Pengguna:Natsukusha/bak pasir

Aksara Sunda
ᮃᮊ᮪ᮞᮛᮞᮥᮔ᮪ᮓ
Jenis aksara
BahasaKawi, Sunda, Cirebon, Arab
Periode
abad ke-14 hingga sekarang
Arah penulisanKiri ke kanan
Aksara terkait
Silsilah
Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
Aksara kerabat
Bali
Batak
Baybayin
Bugis
Incung
Jawa
Lampung
Makassar
Rejang
Sunda
ISO 15924
ISO 15924Sund, , ​Sunda
Pengkodean Unicode
Nama Unicode
Sundanese
U+1B80–U+1BBF
U+1CC0–U+1CCF
 Halaman ini mengandung transkripsi fonetik dalam Alfabet Fonetik Internasional (IPA). Untuk bantuan dalam membaca simbol IPA, lihat Bantuan:IPA. Untuk penjelasan perbedaan [ ], / / dan  , Lihat IPA § Tanda kurung dan delimitasi transkripsi.

Aksara Sunda adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di pulau Jawa. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Sunda, tetapi dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Kawi, Jawa Cirebon dan Arab. Aksara Sunda merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Jawa. Aksara Sunda aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Sunda sejak abad ke-14 hingga akhir abad ke-18 sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan aksara Jawa dan Latin. Aksara ini masih diajarkan di Jawa Barat dan Banten[1] sebagai bagian dari muatan lokal, tetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.

Aksara Sunda adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 19 aksara dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Sunda adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua).

Bentuk

sunting

Aksara

sunting

Aksara merupakan huruf dasar yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Sunda memiliki sekitar 19 aksara dasar. Berikut adalah pengelompokannya.

Wyanjana

sunting

Aksara wyanjana (ᮃᮾᮞᮛᮝᮡᮑ᮪ᮏᮔ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Sebagai salah satu aksara turunan Brahmi, aksara Sunda pada awalnya memiliki 19 aksara wyanjana untuk menuliskan 19 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa Sanskerta dan Kawi. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[2][3]

Aksara Wyanjana
Tempat pelafalan Nirsuara Bersuara Sengau Semivokal Sibilan Celah
Tidak Teraspirasi Tidak Teraspirasi
Velar  

ka
 

ga
 

ṅa[1]
 

ha[5]
Palatal  

ca
 

ja
 

ña2
 

ya
Retrofleks  

ṭa[3]
 

ra
Dental  

ta
 

da
 

na
 

la
 

sa
Labial  

pa
 

ba
 

ma
 

wa
Catatan

^1 /ŋa/ sebagaimana nga dalam kata "mengalah"
^2 /ɲa/ sebagaimana nya dalam kata "menyanyi"
^3 /ʈa/ sebagaimana tha dalam kata bahasa Sunda "kathah"
^4 /ɖa/ sebagaimana dha dalam kata bahasa Sunda "padha"
^5 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ dalam bahasa Kawi

Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Sunda modern:

^6 /ɕa/ mendekati pengucapan sya dalam kata "syarat"

Dalam perkembangannya, bahasa Sunda modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara wyanjana dalam deret Sanskerta-Kawi. Aksara Sunda modern hanya menggunakan 18 bunyi konsonan dan 18 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai aksara nglegena (ᮃᮾᮞᮛᮍᮣᮨᮌᮨᮔ).

Aksara swara (ᮃᮾᮞᮛᮞᮭᮛ) adalah aksara yang digunakan untuk menulis suku kata yang tidak memiliki konsonan di awal, atau dalam kata lain suku kata yang hanya terdiri vokal. Aksara Sunda memiliki 7 aksara vokal yang diwarisi dari tradisi tulis Sanskerta. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[3]

Aksara Swara
Tempat pelafalan Velar Palatal Labial Retrofleks Dental Velar-Palatal Velar-Labial
Pendek  

a
 

i
 

u
 

ṛ/re[1]
 

ḷ/le[2]
 

é[3]
 

o
Catatan

^1 pa cerek, /rə/ sebagaimana re dalam kata "remah"
^2 nga lelet, /lə/ sebagaimana le dalam kata "lemah"
^3 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"

