Theravāda

Aliran konservatif tertua Buddhisme yang diturunkan dari suatu ordo di Sri Lanka dan masih lestari hingga zaman modern
(Dialihkan dari Buddhisme Theravada)

Theravāda (/ˌtɛrəˈvɑːðə/;[note 1] Pali, terj. har.'Ajaran Sesepuh')[1][2] merupakan nama aliran tertua Buddhisme yang masih bertahan. Theravāda merupakan aliran yang secara tradisi berhubungan paling dekat dengan Buddhisme pada masa awalnya.[3] Pengikut aliran ini, disebut sebagai Theravādin (anglikisasi bahasa Pali theravādī),[note 2][4][5] telah mempertahankan Dhamma dalam Tripitaka Pali selama lebih dari dua milenium.[1][2][web 1]

Biksu beraliran Theravāda di bawah naungan Saṅgha Theravāda Indonesia sedang merayakan hari Waisak dengan puja materi berupa bunga dan lilin di Pusdiklat Sikkhādama Santibhūmi, Tangerang, Jawa Barat, Indonesia.

Tripitaka Pali adalah satu-satunya versi Tripitaka terlengkap yang masih ada dalam bahasa India klasik, Pāli, yang berfungsi sebagai bahasa suci[6] dan basantara aliran ini.[7] Berbeda dengan aliran Mahāyāna dan Vajrayāna, Theravāda cenderung konservatif dalam hal pembelajaran kitab suci (pariyatti) dan disiplin monastik (vinaya).[8] Salah satu unsur konservatisme ini adalah kenyataan bahwa Theravāda menolak keaslian kitab-kitab Mahāyāna (yang muncul sekitar abad ke-1 SM dan seterusnya).[9][10] Sebagai akibatnya, Theravāda juga tidak mengenali keberadaan banyak sosok Buddha dan Bodhisatwa yang diyakini oleh aliran Mahāyāna, seperti Avalokiteśvara dan Amitābha, karena tidak ditemukan dalam kitab suci kanonis.[11] Theravāda umumnya hanya mengakui keabsahan kitab suci Tipiṭaka Pāli beserta sastra Pāli lainnya, seperti kitab-kitab tafsir Aṭṭhakathā ("Kitab Komentar"), Ṭīkā ("Kitab Subkomentar"), Visuddhimagga, dan lain-lain sebagai dasar praktiknya.[12][13]

Theravāda di masa modern saat ini awalnya diturunkan dari Theriya Nikāya Sri Lanka (juga dikenal sebagai Tambapaṇṇiya atau Mahāvihāravāsin)[14][15] yang menganut aliran Vibhajjavāda. Aliran Vibhajjavāda merupakan salah satu hasil perpecahan aliran Buddhis awal Sthaviravāda India.[16][17] Theravāda merupakan agama resmi negara di Sri Lanka, Myanmar, dan Kamboja; dan aliran Buddhisme mayoritas di Laos dan Thailand. Theravāda juga dianut oleh minoritas di India, Bangladesh, Tiongkok, Nepal, Korea Utara, Vietnam, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Taiwan. Diaspora semua kelompok ini, serta mereka yang pindah agama menjadi Theravāda di seluruh dunia, juga memeluk dan mempraktikkan Buddhisme Theravāda.

Selama era modern, perkembangan baru telah mencakup gerakan modernisme Buddhisme, gerakan Vipassanā yang menghidupkan kembali praktik meditasi Theravāda,[web 1] pertumbuhan Tradisi Hutan Thailand yang menekankan kembali monastisisme hutan, dan penyebaran Theravāda ke arah barat (tempat-tempat seperti India dan Nepal), bersama dengan imigran dan mereka yang berganti agama di Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Sejarah

sunting

Masa pramodern

sunting
 
Stupa Thuparamaya, stupa tertua setelah Buddhisme Theravāda menjadi agama resmi di Sri Lanka, dibangun pada masa pemerintahan Raja Devanampiya Tissa (247–207 SM).
 
Stupa Ruwanwelisaya, dibangun oleh Raja Sri Lanka Dutugemunu (sekitar 140 SM).

Aliran Theravāda berasal dari Vibhajjavāda, suatu divisi dalam Sthāvira nikāya, salah satu dari dua ordo utama yang muncul setelah perpecahan pertama dalam komunitas Buddhis India.[18][19] Sumber-sumber Theravāda dapat ditelurusi hingga masa Sidang Buddhis Ketiga ketika sesepuh Moggaliputta-Tissa dikatakan telah menyusun kitab Kathāvatthu, sebuah karya penting yang memaparkan posisi doktrinal Vibhajjavāda.[20]

Dengan bantuan perlindungan raja-raja Maurya, seperti Asoka, aliran ini menyebar ke seluruh India dan mencapai Sri Lanka melalui upaya para biksu misionaris, seperti Mahinda. Di Sri Lanka, aliran ini dikenal sebagai Tambapaṇṇiya (dan kemudian sebagai Mahāvihāravāsin) yang berpusat di Wihara Besar (Mahāvihāra) di Anuradhapura (ibu kota Sri Lanka kuno).[21] Menurut sumber Theravāda, salah satu misionaris Asoka lainnya juga dikirim ke Suvaṇṇabhūmi ("Tanah Emas") yang mungkin merujuk ke Asia Tenggara.[22]

Pada abad pertama SM, Buddhisme Theravāda telah mapan di pemukiman utama Kerajaan Anuradhapura.[23] Tripitaka Pali atau Kanon Pali, yang memuat kitab-kitab suci utama Theravāda, ditulis pada abad pertama SM.[24] Sepanjang sejarah Sri Lanka kuno dan abad pertengahan, Theravāda adalah agama utama masyarakat Sinhala dan wihara-wiharanya dilindungi oleh raja-raja Sri Lanka yang melihat diri mereka sebagai pelindung agama tersebut.[25]

 
Piringan emas berisi fragmen Tipiṭaka Pāli (abad ke-5) yang ditemukan di Maunggan (sebuah desa dekat kota Sri Ksetra).
 
Pagan, ibu kota Kerajaan Pagan. Antara abad ke-11 dan ke-13, lebih dari 10.000 candi, pagoda, dan wihara dibangun di dataran Pagan.[26]

Seiring berjalannya waktu, dua tradisi lain memisahkan diri dari tradisi Mahāvihāra, yaitu Abhayagiri dan Jetavana.[27] Sementara tradisi Abhayagiri dikenal karena studi sinkretis antara kitab-kitab Mahāyāna, Vajrāyāna, dan Kanon Theravāda, sedangkan tradisi Mahāvihāra tidak menerima kitab suci baru yang sinkretis ini.[28] Sebaliknya, para cendekiawan Mahāvihāra, seperti Buddhaghosa, berfokus pada penafsiran kitab suci Pali dan Abhidhamma. Subtradisi Theravāda kuno ini sering kali berkonflik satu sama lain karena perlindungan kerajaan.[29] Pada masa pemerintahan Parākramabāhu I (1153–1186), terjadi reformasi besar-besaran terhadap sangha Sri Lanka setelah bertahun-tahun terjadi peperangan di pulau tersebut. Parākramabāhu membentuk satu sangha tunggal yang kemudian didominasi oleh tradisi Mahāvihāra.[30][31]

Bukti epigrafis telah menetapkan bahwa Buddhisme Theravāda menjadi agama dominan di kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, seperti Sri Ksetra dan Dwarawati, sejak sekitar abad ke-5 Masehi dan seterusnya.[32] Kitab Buddhis tertua yang masih ada dalam bahasa Pali adalah lempengan emas yang ditemukan di Sri Ksetra yang bertanggal sekitar abad ke-5 hingga ke-6.[33] Sebelum aliran Theravāda menjadi agama dominan di Asia Tenggara, Mahāyāna, Vajrayana, dan Hinduisme juga menonjol.[34][35]

Dimulai sekitar abad ke-11, para biksu Theravāda Sinhala dan elit Asia Tenggara memimpin konversi agama yang meluas di sebagian besar daratan Asia Tenggara menjadi penganut aliran Theravād tradisi Mahāvihāra.[36] Perlindungan raja-raja, seperti raja Burma Anawrahta (Pali: Aniruddha, 1044–1077) dan raja Thailand Ram Khamhaeng (sekitar akhir abad ke-13), berperan penting dalam bangkitnya Buddhisme Theravāda sebagai agama dominan di Burma dan Thailand.[37][38][39]

Raja-raja Burma dan Thailand menganggap diri mereka sebagai Raja Dhamma dan pelindung aliran Theravāda. Mereka mempromosikan pembangunan wihara-wihara baru, mendukung beasiswa, penahbisan wihara, dan pekerjaan misionaris serta berupaya untuk menghilangkan praktik-praktik nonbuddhis tertentu, seperti pengurbanan hewan.[40][41][42] Selama abad ke-15 dan ke-16, Theravāda juga ditetapkan sebagai agama negara di Kamboja dan Laos. Di Kamboja, seiring masa perubahan agama, banyak bangunan keagamaan, seperti kuil Hindu dan wihara Mahāyāna, yang dialih fungsikan menjadi wihara beraliran Theravāda. Beberapa bangunan yang terkenal adalah Angkor Wat dan Angkor Thom.[43][44]

Masa modern

sunting
 
Seorang pria Burma bermeditasi di Myanmar. Praktik meditasi yang meluas dipraktikkan oleh umat awam merupakan perkembangan modern dalam aliran Theravāda (pernah ada masa ketika praktik meditasi lebih terkesan khusus anggota sangha).

Pada abad ke-19 dan ke-20, penganut Buddhisme Theravāda bersentuhan langsung dengan ideologi, agama, dan sains modern Barat. Berbagai tanggapan terhadap pertemuan ini disebut "Modernisme Buddhis".[45] Selama masa kolonial Inggris di Ceylon (sekarang Sri Lanka) dan Burma (Myanmar), lembaga-lembaga buddhis kehilangan peran tradisional mereka sebagai penyedia utama pendidikan (peran yang sering diisi oleh sekolah-sekolah Kristen).[46] Sebagai tanggpan terhadap hal ini, organisasi-organisasi buddhis didirikan dengan tujuan untuk melestarikan beasiswa buddhis dan menyediakan pendidikan buddhis.[47] Anagarika Dhammapala, Migettuwatte Gunananda Thera, Hikkaduwe Sri Sumangala Thera, dan Henry Steel Olcott (salah satu orang Amerika pertama yang menganut Buddhisme) adalah beberapa tokoh utama kebangkitan Buddhisme di Sri Lanka.[48] Pada abad ke-19, dua ordo monastik Theravāda baru, Amarapura Nikāya dan Rāmañña Nikāya, dibentuk.[49]

Di Burma, tokoh modernis yang berpengaruh adalah raja Mindon Min (1808–1878) yang dikenal karena dukungannya terhadap Sidang Buddhis Kelima (1871) dan prasasti Tipiṭaka di Pagoda Kuthodaw (masih menjadi kitab dengan ukuran terbesar di dunia) dengan tujuan melestarikan Buddha Dhamma. Burma juga menyaksikan pertumbuhan "gerakan Vipassanā" yang berfokus pada menghidupkan kembali meditasi buddhis dan pembelajaran kitab suci. Ledi Sayadaw (1846–1923) adalah salah satu tokoh kunci dalam gerakan ini.[50] Setelah masa kemerdekaan, Myanmar menyelenggarakan Sidang Buddhis Keenam (Waisak 1954 hingga Waisak 1956) untuk mengesahkan edisi baru Tripitaka Pali yang kemudian diterbitkan oleh pemerintah dalam 40 jilid. Gerakan Vipassanā terus berkembang setelah kemerdekaan, menjadi gerakan internasional dengan pusat-pusat di seluruh dunia. Guru-guru meditasi yang berpengaruh pada era pasca-kemerdekaan meliputi U Narada, Mahasi Sayadaw, Sayadaw U Pandita, Nyanaponika Thera, Webu Sayadaw, serta U Ba Khin dan muridnya, S.N. Goenka.

Sementara itu, di Thailand (satu-satunya negara Theravāda yang mempertahankan kemerdekaannya sepanjang era kolonial), aliran Theravāda menjadi jauh lebih tersentralisasi, terbirokratisasi, dan dikendalikan oleh negara setelah serangkaian reformasi yang dipromosikan oleh raja-raja Thailand dari dinasti Chakri. Raja Mongkut (memerintah 1851–1868) dan penggantinya, Chulalongkorn (1868–1910), secara khusus terlibat dalam pemusatan reformasi sangha. Di bawah raja-raja ini, sangha diorganisasikan ke dalam birokrasi hierarkis yang dipimpin oleh Dewan Tetua Sangha (Pali: Mahāthera Samāgama), berperan sebagai badan tertinggi sangha Thailand.[51] Mongkut juga memimpin pembentukan sebuah ordo monastik Theravāda baru, Dhammayuttika Nikāya, yang menerapkan disiplin monastik yang lebih ketat dibandingkan dengan sangha Thailand lainnya (termasuk tidak menggunakan uang, tidak menyimpan makanan, dan tidak minum susu di malam hari). Semua ordo di luar Dhammayuttika Nikāya kemudian disebut sebagai Mahā Nikāya.[52][53] Gerakan Dhammayuttika ditandai dengan penekanan pada Tripitaka Pali asli dan penolakan terhadap agama rakyat Thailand yang dianggap tidak rasional.[54] Di bawah kepemimpinan Pangeran Wachirayan Warorot, sistem pendidikan dan ujian baru diperkenalkan untuk para biksu Thailand.[55]

 
Para biksu dari Tradisi Hutan Thailand. Ajahn Chah bersama Ajahn Sumedho (kanan depan), Ajahn Pasanno (belakang dan kiri Sumedho), dan biksu lainnya (1980).

Abad ke-20 juga menyaksikan pertumbuhan "tradisi hutan" yang berfokus pada kehidupan di hutan dan disiplin sangha yang ketat. Gerakan hutan utama pada era ini adalah Tradisi Hutan Sri Lanka dan Tradisi Hutan Thailand ("Thai Forest Monk"), yang didirikan oleh Ajahn Mun (1870–1949) dan murid-muridnya.[56]

Buddhisme Theravāda di Kamboja dan Laos mengalami pengalaman serupa di era modern. Keduanya harus menanggung kolonialisme Prancis, perang saudara yang merusak, dan pemerintahan komunis yang menindas. Di bawah Pemerintahan Prancis, para indolog Prancis dari École française d'Extrême-Orient terlibat dalam reformasi Buddhisme dengan mendirikan lembaga untuk pelatihan biksu Kamboja dan Laos, seperti Ecole de Pali yang didirikan di Phnom Penh pada tahun 1914.[57] Meskipun Khmer Merah secara efektif menghancurkan lembaga-lembaga buddhis di Kamboja, setelah berakhirnya rezim komunis, Sangha Kamboja didirikan kembali oleh para biksu yang kembali dari pengasingan.[58] Sebaliknya, pemerintahan komunis di Laos tidak terlalu merusak karena Pathet Lao berusaha memanfaatkan sangha untuk tujuan politik dengan memaksakan kontrol negara secara langsung.[59] Selama akhir tahun 1980-an dan 1990-an, sikap resmi terhadap Buddhisme mulai meliberalisasi di Laos dan terjadi kebangkitan kembali aktivitas tradisional buddhis, seperti praktik pelimpahan jasa dan pembelajaran kitab suci.

 
Pagoda Vipassanā Global, Maharashtra, India. S.N. Goenka meletakkan fondasi bangunannya pada tahun 2000; dan pagoda diresmikan pada tahun 2009. Kursus meditasi rutin diadakan di kompleks ini.

Era modern juga menyaksikan penyebaran Buddhisme Theravāda di seluruh dunia dan kebangkitan agama tersebut di tempat-tempat yang masih menjadi agama minoritas. Beberapa peristiwa besar penyebaran aliran Theravāda modern meliputi:

  • Gerakan Theravāda Nepal abad ke-20 yang memperkenalkan Buddhisme Theravāda ke Nepal dan dipimpin oleh tokoh-tokoh terkemuka, seperti Dharmaditya Dharmacharya, Mahapragya, Pragyananda dan Dhammalok Mahasthavir.[60]
  • Pendirian beberapa Vihara Theravāda pertama di dunia Barat, seperti:
    • London Buddhist Vihara (1926),
    • Das Buddhistische Haus di Berlin (1957), dan
    • Washington Buddhist Vihara di Washington, DC (1965).
  • Berdirinya Bengal Buddhist Association (1892) dan Dharmankur Vihar (1900) di Calcutta oleh biksu Bengali Kripasaran Mahasthavir, merupakan peristiwa penting dalam kebangkitan Theravāda Bengali.[61]
  • Berdirinya Maha Bodhi Society pada tahun 1891 oleh Anagarika Dharmapala yang berfokus pada konservasi dan restorasi situs-situs penting buddhis di India, seperti Bodh Gaya dan Sarnath.[62][63]
  • Pengenalan Theravāda ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura, Indonesia, dan Malaysia. Salah satu upaya yang menonjol adalah upaya misionaris Yang Mulia K. Sri Dhammananda di antara komunitas Tionghoa yang berbahasa Inggris. Selain itu, didirikannya Saṅgha Theravāda Indonesia pada tahun 1976 dan Theravāda Buddhist Council of Malaysia pada tahun 2012 juga menjadi sinyal kebangkitan Theravāda di kedua negara tersebut.[64][65]
  • Kembalinya para biksu Theravādin Barat yang dilatih dalam Tradisi Hutan Thailand ke negara-negara Barat dan pendirian wihara-wihara berikutnya yang dipimpin oleh para biksu Barat, seperti:
  • Penyebaran gerakan Vipassanā di seluruh dunia melalui upaya tokoh-tokoh seperti S.N. Goenka, Anagarika Munindra, Joseph Goldstein, Jack Kornfield, Sharon Salzberg, Dipa Ma, dan Ruth Denison.
  • Gerakan Theravāda Vietnam yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Yang Mulia Hộ-Tông (Vansarakkhita).[66]

Kitab suci

sunting

Tipiṭaka Pāli

sunting
 
Salinan Tipiṭaka pramodern disimpan dalam manuskrip daun lontar, yang sebagian besar tidak bertahan dari iklim lembab di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
 
Satu set Tipiṭaka modern yang lengkap dapat memenuhi banyak jilid (dari 40 hingga lebih dari 50 jilid tergantung pada edisinya).

Menurut Kate Crosby, bagi Theravāda, Tipiṭaka Pāli, juga dikenal sebagai Kanon Pāli, adalah "otoritas tertinggi mengenai apa yang merupakan Dhamma (kebenaran atau ajaran Buddha) dan organisasi Sangha (komunitas biksu dan biksuni)."[67]

Bahasa yang digunakan dalam penulisan Tipiṭaka, bahasa Pāli, termasuk dalam rumpun bahasa Indo-Arya Pertengahan (Middle Indo-Aryan languages, bukan Central Indo-Aryan languages) yang merupakan bahasa keagamaan dan ilmiah utama dalam Theravāda. Bahasa ini mungkin berkembang dari berbagai dialek India, dan terkait dengan, tetapi tidak sama dengan, bahasa kuno Magadha.[68]

Bentuk awal Tipiṭaka mungkin telah disebarkan ke Sri Lanka pada masa pemerintahan Asoka yang menyaksikan periode aktivitas misionaris Buddhisme. Setelah disebarkan secara lisan (seperti kebiasaan untuk kitab-kitab keagamaan pada masa itu) selama beberapa abad, kitab-kitab tersebut akhirnya ditulis pada abad ke-1 SM. Theravāda adalah salah satu aliran Buddhisme pertama yang menuliskan Tipiṭaka-nya.[69] Edisi Tipiṭaka yang masih ada hingga saat ini berasal dari versi tradisi kuno Mahāvihāra Sri Lanka.[70]

Manuskrip Tipiṭaka tertua dari Sri Lanka dan Asia Tenggara berasal dari abad ke-15, dan manuskrip tersebut tidak lengkap.[71] Manuskrip lengkap dari keempat Nikāya baru tersedia sejak abad ke-17 dan seterusnya.[72] Namun, fragmen Tipiṭaka telah ditemukan dalam prasasti-prasasti di Asia Tenggara. Fragmen yang paling awal diperkirakan berasal dari abad ke-3 atau ke-4.[71][73] Menurut Alexander Wynne, "tulisan-tulisan tersebut hampir sama persis dengan manuskrip-manuskrip Pāli yang telah ada sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa Tipiṭaka Pāli telah disebarkan dengan tingkat akurasi yang tinggi selama lebih dari 1.500 tahun."[73]

Ada banyak edisi Tipiṭaka, beberapa edisi modern utamanya meliputi edisi Pali Text Society (diterbitkan dalam aksara Romawi), edisi Sidang Buddhis Keenam Burma (dalam aksara Burma, 1954–56) dan Tipiṭaka Thai yang disunting dan diterbitkan dalam aksara Thai setelah sidang-sidang yang diadakan pada masa pemerintahan Rama VII (1925–35). Ada pula edisi Khmer, yang diterbitkan di Phnom Penh (1931–69).[74][75][76]

 
Struktur dari kitab-kitab yang dianggap kanonis dan sahih dalam Tripitaka Pali. Aliran Theravāda umumnya hanya mengakui Tripitaka Pali dan menolak kesahihan kitab-kitab dalam Tripitaka versi aliran lainnya.

