwo Naukowe. 2004. ISBN 978-83-01-14179-0.
- Ericksen, Robert P.; Heschel, Susannah (1999). Betrayal: German Churches and the Holocaust. Minneapolis: Augsberg Fortress. ISBN 978-0-8006-2931-1.
- ""Euthanasie" im Nationalsozialismus". Das Bundesarchiv (dalam bahasa German). Government of Germany. 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 October 2013. Diakses tanggal 19 May 2013.
- Evans, Richard J. (2003). The Coming of the Third Reich. New York: Penguin. ISBN 978-0-14-303469-8.
- Evans, Richard J. (2005). The Third Reich in Power. New York: Penguin. ISBN 978-0-14-303790-3.
- Evans, Richard J. (2008). The Third Reich at War. New York: Penguin. ISBN 978-0-14-311671-4.
- Evans, Richard J. (2009). Cosmopolitan Islanders: British Historians and the European Continent. Cambridge; New York: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-19998-8.
- Farago, Ladislas (1972) [1942]. German Psychological Warfare. International Propaganda and Communications. New York: Arno Press. ISBN 978-0-405-04747-3.
- Fest, Joachim (1996). Plotting Hitler's Death: The German Resistance to Hitler 1933–1945. London: Weidenfeld & Nicolson. ISBN 978-0-297-81774-1.
- Fest, Joachim (1999). Speer: The Final Verdict. Diterjemahkan oleh Osers, Ewald; Dring, Alexandra. San Diego: Harcourt. ISBN 978-0-15-100556-7.
- Fischer, Klaus P. (1995). Nazi Germany: A New History. London: Constable and Company. ISBN 978-0-09-474910-8.
- Fleming, Michael (Spring 2014). "Allied Knowledge of Auschwitz: A (Further) Challenge to the 'Elusiveness' Narrative". Holocaust and Genocide Studies. 28 (1): 31–57. doi:10.1093/hgs/dcu014.
- Freeman, Michael J. (1995). Atlas of Nazi Germany: A Political, Economic, and Social Anatomy of the Third Reich. London; New York: Longman. ISBN 978-0-582-23924-1.
- Friedländer, Saul (2009). Nazi Germany and the Jews, 1933–1945. New York: Harper Perennial. ISBN 978-0-06-135027-6.
- Gellately, Robert (1996). "Reviewed work(s): Vom Generalplan Ost zum Generalsiedlungsplan by Czeslaw Madajczyk. Der "Generalplan Ost". Hauptlinien der nationalsozialistischen Planungs- und Vernichtungspolitik by Mechtild Rössler; Sabine Schleiermacher". Central European History. 29 (2): 270–274. doi:10.1017/S0008938900013170.
- Gellately, Robert (2001). Social Outsiders in Nazi Germany. Princeton, NJ: Princeton University Press. ISBN 978-0-691-08684-2.
- Germany (West) Presse- und Informationsamt (1961). Germany Reports. With an introduction by Konrad Adenauer (dalam bahasa German). Wiesbaden: F. Steiner. OCLC 5092689.
- Germany (West). Statistisches Bundesamt (1958). Die deutschen Vertreibungsverluste. Bevölkerungsbilanzen für die deutschen Vertreibungsgebiete 1939/50 (dalam bahasa German). Wiesbaden: Verlag W. Kohlhammer. OCLC 7363969.
- Gill, Anton (1994). An Honourable Defeat: A History of the German Resistance to Hitler. London: Heinemann.
- Gill, Roger (2006). Theory and Practice of Leadership. London: SAGE Publications. ISBN 978-0-7619-7176-4.
- Glantz, David M. (1995). When Titans Clashed: How the Red Army Stopped Hitler. Lawrence, KS: University Press of Kansas. ISBN 978-0-7006-0899-7.
- Goebel, Nicole (28 September 2017). "Auschwitz-Birkenau: 4 out of 10 German students don't know what it was". Deutsche Welle. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 September 2017. Diakses tanggal 16 February 2019.
- Goeschel, Christian (2009). Suicide in Nazi Germany. Oxford; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-953256-8.