Pa cerek ꦉ dan da lelet ꦊ adalah konsonan silabis yang dalam bahasa Sanskerta-Kawi dianggap sebagai huruf vokal.[4][5] Ketika digunakan untuk bahasa selain Sanskerta, pelafalan kedua aksara ini sering kali bervariasi. Dalam perkembangan bahasa Sunda modern, hanya pa cerek dan nga lelet yang digunakan; pa cerek dilafalkan /rə/ (sebagaimana re dalam kata "remah") sementara nga lelet dilafalkan /lə/ (sebagaimana le dalam kata "lemah"). Dalam pengajaran modern, aksara ini sering kali dipisahkan dari aksara swara menjadi kategori sendiri yang disebut aksara gantèn. Kedua aksara ini wajib digunakan untuk mengganti tiap kombinasi ra+pepet (ꦫꦼ → ꦉ) serta la+pepet (ꦭꦼ → ꦊ) tanpa terkecuali.[6]

Diakritik

sunting

Diakritik (sandhangan ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀) adalah tanda yang melekat pada aksara untuk mengubah vokal inheren aksara yang bersangkutan. Sebagaimana aksara, diakritik Sunda juga dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok tergantung dari fungsi dan penggunaannya.

Sandhangan swara (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱ꧀ꦮꦫ) adalah sandhangan yang digunakan untuk mengubah voᮊkal inheren /a/ menjadi vokal lainnya, sebagaimana berikut:[7]

Sandhangan Swara
-a -i -u [1] -o -e[2] -eu[5a][5b]
-  
 
 
 
ꦺꦴ
 
 
ꦼꦴ
- wulu suku taling taling-tarung pepet pepet-tarung
ka ki ku ko ke keu
ᮊᮤ ᮊᮥ ᮊᮦ ᮊᮧ ᮊᮨ ᮊᮩ
Catatan

^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat", bunyi bahasa Kawi yang tidak berasal dari Sanskerta

Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Sunda modern:

^3 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^4 diftong /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
^5a bunyi bahasa Kawi yang tidak berasal dari Sanskerta, dalam kajian Kawi umum diromanisasi menjadi ö
^5b dalam penulisan Sunda digunakan untuk /ɨ/ sebagaimana eu dalam kata bahasa Sunda "peuyeum"

Sebagaimana aksara swara, hanya sandhangan vokal pendek yang umumnya diajarkan dan digunakan dalam bahasa Sunda kontemporer, sementara sandhangan vokal panjang digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi.

Panyigeging wanda

sunting

Sandhangan panyigeging wanda (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦥꦚꦶꦒꦼꦒꦶꦁꦮꦤ꧀ꦢ) digunakan untuk menutup suatu suku kata dengan konsonan, sebagaimana berikut:[8]

Sandhangan Panyigeging Wanda
nasal[1] -ng -r -h pemati[2]
 
 
 
 
 
panyangga cecak layar wignyan pangkon
kam kang kar kah k
ꦏꦀ ꦏꦁ ꦏꦂ ꦏꦃ ꦏ꧀
Catatan

^1 umumnya hanya ditemukan dalam salinan lontar Sunda untuk menuliskan kata keramat seperti ong ꦎꦀ
^2 tidak digunakan untuk suku kata tertutup yang terjadi di tengah kata atau kalimat (lihat pasangan)

Wyanjana

sunting

Sandhangan wyanjana (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) digunakan untuk menuliskan gugus konsonan dengan semivokal dalam satu suku kata, sebagaimana berikut:[9]

Sandhangan Wyanjana
-m- -y- -r- -l- -w-
 
 
 
ꦿ
 
꧀ꦭ
 
꧀ꦮ
keret pengkal cakra panjingan la gembung
kma kya kra kla kwa
ᮊᮬ ᮊᮡ ᮊᮢ ᮊᮣ ᮊᮭ

Pasangan

sunting

Vokal inheren dari tiap aksara dasar dapat dimatikan dengan penggunaan diaktrik pangkon. Akan tetapi, pangkon normalnya tidak digunakan di tengah kata atau kalimat, sehingga untuk menuliskan suku kata tertutup di tengah kata dan kalimat, digunakanlah bentuk pasangan (ꦥꦱꦔꦤ꧀). Berbeda dengan pangkon, pasangan tidak hanya mematikan konsonan yang diiringinya tetapi juga menunjukkan konsonan selanjutnya. Sebagai contoh, aksara ma (ꦩ) yang diiringi bentuk pasangan dari pa (꧀ꦥ) menjadi mpa (ꦩ꧀ꦥ). Bentuk pasangan setiap aksara ada di tabel berikut:[10]