Tipiṭaka Pāli terdiri dari tiga bagian: Vinaya Piṭaka, Sutta Piṭaka, dan Abhidhamma Piṭaka. Dari ketiga bagian tersebut, Abhidhamma Piṭaka diyakini sebagai tambahan terbaru pada koleksi tersebut, yang komposisinya berasal dari sekitar abad ke-3 SM dan seterusnya.[77] Abhidhamma Pāli tidak diakui di luar aliran Theravāda. Ada pula beberapa kitab yang merupakan tambahan belakangan yang dimasukkan dalam Nikāya kelima, Khuddaka Nikāya ('Kumpulan Kecil'), seperti Paṭisambhidāmagga (mungkin sekitar abad ke-3 hingga ke-1 SM) dan Buddhavaṃsa (sekitar abad ke-1 dan ke-2 SM).[78][79]

Bagian utama dari Sutta Piṭaka dan beberapa bagian dari Vinaya menunjukkan banyak kesamaan isi dengan kitab-kitab Āgama dari Buddhisme Utara, kumpulan paralel yang digunakan oleh aliran non-Theravāda di India yang dilestarikan dalam bahasa Tionghoa dan sebagian dalam bahasa Sanskerta, Prakerta, dan Tibet, serta berbagai Vinaya non-Theravāda. Atas dasar ini, kitab-kitab Buddhis awal ini (yaitu Nikāya dan bagian-bagian dari Vinaya) secara umum diyakini sebagai beberapa sumber tertua dan paling berwibawa terkait ajaran-ajaran Buddhisme prasektarian oleh para cendekiawan modern.[80][81]

Sebagian besar kitab-kitab dalam bagian awal tidak secara khusus merupakan ajaran "Theravādin", tetapi kumpulan ajaran yang dilestarikan oleh para penganut aliran ini dari kumpulan ajaran awal yang nonsektarian. Menurut Peter Harvey, meskipun para penganut Theravāda mungkin telah menambahkan berbagai kitab ke dalam struktur Tipiṭaka mereka (seperti kitab-kitab Abhidhamma dan sebagainya), mereka pada umumnya tidak mengubah isi kitab-kitab yang sudah sebelumnya.[82]

Bagian-bagian Tipiṭaka yang secara historis dianggap hadir belakangan, terutama Abhidhamma Piṭaka dan beberapa bagian dari Vinaya Piṭaka, mengandung beberapa elemen dan ajaran khas yang unik aliran Theravāda dan sering kali berbeda dari versi Abhidharma atau Vinaya milik aliran-aliran Buddhisme awal lainnya.[83] Misalnya, sementara Vinaya Theravāda berisi total 227 aturan monastik untuk para biksu, Vinaya Dharmaguptaka (masih digunakan oleh Buddhisme di Asia Timur) memiliki total 253 aturan untuk para biksu (meskipun struktur keseluruhannya sama).[84] Perbedaan-perbedaan ini muncul akibat sistematisasi dan perkembangan historis ajaran dan monastisisme pada abad-abad setelah wafatnya Sang Buddha.[85]

Kitab-kitab dalam Abhidhamma Piṭaka berisi "pernyataan ulang ajaran Sang Buddha dalam bahasa yang diformalkan secara ketat." Kitab-kitabnya menyajikan metode baru, metode Abhidhamma, yang berupaya membangun satu sistem filsafat yang konsisten (berbeda dengan pendekatan sutta, yang menyajikan berbagai ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha kepada individu tertentu sesuai dengan kebutuhan mereka).[86] Oleh karena Abhidhamma berfokus pada analisis pengalaman hidup internal makhluk hidup dan struktur kesadaran berkehendak, ia sering dibandingkan dengan semacam psikologi fenomenologis ("psikologi buddhis") oleh banyak cendekiawan modern, seperti Nyanaponika, Bhikkhu Bodhi, dan Alexander Piatigorsky.[87]

Aliran Theravāda secara tradisional memegang posisi doktrinal bahwa Abhidhamma Piṭaka yang kanonis sebenarnya diajarkan oleh Sang Buddha sendiri.[88] Sebaliknya, para cendekiawan modern pada umumnya berpendapat bahwa kitab-kitab Abhidhamma berasal dari abad ke-3 SM dan seterusnya.[89] Namun, beberapa cendekiawan, seperti Frauwallner, juga berpendapat bahwa kitab-kitab Abhidhamma awal berkembang dari karya eksegesis dan katekese yang menggunakan daftar doktrinal yang dapat ditemui dalam berbagai sutta, yang disebut sebagai sistem mātika.[90][91]

Sastra Pali dan kitab komentar

sunting
 
Buddhaghosa (kanan) (sekitar abad ke-5), terlihat di sini tengah memberikan tiga salinan kitab ringkasan doktrinalnya yang berpengaruh, Visuddhimagga, kepada para sesepuh tradisi Mahāvihāra Sri Lanka.

Ada banyak karya Theravāda yang penting bagi aliran tersebut meskipun tidak dianggap sebagai bagian kanonis dari Tipiṭaka. Kitab-kitab terpenting selain Tipiṭaka adalah kitab-kitab karya cendekiawan berpengaruh, Buddhaghosa (abad ke-4 hingga ke-5 M), yang dikenal karena berbagai kitab komentar berbahasa Pāli-nya (yang didasarkan pada kitab-kitab komentar Sri Lanka yang lebih tua dari tradisi Mahāvihāra). Ia juga merupakan penulis kompendium ajaran Theravāda yang sangat penting, Visuddhimagga.[92] Tokoh lain, seperti Dhammapāla dan Buddhadatta, juga menulis kitab ulasan Theravāda dan karya lain dalam bahasa Pali pada masa Buddhaghosa.[93] Meskipun kitab-kitab ini tidak memiliki otoritas kitab suci yang sama seperti Tipiṭaka dalam Theravāda, kitab-kitab tersebut tetap merupakan karya-karya yang paling berpengaruh untuk penafsiran Tipiṭaka.

Gaya penulisan penting dari sastra Theravādin adalah kitab pegangan dan ringkasan yang lebih pendek, yang berfungsi sebagai pengantar dan panduan belajar untuk komentar yang lebih panjang. Dua ringkasan yang paling berpengaruh adalah Pālimuttakavinayavinicchayasaṅgaha karya Sāriputta Thera, ringkasan komentar Vinaya karya Buddhaghosa, dan Abhidhammatthasaṅgaha ("Kitab Ringkasan Abhidhamma") karya Ācariya Anuruddha.[94]

Sepanjang sejarah Theravāda, para biksu Theravāda juga menghasilkan karya-karya sastra Pāli lainnya, seperti kronik sejarah (seperti Dipawangsa dan Mahawangsa), hagiografi, puisi, tata bahasa Pāli, dan "kitab subkomentar" (yaitu, kitab-kitab yang mengomentari kitab komentar).

Meskipun kitab-kitab Pāli secara simbolis dan ritual penting bagi banyak Theravādin, kebanyakan orang cenderung mengakses ajaran Buddha melalui sastra daerah, ajaran lisan, khotbah, seni, pertunjukan serta film, dan media internet.[95] Menurut Kate Crosby, "ada lebih banyak sastra Theravāda dalam bahasa daerah [masing-masing] dibandingkan dalam bahasa Pāli."[96]

Gaya penulisan penting sastra Theravādin lainnya, baik dalam bahasa Pāli maupun bahasa daerah, adalah kisah Jātaka, kisah tentang kehidupan masa lalu Sang Buddha. Kisah-kisah ini sangat populer di semua kalangan dan disajikan dalam berbagai format media, mulai dari kartun hingga sastra tingkat tinggi. Vessantara Jātaka adalah salah satu kitab Jātaka yang paling populer.[97]

Kitab aliran lain

sunting

Sebagian besar penganut Buddhisme Theravāda umumnya menganggap kitab suci Buddhisme Mahāyāna (seperti dalam Tripitaka Tionghoa, Tripitaka Tibet, dan lain-lain) sebagai kitab suci yang diragukan keasliannya (apokrifa) dan tidak dianggap sebagai sabda asli Sang Buddha.[98] Sebagai akibatnya, Theravāda tidak mengenali banyak sosok Buddha dan Bodhisatwa yang diyakini oleh aliran Mahāyāna, seperti Avalokiteśvara dan Amitābha, karena tidak ditemukan dalam kitab suci kanonis.[11]

Ajaran (pariyatti)

sunting
 
Lukisan yang menggambarkan penyampaian khotbah pertama Sang Buddha dari Wat Chedi Liem di Thailand.

Ajaran-ajaran utama

sunting

Inti dari ajaran Buddhisme Theravāda terkandung dalam Tipiṭaka Pāli, satu-satunya koleksi lengkap Kitab Buddhis Awal yang masih ada dalam bahasa India klasik.[99] Beberapa ajaran dasar ini juga dianut oleh aliran-aliran Buddhisme awal lainnya, serta beberapa subaliran Mahāyāna. Ajaran-ajaran tersebut mencakup konsep-konsep utama sebagai berikut:[100]

  • Ajaran tentang sebab-akibat perbuatan (karma), yang didasarkan pada kehendak/niat (cetanā) dan ajaran terkait kelahiran kembali (punarbawa) yang menyatakan bahwa setelah kematian, makhluk hidup yang belum sepenuhnya tercerahkan akan terlahir kembali sebagai wujud yang berbeda, mungkin di alam eksistensi lain. Jenis alam tempat seseorang akan terlahir kembali ditentukan oleh karma masa lalu makhluk tersebut. Alam semesta sebagai siklus yang dipenuhi dengan kelahiran dan kematian ini disebut samsara.
  • Penolakan terhadap ajaran dan praktik lain yang ditemukan dalam Brahmanisme (pra-Hindu), termasuk gagasan bahwa kitab-kitab Weda adalah otoritas ilahi. Segala bentuk pengorbanan kepada para dewa (termasuk pengurbanan hewan) dan pemurnian ritual dengan mandi di berbagai sungai suci dianggap tidak berguna dan rusak secara spiritual.[101] Kitab-kitab Pali juga menolak gagasan bahwa kasta ditahbiskan secara ilahi.
  • Seperangkat ajaran utama yang disebut bodhipakkhiyādhammā (faktor-faktor yang mendukung kecerahan).
  • Uraian tentang berbagai praktik atau kondisi meditasi, yaitu empat jhāna (penyerapan meditatif) dan landasan nonmateri atau tanpa bentuk (arupāyatana).
  • Pelatihan moral (sila) termasuk sepuluh jenis kebajikan dan Pancasila.
  • Nirwana (Pali: nibbāna), kebaikan tertinggi dan tujuan akhir dalam Buddhisme Theravāda. Nirwana adalah akhir yang lengkap dan terakhir dari penderitaan sebagai suatu kondisi kesempurnaan. Nirwana juga merupakan akhir dari semua kelahiran kembali, tetapi bukan pemusnahan (uccheda).[102]
  • Noda batin (āsava), seperti noda batin kenikmatan indrawi (kāmāsava), noda batin eksistensi (bhavāsava), dan noda batin ketidaktahuan (avijjāsava). Selain itu, ada juga daftar serupa yang disebut sebagai pengotor batin (kilesa).
  • Ajaran tentang ketidakkekalan (anicca), yang menyatakan bahwa semua fenomena fisik dan mental bersifat sementara, tidak stabil, dan tidak kekal.[103]
  • Ajaran tentang bukan-diri atau tanpa-atma (anatta), yang menyatakan bahwa semua gugusan pembentuk seseorang, yaitu lima gugusan (bentuk fisik, perasaan, persepsi, bentukan kehendak, dan kesadaran), kosong dari diri atau roh kekal (atta), karena mereka tidak kekal dan tidak selalu di bawah kendali kita. Oleh karena itu, tidak ada substansi yang tidak berubah, diri yang kekal, jiwa kekal, roh, atau esensi.[104][105]
  • Lima rintangan (pañca nīvaraṇāni), yang merupakan rintangan saat praktik meditasi:
    1. nafsu kehausan indrawi,
    2. niat jahat,
    3. kemalasan dan kantuk,
    4. kebingungan dan penyesalan, dan
    5. keraguan.
  • Empat sifat luhur (brahmavihārā), juga dikenal sebagai empat sifat yang tak terukur (appamaññā):
    1. cinta kasih (mettā),
    2. belas kasih (karuṇā),
    3. simpati (mudita), dan
    4. ketenangan (upekkhā).
  • Empat Kebenaran Mulia, yang menyatakan, secara singkat:
    1. ada dukkha (penderitaan, kegelisahan);
    2. ada penyebab dukkha, terutama nafsu kehausan (taṇhā);
    3. penyingkiran nafsu kehausan mengarah pada akhir (nirodha) penderitaan, dan
    4. ada jalan (magga) yang harus diikuti untuk mewujudkannya.[106]
  • Kemunculan Bersebab (paṭiccasamuppāda), yang menjelaskan bagaimana penderitaan timbul (dimulai dengan ketidaktahuan dan berakhir pada kelahiran, usia tua, dan kematian) dan bagaimana penderitaan dapat diakhiri.[107]
  • Jalan Tengah, yang dipandang memiliki dua sisi utama. Pertama, Jalan Tengah antara asketisme ekstrem dan pemanjaan sensual. Kedua, Jalan Tengah juga dipandang sebagai pandangan yang menengahi gagasan bahwa makhluk-makhluk akan musnah pada saat kematian dengan gagasan bahwa ada diri yang kekal (Pali: atta).
  • Jalan Mulia Berunsur Delapan, suatu garis besar utama terkait jalan buddhis yang mengarah pada kecerahan. Delapan faktor tersebut adalah:
    1. Pandangan/Pengertian Benar (sammā-diṭṭhi)
    2. Niat Benar (sammā-saṅkappa)
    3. Ucapan Benar (sammā-vācā)
    4. Perbuatan Benar (sammā-kammanta)
    5. Penghidupan/Pencaharian Benar (sammā-ājīva)
    6. Upaya/Usaha Benar (sammā-vāyāma)
    7. Perhatian Benar (sammā-sati)
    8. Konsentrasi/Keheningan Benar (sammā-samādhi)
  • Praktik berlindung kepada Triratna:
    1. Buddha,
    2. Dhamma, dan
    3. Saṅgha.
  • Tujuh faktor kecerahan (satta bojjhaṅgā):
    1. perhatian penuh (sati),
    2. penyelidikan (dhamma vicaya),
    3. energi (viriya),
    4. kegembiraan (pīti),
    5. ketenteraman (passaddhi),
    6. samādhi, dan
    7. ketenangan atau keseimbangan batin (upekkhā).
  • Enam landasan indra (saḷāyatana) dan teori yang sesuai tentang kesan atau kontak indra (phassa) dan kesadaran (viññāṇa).[108]
  • Berbagai kerangka kerja untuk praktik perhatian penuh (sati), terutama:

Perbedaan dengan aliran lain

sunting
 
Seni rupa Arahat Moggallāna, yang dapat dikenali dari kulitnya yang gelap (Pali: nila; ditafsirkan sebagai biru/hitam). Ia adalah salah satu dari dua murid Buddha yang paling senior dan dianggap sebagai yang paling unggul[menurut siapa?] dalam kekuatan psikis.

Perbandingan sudut pandang ortodoks Theravāda dengan aliran Buddhisme lainnya disajikan dalam kitab Kathāvatthu ("Poin-poin Kontroversi"), juga dalam karya-karya lain oleh pengomentar masa selanjutnya, seperti Buddhaghosa.

Secara tradisional, Theravāda mempertahankan posisi doktrinal utama berikut, meskipun tidak semua Theravādin setuju dengan sudut pandang tradisional:[109][110]