- Goldhagen, Daniel (1996). Hitler's Willing Executioners: Ordinary Germans and the Holocaust. New York: Knopf. ISBN 978-0-679-44695-8.
- Grunberger, Richard (1971). The 12-Year Reich: A Social History of Nazi Germany 1933–1945. New York: Holt Rinehart and Winston. ISBN 978-0-03-076435-6.
- Haar, Ingo (2009). Ehmer, Josef, ed. Die deutschen Vertreibungsverluste: – Forschungsstand, Kontexte und Probleme. Ursprünge, Arten und Folgen des Konstrukts "Bevölkerung" vor, im und nach dem "Dritten Reich" : Aspekte und Erkenntnisse zur Geschichte der deutschen Bevölkerungswissenschaft (dalam bahasa German). Springer. ISBN 978-3-531-16152-5.
- Hahn, Hans Henning; Hahnova, Eva (2010). Die Vertreibung im deutschen Erinnern. Legenden, Mythos, Geschichte (dalam bahasa German). Munich; Vienna: Paderborn. ISBN 978-3-506-77044-8.
- Hamblet, Wendy C. (2008). "Book Review: Götz Aly: Hitler's Beneficiaries: Plunder, Racial War, and the Nazi Welfare State". Genocide Studies and Prevention: An International Journal. 3 (2): 267–268. doi:10.3138/gsp.3.2.267 (tidak aktif 2019-05-26). Diakses tanggal 14 April 2017.
- Hanauske-Abel, Hartmut M. (7 December 1996). "Not a slippery slope or sudden subversion: German medicine and National Socialism in 1933" (PDF). BMJ. 313 (7070): 1453–1463. doi:10.1136/bmj.313.7070.1453. PMC 2352969 . PMID 8973235.
- Harding, Thomas (23 August 2006). "Battle of Britain was won at sea. Discuss". The Telegraph. Diakses tanggal 22 December 2017.
- Heinemann, Isabel; Oberkrome, Willi; Schleiermacher, Sabine; Wagner, Patrick (2006). Nauka, planowanie, wypędzenia : Generalny Plan Wschodni narodowych socjalistów : katalog wystawy Niemieckiej Współnoty Badawczej (PDF) (dalam bahasa Polish). Bonn: Deutsche Forschungsgemeinschaft.
- Richter, Heinz A. (1998). Greece in World War II (dalam bahasa Greek). transl by Kostas Sarropoulos. Athens: Govostis. ISBN 978-960-270-789-0.
- Hildebrand, Klaus (1984). The Third Reich. Boston: George Allen & Unwin. ISBN 978-0-04-943032-7.
- Hitchcock, William I. (2004). The Struggle for Europe: The Turbulent History of a Divided Continent, 1945 to the Present. New York: Anchor. ISBN 978-0-385-49799-2.
- Hoffmann, Peter (1988). German Resistance to Hitler. Cambridge; London: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-35085-4.
- Hoffmann, Peter (1996) [1977]. The History of the German Resistance, 1933–1945. Montreal: McGill-Queen's University Press. ISBN 978-0-7735-1531-4.
- Hosking, Geoffrey A. (2006). Rulers and Victims: The Russians in the Soviet Union. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-02178-5.
- Hubert, Michael (1998). Deutschland im Wandel. Geschichte der deutschen Bevolkerung seit 1815 (dalam bahasa German). Stuttgart: Steiner, Franz Verlag. ISBN 978-3-515-07392-9.
- Kammerer, Willi; Kammerer, Anja (2005). Narben bleiben: die Arbeit der Suchdienste – 60 Jahre nach dem Zweiten Weltkrieg. Berlin: Dienststelle.
- Kershaw, Ian (2000b). Hitler, 1936–1945: Nemesis. New York; London: W. W. Norton & Company. ISBN 978-0-393-32252-1.
- Kershaw, Ian (2000a). The Nazi Dictatorship: Problems and Perspectives of Interpretation (edisi ke-4th). London: Arnold. ISBN 978-0-340-76028-4.