Aksara dan Pasangan
ha/a na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga
Nglegena Aksara  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasangan  
꧀ꦲ
 
꧀ꦤ
 
꧀ꦕ
 
꧀ꦫ
 
꧀ꦏ
 
꧀ꦢ
 
꧀ꦠ
 
꧀ꦱ
 
꧀ꦮ
 
꧀ꦭ
 
꧀ꦥ
 
꧀ꦝ
 
꧀ꦗ
 
꧀ꦪ
 
꧀ꦚ
 
꧀ꦩ
 
꧀ꦒ
 
꧀ꦧ
 
꧀ꦛ
 
꧀ꦔ
Murda Aksara  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasangan  
 
꧀ꦖ[1]
 
꧀ꦬ
 
꧀ꦑ
 
꧀ꦡ
 
꧀ꦯ
 
꧀ꦦ
 
꧀ꦘ
 
꧀ꦓ
 
꧀ꦨ
Mahaprana Aksara  
 
 
 
 
Pasangan  
꧀ꦣ
 
꧀ꦰ
 
꧀ꦞ
 
꧀ꦙ
 
꧀ꦜ
Catatan

     tanda bulat (◌) pada karakter bukanlah bagian dari pasangan, tetapi mengindikasikan posisi aksara yang diiringinya
^1 kerap digunakan sebagai bagian dari pepadan yang tidak memiliki fungsi fonetis
^2 pasangan dalam tabel ini merupakan bentuk yang digunakan dalam penulisan Sunda modern. Beberapa aksara memiliki bentuk pasangan yang berbeda dalam penulisan Sanskerta-Kawi

Contoh pemakaian pasangan dapat dilihat sebagaimana berikut:

komponen penulisan keterangan
  +   +   +   +   =   a + (ka + (pangkon + sa)) + ra → a + (ka + (pasangan sa)) + ra = a(ksa)ra
  +   +   +   +   =   ka + (na + (pangkon + tha) + -i) → ka + (na + (pasangan tha) + -i) = ka(nthi)

Aksara Sunda memiliki lambang bilangannya sendiri yang berlaku selayaknya angka Arab, tetapi sebagian bentuknya memiliki rupa yang persis sama dengan beberapa aksara Sunda, semisal angka 1 ꧑ dengan aksara wyanjana ga ꦒ, atau angka 8 ꧘ dengan aksara murda pa ꦦ. Karena persamaan bentuk ini, angka yang digunakan di tengah kalimat perlu diapit dengan tanda baca pada pangkat atau pada lingsa untuk memperjelas fungsinya sebagai lambang bilangan. Semisal, "tanggal 17 Juni" ditulis ꦠꦁꦒꦭ꧀꧇꧑꧗꧇ꦗꦸꦤꦶ atau ꦠꦁꦒꦭ꧀꧈꧑꧗꧈ꦗꦸꦤꦶ. Pengapit ini dapat diabaikan apabila fungsi lambang bilangan sudah jelas dari konteks, misal nomor halaman di pojok kertas. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[11][12]

Angka
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Tanda baca

sunting

Teks tradisional Sunda ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan memiliki sejumlah tanda baca yang disebut pada (ꦥꦢ). Bentuknya sebagaimana berikut:

Pada
lingsa lungsi adeg adeg-adeg pisèlèh rerenggan pangkat rangkap surat koreksi
andhap madya luhur guru pancak tirta tumètès isèn-isèn
 
 
 
 
 
꧌...꧍
 
꧁...꧂
 
 
 
 
 
 
꧋꧆꧋
 
꧉꧆꧉
 
꧞꧞꧞
 
꧟꧟꧟

Dalam pengajaran modern, tanda baca yang paling sering digunakan adalah pada adeg-adeg, pada lingsa, dan pada lungsi, yang masing-masing berfungsi untuk membuka paragraf (sebagaimana pillcrow), memisahkan kalimat (sebagaimana koma), dan mengakhiri kalimat (sebagaimana titik). Pada adeg dan pada pisèlèh umumnya digunakan untuk mengapit sisipan di tengah teks seperti kurung atau petik, sementara pada pangkat berfungsi seperti titik dua. Pada rangkap kadang digunakan sebagai tanda pengulangan kata yang dalam bahasa Indonesia informal setara dengan penggunaan angka 2 untuk kata berulang (misal kata-kata ꦏꦠꦏꦠ → kata2 ꦏꦠꧏ).[13]