  • Mengenai filsafat waktu, aliran Theravāda mengikuti presentisme filosofis, pandangan bahwa hanya fenomena saat ini (dhamma) yang ada. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan eternalis dari aliran Sarvāstivāda yang menyatakan bahwa dhamma ada di ketiga waktu–masa lalu, masa kini, masa depan.
  • Arahat tidak akan dapat bertahan menjadi umat awam karena mereka telah meninggalkan belenggu umat awam, termasuk kehidupan berumah tangga, penggunaan uang, dll.
  • Kekuatan (bala) seorang Buddha bersifat unik dan tidak umum dimiliki oleh seluruh para pengikut (sāvaka) atau Arahat.
  • Abhidhamma Theravāda berpendapat bahwa satu kesadaran (citta) tidak dapat bertahan selama sehari.
  • Abhidhamma Theravāda berpendapat bahwa kebijaksanaan atas Empat Kebenaran Mulia terjadi dalam satu momen per momen (khaṇa), bukan secara tahap per tahap (anupubba), seperti yang dipegang oleh aliran Sarvāstivāda. Pengotor batin (kilesa) juga ditinggalkan momen per momen.[butuh rujukan]
  • Abhidhamma Theravāda secara tradisional menolak pandangan yang menyatakan adanya alam kehidupan atau keadaan peralihan atau transisi (antarabhāva) di antara kelahiran kembali. Mereka berpendapat bahwa kelahiran kembali terjadi langsung atau seketika (dalam satu momen pikiran).[111] Akan tetapi, sebagaimana telah dicatat oleh berbagai cendekiawan modern, seperti Bhikkhu Sujato, terdapat beberapa bagian kanonis yang mendukung penafsiran atas gagasan tentang keadaan peralihan (seperti Kutuhalasāla Sutta).[112] Beberapa cendekiawan Theravāda (seperti Balangoda Ananda Maitreya) telah membela gagasan tentang keadaan peralihan dan ini juga merupakan kepercayaan yang sangat umum di antara beberapa biksu dan umat awam di dunia Theravāda (keadaan demikian umumnya disebut sebagai gandhabba atau antarabhāva).[113]
  • Theravāda juga tidak menerima gagasan Mahāyāna bahwa ada dua bentuk Nibbāna, yaitu Nirwana "lokal" atau "abadi" (pratiṣṭhita) yang lebih rendah dan Nirwana yang tidak abadi (apratiṣṭhita). Teori Nirwana ganda seperti itu tidak ada dalam sutta.[114] Menurut kitab Kathāvatthu, tidak ada garis pemisah yang memisahkan elemen yang tidak berkondisi dan tidak ada superioritas atau inferioritas dalam kesatuan Nibbāna.[115]
  • Kitab-kitab komentar dan kitab subkomentar (tafsir) Theravāda menganggap Nibbāna sebagai suatu keberadaan yang nyata, dan bukan hanya sekedar keberadaan konseptual atau nominal (prajñapti) yang mengacu pada sekadar penghancuran (khayamatta) pengotor-pengotor batin atau ketiadaan lima gugusan kehidupan, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang dalam aliran Sautrāntika, misalnya.[116] Dalam tradisi akademis Theravāda, Nibbāna didefinisikan sebagai penghentian (nirodha) keberadaan; dan eksis secara terpisah dari sekadar penghancuran nafsu kehausan, kebencian, dan delusi.[117]
  • Dalam kitab-kitab komentar Theravāda, fenomena mental berlangsung dalam suatu momen atau saat yang sangat singkat (khaṇa), sedangkan fenomena fisik tidak.
  • Theravāda berpendapat bahwa Sang Buddha tinggal di alam manusia (manussa-loka). Pandangan ini menolak pandangan doketik yang ditemukan dalam Mahāyāna yang menyatakan bahwa tubuh fisik Sang Buddha hanyalah manifestasi, emanasi, atau ciptaan magis (nirmāṇa) dari makhluk transendental, dan dengan demikian, kelahiran dan kematian-Nya hanyalah pertunjukan belaka dan tidak nyata.[118] Selain itu, aliran Theravāda menolak pandangan bahwa saat ini ada banyak Buddha di semua arah.
  • Theravāda berpendapat bahwa ada arus kesadaran dasar yang disebut bhavaṅga, yang mengondisikan kesadaran kelahiran kembali.
  • Theravāda menolak ajaran aliran Puggalavāda tentang pudgala atau puggala ("orang" atau "entitas pribadi") karena entitas tersebut dianggap lebih dari sekadar sebutan konseptual atas lima gugusan kehidupan.[119][120]
  • Theravāda menolak pandangan aliran Lokottaravāda yang menyatakan bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh Sang Buddha (termasuk semua ucapan, buang air besar, dan buang air kecil, dll.) bersifat supramundane atau adiduniawi (lokuttara).[121] Demikian pula, bagi Theravāda, seorang Buddha tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan sesuatu yang telah muncul dari penghentian. Para Buddha tidak dapat menghentikan makhluk-makhluk apa pun dari menjadi tua, sakit, atau mati; dan mereka tidak dapat menciptakan sesuatu yang kekal (seperti bunga yang tidak mati).
  • Theravāda, secara tradisional, membela gagasan bahwa Sang Buddha sendiri mengajarkan kitab-kitab Abhidhamma Piṭaka.[122] Hal ini kini dipertanyakan oleh sejumlah penganut Theravāda modern berdasarkan pembelajaran Buddhis modern.
  • Dalam Theravāda, Nibbāna adalah satu-satunya fenomena yang tidak terkondisi (asaṅkhata-dhamma, asaṅkhatadhātu). Tidak seperti dalam aliran Sarvāstivāda, ruang (akasa) juga dipandang sebagai dhamma yang terkondisi (saṅkhata) dalam Theravāda. Bahkan, Empat Kebenaran Mulia juga bukanlah fenomena yang tidak terkondisi, begitu pula wilayah penghentian (nirodhasamapatti). "Keberadaan" (tathatā) juga merupakan fenomena yang terkondidsi. Menurut kitab Dhammasaṅgaṇī, Nibbāna, sesuatu yang tidak terkondisi, adalah 'tanpa kondisi' (appaccaya) dan berbeda dari lima gugusan yang 'dengan kondisi' (sappaccaya).[123]
  • Dalam Theravāda, jalan bodhisatta hanya cocok untuk beberapa orang yang luar biasa (seperti Buddha Sakyamuni dan Metteyya).[124] Theravāda juga mendefinisikan seorang bodhisatta sebagai seseorang yang telah membuat tekad di hadapan seorang Buddha yang masih hidup.[125]
  • Dalam Theravāda, ada organ sensoris fisik (indriya) sebagai landasan yang mengondisikan kesadaran mental (manovinñāṇa) dan merupakan dukungan materi bagi kesadaran. Beberapa kitab Theravāda belakangan, seperti Visuddhimagga, menempatkan landasan indrawi fisik bagi kesadaran ini di organ jantung (hadaya-vatthu), Tripitaka Pali sendiri tidak membahas masalah ini.[126][127] Beberapa cendekiawan Theravāda modern mengusulkan gagasan alternatif. Misalnya, Suwanda H. J. Sugunasiri mengusulkan bahwa landasan indra bagi kesadaran adalah seluruh organisme fisik, yang ia kaitkan dengan konsep kanonis jīvitindriya atau kemampuan hidup.[126] Sementara itu, W. F. Jayasuriya berpendapat bahwa “hadaya” tidak diartikan secara harfiah (bisa juga diartikan sebagai “esensi”, “inti”), tetapi merujuk pada keseluruhan sistem saraf (termasuk otak), yang bergantung pada jantung dan darah.[127]
  • Umat ​​Theravāda pada umumnya menolak bahwa kitab-kitab Mahāyāna termasuk Buddhavacana (sabda Sang Buddha), dan tidak mempelajari atau melihat kitab-kitab ini (atau ajaran Mahāyāna) sebagai sumber yang dapat diandalkan. Mereka menolak pandangan bahwa Tipiṭaka Pāli tidak lengkap atau kurang bermutu (yaitu sebutan "Hīnayāna" yang berarti "hina, inferior, minor, atau kecil"; sebuah istilah yang digunakan oleh pengikut Mahāyāna untuk merujuk pada Theravāda dan aliran non-Mahāyāna lainnya) dan menolak pandangan yang menyatakan bahwa kitab-kitab Mahāyāna, entah bagaimana, lebih maju secara spiritual.[126]
  • Umat ​​Theravāda, secara tradisional, percaya bahwa seorang Arahat yang telah tercerahkan memiliki "sifat yang tidak dapat rusak" dan karenanya sempurna secara moral.[128] Mereka tidak memiliki ketidaktahuan atau keraguan. Menurut ajaran Theravāda, para Arahat (serta tiga ariya yang lebih rendah lainnya: pemasuk arus, dsb.) tidak dapat mundur atau mengalami kemunduran dari keadaan mereka.[129]

Tradisi Abhidhamma

sunting

Para akademisi Theravāda mengembangkan eksposisi sistematis ajaran Buddha yang disebut tradisi Abhidhamma. Dalam Nikāya Pāli, Sang Buddha mengajar melalui metode analitis yang menjelaskan pengalaman dengan berbagai pengelompokan konseptual dari proses fisik dan mental yang disebut sebagai "dhamma". Contoh daftar dhamma yang diajarkan oleh Buddha meliputi dua belas 'landasan' indra atau āyatana, lima gugusan atau khandha, dan delapan belas unsur atau dhātu.[130] Tradisi Abhidhamma menjelaskan saṅkhāra, dhamma, dan hubungannya dengan gugusan (khandha) dalam skema:[131]

Hubungan nāmarūpa, khandha, dan Abhidhamma[132]
Kelompok Khandha
(gugusan)
Abhidhamma Theravāda
Āyatana
(landasan indra)
Paramattha-sacca
(realitas hakiki)
Internal Eksternal
dhamma
saṅkhāra
rūpa
(materi)
rūpa-
(materi)
cakkhu
(mata)
rūpa/vaṇṇa
(materi/warna)
28 rūpa
(materi)
4 unsur pokok
24 unsur turunan
sota
(telinga)
sadda
(suara)
ghāna
(hidung)
gandha
(ganda/bau)
jivhā
(lidah)
rasa
(rasa)
kāya
(tubuh)
phoṭṭabba
(sentuhan)
-
dhamma
(objek batin)
nāma
(batin)
vedanā-
(perasaan)
-
52 cetasika
(faktor mental)
7 universal
6 sesekali
14 tidak baik
25 indah
saññā-
(persepsi)
saṅkhāra-
(formasi mental)
viññāṇa-
(kesadaran)
mana
(batin)
-
89/121 citta
(kesadaran)
81 duniawi
8/40 adiduniawi
-
-
Nibbāna
(Nirwana)

Theravāda, secara tradisional, mempromosikan dirinya sebagai "ajaran analisis" Vibhajjavāda dan sebagai pewaris metode analisis Sang Buddha. Dengan mengembangkan model ini, tradisi akademis Abhidhamma Theravāda memusatkan perhatiannya pada analisis "kebenaran hakiki" (paramattha-sacca) yang dipandangnya sebagai sesuatu yang tersusun dari semua dhamma yang mungkin dan hubungan-hubungannya. Teori utama Abhidhamma, dengan demikian, dikenal sebagai "teori penjelasan dhamma".[133][134] "Dhamma" telah diterjemahkan sebagai "faktor-faktor" (Collett Cox), "karakteristik psikis" (Bronkhorst), "peristiwa psiko-fisik" (Noa Ronkin), dan "fenomena" (Nyanaponika Thera).[135][136]

 
Ledi Sayadaw adalah salah seorang cendekiawan Abhidhamma terkenal abad ke-20 sekaligus guru meditasi.

Menurut seorang cendekiawan Sri Lanka, Y. Karunadasa, dhamma ("prinsip" atau "unsur") adalah "items yang dihasilkan ketika proses analisis dibawa ke batas tertingginya".[137] Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa dhamma-dhamma mempunyai eksistensi yang independen, sebab dhamma-dhamma dipostulatkan "hanya untuk tujuan deskriptif".[138] Noa Ronkin mengartikan dhamma sebagai "unsur-unsur pengalaman indrawi; 'komponen' tak terpisahkan yang membentuk dunia seseorang, meskipun dhamma-dhamma bukan isi mental statis dan tentu saja bukan substansi."[139] Dengan demikian, dalam Abhidhamma Theravāda, meskipun dhamma merupakan unsur utama pengalaman, dhamma tidak dilihat sebagai hakikat, esensi, atau hal-hal khusus yang berdiri sendiri, sebab dhamma itu kosong (suñña) dari suatu diri atau roh (attā) dan terkondisi.[140] Hal ini dijabarkan dalam kitab Paṭisambhidāmagga yang menyatakan bahwa dhamma kosong dari keberadaan tersendiri atau sabhāva (sabhāvena suññam).[141]

Menurut Ronkin, tradisi Abhidhamma Pāli yang kanonis tetap pragmatis, psikologis, dan "tidak terlalu tertarik pada ontologi". Pendekatan ini kontras dengan tradisi Abhidhamma dalam aliran Sarvāstivāda. Paul Williams juga mencatat bahwa Abhidhamma tetap berfokus pada kepraktisan meditasi vipassanā dan membiarkan ontologi "relatif belum dieksplorasi".[142] Namun, Ronkin mencatat bahwa kitab subkomentar Theravāda (ṭīkā) yang lebih baru menunjukkan pergeseran doktrinal ke arah realisme ontologis dari fokus epistemik dan praktis sebelumnya.[143]

Di sisi lain, Y. Karunadasa berpendapat bahwa tradisi realisme bermula dari diskursus-diskursus (sutta) paling awal, dan bukan hanya berkembang pada kitab-kitab subkomentar Theravāda yang muncul belakangan saja:

Jika kita mendasarkan diri pada kitab-kitab Nikāya Pali, maka kita harus dipaksa untuk menyimpulkan bahwa ajaran Buddha itu realistis. Tidak ada penolakan eksplisit di mana pun terhadap dunia eksternal. Tidak ada pula bukti positif yang menunjukkan bahwa dunia adalah ciptaan pikiran atau sekadar proyeksi pikiran subjektif. Bahwa ajaran Buddha mengakui keberadaan materi di luar pikiran dan dunia eksternal secara jelas ditunjukkan oleh kitab-kitab tersebut. Di seluruh diskursus, ajaran Buddha menggunakan bahasa realisme. Seluruh ajaran dan disiplin praktis Buddha, yang mengarah pada pencapaian Nibbāna sebagai tujuan akhirnya, didasarkan pada pengakuan terhadap dunia materi dan makhluk hidup sadar yang hidup di dalamnya.[144]

Abhidhamma Theravāda menyatakan bahwa secara total ada 82 jenis dhamma, 81 di antaranya berkondisi (saṅkhata), sementara satu tidak berkondisi, yaitu Nibbāna (Nirwana). Delapan puluh satu dhamma berkondisi dibagi menjadi tiga kategori besar: kesadaran (citta), faktor mental (cetasika), dan materi atau fenomena fisik (rūpa).[145] Oleh karena tidak ada dhamma yang eksis secara mandiri, setiap dhamma kesadaran, yang dikenal sebagai citta, muncul secara terkait atau saling bergantung (sampayutta) dengan setidaknya tujuh faktor mental universal (sabbacittasādhāraṇa cetasika).[146] Dalam Abhidhamma, semua peristiwa kesadaran dilihat sebagai sesuatu yang dicirikan oleh intensionalitas dan tidak pernah terjadi secara terpisah.[145] Sebagian besar filsafat Abhidhamma membahas tentang pengategorian berbagai kesadaran dan faktor-faktor mental yang menyertainya serta hubungan-hubungan terkondisinya (paccaya).[146]

Kosmologi

sunting
 
Sakka di surga Tavatiṁsa, Wat Yang Thong, Songkhla, Thailand.
 
Lukisan Burma terkait pemandangan neraka.

Tipiṭaka Pāli menguraikan sistem kosmologi hierarkis dengan berbagai alam eksistensi (bhava, bhūmi, atau loka) yang ke dalamnya makhluk hidup dapat terlahir kembali tergantung pada perbuatan masa lalu dan masa kini mereka. Perbuatan baik menuntun seseorang ke alam yang lebih tinggi, perbuatan buruk menuntun ke alam yang lebih rendah.[147][148] Namun, bahkan bagi para dewa (deva) di alam yang lebih tinggi, seperti Indra, masih ada kematian, kehilangan, dan penderitaan.[149]

Kategori utama dari alam eksistensi adalah:[147][148]

  • Arūpa-bhava, alam nonmateri atau tak berwujud. Alam-alam ini terkait dengan empat keadaan meditatif (jhāna) nonomateri, yaitu: ruang tak terbatas, kesadaran tak terbatas, kehampaan tak terbatas, dan bukan persepsi maupun non-persepsi. Makhluk di alam ini hidup sangat lama (ribuan kappa).
  • Rūpa-bhava, alam bentuk. Alam-alam ini dikaitkan dengan empat keadaan penyerapan meditatif (jhāna) dan mereka yang mencapai meditasi ini terlahir kembali di alam-alam ini.
  • Kāma-bhava, alam keinginan indrawi. Alam-alam ini mencakup berbagai alam eksistensi, seperti: berbagai neraka (niraya) yang tidak memiliki kebahagiaan, alam binatang (tiracchāna), hantu kelaparan (peta), alam manusia (manussa), dan berbagai alam surga (sagga) tempat tinggal para dewa (seperti Tavatiṁsa dan Tusita) di luar alam brahma yang termasuk dalam rūpa-bhava.

Berbagai alam eksistensi ini dapat ditemukan dalam sistem dunia yang tak terhitung jumlahnya (loka-dhātu). Sistem dunia tersebut merupakan sesuatu yang terbentuk, berkembang, menyusut, dan hancur secara siklus dalam rentang waktu yang sangat luas (ukuran dalam kappa). Kosmologi ini mirip dengan sistem India kuno lainnya, seperti kosmologi Jain.[148] Seluruh siklus multisemesta kelahiran dan kematian yang konstan ini disebut samsara. Di luar sistem samsara ini, terdapat Nibbāna (secara harfiah berarti "menghilang, padam"), suatu realitas transenden dan tanpa kematian (amata) yang merupakan pembebasan total dan final (vimutti) dari semua penderitaan (dukkha) dan kelahiran kembali.[150]

Soteriologi dan Buddhologi

sunting
Empat tingkat kemuliaan sesuai Sutta Piṭaka.
Bodhi Punarbawa Belenggu yang disingkirkan
sotāpanna ± tujuh kali;
manusia
atau dewa
  1. pandangan
    identitas
    (lihat anatta)
  2. keraguan
    pada Triratna
  3. kemelekatan
    pada ritual
    dan adat
belenggu
rendah
sakadāgāmi sekali lagi;
manusia
anāgāmi sekali lagi,
suddhāvāsa
arahat tidak ada belenggu
tinggi

Menurut ajaran Theravāda, pembebasan dari penderitaan (yaitu Nibbāna) dicapai dalam empat tahap kecerahan (bodhi) atau empat tingkat kemuliaan:[web 2][web 3]

  1. Pemasuk arus (sotāpanna): mereka yang telah menghancurkan tiga belenggu pertama (pandangan salah tentang diri atau roh, keraguan, dan kemelekatan terhadap ritual dan adat);[web 4][web 5]
  2. Yang kembali sekali lagi (anāgāmi): mereka yang telah menghancurkan tiga belenggu pertama dan telah melemahkan belenggu nafsu kehausan dan niat jahat;
  3. Yang tak kembali lagi (sakadāgāmi): mereka yang telah menghancurkan lima belenggu rendah, yang mengikat makhluk-makhluk di dunia indrawi;[151]
  4. Arahat (secara harfiah "terhormat" atau "berharga"): mereka yang telah menyadari Nibbāna dan terbebas dari semua pengotor batin, termasuk seluruh belenggu. Mereka telah meninggalkan semua ketidaktahuan, nafsu kehausan atas eksistensi, kebingungan (uddhacca), dan kesombongan (māna).[151]

Dalam ajaran Buddhisme Theravāda, seorang Sammāsambuddha (biasanya dipersingkat sebagai "Buddha") adalah makhluk berakal yang telah menemukan jalan keluar dari samsara sendiri, telah mencapai Nibbāna, dan kemudian menyediakan jalan tersebut bagi orang lain melalui ajarannya (dikenal sebagai "memutar roda Dhamma"). Seorang Buddha juga diyakini memiliki kekuatan dan kemampuan luar biasa (abhiññā), seperti kemampuan membaca pikiran dan terbang di udara.[152]

Kitab-kitab Theravāda menggambarkan Buddha Gotama sebagai Buddha terakhir sejauh ini dalam rangkaian daftar Buddha-Buddha sebelumnya yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Kitab ini juga menyebutkan kehadiran Buddha masa depan, bernama Metteyya.[153] Secara tradisional, aliran Theravāda juga menolak gagasan bahwa ada banyak Buddha yang aktif di dunia pada saat yang sama.[154]

 
Sebuah manuskrip bergambar Burma yang menggambarkan pertemuan Sumedha (seorang petapa yang merupakan individu calon Buddha Gotama di kehidupan lampau) dengan Buddha Dīpaṅkara.

Mengenai pertanyaan tentang bagaimana makhluk hidup menjadi seorang Buddha, aliran Theravāda juga mencakup penyajian jalan ini. Memang, menurut Buddhaghosa, ada tiga jalan soteriologis utama: jalan para Buddha ([sammāsam-]buddhayāna); jalan para Buddha Diam (paccekabuddhayāna); dan jalan para pengikut [Buddha] (sāvakayāna).[155]

Akan tetapi, tidak seperti Buddhisme Mahāyāna, Theravāda beranggapan bahwa jalan Buddha (di sini merujuk pada Sammāsambuddha, bukan Paccekabuddha atau Arahat) tidak diperuntukkan bagi semua orang; dan makhluk yang berada di jalan Buddha (bodhisatta) cukup langka.[156] Dalam Mahāyāna, bodhisatta merujuk pada makhluk yang telah mengembangkan keinginan untuk menjadi Buddha, sedangkan Theravāda (seperti aliran Buddhis awal lainnya) mendefinisikan bodhisatta sebagai seseorang yang telah membuat tekad (abhinīhāra) untuk menjadi Buddha di hadapan Buddha yang masih hidup, dan juga telah menerima konfirmasi dari Buddha tersebut bahwa mereka akan mencapai Kebuddhaan.[157] Kitab Cariyāpiṭaka (bagian Khuddaka Nikāya) karya Dhammapāla adalah kitab Theravāda yang berfokus pada jalan para Buddha. Selain itu, kitab Nidānakathā dan Buddhavaṃsa juga merupakan kitab-kitab Theravāda yang membahas jalan Buddha.[157]

Perkembangan modern

sunting

Era modern menyaksikan perkembangan baru dalam penafsiran-penafsiran Theravāda karena pengaruh pemikiran Barat. Seperti yang ditulis Donald K. Swearer:

Meskipun pendidikan monastik masih didasarkan pada studi kitab-kitab Buddhis, Dhamma, dan bahasa Pali, kurikulum perguruan tinggi dan universitas monastik juga mencerminkan materi pelajaran dan disiplin ilmu yang terkait dengan pendidikan Barat.[158]

Tren modernis buddhis dapat ditelusuri ke tokoh-tokoh, seperti Anagarika Dhammapala, Raja Mongkut, dan perdana menteri pertama Burma, U Nu.[159] Mereka mempromosikan bentuk Buddhisme yang sesuai dengan rasionalisme dan sains, serta menentang takhayul dan praktik-praktik agama rakyat tertentu. Buku karya Walpola Rahula, "What the Buddha Taught" ("Inilah Dhamma") dipandang oleh para cendekiawan sebagai pengantar pemikiran Buddhisme modernis dan buku tersebut terus digunakan secara luas di berbagai universitas.[158]

Fenomena modern lainnya adalah filsuf buddhis yang mengenyam pendidikan di Barat, seperti K. N. Jayatilleke (murid Wittgenstein di Cambridge) dan Hammalawa Saddhatissa (yang meraih gelar Ph. D. di Edinburgh), yang kemudian menulis karya-karya modern tentang filsafat Buddhis (Early Buddhist Theory of Knowledge, 1963, dan Buddhist Ethics, 1987). Henepola Gunaratana adalah cendekiawan Theravāda modern lainnya yang mempelajari filsafat di Barat (di sebuah universitas di Amerika). Pertemuan modern dengan misionaris Kristen juga menghasilkan perdebatan baru (seperti perdebatan Panadura) dan karya doktrinal yang ditulis untuk membela Buddhisme atau menyerang gagasan-gagasan Kristen, seperti "A Buddhist Critique of the Christian Concept of God" (1988) karya Gunapala Dharmasiri.