- Kershaw, Ian (2001) [1987]. The "Hitler Myth": Image and Reality in the Third Reich. Oxford; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-280206-4.
- Kershaw, Ian (2008). Hitler: A Biography. New York: W. W. Norton & Company. ISBN 978-0-393-06757-6.
- Kershaw, Ian (2011). The End: Hitler's Germany, 1944–45. London; New York: Penguin. ISBN 978-1-59420-314-5.
- "Kinobesuche in Deutschland 1925 bis 2004" (PDF) (dalam bahasa German). Spitzenorganisation der Filmwirtschaft e. V. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 4 February 2012. Diakses tanggal 10 May 2013.
- Kirschbaum, Stanislav J. (1995). A History of Slovakia: The Struggle for Survival. New York: St. Martin's Press. ISBN 978-1-4039-6929-3.
- Kitchen, Martin (2006). A History of Modern Germany, 1800–2000. Malden, MA: Blackwell. ISBN 978-1-4051-0040-3.
- Klemperer, Klemens von (1992). German Resistance Against Hitler: The Search for Allies Abroad 1938-1945. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-160679-3.
- Koldehoff, Stefan (29 November 2006). "Keine deutsche Opferarithmetik" (dalam bahasa German). Deutschlandfunk. Diakses tanggal 29 May 2013.
- Koonz, Claudia (2003). The Nazi Conscience. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 978-0-674-01172-4.
- Lakotta, Beate (March 2005). "Tief vergraben, nicht dran rühren". Der Spiegel (dalam bahasa German). No. 2. Hamburg: Spiegel-Verlag. hlm. 218–221.
- Lauryssens, Stan (1999). The Man Who Invented the Third Reich: The Life and Times of Arthur Moeller van den Bruck. Stroud: Sutton. ISBN 978-0-7509-1866-4.
- "Leni Riefenstahl". The Daily Telegraph. London: TMG. 10 September 2003. ISSN 0307-1235. OCLC 49632006. Diakses tanggal 10 May 2013.
- Lewis, Brenda Ralph (2000). Hitler Youth: the Hitlerjugend in War and Peace 1933–1945. Osceola, WI: MBI. ISBN 978-0-7603-0946-9.
- Libionka, Dariusz. "The Catholic Church in Poland and the Holocaust, 1939–1945" (PDF). The Reaction of the Churches in Nazi Occupied Europe. Yad Vashem. Diakses tanggal 26 August 2013.
- Longerich, Peter (2003). "Hitler's Role in the Persecution of the Jews by the Nazi Regime". Atlanta: Emory University. 17. Radicalisation of the Persecution of the Jews by Hitler at the Turn of the Year 1941–1942. Archived from the original on 9 July 2009. Diakses tanggal 31 July 2013.
- Longerich, Peter (2010). Holocaust: The Nazi Persecution and Murder of the Jews. Oxford; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-280436-5.
- Longerich, Peter (2012). Heinrich Himmler: A Life. Oxford; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-959232-6.
- Lukas, Richard C. (2001) [1994]. Did the Children Cry?: Hitler's War Against Jewish and Polish Children, 1939–1945. New York: Hippocrene. ISBN 978-0-7818-0870-5.
- Majer, Diemut (2003). "Non-Germans" under the Third Reich: The Nazi Judicial and Administrative System in Germany and Occupied Eastern Europe, with Special Regard to Occupied Poland, 1939–1945. Baltimore; London: Johns Hopkins University Press. ISBN 978-0-8018-6493-3.
- Manvell, Roger; Fraenkel, Heinrich (2007) [1965]. Heinrich Himmler: The Sinister Life of the Head of the SS and Gestapo. London; New York: Greenhill; Skyhorse. ISBN 978-1-60239-178-9.
- Manvell, Roger (2011) [1962]. Goering. London: Skyhorse. ISBN 978-1-61608-109-6.
- Marcuse, Harold (2001). Legacies of Dachau: The Uses and Abuses of a Concentration Camp, 1933-2001. Cambridge; New York: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-55204-2.
- Martin, Bernd (2005) [1995]. Japan and Germany in the Modern World. New York; Oxford: Berghahn Books. ISBN 978-1-84545-047-2.