Beberapa tanda baca tidak memiliki ekivalen dalam ejaan latin dan sering kali bersifat dekoratif, karena itu bentuk dan penggunaannya cenderung bervariasi antarpenulis, semisal rerenggan yang kadang digunakan untuk mengapit judul. Dalam surat-menyurat, seperangkat tanda baca digunakan di awal surat sebagai tanda pembuka dan kadang digunakan pula sebagai penanda status sosial dari sang pengirim surat; dari pada andhap yang rendah, pada madya yang menengah, hingga pada luhur yang tinggi. Pada guru kadang digunakan sebagai pilihan netral yang tidak memiliki konotasi sosial, sementara pada pancak digunakan untuk mengakhiri surat. Namun perlu diperhatikan bahwa bentuk dan fungsi ini merupakan kaidah yang digeneralisasi. Sebagaimana rerenggan, tanda baca pemulai dan pengakhir surat dalam prakteknya bersifat dekoratif dan opsional, dengan beragam susunan bentuk yang bervariasi antara daerah dan juru tulis.[13]

Ketika terjadi kesalahan dalam penulisan naskah, beberapa juru tulis keraton menggunakan tanda koreksi khusus alih-alih mencoret bagian yang salah: tirta tumétès yang ditemukan di naskah-naskah Yogyakarta, dan isèn-isèn yang ditemukan di naskah Surakarta. Tanda koreksi ini langsung dibubuhkan mengikuti bagian yang salah sebelum penulis melanjutkan dengan penulisan yang benar. Semisal seorang juru tulis ingin menulis pada luhur ꦥꦢꦭꦸꦲꦸꦂ namun terlanjur menulis pada hu ꦥꦢꦲꦸ sebelum ia sadar kesalahannya, maka kata ini dapat dikoreksi menjadi pada hu···luhur ꦥꦢꦲꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ atau ꦥꦢꦲꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ.[14]

Pepadan

sunting

Selain tanda baca biasa, salah satu ciri khas penulis aksara Sunda adalah pepadan (ꦥꦼꦥꦢꦤ꧀), yakni seperangkat tanda baca penanda sajak yang bentuk dan pengerjaannya sering kali memiliki nilai artisik tinggi. Beberapa bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:

Pepadan
pada kecil pada besar
         
 
 
꧅ ꦧ꧀ꦖ ꧅

Perangkat tanda baca pepadan dapat dikenal dengan berbagai nama dalam teks-teks tradisional. Behrend (1996) membagi pepadan ke dalam dua kelompok umum: pada kecil yang merupakan tanda baca tunggal, serta pada besar yang sering kali disusun berderet dari beberapa tanda baca. Pada kecil digunakan untuk menandakan pergantian bait yang biasanya muncul setiap 32 hingga 48 suku kata tergantung metrum yang digunakan. Pada besar digunakan untuk menandakan pergantian tembang (diikuti pula oleh metrum, irama, dan citra pelantunan) yang biasanya muncul tiap 5 hingga 10 halaman, meski hal ini sangat tergantung dari susunan naskah yang bersangkutan.[15] Pedoman penulisan aksara Sunda sering kali membagi pada besar menjadi tiga jenis pada, purwa pada ꧅ ꦧ꧀ꦖ ꧅ yang digunakan di awal tembang pertama, madya pada ꧅ ꦟ꧀ꦢꦿ ꧅ yang digunakan di pergantian tembang, dan wasana pada ꧅ ꦆ ꧅ yang digunakan di penutup tembang terakhir.[13] Namun karena bentuknya yang sangat bervariasi antarnaskah, tiga tanda baca ini sering kali melebur dan dianggap satu dalam praktek penulisan sebagian besar naskah Sunda.[16]