Ada pula beberapa cendekiawan Theravāda modern yang mengambil perspektif kritis historis terhadap sastra dan ajaran-ajaran Theravāda, dengan mencoba memahami perkembangan historisnya. Beberapa tokoh ini, seperti David Kalupahana, Buddhadasa, dan Bhikkhu Sujato, telah mengkritik komentator Theravāda tradisional, seperti Buddhaghosa, atas inovasi doktrinal mereka yang, dalam beberapa kesempatan, berbeda secara signifikan dari kitab-kitab Buddhis awal.[160][161][162]

Era modern juga menyaksikan karya-karya Buddhis baru tentang topik-topik yang dihindari oleh umat Buddha pra-modern, seperti Buddhisme yang terjun aktif dan ekonomi Buddhis. Para pemikir, seperti Buddhadasa, Sulak Sivaraksa, Prayudh Payutto, Neville Karunatilake, dan Padmasiri de Silva telah membahas topik-topik ini. Kajian modern dalam bahasa-bahasa Barat oleh para biksu Barat, seperti Nyanatiloka, Nyanaponika, Nyanamoli, Bhikkhu Bodhi, dan Analayo merupakan perkembangan terkini lainnya dalam dunia Theravāda.

Praktik (paṭipatti)

sunting
 
Roda Dhamma dengan delapan ruas biasanya melambangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Dasar kitab suci

sunting

Dalam Tripitaka Pali, jalan (magga) atau cara (pāṭipada) praktik Buddhisme dijelaskan dengan berbagai cara, salah satu kerangka yang paling banyak digunakan dalam Theravāda adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan:

"Sang Bhagavā berkata, "Sekarang, para bhikkhu, apakah Jalan Mulia Berunsur Delapan itu? Pandangan benar, tekad benar, ucapan benar, tindakan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar."[web 6]

Jalan Mulia Berunsur Delapan juga dapat diringkas sebagai Tiga Disiplin Mulia yaitu sīla (perilaku moral atau disiplin), samādhi (meditasi atau konsentrasi), dan paññā (kebijaksanaan atau pemahaman).[web 7][163][web 8]

Ortodoksi Theravāda mengambil tujuh tahap pemurnian sebagaimana diuraikan dalam kitab Visuddhimagga sebagai garis besar dasar jalan yang harus diikuti. Visuddhimagga, sebuah summa (rangkuman) doktrinal Theravāda Sinhala yang ditulis pada abad kelima oleh Buddhaghosa, menjadi catatan ortodoks tentang jalan Theravāda menuju pembebasan di Sri Lanka setelah abad ke-12 dan pengaruh ini menyebar ke negara-negara Theravāda lainnya.[164] Kitab tersebut memberikan daftar tujuh pemurnian dalam tiga bagian:

  • Bagian pertama (bagian 1) menjelaskan tentang aturan-aturan disiplin, dan metode untuk menemukan tempat yang tepat untuk berlatih, atau cara bertemu dengan guru yang baik.
  • Bagian kedua (bagian 2) menjelaskan praktik meditasi samatha (menenangkan) dengan penjelasan objek demi objek (lihat Kammaṭṭhāna untuk daftar empat puluh objek meditasi tradisional). Di bagian ini juga terdapat penjelasan berbagai tahap samādhi.
  • Bagian ketiga (bagian 3–7) adalah uraian tentang lima gugusan (khandha), landasan indra (āyatana), Empat Kebenaran Mulia, Kemunculan Bersebab, dan praktik meditasi vipassanā (kebijaksanaan) melalui pengembangan kebijaksanaan. Bagian ini menekankan berbagai bentuk pengetahuan yang muncul karena praktik tersebut. Bagian ini menunjukkan upaya analisis hebat yang khusus dari filosofi Buddhis.

Kerangka dasar ini didasarkan pada tiga disiplin (sīla, samādhi, dan paññā). Penekanannya adalah pada pemahaman terhadap trilaksana yang pada akhirnya mengarah ke lenyapnya ketidaktahuan. Pemahaman menghancurkan sepuluh belenggu dan menuntun ke Nibbāna.

Theravādin percaya bahwa setiap individu bertanggung jawab secara pribadi untuk mencapai pencerahan dan pembebasan diri mereka sendiri, masing-masing bertanggung jawab atas karma dan buah karma (tindakan dan konsekuensi) mereka sendiri. Menerapkan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman langsung dan realisasi pribadi lebih ditekankan oleh Sang Buddha.

Derma dan sila

sunting

Bederma (dāna) merupakan kebajikan penting dalam ajaran Buddha. Komunitas biarawan dipandang sebagai ladang yang paling berjasa untuk menghasilkan buah karma baik.

Sīla, yang berarti sila atau perilaku moral, utamanya didefinisikan sebagai ucapan yang benar, tindakan yang benar, dan mata pencaharian yang benar. Hal ini terutama dipahami melalui ajaran tentang kamma. Dalam ajaran Theravāda, perbuatan dengan kehendak atau niat sebelumnya sangat memengaruhi pengalaman seseorang saat ini. Perbuatan yang disengaja apa pun yang dilakukan akan memiliki konsekuensi di masa mendatang, baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.[165] Niat atau kehendak (cetanā) merupakan inti dari konsep kamma. Perbuatan yang dilakukan dengan niat baik, meskipun hasilnya buruk, tidak akan memiliki konsekuensi kamma negatif.

Beberapa daftar sila atau latihan moral (sikkhāpada) mengarah pada tindakan yang benar. Setelah berlindung pada Triratna, umat Buddhisme Theravāda awam secara tradisional mengambil niat pengamalan Pancasila (baik seumur hidup atau untuk waktu terbatas) di hadapan Sangha.[166] Umat awam juga terkadang mengambil niat pengamalan Astasila yang diperluas dan mencakup penjagaan kesucian selama hari-hari khusus, seperti uposatha.

Melakukan perbuatan baik merupakan ciri penting lain dari etika Buddhisme Theravāda. Melakukan hal tersebut dikatakan menghasilkan "jasa kebajikan" (puñña) yang berpotensi menghasilkan kelahiran kembali yang lebih baik. "Sepuluh jenis kebajikan" merupakan daftar umum perbuatan baik:[167]

  1. Bederma (dāna): biasanya melibatkan penyediaan "empat kebutuhan pokok" bagi para biksu; makanan, pakaian, tempat tinggal, dan obat-obatan; namun, memberi kepada orang yang membutuhkan dan beramal juga dianggap sebagai dāna.
  2. Sila, moralitas, atau akhlak (sīla): menjaga Pancasila dan secara umum menahan diri dari melakukan hal-hal yang merugikan.
  3. Meditasi (bhāvanā).
  4. Rasa hormat (apaciti): menghormati orang lain; menunjukkan rasa hormat yang pantas, khususnya kepada Buddha, Dhamma dan Sangha; dan kepada orang tua. Biasanya dilakukan dengan menyatukan kedua tangan dalam añjali mudrā dan, terkadang, dengan namaskara.
  5. Pelayanan (veyyāvacca): memberikan layanan kepada orang lain; merawat orang lain atau yang membutuhkan.
  6. Persembahan kebajikan atau pelimpahan jasa (pattānuppadāna atau pattidāna): melakukan perbuatan baik atas nama seseorang yang telah meninggal atau atas nama semua makhluk hidup.
  7. Ungkapan kebahagiaan (abbhanumodanā atau pattanumodanā): bersukacita atas jasa perbuatan baik yang dilakukan oleh orang lain; ini umum dalam kegiatan yang dilakukan bersama-sama.
  8. Pengajaran Dhamma (Dhammadesanā): berkhotbah atau berbagi Dhamma; pemberian Dhamma dipandang sebagai bentuk pemberian tertinggi (Dhammapada 354).
  9. Pendengaran Dhamma (Dhammasavana)
  10. Pelurusan pandangan (diṭṭhijukamma): memiliki pandangan benar (sammādiṭṭhi); terutama terkait Empat Kebenaran Mulia dan trilaksana.

Meditasi

sunting
 
Biksu Theravādin sedang bermeditasi di Bodh Gaya (Bihar, India).

Meditasi (bahasa Pali: bhāvanā; secara harafiah berarti "menyebabkan menjadi" atau pengembangan) berarti pengembangan batin seseorang secara positif.

Jenis-jenis meditasi

sunting

Praktik meditasi Buddhisme Theravāda sangat bervariasi dalam teknik dan objeknya.[168] Saat ini, terdapat pula berbagai tradisi praktik meditasi Theravāda, seperti gerakan Vipassanā Burma, Tradisi Hutan Thailand, Borān Kammaṭṭhāna ('praktik kuno') yang esoteris, tradisi Weikza Burma, tradisi Dhammakāya, dan gerakan Insight Meditation Barat.

Praktik meditasi Buddhisme Theravāda atau bhāvanā (pengembangan batin atau meditasi) dikategorikan ke dalam dua kategori besar: samatha bhāvanā (meditasi ketenangan) dan vipassanā bhāvanā (meditasi pandangan terang, meditasi penyelidikan).[web 9] Awalnya, ini merujuk pada efek atau kualitas meditasi, tetapi setelah masa Buddhaghosa, istilah-istilah tersebut juga merujuk pada dua jenis atau jalan meditasi (yāna) yang berbeda.[169][170][web 10]

Samatha ("ketenangan") terdiri dari teknik meditasi yang memfokuskan pikiran pada satu objek, pikiran, atau gāthā, yang mengarah pada samādhi ("konsentrasi"). Dalam Theravāda tradisional, teknik ini dianggap sebagai dasar untuk meditasi vipassanā ("pandangan terang"). Dalam tradisi Theravāda, bahkan dalam Nikāya Pāli, empat jhāna dianggap sebagai praktik samatha. Langkah kedelapan dan terakhir dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, Samādhi Benar, sering didefinisikan sebagai empat jhāna.[171] Dalam Nikāya Pāli, jhāna digambarkan terjadi sebelum kecerahan Sang Buddha, yang mengubah statusnya menjadi makhluk yang tercerahkan.[web 11] Namun, penafsiran jhāna sebagai konsentrasi dan ketenangan yang terpusat mungkin merupakan penafsiran ulang di kemudian hari yang menghilangkan pemaknaan tujuan asli jhāna.[172]

Vipassanā ("kebijaksanaan", "penglihatan jernih") merujuk pada praktik yang bertujuan untuk mengembangkan pemahaman atau pengetahuan batin tentang hakikat fenomena (dhamma), terutama karakteristik dukkha, anatta, dan anicca yang dipandang berlaku secara universal pada semua fenomena yang terkondisi (saṅkhata-dhamma). Vipassanā juga digambarkan sebagai kebijaksaaan terkait Kemunculan Bersebab, lima gugusan, landasan indra, dan Empat Kebenaran Mulia.[173][170] Meditasi jenis ini adalah fokus utama gerakan Vipassanā Burma modern. Di negara-negara Barat, hal ini dilengkapi dengan pengembangan empat sifat luhur (brahmavihārā); dan pengembangan cinta kasih (loving-kindness) dan kasih sayang (compassion).[174][175]

Latihan vipassanā dimulai dengan tahap persiapan, yaitu latihan sila atau moralitas dengan melepaskan pikiran dan keinginan duniawi.[176][177] Praktisi kemudian melakukan meditasi ānāpānasati, yaitu perhatian penuh pada pernapasan yang dijelaskan dalam Satipaṭṭhāna Sutta dengan "pergi ke hutan dan duduk di bawah pohon, lalu sekadar memperhatikan napas". Jika napas panjang, perhatikan bahwa napas itu panjang, jika napas pendek, perhatikan bahwa napas itu pendek.[178][179] Dalam “Metode Burma Baru” praktisi memperhatikan setiap fenomena mental atau fisik yang muncul, terlibat dalam vitakka (penempelan awal pikiran) dengan mencatat atau menamai fenomena fisik dan mental (“bernapas, bernapas”) tanpa melibatkan fenomena tersebut dengan pemikiran konseptual teoretis.[180][181] Dengan memperhatikan munculnya fenomena fisik dan mental, praktisi menjadi sadar bagaimana kesan indra muncul dari kontak antara indra dan fenomena fisik dan mental,[180] seperti yang dijelaskan dalam lima gugusan dan Kemunculan Bersebab (paṭiccasamuppāda). Praktisi juga menjadi sadar akan perubahan terus-menerus yang terjadi dalam pernapasan, dan timbul serta lenyapnya perhatian penuh.[182] Perhatian ini disertai dengan refleksi atas sebab-akibat dan ajaran Buddha lainnya yang mengarah pada kebijaksanaan mengenai dukkha, anatta, dan anicca.[183][182] Ketika ketiga ciri tersebut telah dipahami, maka refleksi pun mereda dan proses memperhatikan pun semakin cepat; memperhatikan fenomena secara umum tanpa harus menamai fenomena tersebut.[184][185][186]

Menurut Vajiranāṇa Mahāthera, seorang biksu yang menulis dari sudut pandang tradisional dan berbasis kitab, dalam Tripitaka Pāli, apakah seseorang memulai praktik dengan cara samatha atau dengan cara vipassanā umumnya dilihat tergantung pada temperamen atau kecenderungan orang tersebut. Menurut Vajiranāṇa Mahathera, secara umum diyakini bahwa ada dua jenis individu. Mereka yang memiliki watak penuh gairah (atau mereka yang memasuki jalan buddhis dengan keyakinan) mencapai tingkat arahat melalui vipassanā yang didahului oleh samatha. Mereka yang memiliki watak skeptis (atau mereka yang memasuki jalan dengan kebijaksanaan atau intelek) mencapainya melalui samatha yang didahului oleh vipassanā.[170]

Tujuan meditasi

sunting

Secara tradisional, tujuan akhir dari praktik ini adalah untuk mencapai kebijaksanaan duniawi dan adiduniawi. Kebijaksanaan duniawi adalah kebijaksanaan atas tiga tanda keberadaan.[web 10] Pengembangan kebijaksanaan ini mengarah pada empat jalan dan buah adiduniawi. Pengalaman ini terkait dengan pemahaman langsung Nibbāna.[web 10] Kebijaksanaan adiduniawi (lokuttara) mengacu pada sesuatu yang melampaui samsara.[web 10]

Selain Nibbāna, ada berbagai alasan mengapa ajaran Buddhisme Theravāda tradisional menganjurkan meditasi, beberapa di antaranya termasuk kelahiran kembali yang baik, kekuatan supranormal, perlawanan terhadap rasa takut, dan pencegahan bahaya. Penganut Theravāda modernis akhir-akhir ini cenderung berfokus pada manfaat psikologis dan kesejahteraan psikologis.[187]

Perkembangan sejarah dan sumbernya

sunting

Praktik meditasi Theravāda dapat ditelusuri kembali ke penafsir abad ke-5, Buddhaghosa, yang mensistematisasikan meditasi Theravāda klasik, membaginya menjadi jenis samatha dan vipassanā, dan mencantumkan 40 objek berbeda (dikenal sebagai "kammaṭṭhāna", "tempat kerja") dalam mahakaryanya, kitab Visuddhimagga.[188][189] Kitab ini tetap menjadi pusat pembelajaran dan praktik meditasi Theravāda. Kitab komentar karya Buddhaghosa atas Satipaṭṭhāna Sutta ("Diskursus tentang Landasan Perhatian Penuh"), serta kitab-kitab sumbernya sendiri, juga merupakan sumber penting lainnya untuk meditasi dalam tradisi ini.[190] Karya Buddhaghosa banyak bersumber dari Sutta Pali dan juga Abhidhamma Pali. Kate Crosby mencatat bahwa karya Buddhaghosa juga "secara eksplisit merujuk pada keberadaan panduan meditasi rahasia pada masa itu, tetapi tidak pada isinya."[190]

Mengenai meditasi Theravāda pasca kitab Visuddhimagga, menurut Kate Crosby,

Dalam kurun waktu sejak munculnya Visuddhimagga hingga masa kini, telah terdapat banyak kitab yang membahas meditasi, baik panduan maupun risalah deskriptif. Banyak kitab yang ditemukan dalam koleksi manuskrip berhubungan dengan meditasi, beberapa pada satu subjek sederhana, seperti ingatan akan kualitas-kualitas Buddha, yang lainnya lebih kompleks. Sedikit penelitian telah dilakukan untuk menilai keragamannya. Salah satu kesulitannya adalah bahwa panduan meditasi seperti itu sering kali berupa campuran bahasa klasik, yaitu Pali, dan bahasa sehari-hari yang mungkin atau mungkin bukan bahasa yang digunakan saat ini. Selain itu, panduan yang sebenarnya sering kali berisi perintah pendek atau pengingat alih-alih penjelasan yang mendalam. Dalam beberapa tahun terakhir, telah ditemukan bahwa masih ada sejumlah besar panduan dan kitab terkait yang berkaitan dengan sistem meditasi yang disebut–antara lain–borān kammaṭṭhāna atau yogāvacara. Kitab sumbernya, Mūla-kammaṭṭhāna "praktik meditasi asli, fundamental atau dasar," beredar dengan sejumlah judul yang berbeda, atau tanpa judul, di seluruh dunia buddhis TaiLaoKhmer dan Sri Lanka. Beberapa versi kitab ini mencakup daftar kammaṭṭhāna sederhana dan dari perspektif itu tampak sepenuhnya sesuai dengan kitab Visuddhimagga atau Abhidhamma Theravada. Versi lainnya berisi narasi-narasi tambahan, penjelasan tentang simbolisme, dan lokasi somatis yang terlibat dalam praktik meditasi. Narasi-narasi tersebut memperjelas bahwa kita berurusan dengan teknik-teknik praktik tambahan yang tidak dijelaskan dalam Tripitaka Pali atau Visuddhimagga.[190]

Menurut Crosby, tradisi meditasi borān kammaṭṭhāna atau yogāvacara yang esoteris merupakan bentuk meditasi yang dominan di dunia Theravāda Esoteris kuno selama abad ke-18, dan mungkin sudah ada sejak abad ke-16. Crosby mencatat bahwa tradisi meditasi ini melibatkan kumpulan simbol, metode somatis, dan visualisasi yang kaya yang mencakup "internalisasi atau manifestasi fisik dari aspek-aspek jalan Theravāda dengan [perhatian pada] titik-titik di tubuh antara lubang hidung dan pusar."[191] Meskipun ada unsur-unsur baru dalam tradisi meditasi ini, studi terkait kitab-kitab penjelasan borān kammaṭṭhāna mengungkapkan bahwa teknik tersebut berhubungan erat dengan Abhidhamma Theravada dan karya-karya Buddhaghosa.[192] Reformasi modernis yang menekankan studi Tripitaka Pali, pergeseran dukungan negara terhadap tradisi lain, dan perang modern di Asia Tenggara Daratan menyebabkan kemunduran tradisi ini, dan kini hanya bertahan di beberapa wihara di Kamboja dan Thailand.[193]

 
Gambar diri Mahasi Sayadaw, seorang biksu Burma beraliran Theravāda yang tersohor.

Selama abad ke-19 dan ke-20, dunia Theravāda menyaksikan kebangkitan modernis dan penemuan kembali praktik meditasi, seperti yang dicontohkan oleh gerakan Vipassanā Burma.[194][195] Menurut Buswell, vipassanā "tampaknya sudah tidak dipraktikkan lagi" pada abad ke-10 karena adanya kepercayaan bahwa Buddhisme telah merosot, dan bahwa pembebasan tidak dapat dicapai lagi sampai kedatangan Metteyya.[196] Praktik ini dihidupkan kembali di Myanmar (Burma) pada abad ke-18 oleh Medawi (1728–1816) dan oleh tokoh-tokoh berikutnya, seperti Ledi Sayadaw dan Mahāsī Sayadaw, selama abad ke-19 dan ke-20. Tokoh-tokoh Burma ini menemukan kembali meditasi vipassanā dan mengembangkan teknik meditasi yang disederhanakan berdasarkan Satipaṭṭhāna Sutta, Visuddhimagga, dan kitab-kitab lainnya, yang menekankan satipaṭṭhāna dan vipassanā murni.[194][195] Teknik-teknik ini dipopulerkan secara global oleh gerakan Vipassanā pada paruh kedua abad ke-20.