- Materski, Wojciech; Szarota, Tomasz (2009). Polska 1939–1945: straty osobowe i ofiary represji pod dwiema okupacjami (dalam bahasa Polish). Instytut Pamięci Narodowej, Komisja Ścigania Zbrodni przeciwko Narodowi Polskiemu. ISBN 978-83-7629-067-6.
- Mazower, Mark (2008). Hitler's Empire: How the Nazis Ruled Europe. New York; Toronto: Penguin. ISBN 978-1-59420-188-2.
- McElligott, Anthony; Kirk, Tim; Kershaw, Ian (2003). Working Towards the Führer: Essays in Honour of Sir Ian Kershaw. Manchester: Manchester University Press. ISBN 978-0-7190-6732-7.
- McNab, Chris (2009). The Third Reich. London: Amber Books. ISBN 978-1-906626-51-8.
- Melvin, Mungo (2010). Manstein: Hitler's Greatest General. London: Weidenfeld & Nicolson. ISBN 978-0-297-84561-4.
- Murray, Williamson; Millett, Allan R. (2001) [2000]. A War to be Won: Fighting the Second World War. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 978-0-674-00680-5.
- Nakosteen, Mehdi Khan (1965). The History and Philosophy of Education. New York: Ronald Press. OCLC 175403.
- "NS-Zwangsarbeit: "Verbotener Umgang"" (dalam bahasa German). Stadtarchiv Göttingen Cordula Tollmien Projekt NS-Zwangsarbeiter. 1942.
- Nicholas, Lynn H. (2006). Cruel World: The Children of Europe in the Nazi Web. New York: Vintage. ISBN 978-0-679-77663-5.
- Niewyk, Donald L.; Nicosia, Francis R. (2000). The Columbia Guide to the Holocaust. New York: Columbia University Press. ISBN 978-0-231-11200-0.
- "NS-Frauenwarte: Paper of the National Socialist Women's League". Heidelberg University Library. Diakses tanggal 8 May 2013.
- Oberkommandos der Wehrmacht (1941). Soldaten Atlas (dalam bahasa German).
- Overmans, Rüdiger (2000) [1999]. Deutsche militärische Verluste im Zweiten Weltkrieg. Beiträge zur Militärgeschichte (dalam bahasa German). München: R. Oldenbourg. ISBN 978-3-486-56531-7.
- Overmans, Rűdiger (1994). "Personelle Verluste der deutschen Bevölkerung durch Flucht und Vertreibung". Dzieje Najnowsze Rocznik. 16: 51–63.
- Overy, Richard (2005) [2004]. The Dictators: Hitler's Germany, Stalin's Russia. UK: Penguin Group. ISBN 978-0-393-02030-4.
- Overy, Richard (2006) [1995]. Why The Allies Won. London: Random House. ISBN 978-1-84595-065-1.
- Overy, Richard (2014). The Bombers and the Bombed: Allied Air War Over Europe 1940–1945. New York: Viking. ISBN 978-0-698-15138-3.
- Panayi, Panikos (2005). "Exploitation, Criminality, Resistance: The Everyday Life of Foreign Workers and Prisoners of War in the German Town of Osnabruck, 1939–49". Journal of Contemporary History. 40 (3): 483–502. doi:10.1177/0022009405054568. JSTOR 30036339.
- Pauley, Bruce F. (2003) [1997]. Hitler, Stalin, and Mussolini: Totalitarianism in the Twentieth Century. European History Series. Wheeling, IL: Harlan Davidson. ISBN 978-0-88295-993-1.
- Pilisuk, Marc; Rountree, Jennifer Achord (2008). Who Benefits from Global Violence and War: Uncovering a Destructive System. Westport, CT: Praeger Security International. ISBN 978-0-275-99435-8.
- Pine, Lisa (2011) [2010]. Education in Nazi Germany. Oxford; New York: Berg. ISBN 978-1-84520-265-1.
- Posener, Alan (9 April 2018). "German TV Is Sanitizing History". Foreign Policy. Diakses tanggal 16 February 2019.