Pepadan merupakan elemen aksara yang paling menonjol dalam naskah Sunda dan hampir selalu ditulis dengan kemampuan artisik tinggi yang meliputi kaligrafi, pewarnaan, hingga penyepuhan dengan kertas emas.[17] Dalam sejumlah naskah mewah, bentuk pepadan bahkan bisa menjadi petunjuk untuk tembang yang digunakan; pepadan dengan elemen sayap atau figur burung yang menyerupai gagak (dhandhang dalam bahasa Sunda) merujuk pada tembang dhandhanggula, sementara pepadan dengan elemen ikan mas merujuk pada tembang maskumambang (secara harfiah berarti "emas mengambang di air"). Salah satu pusat penulisan naskah dengan gubahan pepadan yang paling indah adalah skriptorium Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta.[16][18]

Pengurutan

sunting

Aksara Sunda modern umum diurutkan menggunakan deret Hanacaraka yang dinamakan berdasarkan lima aksara pertama dalam deret tersebut.[a] Dalam urutan tersebut, ke-20 aksara dasar yang digunakan dalam bahasa Sunda modern membentuk sebuah pangram yang sering kali dikaitkan dengan legenda Aji Saka.[19][20] Asal-usul deret ini tidak diketahui dengan pasti, tetapi deret Hanacaraka diperkirakan telah digunakan oleh masyarakat Sunda setidaknya sejak abad ke-15 ketika ranah Sunda mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan.[21][22] Terdapat berbagai macam tafsiran mengenai makna filosofis dan esoteris yang konon terkandung dalam urutan hanacaraka.[23][24]

Deret Hanacaraka
       
ꦲꦤꦕꦫꦏ(18px) ꦢꦠꦱꦮꦭ(18px) ꦥꦝꦗꦪꦚ(18px) ꦩꦒꦧꦛꦔ(18px)
(h)ana caraka
ada dua utusan
data sawala
yang berselisih pendapat
padha jayanya
sama kuatnya
maga bathanga
inilah mayat mereka

Deret hanacaraka bukanlah satu-satunya cara untuk mengurutkan aksara Sunda. Untuk penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi yang memerlukan 33 aksara dasar, aksara Sunda dapat diurutkan berdasarkan tempat pelafalannya (warga) menurut prinsip fonologi Sanskerta yang pertama kali dijabarkan oleh Pāṇini.[3][21] Deret ini, yang kadang disebut deret Kaganga berdasarkan tiga aksara pertamanya, merupakan deret standar dalam aksara-aksara turunan Brahmi yang masih bisa digunakan untuk menulis bahasa Sanskerta, seperti aksara Dewanagari, Tamil, dan Khmer.

Deret Sanskerta (Kaganga)
Pancawalimukha Ardhasuara Ūṣma Wisarga
Kaṇṭya Tālawya Mūrdhanya Dantya Oṣṭya
         
ꦏꦑꦒꦓꦔ(18px) ꦕꦖꦗꦙꦚ(18px) ꦛꦜꦝꦞꦟ(18px) ꦠꦡꦢꦣꦤ(18px) ꦥꦦꦧꦨꦩ(18px) ꦪꦫꦭꦮ(18px) ꦯꦰꦱ(18px) (18px)
ka kha ga gha nga ca cha ja jha nya ṭa ṭha ḍa ḍha ṇa ta tha da dha na pa pha ba bha ma ya ra la wa śa ṣa sa ha

Contoh teks

sunting

Berikut adalah cuplikan Serat Katuranggan Kucing yang dicetak pada tahun 1871 dengan bahasa dan ejaan Sunda modern.[25]