Gerakan kebangkitan serupa berkembang di Thailand, seperti Tradisi Hutan Thailand dan meditasi Dhammakaya. Tradisi-tradisi ini dipengaruhi oleh bentuk-bentuk borān kammaṭṭhāna yang lebih kuno.[197] Thailand dan Kamboja juga melihat upaya untuk melestarikan dan menghidupkan kembali tradisi meditasi kuno “borān kammaṭṭhāna”.[198] Di Sri Lanka, tradisi buddhis baru dari Amarapura dan Rāmañña Nikāya mengembangkan bentuk meditasi mereka sendiri berdasarkan Sutta Pali, Visuddhimagga, dan panduan lainnya, sementara borān kammaṭṭhāna sebagian besar telah menghilang pada akhir abad ke-19.[199]

Meskipun gerakan Vipassanā telah memopulerkan meditasi, baik di negara-negara Theravāda tradisional di kalangan awam, maupun di negara-negara barat, "meditasi memainkan peran yang kecil, jika tidak dikatakan sepele, dalam kehidupan mayoritas biksu Theravāda [saat itu]."[200] Meditasi sangat populer di kalangan umat awam,[201] terutama pada hari besar keagamaan tertentu atau di usia tua, ketika mereka mempunyai lebih banyak waktu luang untuk dihabiskan di wihara.[200] Penganut Buddhisme modernis cenderung menyajikan ajaran Buddha sebagai ajaran yang rasional dan ilmiah, dan hal ini juga memengaruhi cara meditasi vipassanā diajarkan dan disajikan. Hal ini menyebabkan diremehkannya elemen-elemen Theravāda kuno yang dianggap nonempiris dan dikaitkan dengan 'takhayul' oleh beberapa kalangan.[202] Aliran meditasi Theravāda tradisional yang lebih tua yang dikenal sebagai "borān kammaṭṭhāna" masih ada, namun tradisi ini sebagian besar telah disingkirkan oleh gerakan meditasi modernis Buddhis.[193]

Praktik lainnya

sunting
 
Pradaksina mengelilingi candi atau stupa juga merupakan praktik bakti yang umum.

Upasaka-upasika dan para biksu juga melakukan berbagai jenis praktik keagamaan setiap hari atau selama hari raya Buddhisme. Salah satunya adalah mendirikan tempat pemujaan (altar) Sang Buddha dengan gambar atau rupang Buddha untuk praktik bakti di rumah, yang menyerupai tempat pemujaan yang lebih besar di wihara.[203] Biasanya, di altar-altar tersebut dipersembahkan lilin, dupa, bunga, dan benda-benda lainnya.[203] Gerakan penghormatan juga dilakukan di depan rupang dan tempat pemujaan Buddha, terutama salam hormat dengan tangan (añjalikamma), dan sujud lima anggota tubuh (pañc'anga-vandana).[203]

Bentuk-bentuk chanting buddhis juga banyak dipraktikkan oleh para biksu dan umat awam, yang mungkin melafalkan frasa-frasa terkenal, seperti kalimat perlindungan, Mettā Sutta, dan Maṅgala Sutta di depan wihara. Chanting juga dapat menjadi bagian dari praktik perenungan (anussati), yang mengacu pada perenungan berbagai topik, seperti kualitas-kualitas luhur Buddha, Dhamma, dan Sangha; atau lima pokok bahasan untuk perenungan harian (kewajaran usia tua, penyakit, kematian, terpisah dari yang disukai, dan bertemu yang tidak disukai).[203] Hal ini dapat dilakukan sebagai bagian dari ritual puja harian.

Praktik keagamaan penting lainnya adalah perayaan hari raya keagamaan khusus yang dikenal sebagai uposatha yang didasarkan pada kalender lunar. Umat awam biasanya mengambil Astasila saat mengunjungi wihara dan berkomitmen untuk fokus pada praktik-praktik buddhis pada hari itu.[203]

Mempelajari (ganthadhura atau pariyatti) kitab-kitab suci dan mendengarkan ceramah Dhamma oleh para biksu atau guru juga merupakan suatu praktik penting.

Kehidupan awam dan monastik

sunting
 
Seorang biksu Theravādin di Sri Lanka.

Perbedaan antara kehidupan awam dan monastik

sunting

Secara tradisional, Buddhisme Theravāda telah mengamati perbedaan antara praktik-praktik yang cocok untuk umat awam dan praktik yang dilakukan oleh para biksu yang telah ditahbis (di zaman kuno, ada lembaga praktik yang terpisah untuk para biksuni). Meskipun kemungkinan pencapaian signifikan oleh umat awam tidak sepenuhnya diabaikan oleh Theravāda, umumnya umat awam menempati posisi yang kurang menonjol dibandingkan dengan umat awam pada aliran Mahāyāna dan Vajrayāna, dengan kehidupan monastik yang dipuji sebagai suatu metode unggul untuk mencapai Nirwana.[204] Pandangan bahwa Theravāda, tidak seperti aliran Buddhisme lainnya, hanya fokus pada tradisi monastik, bagaimanapun, telah diperdebatkan.[205]

Beberapa cendekiawan Barat secara keliru mencoba mengklaim bahwa Mahāyāna pada dasarnya adalah agama untuk kaum awam dan Theravāda pada dasarnya adalah agama monastik. Baik Mahāyāna maupun Theravāda memiliki komunitas monastik yang kuat sebagai fondasinya, yang hampir identik dalam peraturannya. Aliran-aliran Buddhisme Mahāyāna tanpa komunitas monastik yang terdiri dari biksu dan biksuni yang ditahbiskan sepenuhnya merupakan perkembangan yang relatif baru dan tidak lazim, biasanya didasarkan pada pertimbangan budaya dan sejarah daripada perbedaan dalam ajaran fundamental. Baik Mahāyāna maupun Theravāda juga menyediakan tempat yang jelas dan penting bagi para umat awam.

— Ron Epstein, "Clearing Up Some Misconceptions about Buddhism"[206]

Perbedaan antara biksu yang ditahbiskan dan umat awam—dan juga perbedaan antara praktik yang dianjurkan oleh Tripitaka Pali, dan unsur-unsur agama rakyat yang dianut oleh beberapa biksu—telah memotivasi beberapa cendekiawan untuk menganggap Buddhisme Theravāda terdiri dari beberapa tradisi yang terpisah dan saling tumpang tindih, namun tetap berbeda. Salah satu yang paling menonjol, antropolog Melford Spiro, dalam karyanya Buddhism and Society, membagi Theravāda Burma menjadi tiga kelompok:

  • Buddhisme Apotropaik (berkaitan dengan pemberian perlindungan dari makhluk jahat),
  • Buddhisme Kammatik (berkaitan dengan pemberian pahala untuk kelahiran di masa mendatang), dan
  • Buddhisme Nibbanik (berkaitan dengan pencapaian pembebasan Nibbāna, seperti yang dijelaskan dalam Tipiṭaka).

Ia menekankan bahwa ketiganya berakar kuat dalam Tripitaka Pali. Kategori-kategori ini tidak diterima oleh semua cendekiawan, dan biasanya pembagian tersebut dianggap tidak eksklusif secara kelompok.[butuh rujukan]

Peran umat awam, secara tradisional, utamanya disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang secara umum disebut sebagai pembuatan kebajikan (termasuk dalam kategori Buddhisme Kammatik menurut Spiro). Kegiatan pembuatan kebajikan (merit-making) meliputi pemberian makanan dan kebutuhan pokok lainnya kepada para biksu, memberikan sumbangan ke wihara, membakar dupa atau menyalakan lilin di hadapan rupang Buddha, melantunkan syair-syair pelindung atau syair-syair suci dari Tripitaka Pali, membangun jalan dan jembatan, beramal kepada yang membutuhkan, dan menyediakan air minum bagi orang asing di sepanjang pinggir jalan. Beberapa umat awam selalu memilih untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam urusan keagamaan, sambil tetap mempertahankan status "awam" mereka. Umat awam pria dan wanita yang berdedikasi terkadang bertindak sebagai wali amanat atau penjaga wihara mereka, mengambil bagian dalam perencanaan keuangan dan pengelolaan wihara. Umat awam yang lain mungkin menyumbangkan waktu yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan duniawi para biksu setempat (dengan memasak, membersihkan, memelihara fasilitas wihara, dll.). Kajian kitab suci Pāli dan praktik meditasi kurang umum di kalangan umat awam di masa lalu, meskipun pada abad ke-20, bidang ini telah menjadi lebih populer bagi umat awam, terutama di Thailand.

 
Biksu Thailand berziarah dengan jubah oranye mereka.

Sejumlah biksu senior dalam Tradisi Hutan Thailand, termasuk Ajahn Buddhadasa, Ajahn Maha Bua, Ajahn Plien Panyapatipo, Ajahn Pasanno, dan Ajahn Jayasaro, telah mulai mengajar retret meditasi di luar wihara bagi para umat awam. Ajahn Sumedho, seorang murid Ajahn Chah, mendirikan Amaravati Buddhist Monastery di Hertfordshire, yang memiliki pusat retret khusus untuk umat awam. Sumedho memperluas wiharanya ke Harnham di Northumberland dengan pendirian Aruna Ratanagiri di bawah bimbingan Ajahn Munindo, murid Ajahn Chah lainnya.[butuh rujukan]

Umat awam

sunting

Dalam bahasa Pali, istilah untuk umat awam laki-laki adalah upāsaka, dan upāsikā adalah istilah untuk umat awam perempuan. Salah satu tugas umat awam, sebagaimana diajarkan oleh Sang Buddha, adalah mengurus kebutuhan para biksu/biksuni. Mereka harus memastikan bahwa para biksu/biksuni tidak kekurangan empat kebutuhan pokok: makanan, pakaian, tempat tinggal, dan obat-obatan. Oleh karena baik biksu maupun biksuni tidak diperbolehkan memiliki pekerjaan, mereka bergantung sepenuhnya pada umat awam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebagai imbalan atas amal ini, para biksu-biksuni diharapkan untuk menjalani kehidupan yang patut diteladani.

Di Myanmar dan Thailand, wihara, baik dulu maupun sekarang, masih dianggap sebagai tempat belajar. Wihara Theravādin telah menyediakan pendidikan gratis bagi banyak anak sejak zaman dahulu. Bahkan, saat ini, sekitar setengah dari sekolah dasar di Thailand berlokasi di wihara. Ritual dan upacara keagamaan yang diadakan di wihara selalu disertai dengan kegiatan sosial. Di masa krisis, kepada para biksu-lah para umat awam menyampaikan masalah mereka untuk dimintai nasihat dan para biksu sering kali mengambil peran sebagai mediator dalam sebagian besar perselisihan. Secara tradisional, seorang biksu berpangkat tinggi akan menyampaikan khotbah empat kali sebulan: saat bulan purnama, bulan baru, bulan perbani awal, dan bulan perbani akhir. Umat awam juga memiliki kesempatan untuk belajar meditasi dari para biksu selama waktu-waktu ini.

Seorang umat awam juga dapat mencapai kecerahan. Seperti yang disampaikan oleh Bhikkhu Bodhi, "Sutta dan kitab komentar memang mencatat beberapa kasus umat awam yang mencapai tujuan akhir, Nirwana. Akan tetapi, murid-murid tersebut mencapai tingkat Arahat di ambang kematian atau memasuki tatanan monastik segera setelah pencapaian mereka. Mereka tidak terus tinggal di rumah sebagai perumah tangga Arahat karena tinggal di rumah tidak sesuai dengan keadaan seseorang yang telah memutuskan semua nafsu kehausan."[207]

Di era modern, kini sudah menjadi hal yang umum bagi para pengikut awam untuk berlatih meditasi, menghadiri pusat meditasi awam, dan bahkan bertujuan untuk mencapai kecerahan. Dorongan atas tren ini dimulai di Myanmar dan didukung oleh Perdana Menteri U Nu yang mendirikan Pusat Meditasi Internasional (Indonesian Meditation Center atau IMC) di Yangon.[208] Guru awam modern, seperti U Ba Khin (yang juga merupakan Akuntan Jenderal Union of Burma), mempromosikan meditasi sebagai bagian dari rutinitas harian umat awam.[208] Menurut Donald K Swearer, perkembangan lain dalam Theravāda modern adalah "pembentukan asosiasi Buddhis awam yang sebagian telah mengambil alih tanggung jawab pelayanan sosial yang sebelumnya diasosiasikan dengan wihara".[208] Perkembangan ini termasuk organisasi layanan sosial dan aktivis, seperti Young Men's Buddhist Association of Colombo, All Ceylon Buddhist Congress, Sarvodaya Shramadana milik A. T. Ariyaratne, dan lembaga swadaya masyarakat yang didirikan oleh Sulak Sivaraksa, seperti Santi Pracha.[209]

Kejuruan monastik

sunting
 
Sebuah kuti (gubuk) gua di wihara hutan Theravādin Sri Lanka, Na Uyana Aranya.

Sumber-sumber Theravāda yang berasal dari Sri Lanka abad pertengahan (abad ke-2 SM hingga abad ke-10 M), seperti Mahawangsa, menunjukkan bahwa peran monastik dalam aliran ini sering kali dilihat berada dalam polaritas antara biksu perkotaan (Sinhala: khaamawaasii; Pāli: gāmavasī) di satu sisi dan biksu hutan pedesaan (Sinhala: aranyawaasii; Pali: araññavasi, nagaravasi; juga dikenal sebagai Tapassin) di sisi lain.[210] Para biksu yang berfokus pada pertapaan dikenal dengan nama paṃsukūlika (pemakai jubah kain) dan araññika (penghuni hutan).[211]

Babad Mahawangsa juga menceritakan tentang para biksu hutan yang terkait dengan Mahāvihāra. Kitab komentar Pāli atas Dhammapada menyebutkan pemisahan lain berdasarkan "tugas belajar" dan "tugas merenungkan".[212] Pembagian ini, secara tradisional, dipandang sesuai dengan pemisahan kota dan hutan, dengan para biksu kota berfokus pada panggilan membaca buku (ganthadhura) atau belajar (pariyatti) sementara para biksu hutan lebih condong pada meditasi (vipassanādhura) dan praktik (paṭipatti).[213] Namun ,pertentangan ini tidak konsisten, dan wihara-wihara perkotaan sering mempromosikan praktik meditasi sementara kepada para umat awam. Komunitas biksu hutan juga telah menghasilkan cendekiawan-cendekiawan yang unggul, seperti Island Hermitage oleh Nyanatiloka.[213]

Para biksu terpelajar umumnya menempuh jalur mempelajari dan melestarikan sastra Pali Theravāda.[214] Para biksu hutan cenderung menjadi minoritas di antara para sangha Theravāda dan juga cenderung fokus pada asketisme (dhutaṅga) dan praktik meditasi.[215] Mereka memandang diri mereka sendiri sebagai orang yang hidup lebih dekat dengan cita-cita yang ditetapkan oleh Sang Buddha, dan sering dianggap demikian oleh umat awam, meskipun, pada saat yang sama, sering berada di pinggiran lembaga-lembaga buddhis dan di pinggiran tatanan sosial.[216]

Walaupun perpecahan ini tampaknya telah ada sejak lama di aliran Theravāda, baru pada abad ke-10 terdapat sebuah biara biksu hutan khusus yang disebut "tapavana" yang disebutkan berada di dekat Anuradhapura.[217] Pembagian ini kemudian berlanjut ke seluruh Asia Tenggara seiring dengan penyebaran Theravāda.

Saat ini, terdapat tradisi berbasis hutan di sebagian besar negara Theravāda, termasuk Tradisi Hutan Sri Lanka, Tradisi Hutan Thailand, serta tradisi berbasis hutan yang kurang dikenal di Burma dan Laos, seperti wihara berbasis hutan Burma (taw"yar) oleh Pa Auk Sayadaw.[218] Di Thailand, biksu hutan dikenal sebagai phra thudong (biksu pertapa pengembara) atau phra thudong kammathan (biksu pertapa pengembara praktisi meditasi).[219]

Penahbisan

sunting
 
Samanera aliran Theravāda yang ditahbiskan menjadi seorang biksu di Thailand.

Usia minimum untuk ditahbiskan sebagai biksu Theravāda adalah 20 tahun. Usia tersebut dihitung sejak masa pembuahan seseorang. Mereka yang berusia di bawah ini dapat melakukan upacara tradisional, seperti shinbyu, di Myanmar, untuk ditahbiskan sebagai samanera (sāmaṇera). Samanera mencukur kepala mereka, mengenakan jubah kuning, dan menjalankan Sepuluh Sila. Meskipun tidak ada usia minimum yang ditetapkan secara eksplisit untuk samanera dalam kitab suci, secara tradisional, diterima bahwa anak laki-laki berusia tujuh tahun dapat diterima untuk ditahbiskan. Tradisi ini didasarkan pada kisah putra Sang Buddha, Rāhula, yang diizinkan menjadi samanera pada usia tujuh tahun. Baik biksu maupun biksuni diharapkan untuk mematuhi aturan disiplin tertentu. Biksu mengikuti 227 aturan dan biksuni mengikuti 311 aturan.

Di sebagian besar negara dengan mayoritas penganut Theravāda, merupakan praktik umum bagi para pemuda untuk ditahbiskan sebagai biksu untuk jangka waktu tertentu. Di Thailand dan Myanmar, para pemuda biasanya ditahbiskan untuk retret selama vassa, masa musim hujan selama tiga bulan, meskipun periode penahbisan yang lebih pendek atau lebih panjang juga tidak jarang terjadi. Secara tradisional, penahbisan sementara bahkan lebih fleksibel di kalangan orang Laos. Setelah mereka menjalani penahbisan awal mereka sebagai pemuda, para pria Laos diizinkan untuk ditahbiskan sementara lagi kapan saja, meskipun para pria yang sudah menikah diharapkan untuk meminta izin dari istri mereka. Di seluruh Asia Tenggara, hanya ada sedikit stigma yang melekat pada mereka yang meninggalkan kehidupan wihara. Para biksu, secara teratur, meninggalkan jubah setelah memperoleh pendidikan tertentu, dipaksa oleh kewajiban keluarga, atau memiliki kesehatan yang buruk.

Ditahbiskan sebagai biksu, bahkan untuk waktu yang singkat, dipandang mengandung banyak kebajikan. Dalam banyak budaya Asia Tenggara, penahbisan tersebut dipandang sebagai sarana bagi seorang pemuda untuk "membalas rasa terima kasihnya" kepada orang tuanya atas pekerjaan dan upaya mereka dalam membesarkannya karena jasa dari penahbisannya didedikasikan untuk kesejahteraan mereka. Pria Thailand yang telah ditahbiskan sebagai biksu mungkin dianggap sebagai suami yang lebih matang dan cocok oleh wanita Thailand, yang merujuk pada pria yang telah bertugas sebagai biksu dengan istilah sehari-hari yang berarti "matang" untuk menunjukkan bahwa mereka lebih matang dan siap menikah. Khususnya di daerah pedesaan, penahbisan sementara anak laki-laki dan pemuda secara tradisional menawarkan kesempatan kepada anak laki-laki petani untuk menerima pendidikan gratis di sekolah wihara dengan sponsor dan akomodasi.

Di Sri Lanka, penahbisan sementara tidak dipraktikkan, dan seorang biksu yang meninggalkan ordo tidak disukai tetapi juga tidak dikutuk. Pengaruh sistem kasta yang berkelanjutan di Sri Lanka berperan dalam tabu terhadap penahbisan sementara atau permanen sebagai biksu di beberapa ordo. Meskipun ordo Sri Lanka sering kali diorganisasikan berdasarkan garis kasta, pria yang ditahbiskan sebagai biksu untuk sementara waktu keluar dari sistem kasta konvensional, dan, karenanya, selama menjadi biksu dapat bertindak (atau diperlakukan) dengan cara yang tidak sejalan dengan tugas dan hak istimewa yang diharapkan dari kasta mereka.[butuh rujukan]

Bagi mereka yang lahir di negara-negara Barat yang ingin menjadi biksu atau biksuni Theravāda, adalah mungkin dengan menjalani kehidupan monastik di negara asal mereka, di antara para biksu lainnya di negara-negara Barat, atau dengan bepergian dan bermukim di sebuah wihara di negara-negara Asia, seperti Sri Lanka atau Thailand. Di negara-negara dengan akar Buddhisme Theravāda yang kuat, sering kali terasa lebih mudah dalam mematuhi gaya hidup seorang biksu atau biksuni karena dibutuhkan disiplin yang cukup besar untuk berhasil hidup sesuai dengan aturan dan peraturan nonsekuler yang menjadi ciri khas praktik Buddhisme Theravāda. Misalnya, para biksu Theravāda biasanya diharuskan untuk menjauhkan diri dari kegiatan-kegiatan, seperti bekerja, mengelola uang, mendengarkan musik hiburan, dan memasak. Kewajiban-kewajiban tersebut dapat menjadi tantangan, khususnya di masyarakat dengan mayoritas nonbuddhis.[butuh rujukan]

Beberapa biksu Theravādin yang terkenal adalah Ajahn Mun, Ajahn Chah, Ledi Sayadaw, Webu Sayadaw, Narada Maha Thera, Ajahn Plien Panyapatipo, Buddhadasa, Mahasi Sayadaw, Nyanatiloka Mahathera, Nyanaponika Thera, Preah Maha Ghosananda, U Pandita, Ajahn Sumedho, Ajahn Khemadhammo, Ajahn Brahm, Bhikkhu Bodhi , Ajahn Amaro, Ajahn Sucitto, Ajahn Jayasaro, Bhikkhu Thanissaro, Walpola Rahula Thero, Henepola Gunaratana, Bhaddanta Āciṇṇa, Bhante Yogavacara Rahula, Luang Pu Sodh Candasaro, K. Sri Dhammananda, Sayadaw U Tejaniya dan Bhikkhu Analayo.