- Proctor, Robert N. (1999). The Nazi War on Cancer. Princeton, NJ: Princeton University Press. ISBN 978-0-691-07051-3.
- "Refugees: Save Us! Save Us!". Time. 9 July 1979. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 April 2011. Diakses tanggal 28 April 2013.
- Raeder, Erich (2001) [1956]. Grand Admiral: The Personal Memoir of the Commander in Chief of the German Navy From 1935 Until His Final Break With Hitler in 1943. New York: Da Capo Press. ISBN 978-0-306-80962-0.
- Rees, Laurence (2005). Auschwitz: A New History. New York: Public Affairs, member of Perseus Books Group. ISBN 978-1-58648-303-6.
- Rhodes, Richard (2002). Masters of Death: The SS-Einsatzgruppen and the Invention of the Holocaust. New York: Vintage Books. ISBN 978-0-375-70822-0.
- Rummel, Rudolph (1994). Death by Government. New Brunswick, NJ: Transaction. ISBN 978-1-56000-145-4.
- Rupp, Leila J. (1978). Mobilizing Women for War: German and American Propaganda, 1939–1945. Princeton, N.J.: Princeton University Press. ISBN 978-0-691-04649-5. OCLC 3379930.
- Scobie, Alexander (1990). Hitler's State Architecture: The Impact of Classical Antiquity. University Park: Pennsylvania State University Press. ISBN 978-0-271-00691-8.
- Sereny, Gitta (1996) [1995]. Albert Speer: His Battle With Truth. New York; Toronto: Random House. ISBN 978-0-679-76812-8.
- Sereny, Gitta (November 1999). "Stolen Children". Talk. Diakses tanggal 1 July 2012.
- Shirer, William L. (1960). The Rise and Fall of the Third Reich. New York: Simon & Schuster. ISBN 978-0-671-62420-0.
- Smith, J. W. (1994). The World's Wasted Wealth 2: Save Our Wealth, Save Our Environment. Cambria, CA: Institute for Economic Democracy. ISBN 978-0-9624423-2-2.
- Smith, Joseph; Davis, Simon (2005). The A to Z of the Cold War. Lanham, MD: Scarecrow Press. ISBN 978-0-8108-5384-3.
- Snyder, Timothy (2010). Bloodlands: Europe between Hitler and Stalin. New York: Basic Books. ISBN 978-0-465-00239-9.
- "Sonderbehandlung erfolgt durch Strang". Documents for National Socialism (dalam bahasa German). NS-Archiv. 1942.
- Sontheimer, Michael (10 March 2005). "Germany's Nazi Past: Why Germans Can Never Escape Hitler's Shadow". Spiegel Online. Diakses tanggal 11 May 2013.
- Speer, Albert (1971) [1969]. Inside the Third Reich. New York: Avon. ISBN 978-0-380-00071-5.
- Spotts, Frederic (2002). Hitler and the Power of Aesthetics. New York: Overlook Press. ISBN 978-1-58567-345-2.
- Staff (16 December 2015). "What the Führer means for Germans today". The Economist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 24 September 2018.
- "Statistisches Jahrbuch für die Bundesrepublik Deutschland" (PDF) (dalam bahasa German). Statistisches Bundesamt. 2006. hlm. 34. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 26 September 2007. Diakses tanggal 17 March 2012.
- Stein, George (2002) [1966]. The Waffen-SS: Hitler's Elite Guard at War 1939–1945. Cerberus Publishing. ISBN 978-1-84145-100-8.
- Steiner, Zara (2011). The Triumph of the Dark: European International History 1933–1939. Oxford; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-921200-2.
- Stephenson, Jill (2001). Women in Nazi Germany. London: Longman. ISBN 978-0-582-41836-3.
- Stolfi, Russel (March 1982). "Barbarossa Revisited: A Critical Reappraisal of the Opening Stages of the Russo-German Campaign (June–December 1941)". Journal of Modern History. 54 (1): 27–46. doi:10.1086/244076. hdl:10945/44218.
- "Strafgesetzbuch, StGB". IUSCOMP Comparative Law Society. 13 November 1998.