Pada Bahasa Sunda Bahasa Indonesia
Aksara Sunda Latin
7 ꧅ꦭꦩꦸꦤ꧀ꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ ꦲꦮꦏ꧀ꦏꦺꦲꦶꦉꦁꦱꦢꦪ꧈ ꦭꦩ꧀ꦧꦸꦁꦏꦶꦮꦠꦺꦩ꧀ꦧꦺꦴꦁꦥꦸꦠꦶꦃ꧈ ꦊꦏ꧀ꦱꦤꦤ꧀ꦤꦶꦫꦥꦿꦪꦺꦴꦒ꧈ ꦲꦫꦤ꧀ꦮꦸꦭꦤ꧀ꦏꦿꦲꦶꦤꦤ꧀‍꧈ ꦠꦶꦤꦼꦏꦤꦤ꧀ꦱꦱꦼꦢꦾꦤ꧀ꦤꦶꦥꦸꦤ꧀‍꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦭꦁꦏꦸꦁꦲꦸꦠꦩ꧈ Lamun sira ngingu kucing, awaké ireng sadaya, lambung kiwa tèmbong putih, leksanira prayoga, aran wulan krahinan, tinekanan sasedyanira ipun, yèn bundhel langkung utama Kucing yang berwarna hitam semua tetapi perut sebelah kirinya terdapat tèmbong (bercak) putih disebut wulan krahinan. Kucing ini membawa kebaikan berupa tercapainya semua keinginan. Lebih baik jika ekornya buṇḍel (membulat).
8 ꧅ꦲꦗꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ ꦭꦸꦫꦶꦏ꧀ꦲꦶꦉꦁꦧꦸꦤ꧀ꦠꦸꦠ꧀ꦥꦚ꧀ꦗꦁ꧈ ꦥꦸꦤꦶꦏꦲꦮꦺꦴꦤ꧀ꦭꦩꦠ꧀ꦠꦺ꧈ ꦱꦼꦏꦼꦭꦤ꧀ꦱꦿꦶꦁꦠꦸꦏꦂꦫꦤ꧀‍꧈ ꦲꦫꦤ꧀ꦝꦣꦁꦱꦸꦁꦏꦮ꧈ ꦥꦤ꧀ꦲꦢꦺꦴꦃꦫꦶꦗꦼꦏꦶꦤꦶꦥꦸꦤ꧀‍꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦤꦺꦴꦫꦔꦥꦲ꧈ Aja sira ngingu kucing, lurik ireng buntut panjang, punika awon lamaté, sekelan sring tukaran, aran dhadhang sungkawa, pan adoh rijeki nipun, yèn bundhel nora ngapa Kucing dengan bulu lurik hitam berekor panjang jangan dipelihara. Kucing itu disebut dhadhang sungkawa. Kehidupanmu akan sering bertengkar dan jauh dari rizki. Apabila ekornya buṇḍel, maka tidak masalah.

Berikut adalah cuplikan dari Kakawin Rāmāyaṇa yang dicetak pada tahun 1900 dengan bahasa dan ejaan Kawi.[26][27]

Pada Bahasa Sunda Bahasa Indonesia
Aksara Sunda Latin
XVI
31
꧅ꦗꦲ꧀ꦤꦷꦪꦴꦲ꧀ꦤꦶꦁꦠꦭꦒꦏꦢꦶꦭꦔꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦩ꧀ꦧꦁꦠꦁꦥꦴꦱ꧀ꦮꦸꦭꦤꦸꦥꦩꦤꦶꦏꦴ꧈ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦁꦠꦸꦭꦾꦁꦏꦸꦱꦸꦩꦪꦱꦸꦩꦮꦸꦫ꧀꧈ ꦭꦸꦩꦿꦴꦥ꧀ꦮꦺꦏꦁꦱꦫꦶꦏꦢꦶꦗꦭꦢ꧉ Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwekang sari kadi jalada. Air jernih telaga bagaikan langit, seekor kura-kura mengambang di dalamnya bagai bulan, bintangnya adalah bunga-bunga yang bertebaran, menyebarkan sarinya bagaikan awan.

Perbandingan dengan variasi Baku

sunting

Kerabat paling dekat dari aksara Sunda adalah aksara Sunda. Sebagai keturunan langsung aksara Kawi, aksara Sunda dan Sunda masih memiliki banyak kesamaan dari segi struktur dasar masing-masing huruf. Salah satu perbedaan mencolok antara aksara Sunda dan Sunda adalah sistem tata tulis; Tata tulis Sunda cenderung bersifat konservatif dan mempertahankan banyak aspek dari ejaan Kawi yang tidak lagi digunakan dalam aksara Sunda. Sebagai contoh, kata desa dalam aksara Sunda kini ditulis ꦢꦺꦱ. Dalam tata tulis Sunda kontemporer, ejaan ini dianggap sebagai ejaan kasar atau kurang tepat, karena desa merupakan kosakata serapan Sanskerta yang seharusnya dieja sesuai pengucapan Sanskerta aslinya: deśa ꦢꦺꦯ, menggunakan aksara sa murda alih-alih aksara sa nglegena. Seperti bahasa Sunda, bahasa Sunda juga tidak lagi membedakan pelafalan seluruh aksara dalam deret Sanskerta-Kawi, termasuk antara sa nglegena dan sa murda, tetapi ejaan asli selalu dipertahankan kapan pun memungkinkan. Salah satu alasannya agar sejumlah kata serapan dari bahasa Sanskerta-Kawi yang bunyinya sama dalam bahasa Sunda dapat tetap dibedakan dalam tulisan, misal antara kata pada (ꦥꦢ, tanah/bumi), pāda (ꦥꦴꦢ, kaki), dan padha (ꦥꦣ, sama), serta antara kata asta (ꦲꦱ꧀ꦠ, adalah), astha (ꦲꦱ꧀ꦡ, tulang), dan aṣṭa (ꦄꦰ꧀ꦛ, delapan).[28][29][30]