Praktik monastik

sunting
 
Seorang biksu melantunkan paritta malam di dalam sebuah wihara yang terletak di dekat kota Kantharalak, Thailand.

Praktiknya biasanya bervariasi di berbagai subaliran (ordo) dan wihara dalam Theravāda. Namun, di wihara hutan yang paling ortodoks, para biksu biasanya meniru praktik dan gaya hidupnya Sang Buddha dan generasi pertama murid-murid-Nya dengan hidup dekat dengan alam di hutan, gunung, dan gua. Wihara hutan masih menjaga tradisi kuno dengan mengikuti tata tertib wihara buddhis secara rinci dan mengembangkan meditasi di hutan terpencil.

Dalam rutinitas harian yang biasa dipraktikkan di wihara selama periode vassa 3 bulan, para biksu akan bangun sebelum fajar dan memulai hari dengan chanting dan meditasi berkelompok. Saat fajar, para biksu akan pergi ke desa-desa sekitar tanpa alas kaki untuk ber-piṇḍapāta dan akan makan di hari itu sebelum tengah hari dengan makanan yang diterima dengan menggunakan tangan. Sebagian besar waktu dihabiskan untuk belajar Dhamma dan meditasi. Terkadang, kepala wihara atau biksu senior akan memberikan ceramah Dhamma kepada para pengunjung. Umat awam yang tinggal di wihara harus mematuhi delapan sila (Astasila) tradisional.

Kehidupan biksu atau biksuni di sebuah komunitas jauh lebih kompleks daripada kehidupan biksu hutan. Dalam masyarakat Theravāda di Sri Lanka, sebagian besar biksu menghabiskan waktu setiap hari untuk mengurus kebutuhan umat awam, seperti berkhotbah bana,[220] menerima sedekah, memimpin upacara pemakaman, mengajarkan Dhamma kepada orang dewasa dan anak-anak, hingga menyediakan layanan sosial kepada masyarakat.

Setelah masa vassa berakhir, banyak biksu akan pergi jauh dari wihara untuk mencari tempat terpencil (biasanya di hutan) tempat mereka dapat menggantung tenda payung sebagai tempat yang cocok untuk pengembangan diri. Ketika mereka pergi mengembara, mereka berjalan tanpa alas kaki dan pergi ke mana pun sesuai keinginannya. Hanya perlengkapan yang diperlukan yang akan dibawa. Perlengkapan ini biasanya terdiri dari mangkuk, tiga jubah, kain mandi, tenda payung, kelambu, ketel air, penyaring air, pisau cukur, sandal, beberapa lilin kecil, dan lentera lilin.

Para biksu tidak menentukan waktu untuk meditasi berjalan dan duduk karena begitu mereka bebas, mereka langsung melakukannya; mereka juga tidak menentukan berapa lama mereka akan bermeditasi. Beberapa dari mereka terkadang berjalan dari senja hingga fajar, sementara di waktu lain mereka mungkin berjalan antara dua dan tujuh jam. Beberapa mungkin memutuskan untuk berpuasa selama berhari-hari atau tinggal di tempat-tempat berbahaya yang menjadi tempat tinggal binatang buas untuk membantu meditasi mereka.

Para biksu yang telah mampu mencapai tingkat pencapaian yang lebih tinggi akan mampu membimbing biksu-biksu muda dan umat awam menuju empat tingkat pencapaian spiritual.

Penahbisan biksuni

sunting
 
Potret diri Dhammananda Bhikkhuni, biksuni Theravādin Thailand pertama setelah punahnya garis penahbisan biksuni.

Beberapa tahun setelah kedatangan Mahinda, biksuni Saṅghamittā, yang juga diyakini sebagai putri Asoka, datang ke Sri Lanka. Ia menahbiskan biksuni pertama di Sri Lanka. Pada tahun 429, atas permintaan kaisar Tiongkok, biksuni dari Anuradhapura dikirim ke Tiongkok untuk mendirikan ordo di sana, yang kemudian menyebar ke seluruh Asia Timur. Prātimokṣa (aturan monastik) dari ordo biksuni dalam Buddhisme Asia Timur adalah Dharmaguptaka, yang berbeda dari prātimokṣa dari aliran Theravāda saat ini; penahbisan khusus Sangha awal di Sri Lanka tidak diketahui, meskipun aliran Dharmaguptaka juga berasal dari Sthāvirīya.

Ordo biksuni tersebut kemudian punah di Sri Lanka pada abad ke-11 dan di Burma pada abad ke-13. Ordo tersebut telah punah sekitar abad ke-10 di wilayah Theravādin lainnya. Penahbisan samaneri juga telah menghilang di negara-negara tersebut. Oleh karena itu, wanita yang ingin hidup sebagai pertapa di negara-negara tersebut harus melakukannya dengan mengambil delapan atau sepuluh sila. Baik wanita awam maupun yang ditahbiskan secara resmi, wanita-wanita ini tidak menerima pengakuan, pendidikan, dukungan finansial, atau status sebagaimana dinikmati oleh pria buddhis di negara mereka. "Pemegang sila" (suatu sebutan untuk wanita yang bukan umat awam, tetapi juga bukan seorang samaneri atau biksuni) ini tinggal di Myanmar, Kamboja, Laos, Nepal, dan Thailand. Secara khusus, dewan pengurus Buddhisme Burma telah memutuskan bahwa tidak boleh ada penahbisan wanita yang sah di zaman modern, meskipun beberapa biksu Burma tidak setuju. Jepang adalah kasus khusus karena, meskipun tidak memiliki biksuni maupun penahbisan samaneri, biarawati pemegang sila yang tinggal di sana menikmati status yang lebih tinggi dan pendidikan yang lebih baik daripada saudara perempuan pemegang sila di tempat lain. Bahkan, mereka yang menetap di Jepang dapat menjadi biksuni dalam aliran Zen.[221] Di Tibet, saat ini tidak ada penahbisan biksuni, tetapi Dalai Lama telah mengizinkan pengikut aliran-aliran Tibet untuk ditahbiskan sebagai biksuni dalam tradisi yang memiliki penahbisan semacam itu.

Pada tahun 1996, sebelas wanita Sri Lanka terpilih ditahbiskan penuh sebagai biksuni Theravāda oleh tim biksu Theravāda yang bekerja sama dengan tim biksuni Korea di India. Ada ketidaksepakatan di antara otoritas vinaya Theravāda mengenai apakah penahbisan tersebut sah. Cabang Dambulla dari ordo Siam Nikāya di Sri Lanka juga melaksanakan penahbisan biksuni pada saat ini, secara khusus menyatakan proses penahbisan mereka adalah proses Theravādin yang sah, sedangkan sesi penahbisan lainnya tidak.[222] Cabang ini telah melaksanakan upacara penahbisan untuk ratusan biksuni sejak saat itu.[butuh rujukan] Hal ini telah dikritik oleh tokoh-tokoh terkemuka di Siam Nikāya dan Amarapura Nikāya, dan dewan pemerintahan Buddhisme di Myanmar telah menyatakan bahwa tidak ada penahbisan biksuni yang sah di zaman modern, meskipun beberapa biksu Burma tidak setuju dengan ini.[223]

Pada tahun 1997, Vihara Dhamma Cetiya di Boston didirikan oleh Yang Mulia Gotami dari Thailand, yang saat itu adalah seorang biarawati dengan 10 sila (bukan seorang biksuni); ketika ia menerima penahbisan penuh pada tahun 2000, tempat tinggalnya menjadi wihara biksuni Buddhisme Theravāda pertama di Amerika.

Seorang biarawati maechee berjubah putih dengan 8 sila asal Thailand yang berusia 55 tahun, Varanggana Vanavichayen menjadi wanita pertama yang menerima upacara pelepasan seorang samaneri (dan jubah emas) di Thailand, pada tahun 2002.[224] Pada tanggal 28 Februari 2003, Dhammananda Bhikkhuni, yang sebelumnya dikenal sebagai Chatsumarn Kabilsingh, menjadi wanita Thailand pertama yang menerima penahbisan biksuni sebagai biksuni Theravāda setelah masa kepunahannya.[225] Dhammananda Bhikkhuni ditahbiskan di Sri Lanka.[226] Senat Thailand telah meninjau dan mencabut undang-undang sekuler yang disahkan pada tahun 1928 yang melarang penahbisan penuh bagi perempuan dalam Buddhisme Theravāda karena dianggap tidak konstitusional dan bertentangan dengan undang-undang yang melindungi kebebasan beragama. Akan tetapi, dua ordo Buddhisme Theravāda utama di Thailand, Mahā Nikāya dan Dhammayuttika Nikāya, belum secara resmi menerima perempuan yang telah ditahbiskan penuh ke dalam jajaran mereka.

Pada tahun 2009, di Australia, empat perempuan menerima penahbisan biksuni sebagai biksuni Theravāda, pertama kalinya penahbisan semacam itu terjadi di Australia.[227] Penahbisan tersebut dilakukan di Perth, Australia, pada tanggal 22 Oktober 2009 di Wihara Bodhinyana. Kepala wihara, Vayama, bersama dengan Yang Mulia Nirodha, Seri, dan Hasapanna ditahbiskan sebagai biksuni dengan metode penahbisan ganda Sangha yang terdiri dari para biksu dan biksuni sesuai dengan Vinaya Pali.[228]

Pada tahun 2010, di Amerika Serikat, empat samaneri diberi penahbisan penuh biksuni secara aliran Theravāda Thailand, yang mencakup upacara penahbisan ganda. Henepola Gunaratana dan biksu serta biksuni lainnya hadir dalam upacara tersebut. Penahbisan tersebut adalah penahbisan biksuni pertama di belahan bumi Barat.[229]

Penahbisan biksuni pertama di Jerman, penahbisan Samaneri Dhira (wanita Jerman), terjadi pada tanggal 21 Juni 2015 di Wihara Anenja.[230]

Di Indonesia, penahbisan biksuni Theravāda pertama setelah lebih dari seribu tahun terjadi pada tahun 2015 di Wisma Kusalayani di Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat.[231] Mereka yang ditahbiskan antara lain:

  • Bhikkhuni Vajiradevi Sadhika dari Indonesia,
  • Bhikkhuni Medha dari Sri Lanka,
  • Bhikkhuni Anula dari Jepang,
  • Bhikkhuni Santasukha Santamana dari Vietnam,
  • Bhikkhuni Sukhi dari Malaysia,
  • Bhikkhuni Sumangala dari Malaysia, dan
  • Bhikkhuni Jenti dari Australia.[231]

Ordo monastik

sunting
 
Biksu Thailand memberkati Raja Thailand di Wat Nong Wong, Amphoe Sawankhalok, Sukhothai, Thailand.

"Ordo" berasal dari kata nikāya yang terkadang diterjemahkan sebagai "sekte". Akan tetapi, Michael Mendelson dan Ajahn Jayasāro berpendapat bahwa istilah "sekte" tersebut cenderung memberi kesan perselisihan ajaran yang menyesatkan. Faktanya, berbagai nikāya (ordo) tidak berbeda dalam hal kepercayaan atau penafsiran ajaran, melainkan dalam penerapan praktis Vinaya (aturan monastik).[232][233]

Para biksu (dan biksuni) Theravāda secara khusus merupakan bagian dari nikāya tertentu, secara beragam dirujuk sebagai ordo atau persaudaraan monastik. Ordo-ordo yang berbeda ini tidak mengembangkan ajaran-ajaran yang terpisah, tetapi mungkin berbeda dalam pengamalan aturan-aturan monastik. Ordo monastik ini menunjukkan garis keturunan penahbisan, biasanya menelusuri asal-usul mereka ke kelompok biksu tertentu yang mendirikan tradisi penahbisan baru di dalam suatu negara atau wilayah geografis tertentu.

Di Sri Lanka, kasta memainkan peran utama dalam pembagian nikāya. Beberapa negara Theravāda menunjuk atau memilih seorang Saṅgharāja (raja sangha), atau Patriark Tertinggi dari Sangha, sebagai biksu dengan peringkat tertinggi atau paling senior di daerah tertentu, atau dari nikāya tertentu. Runtuhnya monarki telah mengakibatkan penangguhan jabatan-jabatan ini di beberapa negara, tetapi Patriark terus ditentukan di Thailand. Burma dan Kamboja mengakhiri praktik penentuan Saṅgharāja untuk beberapa waktu, namun posisi tersebut kemudian dikembalikan, meskipun di Kamboja menghilang kembali.

Berikut ini merupakan daftar dari beberapa ordo Theravāda yang tercatat:

Beberapa negara dengan mayoritas penganut aliran Theravāda menerapkan aturan ketat terkait pembagian ordo. Di Myanmar, pendirian ordo baru selain sembilan ordo yang diakui pemerintah merupakan suatu tindakan ilegal yang melanggar hukum.[233][234][235]

Dampak terhadap masyarakat modern

sunting
Para biksu Theravādin bermeditasi dan mempraktikkan perhatian penuh atas hal-hal sederhana, seperti makanan yang akan mereka santap.

Penekanan Buddhisme Theravāda pada praktik perhatian penuh (mindfulness) dan meditasi telah memengaruhi masyarakat modern dengan mempromosikan kesejahteraan mental dan teknik pengurangan stres yang mengarah pada integrasi mindfulness dalam berbagai program terapi dan pengembangan diri. Selain itu, ajaran Buddhisme tentang perilaku etis dan kasih sayang (compassion) terus menginspirasi berbagai individu dan organisasi untuk memprioritaskan nilai-nilai moral dan tanggung jawab sosial dalam tindakan dan pengambilan keputusan mereka.[236] Penekanan pada perilaku etis dalam ajaran Buddhisme Theravāda mendorong individu-individu untuk menjalani kehidupan yang berbudi luhur. Perilaku tersebut termasuk menghindari tindakan yang merugikan orang lain, seperti berbohong, mencuri, dan merugikan makhluk hidup. Prinsip-prinsip ini mendorong integritas dan kejujuran pribadi dalam masyarakat modern. Buddhisme Theravāda mendorong pengembangan kasih sayang (compassion) dan cinta kasih (loving-kindness) terhadap semua makhluk hidup. Dalam masyarakat kontemporer, ajaran-ajaran ini menginspirasi individu dan organisasi untuk memprioritaskan tanggung jawab sosial, kegiatan amal, dan upaya kemanusiaan yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan dan meningkatkan kesejahteraan orang lain.[237] Buddhisme Theravāda sangat menekankan pada perhatian penuh atas diri (self-awareness) dan transformasi diri. Para praktisi didorong untuk mengeksplorasi hakikat diri (anatta), ketidakkekalan (anicca), dan hakikat penderitaan (dukkha). Ajaran-ajaran ini telah mengilhami individu-individu dalam masyarakat modern untuk memulai perjalanan menemukan jati diri, meningkatkan kualitas diri, dan mengembangkan diri. Ajaran-ajaran tentang perhatian penuh (mindfulness) dan ketidakkekalan hidup telah menyediakan alat-alat yang efektif bagi individu untuk mengatasi stres dan tantangan hidup. Dalam dunia yang serba cepat dan sering kali penuh tekanan saat ini, ajaran-ajaran ini menawarkan strategi-strategi yang berharga untuk menjaga keseimbangan dan kestabilan emosi.[238] Perjalanan mindfulness dan kesehatan mental ini diperkuat oleh lembaga-lembaga terkemuka yang mendorong gagasan mindfulness dan dampaknya terhadap manusia. Kelas/kursus/program mindfulness yang disediakan oleh banyak universitas dan lembaga terkemuka, seperti Yale, Stanford, dan lain-lain, kepada para mahasiswa, staf, dan masyarakat umum telah memberi manfaat bagi mereka.[239]

Demografi

sunting
Peringkat Negara Populasi % Buddhis Total Buddhis % Kepentingan agama
1   Thailand 66.720.153[web 12] 95%[web 13] 63.117.265 97%[web 14]
2   Myanmar 56.280.000[web 15] 89%[web 16] 50.649.200 96%[web 14]
3   Sri Lanka 20.277.597 70% 17.222.844 100%[web 14]
4   Kamboja 14.701.717[web 17] 98%[web 17] 14.172.455 95%[web 14]
5   Laos 6.477.211[web 18] 67%[web 18] 4.339.731 98%[web 14]
 
Peta yang menunjukkan penyebaran tiga aliran utama Buddhisme di Tibet, Mongolia, Nepal, Asia Timur, dan Asia Tenggara.

Buddhisme Theravāda dipraktikkan di negara-negara berikut dan oleh orang-orang di seluruh dunia:

Saat ini, jumlah penganut Theravāda lebih dari 150 juta di seluruh dunia, dan selama beberapa dekade terakhir ajaran Buddhisme Theravāda mulai menanamkan akarnya di Barat[web 19][note 3] dan kebangkitan Buddhisme di India.[web 20]

Lihat pula

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ bahasa Sinhala: ථේරවාදය; bahasa Burma: ထေရဝါဒ; bahasa Thai: เถรวาท; bahasa Khmer: ថេរវាទ, UNGEGN: Thérôvéat [tʰeːreaʔʋiət]; bahasa Lao: ເຖຣະວາດ; Munhwaŏ Korean: 테라바다; Pali: 𑀣𑁂𑀭𑀯𑀸𑀤
  2. ^ Beberapa penulis juga menyebutnya sebagai Theravādan, seperti di sini.
  3. ^ John Bullit: "Namun, pada abad terakhir, dunia Barat mulai memperhatikan warisan spiritual dan ajaran Kecerahan/Pencerahan yang unik dari Theravāda. Dalam beberapa dekade terakhir, minat ini meningkat, dengan Sangha monastik dari aliran-aliran dalam Theravāda mendirikan puluhan wihara di seluruh Eropa dan Amerika Utara.
    (In the last century, however, the West has begun to take notice of Theravāda's unique spiritual legacy and teachings of Awakening. In recent decades, this interest has swelled, with the monastic Sangha from the schools within Theravāda, establishing dozens of monasteries across Europe and North America.)"