- Tomasevich, Jozo (1975). War and Revolution in Yugoslavia, 1941–1945: The Chetniks. Stanford, CA: Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-0857-9.
- Tooze, Adam (2006). The Wages of Destruction: The Making and Breaking of the Nazi Economy. New York; Toronto: Viking. ISBN 978-0-670-03826-8.
- Tümmler, Holger (2010). Hitlers Deutschland: Die Mächtigen des Dritten Reiches (dalam bahasa German). Wolfenbüttel: Melchior Verlag. ISBN 978-3-941555-88-4.
- Uekötter, Frank (2006). The Green and the Brown: A History of Conservation in Nazi Germany. Cambridge; New York: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-84819-0.
- Uekötter, Frank (2005). "Polycentrism in Full Swing: Air Pollution Control in Nazi Germany". Dalam Brüggemeier, Franz-Josef; Cioc, Mark; Zeller, Thomas. How Green Were the Nazis?: Nature, Environment, and Nation in the Third Reich. Athens: Ohio University Press.
- Umbreit, Hans (2003). "Hitler's Europe: The German Sphere of Power". Dalam Kroener, Bernhard; Müller, Rolf-Dieter; Umbreit, Hans. Germany and the Second World War, Vol. 5. Organization and Mobilization in the German Sphere of Power. Part 2: Wartime Administration, Economy, and Manpower Resources, 1942–1944/5. Oxford; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-820873-0.
- USHMM. "Children during the Holocaust". United States Holocaust Memorial Museum—Holocaust Encyclopedia. Diakses tanggal 24 April 2013.
- USHMM. "Dachau". United States Holocaust Memorial Museum—Holocaust Encyclopedia. Diakses tanggal 14 July 2013.
- USHMM. "Genocide of European Roma (Gypsies), 1939–1945". United States Holocaust Memorial Museum—Holocaust Encyclopedia. Diakses tanggal 16 September 2018.
- USHMM. "The German Churches and the Nazi State". United States Holocaust Memorial Museum—Holocaust Encyclopedia. Diakses tanggal 25 September 2016.
- USHMM. "Women in the Third Reich". United States Holocaust Memorial Museum—Holocaust Encyclopedia. Diakses tanggal 19 August 2017.
- Walk, Joseph (1996). Das Sonderrecht für die Juden im NS-Staat: Eine Sammlung der gesetzlichen Maßnahmen und Rechtlinien, Inhalt und Bedeutung (dalam bahasa German) (edisi ke-2nd). Heidelberg: Müller Verlag.
- Weale, Adrian (2012) [2010]. Army of Evil: A History of the SS. New York; Toronto: NAL Caliber (Penguin Group). ISBN 978-0-451-23791-0.
- Wegner, Bernd (1990). The Waffen-SS: Organization, Ideology and Function. Hoboken, NJ: Blackwell. ISBN 978-0-631-14073-3.
- Weinberg, Gerhard L. (2010) [1970]. Hitler's Foreign Policy 1933–1939: The Road to World War II. New York: Enigma Books. ISBN 978-1-929631-91-9.
- Weinberg, Gerhard L. (2005) [1994]. A World at Arms: A Global History of World War II. Cambridge; Oxford: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-85316-3.
- Welch, David (2001). Hitler: Profile of a Dictator. London: Routledge. ISBN 978-0-415-25075-7.
- Wiederschein, Harald (21 July 2015). "Mythos Waffen-SS". Focus (dalam bahasa German). Diakses tanggal 3 October 2018.
- Wrobel, Peter (1999). "The Devil's Playground: Poland in World War II". The Canadian Foundation for Polish Studies of the Polish Institute of Arts & Sciences Price-Patterson Ltd.
Pranala luar
Cari tahu mengenai Germany pada proyek-proyek Wikimedia lainnya: | |
Definisi dan terjemahan dari Wiktionary | |
Gambar dan media dari Commons | |
Berita dari Wikinews | |
Kutipan dari Wikiquote | |
Teks sumber dari Wikisource | |
Buku dari Wikibuku |