Perbandingan bentuk kedua aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:

Aksara Dasar (konsonan)
ka ga nga ca ja nya ṭa ta da na pa ba ma ya ra ro la wa sa ha
Sunda
Sunda
Fon
Aksara Dasar (vokal)
a i u é[1] o e eu
Sunda
Sunda
Fon
Catatan

^1/e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^3 diftong /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"

Diakritik
-a -i -u [1] -o -e[4] -eu[5] -ng -r -h pemati
Sunda - ꦺꦴ ꦼꦴ
Sunda -
Fon
ka ki ku ko ke keu kang kar kah k
Sunda ꦏꦶ ꦏꦸ ꦏꦺ ꦏꦺꦴ ꦏꦼ ꦏꦼꦴ ꦏꦁ ꦏꦂ ꦏꦃ ꦏ꧀
Sunda ᮔᮤ ᮔᮥ ᮔᮦ ᮔᮧ ᮔᮨ ᮔᮩ ᮔᮀ ᮔᮁ ᮔᮂ ᮔ᮪
Fon
Catatan

^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^3 diftong /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
^4 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"
^5 /ɨ/ sebagaimana eu dalam kata bahasa Sunda "peyeum". Dalam alih aksara bahasa Kawi, diromanisasi menjadi ö[3]

Angka
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sunda
Sunda
Fon
Tanda Baca
Sunda pada lingsa pada lungsi pada pangkat pada adeg-adeg pada luhur
Sunda carik siki carik parérén carik pamungkah panti pamada
Contoh Kalimat (bahasa Kawi)
Sunda ꧅ꦗꦲ꧀ꦤꦷꦪꦴꦲ꧀ꦤꦶꦁꦠꦭꦒꦏꦢꦶꦭꦔꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦩ꧀ꦧꦁꦠꦁꦥꦴꦱ꧀ꦮꦸꦭꦤꦸꦥꦩꦤꦶꦏꦴ꧈ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦁꦠꦸꦭꦾꦁꦏꦸꦱꦸꦩꦪꦱꦸꦩꦮꦸꦫ꧀꧈ ꦭꦸꦩꦿꦴꦥ꧀ꦮꦺꦏꦁꦱꦫꦶꦏꦢꦶꦗꦭꦢ꧉
Sunda ᭛ᬚᬳ᭄ᬦᬷᬬᬵᬳ᭄ᬦᬶᬂᬢᬮᬕᬓᬤᬶᬮᬗᬶᬢ᭄᭞ ᬫᬫ᭄ᬩᬂᬢᬂᬧᬵᬲ᭄ᬯᬸᬮᬦᬸᬧᬫᬦᬶᬓᬵ᭞ ᬯᬶᬦ᭄ᬢᬂᬢᬸᬮ᭄ᬬᬂᬓᬸᬲᬸᬫᬬᬲᬸᬫᬯᬳᬸᬭ᭄᭞ ᬮᬸᬫ᭄ᬭᬧ᭄ᬯᬾᬓᬂᬲᬭᬶᬓᬤᬶᬚᬮᬤ᭟
Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwékang sari kadi jalada.
(Kakawin Rāmāyaṇa XVI.31)

Blok Unicode

sunting

Aksara Sunda resmi dimasukkan ke dalam Unicode sejak April 2008 dengan dirilisnya Unicode versi 5.1. Blok Unicode untuk aksara Sunda adalah U+1B80–U+1BBF dan blok Unicode untuk aksara Sunda tambahan adalah U+1CC0–U+1CCF.