Referensi

sunting
  1. ^ a b Gyatso, Tenzin (2005), Bodhi, Bhikkhu, ed., In the Buddha's Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon, Somerville, Massachusetts: Wisdom Publications, hlm. ix, ISBN 978-0-86171-491-9 
  2. ^ a b Reynolds, Frank E.; Kitagawa, Joseph M.; Nakamura, Hajime; Lopez, Donald S.; Tucci, Giuseppe (2018), "Theravada", britannica.com, Encyclopaedia Britannica, Theravada (Pali: "Way of the Elders"; Sanskrit, Sthaviravada) emerged as one of the Hinayana (Sanskrit: "Lesser Vehicle") schools, traditionally numbered at 18, of early Buddhism. The Theravadins trace their lineage to the Sthaviravada school, one of the two major schools (the Mahasanghika was the other) that supposedly formed in the wake of the Council of Vaishali (now in Bihar state) held some 100 years after the Buddha's death. Employing Pali as their sacred language, the Theravadins preserved their version of the Buddha's teaching in the Tipitaka ("Three Baskets"). 
  3. ^ (Inggris) Gethin, Foundations, page 1
  4. ^ "Theravādin, Theravādan, Theravādist". Discuss & Discover (dalam bahasa Inggris). 2018-03-07. Diakses tanggal 2024-08-30. 
  5. ^ "Pali word for "Theravada Buddhist" - Dhamma Wheel Buddhist Forum". www.dhammawheel.com. Diakses tanggal 2024-08-30. 
  6. ^ Reynolds, Frank E.; Kitagawa, Joseph M.; Nakamura, Hajime; Lopez, Donald S.; Tucci, Giuseppe (2018), "Theravada", britannica.com, Encyclopaedia Britannica, Theravada (Pali: "Way of the Elders"; Sanskrit, Sthaviravada) emerged as one of the Hinayana (Sanskrit: "Lesser Vehicle") schools, traditionally numbered at 18, of early Buddhism. The Theravadins trace their lineage to the Sthaviravada school, one of the two major schools (the Mahasanghika was the other) that supposedly formed in the wake of the Council of Vaishali (now in Bihar state) held some 100 years after the Buddha's death. Employing Pāli as their sacred language, the Theravadins preserved their version of the Buddha's teaching in the Tipitaka ("Three Baskets"). 
  7. ^ Crosby, Kate (2013), Theravada Buddhism: Continuity, Diversity, and Identity, hlm. 2.
  8. ^ Gombrich, Richard (2006), Theravada Buddhism: A Social History from Ancient Benares to Modern Colombo, Routledge; 2nd edition, hlm. 37.
  9. ^ Hay, Jeff (2009). "World Religions" hlm. 189. Greenhaven Publishing LLC.
  10. ^ Buswell, Robert E (2004). Macmillan Encyclopedia of Buddhism (2004), hlm. 293.
  11. ^ a b Williams, Paul, Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations, Routledge, 2008, hlm. 21.
  12. ^ Access to Insight (2005). "The Paracanonical Pali Texts". Access to Insight. Diakses tanggal 2023-12-10. 
  13. ^ Access to Insight (2005). "Beyond the Tipitaka: A Field Guide to Post-canonical Pali Literature". Access to Insight. Diakses tanggal 2023-10-12. 
  14. ^ "Mahāvihāra". Oxford Reference (dalam bahasa Inggris). doi:10.1093/acref/9780198605607.001.0001. ISBN 9780191726538. Diakses tanggal 2024-08-31. 
  15. ^ Keown, Damien (2004). A Dictionary of Buddhism. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198605607. 
  16. ^ Access to Insight (2005). "What is Theravada Buddhism?". Access to Insight. Diakses tanggal 2023-12-10. 
  17. ^ Sujato, Bhikkhu (2012). Sects & Sectarianism: The origins of Buddhist schools (PDF). Perth: Santipada. hlm. 101. ISBN 9781921842085. 
  18. ^ Skilton, Andrew (2004). A Concise History of Buddhism. hlm. 49, 64.
  19. ^ Cousins, Lance (2001). "On the Vibhajjavādins" Diarsipkan 11 April 2019 di Wayback Machine., Buddhist Studies Review 18 (2), 131–182.
  20. ^ Berkwitz, Stephen C. (2012). South Asian Buddhism: A Survey, Routledge, hlm. 44-45.
  21. ^ Tambiah, Stanley Jeyaraja, The Buddhist Saints of the Forest and the Cult of Amulets (Cambridge Studies in Social and Cultural Anthropology), 1984, hlm. 53, 58.
  22. ^ Mahavamsa: The great chronicle of Ceylon tr. Wilhelm Geiger. Pali Text Society, 1912, hlm. 82, 86.
  23. ^ De Silva, K. M. (2005), hlm. 9-12.
  24. ^ Gombrich, Richard (2006), Theravada Buddhism, a social history from Ancient Benares to Modern Colombo, hlm. 152. Routledge.
  25. ^ Bandaranayake, S.D. Sinhalese Monastic Architecture: The Viháras of Anurádhapura, hlm. 25.
  26. ^ Stadtner, Donald M. (2011). Sacred Sites of Burma: Myth and Folklore in an Evolving Spiritual Realm, hlm. 216. Bangkok: 2011. ISBN 978-974-9863-60-2.
  27. ^ Warder, A.K. Indian Buddhism. 2000. hlm. 280.
  28. ^ Hirakawa, Akira; Groner, Paul (translator) (2007). A History of Indian Buddhism: From Śākyamuni to Early Mahāyāna. hlm. 121-124.
  29. ^ De Silva, K. M. (2005), hlm. 63.
  30. ^ De Silva, K. M. (1981), hlm. 73.
  31. ^ Hirakawa, Akira; Groner, Paul (1993), A History of Indian Buddhism: From Śākyamuni to Early Mahāyāna, Motilal Banarsidass, hlm. 126, ISBN 978-81-208-0955-0 
  32. ^ Skilling, Peter. The Advent of Theravada Buddhism to Mainland South-east Asia, Journal of the International Association of Buddhist Studies. Volume 20, Number 1, Summer 1997.
  33. ^ Professor Janice Stargardt, Historical Geography of Burma: Creation of enduring patterns in the Pyu period, IIAS Newsletter Online, No 25, Theme Burmese Heritage 
  34. ^ Frasch, Tilman. "The Theravaada Buddhist Ecumene in the Fifteenth Century: Intellectual Foundations and Material Representations" in Buddhism Across Asia, Networks of Material, Intellectual and Cultural Exchange, Volume 1 – Institute of Southeast Asian Studies (2014), hlm. 347.
  35. ^ Sujato, Bhante (2012), Sects & Sectarianism: The Origins of Buddhist Schools, Santipada, hlm. 72, ISBN 978-1921842085 
  36. ^ Gombrich (2006), hlm. 3.
  37. ^ Lieberman, Victor B (2003). Strange Parallels: Southeast Asia in Global Context, c. 800–1830, Volume 1: Integration on the Mainland. Cambridge University Press. hlm. 115–116. ISBN 978-0-521-80496-7.
  38. ^ Patit Paban Mishra (2010). The History of Thailand, hlm. 37-38. Greenwood History of Modern Nations Series.
  39. ^ Yoneo Ishii (1986). Sangha, State, and Society: Thai Buddhism in History, hlm. 60. University of Hawaii Press.
  40. ^ Harvey (1925), hlm. 172–173.
  41. ^ Leider, Jacques P. Text, Lineage and Tradition in Burma. The Struggle for Norms and Religious Legitimacy Under King Bodawphaya (1782-1819). The Journal of Burma Studies Volume 9, 2004, hlm. 95-99.
  42. ^ Jermsawatdi, Promsak (1979). Thai Art with Indian Influences, hlm. 33. Abhinav Publications.
  43. ^ Evans, Grant (2002). A Short History of Laos: The Land in Between, hlm. 15-16. Allen & Unwin.
  44. ^ Harris, Ian (2008). Cambodian Buddhism: History and Practice, hlm. 35-36. University of Hawaii Press.
  45. ^ David L. McMahan (2008). The Making of Buddhist Modernism. Oxford University Press. hlm. 5–7, 32–33, 43–52. ISBN 978-0-19-988478-0.
  46. ^ Stanley Jeyaraja Tambiah, Buddhism Betrayed? The University of Chicago Press, 1992, hlm. 35–36.
  47. ^ Stanley Jeyaraja Tambiah, Buddhism Betrayed? The University of Chicago Press, 1992, hlm. 63–64.
  48. ^ Kemper, Steven (2015) Rescued from the Nation: Anagarika Dharmapala and the Buddhist World, hlm. 6. University of Chicago Press.
  49. ^ De Silva, K. M. (1981), hlm. 341.
  50. ^ Braun, Erik, The Many Lives of Insight: The Abhidhamma and transformations in Theravada meditation, Harvard Divinity School, diakses tanggal 1 April 2023 
  51. ^ Yoneo Ishii (1986). Sangha, State, and Society: Thai Buddhism in History, hlm. 69. University of Hawaii Press.
  52. ^ Patit Paban Mishra (2010). The History of Thailand, hlm. 77. Greenwood History of Modern Nations Series.
  53. ^ Jermsawatdi, Promsak (1979). Thai Art with Indian Influences, hlm. 38-39. Abhinav Publications.
  54. ^ Yoneo Ishii (1986). Sangha, State, and Society: Thai Buddhism in History, hlm. 156. University of Hawaii Press.
  55. ^ Yoneo Ishii (1986). Sangha, State, and Society: Thai Buddhism in History, hlm. 76. University of Hawaii Press.
  56. ^ Tambiah, Stanley Jeyaraja (1984). The Buddhist Saints of the Forest and the Cult of Amulets, hlm. 84-88. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-27787-7.
  57. ^ Ladwig, Patrice (2017). Contemporary Lao Buddhism. Ruptured histories. In: Jerryson, Michael (ed.). The Oxford Encyclopedia of Contemporary Buddhism, New York: Oxford University Press. hlm. 274-296.
  58. ^ Harris, Ian (August 2001), "Sangha Groupings in Cambodia", Buddhist Studies Review, UK Association for Buddhist Studies, 18 (I): 73–106.
  59. ^ Morev, L. (1998). "Religion, state and society in contemporary Laos" in "Religion, State and Society" 26:1, hlm. 31–38.
  60. ^ LeVine, Sarah; Gellner, David N. (2009). Rebuilding Buddhism: The Theravada Movement in Twentieth-Century Nepal, hlm. 37, 48, 50. Harvard University Press.
  61. ^ Ven. BD Dipananda (2013). The Revival of Buddhism in Indo-Bangla Territory: A New Perspective. Diarsipkan 17 Januari 2021 di Wayback Machine. Buddhistdoor International.
  62. ^ Jerryson, Michael K. (ed.) The Oxford Handbook of Contemporary Buddhism, hlm. 41.
  63. ^ Ahir, D.C. (1991), Buddhism in Modern India, Satguru, ISBN 81-7030-254-4 
  64. ^ Wowor, Cornelis. "Awal Sangha Theravada Indonesia". Samaggi Phala. Diakses tanggal 2024-02-18. 
  65. ^ "TBCM". Theravada Buddhist Council of Malaysia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-09-13. 
  66. ^ Huynh Kim Lan (2015). Theravāda Buddhism in Vietnam. Diarsipkan 24 September 2021 di Wayback Machine. Proceedings of 10th National Conference on Buddhist Studies of Faculty of Humanities and Social Sciences, University of Sri Jayewardenepura, Nugegoda, 73.
  67. ^ Crosby, 2013, hlm. 1.
  68. ^ Norman, Kenneth Roy (1983). Pali Literature. Wiesbaden: Otto Harrassowitz. hlm. 2–3. ISBN 3-447-02285-X.
  69. ^ Harvey, Introduction to Buddhism, Cambridge University Press, 1990, hlm. 3.
  70. ^ Collins, Steven. "What Is Literature in Pali?" Literary Cultures in History: Reconstructions from South Asia, edited by Sheldon Pollock, University of California Press, 2003, hlm. 649–688. JSTOR, www.jstor.org/stable/10.1525/j.ctt1ppqxk.19. Accessed 6 Mei 2020.
  71. ^ a b Skilling, Peter. "Reflections on the Pali Literature of Siam". From Birch Bark to Digital Data: Recent Advances in Buddhist Manuscript Research: Papers Presented at the Conference Indic Buddhist Manuscripts: The State of the Field. Stanford, 15–19 Juni 2009, disunting oleh Paul Harrison and Jens-Uwe Hartmann, 1st ed., Austrian Academy of Sciences Press, Wien, 2014, hlm. 347–366. JSTOR, www.jstor.org/stable/j.ctt1vw0q4q.25. Accessed 7 Mei 2020.
  72. ^ Anālayo. "The Historical Value of the Pāli Discourses". Indo-Iranian Journal, vol. 55, no. 3, 2012, hlm. 223–253. JSTOR, www.jstor.org/stable/24665100. Diakses 7 Mei 2020.
  73. ^ a b Wynne, Alexander. Did the Buddha exist? JOCBS. 2019(16): 98–148.
  74. ^ Warder, A. K. (2001), Introduction to Pali (Third Edition), hlm. 382. Pali Text Society.
  75. ^ Jermsawatdi, Promsak (1979). Thai Art with Indian Influences, hlm. 40. Abhinav Publications.
  76. ^ Marston, John (2004). History, Buddhism, and New Religious Movements in Cambodia, hlm. 77. University of Hawaii Press.
  77. ^ Damien Keown (2004). A Dictionary of Buddhism. Oxford University Press. hlm. 2. ISBN 978-0-19-157917-2.
  78. ^ Ronkin, Noa (2005). Early Buddhist Metaphysics. New York: Routledge. hlm. 91-2. ISBN 0-415-34519-7.
  79. ^ Abeynayake, Oliver (1984). A textual and Historical Analysis of the Khuddaka Nikaya, Colombo, hlm. 113.
  80. ^ Tse-Fu Kuan. Mindfulness in similes in Early Buddhist literature in Edo Shonin, William Van Gordon, Nirbhay N. Singh. Buddhist Foundations of Mindfulness, page 267.
  81. ^ Rupert Gethin (1998), The Foundations of Buddhism, OUP Oxford, hlm. 42-43.
  82. ^ Peter Harvey, The Selfless Mind. Curzon Press, 1995, hlm. 9.
  83. ^ Crosby, 2013, hlm. 175.
  84. ^ Buswell Jr., Robert E.; Lopez Jr., Donald S. (2013). The Princeton Dictionary of Buddhism. hlm. 667. Princeton University Press.
  85. ^ Warder 2000, hlm. 217.
  86. ^ Warder 2000, hlm. 288.
  87. ^ Ronkin, Noa, Early Buddhist Metaphysics: The Making of a Philosophical Tradition (Routledge curzon Critical Studies in Buddhism) 2011, hlm. 5.
  88. ^ James P. McDermott, Encyclopedia of Indian Philosophies, Volume VII: Abhidharma Buddhism to 150 A.D. hlm. 80.
  89. ^ "Abhidhamma Pitaka." Encyclopædia Britannica. Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2008.
  90. ^ Ronkin, Noa, Early Buddhist Metaphysics: The Making of a Philosophical Tradition (Routledge curzon Critical Studies in Buddhism) 2011, hlm. 27–30.
  91. ^ Frauwallner, Erich. Kidd, Sophie Francis (translator). Steinkellner, Ernst (editor). Studies in Abhidharma Literature and the Origins of Buddhist Philosophical Systems. SUNY Press. hlm. 18, 100.
  92. ^ Crosby, 2013, hlm. 86.
  93. ^ Gombrich, Theravada Buddhism, a social history from Ancient Benares to Modern Colombo, Routledge; 2 edition (2006), hlm. 154.
  94. ^ Crosby, 2013, 86.
  95. ^ Crosby, 2013, hlm. 71.
  96. ^ Crosby, 2013, hlm. 91.
  97. ^ Crosby, 2013, hlm. 109.
  98. ^ Macmillan Encyclopedia of Buddhism, 2004 (Volume Two), hlm. 756.
  99. ^ Bodhi, In the Buddha's words, hlm. 13.
  100. ^ See, for example, the content of introductory texts from Theravada authors such as Rahula, Walpola (1974). What the Buddha Taught, and Bodhi, Bhikkhu (2005). In the Buddha's Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon.
  101. ^ Tola, Fernando. Dragonetti, Carmen (2009). "Brahamanism and Buddhism: Two Antithetic Conceptions of Society in Ancient India." hlm. 26.
  102. ^ Jayatilleke, K.N. (2000). The Message of the Buddha. hlm. 117-122. Buddhist Publication Society.
  103. ^ Thomas William Rhys Davids; William Stede (1921), Pali-English Dictionary, Motilal Banarsidass, hlm. 355, Article on Nicca, ISBN 978-81-208-1144-7 
  104. ^ Richard Gombrich (2006), Theravada Buddhism, Routledge, hlm. 47, ISBN 978-1-134-90352-8 , Quote: "All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, suffering and lack of soul or essence."
  105. ^ Siderits, Mark, "Buddha", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2015 Edition), Edward N. Zalta (ed.), http://plato.stanford.edu/archives/spr2015/entries/buddha/ Diarsipkan 13 Maret 2021 di Wayback Machine.
  106. ^ Rahula, Walpola (1974). What the Buddha Taught, hlm. 16-29.
  107. ^ Gombrich, Richard F. (2006). Theravada Buddhism: A Social History from Ancient Benares to Modern Colombo, hlm. 63. Routledge.
  108. ^ Ñāṇamoli, Bhikkhu (trans.) & Bodhi, Bhikkhu (ed.) (2001). The Middle-Length Discourses of the Buddha: A Translation of the Majjhima Nikāya, hlm. 1129–36 Boston: Wisdom Publications. ISBN 0-86171-072-X.
  109. ^ James P. McDermott. Encyclopedia of Indian Philosophies, Volume VII: Abhidharma Buddhism to 150 A.D, see entry on the Kathavatthu.
  110. ^ Andre Bareau, Les sectes bouddhiques du Petit Véhicule (Ecole Fransaise d'Extreme-Orient, 1955), Chapitre I 'Les Mahasanghika', hlm. 212-240.
  111. ^ Wayman, Alex (1984). Buddhist Insight: Essays, hlm. 252, Motilal Banarsidass Publ.
  112. ^ Bhikkhu Sujato (2008). Rebirth and the in-between state in early Buddhism. Diarsipkan 8 November 2020 di Wayback Machine.
  113. ^ Langer, Rita (2007). Buddhist Rituals of Death and Rebirth: Contemporary Sri Lankan Practice and Its Origins, hlm. 83-84. Routledge.
  114. ^ Thích Thiện Châu (1984), The Literature of the Personalists, hlm. 201-202.
  115. ^ Hwang, Soonil (2006), Metaphor and Literalism in Buddhism: The Doctrinal History of Nirvana, hlm. 68. Routledge.
  116. ^ Hwang, Soonil (2006), Metaphor and Literalism in Buddhism: The Doctrinal History of Nirvana, hlm. 62, 75, 105. Routledge.
  117. ^ Hwang, Soonil (2006), Metaphor and Literalism in Buddhism: The Doctrinal History of Nirvana, hlm. 72. Routledge.
  118. ^ James P. McDermott, Encyclopedia of Indian Philosophies, Volume VII: Abhidharma Buddhism to 150 A.D. hlm. 95.
  119. ^ James McDermott (1980), Wendy Doniger, ed., Karma and Rebirth in Classical Indian Traditions, University of California Press, hlm. 168–170, ISBN 978-0-520-03923-0 
  120. ^ Bruce Mathews (1986), Ronald Wesley Neufeldt, ed., Karma and Rebirth: Post Classical Developments, State University of New York Press, hlm. 123–126, ISBN 978-0-87395-990-2 
  121. ^ James P. McDermott, Kathavatthu: Encyclopedia of Indian Philosophies, Volume VII: Abhidharma Buddhism to 150 A.D.
  122. ^ Skilling, Peter. "Scriptural Authenticity and the Śrāvaka Schools: An Essay towards an Indian Perspective." The Eastern Buddhist, vol. 41, no. 2, 2010, hlm. 1–47. JSTOR, www.jstor.org/stable/44362554. Accessed 25 Februari 2020.
  123. ^ Hwang, Soonil (2006), Metaphor and Literalism in Buddhism: The Doctrinal History of Nirvana, hlm. 67. Routledge.
  124. ^ Samuels, Jeffrey (Juli 1997), "The Bodhisattva Ideal in Theravāda Buddhist Theory and Practice: A Reevaluation of the Bodhisattva-Śrāvaka Opposition", Philosophy East and West, University of Hawai'i Press, 47 (3): 399–415, doi:10.2307/1399912, JSTOR 1399912 
  125. ^ Drewes, David, Mahāyāna Sūtras and Opening of the Bodhisattva Path, Paper presented at the XVIII the IABS Congress, Toronto 2017, Updated 2019.
  126. ^ a b c Suwanda H. J. Sugunasiri. The Whole Body, Not Heart, as 'Seat of Consciousness': The Buddha's View. Vol. 45, No. 3 (Jul. 1995), hlm. 409-430.
  127. ^ a b Jayasuriya, W. F. (1963) The Psychology and Philosophy of Buddhism. (Colombo, YMBA Press), Appendix A, hlm. 288-292.
  128. ^ Warder 2000, hlm. 283.
  129. ^ Berkwitz, Stephen C. (2010). South Asian Buddhism: A Survey, hlm. 58. Routledge.
  130. ^ Ronkin, Noa (2005). Early Buddhist Metaphysics: The Making of a Philosophical Tradition, hlm. 42. Taylor & Francis.
  131. ^ Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. hlm. 158. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  132. ^ Kheminda, Ashin (2017-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 1 Kesadaran. Yayasan Dhammavihari. hlm. 158. ISBN 978-623-94342-6-7. 
  133. ^ Y. Karunadasa (1996), The Dhamma Theory Philosophical Cornerstone of the Abhidhamma Diarsipkan 25 Februari 2021 di Wayback Machine., Buddhist Publication Society Kandy, Sri Lanka.
  134. ^ Ronkin, Noa, Early Buddhist Metaphysics: The Making of a Philosophical Tradition (Routledge curzon Critical Studies in Buddhism) 2011, hlm. 2.
  135. ^ Potter, Buswell, Jaini; Encyclopedia of Indian Philosophies Volume VII Abhidharma Buddhism to 150 AD, hlm. 121.
  136. ^ Crosby, Kate (2013), Theravada Buddhism: Continuity, Diversity, and Identity, hlm. 2.
  137. ^ Y. Karunadasa (1996), The Dhamma Theory Philosophical Cornerstone of the Abhidhamma Diarsipkan 25 Februari 2021 di Wayback Machine., Buddhist Publication Society Kandy, Sri Lanka.
  138. ^ Karunadasa, Y (2015). Buddhist Analysis of Matter, hlm. 14.
  139. ^ Ronkin, Noa (2005). Early Buddhist Metaphysics: The Making of a Philosophical Tradition, hlm. 41. Taylor & Francis.
  140. ^ Crosby, 2013, 182.
  141. ^ Ronkin, Noa; Early Buddhist Metaphysics, hlm. 92.
  142. ^ Ronkin, Noa; Early Buddhist Metaphysics, hlm. 77.
  143. ^ Ronkin, Noa (2005). Early Buddhist Metaphysics: The Making of a Philosophical Tradition, hlm. 118. Taylor & Francis.
  144. ^ Karunadasa, Y. Buddhist Analysis of Matter, hlm. 14, 172
  145. ^ a b Ronkin, Noa; Early Buddhist Metaphysics, hlm. 47.
  146. ^ a b Crosby, 2013, 187.
  147. ^ a b Sunthorn Na-Rangsi (2011). The Four Planes of Existence in Theravada Buddhism. Diarsipkan 6 Juli 2021 di Wayback Machine. The Wheel Publication No. 462. Buddhist Publication Society.
  148. ^ a b c Gethin, Rupert. Cosmology and Meditation: From the Aggañña-Sutta to the Mahāyāna, in "History of Religions" Vol. 36, No. 3 (Feb. 1997), hlm. 183-217. The University of Chicago.
  149. ^ Crosby (2013), hlm. 15-16.
  150. ^ Buswell Jr., Robert E.; Lopez Jr., Donald S. (2013), The Princeton Dictionary of Buddhism, hlm. 589-590. Princeton University, ISBN 978-1-4008-4805-8
  151. ^ a b Shaw, Sarah, Buddhist Meditation Practices in the West (PDF), Department of Continuing Education, Oxford University, hlm. 8, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 4 Juli 2011, diakses tanggal 27 Maret 2009 
  152. ^ Crosby (2013), hlm. 16.
  153. ^ Crosby (2013), hlm. 22-23.
  154. ^ Crosby (2013), hlm. 23.
  155. ^ Crosby (2013), hlm. 34-35.
  156. ^ Crosby (2013), hlm. 35.
  157. ^ a b Drewes, David, Mahāyāna Sūtras and Opening of the Bodhisattva Path Diarsipkan 5 Maret 2021 di Wayback Machine., Paper presented at the XVIII the IABS Congress, Toronto 2017, Updated 2019.
  158. ^ a b Swearer, Donald K. The Buddhist World of Southeast Asia: Second Edition, hlm. 164.
  159. ^ McMahan, David L. 2008. The Making of Buddhist Modernism. Oxford: Oxford University Press. hlm. 91–97.
  160. ^ S. Payulpitack (1991), Buddhadasa and His Interpretation of Buddhism.
  161. ^ Kalupahana, David J. (1994), A history of Buddhist philosophy, hlm. 206-216. Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited.
  162. ^ Sujato, Bhante (2012), A History of Mindfulness, Santipada, hlm. 332, ISBN 9781921842108
  163. ^ The Pali Text Society's Pali-English dictionary, Dsal.uchicago.edu, diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Juli 2012, diakses tanggal 17 August 2012 
  164. ^ Crosby, 2013, hlm. 86.
  165. ^ Crosby, 2013, hlm. 113.
  166. ^ Crosby, 2013, hlm. 116.
  167. ^ Crosby, 2013, 118–119.
  168. ^ Crosby, 2013, hlm. 138.
  169. ^ Crosby, 2013, 139–140.
  170. ^ a b c Vajiranāṇa Mahathera (author), Allan R. Bomhard (editor) (20100, Buddhist Meditation in Theory and Practice, hlm. 270.
  171. ^ Henepola Gunaratana, The Jhanas in Theravada Buddhist Meditation, 1995.
  172. ^ Polak 2011.
  173. ^ Nyanaponika, The Heart of Buddhist meditation, Buddhist publication Society, 2005, hlm. 40.
  174. ^ Fronsdal 1998.
  175. ^ Crosby, 2013, hlm. 149.
  176. ^ Wilson 2014, hlm. 54–55.
  177. ^ Mahāsi Sayādaw, Manual of Insight, Chapter 5.
  178. ^ Majjhima Nikaya, Sutta No. 118, Section No. 2, translated from the Pali.
  179. ^ Satipatthana Sutta.
  180. ^ a b Mahasi Sayadaw, Practical Vipassana Instructions.
  181. ^ Bhante Bodhidhamma, Vipassana as taught by The Mahasi Sayadaw of Burma Diarsipkan 24 Maret 2019 di Wayback Machine..
  182. ^ a b The Art of Living: Vipassana Meditation, Dhamma.org, diakses tanggal 30 Mei 2013 
  183. ^ Mahasi Sayadaw, Practical Vipassana Instructions, hlm. 22–27.
  184. ^ PVI, hlm. 28.
  185. ^ Nyanaponika 1998.
  186. ^ Gombrich 1997, hlm. 133.
  187. ^ Crosby, 2013, hlm. 156.
  188. ^ Buddhaghosa & Nanamoli (1999), pp. 90–91 (II, 27–28, "Development in Brief"), 110ff. (starting with III, 104, "enumeration").  It can also be found sprinkled earlier in this text as on hlm. 18 (I, 39, v. 2) and hlm. 39 (I, 107).  Throughout Nanamoli translates this term as "meditation subject."
  189. ^ Crosby, Kate (2013), Theravada Buddhism: Continuity, Diversity, and Identity, John Wiley & Sons, hlm. 141.
  190. ^ a b c Crosby, Kate (2013), Theravada Buddhism: Continuity, Diversity, and Identity, John Wiley & Sons, hlm. 145.
  191. ^ Crosby et al. The Sutta on Understanding Death in the Transmission of Bora ̄n Meditation From Siam to the Kandyan Court. J Indian Philos (2012) 40:177–198 DOI:10.1007/s10781-011-9151-y
  192. ^ Andrew Skilton; Phibul ChoomPolPaisal. The Ancient Theravāda Meditation System, Borān Kammaṭṭhāna: Ānāpānasati or 'Mindfulness of The Breath' in Kammatthan Majjima Baeb Lamdub. Buddhist Studies Review 0256-2897.
  193. ^ a b Crosby, Kate (2013), Theravada Buddhism: Continuity, Diversity, and Identity, John Wiley & Sons, hlm. 157.
  194. ^ a b Buswell 2004, hlm. 890.
  195. ^ a b McMahan 2008, hlm. 189.
  196. ^ Buswell 2004, hlm. 889.
  197. ^ Crosby, Kate (2013), Theravada Buddhism: Continuity, Diversity, and Identity, John Wiley & Sons, hlm. 160, 166.
  198. ^ Crosby, Kate (2013), Theravada Buddhism: Continuity, Diversity, and Identity, John Wiley & Sons, hlm. 146.
  199. ^ Crosby, Kate (2013), Theravada Buddhism: Continuity, Diversity, and Identity, John Wiley & Sons, hlm. 164.
  200. ^ a b Crosby 2013, hlm. 147.
  201. ^ Sharf 1995.
  202. ^ Crosby, 2013, 142.
  203. ^ a b c d e Bhikkhu Khantipalo, Lay Buddhist Practice The Shrine Room, Uposatha Day, Rains Residence Diarsipkan 15 Mei 2019 di Wayback Machine..
  204. ^ "Glossary of Buddhism". Buddhist Art and the Trade Routes. Asia Society. 2003.
  205. ^ Epstein, Ron (1999–02). "Clearing Up Some Misconceptions about Buddhism". Vajra Bodhi Sea: A Monthly Journal of Orthodox Buddhism (Dharma Realm Buddhist Association): 41–43.
  206. ^ Epstein, Ron (1999), "Clearing Up Some Misconceptions about Buddhism", Vajra Bodhi Sea: A Monthly Journal of Orthodox Buddhism: 41–43 
  207. ^ Bhikkhu Bodhi, In the Buddha's Words, Wisdom Publications 2005; halaman 376
  208. ^ a b c Swearer, Donald K. The Buddhist World of Southeast Asia: Second Edition, hlm. 178.
  209. ^ Swearer, Donald K. The Buddhist World of Southeast Asia: Second Edition, hlm. 187.
  210. ^ Taylor, J.L. Forest Monks and the Nation-state: An Anthropological and Historical Study, hlm. 12, 15.
  211. ^ Tambiah, Stanley Jeyaraja, The Buddhist Saints of the Forest and the Cult of Amulets (Cambridge Studies in Social and Cultural Anthropology), 1984, hlm. 55.
  212. ^ Taylor, J.L. Forest Monks and the Nation-state: An Anthropological and Historical Study, hlm. 12.
  213. ^ a b Tambiah, Stanley Jeyaraja, The Buddhist Saints of the Forest and the Cult of Amulets (Cambridge Studies in Social and Cultural Anthropology), 1984, hlm. 53, 58.
  214. ^ Prapod Assavavirulhakarn, The Ascendency of Theravada Buddhism in Southeast Asia 1990, hlm. 258.
  215. ^ Taylor, J.L. Forest Monks and the Nation-state: An Anthropological and Historical Study, hlm. 9.
  216. ^ Taylor, J.L. Forest Monks and the Nation-state: An Anthropological and Historical Study, hlm. 9–13.
  217. ^ Taylor, J.L. Forest Monks and the Nation-state: An Anthropological and Historical Study, hlm. 15.
  218. ^ "About Us", Pa-Auk Tawya 
  219. ^ Tiyavanich, Kamala, nForest Recollections: Wandering Monks in Twentieth-Century Thailand p1.
  220. ^ Mahinda Deegalle, Popularizing Buddhism: Preaching as Performance in Sri Lanka, State University of New York Press, Albany, 2006.
  221. ^ Resources on Women's Ordination, Lhamo.tripod.com, diakses tanggal 19 November 2010 
  222. ^ Salgado 2013, hlm. 166–169.
  223. ^ Kawanami, Hiroko (2007), "The bhikkhunī ordination debate: global aspirations, local concerns, with special emphasis on the views of the monastic community in Myanmar. Kawanami, H. 11/2007 In", Buddhist Studies Review, 24 (2): 226–244, doi:10.1558/bsrv.v24i2.226 
  224. ^ Sommer, PhD, Jeanne Matthew, Socially Engaged Buddhism in Thailand: Ordination of Thai Women Monks, Warren Wilson College, diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Desember 2008, diakses tanggal 6 Desember 2011 
  225. ^ Ordained at Last, Thebuddhadharma.com, 28 Februari 2003, diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Februari 2004, diakses tanggal 19 November 2010 
  226. ^ Rita C. Larivee, SSA (14 Mei 2003), Bhikkhunis: Ordaining Buddhist Women, Nationalcatholicreporter.org, diakses tanggal 19 November 2010 
  227. ^ Thai monks oppose West Australian ordination of Buddhist nuns, Wa.buddhistcouncil.org.au, diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Oktober 2018, diakses tanggal 19 November 2010 
  228. ^ Bhikkhuni Ordination, Dhammasara.org.au, 22 Oktober 2009, diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Februari 2011, diakses tanggal 19 November 2010 
  229. ^ Boorstein, Sylvia (25 Mei 2011), "Ordination of Bhikkhunis in the Theravada Tradition", Huffington Post 
  230. ^ Bhikkhuni Happenings – Alliance for Bhikkhunis Diarsipkan 29 Juni 2015 di Wayback Machine.. Bhikkhuni.net. Diakses 28 Juni 2015.
  231. ^ a b "First Theravada Ordination of Bhikkhunis in Indonesia After a Thousand Years" (PDF). www.bhikkhuni.net. Diakses tanggal 30 September 2023. 
  232. ^ Jayasāro, Ajahn (2022-09-13). "The Mahānikāya and Dhammayut Nikāya". Abhyagiri. Diakses tanggal 2024-02-18. 
  233. ^ a b Gutter, Peter; B.K., Sen; Sarkin, Jeremy; Htoo, Aung; Maung Win, Khin; Maung, Win (2001). ""Legal Issues on Burma Journal" No. 8". "LawKa Pala - Legal Journal on Burma" (English). 8: 39. 
  234. ^ Burma Library, author. "Law Relating to the Sangha Organization: State LORC Law No. 20/90 of Oct. 31, 1990" (pdf). Burma Library. 
  235. ^ Maung, Sd./ Saw. "The State Law and Order Restoration Council Law No.20/90, The Law Relation to the Sangha Organization". Myanmar Law Information System. Diarsipkan dari versi asli tanggal 07-02-2024. Diakses tanggal 2024-02-07. 
  236. ^ Schober, Juliane (2009). "The Theravāda Buddhist Engagement with Modernity in Southeast Asia: Whither the Social Paradigm of the Galactic Polity?". Journal of Southeast Asian Studies (dalam bahasa Inggris). 26 (2): 307–325. doi:10.1017/S0022463400007128. ISSN 1474-0680 – via Cambridge Core. 
  237. ^ Love, Thomas T. (1965). "Theravāda Buddhism: Ethical Theory and Practice". Journal of Bible and Religion. 33 (4): 303–313. ISSN 0885-2758. JSTOR 1459491. 
  238. ^ Malalasekera, G. P. (1964). "The Status of the Individual in Theravāda Buddhism". Philosophy East and West. 14 (2): 145–156. doi:10.2307/1396982. ISSN 0031-8221. JSTOR 1396982. 
  239. ^ Dhiman, Satinder K. (2020-09-08). The Routledge Companion to Mindfulness at Work (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-0-429-53486-7. 