Sundanese[1]
Official Unicode Consortium code chart (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+1B8x
U+1B9x
U+1BAx  ᮫ 
U+1BBx ᮿ
Catatan
1.^Seperti Unicode versi 13.0
Sundanese Supplement[1][2]
Official Unicode Consortium code chart (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+1CCx
Catatan
1.^Seperti Unicode versi 13.0
2.^Daerah abu-abu berarti belum diisi

Galeri

sunting

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Setara dengan kata "alfabet" yang berasal dari nama dua huruf pertama dalam alfabet Yunani (A-B, alfa-beta) serta kata "abjad" yang berasal dari empat huruf pertama dalam abjad Arab (ا-ب-ج-د, alif-ba-jim-dal).

Rujukan

sunting
  1. ^ Kompasiana.com (2022-01-28). "Aksara Sunda dan Keberaksaraan Masyarakat Sunda". KOMPASIANA. Diakses tanggal 2022-05-28. 
  2. ^ Everson 2008, hlm. 1-2.
  3. ^ a b c d Poerwadarminta, W J S (1930). Serat Mardi Kawi (PDF). 1. Solo: De Bliksem. hlm. 9-12. 
  4. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama woodard
  5. ^ Poerwadarminta 1930, hlm. 11.
  6. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 20.
  7. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 19-24.
  8. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 24-28.
  9. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 29-32.
  10. ^ Everson 2008, hlm. 2.
  11. ^ Everson 2008, hlm. 4.
  12. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 44-45.
  13. ^ a b c Everson 2008, hlm. 4-5.
  14. ^ Everson 2008, hlm. 5.
  15. ^ Behrend 1996, hlm. 188.
  16. ^ a b Behrend 1996, hlm. 190.
  17. ^ Behrend 1996, hlm. 189-190.
  18. ^ Saktimulya, Sri Ratna (2016). Naskah-naskah Skriptorium Pakualaman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 602424228X. 
  19. ^ Robson 2011, hlm. 13-14.
  20. ^ Rochkyatmo 1996, hlm. 8-11.
  21. ^ a b Everson 2008, hlm. 5-6.
  22. ^ Ricci, Ronit (Desember 2015). "Reading a History of Writing: heritage, religion and script change in Java". Itinerario. Leiden. 39 (03): 424. doi:10.1017/S0165115315000868. 
  23. ^ Rochkyatmo 1996, hlm. 35-41.
  24. ^ Rochkyatmo 1996, hlm. 51-58.
  25. ^ Serat Katoerangganing ning Koetjing (ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦏꦠꦸꦫꦁꦒꦤ꧀ꦤꦶꦁꦏꦸꦠ꧀ꦕꦶꦁ), diterbitkan oleh Percetakan GCT Van Dorp & Co di Semarang, tahun 1871. Pindaian Google Books dari koleksi Perpustakaan Nasional Belanda, No 859 B33.
  26. ^ Kern, Hendrik (1900). Rāmāyaṇa Kakawin. Oudjavaansch heldendicht. ’s Gravenhage: Martinus Nijhoff. 
  27. ^ Santoso, Soewito (1980). Rāmāyaṇa Kakawin. II. New Delhi: International Academy of Indian Culture. hlm. 398. 
  28. ^ Tinggen, I Nengah (1993). Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Sunda dengan Huruf Latin dan Huruf Sunda. Singaraja: UD. Rikha. hlm. 7. 
  29. ^ Medra, I Nengah (1998). Pedoman Pasang Aksara Sunda. Denpasar: Dinas Kebudayaan Pemerintah Daerah Tingkat I Sunda. hlm. 44. 
  30. ^ Sutjaja, I Gusti Made (2006). Kamus Inggris, Sunda, Indonesia. Lotus Widya Suari bekerjasama dengan Penerbit Univ. Udayana. ISBN 9798286855. 

Daftar pustaka

sunting

Pedoman penulisan

sunting

Bahasa Sanskerta dan Kawi

Bahasa Sunda

Bahasa Madura

Pranala luar

sunting

Koleksi digital

sunting

Naskah digital

sunting

Lainnya

sunting

Templat:Aksara Sunda



Sunda Sunda Kategori:Bahasa Sunda