Sumber

sunting

Sumber cetak

sunting
  • Braun, Eric (2018), The Insight Revolution, Lion's Roar 
  • Buswell, Robert, ed. (2004), Encyclopedia of Buddhism, MacMillan 
  • Crosby, Kate (2013), Theravada Buddhism: Continuity, Diversity, and Identity, Wiley-Blackwell 
  • Dutt, Nalinaksha (1998), Buddhist Sects in India, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited 
  • Fronsdal, Gil (1998), Insight Meditation in the United States: Life, Liberty, and the Pursuit of Happiness, diakses tanggal 8 Januari 2017 
  • Gombrich, Richard F. (1996), Theravāda Buddhism. A Social History from Ancient Benares to Modern Colombo, London and New York: Routledge 
  • Gombrich, Richard F. (1997), How Buddhism Began. The Conditioned Genesis of the Early Teachings, New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd. 
  • Gomez, Luis O. (1991), Purifying Gold: The Metaphor of Effort and Intuition in Buddhist Thought and Practice. In: Peter N. Gregory (editor)(1991), Sudden and Gradual. Approaches to Enlightenment in Chinese Thought, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited 
  • Gunaratana, Henepola (1994), The Path of Serenity and Insight, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited 
  • Kalupahana, David J. (1994), A history of Buddhist philosophy, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited 
  • McMahan, David L. (2008), The Making of Buddhist Modernism, Oxford University Press, ISBN 9780195183276 
  • Nyanaponika (1998), Het hart van boeddhistische meditatie (The heart of Buddhist Meditation), Asoka 
  • Polak, Grzegorz (2011), Reexamining Jhana: Towards a Critical Reconstruction of Early Buddhist Soteriology, UMCS 
  • Salgado, Nirmala S. (November 2013), Buddhist Nuns and Gendered Practice: In Search of the Female Renunciant, OUP, ISBN 978-0-19-976001-5 
  • Sharf, Robert H. (Oktober 1995), "Buddhist Modernism and the Rhetoric of Meditative Experience" (PDF), Numen, Leiden: Brill Publishers, 42 (3): 228–283, doi:10.1163/1568527952598549, hdl:2027.42/43810 , ISSN 0029-5973, diakses tanggal 20 Januari 2016 – via University of California, Berkeley  (dari penulis situs web Dept. of Buddhist Studies, UC Berkeley)
  • Tiyavanich, K. (1997), Forest Recollections: Wandering Monks in Twentieth-Century Thailand, University of Hawaii Press 
  • Tuchrello, William P. (n.d.), The Society and Its Environment. (Religion: Historical Background section), Federal Research Division, Library of Congress 
  • Warder, A.K. (2000), Indian Buddhism, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers 
  • Wilson, Jeff (2014), Mindful America: The Mutual Transformation of Buddhist Meditation and American Culture, Oxford University Press 

Sumber web

sunting
  1. ^ a b Erik Braun (2014), Meditation en masse. How colonialism sparked the global Vipassana movement. Diarsipkan 31 Oktober 2018 di Wayback Machine..
  2. ^ Lohicca Sutta, Access to Insight, diakses tanggal 27 Maret 2009 
  3. ^ Henepola Gunaratana, The Jhanas in Theravāda Buddhist Meditation Diarsipkan 9 Juli 2018 di Wayback Machine..
  4. ^ S Thanissaro Bhikkhu, Into the Stream A Study Guide on the First Stage of Awakening Diarsipkan 24 Maret 2019 di Wayback Machine.
  5. ^ "Opening the Dhamma Eye", www.ajahnchah.org 
  6. ^ "Magga-vibhanga Sutta: An Analysis of the Path", www.accesstoinsight.org 
  7. ^ The Pali Text Society's Pali-English dictionary, Dsal.uchicago.edu, diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Juli 2012, diakses tanggal 17 Agustus 2012 
  8. ^ The Pali Text Society's Pali-English dictionary, Dsal.uchicago.edu, diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Juli 2012, diakses tanggal 17 Agustus 2012 
  9. ^ The Pali Text Society's Pali-English dictionary, Dsal.uchicago.edu, diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Juli 2012, diakses tanggal 17 Agustus 2012 
  10. ^ a b c d Henepola Gunaratana, The Jhanas in Theravāda Buddhist Meditation Diarsipkan 9 Juli 2018 di Wayback Machine..
  11. ^ A Sketch of the Buddha's Life, Access to Insight, diakses tanggal 26 Maret 2009 
  12. ^ Salinan arsip (PDF), diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 16 Juli 2011, diakses tanggal 16 Juli 2011 
  13. ^ The World Factbook, Cia.gov, diakses tanggal 17 August 2012 
  14. ^ a b c d e Gallup WorldView Diarsipkan 7 April 2020 di Wayback Machine.. data accessed on 7 September 2012
  15. ^ Diakses 8 Juli 2010. (PDF), diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 24 Oktober 2007 
  16. ^ The World Factbook, Cia.gov, diakses tanggal 17 Agustus 2012 
  17. ^ a b CIA – The World Factbook, Cia.gov, diakses tanggal 17 Agustus 2012 
  18. ^ a b CIA – The World Factbook, Cia.gov, diakses tanggal 17 Agustus 2012 
  19. ^ Bullitt, John, "What is Theravāda Buddhism?", BuddhaNet, diakses tanggal 15 Agustus 2010 
  20. ^ Adherents.com – Lihat sitasi-sitasi dengan 'Theravāda Buddhism – World'.

Pranala luar

sunting
  • Chapman, David (2011), Theravāda reinvents meditation
  • Dutt, Nalinaksha (1998), Buddhist Sects in India, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited
  • Gombrich, Richard F. (1996), Theravāda Buddhism. A Social History from Ancient Benares to Modern Colombo, London and New York: Routledge
  • Gomez, Luis O. (1991), "Purifying Gold: The Metaphor of Effort and Intuition in Buddhist Thought and Practice." Dalam: Peter N. Gregory (editor)(1991), Sudden and Gradual. Approaches to Enlightenment in Chinese Thought, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited
  • Gunaratana, Henepola (1994), The Path of Serenity and Insight, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited
  • Kalupahana, David J. (1994), A history of Buddhist philosophy, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers Private Limited
  • McMahan, David L. (2008), The Making of Buddhist Modernism, Oxford University Press, ISBN 978-0-19-518327-6
  • Tuchrello, William P. The Society and Its Environment. (bagian Religion: Historical Background), Federal Research Division, Library of Congress
  • Tiyavanich, K. (1997), Forest Recollections: Wandering Monks in Twentieth-Century Thailand, University of Hawaii Press
  • Warder, A.K. (2000), Indian Buddhism, Delhi: Motilal Banarsidass Publishers